PERANAN PEMULIAAN TERNAK POTONG DI INDONESIA
PENDAHULUAN
Prof . Mubyarto pada seminar Nasional Pem-bangunan Desa Terpadu di Kendari, tahun 1990 menyatakan bahwa pertumbuhan pengeluaran per kapita penduduk pedesaan Indonesia 1980-1987 rata-rata 12,8% per tahun dengan pertumbuhan tertinggi 17,7% di Jawa clan Bali clan terendah di Maluku clan Irian Jaya 8,8% . Konsumsi protein he-wani di Indonesia baru mencapai 2,56 gram/kapi-ta/tahun dari target yang ditetapkan pada tahun 1983 sebesar 4 gram/kapita/tahun . Kenyataan ini secara langsung menggambarkan bahwa kemam-puan penduduk menyerap produk hewani rendah sekali walaupun pertumbuhan pengeluaran pendu-duk meningkat cukup pesat.
Penyumbang terbesar protein hewani di Indo-nesia adalah daging, yang sebagian terbesar bera-sal dari ternak potong .
Sapi potong di Indonesia telah berkembang se-jak zaman dahulu sehingga peternak secara tradi-sional telah mengenal teknik-teknik beternak yang sederhana clan ciri-ciri tertentu dari sapi-sapi pada lokasi-lokasi tertentu yang menggambarkan keung-gulannya sesuai kegunaan yang paling digemari pada lokasi-lokasi tersebut . Pemeliharaan secara tradisional sederhana ini dialami oleh hampir selu-ruh sapi potong yang ada di Indonesia .
Ada tiga bangsa sapi potong utama di Indone-sia, yaitu sapi Ongole, Bali clan Madura beserta hasil-hasil silangannya baik yang sudah diakui se bagai suatu strain maupun yang belum. Sapi potong yang paling tinggi populasinya di antara ketiga bangsa sapi tersebut adalah Ongole, khususnya Pe-ranakan Ongole, yang merupakan hasil grading up dari sapi Jawa, yang penyebarannya hampir mera-ta ke seluruh Jawa clan beberapa wilayah di Suma-tera clan Sulawesi .
Berbagai usaha perbaikan/peningkatan mutu sapi-sapi lokal telah dimulai sejak kurang lebih se-ratus tahun yang lalu clan masih terus berlangsung sampai sekarang . Salah satu bidang yang diterap-kan dengan lebih intensif adalah perbaiditerap-kan genetik. HASIL-HASIL PENELITIAN PEMULIAAN
TERNAK POTONG DI INDONESIA
Penelitian-penelitian pemuliaan ternak potong yang dilakukan di Indonesia selama ini hanya
ber-Chalid Talib dan A.R . Siregar
(Balai Penelitian Ternak, Claw!)
kisar pada tingkat peternak dengan obyek utama adalah ternak clan hal-hal yang diteliti baru menca-pai pada tahap performans baik produksi maupun reproduksi (lihat lampiran) . Penelitian yang benar-benar merupakan penelitian pemuliaan ternak sam-pai saat ini belum dilakukan baik oleh Perguruan Tinggi maupun oleh Balai Penelitian Ternak clan Sub-sub Balainya .
Masalah utama yang dihadapi oleh para pakar pemuliaan sapi potong di Indonesia adalah ketidak-mampuan menguasai ternak dalam jumlah yang cu kup untuk penelitian pemuliaan sedangkan bila-mana penelitian pemuliaan ini dilakukan di tingkat pedesaan, maka kesinambungan penelitian yakni kontinuitas rekording clan kesulitan pengujian pro-geni merupakan kendala tetap yang selalu dihada-pi . Padahal penelitian dengan metoda konvensio-nal ini masih tetap harus dilakukan dalam peneli-tian untuk meningkatkan kualitas genetik ternak ka-rena metoda-metoda peneUtian mutakhir seperti rekayasa genetika clan lain-lain barulah dimulai pada tingkat laboratorium clan masih membutuhkan jangka waktu yang panjang bila ingin diterapkan pada ternak potong . Jelaslah bahwa penelitian pe-muliaan ternak potong yang dilakukan di Indonesia barulah dalam tahap permulaan termasuk kegiatan P3-Bali yang dilakukan pada sapi Bali di Bali.
Memang beberapa kali Balitnak pernah men-coba melakukan penelitian pemuliaan jangka pan-jang tetapi sekian kali pula mengalami kegagalan dengan kendala-kendala utama seperti yang dike-mukakan di atas. Dengan demikian bilamana masih tetap ingin melihat hasil-hasil penelitian pe-muliaan sebagaimana yang dikehendaki, maka pengorganisasian penelitian secara terpadu antara berbagai pihak perlu dikoordinasikan dengan sebaik-baiknya agar hasil penelitian yang dicapai tidak terpotong-potong nrenjadi penggalan-penggalan yang berdiri sendiri dan saling terpisah satu sama
lainnya.
MASALAH YANG DIHADAPI PADA PENINGKAT-AN KUALITAS TERNAK POTONG
Masalah utama yang dihadapi oleh para peter-nak terpeter-nak potong di Indonesia adalah pembibitan yang meliputi ketidakmampuan peternak untuk
mempertahankan ternak yang terbaik yang dimi-liki, kesulitan kesinambungan pengadaan bibit dan kesulitan melakukan seleksi untuk meningkatkan atau minimal mempertahankan kualitas yang telah dimiliki ternak.
Pengadaan ternak bibit di Indonesia terutama di Jawa, karena 45% sapi potong berada di Jawa clan 37% di Indonesia bagian timur, pada tingkat peternak itu sendiri sebenarnya tidak ada, khusus-nya untuk sapi betina . Dari pengalaman di lapang-an maupun dari berbagai tulislapang-an ilmiah terlihat ma-sih ada kerancuan mengenai pengertian sapi bibit pada tingkat peternak. Dalam pandangan peternak, semua sapi betina dewasa yang mampu bunting, beranak clan merawat anaknya hingga mencapai umur jual adalah bibit induk yang baik. Apakah pedet-pedet yang dilahirkannya akan dijual atau di-jadikan ternak peliharaan, sangat tergantung ter-utama pada keadaan ekonomi keluarga peternak bersangkutan .
Untuk pejantan, umumnya para peternak mem-punyai beberapa kriteria pemilihan yang bervariasi antara wilayah yang satu dengan wilayah lainnya, khususnya mengenai tujuan penggunaan pejantan tersebut apakah sebagai penghasil pedet ataukah untuk dijadikan hewan potong atau untuk kebutuh-an upacara adat/show . Pejkebutuh-antkebutuh-an-pejkebutuh-antkebutuh-an khusus tersebut mempunyai nilai ekonomi lebih, yakni men-datangkan penghasilan tambahan antara lain kare-na adanya insentif setiap kali disewakan untuk mengawini seekor betina.
Secara umum peternak mengenal ciri-ciri eks-terior (kualitatif) sapi betina maupun jantan yang memiliki kualitas di atas rata-rata . Walaupun pem buktian secara ilmiah belum pernah dilakukan, te-tapi dalam praktek jual beli, sapi dengan ciri-ciri
ter-sebut, mempunyai harga jual yang lebih tinggi . Dengan menggunakan ciri-ciri sapi potong (jan-tan clan betina) yang dianggap baik tersebut, maka pengaliran sapi-sapi yang baik dari peternak ke pedagang pengumpul mengalami percepatan baik melalui pasar formal maupun pembelian de-ngan cara kontak perorade-ngan atau antar peternak itu sendiri. Hanya sebagian kecil saja dari sapi-sapi bibit/contoh bibit ini yang kembali ke peternak yang mampu membelinya, sedangkan sebagian besar pe-jantan menjadi hewan konsumsi . Dengan mekanis-me yang serupa, daerah-daerah sumber bibit sapi potong seperti Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Se-latan, Jawa Timur clan Nusa Tenggara Barat juga mengalami pengurasan terhadap sapi-sapi bibitnya : Dari publikasi-publikasi yang berasal dari UGM mau-pun tesis-tesis IPB clan publikasi dari Balitnak sen-diri banyak bukti yang menggambarkan
mekanis-1 6
me pengurasan sapi bibit berkualitas tersebut se-hingga tidak perlu lagi diuraikan secara rinci.
Usaha-usaha untuk menanggulangi penguras-an sapi bibit tersebut juga terbentur pada masalah jumlah pemilikan ternak yang hanya berkisar 1 -3 ekor sapi dewasa dengan kemampuan pemeliha-raan yang hanya berkisar 2-4 unit ternak per ternak (Talib, 1990) . Terbatasnya kemampuan pe-ternak memelihara sapi potong mengakibatkan ke-harusan untuk menjual pedet-pedetnya, apalagi bagi para peternak dengan pengamatan keluarga yang rendah .
Pada waktu-waktu tertentu peternak membu-tuhkan uang tunai dalam jumlah besar, sehingga penjualan sapi-sapi dewasa pun tidak dapat dihin darkan . Bahkan dari pengamatan di lapangan di-dapati banyak peternak yang dulunya adalah penak pemilik sekarang menjadi buruh pemelihara ter-nak dengan sistem bagi hasil .
Dari pemilikan ternak per peternak yang sa-ngat terbatas tersebut tentu peternak secara indi-vidual kurang dapat diharapkan untuk meningkat kan kualitas ternaknya. Peningkatan kualitas ternak hanya dapat dilakukan melalui suatu kerja sama an-tara sejumlah peternak, tentunya dengan bantuan penyuluhan dari instansi terkait.
Sampai saat ini sumber utama sapi potong baik untuk bibit maupun bakalan bagi penggemukan ber-asal dari pasar hewan ataupun langsung dari tengkulak .
PERKEMBANGAN PEMULIAAN TERNAK POTONG DI INDONESIA
Pengalaman dari waktu-waktu yang lalu, da-lam usaha perbaikan genetik maupun peningkatan populasi sapi potong di Indonesia selalu terjadi kait-an kait-antara peternak clkait-an Dinas Peternakkait-an .
Perbaikan genetik sapi potong telah dimulai se-jak tahun 1890, yaitu saat pertama kali dimasuk-kannya jenis-jenis sapi zebu dari India. Pada saat saat awal pemasukan sapi zebu ini ditangani oleh swasta. Tetapi karena kemajuan yang dicapai sa-ngat lambat, maka pemerintah mengambil alih pemasukan sapi zebu tersebut mulai tahun 1906 -1920 sekaligus dengan menangani penyebarannya dengan target Ongolisasi (grading up sapi Jawa ke arah Ongole) clan hasilnya adalah yang kita kenal sekarang sebagai Peranakan Ongole (PO) (Talib, 1988a) .
Ada beberapa hal menarik yang dijalankan pe-merintah sehingga Ongolisasi sapi Jawa dapat ber-jalan dengan berhasil .
1 . Pemerintah mengirimkan ahli-ahli pemulia-an ke daerah sumber bibit (India) untuk me-milih secara langsung bibit yang akan di-impor (Talib, 1984a) .
2. Mendirikan stasiun-stasiun ternak (taman-ternak) untuk memberikan tempat bagi ter-nak impor beradaptasi dengan lingkungan setempat sebelum dilepaskan sebagian ke-pada peternak, sedangkan sebagian lainnya dikembangbiakkan di stasiun tersebut . 3. Menyebarkan pejantan-pejantan unggul
ke-pada peternak secara langsung melalui pe-merintahan desa sebagai pejantan milik desa dengan imbalan insentif setiap kali ka-win dan keharusan kastrasi bagi pejantan-pejantan lokal.
4. Pengontrolan penyakit hewan dengan pe-nyebaran Mantri-mantri Hewan, Ajun Dok-ter Hewan dan DokDok-ter Hewan yang sekali-gus juga berfungsi sebagai penyuluh . 5. Pengawasan pasar hewan yang ketat. Bersamaan dengan Ongolisasi, pemerintah juga menyebarkan sapi ke daerah-daerah yang be-lum atau sedikit memiliki ternak sapi dengan men-dirikan juga stasiun-stasiun ternak lokal sebagai lo-kasi adaptasi ternak yang kemudian juga merupa-kan sumber bibit yang terbaik bagi daerah-daerah baru tersebut .
Dengan cara ini tercatat bahwa Bali, Timor, Lombok clan Sulawesi Selatan muncul sebagai sum-ber bibit sapi Bali murni clan Pulau Sumba sebagai sumber bibit sapi Ongole murni, sedangkan Pulau Madura tetap terpelihara sebagai sumber bibit sapi Madura murni. Untuk mempertahankan kuali-tas sapi-sapi bibit pada lokasi sumber bibit terse-but, maka pengawasan pasar yang ketat diberla-kukan, artinya sapi-sapi yang terbaik tidak pernah lolos ke luar dari lokasi sumber bibit.
Mulai tahun 1970-an pemerintah mulai meng-adakan lagi perbaikan genetik sapi-sapi lokal de-ngan menggunakan pejantan-pejantan lokal unggul clan juga dengan memasukkan darah-darah baru baik darah sapi Eropa, India maupun bangsa baru hasil persilangan antara keduanya . Demikian pula penyebaran ternak ke daerah-daerah yang membu-tuhkan juga ditingkatkan intensitasnya untuk mem-percepat peningkatan populasi. Hasilnya mulai nampak sekarang dengan munculnya daerah-da-erah kantong ternak baru seperti beberapa lokasi transmigrasi lama di Sumatera clan daerah-daerah
lainnya .
Dengan bantuan kawin suntik maka terbuka-lah kemudahan untuk menyilangkan sapi-sapi lokal dengan bangsa sapi yang secara alamiah sulit
dila-WARTAZOA Vol. 2 No. 1 -2, September 1991
kukan sehingga munculah lokasi-lokasi tertentu yang bebas untuk melakukan persilangan dan lo-kasi-lokasi khusus untuk bangsa murni .
Tetapi terdapat kekurangan yang terjadi pada era ini yaitu pengawasan pasar yang ketat, untuk menghindari atau mengurangi pengurasan hewan hewan terbaik dari lokasi-lokasi tertentu terutama lokasi pemurnian, sudah jauh berkurang atau bah-kan tidak ada sama sekali. Dengan demikian pe-ngertian yang sangat besar clan ikhlas harus dibe-rikan oleh peternak-peternak lokasi pemurnian.
Dampak pelaksanaan IB dengan intensitas yang makin tinggi dari hari ke hari memberikan war-na baru bagi pengembangan peterwar-nakan sapi po tong, khususnya bagi penghasilan peternak, kare-na harga jual pedet hasil persilangan (khususnya dengan sapi-sapi Eropa) bernilai dua kali lipat har-ga sapi lokal . Dari penhar-gamatan di Kediri clan Nhar-gan- Ngan-juk (Jaws Timur) bulan September 1990 terlihat adanya perbedaan harga tersebut walaupun bobot badan sapinya sama (Talib, 1991) . Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah harga jual yang tinggi itu akan tetap dapat dipertahankan bilamana pedet komersial tersebut telah merata di Jawa dengan orientasi pasar yang seperti sekarang, yakni meni-tikberatkan pada bobot badan.
Bilamana kita melihat pada awal tulisan ini, dengan kemampuan penduduk Indonesia untuk me-nyerap produk peternakan . yang masih rendah, maka ke manakah sasaran peningkatan kualitas ter-nak potong yang sebenarnya kita tuju? Karena ka-lau yang kita tuju adalah pasar dalam negeri yang menitikberatkan hanya pada bobot badan (hanya sebagian kecil saja masyarakat perkotaan yang mengutamakan kualitas dalam mengkonsumsi da-ging), sehingga kemungkinan besar dalam jangka panjang, karena selera masyarakat peternak untuk membeli sapi persilangan telah menurun, pendapat-an mereka dari usaha ternaknya akpendapat-an menurun pula .
Hasil penelitian pada tiga bangsa sapi potong yakni PO murni, Limousin x PO clan Brahman x PO sampai mencapai umur sapih menunjukkan bah wa silangan Limousin x PO masih menunjukkan performans yang terbaik . Tetapi ketika mencapai umur setahun silangan Brahmanlah yang terbaik dan perbandingan antara Limousin x PO dengan PO sudah dapat dikatakan sama saja (Talib, 1988a) .
Bilamana hasil silangan ini ditujukan untuk pa-sar yang mementingkan kualitas, maka keterkaitan dengan usahawan perlu dijajaki dari awal agar ke sinambungan produksi dan pemeliharaan standar dapat tetap terjaga sehingga penghasilan peternak
pun dapat terjamin. Kalau memang sasaran ini yang ingin dicapai, maka persiapan bibit-bibit penghasil bakalan sudah harus disiapkan dari tingkat peter-nak. Pada saat ini kawin suntik sudah berjalan se-kitar 10 tahun tetapi induk-induk persilangan pada wilayah-wilayah ULIB (Unit Lokasi IB) di Jawa ma-sih terlampau sedikit dibandingkan dengan induk-induk PO lokal, padahal perkawinan yang berlang-sung dalam wilayah ULIB minimal 50% dengan cara kawin suntik (Talib, 1988b) .
Evaluasi mengenai keberhasilan dalam usaha meningkatkan kualitas ternak yang telah dilakukan pada masa lampau harus terus dilakukan agar usa ha yang telah susah payah dilakukan tersebut tidak menjadi sia-sia pada masa sekarang .
Ada dua hal penting yang memerlukan jawa-ban sesegera mungkin yakni mengenai kualitas ter-nak pada daerah pemurnian clan wilayah ULIB. Apa kah ada kenaikan produktivitas ternak secara ke-seluruhan pada wilayah ULIB clan apakah pendapat-an peternak pada lokasi pemurnipendapat-an juga telah cu-kup diperhatikan agar tidak menimbulkan iri hati pe-ternaknya dengan peternak pada lokasi persilang-an .
PERBAIKAN KUALITAS BIBIT
Kesulitan peternak untuk mempertahankan sapi terbaik yang dimiliki terbentur pada kebutuhan uang tunai yang mendesak, sedangkan pedet jan tan mempunyai harga jual yang lebih menarik dari-pada yang betina, sehingga umumnya peternak ti-dak mempertahankan pedet jantannya.
Dengan adanya kawin suntik yang menjamin semen yang digunakan pasti berasal dari pejantan unggul, maka perhatian peternak dapat dipusatkan pada induk clan pedet-pedetnya . Karena nilai eko-nomis pedet berada pada bobot badannya clan in-duk pada reproin-duktivitas clan kemampuan kerjanya, maka ukuran yang diprioritaskan untuk diukur ada-lah bobot badan. Bilamana tidak terdapat timbang-an maka dapat dipilih lingkar dada cltimbang-an tinggi pun-dak (Talib, 1990) sebagai sarana untuk memperhi-tungkan bobot badan ternak .
Langkah-langkah yang dapat ditempuh untuk meningkatkan kualitas induk yang dilakukan sen-diri oleh peternak dengan pengawasan penyuluh adalah :
1 8
1 . Minimal 10 peternak bergabung untuk membentuk kelompok bilamana pada wi-layah tersebut belum terdapat kelompok peternak .
2. Semua induk yang dimiliki dinilai clan induk-induk yang bebas dari cacat-cacat genetik clan tidak pernah melahirkan anak cacat serta mempunyai ukuran terbaik di atas rata-rata kelompok sebanyak 25% dari pa-danya dijadikan induk-induk terpilih yang di-prioritaskan untuk dipertahankan oleh ke-lompok .
3. Bilamana pemilik induk terpilih karena se-suatu sebab harus menjual induk tersebut, maka kelompok akan membelinya dan ke mudian menyerahkan kembali kepada pe-miliknya dengan menerapkan sistem bagi hasil yang sesuai dengan lingkungan . Me-kanisme yang sama berlaku pula bagi pe-det-pedet terbaik untuk calon induk . 4 . Untuk menjamin tersedianya uang tunai
mi-lik kelompok maka dapat dirembukkan jum-lah minimal angsuran bulanan clan potong an dalam jumlah tertentu pada setiap pen-jualan . Pembagian keuntungan dilakukan setahun sekali.
Apabila produk sapi potong ini ditargetkan un-tuk menembus pasar yang mementingkan kualitas, maka keterlibatan instansi-instansi, perusahaan perusahaan terkait serta para peternak harus di-tata lebih profesional agar produk yang dihasilkan dapat memenuhi standar yang ditentukan konsumen/pasar.
KESIMPULAN DAN SARAN
Peternak sapi potong umumnya adalah peter-nak tradisional sederhana yang hanya memelihara 2-4 unit ternak per peternak . Ketidakmampuan mempertahankan ternak berkualitas baik oleh pe-ternak selalu menimbulkan masalah serius dalam mempertahankan mutu genetik sapi.
Peningkatan kualitas sapi potong dilakukan dengan memasukkan sumber genetik baru baik darah zebu maupun Eropa clan pejantan unggul sapi lokal sedangkan peningkatan populasi dilaku-kan dengan penyebaran ternak ke lokasi-lokasi baru dan disertai dengan pengontrolan terhadap penyakit .
Usaha peningkatan kualitas bibit khususnya in-duk seharusnya dapat diterapkan oleh peternak me-lalui kelompok-kelompok peternak di bawah pe-ngawasan clan bimbingan penyuluh .
Untuk ikut berperan dalam pasar yang memen-tingkan kualitas, maka keterlibatan perusahaan ter-kait sudah dibutuhkan sejak kegiatan awal dimu-lai .
DAFTAR PUSTAKA
1 . Siregar, A.R., Ch. Talib, K. Dwiyanto, P. Si-tepu, H. Prasetyo, U. Kusnadi, P . Sitorus clan D. Budiwiyono. 1985. Performans sapi Bali di Timor-NTT clan sapi Madura di Pulau Madura . Ditjenak clan Balitnak. 2. Talib, Ch. 1984x . Kekhasan sapi Bali di Timor. 1984. Bull. Teknik clan Pengemb. Peter-nakan 15/111/84/85 .
3. Talib, Ch . 1984b . Kekhasan sapi Bali di Sula-wesi Selatan . 1984 . Bull . Teknik clan Pengemb . Peternakan 16/IV/84/85 . 4. Talib, Ch. 1985. Kekhasan sapi Bali di Bali .
1984. Bull. Teknik clan Pengemb. Peter-nakan 17/1/85/86 .
5. Talib, Ch . 1986. Setengah abad perkembang-an sapi Madura di Madura. Bull. Teknik clan Pengemb . Peternakan 21/l/86/87. 6. Talib, Ch . 1988x . Produktivitas Induk Sapi
Peranakan Ongole clan Keturunannya . Thesis Program Magister Sains. Institut Pertanian Bogor. Bogor .
WARTAZOA Vol. 2 No. 1 -2, September 1991
7. Talib, Ch. 1988b . Produktivitas sapi Peranak-an Ongole. UkurPeranak-an-ukurPeranak-an tubuh induk clan anak pada umur sapih . Proc. Semi-nar, LUSTRUM IV, UGM, Yogyakarta. 8. Talib, Ch. 1990. Keterkaitan ukuran-ukuran
tubuh lingkar dada, tinggi pundak, pan-jang badan clan bobot badan pedet PO clan silangan Brahman dari umur 120-365 hari di peclesaan di Jawa Timur. Proc. Seminar Nasional Ternak Potong di Pedesaan . UNSOED . Purwokerto. 9. Talib, Ch . 1991 . Produktivitas sapi bibit
Peranakan Ongole di Kabupaten Kediri clan Nganjuk, Jawa Timur. (Unpublished) . 10. Talib, Ch . clan A.R . Siregar. 1984. Potensi clan Pengembangan Sapi Bali di Timor-NTT. Wartazoa 1 (3): 1 -8.
11 . Talib, R .A.B . 1991 . Karakterisas i Ulang Sapi Ongole Murni di Pulau Sumba. Thesis Pro-gram Magister Sains. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Uraian
Lampiran 1 . Bobot badan (kg) sapi Peranakan Ongole dan turunart silangnya
dari berbagai penelitian
Persentase karkas PO = 46-52% .
Calf crop
PO = 53-65% .
Sumber : Diolah kembali dari Talib (1988a).
20
PO
Brahman x PO
Ongole x PO
Sumber: Diolah kembali dari Talib (1988a) .
*)Talib (1991) .
Bobot badan (kg/ekor)
Lampiran 3. Bobot badan (kg) dan lingkar dada (cm) induk sapi Ongole dari berbagai penelitian
Lampiran 2. Bobot badan (kg) sapi Bali dewasa menurut berbagai penelitian
Bobot badan
Tahun
(kg/ekor)
Lokasi
Sumber
Jantan
Betina
1922
432
264
Bali
Talib (1985)
1926
400
275
Bali
idem
1934
407
275
Bali
idem
1970
413
281
Bali
idem
1976
336
230
Bali
idem
1978
395
303
Bali
idem
1980
335
303
Bali
idem
1983
264
250
Sulsel
Talib (1984b)
1984
310
247
Bali
Talib (1985)
1985
258
230
Timor
Talib (1984a),
Talib dan
Siregar (1984)
Gigi seri 0
2
4
6
8
242,6 ± 9
266,9 ± 5
258,9 ± 5
278,7 ± 3
210,7±9
-Rataan
251,6 ± 3
317,7
313,0
Bobot: lahir
24,6 ± 0,6
26,4 t 0,6
28,5 ± 3
120 hr
100,6 ± 4
118,6 ± 4
-205 hr
133,0 ± 6
149,6 ± 5
155,0 ± 14
365 hr
182,8 ± 8
212,4 ± 8
196,7 ± 10
Tahun
Bobot badan
(kg/ekor)
Lingkar dada
(cm)
Lokasi
1906
-
190
Jawa
1921
-
158
Jawa
1923
-
155
Jawa
1978
353
162
Sumba
1982
235
-
Jogya
1983
251
150
Jatim
1988
342
160
Sumba*)
Sumber: Diolah kembali dari Talib (1986).
*)Siregar dkk. (1985) .
Umur (hari)
Lampiran 4. Bobot badan (kg) clan lingkar dada (cm) clan Tnggi pundak (cm)
sap! Madura dari berbagai penelitian di Pulau Madura.
Lampiran 5 . Bobot badan (kg) sapi Bali clan Madura dari berbaga! penelitian
Sumber : Diolah kembali dari Siregar dkk. (1985) .
Sumber :
* )Siregar dkk. (1985) .
* * )Talib (1986).
@)Talib (1991) .
WARTAZOA Vol. 2 No. 1 -2, September 1991