• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PENGALAMAN METODOLOGIS. 1. Pertanyaan tentang peta sosial dan kondisi sumber-sumber kehidupan komunitas petani pesisir dan pegunungan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III PENGALAMAN METODOLOGIS. 1. Pertanyaan tentang peta sosial dan kondisi sumber-sumber kehidupan komunitas petani pesisir dan pegunungan"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

PENGALAMAN METODOLOGIS

3.1. Hipotesa Pengarah

Penelitian ini pada dasarnya menggunakan paradigma konstuktivisme dengan pendekatan kualitatif. Sehingga penelitian ini tidak dimaksudkan untuk melakukan verifikasi atas suatu teori ataupun hipotesa. Meskipun demikian, peneliti memandang tetap perlu adanya hipotesa pengarah yang diharapkan dapat berfungsi sebagai pemandu (guide) agar penelitian ini tetap berada pada jalur (track) yang sesuai dengan kegiatan penelitian ilmiah pada umumnya. Hipotesa pengarah yang dimaksudkan peneliti disini tidaklah sama dengan hipotesa pada penelitian kuantitatif yang relatif cenderung kaku dan tertutup. Hipotesa pengarah yang digunakan dalam penelitian ini lebih bersifat longgar (flexible) dan terbuka akan kemungkinan mengalami perubahan atau bahkan pergantian sesuai dengan temuan-temuan yang diperoleh di lapangan. Dengan mengacu kepada pertanyaan dan tujuan penelitian, maka hipotesa pengarah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Pertanyaan tentang peta sosial dan kondisi sumber-sumber kehidupan komunitas petani pesisir dan pegunungan

¾ Kondisi peta sosial dan sumber-sumber kehidupan yang ada pada komunitas petani pesisir dan pegunungan diduga akan memiliki perbedaan yang disebabkan oleh adanya perbedaan sejarah dan proses interaksi antara aspek-aspek sosiologis dan ekologis yang ada pada kedua komunitas tersebut dalam mengakses dan memanfaatkan sumber-sumber kehidupan.

¾ Perbedaan sejarah dan proses interaksi antara aspek-aspek sosiologis dan ekologis yang ada pada kedua komunitas tersebut dalam mengakses dan memanfaatkan sumber-sumber kehidupan diperkirakan akan menumbuhkan bentuk dan kapasitas kelembagaan pangan yang relatif berbeda antara komunitas petani pesisir dan petani pegunungan.

(2)

2. Pertanyaan tentang proses kebijakan dan hasil implementasi program pemberdayaan masyarakat dalam mewujudkan ketahanan pangan komunitas desa.

¾ Proses kebijakan dan hasil implementasi program pemberdayaan masyarakat terkait ketahanan pangan pada komunitas petani pesisir dan pegunungan diduga akan memberikan hasil yang berbeda.

¾ Perbedaan proses dan hasil implementasi pemberdayaan masyarakat terkait ketahanan pangan tersebut diduga terutama disebabkan oleh adanya perbedaan kapasitas kelembagaan komunitas petani pesisir dan pegunungan. Dimana komunitas petani yang memiliki kapasitas kelembagaan yang lebih kuat diperkirakan secara relatif akan lebih berhasil dalam mengimplementasikan program-program pemberdayaan masyarakat terkait ketahanan pangan.

3. Pertanyaan tentang peran dan partisipasi kelembagaan lokal, intervensi pemerintah dan swasta dalam mewujudkan ketahanan pangan komunitas desa melalui implementasi Program Desa Mandiri Pangan

¾ Peran dan tingkat partisipasi kelembagaan lokal, intervensi pemerintah dan swasta dalam mewujudkan ketahanan pangan komunitas desa melalui implementasi Program Desa Mandiri Pangan diperkirakan akan memberikan hasil yang relatif berbeda antara komunitas petani pesisir dan pegunungan.

¾ Komunitas petani yang memiliki kelembagaan-kelembagaan dengan kapasitas yang lebih kuat, diperkirakan secara relatif akan lebih mampu berperan dan berpartisipasi dalam implementasi Program Desa Mandiri Pangan.

4. Pertanyaan tentang dinamika kelembagaan dan aktor (masyarakat, pemerintah, swasta, dan perguruan tinggi) dalam mengakses dan memanfaatkan sumber-sumber kehidupan di tingkat lokal untuk mewujudkan ketahanan pangan komunitas desa

¾ Dinamika kelembagaan dan aktor dalam mengakses dan memanfaatkan sumber-sumber kehidupan di tingkat lokal untuk mewujudkan ketahanan pangan komunitas desa diperkirakan akan menunjukan hasil yang berbeda antara komunitas petani pesisir dengan petani pegunungan. Hasil yang berbeda tersebut, diperkirakan disebabkan

(3)

(terutama) oleh adanya perbedaan struktur dan proses perkembangan kelembagaan ketahanan pangan yang ada dalam komunitas tersebut.

¾ Komunitas petani dimana struktur dan proses perkembangan kelembagaannya ditopang dengan tiga pilar kelembagaan (regulative, normative dan cultural-cognitive) secara kontinum, maka diduga dinamika kelembagaan dan aktor dalam mengakses dan memanfaatkan sumber-sumber kehidupan di tingkat lokal cenderung akan lebih mampu mengarah pada terwujudnya ketahanan pangan komunitas. Hal ini terjadi diperkirakan karena kelembagaan yang ditopang oleh tiga pilar kelembagaan secara kontinum, relatif akan lebih mampu membangun pola relasi sosial antar stakeholders

secara partisisipatif dengan membangun pola kerjasama yang setara dan berkeadilan guna mencapai sinergi dan positive sum.

3.2. Paradigma Penelitian

Paradigma penelitian pada dasarnya merupakan seperangkat keyakinan yang menuntun tindakan (basic set of believe that guide action), sehingga sedemikian rupa paradigma akan sangat menentukan bagaimana cara pandang peneliti dalam menafsirkan dan menginterpretasikan fakta-fakta dan realitas (Guba, 1990). Secara metodologis, paradigma dipandang sebagai pedoman yang menerangkan tata cara paling tepat (ideal) untuk menerapkan pendekatan ilmiah spesifik atau untuk menggunakan suatu metode pengumpulan data, atau suatu teknik analisis. Dalam ilmu sosial “penelitian kuantitatif” dan “penelitian kualitatif” seringkali ditunjuk sebagai paradigma metodologis (Wuisman, J.J.J.M., 1996). Terkait dengan penelitian tentang dinamika pemberdayaan kelembagaan komunitas petani pesisir dan pegunungan dalam mewujudkan ketahanan pangan masyarakat pedesaan dengan mengambil studi kasus di Desa Cigadog dan Desa Girijaya, Kabupaten Garut, maka peneliti menggunakan paradigma konstruktivisme.

Paradigma konstruktivis pada hakikatnya hampir merupakan antitesis dari paradigma yang meletakan pengamatan dan objektivitas dalam menemukan suatu realitas atau ilmu pengetahuan (Salim, 2001). Paradigma konstruktivisme memandang bahwa realitas sosial itu terdapat dalam berbagai bentuk konstruksi mental yang lahir berdasarkan pengalaman sosial, bersifat lokal, unik dan spesifik, serta tergantung pada orang yang mengalaminya. Oleh karena itu, suatu realitas sosial yang diamati oleh seseorang tidak dapat digeneralisasikan kepada semua orang sebagaimana yang biasa dilakukan oleh penganut paradigma positivisme dan

(4)

post-positivisme. Berbasis pada landasan filosofis tersebut di atas, maka hubungan antara peneliti dan tineliti bersifat sebagai satu kesatuan utuh, subyektif dan merupakan perpaduan interaksi, penafsiran, serta pemaknaan di antara keduanya.

Ciri lain dari paradigma konstruktivisme adalah menolak prinsip “verifikasi” yang menyatakan bahwa pengetahuan berdasarkan pada pembenaran atau pembuktian teori dan hipotesis. Sebaliknya paradigma ini memandang bahwa pengetahuan lebih berdasarkan pada prinsip “persesuaian” antara teori (pikiran) dan empiris (kenyataan). Data yang dihasilkan oleh ilmuwan atau peneliti dalam paradigma konstruktivisme tidak dipandang sebagai dasar pengujian mutlak untuk sebuah teori, tetapi “dikonstruksikan” dengan bantuan teori dan alat ukur yang dipakai. Dengan demikian, teori dan data hanya dapat dipahami melalui “interpretasi”, yaitu telaah maknanya dengan cara menempatkan teori dan data secara saling berhubungan satu dengan yang lainnya (Wuisman, J.J.J.M., 1996).

Penggunaan paradigma konstruktivisme dalam penelitian ini berdasarkan pada pertimbangan bahwa selain paradigma ini cenderung menolak prinsip “verifikasi”, juga karena paradigma ini berupaya membangun sebuah teori melalui pendekatan grounded research. Pendekatan grounded research itu sendiri pada umumnya selalu menggunakan metode penelitian kualitatif dalam membangun frame work dan lebih bersifat menjelaskan (explanatory) fakta dan realitas sosial. Frame work yang digunakan dalam paradigma konstruktivisme pada umumnya berdasarkan pada pandangan bahwa ; (1) realitas sosial bukanlah sebagai sesuatu yang bersifat objektif, melainkan bersifat subjektif, (2) realitas sosial lebih dipandang sebagai sebagai variabel-variabel situasional dan kultural, (3) di dalam realitas sosial terkandung kesadaran ideologi, pemikiran dan intelektual (Marvati, 2004).

Pertimbangan lainnya mengapa peneliti menggunakan paradigma konstruktivisme adalah karena peneliti sepenuhnya sadar bahwa penelitian ini tidak ditujukan untuk verifikasi suatu teori atau hipotesis, melainkan lebih kepada untuk menjelaskan (explanatory) suatu realitas sosial yang berada dalam lingkup ruang dan waktu yang tertentu dan terbatas. Sehingga sudah dapat dipastikan bahwa fakta-fakta dan realitas sosial yang berhasil ditangkap dan dijelaskan oleh peneliti pada akhirnya juga akan bersifat terbatas dan relatif.

Kajian mengenai dinamika pemberdayaan kelembagaan komunitas petani pesisir dan pegunungan dalam mewujudkan ketahanan pangan masyarakat pedesaan, sudah dapat dipastikan

(5)

didalamnya mengandung interpretasi dan pemaknaan tentang kelembagaan (nilai, norma, kultur), kekuasaan dan kepentingan dari pihak-pihak yang terlibat (tineliti). Sehingga sudah barang tentu akan menjadi tidak mudah bagi peneliti, jika kajian ini dijelaskan dengan teori-teori yang mengandung asumsi-asumsi umum (general). Maka dalam konteks penelitian ini, metode dan teori akan diletakan dalam posisi “kritis”, artinya kebenaran keduanya (metode dan teori) bukan hanya dilihat dari kemampuannya dalam menjelaskan, tetapi juga dalam menafsir realitas sosial yang dinamis serta sedapat mungkin diupayakan agar dapat “terbebaskan” dari kepentingan ideologis (Habermas, 1996 dalam Mulkhan, 2000).

Meskipun penelitian ini tidak ditujukan untuk menghasilkan sebuah teori mengenai hubungan antara kelembagaan dan ketahanan pangan, namun setidaknya penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan positif terhadap perkembangan penelitian sosiologi pedesaan. Hal ini terutama dikarenakan masih terhitung sangat jarangnya penelitian-penelitian pada Program Sosiologi Pedesaan, yang berupaya mengkaji dan membandingkan hubungan antara pemberdayaan kelembagaan dengan ketahanan pangan antara komunitas petani pesisir dengan komunitas petani pegunungan.

3.3. Metode Penelitian

Berdasarkan pada pertimbangan bahwa penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivisme dengan pendekatan grounded research, maka penelitian ini menerapkan metode penelitian kualitatif dengan strategi “studi kasus”. Metode kualitatif menurut Furchan (1992) adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa ucapan, tulisan atau perilaku yang dapat diamati dari orang-orang (subyek) itu sendiri. Pendekatan ini secara langsung menempatkan setting dan individu-individu (atau lembaga) sebagai suatu kesatuan yang utuh. Posisi tineliti dalam hal ini tidak dipersempit menjadi variabel-variabel yang terpisah atau menjadi hipotesis, melainkan dipandang sebagai bagian dari suatu keseluruhan. Berbeda dengan metode kuantitatif dimana data-datanya selalu berkaitan dengan angka-angka dan analisis data dilakukan secara deduktif. Maka metode kualitatif data-datanya cenderung berkaitan dengan makna-makna terdalam yang tersembunyi di balik data-data dan analisis data seringkali dilakukan secara induktif (Dey, 1993 ; hal.10, dan Neuman, 2000 ; hal. 123).

Mengingat bahwa penelitian ini akan berupaya untuk menjelaskan dinamika pemberdayaan kelembagaan ketahanan pangan komunitas petani pesisir dalam upaya

(6)

mewujudkan ketahanan pangan dengan berbasis pada keragaman sosiologis dan ekologis, maka penelitian ini dapat dikatakan sebagai penelitian multi disiplin. Maksud dari penelitian multi disiplin disini adalah bahwa kajian-kajian yang berkaitan dengan struktur dan proses perkembangan kelembagaan komunitas petani pesisir dan pegunungan serta pola relasi sosial antar stakeholders (kelembagaan dan aktor) akan dicoba dijelaskan dengan menggunakan metode penelitian sosiologis. Sedangkan kajian mengenai kondisi sumber-sumber kehidupan, terutama yang berkaitan dengan kondisi dan pengaruh sumberdaya alam (faktor ekologi) terhadap pola adaptasi yang dikembangkan oleh kedua komunitas dalam mengatasi kerawanan pangan, maka peneliti akan mencoba menjelaskannya dengan metode penelitian ekologis. Pendek kata, dalam penelitian ini metode penelitian sosilogis dan ekologis akan dicoba dipadukan sedemikian rupa sehingga antara keduanya menjadi saling terkait dan saling mempengaruhi serta tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.

Metode kualitatif kemudian menjadi sebuah pilihan, karena dalam konteks penelitian ini, penafsiran atau pemaknaan atas kelembagaan (nilai, norma, kultur), pola relasi sosial (kekuasaan dan kepentingan) diantara pihak-pihak terkait dalam mengakses dan memanfaatkan sumber-sumber kehidupan akan menjadi sulit untuk dapat di-kuantitatif-kan. Sedangkan data yang digunakan adalah data kuantitatif dan data kualitatif. Mengingat bahwa fokus penelitian ini terutama pada dinamika pemberdayaan kelembagaan pada komunitas petani pedesaan, maka aspek sejarah (historis) tentang perkembangan/perubahan kelembagaan dan sumber-sumber kehidupan dalam ruang dan waktu tertentu menjadi sangat penting untuk diketahui. Terkait dengan ini, maka strategi studi kasus tentang sejarah tersebut akan dilakukan dan rentang waktunya dibatasi sedemikian rupa berdasar pada pertimbangan bahwa para aktor atau pelakunya masih hidup. Sementara itu ruang lingkup dari studi kasus ini akan memadukan antara aras mikro (individu/rumah tangga), meso (komunitas dan desa) dan makro (kabupaten). Sehingga diharapkan informasi atau data yang diperoleh dari ketiga aras tersebut, pada akhirnya dapat dilakukan proses triangulasi agar kesahihannya dapat terjaga.

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Proses pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan beberapa teknik yaitu ; studi pustaka, literatur review, pengamatan secara berpartisipasi (participant observation), wawancara mendalam (indepth interview), penelusuran sejarah hidup (live history), group interview, dan

(7)

diskusi kelompok terarah (Focus Group Discussion). Matriks hubungan antara tujuan, data yang dibutuhkan, sumber data, teknik pengumpulan data juga ditampilkan pada Tabel 3.

Kegiatan penelitian ini diawali dengan melalui proses literatur review, dimana data pustakanya bersumber dari : hasil-hasil penelitian ilmiah sebelumnya, lembaga pemerintahan desa, kantor kecamatan, Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) Kecamatan, dinas atau instansi pemerintah kabupaten terkait (Kantor PSDM-KP, Kab. Garut, Dinas Pertanian dan Perkebunan Kab. Garut, Bappeda Kab. Garut dan BPS Kabupaten Garut), juga dari pemerintah pusat (Deptan, BPS, dll). Disamping itu, peneliti juga mengumpulkan data-data dengan memanfaatkan media elektronik terutama internet.

Teknik pengumpulan data berikutnya adalah pengamatan secara berpartisipasi yang dilakukan untuk keperluan : (1) mengidentifikasi kondisi sumber-sumber kehidupan berwujud fisik yang terdapat di lokasi penelitian (sawah, ladang, kebun, hutan, laut, sungai, infrastruktur jalan, irigasi, pemukiman, dsb.), (2) mengidentifikasi aktivitas produksi, distribusi dan konsumsi pangan yang dilakukan oleh kedua komunitas beserta dengan proses-proses sosial yang menyertainya, (3) mengidentifikasi dinamika kelompok afinitas dalam proses pemberdayaan kelembagaan petani yang dilakukan oleh pendamping, Tim Pangan Desa, penyuluh pertanian dan pemerintah supra desa, (4) mengidentifikasi aktivitas kehidupan sehari-hari anggota masyarakat dalam memenuhi keperluan dan kebutuhan rumah tangganya.

Pada tataran praktis dalam kesehariannya di lapangan, peneliti selalu berupaya mencari informasi dari aparat pemerintah desa, tokoh masyarakat, pendamping dan penyuluh pertanian tentang kegiatan-kegiatan apa saja yang sedang dan akan dilaksanakan di tingkat komunitas dan desa, terutama yang terkait dengan ketahanan pangan. Dengan bekal informasi tersebut, maka peneliti senantiasa berupaya untuk berperan serta dalam berbagai pertemuan-pertemuan, rapat dan diskusi yang dilaksanakan di tingkat komunitas dan desa. Selama berlangsungnya proses pengamatan berpartisipasi ini, peneliti senantiasa berupaya untuk melibatkan diri dan mengamati dengan cermat segala sikap, ucapan dan tindakan para tineliti. Jika memang terdapat informasi dan data yang dianggap penting dan diperkirakan akan sangat dibutuhkan untuk mendukung tujuan penelitian, maka peneliti biasanya mencatat dalam buku catatan harian atau merekamnya dengan menggunakan tape recorder dengan sepengetahuan dan ijin dari tineliti (individu atau forum).

(8)

Sedangkan teknik pengumpulan wawancara mendalam (indepth interview) dilakukan kepada informan perorangan dengan menggunakan pedoman umum wawancara yang telah dipersiapkan sebelumnya. Pemilihan informan dilakukan dengan menggunakan teknik bola salju (snowball sampling).12 Teknik wawancara mendalam dalam penelitian ini terutama dilakukan untuk

mengetahui : (1) sejarah perkembangan kelembagaan desa, (2) sejarah perkembangan kelembagaan pangan lokal/tradisional, (3) sejarah kondisi dan pemanfaatan sumber-sumber kehidupan di tingkat komunitas desa.

Pada tataran praktis, peneliti juga melakukan penelusuran sejarah hidup tokoh-tokoh masyarakat yang di pandang sebagai key informant . Melalui teknik ini biasanya pihak tineliti akan merasa senang dan terbuka jika diwawancarai mengenai sejarah perjalanan hidupnya. Dalam sela-sela proses wawancara tersebut biasanya peneliti berupaya mengarahkan pembicaraan pada aspek-aspek (informasi) yang berkaitan dengan tujuan penelitian. Pihak-pihak yang menjadi key informant dalam penelitian ini diantaranya adalah tokoh agama, tokoh masyarakat, kepala desa, ketua PKK, penyuluh pertanian, kepala kantor PSDM-KP Kab. Garut, pendamping program pemberdayaan, tokoh petani/penggarap, tokoh nelayan, tokoh perempuan, kader posyandu, dan tokoh pemuda (Lampiran 1).

Teknik wawancara kelompok (group interview) terutama dilakukan kepada kelompok-kelompok yang memiliki mata pencaharian yang sama (nelayan, petani, pengrajin dan pedagang). Tujuan dari wawancara ini terutama untuk menangkap gambaran dinamika usaha warga dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Sedangkan teknik Focus Group Discussion (FGD) dilakukan terutama untuk mengetahui sejarah dan dinamika pemberdayaan kelembagaan ketahanan pangan warga (komunitas dan desa). Kegiatan FGD juga dilakukan guna mengumpulkan informasi dan untuk memetakan hambatan, ancaman, peluang dan tantangan yang dihadapi oleh warga (komunitas dan desa) dalam upaya mewujudkan kondisi ketahanan

12

Menurut Patton, M.Q. (1984) dalam Rochwulaningsih (2008), teknik ini dilakukan dengan terlebih dahulu mencari tineliti yang dapat dijadikan sebagai informasi kunci (key informant) dan melaluinya peneliti akan mendapat infromasi tentang beberapa informan lainnya yang dianggap mengetahui/menguasai informasi dan permasalahan yang tengah digali oleh peneliti. Proses seperti ini terus berlanjut sehingga data dan informasi yang terkumpul semakin banyak, lengkap dan mendalam. Proses ini akan berhenti jika peneliti memandang bahwa data yang terkumpul telah mencukupi untuk menjawab pertanyaan penelitian. Teknik ini disebut bola salju karena proses pengumpulan data dan informasi terus menggelinding ibarat bola salju yang kian lama kian membesar.

(9)

pangan desa yang tangguh, adil dan berkelanjutan. Sasaran dari kegiatan FGD meliputi tiga aras yakni ; FGD di tingkat komunitas, FGD di tingkat Desa, serta FGD di tingkat Kabupaten.13

Kegiatan FGD di aras komunitas dilakukan kepada seluruh kelompok afinitas (KA) Program Desa Mandiri Pangan yang ada di komunitas petani pesisir dan pegunungan (13 kelompok afinitas). Tujuan dari dilakukannya FGD ini adalah : (1) menggali data dan informasi tentang masalah utama para rumah tangga di kedua komunitas tersebut dalam memenuhi kebutuhan pangan keluarganya, (2) menggali informasi tentang sejarah pemanfaatan sumber-sumber kehidupan di tingkat komunitas, (3) menggali informasi tentang upaya-upaya komunitas dalam mengatasi kerawanan pangan, (4) menggali informasi tentang upaya-upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah atas desa dalam mengatasi kerawanan pangan, (5) menggali informasi tentang sejarah dan perkembangan kelembagaan pangan lokal, (6) menggali tentang proses dan dinamika pemberdayaan kelompok afinitas melalui Program Desa Mandiri Pangan.

Sedangkan kegiatan FGD di tingkat Desa pada dasarnya memiliki tujuan yang sama dengan kegiatan FGD di tingkat komunitas, perbedaannya hanya terletak pada aspek ruang lingkup permasalahan yang didiskusikan tidak lagi hanya sekedar permasalahan yang ada di tingkat komunitas, melainkan juga di tingkat desa. Kegiatan FGD di tingkat desa tidak hanya dihadiri oleh perwakilan dari kelompok-kelompok afinitas, melainkan juga tokoh-tokoh masyarakat (tokoh agama, tokoh pemuda, tokoh perempuan) dan aktor lain yang dipandang terkait dan memiliki informasi tentang permasalahan ketahanan pangan di tingkat desa (kepala desa, ketua BPD, ketua LKD, ketua PKK, kader Posyandu, Pendamping, dan petugas PPL).

Hasil-hasil dari kegiatan FGD di tingkat komunitas dan desa kemudian dirumuskan dan diangkat lebih tinggi lagi dalam kegiatan FGD di tingkat Kabupaten. Tujuan dilaksanakannya kegiatan FGD ini adalah untuk : (1) Memaparkan pengalaman proses pemberdayaan kelembagaan komunitas petani dalam Program Desa Mandiri Pangan oleh masing-masing

stakeholders, maupun program lainnya, (2) Menemukan ciri-ciri, bentuk dan ragam pemberdayaan kelembagaan ketahanan pangan (lokal & intervensi) dan permasalahan dalam

13

Focus Group Discussion (FGD) adalah wawancara kelompok dari sejumlah individu dengan status sosial

yang relatif sama, yang memfokuskan interaksi dalam kelompok berdasarkan pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan oleh peneliti yang berperan sebagai fasilitator dalam kelompok diskusi tersebut (Stewart and Shamdasani, 1990; Krueger, 1988; dan Morgan, 1988). Hasil wawancara dari metode FGD adalah berupa suatu manuskrip dari diskusi kelompok terarah tersebut.

(10)

implementasinya, (3) Mengembangkan komunitas pembelajaran diantara stakeholders dalam proses implementasi Program Desa Mandiri Pangan maupun program lainnya melalui berbagi informasi dan pengalaman. Sedangkan keluaran (out put) yang diharapkan dari kegiatan FGD ini adalah : (1) Terkumpulnya berbagai informasi tentang pengalaman dan proses pemberdayaan kelembagaan dari pihak komunitas petani dan stakeholders lainnya, terutama yang berkaitan dengan implementasi Program Desa Mapan dan program pemberdayaan lainnya yang terkait dengan ketahanan pangan, (2) Teridentifikasinya ciri-ciri, bentuk dan ragam pemberdayaan kelembagaan ketahanan pangan berikut dengan permasalahan dalam implementasinya, (3) Meningkatnya pemahaman para stakeholders akan pentingnya aspek komunikasi (berbagi informasi dan pengalaman) dalam proses implementasi program pemberdayaan masyarakat. Sehingga pada akhirnya, diharapkan akan menumbuhkembangkan “kesadaran” stakeholders akan pentingnya “kerjasama” dan “dialog” dalam mengimplementasikan program-program pemberdayaan terkait ketahanan pangan.

Kendala dan permasalahan yang dihadapi peneliti dalam proses pengumpulan data adalah terutama terkait dengan minimnya data dan informasi yang tersedia serta akurat di tingkat komunitas desa. Beberapa jenis data yang sulit untuk diperoleh diantaranya : (1) data tentang rata-rata penguasaan dan kepemilikan lahan, (2) data tentang jumlah rumah tangga miskin dan rawan pangan, (3) data tentang hasil-hasil evaluasi program-program pemberdayaan masyarakat yang pernah diimplementasikan di kedua desa, (4) data tentang kondisi derta potensi sumberdaya alam (pertanian, perkebunanan, peternakan, kehutanan dan kelautan) di tingkat desa. Berdasarkan pengalaman, kalau pun data-data tersebut tersedia di kantor pemerintahan desa, namun data tersebut pada umumnya adalah data yang lama dan jarang sekali ditemukan data terbaru dan bersifat akurat.

Terkait dengan kendala dan permasalahan di atas, maka hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu pustaka data di tingkat desa, terutama bagi pihak-pihak yang akan melakukan penelitian yang serupa/sejenis dengan penelitian ini. Disamping itu, tampaknya perlu ada upaya untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan pemerintahan desa dan kelembagaan pelayanan lainnya di tingkat pedesaan dalam aspek keterampilan menyusun dan mendokumentasikan arsip atau data-data tentang berbagai hal yang berkaitan dengan aktifitas pembangunan pedesaan. Hal ini penting karena pada umumnya, para peneliti kerapkali menggunakan Data Potensi Desa sebagai acuan dan data penelitian. Padahal berdasarkan pada

(11)

pengalaman peneliti, Data Potensi Desa pada umumnya tidak up to date dan tingkat akurasinya relatif rendah, sehingga data tersebut seyogyanya diposisikan sebagai data kasar atau data “mentah” yang harus dikritisi dan dikaji ulang oleh peneliti.

3.5. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode analisis data kualitatif yang meliputi tahapan kegiatan ; (1) penelaahan semua data dan informasi yang terkumpul, yang terdiri dari data hasil wawancara, life histroy, FGD, catatan lapang, dokumen pribadi, dokumen lembaga resmi, gambar, foto, dll. (2) melakukan pengelompokan, pengkategorian data dan informasi sesuai dengan topik, tema atau issue yang relatif sama, (3) melakukan reduksi data dengan tujuan untuk membuat rangkuman inti dari semua data dan informasi yang dipandang penting yang berkaitan dengan tujuan penelitian, (4) melakukan triangulasi, perangkaian dan penafsiran data dengan tujuan untuk pemeriksaan ulang keabsahan data, merangkai data-data yang saling berkaitan, serta mencoba menafsirkan data sesuai dengan kepentingan dan tujuan penelitian, (5) penyajian data, dan terakhir (6) melakukan penarikan kesimpulan.

Sedangkan menurut Miles dan Huberman (1992), metode analisis data kualitatif memuat empat komponen pokok kegiatan atau proses yang harus difahami dan dilakukan oleh peneliti. Keempat komponen pokok kegiatan atau proses tersebut meliputi : (1) pengumpulan data (collecting data), (2) pereduksian data (data reduction), (3) penampilan data (data display), dan (4) penarikan/pengambilan kesimpulan (conclusion drawing).14 Ketiga proses analisis data kualitatif

tersebut (reduksi data, penampilan data dan penarikan kesimpulan), merupakan suatu proses yang saling terkait, jalin-menjalin pada saat sebelum, selama dan sesudah pengumpulan data dalam bentuk yang sejajar, untuk membangun suatu wawasan yang disebut “analisis”. Ketiga jenis kegiatan analisis tersebut merupakan sebuah proses siklus dan interaktif. Dimana posisi peneliti selama proses penelitian berlangsung diibaratkan sebagai “sumbu kumparan” yang

14

Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan tertulis di lapangan. Sedangkan penyajian data diartikan sebagai penyajian sekumpulan informasi yang tersusun yang memberikan kemungkinan dilakukannya penarikan kesimpulan. Sedangkan proses penarikan kesimpulan adalah proses analisis yang dilakukan oleh peneliti dari sejak pengumpulan data kemudian mencari arti benda-benda, mencatat keteraturan, pola-pola, penjelasan, konfigurasi-konfigurasi yang mungkin, alur sebab akibat dan proposisi (Miles dan Huberman, 1992).

(12)

bergerak bolak-balik diantara kegiatan reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan/verifikasi selama sisa waktu penelitiannya (Gambar 4).

Penyajian Data Penarikan Kesimpulan Reduksi Data Pengumpulan Data

Gambar 4. Komponen-komponen Analisis Data : Model Interaktif (Miles & Huberman, 1992)

3.6. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian yaitu komunitas petani pesisir di Desa Cigadog, Kec. Cikelet dan komunitas petani pegunungan Desa Girijaya, Kec. Kersamanah, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan kedua komunitas tersebut berdasarkan pertimbangan bahwa keduanya memiliki karakteristik sosiologis (sosial, ekonomi, budaya, politik) dan ekologis yang berbeda. Komunitas petani di Desa Cigadog, Kec. Cikelet memiliki tipologi sebagai petani pesisir, dimana sebagian anggota rumahtangganya tidak hanya bermatapencaharian sebagai petani melainkan juga sekaligus merangkap sebagai nelayan, buruh perkebunan sawit, pedagang, dll. Sedangkan komunitas petani di Desa Girijaya memiliki tipolologi sebagai petani pegunungan, dimana sebagian anggota rumah tangganya tidak hanya bekerja sebagai petani, melainkan juga merangkap sebagai pengrajin dan/atau pedagang.

Peneliti secara sengaja mengambil dua lokasi penelitian pada tipologi komunitas petani yang berbeda (komunitas petani pesisir dan pegunungan). Dimana diharapkan hasil dari penelitian ini dapat pula membandingkan persamaan dan perbedaan dalam proses dinamika pemberdayaan kelembagaan komunitas petani pesisir dan pegunungan dalam upaya

(13)

mewujudkan ketahanan pangan komunitas pedesaan. Perbedaan karakterisistik sosiologis dan ekologis antara kedua komunitas petani tersebut diperkirakan akan menimbulkan adanya perbedaan dalam hal proses dan dinamika pemberdayaan kelembagaan ketahanan pangan. Sehingga pada akhirnya perbedaan proses perkembangan dan dinamika pemberdayaan kelembagaan ketahanan pangan di kedua komunitas tersebut diperkirakan akan menyebabkan timbulnya perbedaan dalam aspek bentuk, jenis dan kapasitas kelembagaan ketahanan pangan yang ada pada kedua komunitas tersebut.

Tabel 2. Jadwal Kegiatan Penelitian Dinamika Pemberdayaan Kelembagaan Komunitas Petani Pesisir dan Pegunungan dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan Masyarakat Pedesaan.

2008 2009 No Uraian Kegiatan 9 10 11 12 1 1 Kolokium 2 Penelitian Lapang 3 Penulisan Tesis 4 Seminar 5 Ujian Akhir/Sidang

Waktu pelaksanaan penelitian ini secara administrasi dimulai dari sejak awal bulan Oktober 2008 – Desember 2008 (Tabel 2). Meski waktu penelitian ini terhitung relatif pendek, namun sesungguhnya peneliti memiliki bekal pengalaman berinteraksi dengan komunitas petani pesisir di Desa Girijaya dan komunitas petani pegunungan di Desa Cigadog sejak pertengahan Agustus 2007. Dimana peneliti sejak bulan Agustus 2007 hingga sampai bulan Oktober 2008 terlibat aktif dalam kegiatan Kerjasama Kemitraan Penelitian Pertanian dengan Perguruan Tinggi (KKP3T). Program kerjasama penelitian tersebut terwujud berkat kerjasama antara Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan Sekretariat Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Sehingga dengan bekal pengalaman penelitian tersebut, peneliti telah memiliki sedikit pengetahuan tentang karakteristik sosiologis dan ekologis kedua komunitas petani tersebut, yang kemudian lebih diperdalam lagi pada saat penelitian ini berlangsung.

(14)

No Tujuan Kajian Data dan Informasi Sumber Data Metode Rekaman 1. Mengidentifikasi peta sosial dan

sumber-sumber kehidupan (human capital, social capital, natural capital, phisycal capital, financial capital) komunitas desa.

(1) humane capital, modal yang dimiliki manusia yg meliputi pengetahuan, keterampilan, tenaga utk bekerja & kesehatan, (2) social capital, seperti jaringan, keanggotaan dari kelompok-kelompok, hubungan berdasarkan kepercayaan, jaringan pengaman sosial informal, (3) natural capital ; tanah, air, udara, hutan, keanekaragaman hayati dsb, (4) phisical capital ; infrastruktur dasar jalan, saluran irigasi, sarana komunikasi, sanitasi, persediaan air, akses terhadap komunikasi, dan sebagainya, (5) financial capital ; uang tunai, persediaan dan peredaran uang reguler.

1. Monografi Desa

2. Kec & Kab dalam Angka 3. Data Podes 2005 4. Dinas Pertanian & BPP 5. Kantor Statistik 6. Responden & Informan

(Kepala Desa, Tokoh Masy, Kel. Tani, dll).

- Analisis data skunder - Wawancara - Pengamatan - Penelusuran Life History - Dokumen - Catatan harian - Rekaman - Photo

2. Mengidentifikasi proses kebijakan dan hasil implementasi program pemberdayaan masyarakat dalam mewujudkan ketahanan pangan komunitas desa.

Deskripsi kebijakan dan progam pemberdayaan kelembagaan ketahanan pangan yang pernah dan sedang dilakukan oleh masyarakat, pemerintah dan swasta.

1. Dok. Balai Penyuluhan Pertanian

2. Dok. Dinas Pertanian & Ketahanan Pangan 3. Monografi Desa

4. Kepala Kantor Ketahanan Pangan, PPL, Kades & Tomas. - Analisis Data Skunder - Wawancara - FGD di tingkat komunitas & desa - Dokumen - Catatan Harian - Rekaman

3. Mengidentifikasi peran dan menganalisis tingkat partisipasi kelembagaan lokal, intervensi pemerintah dan swasta dalam mewujudkan ketahanan pangan komunitas desa melalui implementasi Program Desa Mandiri Pangan.

Deskripsi kelembagaan (lokal, pemerintah, swasta) yang pernah dan masih ada, terutama yang berhubung dengan implementasi Program Desa Mandiri Pangan.

1. Monografi Desa 2. Dokumen Balai

Penyuluhan Pertanian 3. Dinas Pertanian &

Ketahanan Pangan Kab. 4. Kades, Tokoh Masyarakat

- Wawancara -FGD -Analisis data skunder - Dokumen - Catatan Harian - Rekaman

4. Menganalisis dinamika kelembagaan dan aktor (masyarakat, pemerintah, swasta, dan perguruan tinggi) dalam mengakses dan memanfaatkan sumber-sumber kehidupan di tingkat lokal guna mewujudkan ketahanan pangan komunitas desa

Deskripsi dinamika kelembagaan ketahanan pangan dan dinamika tarik menarik kepentingan aktor dalam mengakses sumber-sumber ketahanan pangan di tingkat lokal (komunitas dan desa).

1. Kades & Ketua PKK 2. Dinas Pertanian, PPL,

Pendamping, Kader. 3. Tokoh masy & swasta 4. Kel. Tani & Penerima

manfaat program. -Wawancara -FGD -Pengamatan -Analisis Data Skunder - Dokumen - Catatan Harian - Rekaman - Photo Tabel 3. Matriks antara Tujuan, Data yang Dibutuhkan, Sumber Data, Teknik Pengumpulan Data.

Gambar

Gambar 4.  Komponen-komponen Analisis Data : Model Interaktif (Miles & Huberman, 1992)

Referensi

Dokumen terkait

Így lettem én berendelve beszélgetésre a megyei pártbizottság másodtitkárához, aki társalgásunkat azzal indította, hogy „Tóth elvtárs, az a helyzet, hogy maga

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kompensasi dan lingkungan kerja terhadap kepuasan kerja karyawan pada PT Galang Kreasi Sempurna

Informasi dalam dokumen ini didasarkan pada pengetahuan terkini kami dan berlaku untuk produk yang berkaitan dengan tindakan pencegahan dan keselamatan. Itu tidak mewakili

Memahami cara penyampaian serta cara merespon, mengidentifikasi cara memberitahu dan menanyakan tentang fakta, perasaan dan sikap terkait topik ةيملاسلإا ةراضلحا

Unit PT PLN (PERSERO) yang akan membangun SCADA harus mengacu pada SPLN S3.001: 2008 Peralatan SCADA Sistem Tenaga Listrik. Jumlah yang dijelaskan pada tabel 6 dan tabel 7

Mereka merasa kecewa karena ketidakhadiran Gubsu Erry Nuradi maupun Sekertaris Daerah Provinsi Sumatera Utara (Sekdaprovsu), Hasban Ritonga dalam rapat tersebut. Saat itu,

Karena pada kesempatan kali ini publik akan memberikan penilaian langsung terhadap partai-partai politik peserta pemilu yang mempunyai kepedulian terhadap perjuangan

Aspek psikologis yang perlu diperhatikan adalah bagaimana tingkah laku yang diharapkan ketika melakukan aktifitas di dalam ruangan pada perpustakaan anak