• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Konsumsi Makanan terhadap Perkembangan Seksualitas Sekunder Siswa SMA di Pedesaan dan Perkotaan Karisidenan Surakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pengaruh Konsumsi Makanan terhadap Perkembangan Seksualitas Sekunder Siswa SMA di Pedesaan dan Perkotaan Karisidenan Surakarta"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

378

Pengaruh Konsumsi Makanan terhadap Perkembangan Seksualitas Sekunder

Siswa SMA di Pedesaan dan Perkotaan Karisidenan Surakarta

Istar Yuliadi*, Khotijah

Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Jln. Ir. Sutami No.36A Kentingan Surakarta 57126

*Email: khotijahamk@yahoo.co.id

ABSTRAK

Pubertas merupakan periode transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang ditandai dengan munculnya karakteristik seksual sekunder dan kemampuan reproduksi seksual. Pada periode ini berbagai perubahan terjadi baik perubahan hormonal, fisik, psikologis maupun sosial. Perubahan ini terjadi dengan sangat cepat dan perubahan fisik yang menonjol adalah perkembangan tanda-tanda seksual sekunder, terjadinya pacu tumbuh, serta perubahan perilaku dan hubungan sosial dengan lingkungannya. Berbagai teori dikemukakan tentang awitan pubertas akan tetapi belum ada kesepakatan tentang faktor-faktor yang menginisiasi pubertas. Faktor nutrisi merupakan salah salah satu faktor yang diyakini berperan penting dalam perkembangan seksual sekunder. Nutrisi memainkan peran kritis pada pertemuan dari faktor biologi dan asuhan yang memediasi perkembangan dan pertumbuhan. Penelitian ini adalah penelitian observasional analitik dengan rancangan cross sectional. Besar sampel dalam penelitian ini sejumlah 233 siswa SMA sekarisidenan surakarta. Sampel diambil dengan teknik random sampling. Hasil uji statistik dengan menggunakan Mann Whitney 2 sampel independen menunjukkan ada perbedaan antara rata-rata usia perkembangan seksualitas sekunder siswa SMA laki-laki maupun perempuan yang hidup di pedesaan dan perkotaan dengan nilai signifikannya masing-masing 0,001 dan 0,000. Perkembangan seksualitas sekunder pada siswa SMA laki-laki dan perempuan di perkotaan lebih dini dibanding dengan yang di pedesaan. Siswa laki-laki yang hidup diperkotaan dengan mengkonsumsi pizza dan soda memiliki pengaruh terhadap perkembangan seksualitas sekunder dengan nilai signifikannya 0,034. Sedangkan siswi perempuan diperkotaan yang mengkonsumsi daging memiliki pengaruh terhadap perkembangan seksualitas sekunder dengan nilai signifikannya 0,000. Dari penelitian disimpulkan ada pengaruh konsumsi makanan terhadap perkembangan seksualitas sekunder

Kata kunci : pola makanan, perkembangan seksualitas sekunder.

PENDAHULUAN

Pubertas merupakan suatu tahapan penting dalam proses pertumbuhan dan perkembangan anak menjadi dewasa. Pada periode ini berbagai perubahan terjadi baik perubahan hormonal, fisik, psikologis maupun sosial. Perubahan fisik yang menonjol selama fase pubertas adalah perkembangan tanda-tanda seksualitas sekunder, terjadinya pacu tumbuh, serta perubahan perilaku dan hubungan sosial dengan lingkungannya. Faktor genetik, nutrisi, dan faktor lingkungan lainnya dianggap berperan dalam awitan pubertas. Maturasi seksual terjadi melalui tahapan-tahapan yang teratur yang akhirnya mengantarkan anak siap dengan fungsi fertilitasnya, laki-laki dewasa dengan spermatogenesis, sedangkan anak perempuan dengan ovulasi. Variasi usia pubertas melibatkan 74% faktor genetik dan 26% faktor lingkungan (Jose Batubara: 2010)

Nutrisi merupakan faktor lingkungan yang mewakili berbagai bentuk pengaruh faktor lingkungan. Nutrisi dapat secara langsung mengubah struktur gen dan memperantarai ekpresi faktor genetik dengan menyediakan molekul tertentu yang memungkinkan gen untuk menunjukkan potensinya atau efek sasarannya pada pertumbuhan dan perkembangan otak. Selanjutnya, nutrisi dapat mempengaruhi secara langsung ekspresi gen pada otak. Jadi nutrisi memainkan peran kritis pada pertemuan dari faktor biologi dan asuhan yang memediasi perkembangan dan pertumbuhan otak (Peper et al : 2009).

Remaja merupakan fase peralihan dari fase anak ke fase dewasa. Dan nutrisi memiliki peran penting dalam menunjang pertumbuhan dan perkembangan fisik seseorang dan juga dalam terjadinya kematangan fisiologinya. Perubahan pada masa remaja akan mempengaruhi kebutuhan, absorbsi, serta cara penggunaan zat gizi tersebut. Pertumbuhan yang pesat dan masa pubertas pada remaja tergantung pada berat dan komposisi tubuh seseorang. Hal ini menunjukkan bahwa status gizi memegang peranan penting dalam menentukan status kematangan fisiologi seseorang. Kecepatan pertumbuhan dan kebutuhan gizi bervariasi pada masing-masing individu remaja. Ini menunjukkan bahwa dibandingkan usia, tingkat kematang seksual yang didasarkan pada munculnya tanda seksual sekunder lebih mempunyai makna sebagai indikator dalam menentukan kebutuhan gizi.

(2)

379

Pada perkembangan zaman seperti yang sekarang, pemenuhan gizi pada remaja tidaklah sulit. Namun demikian, dalam pemenuhan gizi ini kontribusi zat-zat yang terkandung dalam makanan tentunya juga memiliki peranan penting dalam mengiringi perkembangan kematangan seksual sekunder pada remaja ini. Tidak dipungkiri bahwa pada remaja perkotaan, variasi makanan jauh lebih bervariasi dibandingkan dengan pedesaan dan berkembangnya variasi makanan ini juga diikuti oleh zat-zat yang terdapat dalam makanan menjadi lebih banyak, misalnya zat yang dapat merubah hormon dalam tubuh manusia agar cepat berkembang sebelum waktunya. Namun demikian, dalam nutrisi yang dikonsumsi oleh remaja pedesaan juga tidak menutup kemungkinan bahwa kandungan yang ada dalam makanan yang mereka konsumsi setiap hari juga sama dengan yang ada di perkotaan.

TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada perbedaan perkembangan seksual sekunder pada siswa SMA di pedesaan dengan di perkotaan dengan melihan nutrisi yang mereka konsumsi sehari-hari.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan rancangan cross sectional. Sampel dalam penelitian ini adalah siswa SMA yang duduk di bangku kelas 1-3, berasal dari pedesaan dan perkotaan. Besar sampel dalam penelitian ini sebanyak 233 responden yang diambil secara acak. Inventori digunakan untuk mengetahui kebiasaan menu makanan yang dikonsumsi sehari hari dan dihitung berdasarkan komposisi bahan makanan yang dikonsumsi selama 1 minggu dan untuk mengetahui usia perkembangan seksualitas sekunder pada siswa baik yang berada di pedesaan maupun diperkotaan. Analisis statistik yang digunakan adalah uji Mann_Whitney 2 sampel independen untuk mengetahui perbedaan rata-rata usia perkembangan seksualitas sekunder siswa SMA antara pedesaan dan perkotaan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Responden dalam penelitian ini berasal dari dua tempat, sebanyak 112 orang (48,1%) diambil dari sekolah yang di pedesaan dan sebanyak 121 responden (51,9%) diambil dari sekolah yang ada di perkotaan. Distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini :

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin dan Tempat

No Kategori Jenis Kelamin Frekuensi Persentase (%) 1 Siswa SMA di Pedesaan laki-laki 39 16,74 perempuan 73 31,33 Sub total 112 48,1 2 Siswa SMA di Perkotaan laki-laki 60 25,75 perempuan 61 26,18 Sub total 121 51,9 Total 233 100

Sumber : Data Primer Penelitian 2014

Dari 233 responden tersebut, sebagian besar masih duduk di bangku kelas 2. Dari segi usia, rentang usia responden antara 13-17 tahun. Pada responden perempuan, perkembangan seksualitas sekunder yang dikaji adalah usia munculnya tumbuh rambut sekitar alat kelamin dan ketiak, perkembangan pinggul, usia mengalami menstruasi, perkembangan payudara, perubahan kulit dan perubahan suara yang semakin nyaring. Sedangkan pada responden laki-laki, perkembangan seksualitas sekunder yang dikaji adalah pertumbuhan rambut sekitar alat kelamin-ketiak-kumis-janggut, perubahan nada suara yang semakin rendah, perkembangan pundak, pertumbuhan jakun, perubahan kulit yang semakin kasar, tumbuh jerawat dan perkembangan otot yang menonjol.

Hasil analisis deskriptif statistik menunjukkan usia rata-rata perkembangan seksualitas sekunder pada responden yang berada di perkotaan lebih awal muncul dibanding dengan responden yang berada di pedesaan. Pada responden perempuan di perkotaan, perkembangan seksualitas sekunder mulai muncul pada rata-rata usia 11 tahun sedangkan pada responden perempuan di pedesaan muncul diusia rata-rata 13 tahun. Sedangkan pada responden laki-laki, rata-rata usia mulai muncul tanda-tanda perkembangan seksualitas sekunder hampir sama antara yang berada di pedesaan dengan yang ada di perkotaan, hanya berbeda dalam bulan. Meski demikin, pada

(3)

380

responden perkotaan lebih awal muncul dibanding dengan responden yang ada di pedesaan. Secara rinci, rata-rata usia perkembangan seksualitas sekunder pada responden dapat dilihat pada tabel 2 berikut ini :

Tabel 2. Rata-Rata Usia Perkembangan Seksualitas Sekunder Responden

Jenis Kelamin Perkembangan Seksualitas Sekunder Pedesaan Perkotaan Mean SD Mean SD Perempuan Tumbuh rambut sekitar alat kelamin dan

ketiak

13,178 ,7700 12,541 1,0299

Pinggul semakin membesar 13,281 ,9391 12,705 1,0582

Terjadi menstruasi 12,795 1,0924 12,107 ,9448

Payudara mulai mengembang 12,452 1,3128 11,689 1,5005

Kulit semakin halus 13,137 1,1464 12,128 1,4147

Suara semakin nyaring 13,603 1,1636 12,361 1,2252

Laki-laki Pertumbuhan rambut di sekitar area alat kelamin dan ketiak, kumis, dan janggut

13,5789 ,87754 13,2167 1,19095

Perubahan nada suara menjadi semakin rendah

13,8649 ,89331 13,1780 ,96885

Pundak semakin melebar 14,2895 ,94334 13,6708 ,85679

Tumbuh jakun 13,8289 1,02775 13,5431 ,91264

Kulit lebih kasar 14,0000 ,97333 13,4784 1,03158

Tumbuh jerawat 13,8421 1,18158 13,2042 1,07405

Otot berkembang dan menonjol 13,8108 1,04725 13,5678 ,87555 Sumber : Data Primer Penelitian 2014

Analisis statistik deskriptif konsumsi makanan responden yang dikaji dalam penelitian ini berupa golongan pizza-hamburger-hotdog dan sejenisnya, mie-spageti dan sejenisnya, sereal, daging ayam beserta bentuk olahan lainnya, daging sapi beserta bentuk olahan lainnya, dan minuman bersoda. Hasil analisis statistik deskriptif konsumsi makanan dapat dilihat pada tabel 3 berikut ini.

Tabel 3. Rata-Rata Frekuensi Konsumsi Makanan Responden No Jenis Makanan yang

Dikonsumsi dalam Satu Minggu

Perempuan Laki-laki

Pedesaan Perkotaan Pedesaan Perkotaan Mean SD Mean SD Mean SD Mean SD

1 Pizza-hamburger-hotdog ,14 ,45 ,48 ,57 ,10 ,38 ,62 ,78

2 Mie-spageti 2,12 1,24 1,51 1,07 2,08 1,61 1,45 1,08

3 Sereal 1,04 2,07 1,39 2,25 ,36 ,67 1,03 1,71

4 Daging ayam-olahan lainya 2,40 1,42 3,33 1,82 2,54 1,64 3,20 1,79 5 Daging sapi-olahan lainnya ,96 ,95 1,95 1,55 1,56 1,67 2,32 1,55

6 Minuman bersoda ,58 1,24 ,70 1,19 ,90 1,17 1,28 1,20

Sumber : Data Primer Penelitian 2014

Untuk jenis makanan pizza-hamburger-hotdog, baik pada responden perempuan maupun laki-laki, baik yang dipedesaan maupun di perkotaan dalam seminggu hanya mengkonsumsi kurang dari dua kali. Sedangkan jenis makanan mie-spageti dan sejenis lainnya dapat dilihat bahwa pada responden perempuan maupun laki-laki yang ada dipedesaan justru mengkonsumsinya lebih banyak frekuensinya dari pada responden yang ada diperkotaan yaitu lebih dari dua kali dalam seminggu. Namun demikian, jenis mie yang dikonsumsi responden yang ada di pedesaan dan perkotaan berbeda. Untuk yang dipedesaan jenis mie yang dikonsumsi adalah mie tradisional seperti mie ayam, sedangkan jenis mie yang dikonsumsi responden perkotaan adalah jenis mie spageti. Untuk konsumsi daging ayam maupun bentuk olahan lainnya, pada responden perempuan yang ada di pedesan dan perkotaan frekuensi rata-rata mereka mengkonsumsi 2-3 kali dalam seminggu, sedangkan jenis konsumsi daging sapi dan bentuk olahan lainya, pada responden yang ada diperkotaan menunjukkan frekuensi rata-rata konsumsinya lebih sering dibanding yang hidup dipedesaan, yaitu 1-3 kali dalam seminggu. Demikian pula dengan konsumsi minuman yang mengandu soda, pada responden di perkotaan lebih sering frekuensi konsumsinya dibanding yang hidup di pedesaan.

Hasil uji statistik menggunakan Mann Whitney dengan 2 sampel independen menunjukkan ada perbedaan antara rata-rata usia perkembangan seksualitas sekunder siswa SMA laki-laki maupun perempuan

(4)

381

yang hidup di pedesaan dan perkotaan dengan nilai signifikannya masing-masing 0,001 dan 0,000. Perkembangan seksualitas sekunder pada siswa SMA laki-laki dan perempuan di perkotaan lebih dini dibanding dengan yang di pedesaan. Siswa laki-laki yang hidup diperkotaan dengan mengkonsumsi pizza dan soda memiliki pengaruh terhadap perkembangan seksualitas sekunder dengan nilai signifikannya 0,034. Sedangkan siswi perempuan diperkotaan yang mengkonsumsi daging memiliki pengaruh terhadap perkembangan seksualitas sekunder dengan nilai signifikannya 0,000.

Pubertas merupakan suatu tahapan penting dalam proses tumbuh kembang anak menuju dewasa. Perubahan fisik yang mencolok terjadi selama proses ini, kemudian diikuti oleh perkembangan ciri-ciri seksual sekunder, perubahan komposisi tubuh serta perubahan maturasi tulang yang cepat, diakhiri dengan epifisis yang tertutup serta terbentuk perawakan akhir dewasa . Berbagai teori dikemukakan tentang awitan pubertas, akan tetapi belum ada kesepakatan tentang faktor-faktor yang menginisiasi pubertas. Faktor genetik, nutrisi, dan faktor lingkungan lainnya dianggap berperan dalam awitan pubertas. Variasi usia pubertas melibatkan 74% faktor genetik dan 26% faktor lingkungan.

Menurut Dellemare (2002), terdapat berbagai faktor yang dianggap berperan dalam awitan pubertas, antara lain faktor genetik, nutrisi, dan lingkungan lainnya. Secara genetik sendiri, menurut Seminara (2003) terdapat berbagai teori yang mengatur awitan pubertas, antara lain pengaturan oleh gen GPR54, suatu G-coupled protein receptor. Mutasi pada gen GPR54 dapat menyebabkan terjadinya hipogonadotropik hipogonadisme idiopatik. Frisch dan Revelle (1971) mengemukakan peran nutrisi terhadap awitan pubertas. Frisch dan Revelle menyatakan bahwa dibutuhkan berat badan sekitar 48 kg untuk timbulnya menarke, sedangkan pada penelitian selanjutnya dinyatakan bahwa dibutuhkan perbandingan lemak dan lean body mass tertentu untuk timbulnya pubertas dan untuk mempertahankan kapasitas reproduksi. Cheung (2001) menjelaskan bahwa leptin, suatu hormon yang dihasilkan di jaringan lemak (white adipose) yang mengatur kebiasaan makan dan termogenesis diperkirakan juga berperan dalam mengatur awitan pubertas. Pada keadaan puasa kadar leptin menurun, begitu pula dengan kadar gonadotropin. Penemuan ini menunjang hipotesis peran nutrisi dalam pengaturan pubertas. Pada penelitian selanjutnya ternyata hal ini masih dipertanyakan karena kadar leptin tetap stabil selama pre-dan pasca pubertas. Di samping itu terdapat berbagai faktor lain yang diperkirakan mempengaruhi awitan pubertas, seperti pertumbuhan janin intrauterin, migrasi ke negara lain, dan faktor lingkungan lainnya (Dellemare : 2002; Engelbregt : 2000).

Nutrisi mulai mempengaruhi perkembangan otak dengan waktu dan cara yang berbeda. Sebagai contoh, jumlah sel yang diukur berdasarkan kandungan DNA dipengaruhi oleh malnutrisi. Hampir sama, variasi dalam asupan makanan tambahan dapat menentukan kadar neurotransmiter (serotonin, norepinefrin, dopamine, dan asetilkolin), sedangkan variasi dalam asupan lemak esensial dan nonesensial dapat mempengaruhi susunan struktur dari otak dan lapisan myelin. Sudah jelas bahwa bahwa pertumbuhan somatik otak dapat berjalan normal dengan mendapatkan asupan nutrisioanal penting (seperti besi dan taurin), tetapi juga terbukti bahwa struktur dan fungsi otak berubah secara bermakna jika nutrisi esensial yang khusus kurang selama perkembangan (Uauy & Dangour, 2005).

Nutrisi sangat berperan dalam proses yang kompleks dari perkembangan otak. Nutrisi merupakan faktor lingkungan yang mewakili berbagai bentuk pengaruh faktor lingkungan, nutrisi dapat secara langsung mengubah struktur gen dan memperantarai ekpresi faktor genetik dengan menyediakan molekul tertentu yang memungkinkan gen untuk menunjukkan potensinya atau efek sasarannya pada pertumbuhan dan perkembangan otak. Selanjutnya, nutrisi dapat mempengaruhi secara langsung ekspresi gen pada otak.Jadi nutrisi memainkan peran kritis pada pertemuan dari faktor biologi dan asuhan yang memediasi perkembangan dan pertumbuhan otak (Rosales et al., 2009).

Kebutuhan gizi pada fase remaja lebih tinggi dibandingkan usia anak kecil. Namun kebutuhan gizi pada remaja laki-laki dengan remaja perempuan tentu berbeda. Hal ini di sebabkan oleh adanya pertumbuhan yang pesat, kematangan seksual, perubahan komposisi tubuh, mineralisasi tulang dan perubahan aktivitas fisik. Meskipun aktivitas fisik tidak meningkat, tetapi total kebutuhan energi akan tetap meningkat akibat pembesaran ukuran tubuh. Kebutuhan nutrisi yang meningkat pada masa anak remaja adalah energi, kalsium, besi dan zinc.

Maturasi seksual terjadi melalui tahapan-tahapan yang teratur yang akhirnya mengantarkan anak siap dengan fungsi fertilitasnya, laki-laki dewasa dengan spermatogenesis, sedangkan anak perempuan dengan ovulasi. Tanda awal perkembangan pubertas pada anak lelaki adalah pembesaran ukuran testis dan penipisan kulit skrotum, kemudian diikuti oleh pigmentasi skrotum, pembesaran penis dan kemudian terlihat pertumbuhan rambut pubis,dengan demikian, ukuran volume testis dapat juga digunakan untuk menentukan usia awitan pubertas. Pertumbuhan ini terjadi akibat perkembangan tubulus seminiferus di bawah pengaruh stimulasi FSH.

(5)

382

Perkembangan seksualitas sekunder diakibatkan oleh perubahan sistem hormonal tubuh yang terjadi selama proses pubertas. Perubahan hormonal akan menyebabkan terjadinya pertumbuhan rambut pubis dan menarke pada anak perempuan; pertumbuhan penis, perubahan suara, pertumbuhan rambut di lengan dan muka pada anak laki-laki, serta terjadinya peningkatan produksi minyak tubuh, meningkatnya aktivitas kelenjar keringat, dan timbulnya jerawat (Ducharn : 1993; Tanner : 1989). Pada anak laki-laki awal pubertas ditandai dengan meningkatnya volume testis, ukuran testis menjadi lebih dari 3 mL, pengukuran testis dilakukan dengan memakai alat orkidometer Prader. Pembesaran testis pada umumnya terjadi pada usia 9 tahun, kemudian diikuti oleh pembesaran penis. Pembesaran penis terjadi bersamaan dengan pacu tumbuh. Ukuran penis dewasa dicapai pada usia 16-17 tahun. Rambut aksila akan tumbuh setelah rambut pubis mencapai P4, sedangkan kumis dan janggut baru tumbuh belakangan. Rambut aksila bukan merupakan petanda pubertas yang baik oleh karena variasi yang sangat besar. Perubahan suara terjadi karena bertambah panjangnya pita suara akibat pertumbuhan laring dan pengaruh testosteron terhadap pita suara. Perubahan suara terjadi bersamaan dengan pertumbuhan penis, umumnya pada pertengahan pubertas. Mimpi basah atau wet dream terjadi sekitar usia 13-17 tahun, bersamaan dengan puncak pertumbuhan tinggi badan. Pada anak perempuan awal pubertas ditandai oleh timbulnya breast budding atau tunas payudara pada usia kira-kira 10 tahun, kemudian secara bertahap payudara berkembang menjadi payudara dewasa pada usia 13-14 tahun. Rambut pubis mulai tumbuh pada usia 11-12 tahun dan mencapai pertumbuhan lengkap pada usia 14 tahun. Menarke terjadi dua tahun setelah awitan pubertas, menarke terjadi pada fase akhir perkembangan pubertas yaitu sekitar 12,5 tahun. (Ducharn : 1993; Tanner : 1989). Setelah menstruasi, tinggi badan anak hanya akan bertambah sedikit kemudian pertambahan tinggi badan akan berhenti. Massa lemak pada perempuan meningkat pada tahap akhir pubertas, mencapai hampir dua kali lipat massa lemak sebelum pubertas (Ducharn : 1993).

KESIMPULAN

Ada perbedaan antara rata-rata usia perkembangan seksualitas sekunder siswa SMA laki-laki maupun perempuan antara yang hidup di pedesaan dan perkotaan dengan nilai signifikannya masing-masing 0,001 dan 0,000. Perkembangan seksualitas sekunder pada siswa SMA laki-laki dan perempuan di perkotaan lebih dini dibanding dengan yang di pedesaan. Siswa laki-laki yang hidup diperkotaan dengan mengkonsumsi pizza dan soda memiliki pengaruh terhadap perkembangan seksualitas sekunder dengan nilai signifikannya 0,034. Sedangkan siswi perempuan diperkotaan yang mengkonsumsi daging memiliki pengaruh terhadap perkembangan seksualitas sekunder dengan nilai signifikannya 0,000.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih kepada Rektor dan LPPM Universitas Sebelas maret yang telah mendanai penelitian ini selama kurang lebih 4 bulan. Sumber dana pada penelitian ini DIPA PNBP Universitas Sebelas Maret Surakarta tahun 2014.

DAFTAR PUSTAKA

Batubara JRL. 2010. Sari Pediatri. Volume 12 No1 bulan Juni 2010. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM : Jakarta

Cheung CC, Thornton JE, Nurani SD, Clifton DK, Steiner RA. A reassessment of leptin’s role in triggering the onset of puberty in the rat and mouse. Neuroendocrinology 2001;74:12-21.

Dellemarre-van de Waal HA, van Coeverden SC, Engelbert MT. Factors affecting onset of puberty. Horm Res 2002;57:15-8.

Ducharne JR, Forerst MG. Normal pubertal development. Dalam: Bertrand J, Rappaport R, Sizonenko PC, penyunting. Pediatric Endocrinology. Edisi ke 2. Baltimore: William; 1993.h.372-86.

Engelbregt MJ, Houdijk ME, Pop Snijder C, Lips P,Dellemarre-van de Waal HA. The effect of intrauterine growth retardation and postnatal undernutrition on onset of puberty in male and female rats. Pediat Res 2000;48:803-7.

Frisch RE, Revelle R. Height and weight at menarche and a hypothesis of menarche. Arch Dis Child 1971;46:695-701.

(6)

383

Peper Jiska S., Schnack Hugo G., Brouwer Rachel M., Van Baal G. Caroline M., Pjetri Eneda, Sze´kely Eszter, Van Leeuwen Marieke, van den Berg Ste´phanie M., Collins D. Louis, Evans Alan C., Boomsma Dorret I., Kahn Rene´ S., Pol1 Hilleke E. Hulshoff. Heritability of Regional and Global Brain Structure at the Onset of Puberty: A Magnetic Resonance Imaging Study in 9-Year-Old Twin Pairs. Human Brain Mapping 30:2184–2196.2009

Rosales Francisco J., Reznick J. Steven, Zeisel Steven H. Understanding The Role Of Nutrition In The Brain And Behavioral Development Of Toddlers And Preschool Children: Identifying And Addressing Methodological Barriers. Nutritional Neuroscience Vol 12 No 5. 2009

Seminara SB, Messager S, Chatzidaki EE, Trescher RR, Acierno JS, Shagoury JK,dkk. The GPR54 gene as a regulator of puberty. N Engl J Med 2003;349:1614-27.

Tanner JM. Foetus into Man. Edisi ke-2. Inggris: Castlemead Publication,1989.

Uauy Ricardo, Dangour Alan D. 2005. Nutrition in Brain Development and Aging: Role of Essential Fatty Acids.

Gambar

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin dan Tempat
Tabel 3. Rata-Rata Frekuensi Konsumsi Makanan Responden   No  Jenis Makanan yang

Referensi

Dokumen terkait

ada di Universitas Bangka Belitung, skripsi maupun tulisan dengan judul Analisis Perbandingan Tingkat Pelayanan Pengembangan Terminal Penumpang Bandar Udara Depati Amir

Cara pengumpulan data dalam penilaian ini adalah: (1) Data hasil belajar diperoleh dari hasil tes siswa yang dilaksanakan pada setiap akhir siklus; (2) Data tentang

Ketakutan terbesar pada pekerja modern adalah robot akan menggantikan mereka suatu saat nanti, tetapi seseorang yang dapat bekerja lebih baik, lebih cepat, atau lebih efisien

Menimbang bahwa Majelis Hakim Tingkat Banding berpendapat bahwa dalam perkara ini tidak terdapat Ne bis In Idem, karena putusan Pengadilan Agama Bandung Nomor

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kepatuhan atau compliance Indonesia terhadap aturan CITES sebagai sebuah rezim internasional adalah (1) ambiguitasi dalam

Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah banyak mengkaruniakan nikmat-Nya yang tak terhitung, salah satunya penulis dapat

Pasal 21 didapatkan hasil melalui perhitungan sampel pada gaji PNS dan dilakukan pencatatan jurnal akuntansi yang dilakukan untuk mencatat perhitungan kemudian

Satu penelitian di Turki pada tahun 2008 menunjukkan bahwa dengan penggunaan gel niasinamid 4% terhadap 40 pasien AV derajat ringan-sedang selama delapan minggu,