• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Unsur Unsur Intrinsik Dalam N

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Analisis Unsur Unsur Intrinsik Dalam N"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS UNSUR –UNSUR INTRINSIK DALAM ‘READING LOLITA IN TEHRAN’ KARYA AZAR NAFISI

BY

ERVIYANA JELITA

Abstrak

Penelitian ini mengangkat sebuah novel kontemporer bergenre memoir yang berjudul Reading Lolita In Tehran karya Azar Nafisi yang diterbitkan pada tahun 2003. Analisis dilakukan terhadap unsur – unsur intrinsik yang meliputi tema, alur, tokoh dan perwatakan, latar, sudut pandang, gaya bahasa, dan amanat yang terkandung di dalam cerita serta kaitannya dengan sastra islam kontemporer. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analisis dan pendekatan intrinsik. Hasil akhir dari penelitian ini adalah menjelaskan unsur – unsur intirinsik dalam cerita tersebut sehingga saling berkaitan satu sama lain untuk membangun cerita tersebut secara utuh serta kaitannya dengan sastra Islam kontemporer.

Kata kunci: Intrinsik, tema, alur, tokoh, setting.

Abstract

This research raised a contemporary memoir novel titled Reading Lolita In Tehran by Azar Nafisi which was published in 2003. The analysis is conducted

on the intrinsic elements included theme, plot, character and characterization, setting, point of view, figurative language, and message which is contained in the story and also its relation to the contemporary Islamic literature. This research used a descriptive method of analysis and the intrinsic approach. The final result of the research of this research is to explain the intrinsic elements in the story so interrelated in one another to build the story and its relation to the contemporary Islamic literature.

▸ Baca selengkapnya: unsur intrinsik puisi malaikat juga tahu

(2)

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Sastra adalah suatu bentuk gagasan, imajinasi, dan argumentasi seseorang yang di refleksikan sebagai tulisan dengan menggunakan Bahasa. Rene Wellek dan Austin Warren dalam buku Susanto yeng berjudul Sastra, Perempuan, Korupsi menyatakan bahwa sastra adalah institusi sosial yang

memakai medium bahasa (Susanto, 2013, p. 21). Aminuddin (Pengantar Apresiasi Karya Sastra, 2013, p. 38) berpendapat bahwa sastra sebagai salah

satu cabang seni sebagai bacaan, tidak cukup dipahami lewat analisis kebahasaannya, lewat studi yang disebut text grammar atau text linguistics, tetapi juga harus melalui studi khusus yang berhubungan dengan literary text karena teks sastra bagaimanapun memiliki ciri – ciri tersendiri yang berbeda dengan ragam bacaan lainnya. Adanya ciri – ciri khusus teks sastra itu salah satunya ditandai oleh adanya unsur – unsur intrinsik karya sastra yang berbeda dengan unsur – unsur yang membangun bahan bacaan lainnya. Dari keseluruhan uraian diatas akhirnya dapat kita ambil kesimpulan bahwa cipta sastra sebenarnya mengandung berbagai macam unsur yang sangat kompleks, antara lain:

1. Unsur keindahan

2. Unsur kontemplatif yang berhubungan dengan nilai – nilai atau renungan tentang keagamaan, filsafat, politik, serta berbagai macam kompleksitas permasalah kehidupan

3. Media pemaparan, baik berupa media kebahasaan maupun struktur wacana, serta

(3)

Unsur intrinsik memiliki peranan yang sangat penting dalam karya sastra karena karya sastra tidak akan tercipta tanpa ada unsur intrinsik di dalamnya. Unsur intrinsik meliputi peristiwa, cerita, plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang penceritaan, bahasa atau gaya bahasa, dan lain – lain (Nurgiyantoro, 2009, p. 23).

Karya sastra menurut jenis atau genrenya dibagi kedalam tiga bentuk yaitu prosa, puisi dan drama. Salah satu bentuk prosa ialah prosa fiksi. Aminuddin dalam buku Pengantar Apresiasi Karya Sastra berpendapat bahwa istilah prosa fiksi atau disebut karya fiksi, biasa juga diistilahkan dengan prosa cerita, prosa narasi, narasi, atau cerita berplot. Pengertian prosa fiksi tersebut adalah kisahan atau cerita yang diemban oleh pelaku – pelaku tertentu dengan pemeranan latar serta tahapan dan rangkaian cerita tertentu yang bertolak dari hasil imajinasi pengarangnya sehingga menjalin suatu cerita. Sebagai salah satu genre sastra, karya fiksi mengandung unsur – unsur meliputi (1) Pengarang atau narrator, (2) Isi penciptaan, (3) Media penyampaian isi berupa bahasa, dan (4) Elemen – elemen fiksional atau unsur – unsur intrinsik yang membangun karya fiksi itu sendiri (Aminuddin, 2013, p. 38).

Dalam penelitian ini penulis memilih teks prosa Islam yang berbahasa Inggris sebagai objek penelitian. Teks prosa tersebut adalah sebuah novel berjudul Reading Lolita In Tehran yang dikarang oleh Azar Nafisi. Berdasarkan hal tersebut penulis bermaksud untuk melakukan penelitian yang berhubungan dengan unsur – unsur intrinsik atau pembangun dalam cerita seperti tema, tokoh, alur, latar, karakter, amanat, sudut pandang dan gaya bahasa serta kaitannya dengan sastra Islam kontemporer.

1.2 Rumusan Masalah

(4)

tersebut? Mengapa Reading Lolita In Tehran termasuk karya sastra Islam kontemporer?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian yang dilakukan terhadap novel Reading Lolita In Tehran adalah menguraikan unsur – unsur intrinsik dalam cerita tersebut

beserta kaitannya dengan sastra Islam kontemporer. Penelitian ini juga diharapkan dapat menambah wawasan pembacanya serta mengembangkan teori mengenai analisis unsur intrinsik dalam teori analisis sastra.

1.4 Pembatasan Masalah

Dalam penelitian ini hanya akan membahas mengenai unsur – unsur intrinsik yang meliputi tema, tokoh, alur, latar, sudut pandang, gaya bahasa, dan amanat dalam Reading Lolita In Tehran karya Azar Nafisi serta kaitannya dengan sastra Islam kontemporer.

1.5Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analisis. Yang menurut Ratna (2004:53) merupakan metode yang dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta – fakta yang ada kemudian menganalisisnya. Penelitian ini akan menggambarkan data di dalam karya sastra untuk kemudian dianalisis. Penulis juga melakukan studi pustaka yang digunakan sebagai sumber data maupun rujukan.

(5)

II. TEORI DAN ANALISIS

2.1 Penjelasan Singkat Mengenai Reading Lolita In Tehran

Reading Lolita In Tehran adalah sebuah novel yang dikarang oleh Azar

Nafisi. Novel ini merupakan biografi singkat dari sang penulis karena ditulis untuk menceritakan kisah penulis bersama 8 murid kelas khususnya dalam mempelajari dan berdiskusi tentang karya sastra fiksi. Karya sastra fiksi pertama yang mereka diskusikan adalah kisah Seribu Satu Malam, kemudian novel Lolita karya seorang penulis Rusia bernama Nobokov, novel Madame Bovary karya seorang penulis Prancis bernama Gustave Flaubert, Novel The Great Gatsby karya F. Scott Fitzgerald, beberapa cerita pendek karya Maxim

Gorky dan Mike Gold, novel Pride and Prejudice karya Jane Austen, dan masih banyak lagi. Novel Reading Lolita In Tehran bergenre memoir/memoar. Memoir atau memoar adalah suatu bentuk karya sastra non-imajinatif yang berisi cerita – cerita yang dialami oleh penulisnya pada saat/waktu tertentu dari kehidupannya. Novel ini dipublikasikan pertama kali pada tahun 2003 dan berada dalam tempat New York Times bestseller selama lebih dari ratusan minggu. Novel ini telah diterjemahkan ke dalam 32 bahasa.

Azar Nafisi adalah penulis dari Reading Lolita In Tehran yang juga merupakan seorang dosen yang pernah mengajar di beberapa universitas di Tehran dan pernah mengajar di Oxford University. Ia adalah seorag wanita berdarah Iran yang kini menjadi warga negara Amerika sejak tahun 2008 dan tinggal di Washington DC.

2.2 Analisis Tema/Pokok Pembicaraan

Agut Supriatna dalam bukunya yang berjudul Bahasa Indonesia untuk kelas VIII SMP menyatakan bahwa tema adalah inti atau ide dasar sebuah cerita

(6)

karena tema merupakan ide yang mendasari suatu cerita sehingga berperanan juga sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan fiksi yang dibuatnya.

Di dalam novel Reading Lolita In Yehran, ada beberapa tema yang mendasari cerita, yaitu:

1. Memoir.

Reading Lolita In Tehran berisi pengalaman hidup singkat Azar Nafisi saat

di Iran. Cerita yang disajikan oleh Nafisi merupakan berdasarkan memorinya, seperti dalam kutipan:

The fact in this story are true insofar as any memory is ever thruthful.” (Nafisi, 2003, p. xi)

2. Sastra

Reading Lolita In Tehran banyak berisi tentang sastra dan karya sastra yang

Nafisi kaji, pelajari, dan ajarkan kepada murid – muridnya. Di dalam novel ini, bukan hanya menjelaskan bahwa Nafisi belajar dan mengajar sastra tapi juga berisi analisisnya tentang suatu karya sastra. Beberapa karya sastra yang dikaji di dalam novel ini adalah kisah Seribu Satu Malam, novel Lolita karya seorang penulis Rusia bernama Nobokov, novel Madame Bovary karya seorang penulis Prancis bernama Gustave Flaubert, Novel The Great Gatsby karya F. Scott Fitzgerald, beberapa cerita pendek karya Maxim

Gorky dan Mike Gold, novel Pride and Prejudice karya Jane Austen, dan masih banyak lagi. Nafisi beranggapan bahwa seni dan sastra sangatlah penting di kehidupan, hal tersebut terlihat dalam kutipan:

“…art and literature became so essential to our lives: they were not a luxury but a necessity.” (Nafisi, 2003, p. 15)

Melalui sastra, melalui tulisan yang kita buat, kita bisa menjadi apapun dan siapapun, hal tersebut terdapat dalam kutipan:

It is only through literature that one can put oneself in someone else's shoes and understand the other's different and contradictory sides and refrain from becoming too ruthless. Outside the sphere of literature only

(7)

3. Wanita

Tema tentang wanita banyak diangkat dalam novel ini. Dalam kutipannya, Nafisi mengatakan bahwa hukum buta untuk wanita; “In our case, the law really was blind, in its mistreatment of women, it knew no religion, race, or

creed” (Nafisi, 2003, p. 273). Dikisahkan bahwa sebelum revolusi Iran, wanita terikat pada hukum hijab dan hukum yang melarang untuk bertemu lelaki non muhrim di luar rumah, meskipun hanya teman atau untuk urusan pekerjaan.

4. Politik

Tema politik juga terdapat di dalam novel ini. Di novel ini dikisahkan beberapa pertemuan politik, hukum, dan demonstrasi. Azar Nafisi pun menyatakan pandangannya sendiri tentang politik. Di novel ini dikisahkan tentang revolusi Iran.

2.3 Analisis Plot/Alur Cerita

Tukan dalam buku Mahir Berbahasa Indonesia menjelaskan plot atau alur dalam prosa fiksi adalah hal yang sangat penting karena menunjang dan membangun cerita (Tukan, 2007, p. 39). Stanton mengemukakan bahwa plot atau alur adalah cerita yang berisi urutan kejadian, tetapi tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain. Unsur dalam pengembangan plot adalah peristiwa, konflik, dan klimaks. Sementara itu, Aristoteles (dalam Nurrachman, 2014) dalam Poeticsnya menyatakan bahwa plot adalah elemen yang paling penting dalam membangun sebuah cerita (tragedy). Aristoteles menyebutkan tiga bagian dari plot yaitu awal, pertengahan, dan akhir, hal itu bisa dilihat di kutipan:

Now a whole is that which has beginning, middle, and end. A beginning is that which is not itself necessarily after anything else, and which has naturally

(8)

it; and a middle, that which is by nature after one thing and has also another after it.” (Nurrachman, 2014, p. 50)

Alur dalam Reading Lolita In Tehran adalah:

Alur Alur Peristiwa

Awal

Campuran

Pengenalan Tokoh dalam cerita. Dikenalkan tokoh “Aku” yaitu Azar Nafisi sebagai tokoh utama, tujuh siswinya yaitu Nassrin; Manna; Mahshid; Yassi; Azin; Mitra; dan Sanaz, dan seorang siswanya yang bernama Nima. Di sini diceritakan kisah mengenai Nafisi yang mengundurkan diri untuk mengajar sebagai dosen di Univeritas Allameh Tabatabai, karena Universitas tersebut memiliki banyak aturan yang tidak disukai oleh Nafisi. Di sini pun diceritakan kriteria murid seperti apa yang Nafisi pilih untuk kelas khususnya.

Tengah Disinilah terjadi klimaks dimana terjadi perdebatan sengit tentang tokoh Gatsby dalam novel The Great Gatsby antara 3 mahasiswa di kelas Nafisi, yaitu

(9)

Akhir Disini Nafisi dengan suaminya betengkar. Nafisi dqn suaminya (Bijan) memutuskan untuk meninggalkan negara Iran pada tanggal 24 Juni 1997 untuk pindah ke Amerika dan menetap disana hingga saat ini.

Dengan demikian alur dalam Reading Lolita In Tehran adalah alur campuran, karena banyak terdapat alur maju dan alur mundur di dalam cerita.

2.4 Analisis Karakter/Tokoh/Perwatakan

Aminuddin berpendapat bahwa pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita disebut dengan tokoh. Sedangkan cara pengarang menampilkan tokoh atau pelaku itu disebut dengan penokohan.para tokoh yang terdapat dalam suatu cerita memiliki peranan penting dalam suatu cerita disebut dengan tokoh inti atau tokoh utama. Sedangkan tokoh yang memiliki peranan tidak penting karena pemunculannya henya melengkapi, melayani, mendukung pelaku utama disebut tokoh tambahan atau tokoh pembantu. Tokoh dalam cerita seperti halnya manusia dalam kehidupan sehari – hari di sekitar kita, selalu memiliki watak – watak tertentu. Sehubungan dengan watak ini terdapat tokoh 9ensitive9t, yaitu pelaku yang memiliki watak yang baik sehingga disenangi pembaca, dan tokoh antagonis, yaitu pelaku yang tidak disenangi pembaca karena watak yang tidak sesuai dengan apa yang diidamkan pembaca (Aminuddin, 2013, pp. 79 - 80).

Tokoh – tokoh yang ada di dalam cerita Reading Lolita In Tehran adalah:

1. Azar Nafisi

(10)

murid kelas khususnya, hal itu terlihat dari kekhawatirannya akan muridnya dalam kutipan:

“I worried about Mahshid and the solitary path she had chosen for herself. And about Yassi and her irrepressible fantasies about that never-never land where her uncles lived. I worried about Sanaz and her broken

heart and about Nassrin and her memories and about Azin. I worried about them all, but I worried most about Manna.” (Nafisi, 2003, p. 188) 2. Nassrin

Nassrin adalah salah satu murid Azar Nafisi yang mengikuti kelas spesial bersama 6 murid wanita lainnya di rumah Nafisi pada kamis pagi untuk mendiskusikan sastra. Ia adalah orang yang tidak fokus, sulit ditebak, terkadang tidak ramah, dan suka menyembunyikan sesuatu. Hal tersebut dibuktikan dalam kutipan:

“…she’s slightly out of focus, blurred, somehow distant…always hidden behind something-a person…” (Nafisi, 2003, p. 3)

3. Manna

Manna sama halnya dengan Nassrin. Ia adalah salah satu murid Nafisi yang mengikuti kelas spesial bersama 6 murid wanita lainnya di rumah Nafisi pada kamis pagi untuk mendiskusikan sastra. Manna adalah seorang penyair. Manna memiliki watak pemalu dan tertutup. Hal tesebut dibuktikan dalam kutipan:

“a testament to her withdrawn and private nature.” (Nafisi, 2003, p. 2) 4. Nima.

Nima adalah satu – satunya murid laki – laki di kelas khusus Nafisi. Ia merupakan suami dari Manna. Ia memiliki watak yang gigih karena meskipun telah dilarang untuk mengikuti kelas yang diadakan oleh Nafisi ia tetap memaksa dan menuntut haknya. Watak Nima tersebut dibuktikan oleh kutipan:

(11)

Ia juga merupaka orang yang kritis dalam mengkritik, hal itu dibuktikan karena Nafisi menyebutnya “my one true literary critic” (Nafisi, 2003, p. 3).

5. Mahshid

Mahshid pun merupakan murid kelas khusus milik Nafisi, sama seperti Nassrin dan Manna. Dia pandai dalam segala hal dan ia disebut “my lady” oleh teman – temannya dan Nafisi. Hal tersebut dibuktikan dalam kutipan: “Mahshid was good at many things, but she had a certain daintiness about

her and we took to calling her “my lady.” (Nafisi, 2003, p. 2) Mahshid memiliki watak 11ensitive, dia bagaikan porcelain yang rapuh, dan ia adalah tipikal orang yang hati – hati terhadap orang baru atau yang tidak dia kenal. Hal itu dibuktikan dalam kutipan:

“Mahshid is very sensitive. She’s like porcelain, Yassi once told me, easy to crack. That’s why she appears fragile to those who don’t know her too

well…” (Nafisi, 2003, p. 2) 6. Yassi

Yassi juga adalah murid kelas khusus Nafisi dan ia berusia paling muda. Ia berwatak pemalu dan suaranya terdengar seperti mengejek. Ia juga sulit mengendalikan dirinya untuk tidak tertawa pada hal – hal yang lucu baginya. Ia juga sering mempertanyakan orang lain juga dan dirinya sendiri. Hal itu dibuktikan dalam kutipan:

“Yassi was shy by nature, but certain things excited her and made her lose her inhibitions. She had a tone of voice that gently mocked and questioned

not just others but herself as well.” (Nafisi, 2003, p. 2) 7. Azin

Azin adalah murid kelas khusus Nafisi. Ia orang yang blak – blakan yang tak jarang blak – blakannya itu berujung pada penghinaan. Ia sering berselisish dengan Mahshid dan Manna. Dia dijuluki “Liar”. Hal tersebut dibuktikan dalam kutipan:

Always outrageous and outspoken, Azin relished the shock value of her actions and comments, and often clashed with Mahshid and Manna. We

(12)

Mitra pun merupakan murid kelas khusus Nafisi. Ia adalah yang paling tenang/kalem diantara semua teman – teman kelas khususnya. Hal tersebut dibuktikan dalam kutipan:

“…who was perhaps the calmest among us. Like the pastel colors of her paintings, she seemed to recede and fade into a paler register.” (Nafisi,

2003, p. 2) 9. Sanaz

Sanaz adalah murid kelas khusus Nafisi. Dia memiliki watak yang mudah bimbang, terlebih bimbang antara keinginannya untuk bebas dan persetujuan akan hal tersebut. Hal itu dibuktikan dalam kutipan:

“…pressured by family and society, vacillated between her desire for independence and her need for approval…” (Nafisi, 2003, p. 2) 10.Ibu Azar Nafisi

Ia adalah ibu yang sangat peduli pada anaknya oleh karena itu ia sering menasehati anaknya dan kegiatan menasehati tersebut sudah menjadi kebiasaan. Hal tersebut dibuktikan oleh kutipan yang menerangkan ibu Nafisi yang selalu protes pada anaknya karena tidak sesuai dengan yang ia harapkan, yaitu:

“Her tone was serious, but she had repeated the same complaint for so many years that by now it was an almost tender ritual.” (Nafisi, 2003, p.

4) 11.Tahereh Khanoom

Ia adalah pembantu rumah tangga di apartemen Nafisi. 12.Negar

Ia adalah anak perempuan Nafisi. Ia masih anak – anak dan mudah menangisi hal – hal sepele.

13.Tuan Kolonel. Ia adalah tetangga baru Nafisi. Dia memiliki watak yang tidak baik dan arogan, hal tersebut dibuktikan dalam kutipan:

Mr. Colonel was a new neighbor, whom my mother consistently ignored because of his newly rich ways and manners. He had destroyed a beautiful

vacant garden next to our place and built an ugly, gray-stone three-story apartment.” (Nafisi, 2003, p. 42)

(13)

Ia adalah suami Azar Nafisi, namun mereka bercerai. 16.Dr. A

Ia adalah teman Nafisi yang Nafisi ajak berdiskusi tentang sastra. 17.Tuan Bahri

Ia adalah seorang dosen. Ia memiliki watak pemalu dan pendiam, sifatnya adalah gabungan dari sifat malu dan angkuh. Hal tersebut terlihat dalam kutipan:

“…a naturally shy and reserved young man who had discovered an absolutist refuge called Islam…It was this mixture of arrogance and

shyness that aroused my curiosity.” (Nafisi, 2003, p. 67) 18.Jeff

Ia adalah Seorang reporter Amerika dari New York yang menjelajahi jalanan di Tehran selama beberapa bulan. Ia adalah orang yang mencintai pekerjaannya. Hal itu terlihat dari kutipan:

“…his obsessive love for his job, for which he had been greatly acknowledged…” (Nafisi, 2003, p. 69)

19.Tuan Nyazi

Ia adalah orang yang menemui Nafisi di perpustakaan. Ia adalah orang yang kritis karena ia mengkritisi novel The Great Gatsby dan berdebat dengan Nafisi. Ia pun adalah orang yang tidak bisa membedakan mana dunia fiksi dan mana kenyataan. Ia adalah orang yang arogan dan sangat keras, hal itu dibuktikan oleh kutipan:

“There was something so obstinately arrogant about Mr. Nyazi, so inflexible…” (Nafisi, 2003, p. 79) 20.Tuan Farzan

Ia adalah murid Nafisi. Ia adalah orang yang membela Nyazi saat sedang berdebat dengan Zarrin.

21.Zarrin

Ia juga adalah murid Nafisi. Ia berdebat dengan Nyazi di kelas tentang tokoh Gatsby di novel The Great Gatsby.

(14)

Ia adalah murid Nafisi di kelas. Ia mencela di akhir perdebatan Nyazi, Farzan, dan Zarrin karena merasa kesal dengan Nyazi dan Farzan yang tetap gigih dengan teori mereka yang tidak bisa membedakan antara dunia fiksi dengan kenyataan.

23.Farideh dan Laleh

Mereka adalah dua wanita yang menghadiri pertemuan di Universitas Tehran, dimana mereka dan Nafisi adalah wanita yang tidak menggunakan kerudung disana.

24.Ny. Rezvan

Ia adalah dosen di jurusan Bahasa Inggris di Allameh Tabatabai

University. Ia adalah orang yang ambisius, hal tersebut terlihat dalam kutipan:

“…an ambitious teacher in the Department of English at the...” (Nafisi, 2003, p. 115)

25.Tuan Forsati

Ia adalah tipe orang yang suka berada di depan, dia adalah orang sangat berkuasa karena merupakan ketua organisasi pelajar Islamic Jihad. Kutipan yang menjelaskan tentang Tuan Forsati adalah:

“His interest, first and foremost, is in getting ahead. He doesn't seem close to anyone in the class, yet he is probably the most powerful person there,

because he is the head of Islamic Jihad, one of the two lawful student organizations in Iran.” (Nafisi, 2003, p. 126)

26.Tuan Nahvi

Ia adalah orang yang berbicara dengan tenang, dia adalah orang yang sangat yakin sehingga tak nampak keraguan padanya. Bicaranya jelas dan monoton. Hal tersebut terlihat pada kutipan:

“He spoke calmly, mainly because he was always very certain. There were no doubts in him that might emerge in the form of an occasional outburst. He spoke clearly and monotonously, as if he could see each word forming

in front of his eyes.” (Nafisi, 2003, p. 126) 27.Mina

(15)

“This is what I remember about her: a shabby gentility, an air of "better days" clinging to all she wore. From that very first glance to our last meeting many years later, I was always oppressed by two sets of emotions

when I met her: intense respect and sorrow.” (Nafisi, 2003, p. 132) 28.Ibu Mina

Ia diceritakan merupakan seorang wanita yang bermartabat, pandai memasak, dan sopan. Hal itu terlihat dalam kutipan:

Mina's mother, a dignified woman in her late sixties, served us tea on a silver tray, with dainty glass teacups in silver filigree containers. Her

mother was a wonderful cook…” (Nafisi, 2003, p. 133) 29. Seseorang yang disebut Nafisi “My Magician”

Ia adalah teman Nafisi, dan menjadi tempat curhat Nafisi.

2.5Analisis Setting Tempat (Setting Fisikal) & Suasana Cerita (Setting Psikologis)

Aminudddin dalam buku Pengantar Apresiasi Karya Sastra (2013, p. 38) menjelaskan setting adalah latar peristiwa dalam karya fiksi, baik berupa tempat, waktu, maupun peristiwa, serta memiliki fungsi fisikal dan fungsi psikologis. Leo Hamalian dan Frederick R. Karel menjelaskan bahwa setting dalam karya fiksi bukan hanya berupa tempat, waktu, peristiwa, suasana serta benda – benda dalam lingkungan tertentu, melainkan juga dapat berupa suasana yang berhubungan dengan sikap, jalan pikiran, prasangka, maupun gaya hidup suatu masyarakat dalam menanggapi suatu problema tertentu. Setting dalam bentuk yang terakhir itu dapat dimasukan ke dalam setting yang bersifat psikologis. Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa perbedaan setting yang bersifat fisikal dengan setting bersifat psikologis ialah:

(16)

2. Setting fisikal hanya terbatas pada sesuatu yang bersifat fisik, sedangkan setting psikologis dapat berupa suasana maupun sikap serta jalan pikiran

suatu lingkungan masyarakat tertentu,

3. Untuk memahami setting yang bersifat fisikal, pembaca cukup melihat dari apa yang tersurat, sedangkan pemahaman terhadap setting yang bersikap psikologis membutuhkan adanya penghayatan dan penafsiran,

4. Terdapat saling pengaruh dan ketumpangtindihan antara setting fisikal dengan setting psikologis.

Terdapat dua setting dalam cerita Reading Lolita In Tehran, yaitu setting fisikal dan setting psikologis.

A. Setting Fisikal Waktu

a. Setting fisikal waktu pertama ialah di musim gugur pada tahun 1995, hal tersebut dibuktikan dalam kutipan:

“In the fall of 1995, after resigning from my last academic post…” (Nafisi, 2003, p. 1)

b. Setting fisikal waktu kedua ialah di hari kamis di awal bulan September saat diskusi pertama. Hal tersebut dibuktikan oleh kutipan:

“And so it happened that one Thursday in early September we gathered in my living room for our first meeting.” (Nafisi, 2003, p. 4) c. Setting fisikal waktu ketiga adalah di musim semi tahun 1994 saat Nafisi

sedang mengajar di kelas tentang novel di abad ke-20. Ini merupakan alur mundur yang terdapat dalam cerita ini karena akibat mendengar kata “Upsilamba!” mengingatkannya akan beberapa tahun silam saat ia masih mengajar di kampus. Hal itu dibuktikan oleh kutipan:

“…the word carries me back to the spring of 1994, when four of my girls and Nima were auditing a class I was teaching on the twentieth-century novel. The class's favorite book was Nabokov's Invitation to a

Beheading.” (Nafisi, 2003, p. 13)

(17)

“About a month after I had decided privately to leave Allameh Tabatabai, Yassi and…” (Nafisi, 2003, p. 19)

e. Setting fisikal waktu kelima adalah di minggu – minggu pertama kelas khusus Nafisi, hal tersebut dibuktikan oleh kutipan:

In the first few weeks of class, we read and discussed the books I had assigned in…” (Nafisi, 2003, p. 25)

f. Setting fisikal waktu keenam adalah di bulan November, hal tersebut dibuktikan oleh kutipan:

“We are sitting around the iron-and-glass table on a cloudy November day.” (Nafisi, 2003, p. 26)

g. Setting fisikal waktu ketujuh adalah pada musim panas tahun 1996 sebagai kilas balik/flashback. Hal tersebut terdapat dalam kutipan:

It happened in the summer of 1996, when my two children were home from school. It was a lazy morning.” (Nafisi, 2003, p. 41) h. Setting fisikal waktu kedelapan adalah di sekitar tahun 1940. Ini adalah

kilas balik/flashback Nafisi saat mengingat Nabokov, hal itu terlihat dari kutipan:

“…the "first little throb of Lolita" went through him in 1939 or early 1940, when he was ill with a severe attack of intercostal neuralgia…”

(Nafisi, 2003, p. 50)

i. Setting fisikal waktu kesembilan adalah di pertengahan bulan Oktober saat kelas khusus sudah diadakan 3 minggu. Hal itu dibuktikan oleh kutipan:

“By mid-October, we were almost three weeks into classes and I was getting…” (Nafisi, 2003, p. 63)

j. Setting fisikal waktu kesepuluh adalah di rentang waktu antara musim gugur tahun 1979 dengan musim panas tahun 1980. Di tahun tersebut terjadi revolusi, banyak yang gugur dan terluka, dan salah satu yang diperjuangkan adalah hak wanita. Hal tersebut dibuktikan dalam kutipan:

“…between the fall of 1979 and the summer of 1980, many events happened that changed the course of the revolution and of our lives…One of the most significant of these was over women's rights…”

(Nafisi, 2003, p. 72)

(18)

“The last day we gave to Gatsby was in January; heavy snow had covered the streets.” (Nafisi, 2003, p. 92)

l. Setting fisikal waktu kedua belas adalah di musim semi tahun 1981, seperti dalam kutipan:

The last day we gave to Gatsby was in January; heavy snow had covered the streets.” (Nafisi, 2003, p. 98)

m. Setting fisikal waktu ketiga belas adalah 23 September 1980 saat Nafisi sedang dalam perjalanan dari Laut Caspian ke Tehran. Di hari itu negara Iraq menyerang Iran. Hal tersebut dibuktikan oleh kutipan:

“The war came one morning, suddenly and unexpectedly. It was announced on September 23, 1980, the day before the opening of schools and universities: we were in the car returning to Tehran from a trip to the Caspian Sea when we heard about the Iraqi attack on the

radio.” (Nafisi, 2003, p. 102)

n. Setting fisikal waktu keempat belas adalah di musim dingin tahun 1987, terlihat dalam kutipan:

It was mid-morning in the winter of 1987.” (Nafisi, 2003, p. 115) o. Setting fisikal waktu kelima belas adalah di suatu hari sabtu saat Iraq

menghantam kilang minyak di Tehran. Hal tersebut berada dalam kutipan:

It was a Saturday when Iraq hit the Tehran oil refinery.” (Nafisi, 2003, p. 133)

p. Setting fisikal waktu keenam belas adalah dua hari sebelum pengumuman gencatan senjata. Hal itu terdapat dalam kutipan:

Two nights before the announcement of the first cease-fire in the war of cities, a few friends came over to watch…” (Nafisi, 2003, p. 152) q. Setting fisikal waktu ketujuh belas adalah saat Ayatollah Ruhollah

wafat. pada 3 Juni 1989, kurang dari setahun setelah perjanjian perdamaian antara Iran dan Iraq. Hal itu terlihat dalam kutipan:

Less than a year after the peace agreement, on Saturday, June 3, 1989, Ayatollah Ruhollah Khomeini died.” (Nafisi, 2003, p. 158) r. Setting fisikal waktu ke delapan belas adalah di suatu pagi di bulan

Desember, seperti terlihat dalam kutipan:

(19)

s. Setting fisikal waktu kesembilan belas adalah di musim panas tahun 1990, saat Nafisi dan keluarganya berlibur ke Cyprus dan juga untuk bertemu saudari iparnya, hal tersebut terlihat dalam kutipan:

“In the late summer of 1990, for the first time in eleven years, my family and I left for Cyprus for a vacation and to meet up with my

sisters-in-law…” (Nafisi, 2003, p. 192)

t. Setting fisikal waktu keduapuluh adalah di awal bulan Maret di musim semi tahun 1992, seperti dalam kutipan:

“It was around the spring of 1996, early March in fact…” (Nafisi, 2003, p. 193)

u. Setting fisikal waktu keduapuluh satu adalah di suatu hari yang hanta di musim panas, yaitu sekitar dua minggu dari hari Nafisi berbincang dengan suaminya, hal itu dibuktikan dalam kutipan:

“It was a warm summer day, about a fortnight after my conversation with Bijan.” (Nafisi, 2003, p. 217)

B. Setting Fisikal Tempat

a. Setting fisikal tempat pertama adalah di rumah tokoh ‘Aku” yaitu saat sedang diskusi dengan para muridnya, hal itu terlihat pada halaman 1 buku, yaitu:

“invited them to come to my home every Thursday morning to discuss literature…” (Nafisi, 2003, p. 1)

Saat mereka tengah mendiskusikan:

I often teasingly reminded my students of Muriel Spark's The Prime of Miss Jean Brodie and asked, which one of you will finally…”

(Nafisi, 2003, p. 1)

Setting tempat rumah Nafisi banyak digunakan karena merupakan tempat kelas khusus Nafisi diadakan.

b. Setting fisikal tempat kedua adalah Tehran saat para muridnya mengucapkan salam perpisahan pada Nafisi. Hal tersebut dibuktikan dalam kutipan:

(20)

c. Setting fisikal tempat ketiga adalah di ruang makan setelah para murid membantu mempacking barang – barang milik Nafisi. Hal tersebut dibuktikan dalam kutipan:

“my students and I stood against the bare white wall of the dining room and took two photographs.” (Nafisi, 2003, p. 2)

d. Setting fisikal tempat keempat adalah di sebuah taman kecil yang menghadap gedung fakultas saat Nafisi sedang berdiri dengan kedelapan muridnya. Hal itu dibuktikan oleh kutipan: “I am standing with eight of my students in the small garden facing our faculty building…” (Nafisi, 2003, p. 3)

e. Setting fisikal tempat kelima adalah di ruang tamu Nafisi tempat ia dan para muridnya belajar dan berdiskusi. Hal tersebut dibuktikan dalam kutipan:

“Our world in that living room with its window framing my beloved Elburz Mountains became our sanctuary.” (Nafisi, 2003, p. 3) f. Setting fisikal tempat keenam adalah di apartemen. Apartemen lantai

kedua dihuni oleh Nafisi, lantai pertama dihuni oleh ibu Nafisi, dan lantai ketiga dihuni oleh saudara laki – laki Nafisi. Hal itu dibuktikan oleh kutipan:

From our second-story apartment-my mother occupied the first floor, and my brother's apartment, on the third floor, was often empty, since he had left for England-we could see the upper branches of a generous

tree and, in the distance, over the buildings, the Elburz Mountains.” (Nafisi, 2003, p. 4)

g. Setting fisikal tempat ketujuh adalah di Univeritas Allameh Tabatabai tempat Nafisi mengajar. Di universitas tersebut terdapat banyak sekali aturan terlebih untuk para kaum wanita. Setting tersebut dibuktikan dalam kutipan:

“The University of Allameh Tabatabai, where I had been teaching since 1987, had been singled out as the most liberal university in

Iran.” (Nafisi, 2003, p. 5)

(21)

“Yassi and I were standing in front of the green gate at the entrance of the university.” (Nafisi, 2003, p. 19)

i. Setting fisikal tempat kesembilan adalah di sebuah toko kecil saat Yassi dan Nafisi membeli es krim. Hal tersebut ada dalam kutipan:

“We went to a small shop, where, sitting opposite each other with two tall cafés glacés in between us…” (Nafisi, 2003, p. 20)

j. Setting fisikal tempat kesepuluh adalah di negara Switzerland/Swiss. Ini adalah kilas balik/flash back saat Nafisi menuntut ilmu di Swiss. Hal tersebut dibuktikan dalam kutipan:

“…in my sophomore year, while studying at a horrible school in Switzerland, I was summoned in the middle of a history lesson with a

stern American teacher to the principal's office. There I was told that…” (Nafisi, 2003, p. 30)

k. Setting fisikal tempat kesebelas adalah dijalan menuju George Washington Memorial Parkway, hal itu terdapat dalam kutipan:

A few weeks ago, while driving down the George Washington Memorial Parkway…” (Nafisi, 2003, p. 40)

l. Setting fisikal tempat kedua belas adalah di tepi laut Caspian, hal itu terlihat pada kutipan:

Sanaz and five of her girlfriends had gone for a two day vacation by the Caspian Sea. On their first day, they had…” (Nafisi, 2003, p. 49) m. Setting fisikal tempat ketiga belas adalah di bandara Tehran, hal itu

terlihat dari kutipan:

A young woman stands alone in the midst of a crowd at the Tehran airport.” (Nafisi, 2003, p. 52)

n. Setting fisikal tempat keempat belas adalah di Amerika, tepatnya di New Mexico, hal itu terlihat dari kutipan:

“…when I lived in America, I attempted to shape other places according to my concept of Iran…and even transferred for a term to a

small college in New Mexico…” (Nafisi, 2003, p. 53)

o. Setting fisikal tempat kelima belas adalah di Norman, Oklahoma saat Nafisi pindah kesana untuk menemani suaminya menempuh pendidikan S2 di Universitas Oklahoma. Hal tersebut dibuktikan oleh kutipan:

I moved with him to Norman, Oklahoma, where he was getting his master's in engineering at the University of Oklahoma.” (Nafisi, 2003,

(22)

p. Setting fisikal tempat keenam belas adalah di perpustakaan saat Nafisi sedang mencari buku. Hal itu dibuktikan oleh kutipan:

“It was late; I had been at the library. I was spending a great deal of time there now.” (Nafisi, 2003, p. 78)

q. Setting fisikal tempat ketujuh belas adalah di Universitas Tehran dimana Nafisi akan bertemu dengan Tuan Bahri. Hal tersebut dibuktikan dalam kutipan:

I went to the University of Tehran for one more meeting with Mr. Bahri.” (Nafisi, 2003, p. 106)

r. Setting fisikal tempat kedelapan belas adalah di auditorium saat menonton konser, hal tersebut terlihat dalam kutipan:

“When we finally entered the auditorium, we found…” (Nafisi, 2003, p. 196)

s. Setting fisikal tempat kesembilan belas adalah disebuah kedai kopi saat Nafisi dengan Magician berjanji untk bertemu. Hal tersebut terdapat dalam kutipan:

We arranged to meet at a popular coffee shop that opened…” (Nafisi, 2003, p. 203)

t. Setting fisikal tempat kedua puluh adalah di dapur apartemen Nafisi. Hal itu terlihat dalam kutipan:

“We made a stop in the kitchen.” (Nafisi, 2003, p. 210)

u. Setting fisikal tempat kedua puluh satu adalah di sebuah kedai kopi, hal tersebut terlihat dalam kutipan:

I had taken refuge in a coffee shop. It was really a pastry shop, one of the…” (Nafisi, 2003, p. 217)

C. Setting Psikologis

1. Setting psikologis suasana pertama yang dapat membawa emosi pembaca pertama adalah saat ibu Azar Nafisi memarahi Nafisi karena ia tidak berprilaku seperti para wanita Iran kebanyakan. Hal tersebut dibuktikan dalam kutipan:

(23)

an almost tender ritual. Azi-that was my nickname-Azi, she would say, you are a grown-up lady now; act like one.” (Nafisi, 2003, p. 4) 2. Setting psikologis suasana kedua yang dapat membawa emosi pembaca

adalah saat Azar Nafisi merasa sangat gembira karena hari itu adalah hari pertama kelas khusunya, hal itu dibuktikan dalam kutipan:

“Too excited to eat breakfast, I put the coffee…For the first time in many years, I felt a sense of anticipation that was not marred by tension: I would not need to go through the torturous rituals that had marked my days when I taught at the university-rituals governing what

I was forced to wear, how I was expected to act, the gestures I had to remember to control. For this class, I would prepare differently.”

(Nafisi, 2003, p. 5)

3. Setting psikologis suasana ketiga yang dapat membawa emosi pembaca adalah saat Yassi dan Nafisi membicarakan tentang keluarga Yassi. Suasana keduanya berubah menjadi serius. Hal tersebut dibuktikan dalam kutipan:

“…our mood changed. We became, if not somber, quite serious. Yassi came from an enlightened religious family that…” (Nafisi, 2003, p.

20)

4. Setting psikologis suasana keempat yang dapat membawa emosi pembaca adalah saat para murid Nafisi berdebat. Hal tersebut membuat suasana tegang. Hal tersebut dibuktikan oleh kutipan yang menjelaskan suasana setelah mereka berdebat, yaitu:

They disapproved of her, and Azin sensed that. Her efforts at friendship were rejected as hypocritical. Mahshid's response, as usual,

was silence. She drew into herself and refused to fill the void that Azin's question had left behind. Her silence extended to the others, and

was broken finally by a short giggle from Yassi.” (Nafisi, 2003, p. 35) 5. Setting psikologis suasana kelima yang dapat membawa emosi pembaca

adalah saat mood para muridnya berubah. Mereka mulai bergosip tentang hal – hal di kampus, dan hal itu mencairkan suasana yang semula menegangkan. Hal tersebut terlihat dalam kutipan:

Nassrin's story, and the confrontation between Azin and Mahshid, had changed our mood too much for us to return to our class discussion. We ended up making desultory conversation, mainly gossiping about our experiences at the university…” (Nafisi, 2003, p.

(24)

6. Setting psikologis suasana keenam yang dapat membawa emosi pembaca adalah saat petemuan awal Manna dengan suaminya. Suasana begitu hangat dan menyenagkan, hal tersebut terlihat dari mood Manna yang bahagia, yaitu:

“Manna used to get excited in a very quiet way; her happiness seemed to come from some

unknown depth inside of her.” (Nafisi, 2003, p. 46)

7. Setting psikologis suasana ketujuh yang dapat membawa emosi pembaca adalah suasana tidak menyenangkan, suram, dan sedikit mencekam saat Nafisi berada di Bandara Tehran, hal tersebut terdapat dalam kutipan:

“…but the mood in the airport was not welcoming. It was somber and slightly menacing.” (Nafisi, 2003, p. 53)

8. Setting psikologis suasana kedelapan yang dapat membawa emosi pembaca adalah suasana ketegangan di kelas saat Zarrin, Nyazi, dan Farzan sedang berdebat tentang tokoh Gatsby. Hal tersebut dapat terlihat dari kutipan di bawah ini:

“"You tell them!" a voice said from the back row. I turned around. There were giggles and murmurs. Zarrin paused, smiling. The judge,

rather startled, cried out, "Silence! Who said that?" Not even he expected an answer.” (Nafisi, 2003, p. 85)

9. Setting psikologis suasana kesembilan yang dapat membawa emosi pembaca adalah suasana mencekam saat perang antara Iran dengan Iraq. Perang tersebut banyak memakan korban jiwa. Hal tersebut terlihat dalam kutipan:

“Everything that happened to us during those eight years of war, and the direction our lives took afterward, was in some way shaped by this

conflict. It was not the worst war in the world, although it left over a million dead and injured.” (Nafisi, 2003, p. 102)

10.Setting psikologis suasana kesepuluh yang dapat membawa emosi pembaca adalah suasana mencekam setiap terdengar sirine peringatan bahaya, hal itu terlihat dari kutipan:

(25)

siren-like a screeching violin that plays mercilessly all over one's body-would cease in my mind.” (Nafisi, 2003, p. 120)

11.Setting psikologis suasana kesebelas yang dapat membawa emosi pembaca adalah suasana menakutkan, kegelisahan dan mencekam saat Iraq menghantam kilang minyak di Iran, dan mulai kembali menyerang Iran secara bertubi – tubi. Hal itu berada dalam kutipan:

The news triggered the old fears and anxieties that had been lurking for over a year, since the last bombs had hit the city.” (Nafisi, 2003, p.

133) 2.6Analisis Sudut Pandang Cerita

Aminuddin dalam Pengantar Apresiasi Karya Sastra menjelaskan bahwa sudut pandang adalah cara pengarang menampilkan para pelaku dalam cerita yang dipaparkannya (Aminuddin, 2013, p. 90). Sementara itu, Kusmayadi, Dini dan Eva (Be Smart Bahasa Indonesia, 2008, p. 62) berpendapat bahwa sudut pandang adalah visi pengarang atau cara pengarang mengambil posisi dalam cerita lazimnya sudut pandang yang umum digunakan dibagi menjadi empat jenis, yakni:

a) Sudut pandang First Person-Central atau Akuan-Sertaan.

Di dalam sudut pandang ini, tokoh sentral cerita adalah pengarang yang secara langsung terlibat di dalam cerita. Biasanya pengarang menggunakan tokoh “aku” atau “saya” orang pertama.

b) Sudut pandang First Person-Peripheral atau Akuan-Taksertaan.

Dalam sudut pandang ini, tokoh “aku” biasanya menjadi pembantu atau pengantar tokoh lain yang lebih penting. Pencerita pada umumnya hanya muncul di awal atau di akhir cerita.

c) Sudut pandang Third Person-Omniscient atau Diaan-Maha Tahu.

Di dalam sudut pandang ini pengarang berada di luar cerita, dan biasanya pengarang hanya menjadi pengamat yang maha tahu. Pengarang mengetahui segala hal yang terjadi maupun yang dirasakan oleh seluruh tokoh dalam cerita.

(26)

Dalam sudut pandang ini, pengarang hanya menceritakan apa yang terjadi pada tokoh utama cerita.

Dalam novel Reading Lolita In Tehran sudut pandang yang digunakan adalah sudut pandang First Person-Central atau Akuan-Sertaan karena pengarang terlibat langsung dalam cerita. Pengarang menjadi tokoh “Aku” yang merupakan tokoh utama dalam cerita. Hal tersebut dibuktikan oleh beberapa kutipan di bawah ini yang menggunakan pronoun “I”, yaitu:

“I told him they had no proof that the gentleman in question was a CIA agent…” (Nafisi, 2003, p. 77)

I repeated the last two lines, feeling tears, to my dismay, running down my cheeks.” (Nafisi, 2003, p. 150)

“I was trying to delay what she had come to tell me.” (Nafisi, 2003, p. 210)

2.7Analisis Gaya Bahasa

Wicaksono berpendapat bahwa gaya bahasa adalah cara menggunakan bahasa dalam konteks tertentu oleh orang tertentu untuk maksud tertentu. Secara tradisional, gaya bahasa selalu dikaitkan dengan teks sastra, khususnya teks sastra tertulis. Gaya bahasa mencakup diksi atau pilihan kata, struktur kalimat, majas dan citra, polarima, makna yang digunakan seorang sastrawan atau yang terdapat dalam sebuah karya sastra (Wicaksono, 2014, p. 12).

Majas adalah salah satu gaya bahasa dalam sastra. Darmayanti dan Hidayati berpendapat bahwa majas adalah bahasa kias, bahasa indah yang dipergunakan untuk meninggikan serta meningkatkan efek dengan cara serta memperbandingkan suatu benda atau hal tertentu dengan benda atau hal lain yang lebih umum (Nani Darmayanti, 2008, p. 57). Majas yang terdapat dalam Reading Lolita In Tehran adalah:

a) Simile

Prihantini mengemukakan dalam bukunya yang berjudul Master Bahasa Indonesia bahwa majas simile adalah majas yang berupa perbandingan dua hal

(27)

menggunakan konjungsi: seperti, bagai, bagaikan, bak, laksana, dan sebagainya (Prihantini, 2015, p. 279). Majas simile yang terdapat pada Reading Lolita In Tehran adalah:

1. “When the objects had vanished and the colors had faded into eight gray suitcases, like errant genies evaporating into their bottles” (Nafisi, 2003, p. 1)

2. “Like the pastel colors of her paintings, she seemed to recede and fade into a paler register.” (Nafisi, 2003, p. 2)

3. “Their absences persist, like an acute pain that seems to have no physical source.” (Nafisi, 2003, p. 3)

4. “Nassrin peers out, like an imp intruding roguishly on a scene it was not invited to.” (Nafisi, 2003, p. 3)

5. “…she is frowning, as if unaware that she is being photographed.” (Nafisi, 2003, p. 3)

6. “I have to use it, she said, like someone who buys an evening gown and is so eager that she wears it to the movies, or to lunch.” (Nafisi, 2003, p. 11) 7. “It was as if the sheer act of recounting these stories gave us some control

over them.” (Nafisi, 2003, p. 20)

8. “There was no light, yet the trees were illuminated, as if reflecting a luminosity that came not from the sun but from within.” (Nafisi, 2003, p. 22)

9. “…we read them apart from our own history and expectations, like Alice running after the White Rabbit and jumping into the hole.” (Nafisi, 2003, pp. 25-26)

10. “It was somber and slightly menacing, like the unsmiling portraits of Ayatollah Khomeini and his anointed su ccessor, Ayatollah Montazeri, that covered the walls.” (Nafisi, 2003, p. 53)

11. “She was like an intermediary pleading on behalf of an unfaithful and unforgotten lover, pledging complete loyalty in return for my affections.” (Nafisi, 2003, p. 117)

12. “A woman in a veil is protected like a pearl in an oyster shell” (Nafisi, 2003, p. 130)

13. “Living in the Islamic Republic is like having sex with a man you loathe…” (Nafisi, 2003, p. 215)

14. “Certain memories, like the imaginary balloons Yassi made with her delicate hands when she was happy.” (Nafisi, 2003, p. 219)

15. “Like balloons, these memories are light and bright and irretrievable.” (Nafisi, 2003, p. 219)

(28)

Kiftiawati dan Sulistyo dalam buku berjudul Buku Pintar Peribahasa Indonesia berpendapat bahwa majas personifikasi adalah majas yang melukiskan suatu benda dengan memberikan sifat – sifat manusia kepada benda – benda mati sehingga seolah – olah memiliki sifat seperti benda hidup (Kiftiawati, 2007, p. 361). . Majas personifikasi yang terdapat pada Reading Lolita In Tehran adalah:

1. “The water caressed (membelai) my neck, my back, my legs…” (Nafisi, 2003, p. 5)

2. “It also became the code word that opened (membuka) the secret cave of remembrance.” (Nafisi, 2003, p. 14)

3. “Our world under the mullahs' rule was shaped (dibentuk) by the colorless lenses of the blind censor.” (Nafisi, 2003, p. 16)

4. “…an aura that promised (menjanjikan) spring was on its way.” (Nafisi, 2003, p. 26)

5. “Art is no longer snobbish or cowardly. It teaches (mengajarkan) peasants to use tractors, gives (memberikan) lyrics to young soldiers, designs textiles for factory women's dresses, writes (menulis) burlesque for factory theatres, does (melakukan) a hundred other useful tasks.” (Nafisi, 2003, p. 69) 6. “That first day colored (mewarnai) our relationship-in my mind at

least-until the day I left Iran.” (Nafisi, 2003, p. 114)

7. “…the law really was blind (buta)…” (Nafisi, 2003, p. 177) c) Metafora

Handiyani, Wildan dan Ramdani dalam buku Persipan UN Bahasa Indonesia mengemukakan bahwa majas metafora adalah majas perbandingan yang menggunakan kata – kata kiasan yang tidak menggunakan kata seperti (Seni Handiyani, 2008, p. 25). . Majas metafora yang terdapat pada Reading Lolita In Tehran adalah:

1. “Her skin is the color of moonlight.” (Nafisi, 2003, p. 8) The color of moonlight berarti warnanya sangat putih/terang.

2. “There was always the shadow of another world.” (Nafisi, 2003, p. 22) The shadow berarti masalah dan another world berarti dunia fiksi yang ada

dalam buku.

(29)

The backbone of the family artinya wanita menjadi orang yang menghidupi

atau mencari nafkah untuk keluarganya

d) Anafora

Prihantini dalam Master Bahasa Indonesia berpedapat bahwa majas Anafora adalah majas yang berupa pengulangan kata pada awal kalimat yang berturut – turut (Prihantini, 2015, p. 2). Majas anafora yang terdapat pada Reading Lolita In Tehran adalah:

1. “The falsely important, the falsely beautiful, the falsely clever, the falsely attractive.” (Nafisi, 2003, p. 15)

Terdapat pengulangan kata the falsely diatas.

e) Paradox

Prihantini berpendapat bahwa majas paradox adalah majas yang berupa pertentangan dua objek yang berbeda tapi mengandung fakta atau kebenaran (Prihantini, 2015, p. 278). Majas paradox yang terdapat pada Reading Lolita In Tehran adalah:

1. “The chief film censor in Iran, up until 1994, was blind. Well, nearly blind.” (Nafisi, 2003, p. 16)

Kutipan ini berarti sensor film di Iran tidka berjalan dengan baik, hal itu karena pimpinan teratasnya pun tidak menjalankan tugasnya dengan baik. 2. “Life in death” (Nafisi, 2003, p. 137)

Kutipan ini berarti orang – orang yang hidup diatas orang – orang yang mati (mayat) saking banyaknya mayat saat perang Iraq dengan Iran.

f) Oxymoron

Kamdhi dalam Terampil berekspresi berpendapat bahwa majas oksimoron adalah majas pertentangan dari setiap – setiap bagiannya (Kamdhi, p. 130). 1. “She felt secure only in her terrible sense of insecurity.” (Nafisi, 2003, p.

19)

(30)

Utami dan Sukardi dalam Bahasa Indonesia 3 berpendapat bahwa amanat adalah pesan yang ingin disampaikan penulis kepada pembaca. Penyampaian pesan selalu didasarkan tema dan tujuan yang telah ditetapkan penulis pada saat menyusun rancangan cerita (Sri Sutami, 2008, p. 60). Amanat atau pesan yang disampaikan Nafisi dalam Reading Lolita In Tehran diantaranya:

1. Wujudkanlah mimpi yang kita inginkan, seperti Nafisi yang mewujudkan mimpinya untuk mengajar kelas khusus yang berisi murid – murid pilihannya yang memang mahir dalam ilmu sastra.

2. Janganlah berhenti untuk membaca dan belajar, karena itu adalah jalan untuk mendapatkan ilmu dan pengetahuan.

3. Kita harus mampu memisahkan antara dunia fiksi dengan kenyataan. 4. Sesama umat Muslim janganlah saling berperang dan menumpahkan darah. 5. Keadilan haruslah ditegakkan. Keadilan tidaklah memandang agama, ras,

suku, dan golongan. Semua manusia dan semua makhluk di dunia ini mempunyai hak untuk mendatkan keadilan.

6. Pakaian yang kita kenakan tidaklah menentukan dan mencirikan kepribadian kita.

7. Wanita Muslim diwajibkan untuk memakai kerudung untuk menutupi auratnya. Di novel ini terdapat slogan “A woman in a veil is protected like a pearl in an oyster shell” (Nafisi, 2003, p. 130) yang artinya “Wanita yang berkerudung terlindungi bagaikan permata yang ada di dalam kerang”. 8. Kemerdekaan bukanlah semata – mata hanya tentang negara yang terbebas

dari penjajahan negara lain, akan tetapi juga adalah kebebasan dalam berpendapat, berpikit, dan berimajinasi.

2.9Kaitan Reading Lolita In Tehran dengan Sastra Islam Kontemporer

(31)

waktu yang sama, semasa, sewaktu, pada masa kini, dewasa kini. Novel ini banyak bersetting di negara Republik Islam Iran tepatnya di kota Tehran. Novel ini banyak menceritakan salah satunya tentang revolusi Islam di Iran. Novel ini pun menceritakan saat – saat mencekam peran Iran melawan Iraq. Di dalam novel ini banyak dijelaskna kondisi Republik Islam Iran pada saat perang. Oleh sebab itulah novel ini termasuk kedalam sastra Islam kontemporer.

III. KESIMPULAN

Berdasarkan penjelasan dan analisis di atas maka dalam novel Reading Lolita In Tehran mengandung unsur – unsur intrinsik diantaranya tema, tokoh dan perwatakan, plot/alur, setting/latar, sudut pandang, amanat, dan gaya bahasa. Unsur – unsur tersebut membangun cerita menjadi satu kesatuan yang utuh. Tanpa adanya unsur – unsur intrinsik mustahil suatu karya sastra akan tercipta. Novel Reading Lolita In Tehran yang dikarang oleh Azar Nafisi merupakan karya sastra Islam kontemporer yang diterbitkan tahun 2003. Novel ini berada dalam tempat New York Times bestseller selama lebih dari ratusan minggu dan telah diterjemahkan ke dalam 32 bahasa.

References

Aminuddin. (2013). Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Penerbit Sinar Baru Algesindo Bandung.

Ismail Kusmayadi, D. A. (2008). Be Smart Bahasa Indonesia. Bandung: Grafindo Media Pratama.

Jakob Sumardjo, S. K. (1998). Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Gramedia. Kamdhi, J. (n.d.). Terampil Berekspresi. Bandung: Grasindo.

Kiftiawati, E. S. (2007). Buku Pintar Peribahasa Indonesia. Jakarta: Puspa Swara. Nafisi, A. (2003). Reading Lolita In Tehran. New York: Random House Publishing

(32)

Nani Darmayanti, N. H. (2008). Bahasa Indonesia Untuk Sekolah Menengah Kejuruan Tingkat Unggul (Kelas XII). Bandung: Grafindo Media Pratama.

Nurgiyantoro, B. (2009). Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Nurrachman, D. (2014). Classical Critical Theory: From Ancient Greek to Victorian England. Bandung: Pustaka Aura Semesta.

Prihantini, A. (2015). Master Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Penerbit B First. Ratna, N. K. (2004). Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

Seni Handiyani, W. S. (2008). Persiapan Ujian Nasional Bahasa Indonesia Untuk SMP/MTS. Bandung: Grafindo Media Pratama.

Sri Sutami, S. (2008). Bahasa Indonesia 3 SMA Kelas XII. Bogor: Quadra.

Supriatna, A. (2007). Bahasa Indonesia Untuk Kelas VIII SMP. Bandung: Grafindo Media Pratama.

Susanto. (2013). Sastra, Perempuan, Korupsi. Bojonegoro: Gus Ris Foundation. Tukan, P. (2007). Mahir Berbahasa Indonesia SMA Kelas X. Yudhistira.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan unsur intrinsik cerita rakyat “Timun Emas”, (2) mendeskripsian hubungan antara tokoh, tema, latar, alur, dan amanat da- lam

7.2.3 Siswa dapat menganalisis unsur intrinsik (tokoh, tema, latar, alur, dan amanat) dan ekstrinsik (biografi pengarang, psikologi sastra, dan sosiologi sastra) dalam cerpen

Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan hasil analisis unsur intrinsik cerita pendek “Radio Kakek” karya Ratih Kumala ditinjau dari tema, tokoh dan penokohan, alur, latar,

Melalui pembelajaran discovery learning berbasis TPACK, peserta didik dapat menemukan unsur intrinsik (tema, tokoh dan watak, latar, alur, amanat, dan sudut pandang) dari teks

Permasalahan yang berkaitan dengan pembelajaran dirumuskan sebagai berikut: (1) bagaimanakah unsur intrinsik (tema, tokoh, alur, latar dan sudut pandang) novel

dimaksud dengan unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang berasal dari dalam karya sastra itu sendiri, seperti: tema, tokoh, alur, latar, sudut pandang, amanat, dan gaya

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan unsur intrinsik novel Butiran Debu meliputi; tema, tokoh, alur, latar, sudut pandang, dan amanat, mendeskripsikan nilai-nilai

Deskripsi unsur intrinsik karya sastra meliputi unsur tema, latar, alur, tokoh dan penokohan, sudut pandang dan amanat yang terkandung dalam kumpulan cerita fiksi “Istri Kedua” karya