• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERKEMBANGAN KOTA PALOPO SAMPAI PADA TAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERKEMBANGAN KOTA PALOPO SAMPAI PADA TAH"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

PERKEMBANGAN KOTA PALOPO SAMPAI PADA TAHUN 2017

Kota Palopo adalah sebuah kota di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Kota Palopo sebelumnya berstatus kota administratif sejak 1986 dan merupakan bagian dari Kabupaten Luwu yang kemudian berubah menjadi kota pada tahun 2002 sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2002 tanggal 10 April 2002.

Pada awal berdirinya sebagai kota otonom, Palopo terdiri atas 4 kecamatan dan 20 kelurahan. Kemudian, pada tanggal 28 April 2005, berdasarkan Peraturan Daerah Kota Palopo Nomor 03 Tahun 2005, dilaksanakan pemekaran menjadi 9 kecamatan dan 48 kelurahan.

Kota ini memiliki luas wilayah 247,52 km dan pada akhir 2015 berpenduduk sebanyak 168.894 jiwa.

Kota Palopo ini dulunya bernama Ware yang dikenal dalam Epik La Galigo. Nama "Palopo" ini diperkirakan mulai digunakan sejak tahun 1604, bersamaan dengan pembangunan Masjid Jami' Tua. Kata "Palopo" ini diambil dari kata bahasa Bugis-Luwu. Artinya yang pertama adalah penganan yang terbuat dari ketan, gula merah, dan santan. Yang kedua berasal dari kata "Palopo'i", yang artinya tancapkan atau masukkan. "Palopo'i" adalah ungkapan yang diucapkan pada saat pemancangan tiang pertama pembangunan Masjid Tua. Dan arti yang ketiga adalah mengatasi.

Palopo dipilih untuk dikembangkan menjadi ibu kota Kesultanan Luwu menggantikan Amassangan di Malangke setelah Islam diterima di Luwu pada abad XVII. Perpindahan ibu kota tersebut diyakini berawal dari perang saudara yang melibatkan dua putera mahkota saat itu. Perang ini dikenal dengan Perang Utara-Selatan. Setelah terjadinya perdamaian, maka ibu kota dipindahkan ke daerahn di antara wilayah utara dan selatan Kesultanan Luwu.

(2)

Dalam perkembangannya, maka perlahan-lahan Palopo meluaskan wilayahnya dengan terbukanya kluster kampung tingkat kedua, yakni Surutanga. Luasan wilayah kluster kedua ini sekitar 18 ha, dan diyakini dulunya menjadi pemukiman rakyat dengan aktifitas sosial-ekonomi yang intensif. Menurut penelitian, diduga bahwa Kampung Surutanga ini dihuni hampir semua golongan rakyat. Dengan lokasi yang dekat dengan pantai dan areal persawahan, maka sebagian besar masyarakat Surutanga saat itu bekerja sebagai nelayan dan petani. Pada kontek awal perkembangan Palopo ini, batas kota diyakini berada melingkar antara makam Jera’ Surutanga di selatan, makam Malimongan di sisi barat, dan makam raja Lokkoe di utara Sungai Boting.

Perkembangan Palopo kemudian dilanjutkan dengan tumbuhnya Kampung Benturu sebagai kluster tingkat ketiga seluas 5 ha. Pemukiman Benturu kala itu dilingkungi benteng pertahanan yang terbuat dari tanah menyerupai parit. Tinggi rata-rata dinding benteng 2 meter dan lebar rata-rata 7 meter. Panjang benteng tidak kurang 5 kilometer menghadap pantai. Benteng ini disebut Benteng Tompotikka, yang bermakna “tempat matahari terbit”. Lokasi benteng ini diyakini berada di sekitar Kompleks Perumahan Beringin Jaya. Kala itu, dalam areal benteng ini terdapat jalan setapak sepanjang 1500 meter yang membujur timur-barat. Namun demikian, Kampung Benturu ini diyakini tidak sezaman dengan Surutanga dan Lalebbata. Benteng diperkirakan dibangun pada abad XIX untuk persiapan menghadapi Belanda.

Dalam catatan Gubernur Celebes tahun 1888, DF Van Braam Morris, pada saat itu di Palopo ada sekitar 21 kampung dengan jumlah bangunan rumah sebanyak 507 buah. Di era itu, Tappong menjadi wilayah paling padat dengan 100 rumah, lalu Ponjalae 70 rumah dan Amassangan 60 rumah. Total penduduk Palopo kala itu ditaksir sebanyak 10.140 jiwa. Jumlah ini belum termasuk penduduk di wilayah Pulau Libukang yang mencapai 400 jiwa. Keduapuluh satu kampung tersebut adalah: Tappong, Mangarabombang, Ponjalae, Campae, Bonee, Parumpange, Amassangan, Surutanga, Pajalesang, Bola sadae, Batupasi, Benturu, Tompotikka, Warue, Songka, Penggoli, Luminda, Kampungberu, Balandai, Ladiadia dan Rampoang.

(3)

ditandai dengan pemusatan penduduk yang lebih intensif dibandingkan daerah lain di wilayah Kerajaan Luwu. Menurut M. Irfan Mahmud, masyarakat dari Toraja dan Luwu bagian utara mulai menghuni Kota Palopo dengan menempati lahan bekas makam di Luminda dan separuh lahan persawahan sebagai kelanjutan pemukiman di tepi Sungai Boting. Kedatangan atau migrasi masyarakat Toraja dan Luwu bagian utara ini tentu didorong oleh sebuah harapan. Bagi mereka, selain menjadi bantuan untuk pertahanan militer kerajaan Luwu, Palopo juga dianggap lebih memberi harapan atas kehidupan yang lebih baik atas diri mereka.

Ciri masyarakat urban ini ditegaskan lagi dengan terbangunnya infrastruktur pada masa kolonial. Belanda mulai membangun Palopo pada tahun 1920. Oleh pemerintah colonial, alun-alun kerajaan dibanguni pasar dan rumah jabatan pegawai Belanda. Istana Datu Luwu yang terbuat dari kayu dirombak dan digantikan dengan bangunan berarsitektur Eropa. Didirikan pula sekolah, asrama militer, rumah sakit dan gereja di sisi barat istana. Selain itu, pembangunan pelabuhan dan gudang di bagian timur merangsang tumbuhnya pemukiman baru. Banyak lahan rawa pantai diubah menjadi pemukiman. Demikian pula di bagian barat, yang mana lahan persawahan mulai beralih fungsi menjadi pemukiman. Daerah-daerah tersebut antara lain adalah Sempowae, Dangerakko, Pajalesang dan Boting.

(4)

telah memenuhi sejumlah persyaratan untuk dapat ditingkatkan statusnya menjadi sebuah daerah otonom.

Ide peningkatan status Kotif Palopo menjadi daerah otonom bergulir melalui aspirasi masyarakat yang menginginkan peningkatan status kala itu, yang ditandai dengan lahirnya beberapa dukungan peningkatan status Kotif Palopo menjadi Daerah Otonom Kota Palopo dari beberapa unsur kelembagaan penguat seperti:

 Surat Bupati Luwu nomor 135/09/TAPEM tanggal 9 Januari 2001 tentang

Usul Peningkatan Status Kotif Palopo menjadi Kota Palopo;

 Keputusan DPRD Kabupaten Luwu Nomor 55 Tahun 2000 tanggal 7

September 2000 tentang Persetujuan Pemekaran/Peningkatan Status Kotip Palopo menjadi Kota Otonomi;

 Surat Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan nomor 135/922/OTODA

tanggal 30 Maret 2001 tentang Usul Pembentukan Kotif Palopo menjadi Kota Palopo;

 Keputusan DPRD Provinsi Sulawesi Selatan nomor 41/III/2001 tanggal 29

Maret 2001 tentang Persetujuan Pembentukan Kotif Palopo menjadi Kota Palopo;

 Hasil Seminar Kota Administratif Palopo Menjadi Kota Palopo;

 Surat dan dukungan Organisasi Masyarakat, Organisasi Politik,

Organisasi Pemuda, Organisasi Wanita, dan Organisasi Profesi;

 Disertai dengan Aksi Bersama LSM Kabupaten Luwu memperjuangkan

Kotif Palopo menjadi Kota Palopo, kemudian dilanjutkan oleh Forum Peduli Kota.

(5)

Luwu, Luwu Utara, Tana Toraja, dan Kabupaten Wajo serta didukung dengan sarana dan prasarana yang memadai, Kotif Palopo kemudian ditingkatkan statusnya menjadi Daerah Otonom Kota Palopo.

Tanggal 2 Juli 2002 merupakan salah satu tonggak sejarah perjuangan pembangunan Kota Palopo, dengan ditandatanganinya prasasti pengakuan atas daerah otonom Kota Palopo oleh Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pembentukan Daerah Otonom Kota Palopo dan Kabupaten MamasaProvinsi Sulawesi Selatan, yang akhirnya menjadi sebuah daerah otonom, dengan bentuk dan model pemerintahan serta letak wilayah geografis tersendiri, berpisah dari induknya yakni Kabupaten Luwu.

Di awal terbentuknya sebagai daerah otonom, Kota Palopo hanya memiliki 4 wilayah Kecamatan yang meliputi 19 Kelurahan dan 9 Desa. Namun seiring dengan perkembangan dinamika Kota Palopo dalam segala bidang sehingga untuk mendekatkan pelayanan pelayanan pemerintahan kepada masyarakat, maka pada tahun 2006 wilayah kecamatan di Kota Palopo kemudian dimekarkan menjadi 9 Kecamatan dan 48 Kelurahan.

Tahun 2013, pertumbuhan ekonomi Palopo mencapai 8,8 persen. Dengan pertumbuhan yang cukup tinggi ini, Palopo tetap menjadi harapan dari warganya atas kesejahteraan yang lebih baik. Harapan ini tentu bukanlah harapan kosong belaka. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kota Palopo tercatat sebagai yang terbaik ketiga di Sulawesi Selatan. Inilah doktrin “wanua mappatuwo”. Palopo dan Tana Luwu pada umumnya adalah kota tempat menggantungkan optimisme dan harapan.

Ada berbagai macam terobosan dan pendekatan baru yang dilakukan Pemerintah Kota Palopo setahun belakangan ini. Mulai dari penghapusan iuran wajib Komite Sekolah, hingga penerbitan dokumen kependudukan yang tanpa biaya administrasi. Mulai dari pendekatan diskusi, hingga mencoba menciptakan calon-calon musisi.

(6)

pekerjaan yang harus diselesaikan. Dua belas bulan masih sangat singkat untuk mewujudkan semua ide dan visi perubahan.

Palopo memang tidak serta merta hadir menjadi sebuah komunitas urban yang maju. Eksistensi masyarakat yang mendiami Palopo, paling tidak sudah ada sejak abad ke 17 dengan bukti Masjid Jami Tua sebagai monumennya. Masyarakat mengalami proses mengkota, yang dari tahun ke tahun semakin memperlihatkan ciri modernitasnya.

Mengelola Kelas Menengah ke Bawah

Palopo mengalami evolusi dan mengalami arus besar urbanisasi beberapa tahun ini. Peningkatan status menjadi kota otonom menjadi faktor besar terhadap gejala tersebut. Kini, Palopo telah menampung 152 ribu jiwa warga. Hal ini berarti sejak 2005, penduduk Kota Palopo telah bertambah sebanyak 25 ribu jiwa. Jika mau dikomparasikan, jumlah pertambahan penduduk sejak 2006 itu hampir sama dengan jumlah penduduk di Kecamatan Bara saat ini. Pertambahan jumlah penduduk tersebut memberi dinamika tersendiri kepada kehidupan urban di Palopo. Seiring dengan makin bergairahnya perekonomian di Palopo, lahir pula kelas menengah baru. Kelas menengah baru inilah yang meningkatkan permintaan konsumsi barang dan jasa di Palopo. Mereka juga bekerja pada sektor itu—sektor perdagangan dan jasa, yang kini menjadi motor penggerak PDRB Kota Palopo.

Tantangan yang masih dihadapi saat ini memang masih adanya fakir miskin yang mencapai 6 persen dari total penduduk. Pemerintah Kota Palopo berusaha mengelola kelas menengah ke bawah ini dengan baik. Hal ini penting, agar kelas menengah baru setidaknya mampu survive, dan masyarakat ekonomi lemah keluar dari perangkap kemiskinan. Oleh karena itu, berbagai program yang berorientasi pada penanggulangan kemiskinan digelontorkan. Sebut misalnya program kesehatan dan pendidikan gratis paripurna. Selain itu, ada pula pembukaan lapangan kerja baru melalui diklat kecakapan hidup melalui KHILAN dan diklat kepelautan.

(7)

pendidikan gratis paripurna menjadi jawaban atas permasalah itu. Demikian pula dengan program kesehatan gratis. Dua program andalan ini bertujuan untuk menjaga daya beli masyarakat miskin kita agar tidak terlalu berat. Dengan demikian, maka perangkap kemiskinan yang masih dialami 9000 lebih masyarakat Kota Palopo dapat segera terselesaikan.

Membangun dengan Diskusi

Dalam satu tahun terakhir, Wali Kota Palopo, HM Judas Amir tak terhitung lagi berapa kali menghadiri acara dialog dan seminar. Hal itu dilakukannya karena platform pembangunan Kota Palopo telah diarahkannya dengan pendekatan diskusi-implementatif.

Hasilnya, ada berbagai macam permasalahan yang muncul ke permukaan. Identifikasi masalah di akar rumput terpetakan dengan jelas. Dan kadang, solusi praktis langsung terjawab disitu. Komitmen wali kota dengan diskusi juga terlihat dengan kerapkali bertandang di warung kopi. Di sana, Wali Kota Palopo menggali isu sembari meluruskan berita-berita yang keliru, yang sering berseliweran di warung kopi. HM Judas Amir menyebut berita keliru itu sebagai berita yang ‘tak utuh’. Dia ingin menjadi narasumber pertama bagi pengunjung warung-warung kopi. Di tempat itulah, semua pertanyaan para ‘parlemen jalanan’ kerap terjawab dengan clear dan ‘utuh’.

(8)

Kecepatan dan keterbukaan akses terhadap pemerintahan memang menjadi atensi besar Pemerintah Kota Palopo. Implementasi dari atensi ini ialah dengan dibukanya Saoktae pada pukul 08.00 sampai dengan 09.00 wita setiap paginya. Warga dapat bertemu dengan wali kota, dan bisa menyampaikan pendapatnya langsung kepada wali kota. Selain itu, wali kota juga menginstruksikan untuk membuka akun informasi pelayanan publik Pemerintah Kota Palopo di media sosial. Sebagai implementasinya, lahirlah akun twitter @HumasPalopo dan fanpage HUMAS PEMKOT PALOPO di laman facebook.

Menggairahkan Investasi & Kewirausahaan

Keterbukaan, kedekatan dan makin bersahabatnya Pemerintah Kota Palopo dengan masyarakat ini kemudian diikuti dengan kepercayaan dunia usaha atas penyelenggaraan pemerintahan di Kota Palopo. Inilah yang membentuk iklim investasi yang kondusif di Palopo. Indikasi ini bisa dilihat dengan makin bertumbuhnya investasi di sektor swasta yang mencapai angka Rp 164 Miliar di akhir tahun 2013. Perizinan yang mudah melalui Kantor Pelayanan Terpadu dan Badan Penanaman Modal Daerah juga adalah faktor kunci dalam pencapaian tersebut.

Investasi yang terus bertumbuh ini mendorong pertumbuhan ekonomi mencapai 8,8 persen di tahun 2013. Sektor perdagangan menjadi motor penggerak ekonomi Kota Palopo. Investasi yang semakin bertambah dan pertumbuhan ekonomi yang semakin positif tentu liniear dengan terbukanya lapangan-lapangan pekerjaan yang baru. Dengan tertekannya angka pengangguran yang selama ini masih ada di Kota Palopo, maka hal itu tentu meningkatkan pendapatan masyarakat. Muara dari semua ini adalah dengan berkurangnya kemiskinan di Kota Palopo.

(9)

lebih maju sangat diharapkan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, kami tunggu peranserta warga Kota Palopo.

Tampaknya Pemerintah Kota (Pemkot) Palopo di bawah kepemimpinan Walikota HM Judas Amir, melalui kerja nyatanya pada bidang pembangunan infrastrutur jalan, akan menuntaskan ruas-ruas jalan protokol dan pemukiman di dalam kota.

Pada tahun 2016, yang menjadi prioritas Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kota Palopo adalah melakukan program kegiatan pengaspalan dan pembangunan rigid beton untuk sejumlah ruas jalan protokol, termasuk pelaksanaan pembangunan lanjutan pada Jalan Poros Terminal Regional Songka.

Selain itu, terdapat pula dua ruas jalan di pinggiran Kota Palopo yang memperoleh program kegiatan pengkrikilan, dalam bentuk peningkatan jalan kampung.

Adapun anggaran yang diserap pada program kegiatan ini adalah bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK) Tambahan Tahun 2015 lalu sebesar Rp 53.960.618.000, termasuk yang bersumber dari DAK Infrastruktur Publik Daerah (IPD) tahun 2016 ini sebesar Rp 28.718.871.000. Kesemua total DAK tersebut, telah pula dikontrak kerjakan kepada pihak ketiga pada tahun 20016 ini juga.

Nampaknya pula Pemkot Palopo, kembali memperoleh DAK Tambahan baru pada tahun 2016 ini sebesar ± Rp 93 miliar, dalam bentuk anggaran pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan. Akibat belum ada Jutnisnya dari pusat, sehingga pelaksanaannya belum dapat dieksekusi untuk dikontak kerjakan kepada pihak ketiga.

(10)
(11)

penentu dipusat utamanya Anggota DPR.RI agar bisa menyuarakannya dalam Sidang – sidang DPR sehingga dapat dikucurkan Dana lebih besar lagi. Tak hanya jalan lingkar, semua program SKPD yang terkait Pembangunan jalan lingkar diharapkan pengusulannya ke Pusat secara terpadu jika memungkinkan dilakukan ekspose dengan menghadirkan Kementerian yang terkait. SKPD yang penulis anggap relevan dengan Dinas PU, Dinas Tata Ruang Cipta Karya, Dinas Perhubungan, BPMD, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Dinas Hutbun, Dinas Kelautan dan Perikanan, Badan Lingkungan Hidup, Bagian Pemerintahan Setda, Kantor Pelayanan Terpadu selain itu juga terkait lembaga PLN, PDAM, dan Telkom.

(12)
(13)

berkembang sejumlah kegiatan ekonominya yang berskala kecil, dengan konsentrasi penduduk yang tinggi akan memberikan kontribusi terhadap tumbuhnya tenaga kerja informal. Seperti halnya di Kota Palopo keberadaan jalan lingkar timur sudah menunjukan cikal bakal sektor informal akan mulai tumbuh pada ruas jalan lingkar timur tersebut dengan adanya kegiatan Warung/Cafe atau tempat wisata kuliner. Di Indonesia aktifitas yang sering di definisikan sebagai sektor informal adalah para Pedagang Kaki Lima (PKL), penyedia jasa lainnya termasuk preman dan tukang parkir liar. Banyaknya sektor informal biasaanya dalam bentuk penyedia barang yang dilakukan dengan cara membuka lapak/tenda ataupun menjajakan barang dagangan, hal ini sering kali menjadikan kesemrawutan pada Ruang – Ruang Kota selain itu akan menggangu lalu lintas lainnya dan menyebabkan kerusakan lingkungan. Di Kota – kota besar seperti Jakarta, Bandung dan Surabaya jasa perparkiran bisa mendatangkan pemasukan milyaran yang dilakukan sektor informal, hal yang sama bisa juga diperoleh dari retribusi informal yang dikenakan kepada PKL oleh Preman – preman. Jika kita melihat perkembangan aktifitas pada ruas jalan lingkar timur akan berpotensi mendorong pertumbuhan sektor informal, untuk mengantisipasinya perlu diberikan ruang tersendiri untuk dapat mengembalikan fungsi jalan yang sebenarnya. Selain itu upaya yang harus dilakukan jika kegiatan pada kawasan tersebut telah bekembang, yaitu mengorganisir sektor informal untuk dapat diformalkan agar Pedapatan Asli Daerah (PAD) bisa lebih efisien.

(14)
(15)
(16)

potensi terumbu karang Teluk Bone mungkin dapat dikembangkan sebagai tujuan wisata. Program yang terkait di SKPD ini adalah Program Pengembangan Destinasi Pariwisata dengan kegiatan Pembangunan Sarana Dan Prasarana Pariwisata.

(17)

Referensi

Dokumen terkait

Class diagram pada aplikasi yang akan di bangun untuk penggunanya seorang pakar yaitu dimulai dari login seorang admin untuk proses selanjutnya yaitu tampilan

Karena itu, pendidik dituntut untuk dapat menerapkan bahasa positif dalam proses pembelajaran sehari-hari dengan anak usia dini, sehingga informasi pembelajaran yang disampaikan

ABSTRAK. Tingginya minat masyarakat yang didorong oleh semakin tingginya kebutuhan akan pekerjaan di era teknologi ini menyebabkan pola berfikir masyarakat berubah. Perubahan

Kegiatan ini meliputi proses kegiatan (menyeleksi, memfokuskan, dan menyederhanakan) data sejak awal pengumpulan data sampai penyusunan laporan. Reduksi data

Perusahaan melakukan berbagai cara untuk menyeleksi merek yang akan digunakan dan berusaha menjadikan merek mereka yang lebih menonjol dari yang lainnya serta

JLN BUNGA RAYA KECIL,, KG DATO SULAIMAN MENTERI,, 81100, JOHOR

Hipotesis dalam penelitian ini adalah: (1) HO : tidak berpengaruh nyata karakteristik individu terhadap persepsi masyarakat dalam hal diversifikasi pangan; (2) HO: tidak

mura>bahah yang mana ada dua jenis yaitu produktif dan konsumtif ini sudah dimanfaatkan oleh petani Desa Centini dengan pembelian barang traktor untuk usaha jangka