• Tidak ada hasil yang ditemukan

Apa itu kota Oleh NELI TRIANA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Apa itu kota Oleh NELI TRIANA"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

“Apa itu kota?”

Oleh : NELI TRIANA

(makalah ditulis pada Oktober 2016, terkait tugas mata kuliah “Kota dan Perkembangannya di Indonesia”, KPP UI)

Dari beberapa artikel maupun buku yang saya baca, saya

menangkap bahwa belum ada satu definisi kota yang disepakati bersama oleh para ahli. Meskipun demikian, saya setuju dengan para ahli yang sepakat bahwa kota adalah representasi dari manusia-manusia penghuninya. Penjelasan Lewis Mumford seperti yang tercantum dalam artikel “What is A City” di The City Reader edisi ke 6, misalnya, memperkuat pendapat tersebut. Mumford menyatakan, kota tidak bisa definisikan hanya berdasar wujud fisik bangunan-bangunan di dalamnya.

Secara fisik, lanjut Mumford, eksistensi kota berarti suatu situs tetap, tempat berlindung kelompok-kelompok manusia dalam jumlah besar yang bertahan lama, dengan beberapa fasilitas permanen untuk berkumpul, bertukar, dan penyimpanan. Secara sosial, eksisten kota berarti ada pembagian kelas sosial seperti pekerja yang tidak hanya berjasa dalam memutar roda ekonomi tetapi turut berperan dalam proses berbudaya atau pembentukan budaya-budaya baru.

Kota dilihat secara utuh, tulis Mumford, adalah sebuah

organisasi ekonomi, sebuah proses institusional, teater aksi sosial, dan simbol estetis kesatuan kolektif. Kota membantu perkembangan kesenian dan kota adalah bagian dari seni itu sendiri, kota membangun panggung dan menjadi panggung. Segala kegiatan manusia di dalamnya terfokus pada hal-hal tertentu, dengan individu-individu yang saling bertikai maupun

bekerjasama dalam grup-grup yang menyelenggarakan berbagai peristiwa, hingga mencapai kulminasi yang signifikan.

Disharmoni dan konflik selalu mewarnai drama sebuah kota. Orang-orang penghuni kota juga berbeda-beda sifat, sikap, dan latar belakang ekonomi, suku, agama, serta ras. Di desa,

penghuninya cenderung berlatar belakang sama.

(2)

sosialnya. Mumford menegaskan pembangunan fisik kota yang terencana dan perlu pembatasan-pembatasan tertentu harus dilakukan untuk tetap mengefektifkan fungsi sosial sebuah kota. Saya mendukung pendapat ini karena manusia sebagai unsur terpenting kota maka kebutuhannyalah yang utama dan dijaga agar terus tercukupi. Untuk itu, penataan kota yang baik amat diperlukan.

Aspek fisik sebagai penyokong aspek sosial yang menjadi ciri sebuah kota, menurut saya diperkuat dan dijelaskan lebih

lanjut dan detil oleh Jane Jacobs. Jacobs dalam artikelnya The Uses of Sidewalks : Safety dari buku The City Reader edisi ke 6 membeberkan bahwa tanpa melihat kebutuhan riil warga kota, pembangunan trotoar dan taman tidak serta merta membuat

masyarakat nyaman. Jacobs bahkan menggugat para perencana kota yang menurutnya hanya sekedar mempercantik kota secara fisik, yaitu dengan membangun trotoar serta taman-taman sesuai

pertimbangan teknis dan estetis saja. Namun, trotoar yang ada diyakini Jacobs tidak aman digunakan anak-anak yang berjalan sendirian. Demikian juga dengan taman kota.

Jacobs menegaskan, pembangunan trotoar seharusnya diikuti penataan bangunan di tepiannya. Tempat usaha atau rumah toko yang tepat berbatasan dengan trotoar lebih baik menghadap ke jalur pejalan kaki. Hal ini akan memperbanyak “mata” yang mengawasi trotoar sehingga jika ada sesuatu yang tidak beres menimpa pejalan kaki, mudah diketahui dan ditangani. Trotoar di sini, saya pikir, hanya satu contoh dari banyak fasilitas fisik kota lain yang harus disesuaikan dengan kebutuhan warga. Fasilitas kota lain itu, misalnya, jaringan angkutan publik, jaringan jalan, juga pendidikan dan kesehatan.

Kota adalah peradaban

Saya setuju dan meyakini bahwa hidup mati sebuah kota

menentukan kegagalan atau keberhasilan dan keberlanjutannya adalah warga kota itu sendiri. Kota, seperti diungkap di

bagian penjelasan awal Bab 2 buku The City Reader edisi ke 6, memiliki tiga institusi utama yaitu pemerintahan atau

(3)

Peradaban manusia bukan hal mudah untuk dicapai. Perlu beribu-ribu tahun bagi manusia untuk mengembangkan kebudayaan dan mencapai titik taraf tinggi atau kompleks yang disebut

peradaban. Jejak awal munculnya kota sebagai wujud peradaban tinggi manusia, seperti dijelaskan di bagian penjelasan awal Bab 1 buku The City Reader edisi ke 6, ditemukan di antara Sungai Tigris dan Eufrat, di sepanjang bantaran Sungai Indus, juga di Sungai Nil beberapa ribu tahun sebelum masehi. Sejak itu, kebudayaan berbasis kota dan populasi urban yang

berkembang hampir di semua belahan dunia terus menjadi bagian perjalanan sejarah manusia.

Di penjelasan awal Bab 1 itu, diuraikan pendapat V Gordon Childe, bahwa karater kota-kota pertama di dunia adalah adanya struktur sosial, politik, dan ekonomi yang kompleks. Meskipun kini kota-kota di dunia berkembang dan memiliki keunikan

tersendiri, tetapi dipastikan selalu ada ketiga struktur dasar itu. Childe juga meyakini ada tiga hal yang mengubah drastis peradaban manusia, yaitu revolusi pertanian, revolusi urban, dan revolusi industri. Revolusi industri, misalnya, adalah suatu masa ketika sistem produksi manual berganti dengan mesin, kota-kota baru tumbuh dan berkembang pesat. Kota yang susah beradaptasi dengan kondisi ini mengalami kemunduran.

Ditarik ke masa kini, ada dua revolusi lagi yang mengubah hidup manusia, yaitu revolusi informasi dan globalisasi. Masih berkaitan dengan dua revolusi tersebut, di era abad 21 ini, muncullah peran manusia-manusia kreatif. Manusia kreatif tidak melulu mengandalkan mesin, tetapi justru berbasis penguasaan pengetahuan dan teknologi. Mereka membentuk kelas baru dalam masyarakat, yang disebut kelas kreatif. Hal ini seperti

diungkap Richard Florida dalam artikel “The Creative Class” di buku The City Reader edisi ke 6.

Mereka yang termasuk kelas kreatif ini, antara lain ilmuwan, arsitek, artis, novelis, dan desainer. Yang turut menjadi bagian kelas kreatif adalah pemimpin sekaligus pemikir di era masyarakat modern, tokoh-tokoh budaya, peneliti, dan para pembentuk opini. Mereka yang bekerja di berbagai bidang industri berbasis pengetahuan, teknologi tinggi, jasa

keuangan, profesi ahli hukum, kesehatan, dan manajemen bisnis pun termasuk dalam kelas baru ini. Para teknisi serta

(4)

Kelas kreatif terbukti mampu menghidupkan kota dengan hasil karya mereka, misalnya, seperti dituliskan oleh Florida, yaitu yang terjadi di Denver, Amerika Serikat. Kebijakan yang ramah terhadap para seniman/artis diimbangi pembangunan transportasi publik memadai serta perbaikan stadion baseball sukses

menghidupkan kembali kawasan pergudangan yang sebelumnya

menuju “kematian”. Kelas kreatif dinilai bisa mewujudkan kota meritokrasi, kota yang dikendalikan oleh orang-orang yang berkemampuan di bidangnya. Di Indonesia, kehadiran kelas

kreatif ini saya rasakan sudah memberi dampak signifikan. Hal ini, antara lain, dari hadirnya pemimpin-pemimpin muda di tingkat kota yang mampu membawa perubahan positif, seperti di Kota Solo, Bandung, Jakarta, Surabaya, dan Banyuwangi.

Eksistensi manusia, eksistensi kota

Menurut saya, karena kota amat tergantung pada warganya, maka setiap warga wajib dilindungi dan dihargai eksistensinya. Peran pemerintah dan sesama warga diuji dalam memecahkan masalah yang dihadapi setiap kelompok masyarakat kota.

Kebutuhan warga untuk dihargai dan sisi kelam bagian kota yang tidak terurus digambarkan gamblang oleh Elijah Anderson dalam artikel “The Code of the Street” and “Decent and Street

Families” di buku The City Reader edisi ke 6. Anderson

memaparkan kehidupan warga kulit hitam miskin di kota-kota di Amerika Serikat yang sarat kekerasan. Warga kota memiliki masalah akut dan tidak tersentuh tangan pemerintah. Mereka terjerat perdagangan dan penggunaan narkoba sehingga kehidupan mereka pun tergantung pada para bandar narkoba.

Warga di komunitas yang dipelajari Anderson beradaptasi dengan kondisi buruk dengan antara lain, memiliki sistem keamanan sendiri. Mereka yang lemah bergantung pada para bandar yang rata-rata bersenjata api untuk menunjukkan eksistensinya. Siapa pun yang dinilai tidak menunjukkan rasa hormatnya akan berhadapan dengan moncong senjata api atau babak belur dihajar anggota geng si bandar. Kekerasan menjadi budaya baru yang muncul dan terpelihara.

(5)

graffiti dan mural yang awalnya adalah wujud upaya eksistensi genk dan ekspresi seni serta pemberontakan kelompok minoritas.

Dari artikel Anderson itu, saya menangkap pesan bahwa

pembiaran terhadap komunitas warga bermasalah menyebabkan rasa tidak aman menular. Rasa tidak aman itu tidak hanya pada

mereka yang tinggal atau berdekatan dengan kelompok tersebut, tetapi menjadi cacat bagi keseluruhan kota. Penyakit kekerasan menurun ke setiap generasi yang dilahirkan di lingkungan

tersebut. Kualitas dan kuantitas kekerasan pun meningkat.

Membantu menyembuhkan komunitas yang sakit tidak mudah.

Pemerintah yang hadir dengan program-program fisik saja tanpa mengetahui akar masalah warganya justru akan memperburuk

situasi. Sesama warga kota pun tidak bisa langsung ikut campur karena kehadiran orang luar biasanya amat ditentang di

komunitas seperti ini dan bisa memicu konflik baru. Namun, jika diam saja, seperti yang disinggung Anderson di

artikelnya, masalah kota akan terus berkembang.

Menurut saya, untuk mengatasi masalah kota harus memahami dulu karakternya yang bisa memakai pendekatan Louis Wirth seperti dijabarkan dalam artikel “Urbanism as A Way of Life” dari buku The City Reader edisi ke 6. Wirth mengatakan bahwa memahami sebuah kota bisa dilakukan dengan mencermati dan memahami tiga hal, yaitu populasi, kepadatan penduduk, dan keheterogenan warganya. Ketiga hal itu saling berkorelasi dan membentuk sifat atau karakter kota. Bisa jadi ada kemiripan karakter di tiap kota, tetapi bisa pula ada perbedaan-perbedaan

signifikan.

Hal pertama, yaitu populasi atau penambahan jumlah penduduk, menurut Anderson, akan berpengaruh pada hubungan antarwarga dan karakter kota. Semakin besar populasi, semakin besar variasi individu di dalamnya. Keterikatan budaya, sosial, semakin renggang. Dalam situasi seperti ini, kompetisi dan mekanisme kontrol formal akan menggantikan ikatan tradisional untuk mengendalikan kota.

Hal kedua, kata Wirth, yaitu ketika penduduk bertambah dan lahan tetap maka perkembangan kota menjadi terbatas dan

(6)

terjadi friksi dan iritasi besar, rasa frustasi makin membebani.

Hal ketiga, keheterogenan dijelaskan Wirth dari komposisi penduduk kota yang beragam, dari bermacam suku, ras, agama, tingkat ekonomi, pendidikan, dan lain-lain. Mereka cenderung membuat kelompok-kelompok atas dasar kesamaan di antara

mereka. Grup-grup ini cenderung eksklusif. Banyak isu muncul, diiringi perilaku kolektif yang susah diprediksi dan sangat bermasalah.

Menurut Wirth, ini menjadi karakter pembeda lainnya antara desa dan kota. Di desa, kehidupan penghuninya jauh lebih sederhana dari kota. Tekanan pada tiap individu makin kuat ketika fasilitas kota memang lebih diperuntukkan bagi

kebutuhan rata-rata yang muncul bukan pada kebutuhan per orang. Jika seseorang ingin terlibat dalam kehidupan sosial, politis, dan ekonomi di kota, dia harus menjadi bagian dari komunitas yang lebih besar dan ini berarti menjadikannya bagian dari pergerakan massa besar.

Wirth menawarkan tiga perspektif pendekatan empiris dengan menggunakan tiga hal (populasi, kepadatan, keheterogenan) di atas yang mungkin diterapkan untuk memahami karakter kota-kota. Pertama, urbanisme dalam perspektif ekologi, yaitu melihat struktur fisik yang diatur berdasarkan populasi, teknologi, dan ekologis. Kedua, urbanisme dalam perspektif organisasi sosial, yaitu sistem organisasi sosial memengaruhi karateristik struktur sosial, institusi sosial, dan pola

hubungan sosial. Ketiga,urbanisme dalam perspektif perilaku individu dan kolektif, yaitu pikiran, perilaku, dan konstelasi hubungan personal yang memengaruhi perilaku kolektif sebagai kontrol sosial.

Kesimpulan

Menggunakan cara yang ditawarkan Wirth, menurut saya,

(7)

dan masyarakat kelas kreatif makin meningkat jumlahnya, seharusnya semakin banyak solusi ditawarkan untuk atasi

masalah terkait kota. Tidak perlu ada kelompok-kelompok yang terpinggirkan, juga kota-kota yang terpaksa mati.

Dengan demikian, saya meyakini kota akan selalu menjadi perwujudan peradaban masyarakat penghuninya yang begitu kompleks. Tantangan ke depan berupa makin banyak penduduk tinggal di kota yang memacu pertumbuhan dan perkembangan kota-kota di dunia akan bisa dihadapi dan diatasi dengan solusi kreatif yang baik. Namun, sejak saat ini, diperlukan

pengelolaan tiap kota dengan baik. Perlu mengerahkan segenap potensi yang ada, khususnya warga sebagai sumber daya utama yang tidak akan ada habisnya dan lingkungan alam yang

terbatas, serta membentuk jaringan antarkota maupun kota-desa, secara bijak. Dengan demikian, kota-kota dengan keunikan

(8)

Daftar pustaka :

Anderson, Elijah. 1999. “The Code of the Street” and “Decent and Street Families”. Dalam Richard T. LeGates dan Frederic Stout (Ed.). The City Reader 6nd Edition (Hal 131-138). London and New York: Routledge

Childe, V. Gordon. 1950. “The Urban Revolution”. Dalam Richard T. LeGates dan Frederic Stout (Ed.). The City Reader 6nd

Edition (Hal 30-38). London and New York: Routledge

Doxiadis, Constantinos A. 1968. “Ekistics : The Science of Human Settlements”. Hutchinson of London.

Florida, Richard. 2004. “The Creative Class”. Dalam Richard T. LeGates dan Frederic Stout (Ed.). The City Reader 6nd Edition (Hal 163-169). London and New York: Routledge

LeGates, Richard T. dan Stout, Frederic. 2016. “Introduction to part one”. Dalam Richard T. LeGates dan Frederic Stout (Ed.). The City Reader 6nd Edition (Hal 13-18). London and New York: Routledge

LeGates, Richard T. dan Stout, Frederic. 2016. “Introduction to part two”. Dalam Richard T. LeGates dan Frederic Stout (Ed.). The City Reader 6nd Edition (Hal 105-109). London and New York: Routledge

Jacobs, Jane. 1961.”The Uses of Sidewalks : Safety”. Dalam Richard T. LeGates dan Frederic Stout (Ed.). The City Reader 6nd Edition (Hal 149-153). London and New York: Routledge

Mumford, Lewis. 1937. “What Is A City?”. Dalam Richard T. LeGates dan Frederic Stout (Ed.). The City Reader (Ed.). The City Reader 6nd Edition (Hal 110-114). London and New York: Routledge

Wirth, Louis. 1938. “Urbanism as a Way of Life”. Dalam Richard T. LeGates dan Frederic Stout (Ed.). The City Reader 6nd

Referensi

Dokumen terkait

Jika kondisi sosial, ekonomi, dan politik tidak mendukung maka akan menghambat proses pelaksanaan program e-lampid di Kelurahan Kebonsari Kecamatan Jambangan Kota

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh tes elevasi tungkai yang dilakukan secara pasif pada variasi pletismograf dalam penilaian responsivitas terhadap cairan pada

Dimana PNS jika mencalonkan diri atau dicalonkan untuk menduduki jabatan negara (sebagaimana yang disebutkan diawal), mereka diwajibkan menyatakan pengunduran diri secara

Dapat dilihat pula dari hasil data kelas interval variabel tingkat investasi menunjukkan bahwa 90% pemerintah daerah pada kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah

Program tabungan hari tua adalah sebuah program jangka panjang dimana peserta berhak mendapatkan manfaat program sebelum mencapai usia pensiun, dan apabila pekerja meninggal

Hasil uji hipotesis menunjukkan t hitung > t tabel (10,087 > 1,661), maka Ho ditolak dan Ha diterima artinya bahwa program Jamsostek mempunyai hubungan nyata dan

Hasil optimasi algoritma genetika terhadap skenario rantai pasokan agroindustri cocodiesel tersebut adalah sebagai berikut : Jumlah pasokan kelapa dari pemasok-1 ke

1) Bagi Calon pemenang dilakukan pembuktian Legalisasi Perusahaan dan Kelengkapan Tenaga Ahli ( Ijazah Tenaga Ahli, NPWP, Laporan Pajak 3 bulan terakhir (Juli 2011, Agustus