• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Newstroom dan Davis (2003) stressor adalah faktor-faktor yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Newstroom dan Davis (2003) stressor adalah faktor-faktor yang"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Stressor Kerja

2.1.1. Definisi Stressor Kerja

Menurut Newstroom dan Davis (2003) stressor adalah faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya stres. Job stressor atau faktor-faktor yang sering menimbulkan stres di tempat kerja antara lain:

1) Beban kerja yang berlebihan (work overload) 2) Tekanan atau desakan waktu (time pressure)

3) Kualitas supervisi yang jelek (poor quality of supervision) 4) Iklim politis yang tidak aman (insecure political climate)

5) Umpan balik tentang pelaksanaan kerja yang tidak memadai (lock of recognition/reward)

6) Wewenang yang tidak mencukupi untuk melaksanakan tanggung jawab (inadequate authority to match responsibilities)

7) Kemenduaan peranan (role ambiguity and conflict) 8) Frustasi (frustation)

9) Konflik antar pribadi dan antar kelompok (interpersonal conflict)

10)Perbedaan antara nilai-nilai perusahaan dan karyawan (differences between company and employee value)

(2)

Penyebab Tipe Akibat

Gambar 2.1. Penyebab, Tipe dan Akibat dari Stres menurut Randall S. Schuler diacu Davis dan Newstrom (1985)

Stressor adalah penyebab stres, yakni apa saja kondisi lingkungan tempat tuntutan fisik dan emosional pada seseorang (Sopiah, 2008). Menurut Gibson, dkk (2000) Stres adalah kata yang berasal dari Bahasa Latin, yaitu ‘stringere’, yang memiliki arti keluar dari kesukaan (draw tight). Definisi ini menjelaskan sebuah kondisi susah atau penderitaan yang menunjukkan paksaan, tekanan, ketegangan atau usaha yang kuat, diutamakan ditunjukkan pada individual, organ individual atau kekuatan mental seseorang.

Di lain pihak, stres karyawan juga dapat disebabkan masalah-masalah di luar tempat kerja. Stressor dari kategori off the job ini antara lain:

Stresor organisasional

Stresor nonpekerjaan

Karyawan

Akibat dari organisasional dan personal yang kontruktif :

a. Jangka pendek b. Jangka panjang

Stres Negatif Stres Positif

Akibat dari organisasional dan personal yang destruktif :

a. Jangka pendek b. Jangka panjang

(3)

1) Kekuatiran finansial

2) Masalah-masalah yang berkaitan dengan anak 3) Masalah-masalah fisik

4) Masalah-masalah perkawinan

5) Perubahan-perubahan yang terjadi di tempat tinggal 6) Masalah-masalah pribadi lainnya

Menurut Ivancevich, dkk (2006) stresor yang diakibatkan peran seseorang dalam menjalani suatu profesi tertentu. seperti kelebihan beban kerja, tanggung jawab atas orang lain, perkembangan karier, kurangnya kohesi kelompok, dukungan kelompok yang tidak memadai, struktur dan iklim organisasi, wilayah dalam organisasi, karakteristik tugas, pengaruh kepemimpinan.

Menurut Dessler (1997) ada dua sumber utama dari stres pekerjaan yaitu lingkungan dan personal. Faktor-faktor lingkungan yang dapat menyebabkan stres pekerjaan mencakup jadwal kerja, irama kerja, jaminan pekerjaan, rute perjalanan kerja, jumlah dan sifat pelanggan atau klien, kebisingan tempat kerja. Faktor-faktor personal yang dapat mempengaruhi stres kerja yaitu tipe dari kepribadian seseorang. Selain stres yang berasal dari pekerjaan stres juga dapat disebabkan oleh masalah non-pekerjaan seperti perceraian.

Menurut Mangkunegara (2001) penyebab stres kerja, antara lain beban kerja yang dirasakan terlalu berat, waktu kerja yang mendesak, kualitas pengawasan kerja yang rendah, iklim kerja yang tidak sehat, otoritas kerja yang tidak memadai yang berhubungan dengan tanggung jawab, konflik kerja, perbedaan nilai antara karyawan

(4)

dengan pemimpin yang frustasi dalam kerja. Menurut Handoko (2001) kondisi-kondisi yang cenderung menyebabkan stres disebut stressors. Meskipun stres dapat diakibatkan oleh hanya satu stressors, biasanya karyawan mengalami stres karena kombinasi stressors. Ada dua kategori penyebab stres, yaitu on-thejob dan off-the-job.

Faktor-faktor organisasional yang dapat menjadi stressor bagi karyawan berasal dari lingkungan pekerjaannya seperti tekanan untuk menghindar dari berbuat kesalahan, menyelesaikan tugas pada satu jangka waktu tertentu, beban tugas yang terlalu berat, atasan yang kaku, tidak peka dan terlalu banyak menuntut, rekan sekerja yang tidak mendukung. Dengan perkataan lain, faktor-faktor organisasional yang dapat menjadi ”stressor” ialah:

1) Tuntutan tugas 2) Tuntutan peran

3) Tuntutan hubungan interpersonal, 4) Struktur organisasi

5) Kepemimpinan dan siklus hidup organisasi.

Faktor-faktor individual merupakan faktor yang berasal dari apa yang terjadi atau tidak terjadi pada jam-jam di luar jam kerja seorang karyawan yang berpengaruh pada timbul tidaknya stres dalam kehidupan kekaryaaan seseorang. Terdapat faktor-faktor yang bersifat individual yang menjadi stressor dalam kehidupan seseorang seperti masalah-masalah keluarga, masalah-masalah ekonomi dan kepribadian

(5)

Menurut Siagian (2005) stres bersumber dari pekerjaan dan luar pekerjaan seseorang. Berbagai hal yang dapat menjadi sumber stres yang berasal dari pekerjaan dapat beraneka ragam seperti beban tugas yang terlalu berat, desakan waktu, penyeliaan yang kurang baik, iklim kerja yang menimbulkan rasa tidak aman, kurangnya informasi dari umpan balik tentang prestasi kerja seseorang, ketidakseimbangan antara wewenang dan tanggung jawab, ketidakjelasan peranan karyawan dalam keseluruhan kegiatan organisasi, frustasi yang ditimbulkan oleh intervensi pihak lain yang terlalu sering sehingga seseorang merasa terganggu konsentrasinya, konflik antara karyawan dengan pihak lain di dalam dan di luar kelompok kerjanya, perbedaan sistem nilai yang dianut oleh karyawan dan yang dianut oleh organisasi dan perubahan yang terjadi, sehingga pada umumnya dapat menimbulkan rasa ketidakpastian. Stres yang berasal dari lingkungan luar yang dihadapi oleh seseorang, seperti masalah keuangan, perilaku negatif anak-anak, kehidupan keluarga yang tidak atau kurang harmonis, pindah tempat tinggal, ada anggota keluarga yang meninggal, kecelakaan, penyakit gawat dan perkembangan teknologi adalah beberapa contoh penyebab stres

Dari beberapa pengertian yang telah dijelaskan diatas dapat disimpulkan bahwa stressor merupakan faktor yang menimbulkan stres pada karyawan, yang disebabkan oleh adanya ketidakseimbangan antara karakteristik kepribadian karyawan dengan pekerjaan maupun lingkungannya. Hal ini dapat terjadi pada tiap orang atau karyawan pada sebuah perusahaan dalam semua kondisi pekerjaan.

(6)

2.1.2. Kategori-kategori Stressor Kerja (Job Stressor)

Faktor-faktor di pekerjaan yang bisa menimbulkan stres (job stressor) dapat dikelompokkan ke dalam empat kategori, yaitu:

1) Stressor Lingkungan Fisik

Kondisi kerja tertentu dapat menghasilkan prestasi kerja yang optimal. Disamping dampaknya terhadap prestasi kerja, kondisi kerja fisik memiliki dampak juga terhadap kesehatan mental dan keselematan kerja seorang tenaga kerja. Menurut Munandar (2001) kondisi fisik kerja mempunyai pengaruh terhadap kondisi psikologis diri seorang tenaga kerja. Ruangan kerja yang tidak nyaman, panas, sirkulasi udara yang kurang memadai, berisik, tentu besar pengaruhnya terhadap kenyamanan karyawan dalam bekerja (Jacinta, 2001).

2) Stressor Individu

A. Konflik peran (role conflict) : konflik peran dirasakan seseorang / individu ketika memenuhi kepada satu deretan harapan tentang konflik pekerjaan dengan memenuhi kepada satu deretan harapan lainnya (Gibson, 1992). Konflik peran dapat timbul jika seseorang atau individu mengalami adanya pertentangan antara tugas yang harus ia lakukan dengan tanggung jawab yang ia miliki, tugas-tugas yang harus ia lakukan menurut pandangannya bukan merupakan bagian dari pekerjaannya, tuntutan-tuntutan yang bertentangan dari atasan, rekan, bawahan, atau orang lain yang dinilai penting bagi dirinya, dan pertentangan nilai-nilai dengan keyakinan pribadinya sewaktu melakukan tugas atau pekerjaannya

(7)

(Munandar, 2001). Menurut Miles dan Perreault dalam Tobing (2007) membedakan empat jenis konflik peran, yaitu:

a. Konflik peran pribadi : tenaga kerja ingin melakukan tugas berbeda yang disarankan dalam uraian pekerjannya.

b. Konflik intrasender : tenaga kerja menerima penugasan tanpa memiliki sumber daya yang cukup untuk dapat menyelesaikan tugas dengan berhasil. c. Konflik intersender : tenaga kerja diminta berperilaku sedemikian rupa

sehingga ada orang merasa puas dengan hasilnya, sedangkan orang lain tidak. d. Peran dengan beban berlebih : tenaga kerja mendapat penugasan kerja yang

terlalu banyak dan tidak dapat ditangani dengan efektif.

B. Ambiguitas peran (role ambiguity), adalah tidak adanya pengertian dari seseorang tentang hak-hak khusus dan kewajiban-kewajiban mereka dalam mengerjakan suatu pekerjaan (Gibson, 1992). Ambiguitas peran merupakan kondisi ketidakpastian akibat dari seorang individu karena kurang mengerti dan memahami mengenai prioritas harapan dan kriteria evaluasi yang diterapkan organisasi kerjanya (Fakhrudin dan Asri, 2003). Menurut Everly dan Girdano dalam Tobing (2007) faktor-faktor yang dapat menimbulkan ambiguitas peran adalah:

a. Ketidakjelasan dari sasaran-sasaran atau tujuan kerja b. Kesamaran tentang tanggung jawab

c. Ketidakjelasan tentang prosedur kerja

(8)

e. Kurang adanya informasi tentang balikan atau ketidakpastian tentang penilaian pekerjaan.

Ambiguitas peran (role ambiguity) berpengaruh terhadap menurunnya penggunaan keterampilan intelektual, pengetahuan, dan kepemimpinan (Gibson, 1992).

C. Beban kerja berlebih (work overload), situasi yang menunjukkan tingkat dimana tuntutan peran dan pekerjaan melebihi sumber daya individu dan organisasi kerjanya, dan akibatnya karyawan tidak dapat menyelesaikan tugas pekerjaan sesuai yang diharapkan (Fakhrudin dan Asri, 2003). Beban kerja berlebih memiliki dua tipe yang berbeda, yaitu beban berlebih kualitatif terjadi jika pekerjaan tersebut sangat kompleks dan sulit sehingga menyita kemampuan teknis dan kognitif karyawan dan beban kerja kuantitatif jika banyaknya pekerjaan yang ditargetkan melebihi kapasitas karyawan (Jacinta, 2001). Beban berlebih secara tidak langsung bertanggung jawab terhadap menurunya kualitas pengambilan keputusan, merusak hubungan antar pribadi dan meningkatnya angka kecelakaan. Beban kerja berlebih berakibat pada lebih rendahnya kepercayaan diri, menurunnya motivasi kerja, dan meningkatnya absensi (Gibson, 1992).

D. Tidak ada control, stressor besar yang dialami oleh banyak karyawan adalah tidak adanya pengendalian atas suatu situasi, langkah kerja, urutan kerja, pengambilan keputusan, waktu yang tepat, penetapan standar kualitas sendiri,

(9)

E. Tanggung jawab, dibedakan dengan menggunakan istilah tanggung jawab bagi orang vs tanggung jawab bagi sesuatu. Perawat bagian UGD, ahli bedah syaraf, dan pengatur lalu lintas udara memiliki tanggung jawab yang tinggi bagi orang. Suatu studi mendapatkan dukungan bagi hipotesa bahwa tanggung jawab bagi orang menyumbang stres yang berhubungan dengan kerja (Gibson, 1992).

3) Stressor Kelompok

Hubungan yang baik antar anggota dari satu kelompok kerja dianggap sebagai faktor utama dalam kesehatan individu dan organisasi. Hubungan kerja yang tidak baik (antar sesama rekan, atasan, dan bawahan) terungkap dalam gejala-gejala adanya kepercayaan rendah, taraf pemberian dukungan yang rendah, dan minat yang rendah dalam pemecahan masalah organisasi (Munandar, 2001). .

4) Stressor Organisasional

Faktor stres yang ditemukan dalam kategori ini terpusat pada sejauh mana para karyawan dapat terlibat atau berperan serta dalam mengambil keputusan. Partisipasi menunjuk pada luasnya pengetahuan, opini, dan ide seseorang termasuk didalam proses keputusan. Kurangnya partisipasi para karyawan dalam mengambil keputusan dapat memberi sumbangan pada stres. Peningkatan peluang untuk berperan serta menghasilkan peningkatan unjuk kerja dan peningkatan taraf dari kesehatan mental dan fisik (Munandar, 2001).

2.1.3. Sumber Stres (Stressor) Pekerjaan

Stressor adalah peristiwa eksternal atau situasi yang secara potensial membahayakan seseorang (Ivancevich, dkk., 2006). Sebagian besar dari waktu

(10)

manusia digunakan untuk bekerja, oleh karena itu lingkungan pekerjaan mempunyai pengaruh yang besar terhadap kesehatan seseorang yang bekerja. Sumber stres yang dapat mempengaruhi kesehatan seseorang dalam lingkup pekerjaannya dapat lebih dari satu macam stresor.

1. Peran Individu Dalam Organisasi

Setiap pekerja bekerja dengan perannya masing-masing, artinya setiap pekerja mempunyai tugas-tugas yang ia lakukan sesuai dengan yang diharapkan oleh perusahaan tempat ia bekerja. Walaupun demikian, pekerja tidak selalu berhasil dalam menjalankannya. Kurang berfungsinya peran adalah merupakan salah satu pembangkit stres yaitu berupa konflik peran (role conflict) dan ketaksaan peran (role ambiguity) (Ivancevich, dkk., 2006).

a. Ketaksaan Peran (Role Ambiguity)

Terjadi bila tidak ada informasi yang jelas mengenai prosedur yang harus dilakukan seseorang, termasuk kertidakjelasan tujuan objektif pekerjaan dan ruang lingkup tanggungjawab seseorang. Stres timbul karena ketidakjelasan itu sendiri atau ketidakmampuan individu untuk menempatkan diri pada posisi yang tepat.

b. Konflik Peran (Role Conflict)

Terjadi bila terdapat dua atau lebih harapan yang saling berkompetisi untuk mendapatkan pemuasan secara berrsamaan tidak dapat terpenuhi. Konflik dapat terjadi apabila seseorang mempunyai beberapa peran sekaligus namun tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi keduanya. Sehingga individu tersebut mengalami stres.

(11)

c. Pengembangan Karir

Merupakan pembangkit stres yang sangat potensial yang mencakup ketidakpastian pekerjaan (job insecurity), promosi yang berlebihan (over promotion)

dan promosi yang kurang (under promotion) (Sopiah, 2008). d. Hubungan di Dalam Pekerjaan

Komunikasi dengan orang lain adalah hal yang dibutuhkan oleh setiap orang, namun hal tersebut dapat menjadi sumber stres. Kondisi hubungan kerja antara sesama rekan kerja atau atasan dapat mempengaruhi kondisi stres pekerja. Penelitian menunjukkan bahwa tingginya tingkat dukungan sosial dari teman kerja maupun atasan dapat menghilangkan stres.

e. Struktur dan Iklim Organisasi

Beberapa faktor seperti kebijakan perusahaan, komunikasi yang tidak efektif, tidak disertakan dalam pengambilan keputusan dan pembatasan perilaku diduga menjadi penyebab timbulnya stres. Penelitian menunjukkan bahwa dukungan dari perusahaan kepada pekerja dapat meningkatkan produktivitas, kepercayaan diri serta menurunkan tingkat gangguan fisik dan mental.

2. Beban Kerja

Beban kerja dibedakan atas beban kerja berlebih (work overload) dan beban kerja terlalu sedikit (work underload). Dibedakan lagi atas beban kerja berlebih kuantitatif dan beban kerja berlebih kualitatif.

(12)

a. Beban Kerja Berlebih Kuantitatif

Beban kerja berlebih secara kuantitatif terutama berhubungan dengan desakan waktu. Setiap tugas diharapkan dapat diselesaikan secepat mungkin secara tepat dan cermat. Berdasarkan kondisi ini, orang harus bekerja berkejaran dengan waktu. Sampai taraf tertentu, adanya batas waktu (deadline) dapat meningkatkan motivasi. Namun bila desakan waktu melebihi kemampuan individu maka dapat menimbulkan banyak kesalahan dan menyebabkan kondisi kesehatan seseorang berkurang.

b. Beban Kerja Kuantitatif Terlalu Sedikit

Dengan adanya penggunaan mesin di dunia kerja akan berdampak pada pekerja dikarenakan sering terjadi efisiensi kerja. Pada pekerjaan sederhana yang banyak melakukan pengulangan gerak akan menimbulkan rasa bosan yang dapat menjadi sumber stres.

c. Beban Kerja Berlebih Kualitatif

Dengan kemajuan tekhnologi membuat pekerjaan yang menggunakan tangan menjadi berkurang sehingga lama kelamaan titik berat pekerjaan beralih ke pekerjaan otak. Pekerjaan makin menjadi majemuk dan mengakibatkan adanya beban berlebih kualitatif. Semakin tinggi tingkat stres apabila kemajemukannya memerlukan teknik dan intelektual yang lebih tinggi daripada yang dimiliki pekerja. Sampai pada titik tertentu, hal ini dapat menjadi tantangan kerja dan motivasi. Namun apabila melebihi kemampuan individu maka akan timbul kelelahan mental, reaksi emosional, juga reaksi fisik yang merupakan respon dari stres.

(13)

d.Beban Kerja Kuantitatif dan Kualitatif Berlebih

Proses pengambilan keputusan merupakan suatu kombinasi yang unik dari kondisi beban kuantitatif dan kualitatif berlebih. Faktor – faktor yang dapat menentukan besarnya stres dalam mengambil keputusan adalah akibat dari suatu keputusan, derajat kemajemukan keputusan, siapa yang bertanggungjawab dan lain sebagainya.

3. Faktor Intrinsik dalam Pekerjaan

Yang dimaksud dalam faktor intrinsic ialah kondisi pekerjaan yang buruk, kerja gilir (shift), beban kerja berlebih, beban kerja terlalu sedikit dan hubungan antar karyawan.

a. Kondisi Fisik Pekerjaan

Beberapa stresor fisik yang biasa dijumpai pada lingkungan kerja yang dapat memperburuk stres di tempat kerja adalah bising, suhu, pencahayaan, masalah ergonomi, getaran, sanitasi lingkungan, dan tata ruang (Munandar, 2001)

1) Bising

Selain dapat menimbulkan gangguan sementara atau tetap pada alat pendengaran, juga dapat merupakan stresor kerja yang menyebabkan penurunan kewaspadaan. Hal ini dapat memudahkan timbulnya kecelakaan kerja. Pajanan terhadap bising dapat menimbulkan rasa lelah, sakit kepala, lekas tersinggung, dan ketidakmampuan untuk berkonsentrasi. Akibat paparan tersebut dalam bentuk perilaku misalnya akan terjadi penurunan produktivitas kerja, terjadinya kecelakaan

(14)

kerja, penurunan perilaku membantu, bersikap lebih negatif terhadap oranglain, rasa bermusuhan yang lebih terbuka dan agresi.

Tingkat kebisingan yang nyaman pada umumnya diharapkan antara 40 – 60 dB. Pengukuran kebisingan ini dilakukan dengan Sound Level Meter (SLM).

2) Panas

Kondisi suhu suatu lingkungan kerja berhubungan dengan iklim dan lokasi kerja. Efek dari kondisi suhu selama melakukan pekerjaan tergantung pada jenis pakaian yang digunakan, lama terpajan, temperatur, arus angin, jumlah panas radiasi, dan status kesehatan tenaga kerja yang terpajan. Fungsi mental dapat terganggu karena heat stress, yang ditandai dengan gejala awal berupa perubahan pada tingkat aktivitas seseorang.

Untuk Indonesia, suhu nyaman adalah 24oC - 28 oC. Perbedaan suhu di dalam dan di luar ruangan sebaiknya tidak lebih dari 5 oC. Sehingga dapat diketahui bahwa suhu di luar ruangan sebaiknya tidak lebih dari 33 o

3) Pencahayaan

C.

Tiap-tiap pekerjaan memerlukan tingkat pencahayaan tersendiri. Biasanya untuk pekerjaan yang membutuhkan tingkat ketelitian tinggi akan diberikan tambahan pencahayaan disamping pencahayaan umum. Sistim pencahayaan yang buruk dapat menimbulkan ketidaknyamanan dan kelelahan mata sehingga dapat menimbulkan stres kerja.

(15)

4) Faktor Ergonomi

Dapat menimbulkan masalah seperti ketidaknyamanan, kelelahan dan meningkatkan stres kerja apabila tidak disesuaikan dengan kondisi tuntutan pekerjaan.

5) Sanitasi Lingkungan Kerja

Lingkungan yang kotor dan tidak sehat merupakan salah satu stresor kerja. Pada pekerja industri / pabrik sering menggambarkan kondisi kotor, akomodasi pada waktu istirahat yang kurang baik, juga toilet yang kurang memadai. Hal ini dinilai oleh pekerja sebagai faktor penyebab stres.

b. Kerja Gilir (Shift)

Penelitian menunjukkan bahwa kerja shift merupakan sumber yang berpotensi untuk terjadinya stres kerja bagi pekerja di pabrik (Monk & Tepas, 2001). Menurut Cooper (dalam Munandar, 2001) shift kerja merupakan tuntutan tugas yang dapat menyebabkan stres kerja. Pengaruhnya adalah emosional dan biologis karena gangguan ritme circadian dari tidur / daur keadaan bangun (wake cycle), pola suhu, dan ritme pengeluaran adrenalin. Sharpe (dalam Maurits & Widodo, 2008) menyatakan bahwa pekerja pada shift malam memiliki resiko 28 % lebih tinggi mengalami cidera atau kecelakaan.

Ditambahkan pula oleh Wijono (2006), pekerja yang mengalami stres rendah mempunyai jumlah jam kerja/minggu antara 37 hingga 40 jam, sedangkan pekerja yang mengalami stres kerja sedang mempunyai jumlah jam kerja/minggu antara 61

(16)

hingga 71 jam. Sebaliknya, pekerja yang mengalami stres kerja tinggi mempunyai jumlah jam kerja/minggu antara 41 hingga 60 jam.

4. Faktor Individu

Kepekaan individu dipengaruhi oleh banyak hal, antara lain ciri kepribadian dan pola perilaku yang didasarkan pada sikap, kebutuhan, nilai-nilai, pengalaman masa lalu, keadaan kehidupan, usia dan kecakapan (intelegensia, pendidikan, pelatihan dan pembelajaran). Faktor-faktor inilah yang menentukan bagaimana individu bereaksi terhadap stres potensial.

a. Kepribadian

Kepribadian merupakan faktor predisposisi dalam menentukan respon tubuh terhadap stres. Kepribadian tipe A dan B merupakan jenis-jenis kepribadian yang terdapat pada individu. Kepribadian tipe A bercirikan perilaku yang agresif, tak sabaran, cenderung berkompetisi, tergesa-gesa, sering menelantarkan aspek-aspek kehidupan seperti keluarga dan sosial. Sedangkan keperibadian tipe B, digambarkan sebagai individu easy going dan santai.

b. Kecakapan

Kecakapan meliputi intelegensia, pendidikan, latihan dan keahlian. Individu yang tidak mampu memecahkan masalah namun situasi tersebut merupakan ancaman bagi dirinya dan ia mengalami stres dan menimbulkan ketidakberdayaan, disebut

distress. Sebaliknya, jika merasa mampu, dan merasa ditantang dan motivasinya meningkat, maka dinamakan eustress. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang

(17)

maka semakin banyak target yang dibuat. Hal ini akan berpotensi menimbulkan stres apabila individu tersebut tidak dapat mencapainya.

c. Umur

Umur merupakan faktor yang sangat rentan untuk terjadinya gangguan mental emosional. Seiring bertambahnya umur, maka semakin rentan individu mengalami gangguan mental emosional. Walaupun demikian, orang yang berumur sangat muda dan sangat tua lebih mudah mengalami gangguan mental emosional apabila menghadapi stres.

d. Jenis Kelamin

Faktor perbedaan jenis kelamin berpengaruh untuk beradaptasi terhadap stres. Banyak penelitian yang menunjukkan tidak adanya perbedaan yang bermakna antara pria dan wanita. Secara biologis, pekerja wanita dan pria berbeda terutama untuk pekerjaan yang menuntut aktivitas fisik berlebih. Dalam kondisi ini wanita cenderung lebih mudah mengalami stres daripada pria.

2.1.4. Aspek-aspek Stres Kerja

Beehr dan Newman (dalam Rice, 1999) mendefinisikan stres kerja sebagai tuntutan pekerjaan yang berlebihan melebihi kemampuan pekerja meliputi interaksi antara kondisi pekerjaan dengan sikap individu yang mengubah kondisi normal dan fungsi psikologis pekerja sehingga menyebabkan orang merasa sakit, tidak nyaman atau tegang karena pekerjaan, tempat kerja atau situasi kerja yang tertentu. Ditambahkan pula oleh International Department of Labour dalam bukunya yang berjudul Stress and Fatigue (1998) yang mendefinisikan stres dalam istilah interaksi

(18)

antara seseorang dengan lingkungannya dan kesadaran pada ketidakmampuannya untuk mengatasi tuntutan tersebut yang terealisasi pada individu disertai dengan respons emosional.

Stres kerja oleh Riggio (2003) didefinisikan sebagai interaksi antara seseorang dan situasi lingkungan atau stresor yang mengancam atau menantang sehingga menimbulkan reaksi pada fisiologis maupun psikologis pekerja. Selain itu Rice (1999) juga menyatakan bahwa stres kerja yang terjadi pada individu meliputi gangguan psikologis, fisiologis, perilaku, dan gangguan pada organisasi. Selain itu, pekerja yang mengalami stres tidak hanya dikarenakan di dalam perusahaan, mungkin saja karena masalah rumah tangga yang terbawa ke pekerjaan dan masalah pekerjaan yang terbawa ke rumah tangga (Rice, 1999). Oleh karena itu, perusahaan harus bisa melihat stresor yang terdapat di lingkungan tempat kerja yang dapat mengganggu keseimbangan fisiologi dan psikologis.

Menurut Siagian (2005) stres merupakan interaksi antara seseorang dengan lingkungannya dengan ciri ketegangan emosional yang mempengaruhi kondisi fisik dan mental seseorang. Terdapat tiga kelompok ”stressor” dalam kehidupan seseorang, yaitu faktor-faktor lingkungan, faktor-faktor organisasional, dan faktor-faktor individual. Faktor-faktor lingkungan merupakan salah satu faktor penyebab seseorang menghadapi stres yang menyangkut masalah-masalah ketidakpastian dalam bidang ekonomi, politik dan dampak dari perkembangan teknologi. Menurut Szilagyi yang diacu Gitosudarmono dan Sudita (2000) stres adalah pengalaman yang bersifat

(19)

seseorang sebagai akibat dari faktor lingkungan eksternal, organisasi atau orang lain. Menurut Mangkunegara (2001) stres kerja juga dapat berarti perasaan tertekan yang dialami karyawan dalam menghadapi pekerjaan. Stres kerja ini tampak dari simptom, antara lain emosi tidak stabil, perasaan tidak tenang, suka menyendiri, sulit tidur, merokok yang berlebihan, tidak bisa rileks, cemas, tegang, gugup, tekanan darah meningkat, dan mengalami gangguan pencernaan.

Menurut Handoko (2001) stres adalah suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses berpikir dan kondisi seseorang. Stres yang terlalu besar dapat mengancam kemampuan seseorang untuk menghadapi lingkungan. Sebagai hasilnya, pada diri para karyawan berkembang berbagai macam gejala stres yang dapat mengganggu pelaksanaan kerja mereka yang menyangkut baik kesehatan fisik maupun kesehatan mental.

Menurut Arep dan Tanjung (2003) stres adalah suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses berpikir dan kondisi seseorang. Orang yang mengalami stres menjadi tegang dan merasakan kekhawatiran kronis sehingga mereka sering menjadi marah-marah, agresif, tidak dapat relaks atau memperlihatkan sikap yang tidak kooperatif.

Menurut Robbins (2003) stres adalah suatu kondisi dinamik yang didalamnya seorang individu dikonfrontasikan dengan suatu peluang, kendala (constraints) atau tuntutan (demands) yang dikaitkan dengan apa yang sangat diinginkannya dan yang hasilnya dipersepsikan sebagai tidak pasti dan penting. Stres dengan tidak sendirinya harus buruk, walupun stres lazimnya dibahas dalam konteks negatif, stres juga

(20)

memiliki nilai positif. Stres merupakan suatu peluang bila stres itu menawarkan perolehan yang potensial.

Menurut Siagian (2005) salah satu masalah yang pasti akan dihadapi oleh setiap orang dalam kehidupan berkarya adalah stres yang harus diatasi, baik oleh karyawan sendiri tanpa bantuan orang lain, maupun dengan bantuan pihak lain seperti para spesialis yang disediakan oleh organisasi dimana karyawan bekerja. Stres merupakan kondisi ketegangan yang berpengaruh terhadap emosi, jalan pikiran dan kondisi fisik seseorang. Stres yang tidak diatasi dengan baik biasanya berakibat pada ketidakmampuan seseorang berinteraksi secara positif terhadap lingkungannya, baik dalam arti lingkungan pekerjaan maupun diluarnya. Menurut Rivai (2006) Stres kerja adalah suatu kondisi ketegangan yang menciptakan adanya ketidakseimbangan fisik dan psikis, yang mempengaruhi emosi, proses berfikir dan kondisi seorang karyawan. Stres yang terlalu besar dapat mengancam kemampuan seseorang untuk menghadapi lingkungan. Sebagai hasilnya, pada diri karyawan berkembang berbagai macam gejala stres yang dapat mengganggu pelaksanaan kerja.

Pengertian di atas dapat dikemukakan bahwa ada tiga komponen utama dari stres yaitu komponen stimulus, komponen respon, dan komponen interaksi. Pertama, komponen stimulus meliputi kekuatankekuatan yang menyebabkan adanya ketegangan atau stres, stimulus stres dapat berasal dari lingkungan ekternal, organisasi dan individu. Kedua, komponen respon meliputi reaksi fisik, psikis atau perilaku terhadap stres. Paling tidak ada dua respon terhadap stres yang paling sering

(21)

diidentifikasi yaitu frustasi dan gelisah. Ketiga, komponen interaksi dari stres yaitu interaksi antara faktor stimulus dengan faktor respon dari stres.

Sumber Potensial Konsekuensi

Gambar 2.2. Model Stres (Robbins, 2003)

Stres adalah pengalaman emosional negatif yang disertai dengan perubahan

biochemical, fisiologis, kognitif, dan perubahan tingkah laku yang dapat diukur dan secara langsung berubah atau terakomodasi karena adanya situasi yang menekan

(stressful event) (Baum, dalam Taylor, 2006). Begitu pula dengan Brousseau dan Faktor Lingkungan : a. Ketidakpastian ekonomi b. Ketidakpastian politis c. Ketidakpastian teknologis Faktor Organisasi : a. Tuntutan tugas b. Tuntutan peran c. Tuntutan antar pribadi d. Struktur organisasi e. Kepemimpinan organisasi f. Tahap hidup organisasi Faktor Individual : a. Masalah keluarga b. Masalah ekonomi c. Kepribadiaan Perbedaan Individu : a. Persepsi b. Pengalaman pekerjaan c. Dukungan moral d. Keyakinan akan tempat kedudukan kendali e. Sikap bermusuhan Pengalaman Stres Gejala Fisiologis : a. Sakit kepala b. Tekanan darah tinggi c. Penyakit jantung, hati Gejala Psikologis : a. Murung b. Berkurangnya c. Kepuasaan kerja d. Kecemasan Gejala Perilaku : a. Produktivitas b. Kemangkiran c. Tingkat keluarnya karyawan

(22)

Prince (dalam Rahayu, 2000) mengatakan bahwa stres kerja dipandang sebagai kondisi psikologik yang tidak menyenangkan yang timbul karena pekerja merasa terancam dalam bekerja. Perasaan terancam ini disebabkan hasil persepsi dan penilaian pekerja yang menunjukkan adanya ketidakseimbangan atau ketidaksesuaian antara karakteristik tuntuntan-tuntutan pekerjaan dengan kemampuan dan kepribadian pekerja.

Pernyataan lainnya dikemukakan oleh Beehr dan Franz (dikutip dari Bambang Tarupolo, 2002) menyatakan bahwa stres kerja adalah respons penyesuaian terhadap situasi eksternal dalam perkerjaan yang menyebabkan penyimpangan secara fisik, psikologis, dan perilaku pada orang-orang yang berpartisipasi dalam organisasi (dalam Rice,1999). Shinn (dalam Rahayu, 2000) juga menyatakan bahwa adalah kondisi lingkungan kerja yang bersifat negatif yang dihadapi oleh karyawan dan menimbulkan respons pekerja terhadap kondisi tersebut, baik respons yang bersifat patologik maupun fisiologik, namun timbul atau tidaknya stres kerja ini tergantung persepsi serta reaksi individu terhadap kondisi tersebut.

Pernyataan yang telah dikemukakan diatas dikategorikan menjadi beberapa kategori menurut Beehr dan Newman (dalam Rice, 1999) yaitu :

a. Aspek Fisiologis

Stres kerja sering ditunjukkan pada simptoms fisiologis. Penelitian dan fakta oleh ahli-ahli kesehatan dan kedokteran menunjukkan bahwa stres kerja dapat mengubah metabolisme tubuh, menaikkan detak jantung, mengubah cara bernafas,

(23)

menyebabkan sakit kepala, dan serangan jantung. Beberapa yang teridentifikasi sebagai simptoms fisiologis adalah:

1) Meningkatnya detak jantung, tekanan darah,dan risiko potensial terkena gangguan kardiovaskuler.

2) Mudah lelah fisik

3) Kepala pusing, sakit kepala 4) Ketegangan otot

5) Gangguan pernapasan, termasuk akibat dari sering marah (jengkel). 6) Sulit tidur, gangguan tidur

7) Sering berkeringat, telapak tangan berkeringat 8) Meningkatnya kadar gula dan tekanan darah b. Aspek Psikologis

Stres kerja dan gangguan gangguan psikologis adalah hubungan yang erat dalam kondisi kerja. Simptoms yang terjadi pada aspek psikologis akibat dari stres adalah :

1) Kecemasan, ketegangan

2) Mudah marah, sensitif dan jengkel 3) Kebingungan, gelisah

4) Depresi, mengalami ketertekanan perasaan 5) Kebosanan

6) Tidak puas terhadap pekerjaan 7) Menurunnya fungsi intelektual

(24)

8) Kehilangan konsentrasi. 9) Hilangnya kreativitas.

10) Tidak bergairah untuk bekerja 11) Merasa tidak berdaya

12) Merasa gagal 13) Mudah lupa

14) Rasa percaya diri menurun 2.1.5. Gejala-gejala Stres

Menurut Siagian (2004) gejala-gejala stres kerja dapat timbul dalam berbagai bentuk yang tampak pada diri seseorang. Bentuk-bentuk tersebut dapat digolongkan pada tiga kategori antara lain:

1. Kategori fisiologis antara lain adalah perubahan yang terjadi pada metabolisme seseorang, gangguan pada cara bekerja jantung, gangguan pada pernafasan, tekanan darah tinggi, pusing dan serangan jantung.

2. Kategori psikologis antara lain adalah ketegangan, resah, mudah tersinggung, kebosanan dan bersikap suka menunda sesuatu tugas atau pekerjaan.

3. Kategori perilaku antara lain adalah menurunnya produktivitas kerja, tingkat kemangkiran tinggi, keinginan pindah organisasi, cara bicara yang berubah, gelisah, sukar tidur, merokok dan minum-minum.

Menurut Siagian (2005) gejala-gejala stres dapat dilihat pada perilaku yang tidak normal seperti gugup, tegang, selalu cemas, adanya gangguan pencernaan,

(25)

seperti minum-minuman keras, merokok secara berlebihan, sukar tidur, tidak bersahabat, putus asa, mudah marah, sukar mengendalikan diri dan bersifat agresif. Stres yang dapat timbul karena adanya tekanan atau ketegangan yang bersumber pada ketidakselarasannya seseorang dengan lingkungan dan apabila saran dan tuntutan tugas tidak selaras dengan kebutuhan dan kemampuan seseorang maka ia akan mengalami stres, stres juga dapat melahirkan suatu tantangan bagi yang bersangkutan.

Gejala- gejala stres kerja dapat berupa letih dan lelah, kecewa, perasaan tidak berdaya, gangguan tidur, kegelisahan, ketegangan, kecemasan, cepat marah, kehilangan rasa percaya diri, perasaan kesepian atau keterasingan, makan terlalu sedikit, mudah tersinggung, berdebar- debar dan sulit berkonsentrasi (Bambang Tarupolo, 2002). Menurut Munandar (2001) gejala- gejala stres di tempat kerja sebagai berikut:

a. Tanda- tanda Suasana Hati (Mood )

Individu menjadi overexcited, cemas, merasa tidak pasti, sulit tidur malam hari, menjadi mudah bingung dan lupa, menjadi sangat tidak enak dan gelisah, menjadi gugup.

b. Tanda- tanda Otot Kerangka (Musculoskeletal)

Jari- jari dan tangan gemetar, tidak dapat duduk diam atau berdiri di tempat, mengembangkan tic (gerakan tidak sengaja), kepala mulai sakit, merasa otot menjadi tegang atau kaku, menggagap ketika bicara, leher menjadi kaku.

(26)

c. Tanda- tanda Organ- organ Dalam Badan (Viseral)

Perut terganggu, merasa jantung berdebar, banyak keringat, tangan berkeringat, merasa kepala ringan atau akan pingsan, mengalami kedinginan, wajah menjadi panas, mulut menjadi kering, mendengar bunyi berdering dalam kuping. Carry Cooper dan Alison Straw (2000) membagi gejala stres kerja menjadi tiga yaitu :

a. Gejala Fisik

Gejala stres menyangkut fisik bisa mencakup nafas memburu, mulut dan kerongkongan kering, tangan lembab, merasa panas, otot tegang, pencernaan terganggu, mencret-mencret, sembelit, letih yang tak beralasan, sakit kepala, salah urat dan gelisah.

b. Gejala - gejala Dalam Wujud Perilaku

Gejala stres yang menjelma dalam wujud perilaku, mencakup:

1) Perasaan, berupa bingung, cemas, dan sedih, jengkel, salah paham, tak berdaya, tak mampu berbuat apa- apa, gelisah, gagal, tak menarik, kehilangan semangat. 2) Kesulitan dalam berkonsentrasi, berfikir jernih, membuat keputusan.

3) Hilangnya kreatifitas, gairah dalam penampilan, minat terhadap orang lain. c. Gejala - gejala Di Tempat Kerja

Sebagian besar waktu bagi pekerja berada di tempat kerja, dan jika dalam keadaan stres, gejala- gejala dapat mempengaruhi kita di tempat kerja, antara lain: 1) Kepuasan kerja rendah

(27)

3) Semangat dan energi hilang 4) Komunikasi tidak lancar 5) Pengambilan keputusan jelek 6) Kreatifitas dan inovasi berkurang

7) Bergulat pada tugas- tugas yang tidak produktif. 2.1.6. Dampak Stres

Stres kerja tidak hanya berpengaruh pada individu, namun juga terhadap biaya organisasi dan industri. Begitu besar dampak dari stres kerja, oleh para ahli perilaku organisasi telah dinyatakan sebagai agen penyebab dari berbagai masalah fisik, mental, bahkan output organisasi (Yun Iswanto, 1999 dan Gabriel & Marjo, 2001). Menurut Gibson dkk (2006), dampak dari stres kerja banyak dan bervariasi. Dampak positif dari stres kerja diantaranya motifasi pribadi, rangsangan untuk bekerja lebih keras, dan meningkatnya inspirasi hidup yang lebih baik. Meskipun demikian, banyak efek yang mengganggu dan secara potensial berbahaya. Cox (dalam Gibson, dkk., 2000), membagi menjadi 5 (lima) kategori efek dari stres kerja yaitu :

a. Subyektif berupa kekhawatiran atau ketakutan, agresi, apatis, rasa bosan, depresi, keletihan, frustasi, gangguan emosi, penghargaan diri yang rendah, gugup, kesepian.

b. Perilaku berupa mudah mendapat kecelakaan, kecanduan alkohol, penyalahgunaan obat, luapan emosional, makan atau merokok secara berlebihan, perilaku impulsif, tertawa gugup.

(28)

c. Kognitif berupa ketidakmampuan untuk membuat keputusan yang masuk akal, daya konsentrasi rendah, kurang perhatian, sangat sensitiv terhadap kritik, hambatan mental.

d. Fisiologis berupa kandungan glukosa darah meningkat, denyut jantung dan tekanan darah meningkat, mulut kering, berkeringat, bola mata melebar, panas, dan dingin.

e. Organisasi berupa angka absensi, omset, produktivitas rendah, terasing, dari mitra kerja, komitmen organisasi dan loyalitas berkurang.

Selain efek tersebut terdapat juga efek stres yang lain yaitu perilaku tidak produktif dan menarik diri seperti lekas marah, kecanduan alkohol, penyalahgunaan obat, dan tindakan legal (hukum) secara khusus mengganggu dalam bentuk hilangnya produktivitas. Menurut Tarupolo (2002), pekerja yang tidak mampu bereaksi secara baik terhadap stres yang dialami, kesehatan jiwanya akan terganggu dan karenanya kualitas hidup dan produktivitasnya menjadi rendah. pekerja tersebut akan menunjukkan:

1) Sering mengeluh sakit dan berobat 2) Malas dan sering mangkir

3) Sering membuat kesalahan dalam pekerjaan dan cenderung mengalami kecelakaan kerja

4) Sering marah dan tidak mampu menyesuaikan diri dengan baik 5) Tidak peduli dengan lingkungan, bingung dan pelupa

(29)

7) Terlibat penyalahgunaan narkoba

8) Terlibat tindak sabotase di lingkungan kerja.

Stres kerja dapat mengakibatkan hal- hal sebagai berikut:

a. Penyakit fisik yang diinduksi oleh stres yaitu penyakit jantung koroner, hipertensi, gangguan menstruasi, gangguan pencernaan, mual, muntah, dan sebagainya.

b. Kecelakaan kerja: terutama pada pekerjaan yang menuntut kinerja yang tinggi, bekerja bergiliran (shift), penyalahgunaan zat aditif

c. Absen: pegawai yang sulit menyelesaikan pekerjaan sebab tidak hadir karena pilek, sakit kepala.

d. Lesu kerja: pegawai kehilangan motivasi bekerja

e. Gangguan jiwa: mulai dari gangguan yang mempunyai efek yang ringan dalam kehidupan sehari-hari sampai pada gangguan yang mengakibatkan ketidakmampuan yang berat. Gangguan jiwa ringan seperti mudah gugup, tegang, marah- marah, mudah tersinggung, kurang berkonsentrasi, apatis dan depresi. Perubahan perilaku berupa kurang partisipasi dalam pekerjaan, mudah bertengkar, terlalu mudah mengambil resiko. Gangguan yang lebih jelas lagi dapat berupa depresi, gangguan cemas (Laurentius Panggabean, 2003).

Jacinta (2002) juga menyatakan bahwa stres kerja dapat juga mengakibatkan hal- hal sebagai berikut:

(30)

a. Dampak terhadap Perusahaan

1) Terjadinya kekacauan, hambatan baik dalam manajemen maupun operasional kerja

2) Mengganggu kenormalan aktivitas kerja 3) Menurunnya tingkat produktivitas

4) Menurunkan pemasukan dan keuntungan perusahaan.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Randall Schuller, stress yang dihadapi pekerja berhubungan dengan penurunan prestasi kerja, peningkatan ketidakhadiran kerja dan kecenderungan mengalami kecelakaan. Demikian pula jika banyak diantara pekerja di tempat kerja mengalami stres kerja, maka produktivitas dan kesehatan organisasi itu akan terganggu.

b. Dampak terhadap Individu

Munculnya masalah- masalah yang berhubungan dengan:

1) Kesehatan, dimana banyak penelitian yang menemukan adanya akibat-akibat stres terhadap kesehatan seperti jantung, gangguan pencernaan, darah tinggi, maag, alergi, dan beberapa penyakit lainnya.

2) Psikologis, apabila stres berkepanjangan akan menyebabkan ketegangan dan kekuatiran yang terus menerus yang disebut stres kronis. Stres kronis sifatnya menggerigoti dan menghancurkan tubuh, pikiran dan seluruh kehidupan penderitanya secara perlahan- lahan.

(31)

persepsi dalam membaca dan mengartikan suatu keadaan, pendapat dan penilaian, kritik, nasehat, bahkan perilaku orang lain. Orang stres sering mengaitkan segala sesuatu dengan dirinya. Pada tingkat stres yang berat, orang bisa menjadi depresi, kehilangan rasa percaya diri dan harga diri.

Menurut Robbins (2003) konsekuensi yang timbul dari penyebab stres dapat dibagi dalam tiga kategori umum:

1. Gejala Fisiologis

Perhatian utama atas stres diarahkan pada gejala fisiologis, stres dapat menciptakan perubahan dalam metabolisme, meningkatkan laju detak jantung dan pernapasan, meningkatkan tekanan darah, menimbulkan sakit kepala dan menyebabkan serangan jantung. Hubungan antara stres dan gejala fisiologi sulit diukur secara objektif, ada sedikit hubungan yang konsisten yaitu pada perilaku dan sikap.

2. Gejala Psikologis

Stres yang berkaitan dengan pekerjaan dapat menimbulkan ketidakpuasan yang berkaitan dengan pekerjaan. Tetapi stres dapat muncul dalam keadaan psikologis lain misalnya: ketegangan, kecemasan, mudah marah, kebosanan dan suka menunda-nunda.

3. Gejala Perilaku

Gejala stres yang berkaitan dengan perilaku mencakup perubahan dalam produktivitas, absensi, dan tingkat keluar-masuknya karyawan, juga perubahan dalam

(32)

kebiasaan makan, meningkatnya merokok, konsumsi alkohol, bicara cepat, gelisah dan gangguan tidur.

2.1.7. Tindakan-tindakan untuk Mengurangi Stres

Menurut Davis dan Newstrom (1985) ada beberapa cara untuk mengurangi stres, melalui tiga pendekatan yaitu:

1. Meditasi

Meditasi mencakup pemusatan pikiran untuk menenangkan fisik dan emosi. Meditasi membantu menghilangkan stres duniawi secara temporer dan mengurangi gejala-gejala stres. Jenis meditasi yang populer adalah meditasi transendental. Pada umumnya meditasi memerlukan unsur berikut:

a) Lingkungan yang relatif tenang b) Posisi yang nyaman

c) Rangsangan mental yang repetitif d) Sikap yang pasif

2. Biofeedback

Suatu pendekatan yang berbeda terhadap suasana kerja yang mengandung stres. Dengan biofeedback orang di bawah bimbingan medis belajar dari umpan balik instrumen untuk mempengaruhi gejala stres, sehingga dapat membantu dalam mengurangi efek stres yang tidak diinginkan.

3. Personal Wellness

Program pembinaan preventif bagi personal wellness lebih baik dalam mengurangi penyebab stres dengan metode-metode penanggulangan membantu

(33)

Menurut Gitosudarmo dan Sudita (2000) cara mengatasi stres dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu pendekatan individu dan organisasi. Bagi individu penting dilakukannya penanggulangan stres karena stres dapat mempengaruhi kehidupan, kesehatan, produktivitas dan penghasilan. Sedangkan bagi organisasi bukan karena alasan kemanusiaan tetapi juga karena pengaruhnya terhadap prestasi semua aspek dari organisasi dan efektivitas organisasi secara keseluruhan. Perbedaan penanggulangan stres antara pendekatan individu dengan pendekatan organisasi tidak dibedakan secara tegas, pengurangan stres dapat dilakukan pada tingkat individu organisasi maupun kedua duanya. Tabel berikut menyajikan dua pendekatan dalam menanggulangi stres.

Tabel 2.1 Penanggulangan Stres secara Individual dan Organisasi

Secara Individual Secara Organisasi

1) Meningkatkan keimanan 2) Melakukan meditasi dan

pernapasan

3) Melakukan kegiatan olah raga 4) Melakukan rileksasi

5) Dukungan sosial dari teman-teman dan keluarga

6) Menghindari kebiasan rutin yang Membosankan

1) Melakukan perbaikan iklim organisasi

2) Melakukan perbaikan terhadap lingkungan fisik

3) Menyediakan sarana olah raga 4) Melakukan analisis dan kejelasan

tugas

5) Mengubah struktur dan proses organisasi

6) Meningkatkan partisipasi dalam proses pengambilan keputusan 7) Melakukan restrukturisasi tugas 8) Menerapkan konsep manajemen

berbasis sasaran.

Sumber : (Gitosudarmo dan Sudita, 2000)

Menurut Handoko (2001) cara terbaik untuk mengurangi stres adalah dengan menangani penyebab-penyebabnya. Sebagai contoh, departemen personalia dapat

(34)

membantu karyawan untuk mengurangi stres dengan memindahkan (transfer) ke pekerjaan lain, mengganti penyelia yang berbeda dan menyediakan lingkungan kerja yang baru. Latihan dan pengembangan karir dapat diberikan untuk membuat karyawan mampu melaksanakan pekerjaan baru. Cara lain untuk mengurangi stres adalah merancang kembali pekerjaan-pekerjaan sehingga para karyawan mempunyai pilihan keputusan lebih banyak dan wewenang untuk melaksanakan tanggung jawab mereka. Desain pekerjaan dapat mengurangi kelebihan beban kerja, tekanan waktu dan kemenduaan peran. Komunikasi yang lebih baik bisa memperbaiki pemahaman karyawan terhadap situasi-situasi stres.

Menurut Siagian (2005) strategi penanganan stres yang dapat ditempuh dapat diklasifikasikan pada dua kategori, yaitu pendekatan oleh karyawan itu sendiri dan pendekatan organisasional. Pendekatan individu dapat dikatakan bahwa orang pertama dan yang paling bertanggung jawab dalam menghadapi dan mengatasi stres adalah yang bersangkutan sendiri, strategi yang efektif untuk ditempuh meliputi manajemen waktu, olah raga yang teratur, pelatihan rileks dan memperluas jaringan dukungan sosial.

Adapun strategi yang dilakukan melalui pendekatan organisasional yang dikendalikan oleh manajemen harus dilakukan langkah-langkah tertentu seperti: 1) Perbaikan proses seleksi dan penempatan,

2) Penggunaan prinsip-prinsip penentuan tujuan secara realistik, 3) Rancang bangun ulang pekerjaan,

(35)

5) Proses komunikasi, 6) Program kebugaran.

Menurut Siagian (2005) ada berbagai langkah yang dapat diambil untuk menghadapi stres para karyawan antara lain:

1) Merumuskan kebijaksanaan manajemen dalam membantu para karyawan menghadapi berbagai stres,

2) Menyampaikan kebijaksanaan tersebut kepada seluruh karyawan sehingga mereka mengetahui kepada siapa mereka dapat meminta bantuan dan dalam bentuk apa jika mereka menghadapi stres,

3) Melatih para manajer dengan tujuan agar mereka peka terhadap timbulnya gejala-gejala stres di kalangan para bawahannya dan dapat mengambil langkah-langkah tertentu sebelum stres itu berdampak negatif terhadap prestasi kerja para bawahannya,

4) Melatih para karyawan mengenali dan menghilangkan sumber stres,

5) Terus membuka jalur komunikasi dengan para karyawan sehingga mereka benar-benar diikutsertakan untuk mengatasi stres yang dihadapinya,

6) Memantau terus-menerus kegiatan organisasi sehingga kondisi yang dapat menjadi sumber stres dapat teridentifikasi dan dihilangkan secara dini,

7) Menyempurnakan rancang bangun tugas dan tata ruang kerja sedemikian rupa sehingga berbagai sumber stres yang berasal dari kondisi kerja dapat diletakkan, 8) Menyediakan jasa bantuan bagi para karyawan apabila mereka sempat

(36)

2.2. Kinerja

2.2.1. Definisi Kinerja

Kinerja merupakan hasil pelaksanaan suatu pekerjaan baik bersifat fisik/material maupun non fisik/non material (H. Hadari Nawawi, 2005). Menurut Cokroaminoto (2007) pengertian kinerja karyawan menunjuk pada kemampuan karyawan dalam melaksanakan keseluruhan tugas-tugas yang menjadi tanggungjawabnya. Tugas-tugas tersebut biasanya berdasarkan indikator-indikator keberhasilan yang sudah ditetapkan. Sebagai hasilnya akan diketahui bahwa seseorang karyawan masuk dalam tingkatan kinerja tertentu. Tingkatannya dapat bermacam istilah. Kinerja karyawan dapat dikelompokkan ke dalam: tingkatan kinerja tinggi, menengah atau rendah. Dapat juga dikelompokkan melampaui target, sesuai target atau di bawah target. Berangkat dari hal-hal tersebut, kinerja dimaknai sebagai keseluruhan “unjuk kerja” dari seorang karyawan.

Sedangkan menurut Veithzal Rivai (2005) kinerja merupakan perilaku nyata yang ditampilkan setiap orang sebagai prestasi kerja yang dihasilkan oleh karyawan sesuai dengan perannya dalam perusahaan. Menurut Byars (1984, dalam Suharto dan Cahyono, 2005), kinerja diartikan sebagai hasil dari usaha seseorang yang dicapai dengan adanya kemampuan dan perbuatan dalam situasi tertentu. Sedangkan menurut Mas’ud (2004) kinerja adalah hasil pencapaian dari usaha yang telah dilakukan yang dapat diukur dengan indikator-indikator tertentu.

(37)

dihubungkan dengan visi yang diemban suatu organisasi serta mengetahui dampak positif dan negatif suatu kebijakan operasional yang diambil. Dengan adanya informasi mengenai kinerja suatu instansi pemerintah, akan dapat diambil tindakan yang diperlukan seperti koreksi atas kebijakan, meluruskan kegiatan-kegiatan utama, dan tugas pokok instansi, bahan untuk perencanaan, menentukan tingkat keberhasilan instansi untuk memutuskan suatu tindakan, dan lain-lain.

Hal tersebut sejalan dengan Bain (1982, dalam Mc Nesse-Smith 1996) yang menyatakan kinerja sebagai kontribusi terhadap hasil akhir organisasi dalam kaitannya dengan sumber yang dihabiskan, dan diukur dengan indikator kualitatif dan kuantitatif (Belcher 1987, dalam Mc Nesse-Smith 1996). Penilaian instrumen dilakukan untuk menilai persepsi pekerja akan kinerja diri mereka sendiri dalam kaitannya dengan item-item seperti output, pencapaian tujuan, pemenuhan deadline, penggunaan supplai, jam kerja dan ijin sakit.

Kinerja dapat diartikan sebagai gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan atau program atau kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi yang tertuang dalam rencana strategi suatu organisasi. Istilah kinerja sering digunakan untuk menyebut prestasi atau tingkat keberhasilan individu atau kelompok individu. Kinerja dapat diketahui hanya jika individu atau kelompok individu tersebut memiliki kriteria keberhasilan yang telah ditetapkan. Kriteria keberhasilan ini berupa tujuan-tujuan atau target-target tertentu yang hendak dicapai. Tanpa adanya tujuan serta target, kinerja seseorang atau organisasi tidak dapat diketahui karena tidak ada tolok ukurnya. Menurut Dessler (1997), kinerja

(38)

merupakan prosedur yang meliputi (1) penetapan standar kinerja; (2) penilaian kinerja aktual pegawai dalam hubungan dengan standar-standar ini; (3) memberi umpan balik kepada pegawai dengan tujuan memotivasi orang tersebut untuk menghilangkan kemerosotan kinerja atau terus berkinerja lebuh tinggi lagi.

Selain itu kinerja dapat diartikan sebagai hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau kelompok orang dalam suatu organisasi sesuai wewenang dan tanggung jawab masing-masing, dalam rangka untuk mencapai tujuan organisasi yang bersangkutan. Dengan kata lain, kinerja perorangan dan kinerja kelompok sangat mempengaruhi kinerja organisasi atau organisasi secara keseluruhan dalam rangka mencapai tujuan organisasi tersebut. Sedarmayanti (2001) mendefinisikan kinerja sebagai prestasi kerja, pelaksanaan kerja, pencapaian kerja, atau hasil kerja atau unjuk kerja atau penampilan kerja. Pengertian kinerja tersebut menunjukkan bagaimana seorang pekerja dalam menjalankan pekerjaannya. Dengan demikian, dapat disimpulkan, kinerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi sesuai wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam rangka untuk menciptakan tujuan organisasi.

Mitchell (Sedarmayanti, 2001) menyatakan bahwa kinerja terdiri dari berbagai aspek, yaitu :

1. Quality of work (kualitas pekerjaan).

2. Prompines (kecepatan dan ketepatan hasil kerja). 3. Initiative (kemampuan mengambil inisiatif).

(39)

5. Communication (kemampuan berkomunikasi dengan lingkungan).

Menurut Gomes (1995), kinerja dipengaruhi oleh usaha, motivasi, kemampuan pegawai, dan juga kesempatan dan kejelasan tujuan-tujuan kinerja yang diberikan oleh organisasi kepada seorang pegawai. Penciptaan pekerjaan yang menantang akan menarik keinginan intrinsik yang dimiliki orang untuk menangani pekerjaannya dan menghindari rasa bosan, kegiatan-kegiatan yang melelahkan yang menghasilkan sedikit hasil positif. Sesungguhnya semua organisasi atau perusahaan memiliki sarana-sarana formal dan informal untuk menilai kinerja pegawainya. Handoko (2001) mengemukakan, penilaian kinerja atau prestasi kerja (performance appraisal) adalah proses suatu organisasi mengevaluasi atau menilai prestasi kerja pegawai. Kegiatan ini dapat mempengaruhi keputusan-keputusan personalia dan memberikan umpan balik kepada para pegawai tentang pelaksanaan kerja mereka.

Adapun kegunaan penilaian kinerja adalah sebagai berikut:

1. Mendorong orang ataupun pegawai agar berperilaku positif atau memperbaiki tindakan mereka yang di bawah standar;

2. Sebagai bahan penilaian bagi manajemen apakah pegawai tersebut telah bekerja dengan baik; dan

3. Memberikan dasar yang kuat bagi pembuatan kebijakan peningkatan organisasi. Dapat disimpulkan bahwa penilaian kinerja pegawai adalah proses suatu organisasi mengevaluasi atau menilai kerja pegawai. Apabila penilaian kinerja dilaksanakan dengan baik, tertib, dan benar akan dapat membantu meningkatkan motivasi kerja sekaligus dapat meningkatkan loyalitas para anggota organisasi yang

(40)

ada di dalamnya, dan apabila ini terjadi akan menguntungkan organisasi itu sendiri. Oleh karena itu penilaian kinerja perlu dilakukan secara formal dengan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan oleh organisasi secara obyektif. Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan bahwa pada kinerja seseorang yang perlu diperhatikan adalah adanya suatu kegiatan yang telah dilaksanakan. Agar hasil kerja yang dicapai oleh setiap pegawai sesuai dengan mutu yang diinginkan, waktu yang ditentukan, maka penilaian kinerja pegawai mutlak diperlukan oleh setiap organisasi.

Mengenai ukuran-ukuran kinerja pegawai, Ranupandojo dan Husnan (2000) menjelaskan secara rinci sejumlah aspek yang meliputi:

1. Kualitas kerja adalah mutu hasil kerja yang didasarkan pada standar yang ditetapkan. Kualitas kerja diukur dengan indikator ketepatan, ketelitian, keterampilan dan keberhasilan kerja. Kualitas kerja meliputi ketepatan, ketelitian, kerapihan dan kebersihan hasil pekerjaan.

2. Kuantitas kerja yaitu banyaknya hasil kerja sesuai dengan waktu kerja yang ada, yang perlu diperhatikan bukan hasil rutin tetapi seberapa cepat pekerjaan dapat terselesaikan. Kuantitas kerja meliputi output, serta perlu diperhatikan pula tidak hanya output yang rutin saja, tetapi juga seberapa cepat dia dapat menyelesaikan pekerjaan yang ekstra.

3. Dapat tidaknya diandalkan termasuk dalam hal ini yaitu mengikuti instruksi, inisiatif, rajin, serta sikap hati-hati.

(41)

Dari berbagai uraian tentang kinerja pegawai yang telah dijelaskan dapat disimpulkan bahwa kinerja pegawai merupakan hasil kerja yang dapat dicapai seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi sesuai wewenang dan tanggung jawab masing-masing untuk mewujudkan tujuan organisasi.

2.2.2. Kinerja Individu dan Kinerja Organisasi (Individual and Organization Performance)

Suatu lembaga, baik lembaga pemerintah maupun lembaga yang dinamakan perusahaan ataupun yayasan (foundation) dalam mencapai tujuan yang ditetapkan harus melalui sarana dalam bentuk organisasi yang digerakkan oleh sekelompok orang (group of humanbeing) yang berperan aktif sebagai pelaku (actors) dalam upaya mencapai tujuan lembaga atau organisasi bersangkutan.

Dalam hal ini sebenarnya terdapat hubungan yang erat antara kinerja perorangan (individual performance) dengan kinerja lembaga (institutional performance) atau kinerja perusahaan (corporate performance). Dengan perkataan lain bila kinerja karyawan (individual performance) baik maka kemungkinan besar kinerja perusahaan (corporate performance) juga baik. Kinerja seorang karyawan akan baik bila dia mempunyai keahlian (skill) yang tinggi, bersedia bekerja karena digaji atau diberi upah sesuai dengan sesuai dengan perjanjian, mempunyai harapan (expectation) masa depan lebih baik.

Mengenai gaji dan adanya harapan (expectation) merupakan hal yang menciptakan motivasi seorang karyawan bersedia melaksanakan kegiatan kerja dengan kinerja yang baik. Bila sekelompok karyawan dan atasannya mempunyai

(42)

kinerja yang baik, maka akan berdampak pada kinerja perusahaan yang baik pula. (Suyadi Prawirosentono, 2008)

2.2.3. Penilaian Kinerja karyawan

Menurut (Suyadi Prawirosentono, 2008) penilaian kinerja adalah proses penilaian hasil kerja yang akan digunakan oleh pihak manajemen untuk memberi informasi kepada para karyawan secara individual, tentang mutu dan hasil pekerjaannya di pandang dari sudut kepentingan perusahaan. Dalam hal ini, seorang karyawan harus diberitahu tentang hasil pekerjaannya, dalam arti baik, sedang atau kurang. Hal ini dilakukan pada setiap jenjang hierarki, bukan hanya karyawan bawahan yang dinilai, tetapi juga “middle management” harus dinilai atasannya. 2.2.4. Faktor-faktor Kinerja yang Dinilai

Sebenarnya jenis-jenis formulir untuk menilai kinerja karyawan tersebut berlaku umum, baik untuk organisasi perusahaan, pemerintahan, yayasan maupun organisasi lain (Suyadi Prawirosentono, 2008). Secara umum terdapat beberapa butir penilaian kinerja yakni meliputi hal-hal sebagai berikut :

a. Pengetahuan seorang karyawan tentang pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya.

b. Apakah karyawan mampu membuat perencanaan dan jadwal pekerjaannya. c. Apakah seorang karyawan mengetahui standar mutu pekerjaan yang disyaratkan. d. Tingkat produktivitas karyawan : hal ini berkaitan dengan kuantitas (jumlah) hasil

(43)

e. Pengetahuan teknis atas pekerjaan yang menjadi tugas seorang karyawan harus dinilai, karena hal ini berkaitan dengan mutu pekerjaan dan kecepatan seorang karyawan menyelesaikan suatu pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya. f. Ketergantungan kepada orang lain dari seorang karyawan perlu dinilai, karena

berkaitan dengan kemandirian (self confidence) seseorang dalam melaksanakan pekerjaannya.

g. Judgment atau kebijakan yang bersifat naluriah yang dimiliki seorang karyawan dapat mempengaruhi kinerjanya, karena dia mempunyai kemampuan menyesuaikan dan menilai tugasnya dalam menunjang tujuan organisasi.

h. Kemampuan berkomunikasi dari seorang karyawan, baik dengan sesama karyawan maupun dengan atasannya dapat mempengaruhi kinerjanya.

i. Kemampuan bekerja sama seorang karyawan dengan orang-orang lain sangat berperan dalam menetukan kinerjanya.

j. Kehadiran dalam rapat disertai dengan kemampuan menyampaikan gagasan-gagasannya kepada orang lain mempunyai nilai tersendiri dalam menilai kinerja seorang karyawan.

k. Kemampuan mengatur pekerjaan yang menjadi tangung jawabnya, termasuk membuat jadwal kerja, umumnya mempengaruhi kinerja seorang karyawan. l. Kepemimpinan menjadi faktor yang harus dinilai dalam menilai kinerja terutama

bagi kinerja yang berbakat “memimpin” sekaligus memobilisasi dan memotivasi teman-temannya untuk bekerja lebih baik.

(44)

m. Minat memperbaiki kemampuan diri sendiri menjadi faktor lain untuk menilai kinerja seorang karyawan.

n. Apakah ada faktor yang mempengaruhi kinerja seseorang.

o. Apakah terdapat bidang kerja yang harus dirubah sistemnya sehingga karyawan dapat melaksanakannya dengan cara lebih baik.

p. Hal-hal lain, seperti berbagai catatan khusus dan umum tentang karyawan yang berkaitan dengan kinerjanya.

Dari 16 item kuesioner diatas, hanya 12 item (a – l) yang akan digunakan untuk kuesioner penelitian.

2.2.5. Manfaat Penilaian Kinerja Karyawan

Penilaian kinerja atas seluruh staf (baik atasan maupun bawahan) merupakan kegiatan yang harus secara rutin dilakukan, tanpa beban mental atau “rikuh”, karena hal ini diperlukan untuk tujuan meningkatkan kinerja organisasi secara keseluruhan. Bila masing-masing karyawan berkinerja baik, biasanya atau umumnya kinerja perusahaan pun baik. Penilaian kinerja yang dilakukan secara regular (teratur) bertujuan melindungi perusahaan dalam mencapai tujuannya.

Penilaian kinerja karyawan yang dilakukan secara obyektif, tepat dan didokumentasikan secara baik cenderung menurunkan potensi penyimpangan yang dilakukan karyawan, sehingga kinerjanya diharapkan harus bertambah baik sesuai dengan kinerja yang dibutuhkan perusahaan. Memang terdapat beberapa penulis yang berpendapat bahwa penilaian kinerja dapat menimbulkan motivasi negatif para karyawan. Namun seyogyanya para karyawan seharusnya merasa lebih bahagia

(45)

pula oleh karyawan berupa bonus akhir tahun. Di samping itu penilaian kinerja atas karyawan, sebenarnya membuat karyawan mengetahui posisi dan peranannya dalam menciptakan tercapainya tujuan perusahaan. Hal ini justru akan menambah motivasi karyawan untuk berkinerja semakin baik lagi, karena mereka masing-masing dapat bekerja lebih baik dan benar (doing right). Dengan demikian diharapkan, para karyawan bermental juara (champion human resource). Ingin menjadi yang terbaik tanpa merugikan teman yang lain “team work”. (Suyadi Prawirosentono, 2008).

2.3. Pengaruh Stressor terhadap Kinerja

Terkait dengan stressor kerja, kinerja mempunyai hubungan yang signifikan dengan stressor (Robbins, 2006). Hubungan stres kerja dengan kinerja disajikan dalam model (hubungan U-Terbalik). Pola U tersebut menunjukkan hubungan tingkat stres (rendah-tinggi) dengan kinerja (rendah-tinggi). Bila tidak ada stres, tantangan kerja juga tidak ada dan prestasi kerja cenderung menurun. Sejalan dengan meningkatnya stres, prestasi kerja cenderung menaik, karena stres membantu karyawan untuk mengarahkan segala sumber daya dalam memenuhi kebutuhan kerja. Meningkatnya stres akan menyebabkan peningkatan kinerja, namun setelah melewati titik tertentu (titik optimum), meningkatnya stres justru akan menurunkan kinerja.

Bagi organisasi, stres yang dialami tenaga kerjanya dapat mengakibatkan rendahnya produktivitas/kinerja, tingginya tingkat absensi, dan tingginya turnover oleh Ray dan Miller dalam Sari (2007). Dampak negatif ini bisa menjadi lebih buruk ketika hasil dari stres berupa burnout. Burnout adalah sekumpulan gejala yang merupakan akibat dari kontak panjang dengan stressor (Greenberg dan Baron, 2003) yang ditandai dengan kelelahan fisik , sikap dan emosional.

(46)

Gambar 2.3. Model Hubungan Stress dengan Kinerja Sumber : Keith Davis (1996)

2.4. Landasan Teori

Stressor adalah penyebab stres, yakni apa saja kondisi lingkungan tempat tuntutan fisik dan emosional pada seseorang (Sopiah, 2008). Beehr dan Newman (dalam Rice, 1999) mendefinisikan stres kerja sebagai tuntutan pekerjaan yang berlebihan melebihi kemampuan pekerja meliputi interaksi antara kondisi pekerjaan dengan sikap individu yang mengubah kondisi normal dan fungsi psikologis pekerja sehingga menyebabkan orang merasa sakit, tidak nyaman atau tegang karena pekerjaan, tempat kerja atau situasi kerja yang tertentu.

Jurnal penelitian sebelumnya pada tahun 2008 yang dilakukan oleh Simona Gilboa, Arie Shirom, Yitzhak Fried dan Cary Cooper dengan judul “A Meta-Analysis

(47)

Effects” menunjukkan dengan pasti bahwa stressor mempunyai pengaruh yang signifikan dan berkorelasi negatif terhadap job performance.

Sebelumnya pada jurnal penelitian pada tahun 2005 yang dilakukan oleh Carsten K. W. De Dreu dan Bianca Beersma dengan judul “Conflict inOrganization : Beyond Effectiveness and Performance” menunjukkan bahwa adanya konflik pada pekerjaan akan mengurangi efektifitas dan kinerja dalam organisasi.

Kemudian jurnal penelitian pada tahun 2001 yang dilakukan oleh Richard T. Fisher dengan judul “Role Stress, The Type A Behavior Pattern,and External Auditor Job Satisfaction and Performance” menunjukkan bahwa adanya ambiguitas peran sebagai salah satu faktor penyebab stres (stressor) mempunyai pengaruh yang signifikan dan berkorelasi negatif terhadap kinerja.

Selain itu jurnal penelitian pada tahun 2006 yang dilakukan oleh Anis Siti Hartati dengan judul “Pengaruh Stressor dan Konflik Kerja terhadap Kinerja Karyawan Studi Empiris pada PT. Pertamina (Persero) UP IV Cilacap” menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan dari variabel stressor dan konflik kerja secara parsial dan bersamasama terhadap kinerja karyawan pada PT. Pertamina (Persero) UP IV Cilacap.

Ditambahkan pula stres kerja oleh Riggio (2003) yang didefinisikan sebagai interaksi antara seseorang dan situasi lingkungan atau stresor yang mengancam atau menantang sehingga menimbulkan reaksi pada fisiologis maupun psikologis pekerja. Carry Cooper (dikutip Jacinta, 2002) menyatakan bahwa stresor kerja yang pada umumnya ditemukan di tempat kerja dan non pekerjaan yaitu ketaksaan peran, beban kerja berlebih kuantitatif, beban kerja berlebih kualitatif, pengembangan karir,

(48)

konflik peran, tanggung jawab terhadap orang lain, masalah organisional, lingkungan dan kondisi fisik tempat kerja seperti kebisingan, panas, vibrasi, hygiene dan lainnya.

Seperti digambarkan pada kerangka teoritis berikut ini yang dikemukakan oleh Ivancevich (2006) v Tingkat Individu - Konflik Peran - Kelebihan beban peran - Ketidakjelasan peran - Tanggungjawab atas orang - Pelecehan - Kecepatan perubahan Tingkat Kelompok - Perilaku, manajerial - Kurangnya kohesivitas - Konflik Intrakelompok - Status yang tidak

sesuai Tingkat organisasi - Budaya - Teknologi - Gaya manajemen - Rancangan organisasi - Politik Non Pekerjaan - Perawatan orang

lanjut usia dan anak - Ekonomi - Kurangnya mobilitas - Pekerjaan sukarela - Kualitas kehidupan STRESOR Penilaian Kognitif STRES Perilaku - Kepuasan - Kinerja - Absen - Perputaran pekerja - Kecelakaan - Penyalahgunaan obat - Klaim perawatan kesehatan Kognitif - Pengambilan

keputusan yang buruk - Kurangnya konsentrasi - Lupa - Frustasi - Apatis Fisiologis

- Tekanan darah yang meningkat - Sistem kekebalan - Kolestrol tinggi Fisiologis - Penyakit jantung koroner - Sistem pencernaan

(49)

Berdasarkan teori tersebut, dapat dilihat bahwa adanya hubungan stresor kerja dengan kinerja pada pekerja. Kondisi lingkungan fisik yang tidak sehat, aman dan bebas dari bahaya dapat berpotensi sebagai sumber stresor yang akan menimbulkan gangguan emosional pada pekerja. Sehingga apabila pekerja bekerja tidak dalam keadaan kesehatan fisik dan mental yang baik, akan menurunkan kinerja, produktivitas kerja serta akan terjadi kecelakaan kerja. Sebaliknya apabila pekerja dalam kondisi sehat maka akan terwujud kesehatan dan keselamatan di tempat kerja.

Dengan hasil penelitian yang ditunjukkan oleh jurnal-jurnal dan pendapat para ahli sebelumnya tersebut, maka peneliti terdorong untuk menguji pengaruh stressor kerja (job stressor) terhadap kinerja pegawai dengan mengambil tempat penelitian di instansi pemerintah, yaitu di Kantor Badan SAR Medan.

2.5. Kerangka Konsep

Berdasarkan teori-teori yang telah di bahas dalam tinjauan kepustakaan , maka kerangka teoritis dapat digambarkan sebagai berikut :

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 2.5. Kerangka Konsep Penelitian

KINERJA STRESOR KERJA

1. Ketaksaan peran 2. Konflik peran 3. Pengembangan karir 4. Beban kerja berlebih

kuantitatif

5. Beban kerja berlebih kualitatif

6. Tanggungjawab terhadap orang lain

(50)

Berdasarkan kerangka diatas, maka dapat dijelaskan bahwa definisi konsep dalam penelitian ini adalah variabel bebas (variabel independen) yaitu stressor kerja dan variabel terikat (Variabel dependen) adalah kinerja.

Gambar

Gambar 2.1. Penyebab, Tipe dan Akibat dari Stres menurut Randall S. Schuler  diacu Davis dan Newstrom (1985)
Gambar 2.2. Model Stres (Robbins, 2003)
Tabel 2.1 Penanggulangan Stres secara Individual dan Organisasi
Gambar 2.5. Kerangka Konsep Penelitian

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Sama seperti pada laju pemanasan lainnya, dari gambar 4.11 dapat dilihat bahwa pada laju pemanasan 7,5 o C/mnt, untuk setiap temperatur pemanasan dengan semakin

Pengaruh Keputusan Investasi, Keputusan Pendanaan dan Profitabilitas Terhadap Nilai Perusahaan Dengan Kebijakan Dividen Sebagai Variabel Moderating (Studi Kasus Pada Perusahaan

Nilai akhir suatu mata kuliah (angka mutu) semester pendek disusun oleh dosen mata kuliah yang bersangkutan yang dimuat dalam Daftar Presensi Ujian (DPU)

Berdasarkan hasil pengujian mengguna- kan pendeketan Piecewise Linear Model, terbukti adanya perbedaan manajemen laba akrual dengan pendekatan Piecewise Linear Model pada tahun

pembelajaran, guru harus memperhatikan langkah-langkah pembelajaran yang ada pada RPP dan dapat menerapkannya sesuai alokasi waktu yang telah ditentukan. Proses

Pengaruh penggunaan media power point terhadap hasil belajar siswa Untuk melihat bagaimana pengaruh penggunaan media power point. terhadap hasil belajar dengan

Gambaran Self Confidence pada Atlet Basket di Universitas Sumatera Utara ditinjau dari Pengalaman Bermain Basket menggunakan SPSS versi 17.0 for

2. Kongres Pemuda Kedua adalah kongres pergerakan pemuda Indonesia yang melahirkan keputusan yang memuat ikrar untuk mewujudkan cita-cita berdirinya negara Indonesia, yang