• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERSPEKTIF PANCASILA TERHADAP ASAS NON D (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERSPEKTIF PANCASILA TERHADAP ASAS NON D (1)"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

PERSPEKTIF PANCASILA TERHADAP ASAS NON-DISKRIMINASI

DALAM PENANGANAN KASUS HAM DI INDONESIA

Nama kelompok : 1. Eko Yuliyanto (8111416011)

2. Vina Ainin Salfi Yanti (8111416038)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

(2)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Swt., karena berkat rahmat, nikmat, taufik, dan hidayah-Nya, makalah yang berjudul “Perspektif Pancasila Mengenai Asas Non-Diskriminasi dalam Penanganan Kasus HAM di Indonesia” ini dapat kami selesaikan. Shalawat serta salam selalu tercurah kepada Baginda Rosul Muhammad SAW., para keluarga, sahabat, pengikut, serta umatnya yang setia dengan ajarannya.

Makalah dengan judul Perspektif Pancasila Mengenai Asas Non-Diskriminasi dalam Penanganan Kasus HAM di Indonesia” ini mengulas tentang beberapa hal, diantaranya mengenai asas non-diskriminasi terhadap penanganan kasus HAM yang terjadi di Indonesia dalam praktiknya dan perspektif Pancasila mengenai hal tersebut.

Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan bagi para pembacanya. “Tiada gading yang tak retak” itulah peribahasa yang menggambarkan makalah ini, kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini, oleh karena itu kami sangat mengharapakan kritik dan saran dari para pembaca untuk memperbaiki penyempurnaan makalah ini.

Semarang, 08 Oktober 2017

Penyusun

(3)

DAFTAR ISI

Halaman Sampul...i

Kata pengantar ...ii

Daftar isi...iii

Daftar tabel/gambar...iv

Daftar kasus/putusan...v

BAB I PENDAHULUAN a. Latar Belakang ...1

b. Rumusan masalah ...2

c. Metode penelitian...2

BAB II PEMBAHASAN a. Kasus pelanggaran HAM...4

b. Asas non-diskriminasi...7

c. Perspektif Pancasila terhadap asas non-diskriminasi...11

BAB III KESIMPULAN...15

DAFTAR PUSTAKA...16

(4)

DAFTAR TABEL/GAMBAR

No. Gambar Keterangan

1. Kasus hak politik eks-PKI

2. Siding uji materi pasal Syarat

menjadi presiden dan wakil

presiden

3. Sidang uji halangan bagi Bekas

Narapidana untuk menjadi

Pejabat Publik

(5)

DAFTAR PUTUSAN/KASUS

No. Kasus Keterangan/putusan

1. Kasus hak politik

eks-PKI

Pasal 60 huruf g UU No. 12 Tahun 2003 tentang

Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,

Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah, MK RI menyatakan tidak

mengemukakan alasan spesifik untuk menjelaskan

bahwa Pasal 60 huruf g UU No. 12 Tahun 2003

inkonstitusional karena diskriminatif, tetapi

menganggap sebagai hal yang self-evident bahwa

hilangnya kesempatan bekas anggota organisasi

terlarang PKI, termasuk organisasi massanya, atau

bukan orang yang terlibat langsung atau pun tak

langsung dalam G.30.S/PKI atau organisasi terlarang

lainnya, untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPR,

DPD dan DPRD adalah bentuk diskriminasi

berdasarkan keyakinan politik.

2. Syarat menjadi presiden

dan wakil presiden

Pasal 6 huruf d UU No. 23 Tahun 2003 tentang

Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang

berisi syarat-syarat calon Presiden dan Wakil Presiden,

MK RI menyatakan bahwa pencantuman persyaratan

kemampuan secara rohani dan jasmani bagi calon

Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat dipandang

diskriminatif karena seseorang warga negara yang

terpilih sebagai Presiden atau Wakil Presiden harus

memenuhi persyaratan agar kelak mampu secara rohani

dan jasmani melaksanakan tugas dan kewajiban

(6)

Lalu, dalam menjelaskan rasionalitas klausul “mampu secara jasmani dan rohani “berdasarkan constitusional

intent, MK RI menyatakan “calon Presiden dan Wakil Presiden harus dalam kondisi sehat secara rohani dan

jasmani dalam melaksanakan tugas dan kewajiban

kenegaraan dimaksud. Sehingga ketentuan tentang

persyaratan termaksud bukan hanya tidak bertentangan

dengan UndangUndang Dasar 1945 tetapi juga tidak

bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum umum yang

diakui oleh masyarakat International.

3. Halangan bagi bekas

narapidana untuk

menjadi Pejabat Publik

MKRI menyatakan pendirian umum atas isu ini bahwa

jabatan publik atau jabatan dalam pemerintahan dalam

arti luas adalah jabatan yang menuntut kepercayaan

masyarakat ( vertrouwenlijk-ambt). Oleh karena itu

calon pejabatnya harus memenuhi persyaratan tertentu

supaya didapatkan pejabat yang benar-benar bersih,

berwibawa, jujur dan mempunyai integritas moral yang

tinggi. Atas dasar kerangka pikir tersebut MKRI

kemudian menjawab isu utama kasus ini dengan

meletakkan dua kaidah sebagai pedoman interpretif

agar penerapan syarat tersebut tidak diskriminatif.

Pertama, perlunya pembedaan unsur kesalahan dalam

tindak pidana tersebut apakah hasil dari kesengajaan (

dolus) atau kealpaan ( culpa) untuk menentukan sifat

tercelanya tindak pidana yang dilakukan. Jika calon

pejabat publik yang bersangkutan pernah dihukum

melakukan tindak pidana karena kealpaan ringan (

culpa levis) maka syarat tersebut tidak berlaku bagi

dirinya.43 Kedua, membatasi keberlakuan syarat

pernah/tidaknya seseorang menjalani hukuman karena

melakukan tindak pidana dengan mempertimbangkan

karakter dari tindak pidana yang dilakukan. Menurut

(7)

kejahatan karena alasan politik. Jika syarat tersebut

diberlakukan untuk tindak pidana atau kejahatan karena

alasan politik maka MKRI berpendirian bahwa syarat

tersebut diskriminatif. Dalam hal ini MKRI

mempertahankan pendirian dalam putusan sebelumnya

yaitu Putusan MKRI No. 011-017/PUU-I/2003

pemilu berikutnya itu berlaku untuk semua partai politik

setelah melewati kompetisi secara demokratis melalui

pemilu.

5. Syarat Sarjana Hukum

bagi Calon Pimpinan

KPK

MKRI berpendirian bahwa suatu persyaratan bersifat

diskriminatif jika tidak memiliki korelasi dengan

tuntutan dari jabatan publik tersebut, yaitu persyaratan

seperti: “pertimbangan ras, suku, agama, bahasa, warna

kulit, jenis kelamin, status ekonomi, status sosial, atau

keyakinan politik tertentu.”49 Atas dasar itu MKRI

selanjutnya mempertimbangkan bahwa Pasal 29 huruf d

UU No. 30 Tahun 2002 tidak diskriminatif karena:

merupakan tuntutan kebutuhan sesuai dengan sifat

kelembagaan KPK sebagaimana tampak dalam

wewenang dan tugasnya. Adalah benar bahwa

kemampuan seseorang tidak selalu tergambar dari

kualiikasi pendidikannya akan tetapi syarat pendidikan

tertentu telah diterima secara umum sebagai ukuran

objektif bagi tolok ukur kemampuan yang diperlukan

untuk melaksanakan tugas jabatan dalam

pemerintahan.50

MKRI memperkuat pendiriannya dengan beranjak dari

(8)

untuk hal-hal yang memang sama dan memperlakukan

berbeda untuk hal-hal yang memang berbeda

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Sebuah buku yang berjudul “Human Rights, Individual Rights, and Collective Rights” yang ditulis oleh Jack Donnelly dan dikutip oleh Peter R. Baehr dikatakan

bahwa “human rights are rights that human beings posses because they are human beings.”

Sebagai sebuah identitas yang membedakan manusia dengan mahluk lain maka sudah

sepantasnya hak asasi manusia (HAM) diakui secara universal tanpa peduli apapun

warna kulit, jenis kelamin, usia, latar belakang kultural dan pula agama atau

kepercayaan spiritualitasnya.

Setiap manusia berkedudukan sama di hadapan Tuhan Yang Maha Esa karena

dilahirkan dengan martabat, derajat, hak dan kewajiban yang sama. Setiap manusia

yang dilahirkan ke dunia memiliki hak yang melekat dalam dirinya masing-masing.

Secara konsep, hak asasi manusia dapat dilaksanakan oleh seorang manusia dengan

identitasnya sebagai individu dan identitasnya dalam komunitas, organisasi, keluarga

dan negara atau kolektif. Dalam sebuah essay yang berjudul “Human Rights, Individual Rights and Collective Rights” Jack Donnelly berkata :

human rights are a special class of rights that one has simply because one is a human

being. They are thus moral rights of the highest order (whether or not they are recognized in the positive law). As such, they play a special political role”.

Maksud dari pengertian tersebut adalah bahwa hak asasi manusia adalah suatu

hak yang istimewa, hak tersebut dimiliki karena seseorang adalah manusia dan hak

asasi manusia adalah hak moral yang tertinggi sehingga memiliki peranan yang penting

dalam politik.

Kita tahu bahwa Indonesia ini memiliki berbagai jenis keragaman, sehingga

dengan ragamnya agama, buadaya, ras, budaya, dan keragaman lain yang

menyebabkan terjadinya konflik dalam kehidupan bermasyarakat merupakan hambatan

bagi hubungan kekeluargaan, persaudaraan, persahabatan, perdamaian , keserasian,

keamanan, dan kehidupan bermata pencaharian di antara warga negara yang pada

dasarnya selalu hidup berdampingan.

(10)

Ciri budaya gotong royong yang telah dimiliki masyarakat Indonesia dan

adanya perilaku musyawarah/mufakat, bukanlah jaminan untuk tidak terjadinya

konflik, terutama dengan adanya tindakan diskriminasi terhadap suatu

kelompok/golongan tertentu. Hak Asasi Manusia bertujuan untuk memelihara harkat

dan martabat manusia.

Kerusuhan yang pernah terjadi menunjukkan bahwa di Indonesia sebagian

warga negara masih terdapat adanya diskriminasi atas dasar kelompok tertentu,

misalnya, diskriminasi dalam dunia kerja atau dalam kehidupan sosial ekonomi, dan

lain-lain. Akhir-akhir ini di Indonesia sering muncul konflik antar agama, ras, gender,

dan lain-lain yang diikuti dengan pelecehan, perusakan, pembakaran, perkelahian,

pemerkosaan, pembantaian dan pembunuhan. Konflik tersebut muncul karena adanya

ketidakseimbangan hubungan yang ada dalam masyarakat, baik dalam hubungan

sosial, ekonomi, maupun dalam hubungan kekuasaan.

Konflik di atas tidak hanya merugikan kelompok-kelompok masyarakat yang

terlibat konflik tetapi juga merugikan masyarakat secara keseluruhan. Kondisi itu dapat

menghambat pembangunan nasional yang sedang berlangsung. Hal itu juga

mengganggu hubungan kekeluargaan, persaudaraan, persahabatan, perdamaian dan

keamanan di dalam suatu negara serta menghambat hubungan persahabatan

antarbangsa.

Pancasila sebagai falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia dan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai hukum dasar yang

menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia yang tercermin dalam sila kedua,

kemanusiaan yang adil dan beradab. Asas ini merupakan amanat konstitusional bahwa

bangsa Indonesia bertekad untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi dalam

berbagai hal.

Dalam rangka pengamalan Pancasila, Indonesia pada dasarnya telah

menetapkan mengenai larangan diskriminasi ini dalam UUD 1945, sebagai konstitusi

Negara, dan juga dalam peraturan perundang-undangan lainnya.

B. Rumusan masalah

1. Bagaimana penanganan kasus pelanggaran HAM di Indonesia?

2. Bagaimana penerapan asas non-diskriminasi dalam kasus HAM di Indonesia?

(11)

3. Bagaimana perspektif Pancasila memandang sejauh penerapan asas non diskriminasi

agama dalam kasus HAM di Indonesia?

C. Metode penelitian

Dalam penyusunan makalah ini kami menggunakan referensi dari berbagai sumber

utamanya buku. Selain buku kami juga menggunakan jurnal terkait, baik itu jurnal

nasional maupun internasional sebagai pendukung referensi dalam menyusun makalah

ini. Peraturan perundang-undangan terkait juga kami gunakan untuk meperkuat setiap

apa yang kami kemukakan dalam makalah ini.

(12)

BAB II

PEMBAHASAN

a. Kasus pelanggaran HAM di Indonesia

Pelanggaran hak asasi manusia dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia, adalah setiap perbuatan seseorang atau sekelompok orang termasuk aparat

negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan

hukum, mengurangi, menghalangi, membatasi dan mencabut HAM seseorang atau

sekelompok orang yang dijamin oleh undang-undang ini dan tidak mendapat atau

dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar

berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. Sedangkan dalam UU No. 26 tahun

2000 tentang Pengadilan HAM, mendefinisikan pelanggaran HAM adalah setiap

perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja

ataupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi,

membatasi, dan mencabut HAM seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh

undang-undang ini, dan tidak didapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh

penyelesaian hukum yang berlaku. Kasus pelanggaran hak asasi manusia akan

senantiasa terjadi jika tidak secepatnya ditangani. Negara yang tidak mau menangani

kasus pelanggaran HAM yang terjadi dinegaranya akan disebut unwillingness state atau

negara yang tidak mempunyai kemauan menegakkan HAM. Kasus pelanggaran HAM

yang terjadi dinegara tersebut akan disidangkan oleh Mahkamah Internasional. Hal

tersebut tentu saja menggambarkan bahwa kedaulatan hukum negara tersebut lemah

dan wibawa negara tersebut jatuh di dalam pergaulan bangsa-bangsa yang beradab.

Sebagai negara hukum dan beradab, tentu saja Indonesia tidak mau disebut

sebagai unwillingness state. Indonesia selalu menangani sendiri kasus pelanggaran HAM

yang terjadi di negara ini, yakni melalui Pengadilan Hak Asasi Manusia yang dibentuk

berdasarkan UU No. 26 tahun 2000. Sebelum berlakunya UU Pengadilan HAM

tersebut, kasus pelanggaran HAM diperiksa dan diselesaikan di Pengadilan HAM Ad

Hoc yang dibentuk berdasarkan keputusan presiden dan berada di lingkungan peradilan

umum. Namun setelah berlakunya UU tersebut, maka sudah menjadi ranah Pengadilan

HAM untuk memeriksa dan mengadili setiap perkara pelanggaran HAM yang masuk.

Berdasarkan UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, proses persidangannya

berlandaskan pada ketentuan Hukum Acara Pidana.

(13)

Proses penyidikan dan penangkapan dilakukan oleh Jaksa Agung dengan

disertai surat perintah dan alasan penangkapan, kecuali tertangkap tangan. Penahanan

untuk pemeriksaan dalam sidang di Pengadilan HAM dapat dilakukan paling lama 90

hari dan dapat diperpanjang paling lama 30 hari oleh pengadilan negeri sesuai dengan

daerah hukumnya. Penahanan di pengadilan tinggi dilakukan paling lama 60 hari dan

dapat diperpanjang paling lama 30 hari. Penahanan MA paling lama 60 hari dan dapat

diperpanjang paling lama 30 hari. Adapun penyelidikan, Komnas HAM dapat

membentuk Tim Ad Hoc yang terdiri dari Komnas HAM dan unsur masyarakat. Hasil

penyelidikan Komnas HAM yang berupa laporan pelanggaran HAM, diserahkan

berkasnya kepada Jaksa Agung yang bertugas sebagai penyidik. Jaksa Agung wajib

menindak lanjuti laporan dari Komnas HAM tersebut. Jaksa Agung sebagai penyidik

dapat membentuk penyidik Ad Hoc yang terdiri dari unsur pemerintah dan

masyarakat.

Proses penuntutan perkara pelanggaran HAM berat dilakukan oleh Jaksa

Agung. Dalam pelaksanaan tugasnya, Jaksa Agung dapat mengangkat penuntut umum

Ad Hoc yang terdiri dari pemerintah atau masyarakat. Setiap saat Komisi Nasional

Hak Asasi Manusia mendapat keterangan tertulis dari Jaksa Agung mengenai

perkembangan penyidikan dan penuntutan perkara pelanggaran HAM yang berat.

Jaksa Penuntut Umum ad hoc sebelum melaksanakan tugasnya harus mengucapkan

sumpah atau janji. Selanjutnya, perkara pelanggaran HAM yang berat diperiksa dan

diputuskan oleh Pengadilan HAM yang dilakukan oleh majelis Hakim Pengadilan

HAM paling lama 180 hari setelah berkas perkara dilimpahkan dari penyidik kepada

Pengadilan HAM. Majelis Hakim Pengadilan HAM yang berjumlah lima orang terdiri

atas dua orang hakim pada Pengadilan HAM yang bersangkutan dan tiga orang hakim

ad hoc yang diketuai oleh hakim dari Pengadilan HAM yang bersangkutan. Dalam hal

perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dimohonkan banding ke Pengadilan

Tinggi, maka perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam waktu paling lama 90 hari

terhitung sejak perkara dilimpahkan ke pengadilan Tinggi. Pemeriksaan perkara

pelanggaran HAM di Pengadilan Tinggi dilakukan oleh Majelis Hakim yang terdiri

dari dua orang hakim pengadilan tinggi yang bersangkutan dan tiga orang hakim ad

hoc. Hakim ad hoc di Mahkamah Agung diangkat oleh presiden selaku kepala negara

atas usulan Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia.

(14)

Terlepas dari itu semua, banyak sekali kasus yang terjadi di Indonesia akibat

diskriminasi. Diskriminasi dalam UU No. 39 tahun 1999 pasal 1 adalah setiap

pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung

didasarkan

pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnis, kelompok, golongan, status

sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat

pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau

penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual

maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek

kehidupan lainnya.

b. Asas non-diskriminasi dalam kasus HAM di Indonesia

Asas non-diskriminasi atau non-discrimination principle adalah bahwa tidak

seorangpun dapat meniadakan hak asasi orang lain karena faktor-faktor luar, misalnya

ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pandangan lainnya. Bahwa

segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan berhak atas

perlindungan terhadap setiap bentuk diskriminasi ras dan etnis.

Asas non-diskriminasi ini harus diterapkan secara maksimal agar tidak

mencederai hak orang lain yang ujung-ujungnya berakhir dengan pelanggaran hak asasi

manusia.

Secara konstitusional ada beberapa ketentuan sebagai sumber hukum bagi hak

untuk bebas dari diskriminasi. Subjek dari ketentuan tersebut dapat dibedakan menjadi

dua. Pertama, setiap orang tanpa kualifikasi. Kedua, warga negara. Dengan demikian

ketentuan tentang hak untuk bebas dari diskriminasi tersebut berlaku bagi hak-hak asasi

manusia dan hak-hak warga Negara.

Ketentuan konstitusional tentang HAM untuk bebas dari diskriminasi adalah

sebagai berikut : dalam pasal 28D ayat 2 UUD 1945 berbunyi “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama

di hadapan hukum1. Sedangkan dalam pasal 28I ayat 2 UUD 1945 pun mengatur

mengenai non-diskriminasi yang berbunyi :

Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”.

1 Ketentuan tersebut pararel dengan pasal 5 ayat 1 UU No. 39 tahun 1999 :” Setiap orang diakui sebagai

manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya di depan hokum.

(15)

Sementara ketentuan konstitusional tentang hak warga negara untuk bebas dari

diskriminasi adalah pasal 27 ayat 1 UUD 1945 menentukan bahwa segala warga negara

bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan wajib menjunjung hukum

dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya serta pasal 28D ayat 3 UUD 1945

yang menentukan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang

sama dalam pemerintahan.

Ketentuan konstitusional tentang hak untuk bebas dari diskriminasi juga

mencakup perlindungan khusus bagi kelompok orang tertentu yang terkategori sebagai

kelompok rentan. Pasal 28H ayat 2 UUD 1945 menentukan bahwa setiap orang berhak

mendapat kemudahan dan perlakukan khusus untuk memperoleh kesempatan dan

manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Hal ini dipertegas oleh

pasal 5 ayat 3 UU No. 39 tahun 1999 yang menentukan bahwa setiap orang yang

termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan

perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya.

Secara fungsional, non-diskriminasi pada hakikatnya adalah asas dalam rangka

implementasi perlindungan HAM terkait dengan kewajiban negara terhadap semua

jenis HAM. Perlindungannya bersifat accessory, yaitu: “it can only be applied when any

of those rights or freedoms has been violated.2” Pengertian ini mengacu pada Art. 14 the

European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms3

Pengertian demikian tercermin secara inheren dalam Pasal 1 angka 3 jo. Pasal 2 ayat (3)

UU No. 39 Tahun 1999, Art. 2 Universal Declaration of Human Rights (UDHR), Art. 2.(1)

International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), dan Art. 2.(2) International

Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR). Sebagai implikasinya, tidak

perlu ada ketentuan non-diskriminasi secara khusus karena hal itu telah melekat dalam

semua ketentuan HAM di mana implementasi dan penikmatannya di antara

individu-individu tidak boleh didiskriminasikan4. Pengertian ini berlaku umum, termasuk bagi

Indonesia5. Namun khusus dalam sistem UUD 1945, status perlindungan

non-diskriminasi diposisikan sebagai hak tersendiri atau otonom6.

2

.P. van Dijk & G.J.H. van Hoof, Theory and Practice of the European Convention of Human Rights, Deventer/Boston: Kluwer Law and Taxation Publishers, 1990, h. 533.

3

Ketentuannya menyatakan “The enjoyment of the rights and freedoms set forth in this convention shall be

secured without discrimination on any ground such as sex, race, colour, religion, political or other opinion, national or social origin, association with a national minority, property, birth or other status

4

Nihal Jayawickrama, The Judicial Application of Human Rights Law: National, Regional and International Jurisprudence, Cambridge: Cambridge University Press, 2002, h. 175.

5

Khususnya vide Pasal 2 ayat (3) UU No. 39 Tahun 1999

6

Pasal 28I ayat (2) UUD 1945

(16)

Sieghart menjelaskan, asas non-diskriminasi merupakan derivasi dari asas

universal inherence dan asas inalienability HAM dengan implikasi: “no such differentiation is today permissible in the case of „human‟ rights ... the law must treat all members of the protected

class with complete equality, regardless of their particular circumstances, features or

characteristics7. Asas non-diskriminasi secara substantif bukan a simplistic philosophy of

egalitarianism, tetapi lebih luas maknanya dan mempertimbangkan keunikan

masing-masing individu manusia. Yang pivotal dari konsep non-diskriminasi adalah aspek

fungsionalnya agar HAM dapat dinikmati setiap manusia tanpa dibeda-bedakan.

Dalam konteks ini tujuan asas non-diskriminasi adalah “to allow all individuals an equal and fair prospect to access opportunities available in a society8”.

Ruang lingkup asas non-diskriminasi ada dua, yaitu melarang diskriminasi

langsung ( direct discrimination) dan tidak langsung ( indirect discrimination). Dengan

pengertian lain, diskriminasi langsung adalah “treating one person less favourably than another on prohibited grounds and in comparable circumstances9. Sementara diskriminasi tidak langsung adalah “a practice, rule, requirement or condition is neutral on its face but has a

disproportionate effect on particular groups without any objective justification10.”

Secara substantif, ketentuan non-diskriminasi pada hakikatnya pararel dengan

ketentuan yang maknanya positif yaitu hak atas persamaan (the right to equality). The

Human Rights Committee menyatakan: “Non-discrimination, together with equality before the law and equal protection of the law without any discrimination, constitute a basic and general

principle relating to the protection of human rights11.” Namun demikian, Jayawickrama

berpendapat bahwa hak atas persamaan pada hakikatnya adalah hak yang mandiri (

autonomous rights), berbeda dengan ketentuan non-diskriminasi karena

keberlakuannya tidak harus dikaitkan dengan atau bergantung pada jenis-jenis HAM

yang lain12.

7Paul Sieghart, The International Law of Human Rights, Oxford: Clarendon Press, 1983, h. 17. Asas ‘universal

inherence’ dan asas ‘ inalienability’ pada hakikatnya adalah refl eksi atas konsep HAM sebagai hak alamiah (natural rights).

8

The European Court of Human Rights & the European Union Agency for Fundamental Rights, Handbook on European Non-Discrimination Law, Luxembourg: Publications Offi ce of the European Union, 2011, h. 21.

9

Nihal J ayawickrama, Op.Cit, h. 177.

10

Ibid

11

The Human Rights Committee, General Comment No. 18: Non-Discrimination, Thirty-seventh Session, 1989, par. 1.

12

Nihal J ayawickrama, Op.Cit, h. 817

(17)

Landasan yuridis spesifik bagi hak atas persamaan adalah Art. 7 UDHR15 dan

Art. 26 ICCPR.16 Ketentuan ini menjamin tiga bentuk perlindungan HAM: equality

before the law; equal protection of the law; dan protection from discrimination. Ketentuan

tersebut pararel dengan Pasal 28D ayat (2) jo. Pasal 5 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999.

Berbeda dengan ketentuan non-diskriminasi yang sifatnya negatif (pelarangan),

hak atas persamaan menuntut negara untuk mengambil langkah-langkah tertentu,

kewajiban positif, guna memastikan terwujudnya persamaan. Perlindungan terhadap

hak atas persamaan juga tidak melarang bentuk perlakuan berbeda. Jayawickrama menyatakan: “Equality before the law and the equal protection of the law do not mean identity

or abstract symmetry of treatment. Distinctions need to be made for different classes and groups of

persons, and a classification based on reasonable and objective criteria is permitted.” Beberapa contoh konkret untuk pernyataan ini adalah: larangan pada orang buta untuk

menjalankan kendaraan, wajib belajar bagi kelompok umur tertentu, pengenaan pajak

secara progresif sesuai besaran penghasilan.

Dalam kasus tertentu, asas persamaan menuntut negara agar melakukan

affirmative action untuk mengurangi atau menghapuskan kondisi-kondisi yang

menyebabkan diskriminasi atau membantu melanggengkan praktik diskriminasi.

Praktik perlakuan berbeda untuk mengurangi atau menghapuskan diskriminasi

dipandang sebagai bentuk diferensiasi atau pembedaan yang sah. Jayawickrama

menegaskan: “The primary mission of an equality provision is the promotion of a society in

Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang memuat larangan bagi seseorang untuk

dapat dicalonkan sebagai anggota DPR, DPD dan DPRD Provinsi maupun

Kabupaten/Kota jika yang bersangkutan: “bekas anggota organisasi terlarang Partai

Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat

langsung atau pun tak langsung dalam G.30.S/ PKI atau organisasi terlarang

lainnya.”

2. Syarat Menjadi Presiden dan Wakil Presiden

(18)

Isu hukum kasus ini adalah konstitusionalitas Pasal 6 huruf d UU No. 23 Tahun

2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang berisi

syarat-syarat calon Presiden dan Wakil Presiden yaitu: “mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden.”

Syarat tersebut dinilai diskriminatif oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) karena

menghalangi kesempatannya untuk mencalonkan diri sebagai Presiden Republik

Indonesia melalui pemilu.

3. Kebijakan Legislatif dalam rangka Penyederhanaan Partai Politik

Isu hukum kasus ini adalah konstitusionalitas kebijakan legislator dalam rangka

penyederhanaan partai politik melalui ketentuan electoral threshold/ ET

(pembatasan untuk ikut serta dalam pemilu berikutnya berdasarkan ambang batas

perolehan suara partai politik dalam pemilu sebelumnya). Secara substantif isu

hukum ini diuji dengan ketentuan non-diskriminasi karena mengandung unsur

pembedaan atau klasifikasi antara partai politik yang memenuhi ET dengan partai

politik yang tidak memenuhi ET. Ketentuan yang diuji adalah Pasal 9 UU No. 12

Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang menetapkan

ambang batas perolehan suara nasional sebesar 3% bagi partai politik yang akan

ikut serta dalam pemilu selanjutnya (Pemilu 2009).

4. Halangan bagi Bekas Narapidana untuk menjadi Pejabat Publik

Beberapa undang-undang yang mengatur mengenai syarat untuk menjadi pejabat

publik menentukan: “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak

pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau lebih.”

Jabatan publik dengan syarat tersebut adalah: Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 6

huruf t UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil

Presiden); Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pasal 58 huruf f UU No. 32

Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah); Hakim Konstitusi (Pasal 16 ayat [1]

huruf d UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi); Hakim Agung

(Pasal 7 ayat [2] huruf d UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung);

Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (Pasal 13 huruf g UU No. 15 Tahun 2006

tentang Badan Pemeriksa Keuangan); dan anggota DPR, DPD, DPRD provinsi,

(19)

dan DPRD kabupaten/kota (Pasal 50 ayat [1] huruf g UU No. 10 Tahun 2008

tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah).

5. Syarat Sarjana Hukum bagi Calon Pimpinan KPK

Kasus ini mempermasalahkan konstitusionalitas Pasal 29 huruf d UU No. 30 Tahun

2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang

menentukan syarat untuk menjadi pimpinan KPK yaitu: “Sarjana Hukum atau

sarjana lain yang memiliki keahlian dan pengalaman sekurang-kurangnya 15 (lima

belas) tahun dalam bidang hukum, ekonomi, keuangan, atau perbankan.” Pemohon menganggap syarat ini diskriminatif. Atas isu tersebut, syarat untuk menduduki

jabatan publik yang tidak diskriminatif, MK RI meletakkan prinsip:

persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang untuk menduduki suatu jabatan

publik atau pekerjaan tertentu tidaklah serta-merta dapat dikatakan sebagai

pelanggaran terhadap hak asasi manusia ataupun hak konstitusional warga negara,

lebih-lebih untuk suatu jabatan atau pekerjaan yang karena sifatnya memang

menuntut keahlian dan/atau keterampilan tertentu. Yang dilarang adalah membuat

persyaratan yang bersifat diskriminatif yang sama sekali tidak ada hubungannya

dengan tuntutan kebutuhan pengisian suatu jabatan atau pekerjaan.

c. Perspektif Pancasila terhadap penerapan asas non diskriminasi dalam kasus HAM di

Indonesia

Prinsip tanpa diskriminasi ( non-discrimination ) adalah satu kesatuan dengan

konsep kesetaraan. Prinsip non-diskriminatif melingkupi pandangan bahwa orang tidak

dapat diperlakukan secara berbeda berdasarkan kriteria yang bersifat tambahan dan

tidak dapat diijinkan. Diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, kesukuan, gender,

usia, bahasa, ketidak-mampuan, orientasi seksual, agama, politik atau pendapat

lainnya, asal-usul secara sosial atau geografis, kepemilikan, kelahiran atau status

lainnya yang dibuat oleh standar HAM internasional, melanggar HAM.

Sebagai negara yang berdaulat, layaknya negara-negara di dunia, Indonesia

memiliki sistem nilai yang menjadi pondasi, ideologi, dan falsafah dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara. Menurut John Gardner, “tidak ada bangsa yang dapat mencapai kebesaran jika bangsa itu tidak percaya kepada sesuatu, dan jika sesuatu yang

dipercayainya itu tidak memiliki dimensi moral guna menopang peradaban besar.

Dalam konteks ini, Indonesia memiliki dan menyakini bahwa lima nilai fundamental

yang dikonsepsikan sebagai dasar, pandangan, idiologi negara, yakni Pancasila.”

(20)

1. Ketuhan Yang Maha Esa

2. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab

3. Persatuan Indonesia

4. Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijakanaan dalam Permusyarawatan

Perwakilan

5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Dalam pandangan Soekarno, bahwa Indonesia (melalui Pancasila) tidak

dipimpin dan tidak mengikuti kedua ajaran, yakni baik ajaran liberal maupun komunis.

Lima nilai fundamental tersebut digali dan diekstrak dari pengalaman kami sendiri dan

dari sejarah kami sendiri tumbuhlah sesuatu yang lain, sesuatu yang jauh lebih sesuai,

sesuatu yang jauh lebih cocok dengan kondisi Indonesia, sesuatu itu kami

namakan“PANCASILA”. Pancasila digali dari berbagai kearifan lokal; suku bangsa, agama, dan nilai-nilai kemanusiaan, yang itu semua dipandang sebagai bantalan

weltanschaung bagi negara Indonesia merdeka. Karena itu, Pancasila sebagai ideologi

negara dapat dikatakan sebagai idiologi “integralistik” yang mengatasi partikularitas

paham perseorangan dan golongan.

Prinsip HAM dalam Sila-sila dari Pancasila yang digali oleh The founding fathers

bersumber dari kebudayaan asli Indonesia dan itu merupakan produk dari konsensus

bersama yang kemudian dijadikan sebagai pandangan hidup bangsa, dasar dan ideologi

negara yang ditetapkan pada 18 Agustus 194513. Sumber bahan dan nilai Pancasila

digali dari nilai-nilai yang lahir dan tumbuh di dalam diri bangsa Indonesia sendiri.

Karena itu, sejarah telah menyatakan bahwa Pancasila adalah jiwa seluruh rakyat

Indonesia, yang memberi kekuatan hidup kepada bangsa Indonesia serta

membimbingnya dalam mengejar kehidupan lahir batin yang makin baik, di dalam

masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Pancasila merupakan kepribadian dan

pandangan hidup bangsa, yang telah diuji kebenaran, kemampuan dan kesaktiannya,

13

Mungkin yang menjadi perdebatan adalah kebudayaan yang mana yang mendasari perumusan Pancasila (yang didalamnya terdapat nilai-nilai HAM), dalam konteks ini masih terdapat perbedaan pandangan . namun demikian, dalam konteks indonesia, tradisi dan kebudayaan yang menjadi sumber perumusan pancasila, tak lepas dari factor agama. Perumusan Pancasila (termasuk HAM) tak lepas dari nilai-nilai sosio-religi yang hidup, tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Indonesia. Dalam konteks ini, penulis mengakasn bahwa secara historis, dan sosioreligi, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang bertuhan dan beragama. Dan agama menjadi unsur penting dalam membentuk kebudayaan dan masyarakat.

(21)

sehingga tak ada satu kekuatan manapun juga yang mampu memisahkan Pancasila dari

kehidupan bangsa Indonesia.

Nilai yang terkandung dalam lima sila Pancasila, memiliki fungsi konstruktif

dan regulatif. Fungsi konstruktif mengandung arti bahwa Pancasilalah yang

menentukan apakah tata hukum Indonesia merupahan tata hukum yang benar.

Pancasila di sini merupakan dasar suatu tata hukum, yang tanpa itu suatu tata hukum

kehilangan arti dan makna sebagai hukum. Pancasila juga memiliki fungsi regulatif

yang

menentukan apakah hukum positif yang berlaku di Indonesia merupakan hukum

yang adil atau tidak. Bila mengacu kepada fungsi konstruktif dan regulatif dari

Pancasila, maka menjadi catatan kita bersama bahwa setiap proses perumusan

perundang-undangan (termasuk di dalamnya UU tentang HAM), para perumus harus

selalu menjadikan nilai-nilai universal dan bahkan nilai lokal yang terkandung dalam

Pancasila sebagai acuannya.

Sistem nilai universal dari Pancasila yang melandasi HAM adalah (a) nilai religius atau

ketuhanan, (b) nilai kemanusiaan, (c) nilai persatuan, (d) nilai kerakyatan, dan (e) nilai

keadilan. Nilai religius (ketuhanan) yang diamanatkan dalam sila pertama, dapat

dikatakan merupakan suatu keunikan dalam penyelenggaraan negara RI dibandingkan

dengan negara-negara Barat misalnya, yang tentunya Pancasila ini berangkat dari

kondisi masyarakat Indonesia sendiri. Ide tentang HAM bagi bangsa Indonesia adalah

HAM yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai ketuhanan. Karena HAM bersumber

dari nilai-nilai ketuhanan sehingga HAM yang dikembangkan tidak boleh menyalahi

aturan yang ditetapkan Tuhan.

Manusia dengan menempatkan dirinya sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha

Kuasa, maka pada dasarnya manusia itu, termasuk manusia yang menyelenggarakan

kekuasaan tidak akan berarti apapun dalam kehidupannya tanpa kekuasaan-Nya, sebab

di depan Tuhan semua manusia sama. Pancasila juga memiliki fungsi regulatif yang

menentukan apakah hukum positif yang berlaku di Indonesia merupakan hukum yang

adil atau tidak.

Salah satu asas yang terkandung dalam Pancasila adalah asas non-diskriminasi,

yakni suatu asas di mana setiap orang memiliki kedudukan yang sama, tanpa adanya

perlakuan yang berbeda hanya karena ras, warna kulit, pendapat, agama, dan lain

sebagainya. Bahwa salah satu sila pancasila yang kedua adalah kemanusiaan yang adil

dan beradab.

(22)

Jadi, hal ini jelas menggambarkan bahwa setiap manusia memiliki kesamaan dan

berhak mendapat perlakuan yang sama. Manusia sebagai makhluk yang bermartabat

dalam arti di sini ada sisi-sisi kemanusiaan yang dimanusiakan terhadap manusia

tersebut. Pancasila mencerminkan kehidupan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang

beragam namun tetap satu dan terikat satu ikrar yang menjadi kekuatan untuk selalu

membangun sikap dan sifat saling menghormati dan menghargai satu dengan yang

lainnya.

Bahwa Pancasila menggambarkan sebagai nilai-nilai yang mencerminkan

seseorang dalam bertindak hendaknya bersandar pada martabat setiap orang agar tidak

sampai mencederai hak fundamental yang melekat dalam diri manusia itu. Asas

non-diskriminasi adalah bagian dari Pancasila yang menjadi tolok ukur sampai di mana

pancasila itu ada ditengah-tengah masyarakat Indonesia. Pancasila memandang asas

non-diskriminasi sebagai asas yang tidak boleh dibaikan, karenanya sangat riskan jika

sedikit saja ada isu untuk menghapus pancasila dan menggantinya dengan ideologi lain.

Apalagi saat ini, maraknya kasus atau isu-isu yang berkembang ditengah-tengah

masyarakat diharapkan Pancasila mampu menjadi senjata yang kuat agar tidak terjadi

pelanggaran HAM yang merugikan masyarakat dan menyalahi kodratnya. Asas

non-diskriminasi dalam Pancasila ini adalah asas fundamental yang berlaku untuk

mendobrak kemajuan penegakan hak asasi manusia di Indonesia.

Pancasila ini kuat dan benar-benar hidup ketika Pancasila mampu menjadi

tongkat ketika ada pelanggaran HAM melalui sila-sila dan nilai-nilai yang terkandung

didalamnya untuk diimplementasikan dengan baik dan diutamakan asas

non-diskriminasi dalam setiap konflik atau pelanggaran yang terjadi sehingga nantinya

dapat menghasilkan putusan yang bernilai keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

(23)

BAB III

KESIMPULAN

Asas non-diskriminasi merupakan salah satu asas yang sangat penting dalam seluruh

pembahasan mengenai HAM. Asas non-diskriminasi mempunyai hubungan yang sangat kuat

dengan konsep mengenai kebebasan dan keadilan. Asas ini sering digambarkan sebagai jiwa

dari HAM karena hal yang fundamental dari lahirnya ide-ide HAM adalah meletakkan setiap

individu manusia dimuka bumi ini dalam posisi yang sama dan sejajar dalam hubungannya

antara yang satu dengan lainnya. Ide kesetaraan diartikan “ bahwa setiap orang pada satu situasi yang sama harus diperlakukan sama”.

Agar kesetaraan dapat dinikmati oleh semua orang maka diperlukan sebuah langkah

atau tindakan konkret yang dapat memastikan bahwa kesempatan yang sama benar-benar

dapat dinikmati secara nyata. Tindakan atau langkah untuk memastikan bahwa setiap orang

dapat memperoleh kesempatan/peluang yang sama disebut tindakan affirmatif (affirmative

action) atau langkah perlindungan khusus (protective measurement). Tindakan afirmatif dilakukan

dalam konteks untuk mendukung/memberi jaminan kepada kelompok masyarakat atau

kelas-kelas tertentu agar mempunyai kesempatan yang sama dengan kelompok lain. Sehingga,

sebagai perwujudan sila kedua Pancasila, Kemanusiaan yang adil dan beradab maka asas

non-diskriminasi ini diimplementasikan demi tegaknya keadilan social bagi seluruh rakyat

Indonesia yang eksistensinya tetap kuat dalam persamaan kedudukan dalam hokum (equality

before the law).

(24)

DAFTAR PUSTAKA

El-Muhtaj, Majda. 2007. Hak Asasi Manusia dalam Konstiutsi Indonesia. Jakarta : Kencana

Hatauruk M., 1982. Tentang Sekitar Hak-Hak Asasi Manusia dan Warga Negara. Jakarta :

Erlangga

Kurnia, Slamet Titon. 2015. Interpretasi Hak-Hak Asasi Manusia oleh Mahkamah Konstitusi

Republik Indonesia. Bandung : CV Mandar Maju

Kusuma, Indradi, M.. 2000. Diskriminasi Warga Negara dan Hak Asasi Manusia : Bunga Rampai

Wacana Kewarganegaraan dalam Beragam Perspektif & Interdisipliner. Jakarat :

Komnas-HAM-Gerakan Perjuangan Anti Diskriminasi-Forum Komunikasi Kesatuan

Bangsa-The Asian Foundation

Purbopranoto, Kuntjoro. 1982. Hak-Hak Asasi Manusia dan Pancasila. Jakarta : Pradnya

Paramita

Sieghart, Paul. 1983. The International Law of Human Rights. Oxford: Clarendon Press

Sujata, Antonius. 2000. Reformasi dan Penegakan Hukum. Jakarta : Penerbit Djambatan

Ida Bagus Radendra. 2012. Asas Putusan Mahkamah Konstitusi tentang UU Pemerintahan Daerah

Terkait Pemilihan Kepala Daerah. Unnes Law Journal. Vol. 1, Nomor 1, November

2012

Paul Brest. 1976. “The Supreme Court 1975 Term – Foreword: In Defense of the Antidiscrimination Principle,” Harvard Law Review, Volume 90

Titon Slamet Kurnia. 2015. Mahkamah Konstitusi dan Hak untuk Bebas dari Perlakuan

Diskriminasi. Jurnal Konstitusi. Vol. 12, Nomor 1, Maret 2015

Republik Indonesia.1999. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Lembaran Negara RI Tahun 1999, No. 165. Sekretariat Negara. Jakarta

Republik Indonesia.2000. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Lembaran Negara RI Tahun 2000, No. 165. Sekretariat Negara. Jakarta

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/

Gambar

Gambar Keterangan

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan uraian di atas ada beberapa hal yang perlu disarikan sekaitan dengan pembinaan literasi melalui pembelajaran sastra dalam wujud kebiasaan membaca

KAIDAH HUKUM YANG BERSIFAT SUBSTANTIF ATAU MATERIEL  ADALAH BERUPA KETENTUAN HUKUM YANG DIBUAT APARAT LEGISLATIF, YUDIKATIF DAN EKSEKUTIF BAIK SECARA BERSAMA DAN / ATAU

Selain itu kita juga dapat mengubah elemen – elemen matriks dari suatu operator dalam suatu basis menjadi elemen –elemen matriks dari suatu operator yang sama

Upaya yang dilakukan oleh Pemerintah kabupaten Ngada adalah Pemerintah bersama-sama dengan DPRD harus segera membuat Peraturan Daerah dan melibatkan masyarakat serta

Untuk mengetahui hubungan antara faktor lingkungan (ejekan seputar berat badan dan bentuk tubuh, kekerasan fisik, makan bersama keluarga dan keterpaparan media

Dan apabila dikatakan kepada mereka,” nafkahkanlah sebagaian dari rizeqi yang diberikan Allah kepadamu,” maka orang-orang yang kafir itu berkata kepada orang-orang yang

Metode turbidimetri (nephelometri) yaitu pengukuran variasi kekeruhan suspensi kolodial kitin selama kitinolisis. Pengukuran ini bersifat cepat dan akurat tapi tidak cocok untuk

Bentuk perlakuan terhadap kelompok eksperimen adalah siswa diberi perlakuan (diajar) dengan menggunakan metode pembelajaran Modeling The Way. Sedangkan kelompok