• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBEDAAN ANTARA AJARAN GEREJA KATOLIK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERBEDAAN ANTARA AJARAN GEREJA KATOLIK"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

PERBEDAAN ANTARA AJARAN GEREJA KATOLIK

ROMA DAN REFORMATOR (ISTIMEWA LUTHER)

TENTANG SAKRAMEN

PENDAHULUAN

Jika kita berbicara tentang perbedaan, maka yang pasti kita akan melihat perbedaan itu dari berbagai sisi dan aspek. Apakah perbedaan itu secara fisik, ajaran, liturgi, sikap, prinsip dan lain sebagainya. Gereja Protestan memang harus diakui berasal dan Gereja Katolik. Namun dalam sejarah Gereja, Gereja Katolik Roma (GKR) ini semakin berbeda pengajarannya dengan para Reformator sejak bergejolaknya masa reformasi. Para reformator ini kadang disebut dengan “Protestan”. Protestan adalah sebuah mazhab dalam agama Kristen. Mazhab ini muncul setelah protes Martin Luther pada 31 Oktober 1517 dengan 95 Dalilnya. Kata Protestan sendiri diaplikasikan kepada umat Kristen yang menolak ajaran maupun otoritas Gereja Katolik.1

Pada kenyataannya, gerakan Reformasi (Pembaruan) yang dilakukan Martin Luther bukanlah yang pertama kali terjadi di kalangan Gereja Katolik, sebab

1 Istilah “Protestan” berasal dari hasil Persidangan Umum Kedua di Speyer (Februari 1529) yang

memutuskan untuk mengakhiri toleransi terhadap Lutheranisme di Jerman. Lih. Alister E.McGrath,

(2)

sebelumnya sudah ada gerakan-gerakan serupa seperti yang terjadi di Prancis yang dipimpin oleh Peter Waldo (dan kini para pengikutnya tergabung dalam Gereja Waldensis) pada pertengahan abad ke dua belas, dan di Bohemia (kini termasuk Ceko) di bawah pimpinan Yohanes Hus (1369-1415). Gereja Waldensis banyak terdapat di Italia dan negara-negara yang mempunyai banyak imigran dari Italia, seperti Uruguay. Sementara para pengikut Yohanes Hus di Bohemia kemudian bergabung dengan Gereja Calvinis.

Apa yang membedakan Gereja Katolik dan Reformasi (Protestan) ini dikemudian hari? Banyak hal yang menjadikan Katolik dan Reformasi menjadi berbeda. Beberapa di antara perbedaan itu antara lain:

1. Dalam hubungannya dengan penafsiran Kitab Suci. Dalam Protestan setiap orang berhak menafsirkan Kitab Suci sesuai dengan pemahamannya sendiri, sedangkan dalam Gereja Katolik Kitab Suci hanya dapat ditafsirkan secara resmi oleh orang-orang yang mendapat 'rahmat' untuk itu (pertama dari Paus, diturunkan pada Kardinal, Uskup, Pastur, dst).

2. Gereja Katolik didirikan di atas dasar 'PETRUS', batu karang yang teguh, sebagaimana tertulis dalam kitab Matius 16:18: “Dan Akupun berkata kepadamu: "Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya." Maka dari itu dalam Gereja Katolik ada Paus, sebagai penerus dari St. Petrus. Sedangkan Gereja Protestan menyatakan bahwa gereja didirikan di atas dasar Kristus sendiri.

3. Dalam Gereja Protestan hanya ada dua sakramen, sakramen Baptisan dan sakramen Perjamuan Kudus. Sedangkan dalam Gereja Katolik ada tujuh sakramen, yaitu sakramen Baptis, Krisma, Tobat (rekonsiliasi), Ekaristi, Imamat, Pernikahan, dan sakramen Pengurapan Orang Sakit.

4. Gereja Katolik merupakan persekutuan para kudus, sehingga umat dapat berdevosi kepada para santa/santo, asalkan devosi itu pada akhirnya tetap mengantarkan umat kepada Allah Tritunggal sendiri. Gereja Protestan menolak ajaran ini.

(3)

6. Salib pada Gereja Protestan tidak ada Corpus Christi/Tubuh Kristus.

Makalah ini akan memfokuskan perhatian pada perbedaan kedua gereja ini pada pemahamannya tentang sakramen. Perbedaan pemahaman ini diakibatkan perkembangan mengenai isi dari sakramen-sakramen itu sendiri. Secara singkat dapat dikatakan, bahwa segera sesudah periode Perjanjian Baru (PB), Perjamuan Kudus itu dipandang sebagai suatu “kurban” dan bahwa pengungkapan ini, yang pada mulanya berarti kiasan, berangsur-angsur dipahami secara harfiah. Menurut Irenaeus (abad kedua), orang Kristen membawa persembahan roti dan air anggur. Tetapi Irenaeus tidak berpikir bahwa Kristus sendiri dikorbankan sebagai kurban. Cyprianus, Uskup Kartago, mengembangkan pemahaman ini dengan mengatakan bahwa tubuh dan darah Kristus adalah pemberian-pemberian persembahan yang dipersembahkan oleh para imam. Dalam ekaristi, ia katakan, kurban di atas kayu salib itu diulangi. Pemikiran gereja mula-mula mengenai sakramen altar atau mezbah mencapai suatu tahap tertentu dalam Ambrosius. Tulisan-tulisannya berisikan pernyataan-pernyataan mengenai trans-mutasi (perubahan) dari “elemen-elemen” roti dan air anggur yang mengikuti upacara-upacara tertentu dari teologi Yunani. Ajaran tentang sakramen yang berasal dari Abad-abad Pertengahan dipengaruhi oleh realisme Ambrosius. Tetapi Augustinus juga mempunyai pengaruh besar atas sakramen-sakramen, hingga Abad-abad Pertengahan, yaitu menyangkut ajaran Reformasi mengenai sakramen.2

1. PENGERTIAN SAKRAMEN

Kata “Sakramen” aslinya berasal dari kata Latin, sacramentum, yang akar katanya sacr, sacer, sacrare.3 Kata sacrare berarti menyucikan, menguduskan, atau

mengkhususkan sesuatu atau seseorang bagi bidang yang suci atau kudus. Kata sacramentum menunjuk tindakan penyucian itu ataupun hal yang menguduskan. Pengertian kata sacramentum ini berkembang secara bertahap. Dalam masyarakat

2 Bernhard Lohse, Pengantar Sejarah Dogma Kristen, (terj.A.A.Yewangoe) (Jakarta: BPK Gunung

Mulia, 1994), hlm. 170-173.

3 Joseph Pohle & Arthur Preuss, The Sacraments: A Dogmatic Treatise, (St.Louis: B.Herder Book

(4)

Romawi kuno, sacramentum digunakan dalam dua pengertian yakni: untuk menunjuk sumpah prajurit dan menunjuk pada uang jaminan atau denda. Orang Kristen pada abad kedua, menerjemahkan kata Yunani mustήrion (musterion = misteri) dari kata muw (muo = menutup mulut dan mata). Pengertian misteri ini mengacu pada dua ciri pokok yakni: menunjuk pada tegangan dinamik antara Yang Ilahi dan yang manusiawi dan menunjuk pada sejarah penyelamatan Allah dalam diri Yesus Kristus. Pada abad kedua hingga abad keempat, pengertian mysterion-sacramentum masih melanjutkan gagasan makna mysterion biblis yang memuat dua ciri pokok tadi. Namun, pada abad kedua hingga abad ketiga, penggunaan mysterion dan sacramentum masih cukup rancu dan tidak seragam.

Di satu pihak, istilah mysterion dan sacramentum sering masih digunakan secara luas sebagaimana dimengerti dalam Kitab Suci. Di lain pihak, istilah mysterion dan sacramentum mulai dipakai untuk pengertian sakral atau suci, yakni upacara-upacara suci.4 Pada Abad-abad Pertengahan dan zaman Reformasi hingga awal abad keduapuluh, konsepsi sakramen mengalami penyempitan. Pada awal Abad-abad Pertengahan, ajaran sakramen di Barat masih dikuasai teologi Augustinus. Namun, sejak pertengahan abad keduabelas, karena pengaruh sistematisasi Skolastik yang dipengaruhi filsafat Aristoteles, pengertian sakramen sudah memfokuskan diri pada defenisi sakramen, jumlah sakramen, penetapan sakramen oleh Yesus dan daya guna sakramen.5 Misalnya Thomas Aquinas berpendapat bahwa secara pokok, sakramen berarti ritus atau upacara Gereja yang ditetapkan Yesus sendiri dan berjumlah tujuh buah dan berdaya guna secara ex opere operato.6 Pada pertengahan abad keduabelas, sakramen merupakan tanda yang

mengerjakan apa yang ditandakan itu (sacramentum est signum quod efficit quod significant). Mulai saat itulah istilah “sakramen” bukan lagi dipahami sebagai dinamik misteri karya keselamatan Allah yang terwujud dalam Kristus, namun sebagai ritus atau upacara liturgi. Sakramen merupakan tanda pertemuan antar

4 Bnd. Linwood Urban, Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen, (terj. Liem Sien Kie) (Jakarta: BPK

Gunung Mulia, 2003), hlm. 332; E.Martasudjita, Sakramen-Sakramen…, hlm. 61-64. Penggunaan kata

mysterion dan sacramentum untuk pengertian upacara suci ini dipengaruhi oleh kebudayaan kafir, khususnya dalam agama-agama misteri.

5 E.Martasudjita, Sakramen-Sakramen …, hlm. 66.

6 Ex opere operato berarti kemujaraban dari sakramen itu dipahami tidak bergantung pada kualitas

(5)

pribadi antara Allah dan manusia. Pertemuan ini dibahasakan baik lewat kata-kata, maupun lewat bahan-bahan atau materi.7

2. PANDANGAN DAN AJARAN GEREJA KATOLIK ROMA TENTANG SAKRAMEN

Setiap orang yang memperhatikan keadaan GKR, akan dapat melihat betapa pentingnya sakramen dalam pengajaran GKR. GKR sebenarnya adalah gereja sakramentalis. Sejak dilahirkan sampai dikuburkan, penganut GKR selalu diikuti oleh ketujuh sakramen dalam gereja itu. Bukan pemberitaan firman Tuhan melainkan sakramenlah8 yang menjadi pusat liturgi. Bagaimanakah pemahaman GKR terhadap sakramen?

Dalam Konsili Trente, tersusunlah suatu ajaran tentang sakramen. Sakramen adalah alat-alat anugerah yang bukan saja menandakan dan memeteraikan anugerah, tetapi mengandung anugerah pula dan imam membagikannya kepada orang karena imam itu melakukan ibadat sakramen itu (ex opere operato). Firman Allah hanyalah mengabarkan adanya anugerah, tetapi yang dapat memberikan anugerah itu hanyalah sakramen.9 Sakramen itu perlu untuk beroleh keselamatan. Supaya seorang manusia dapat dikaruniai anugerah pembenaran, sakramen itu harus ada, atau sekurang-kurangnya orang itu harus mempunyai keinginan akan menerimanya; iman saja tidak cukup. Agar sakramen itu benar adanya maka pihak yang melayankan itu sekurang-kurangnya harus bersedia mengerjakan apa yang dikerjakan gereja, tetapi selanjutnya apakah orang yang melayankan sakramen tu sangat banyak atau sangat besar dosanya, itu tidaklah menjadi soal. Pada pihak yang menerima sakramen itu yang perlu hanyalah, ia harus bersedia menerima apa yang diberikan gereja dan tidak boleh menghalang-halangi pekerjaan anugerah itu.10

7 Niko Hayon, Ekaristi Perayaan Keselamatan Dalam Bentuk Tanda, (Flores: Nusa Indah, 1986), hlm.

59.

8 Bagi GKR (dan juga Protestan), sakramen (istemewa Baptisan dan Perjamuan Kudus) adalah Firman

Tuhan dalam bentuk tanda (bukan kata-kata).

(6)

Meskipun tidak semua pribadi menerima semua sakramen, sakramen-sakramen secara keseluruhan dipandang sebagai sarana penting bagi keselamatan umat beriman, yang menganugerahkan rahmat tertentu dari tiap sakramen tersebut, misalnya dipersatukan dengan Kristus dan Gereja, pengampunan dosa-dosa, atau-pun pengkhususan (konsekrasi) untuk suatu pelayanan tertentu. Gereja Katolik mengajarkan bahwa efek dari suatu sakramen itu ada ex opere operato (oleh kenyataan bahwa sakramen itu dilayankan), tanpa memperhitungkan kekudusan pribadi pelayan yang melayankannya; tetapi di sini lain kurang layaknya kondisi penerima untuk menerima rahmat yang dianugerahkan tersebut dapat menghalangi efektivitas sakramen itu bagi yang bersangkutan.

Gereja Katolik mengajarkan adanya tujuh sakramen, dan diurutkan dalam Katekismus Gereja Katolik (KGK)11 sebagai berikut:

Pembaptisan: KGK 1213–1284

Penguatan, juga disebut Krisma (KGK 1289): KGK 1285–1321 Ekaristi: KGK 1322–1419

Rekonsiliasi (umumnya disebut "Pengakuan Dosa"): KGK 1422–1498 Pengurapan orang sakit (Penyembuhan): KGK 1499–1532

Imamat (Tahbisan): KGK 1536–1600 Perkawinan: KGK 1601–1666

Penjelasan tiap sakramen tersebut berikut ini terutama didasarkan atas Kompendium Katekismus Gereja Katolik.

Sakramen-sakramen Inisiasi

Pembaptisan12

Pembaptisan adalah sakramen pertama dan mendasar dalam inisiasi Kristiani. Sakramen ini dilayankan dengan cara menyelamkan13 si penerima ke dalam air

11 Lih. Katekismus Gereja Katolik, (Ende: Percetakan Arnoldus Ende, 1998), hlm.312-424.

12 Konferensi Wali Gereja Indonesia, Iman Katolik, (Jakarta: Penerbit Obor, 2007), hlm. 420-426;

E.Martasudjita, Sakramen-Sakramen …, hlm. 216-244; KGK, hlm.312-326.

13 Dalam KGK, 1239 ditegaskan bahwa atas cara yang paling nyata pembatisan dilaksanakan melalui

(7)

atau dengan mencurahkan (tidak sekedar memercikkan) air ke atas kepala si penerima "dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus" (Matius 28:19). Pelayan sakramen ini biasanya seorang uskup atau imam, atau (dalam Gereja Latin, namun tidak demikian halnya dalam Gereja Timur) seorang diakon. Dalam keadaan darurat, siapapun yang berniat untuk melakukan apa yang dilakukan Gereja, bahkan jika orang itu bukanlah seorang Kristiani, dapat membaptis.

Pembaptisan membebaskan penerimanya dari dosa asal serta semua dosa pribadi dan dari hukuman akibat dosa-dosa tersebut, dan membuat orang yang dibaptis itu mengambil bagian dalam kehidupan Tritunggal Allah melalui "rahmat yang menguduskan" (rahmat pembenaran yang mempersatukan pribadi yang bersangkutan dengan Kristus dan Gereja-Nya). Pembaptisan juga membuat penerimanya mengambil bagian dalam imamat Kristus dan merupakan landasan komuni (persekutuan) antar semua orang Kristen. Pembaptisan menganugerahkan kebajikan-kebajikan "teologis" (iman, harapan dan kasih) dan karunia-karunia Roh Kudus. Sakramen ini menandai penerimanya dengan suatu meterai rohani yang berarti orang tersebut secara permanen telah menjadi milik Kristus.

Penguatan (Krisma)14

Penguatan atau Krisma adalah sakramen kedua dalam inisiasi Kristiani. Sakramen ini diberikan dengan cara mengurapi penerimanya dengan Krisma, minyak yang telah dicampur sejenis balsam, yang memberinya aroma khas, disertai doa khusus yang menunjukkan bahwa, baik dalam variasi Barat maupun Timurnya, karunia Roh Kudus menandai si penerima seperti sebuah meterai. Melalui sakramen ini, rahmat yang diberikan dalam pembaptisan "diperkuat dan diperdalam" (KGK 1303). Seperti pembaptisan, penguatan hanya diterima satu kali, dan si penerima harus dalam keadaan layak (artinya bebas dari dosa-maut apapun yang diketahui dan yang belum diakui) agar dapat menerima efek sakramen tersebut. Pelayan sakramen ini adalah seorang uskup yang ditahbiskan

dibaptis (KGK, hlm.318).

14 Konferensi Wali Gereja Indonesia, Iman Katolik, hlm. 426-429; E.Martasudjita, Sakramen-Sakramen

(8)

secara sah; jika seorang imam (presbiter) melayankan sakramen ini — sebagaimana yang biasa dilakukan dalam Gereja-Gereja Timur dan dalam keadaan-keadaan istimewa (seperti pembaptisan orang dewasa atau seorang anak kecil yang sekarat) dalam Gereja Ritus-Latin (KGK 1312–1313) — hubungan dengan jenjang imamat di atasnya ditunjukkan oleh minyak (dikenal dengan nama krisma atau myron) yang telah diberkati oleh uskup dalam perayaan Kamis Putih atau pada hari yang dekat dengan hari itu. Di Timur sakramen ini dilayankan segera sesudah pembaptisan. Di Barat, di mana pelayanan (administrasi) biasanya dikhususkan bagi orang-orang yang sudah dapat memahami arti pentingnya, sakramen ini ditunda sampai si penerima mencapai usia awal kedewasaan; biasanya setelah yang bersangkutan diperbolehkan menerima sakramen Ekaristi, sakramen ketiga dari inisiasi Kristiani. Kian lama kian dipulihkan urut-urutan tradisional sakramen-sakramen inisiasi ini, yakni diawali dengan pembaptisan, kemudian penguatan, barulah Ekaristi.

Ekaristi15

Ekaristi adalah sakramen (yang ketiga dalam inisiasi Kristiani) yang dengannya umat Katolik mengambil bagian dari Tubuh dan Darah Yesus Kristus serta turut serta dalam pengorbanan diri-Nya. Aspek pertama dari sakramen ini (yakni mengambil bagian dari Tubuh dan Darah Yesus Kristus) disebut pula Komuni Suci. Roti (yang harus terbuat dari gandum, dan yang tidak diberi ragi dalam ritus Latin, Armenia dan Ethiopia, namun diberi ragi dalam kebanyakan Ritus Timur) dan anggur (yang harus terbuat dari buah anggur) yang digunakan dalam ritus Ekaristi, dalam iman Katolik, ditransformasi dalam segala hal kecuali wujudnya yang kelihatan menjadi Tubuh dan Darah Kristus, perubahan ini disebut transubstansiasi. Hanya uskup atau imam yang dapat menjadi pelayan Sakramen Ekaristi, dengan bertindak selaku pribadi Kristus sendiri. Diakon serta imam biasanya adalah pelayan Komuni Suci, umat awam dapat diberi wewenang dalam lingkup terbatas sebagai pelayan luar biasa Komuni Suci. Ekaristi dipandang sebagai "sumber dan puncak" kehidupan Kristiani, tindakan pengudusan yang paling istimewa oleh Allah terhadap umat beriman dan tindakan penyembahan yang paling istimewa oleh umat beriman terhadap Allah, serta sebagai suatu titik

15 Konferensi Wali Gereja Indonesia, Iman Katolik, hlm. 410-412; E.Martasudjita, Sakramen-Sakramen

(9)

di mana umat beriman terhubung dengan liturgi di surga. Betapa pentingnya sakramen ini sehingga partisipasi dalam perayaan Ekaristi (Misa) dipandang sebagai kewajiban pada setiap hari Minggu dan hari raya khusus, serta dianjurkan untuk hari-hari lainnya. Dianjurkan pula bagi umat yang berpartisipasi dalam Misa untuk, dalam kondisi rohani yang layak, menerima Komuni Suci. Menerima Komuni Suci dipandang sebagai kewajiban sekurang-kurangnya setahun sekali selama masa Paskah.

Sakramen-sakramen Penyembuhan

Rekonsiliasi16

Sakramen rekonsiliasi adalah yang pertama dari kedua sakramen penyembuhan, dan juga disebut Sakramen Pengakuan Dosa, Sakramen Tobat, dan Sakramen Pengampunan (KGK 1423–1424). Sakramen ini adalah sakramen penyembuhan rohani dari seseorang yang telah dibaptis yang terjauhkan dari Allah karena telah berbuat dosa. Sakramen ini memiliki empat unsur: penyesalan si peniten (si pengaku dosa) atas dosanya (tanpa hal ini ritus rekonsiliasi akan sia-sia), pengakuan kepada seorang imam (boleh saja secara spirutual akan bermanfaat bagi seseorang untuk mengaku dosa kepada yang lain, akan tetapi hanya imam yang memiliki kuasa untuk melayankan sakramen ini), absolusi (pengampunan) oleh imam, dan penyilihan.

"Banyak dosa yang merugikan sesama. Seseorang harus melakukan melakukan apa yang mungkin dilakukannya guna memperbaiki kerusakan yang telah terjadi (misalnya, mengembalikan barang yang telah dicuri, memulihkan nama baik seseorang yang telah difitnah, memberi ganti rugi kepada pihak yang telah dirugikan). Keadilan yang sederhana pun menuntut yang sama. Akan tetapi dosa juga merusak dan melemahkan si pendosa sendiri, serta hubungannya dengan Allah dan sesama. Si pendosa yang bangkit dari dosa tetap harus memulihkan sepenuhnya kesehatan rohaninya dengan melakukan lagi sesuatu untuk memperbaiki kesalahannya: dia harus 'melakukan silih bagi' atau 'memperbaiki

16 Konferensi Wali Gereja Indonesia, Iman Katolik, hlm. 430-435; E.Martasudjita, Sakramen-Sakramen

(10)

kerusakan akibat' dosa-dosanya. Penyilihan ini juga disebut 'penitensi'" (KGK 1459). Pada awal abad-abad Kekristenan, unsur penyilihan ini sangat berat dan umumnya mendahului absolusi, namun sekarang ini biasanya melibatkan suatu tugas sederhana yang harus dilaksanakan oleh si peniten, untuk melakukan beberapa perbaikan dan sebagai suatu sarana pengobatan untuk menghadapi pencobaan selanjutnya.

Imam yang bersangkutan terikat oleh "meterai pengakuan dosa", yang tak boleh dirusak. "Oleh karena itu, benar-benar salah bila seorang konfesor (pendengar pengakuan) dengan cara apapun mengkhianati peniten, untuk alasan apapun, baik dengan perkataan maupun dengan jalan lain" (kanon 983 dalam Hukum Kanonik). Seorang konfesor yang secara langsung merusak meterai sakramental tersebut otomatis dikenai ekskomunikasi (hukuman pengucilan) yang hanya dapat dicabut oleh Tahta Suci (kanon 1388).

Pengurapan Orang Sakit17

Pengurapan Orang Sakit adalah sakramen penyembuhan yang kedua. Dalam sakramen ini seorang imam mengurapi si sakit dengan minyak yang khusus diberkati untuk upacara ini. "Pengurapan orang sakit dapat dilayankan bagi setiap umat beriman yang, karena telah mencapai penggunaan akal budi, mulai berada dalam bahaya yang disebabkan sakit atau usia lanjut" (kanon 1004; KGK 1514). Baru menderita sakit ataupun makin memburuknya kondisi kesehatan membuat sakramen ini dapat diterima berkali-kali oleh seseorang.

Dalam tradisi Gereja Barat, sakramen ini diberikan hanya bagi orang-orang yang berada dalam sakratul maut, sehingga dikenal pula sebagai "Pengurapan Terakhir", yang dilayankan sebagai salah satu dari "Ritus-ritus Terakhir". "Ritus-ritus Terakhir" yang lain adalah pengakuan dosa (jika orang yang sekarat tersebut secara fisik tidak memungkinkan untuk mengakui dosanya, maka minimal diberikan absolusi, yang tergantung pada ada atau tidaknya penyesalan si sakit

17 Konferensi Wali Gereja Indonesia, Iman Katolik, hlm. 413-417; E.Martasudjita, Sakramen-Sakramen

(11)

atas dosa-dosanya), dan Ekaristi, yang bilamana dilayankan kepada orang yang sekarat dikenal dengan sebutan "Viaticum", sebuah kata yang arti aslinya dalam bahasa Latin adalah "bekal perjalanan".

Sakramen-sakramen Panggilan

Imamat18

Imamat atau Penahbisan adalah sakramen yang dengannya seseorang dijadikan uskup, imam, atau diakon, sehingga penerima sakramen ini dibaktikan sebagai citra Kristus. Hanya uskup yang boleh melayankan sakramen ini. Penahbisan seseorang menjadi uskup menganugerahkan kegenapan sakramen Imamat baginya, menjadikannya anggota badan penerus (pengganti) para rasul, dan memberi dia misi untuk mengajar, menguduskan, dan menuntun, disertai kepedulian dari semua Gereja. Penahbisan seseorang menjadi imam mengkonfigurasikan Kristus selaku Kepala Gereja dan Imam Agung, serta menganugerahkan baginya kuasa, sebagai asisten uskup yang bersangkutan, untuk merayakan sakramen-sakramen dan kegiatan-kegiatan liturgis lainnya, teristimewa Ekaristi. Penahbisan seseorang menjadi diakon mengkonfigurasikan Kristus selaku Hamba semua orang, menempatkan dia pada tugas pelayanan uskup yang bersangkutan, khususnya pada Kegiatan Gereja dalam mengamalkan cinta-kasih Kristiani terhadap kaum papa dan dalam memberitakan firman Allah.

Orang-orang yang berkeinginan menjadi imam dituntut oleh Hukum Kanonik (Kanon 1032 dalam Kitab Hukum Kanonik) untuk menjalani suatu program seminari yang selain berisi studi filsafat dan teologi sampai lulus, juga mencakup suatu program formasi yang meliputi pengarahan rohani, berbagai retreat, pengalaman apostolat (semacam Kuliah Kerja Nyata), dst. Proses pendidikan sebagai persiapan untuk penahbisan sebagai diakon permanen diatur oleh Konferensi Wali Gereja terkait.

Pernikahan19

18 Ibid., hlm. 440-460; E.Martasudjita, Ibid., hlm. 370-385; KGK, hlm. 387-401.

19 Konferensi Wali Gereja Indonesia, Iman Katolik, hlm. 435-439; E.Martasudjita, Sakramen-Sakramen

(12)

Pernikahan atau Perkawinan, seperti Imamat, adalah suatu sakramen yang mengkonsekrasi penerimanya guna suatu misi khusus dalam pembangunan Gereja, serta menganugerahkan rahmat demi perampungan misi tersebut. Sakramen ini, yang dipandang sebagai suatu tanda cinta-kasih yang menyatukan Kristus dengan Gereja, menetapkan di antara kedua pasangan suatu ikatan yang bersifat permanen dan eksklusif, yang dimeteraikan oleh Allah. Dengan demikian, suatu pernikahan antara seorang pria yang sudah dibaptis dan seorang wanita yang sudah dibaptis, yang dimasuki secara sah dan telah disempurnakan dengan persetubuhan, tidak dapat diceraikan.

Sakramen ini menganugerahkan kepada pasangan yang bersangkutan rahmat yang mereka perlukan untuk mencapai kekudusan dalam kehidupan perkawinan mereka serta untuk menghasilkan dan mengasuh anak-anak mereka dengan penuh tanggung jawab. Sakramen ini dirayakan secara terbuka di hadapan imam (atau saksi lain yang ditunjuk oleh Gereja) serta saksi-saksi lainnya, meskipun dalam tradisi teologis Gereja Latin yang menerima pelayanan sakramen ini adalah kedua pasangan yang bersangkutan.

(13)

3. PANDANGAN DAN AJARAN REFORMATOR (ISTIMEWA MARTIN LUTHER) TENTANG SAKRAMEN

Para Reformator tidak sepenuhnya menerima ketujuh sakramen yang dipahami dan diimani oleh Katolik.20 Menurut para Reformator, sakramen hanya ada dua sakramen yang ditetapkan Allah dalam Alkitab yakni : Sakramen Baptisan dan Sakramen Perjamuan Kudus.21 Sakramen adalah tanda dan materi yang kudus serta kasatmata, yang telah ditetapkan oleh Allah. Melalui penerimaan sakramen, diterangkan-Nya dan dimeteraikan-Nya kepada kita secara lebih jelas lagi janji Injil, yaitu bahwa Dia menganugerahkan kepada kita pengampunan semua dosa dan hidup yang kekal, hanya berdasarkan rahmat, karena kurban Kristus yang satu-satunya, yang telah terjadi di kayu salib (Roma 4:11).22 Yang paling utama, sakramen adalah suatu perbuatan atau pekerjaan Allah. Tuhanlah yang melakukan sakramen, bukan manusia. Tuhan menghampiri manusia, bukan sebaliknya. Dahlenburg mengatakan, “Kita harus membedakan antara sakramen (sacrament) dan kurban (sacrifice). Sakramen adalah dari Tuhan kepada manusia sedangkan kurban adalah dari manusia kepada Allah”.23

Baptisan

Dasar baptisan menurut Luther, tertulis dalam Injil Matius 28:19, “Pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus” dan Injil Markus 16:16, “Siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan, tetapi siapa yang tidak percaya akan dihukum”. Baptisan

20 Misalnya, Luther semula mengakui tiga dari ketujuh sakramen itu yakni: Baptisan, Perjamuan Kudus

dan Tobat, namun di kemudian hari, Luther hanya mengakui dua saja yakni: Baptisan dan Perjamuan Kudus.

21 Bnd. Dale Appleby, Memperkenalkan Gereja Anglikan, (Jakarta: All Saints Anglican Church, 2005),

hlm. 51. Gereja Anglikan juga mengakui hanya ada dua sakramen, yaitu: Pembaptisan dan Perjamuan Tuhan. Sakramen yang diangkat Kristus bukan saja merupakan lencana atau tanda yang menyatakan bahwa seseorang beragama Kristen. Sakramen ini juga merupakan saksi yang dapat dipercaya akan kehendak baik Allah kepada kita, dan tanda yang membawa kasih karunia-Nya kepada kita. Allah bekerja secara tidak kelihatan dalam kita melalui sakramen, tidak saja untuk menghidupkan iman kita, tetapi juga memperkuat iman kita kepada-Nya.

22 Zakharias Ursinus & Caspar Olevianus, Katekismus Heidelberg: Pengajaran Agama Kristen,

(Jakarta: BPK Gunung Mulia, cet.ke-27, 2005), hlm. 37.

23 G.D.Dahlenburg, Pemberitaan Firman dan Pelayanan Sakramen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,

(14)

berasal dari Allah, bukan hasil pikiran dan khayalan manusia. Baptisan bukan kata-kata manusia belaka, melainkan telah ditetapkan oleh Allah sendiri. Menurut Luther, baptisan bukanlah air biasa saja, melainkan air yang di dalamnya terkandung Firman dan perintah Allah serta dikuduskan oleh-Nya. Dengan demikian, baptisan tidak lain daripada air Allah sendiri – bukan karena air itu sendiri lebih istimewa daripada segala jenis air yang lain, tetapi karena firman dan perintah Allah menyertainya. Baptisan berbeda sekali dengan segala jenis air yang lain, bukan karena apa adanya, melainkan karena sesuatu yang lebih mulia menyertainya. Allah sendiri menaruh kemuliaan-Nya atasnya dan mengalirkan kuasa dan kekuatan ke dalamnya. Itulah sebabnya baptisan bukanlah air yang biasa saja, tetapi air yang bersifat surgawi, kudus, dan diberkati. Baptisan adalah suatu firman surgawi dan kudus. Baptisan menjadi baptisan dan disebut sakramen oleh karena firman Allah, seperti diajarkan Augustinus: “Accedat verbum ad elementum et fit sacramentum”, artinya: “Apabila firman itu bersatu dengan unsurnya (atau zat alami), ia menjadi sakramen”, yakni satu benda dan tanda yang kudus dan ilahi.24 Baptisan tidak lain daripada firman Allah yang menyertai air, yang disuruh dan ditetapkan oleh Kristus; atau bagaimana Paulus berkata, “Memandikannya dengan air dan Firman” (Ef.5:26), begitu pula Augustinus mengatakan, “Firman itu dicampur kepada zat air itu dan itulah sakramen”.25 Katekismus Lutheran mengajarkan bahwa pembaptisan adalah karya Allah, berlandaskan perkataan dan janji Kristus; sehingga dilayankan baik bagi bayi maupun orang dewasa.26 Sama seperti kita, anak-anak memerlukan anugerah Tuhan dan pengampunan dosa, karena mereka telah mewarisi tabiat yang bersifat dosa dari orang tuanya. Baptisan merupakan satu cara yang dengannya Allah mengampuni dosa kita dan ke dalam lingkungan keluargan-Nya. Begitu juga anak-anak kecil menerima kasih karunia Allah dan menjadi anak Allah.27

24 Martin Luther, Katekismus Besar, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), hlm. 186-187; bnd. Martin

Luther, Katekismus Kecil, (Pematangsiantar: LKS, ttp), hlm. 19;

25Buku Konkordia, (Pematangsiantar: Lutheran Literatur Team, 1986), hlm. 56.

26 Martin Luther, Katekismus Besar, hlm. 195-198; bnd. The Augsburg Confession, (Adelaide: Lutheran

Publishing House, 1980), hlm.13. Bagi Calvin, baptisan adalah tanda bahwa kita diterima masuk ke dalam persekutuan Gereja, supaya kita ditanamkan di dalam Kristus, kita terhisab anak-anak Allah. Baptisan itu diberikan Allah kepada kita dengan tujuan untuk membantu iman kita dalam hubungan dengan Dia, selanjutnya untuk membantu pengakuan iman itu dalam hubungan dengan manusia (Yohanes Calvin, Intitutio, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), hlm. 281.

(15)

Menurut Luther, arti baptisan itu adalah untuk mematikan Adam yang lama dan membangkitkan manusia baru. Dengan demikian, kehidupan orang Kristen tidak lain daripada baptisan setiap hari. Sekali baptisan itu dimulai, maka kita terus-menerus berada di dalamnya. Sebab, kita tidak pernah berhenti membersihkan apa yang berasal dari Adam lama; dan apa saja yang termasuk manusia baru harus terus-menerus muncul.28 Jelaslah bagi kita sekarang, alangkah mulia dan agung Baptisan itu. Baptisan itu merampas kita dari cengkeraman Iblis, membuat kita menjadi milik Allah dan melumpuhkan serta mengenyahkan dosa. Lalu baptisan meneguhkan manusia baru itu setiap hari, terus-menerus demikian, sampai kita meninggalkan penderitaan ini dan masuk ke dalam kemuliaan kekal. Karena itu, setiap orang mesti memandang baptisan sebagai pakaian sehari-hari, yang harus dikenakan senantiasa. Ia terus-menerus memelihara iman dan buah-buahnya untuk melumpuhkan manusia lama dan bertumbuh dalam manusia baru.29

Perjamuan Kudus

Menurut Luther, Perjamuan Kudus adalah saat makan daging yang sebenarnya dan minum darah yang sebenarnya dari Tuhan kita Yesus Kristus melalui roti dan anggur bagi kita orang Kristen, sesuai dengan pesan Yesus Kristus sendiri.30 Perjamuan Kudus adalah Tubuh dan Darah Kristus yang sejati, di dalam dan dengan roti dan anggur melalui sabda Kristus; seperti yang diperintahkan, kita orang Kristen harus memakan dan meminumnya. Sama seperti baptisan bukan hanya air biasa, demikian pula kita katakan di sini, sakramen ini adalah roti dan anggur, namun bukan roti dan anggur biasa yang dihidangkan di meja. Sakramen ini adalah roti dan anggur yang di dalamnya terkandung firman Allah dan terikat padanya. Luther menegaskan bahwa firman itulah yang membuat sakramen ini menjadi sakramen, sehingga roti dan anggur bukanlah roti dan anggur biasa, melainkan tubuh dan darah Kristus dalam kenyataan maupun sebutan. Seperti yang dikatakan, “Accedat verbum ad elementum et fit sacramentum”, (apabila firman itu menyatu dengan unsur lahiriah, maka unsur itu menjadi menjadi sakramen).31

(16)

Bagi Luther, tujuan sakramen Perjamuan kudus ini adalah untuk pengampunan dosa dan peneguhan iman. Menurut Luther, kita tidak boleh mendesak atau memaksa siapa pun untuk mengikuti sakramen ini, supaya kita jangan sampai membunuh jiwa orang-orang lagi. Namun, hendaklah dicamkan bahwa mereka yang menghindari atau menjauh dari sakramen ini sekian lama, tidak dapat dianggap orang Kristen. Kristus tidak menetapkan sakramen ini sebagai suatu pertunjukan, melainkan menyuruh umat-Nya orang Kristen memakan dan meminumnya serta mengingat Dia sambil mereka melaksanakannya.32 Sakramen ini adalah “makanan sorgawi” guna menguatkan iman dan menolong kita yang sedang berjalan dalam iman menuju Bapa kita. Iman atau hidup itu sudah diberikan kepada kita dalam baptisan dan sekarang diteguhkan lagi dalam Perjamuan Kudus. Oleh sebab itu sakramen juga adalah peringatan yang mengarahkan kita kembali pada penderitaan dan kematian Kristus di salib serta mengarahkan kita menuju saat kita akan merayakan perjamuan dengan-Nya di dalam kerajaan-Nya yang kekal.33

Menurut Luther, dalam Perjamuan Kudus tubuh Kristus hadir sebagai substansi, tetapi bukan karena substansi dari roti dan anggur itu diubah menjadi tubuh dan darah Kristus. Sebaliknya, menurutnya, substansi tubuh dan darah Kristus itu hadir tanpa aksiden-aksiden apa pun (warna, bentuk, berat, dan lain-lain), dan juga substansi roti dan anggur itu hadir bersama-sama dengan aksiden-aksidennya. Pada suatu bagian tulisannya dalam The Babylonian Captivity of the Church, Luther menulis:

Beberapa waktu yang lalu, ketika saya sedang mempelajari teologi skolastik, kardinal dari Cambrai yang terpelajar itu memberi saya bahan untuk dipikirkan dalam komentar-komentarnya atas buku keempat dari Sentences. Ia mengemukakan pendapatnya dengan sangat tajam bahwa meyakini pendapat bahwa roti dan anggur yang riil, dan bukan hanya aksiden-aksidennya yang hadir di atas altar, akan jauh lebih mungkin dan menuntut lebih sedikit mujuzat yang kurang berguna – kalau saja Gereja tidak mengeluarkan keputusan sebaliknya.34

32 Ibid., hlm. 216.

33 G.D.Dahlenburg, Pemberitaan Firman ..., hlm. 37-38.

34 Luther’s Works, (Philadelphia: Muhlenberg Press), vol.36, hlm.28-29; bahasan ini lebih dalam

diuraikan oleh G.W.Bromiley, Sacramental Teaching and Practice in the Reformation Churches,

(17)

Pandangan Luther adalah bahwa dalam sakramen itu roti dan anggur tetap utuh dan lengkap, yang mempunyai substansi dan aksiden-aksiden; Kristus memilih hadir, tetapi hanya dalam substansi dan tanpa aksiden tubuh dan darah-Nya. Bagi Luther, kehadiran Allah itu terlihat dalam tubuh Kristus yang tidak diatur dan diperintah oleh hukum alam.35

4. PERBEDAAN ANTARA AJARAN GEREJA KATOLIK ROMA DAN AJARAN REFORMATOR (ISTIMEWA MARTIN LUTHER) TENTANG SAKRAMEN

Perbedaan-perbedaan dalam pemahaman mengenai sakramen-sakramen ini sudah dimulai sejak zaman para Bapa-bapa Gereja. Misalnya, Ambrosius dan Augustinus berbeda pendapat dalam memahami Perjamuan Kudus khususnya dalam bidang liturgi. Liturgi-liturgi yang lebih tua, yang berasal dari Gallia dan Spanyol dipengaruhi oleh Ambrosius yang menekankan trans-mutasi atau perubahan dari unsur-unsur sebagai akibat perbuatan konsekrasi yang dilakukan imam-imam. Sementara liturgi Romawi dipengaruhi oleh Augustinus yang tampak dalam pemakaian istilah “mengkonsekrasikan” atau mendedikasikan, atau “memberkati” yang kelihatan lebih bersifat simbolis apabila dibandingkan dengan kata-kata realistis dari Ambrosius.36

Dalam bagian ini akan diuraikan beberapa pokok yang menjadi perbedaan antara GKR dan Reformator khususnya Martin Luther yakni:

1. Jumlah sakramen. Persoalan-persoalan mengenai jumlah sakramen ini, hingga abad kedua belas masih belum terdapat kepastian. Peter Damiani († 1072), menghitung tidak kurang dari 12 sakramen yang terdiri dari: baptisan, konfirmasi (penguatan), pengurapan orang sakit, penahbisan uskup-uskup, pengurapan raja-raja, penahbisan gereja, pengakuan iman, penahbisan para kanosis, penahbisan para biarawan, para asket dan biarawati, serta pernikahan. Penetapan jumlah sakramen menjadi tujuh, yang dipegang GKR hingga 35 Lee Palmer Wandel, The Eucharist in the Reformation, (Cambridge: Cambridge University Press,

2006), hlm.104.

(18)

sekarang, dimulai sejak Petrus Lombardius. Bagi kalangan Katolik, pada tahun 1274 Konsili Lyon II mengajarkan secara resmi untuk pertama kalinya bahwa sakramen Gereja berjumlah tujuh, dan penetapan ini dinyatakan kembali oleh Konsili Florenz (1439) dan diteguhkan oleh Konsili Trente (1547).37 Para reformator tidak setuju dan tidak mengakui jumlah tujuh sakramen itu. Alasannya adalah bahwa menurut Injil, hanya Baptisan dan Perjamuan Kuduslah yang ditetapkan oleh Yesus (Mat.28:16-20; 1Kor.11:23-26).

2. Ex opere operato. Istilah “ex opere operato”, atau sering disingkat opus operatum, merupakan istilah klasik yang selalu dibicarakan dalam teologi sakramen sejak zaman Skolastik. Secara harfiah, ex opere operato berarti “menurut karya yang dikerjakan”. Istilah ex opere operato digunakan pertama kalinya oleh Petrus dari Poitiers († 1205). Pada zaman Skolastik istilah ini biasa diperlawankan dengan istilah “ex opere operantis”, atau yang sering disingkat opus operantis. Secara harfiah, ex opere operantis berarti “menurut karya yang mengerjakan” atau “menurut yang melaksanakan sakramen, yakni pelayan atau penerima sakramen”. Pada prinsipnya ex opere operato menunjuk pada daya guna sakramen yang tidak tergantung pada iman ataupun disposisi si pelayan (dan atau penerima), melainkan melulu bergantung pada tindakan Allah sendiri. Istilah ex opere operato ini tidak terdapat dalam Alkitab. Namun, gagasan dasar mengenai tindakan peyelamatan Allah yang tidak tergantung pada sikap manusia sudah ada dalam Alkitab (Tit.3:4-6).38

Paham ex opere operato ini dikembangkan oleh kaum Skolastik dengan mengungkapkan dasar teologis yang baik mengenai rahmat yang berasal dan bergantung dari Allah. Akan tetapi suatu penekanan yang ekstrem pada ketepatan upacara atau ritusnya dapat membuat suatu pandangan yang tidak seimbang dan cenderung magis. Karena seolah-olah asal orang menepati seluruh tata perayaan sakramen dengan baik dan tepat, maka orang dapat memastikan bahwa ia memperoleh rahmat sakramen. Akibatnya, ada semacam otomatisme penerimaan sakramen dan orang tidak ambil pusing lagi dengan

37 E.Martasudjita, Sakramen-Sakramen …, hlm. 59; bnd. Joseph Pohle & Arthur Preuss, The

Sacraments: A Dogmatic …, hlm. 143-146; bnd. J.B.Banawiratma, Baptis Krisma Ekaristi,

(Yogyakarta: Kanisius, 1989), hlm. 59-62. Pada Konsili Lateran IV (1215), ketujuh sakramen ini sudah ditetapkan.

(19)

disposisi batin dari si pelayan dan si penerima. Pemahaman ini terjadi pada Abad-abad Pertengahan. Gereja Reformasi mengkritik praktik magis ini, termasuk menolak paham ex opere operato. Gereja Reformasi meletakkan syarat pengudusan atau pembenaran hanya oleh karena iman saja. Mereka juga memandang sakramen hanya sekedar sebagai tanda atau janji Allah saja, tetapi tidak sebagai tanda yang memberikan rahmat pengudusan.39 Luther menyatakan bahwa bukan sakramen, melainkan iman sakramenlah yang membenarkan manusia berdosa. Dalam sabda sakramen diwartakanlah janji Allah. Barangsiapa tidak menanggapi janji itu dengan iman kepercayaan yang hidup, tidak memperoleh rahmat. Begitu juga Calvin menekankan karya Roh Kudus yang menghadirkan Kristus yang mulia dalam tindakan sakramental itu.40

Menghadapi paham Reformasi tersebut, Konsili Trente mengajarkan:

Barangsiapa berkata bahwa sakramen-sakramen Perjanjian Baru tidak menyampaikan rahmat berkat ritus-ritus upacara yang dilaksanakan (ex opere operato), melainkan untuk memperoleh rahmat itu cukup melalui iman akan janji Allah, terkucillah dia (DS 1608/NR 513).41

Menurut Trente, istilah ex opere operato ini tidak merupakan konsepsi yang magis, sebagaimana dituduhkan oleh kelompok reformator. Sebab, dengan konsepsi ini, bukan pertama-tama dari ritus-upacaranya rahmat mengalir, melainkan hanya dari Allah saja. Istilah ex opere operato jelas menunjuk pada objektivitas daya guna sakramen yang melulu bergantung pada Allah saja.

3. Meterai atau character indelebilis. Meterai atau character indelebilis, secara harfiah berarti: sifat atau ciri yang tak terhapuskan, merupakan status baru sebagai hasil atau akibat penerimaan sakramen dan yang dibedakan dari isi rahmat yang sebenarnya. Character indelebilis ini hanya terdapat dalam ketiga sakramen: baptisan, penguatan, dan tahbisan. Dengan meterai atau character indelebilis, mau dinyatakan bahwa sakramen-sakramen tersebut hanya diterimakan sekali dan tidak dapat diulangi lagi.42 Lama ajaran Augustinus ini dilupakan. Baru sesudah Paus Innocnetius III mengajarkan kembali paham 39 Ibid.. 190-191.

40 Nico Syukur Dister, Teologi Sitematika 2: Ekonomi Keselamatan, (Yogyakarta: Kanisius, 2008), hlm.

360.

(20)

meterai atau character indelebilis ini pada tahun 1201 untuk melawan kelompok bidaah kaum Waldensis. Pada zaman Skolastik, Thomas Aquinaslah yang memiliki pembahasan mengenai meterai secara Kristosentris. Orang-orang yang menerima meterai sakramental mengambil bagian dalam meterai yang pada hakikatnya adalah meterai Yesus Kristus sendiri, yakni Yesus Kristus sebagai Gambar Allah dan Imam Agung. Dengan meterai sakramental itu, orang-orang yang menerima pembaptisan, penguatan, dan tahbisan dijadikan serupa dengan Kristus Sang Imam Agung (bnd. Ibr.5:5-6) dan juga dimasukkan dan dimampukan ke dalam pelayanan kultis kepada Allah di tengah Gereja.

Gereja dengan resmi mengajarkan character indelebilis ini dalam Konsili Florenz (1439) dan Trente (1547). Konsili Florenz menyatakan:

Di antara sakramen-sakramen ini ada tiga, yaitu baptisan, penguatan, dan tahbisan, yang memberikan pada jiwa meterai yang merupakan tanda rohani yang tak dapat dihapus, yang membedakannya dari sakramen-sakramen lainnya. Keempat sakramen lainnya tidak memberikan meterai dan makanya dapat diulangi (DS 1313/NR 504).43

Konsili Trente menyatakan:

Barangsiapa berkata bahwa melalui tiga sakramen, yaitu baptisan, penguatan dan tahbisan, tidak diberikan pada jiwa suatu meterai, yang berarti: suatu tanda rohani dan tak terhapuskan, sehingga karenanya sakramen-sakramen itu tidak dapat diulangi lagi, terkucillah dia (DS 1609/NR 514).44

Konsili Trente ini menegaskan ajarannya untuk menghadapi Gereja Reformasi yang secara eksplisit menolak ajaran character indelebilis dengan alasan karena ajaran ini tidak biblis.

4. Baptisan. Bagi Gereja Katolik Roma, salah satu unsur yang sangat dipentingkan dalam ritus baptisan adalah penahbisan air-baptisan: unsur ini

42 Ibid., hlm. 195; bnd. J.B.Banawiratma, Baptis Krisma ..., hlm. 62-63. Ajaran ini bermula dari ajaran

Augustinus († 430) yang membedakan antara res dan signum.Res menunjuk isi rahmat atau apa yang dirayakan dan dianugerahkan dalam sakramen, sedangkan signum atau sacramentum menunjuk tanda lahiriah yang kelihatan. Sejak zaman Skolastik muncullah istilah baru yakni res et sacramentum atau

res et signum. Res et sacramentum merupakan buah atau hasil sakramen yang bersifat “antara atau tengah-tengah“. Misalnya status baru bagi ketiga sakramen: baptisan, penguatan, dan tahbisan, mempunyai ciri khusus dan sebutan khusus, yaitu meterai (character indelebilis), yakni yang tidak dapat hilang dan tidak dapat diulangi.

(21)

benar tidak diwajibkan dalam segala hal (untuk “baptisan darurat”), tetapi air itu harus dipakai untuk pelayanan “baptisan hikmat”, yaitu pembaptisan yang dilayani dengan semua upacara (antara lain: tanda salib, pembuangan/ penolakan setan, pemberian pakaian atau baju putih kepada calon baptisan), baik di gereja, maupun di rumah.45 Reformasi tidak setuju dengan ajaran GKR ini. Pandangan yang dianut reformatoris, bahwa sakramen termasuk baptisan merupakan tanda dan meterai dari anugerah Allah. Sakramen bukan merupakan sarana penyaluran anugerah Allah yang ex opere operato.46 Luther,

mula-mula menekankan, bahwa untuk mendapat anugerah (oleh sakramen) perlu ada iman. Luther katakan: baptisan sendiri tidak dapat membenarkan manusia dan tidak ada artinya baginya, kalau ia tidak menyambut baptisan itu (= janji-janji yang Tuhan Allah berikan di dalamnya) dengan percaya. Tetapi kemudian – dalam polemiknya dengan ajaran bidat, dan juga dengan Zwingli – pandangan Luther ini mendapat aksen lain. Cara pengungkapan Augustinus – yaitu bahwa sakramen adalah bentuk yang kelihatan dari anugerah yang tidak kelihatan – yang mula-mula diambil-alih oleh Luther, makin terdesak ke belakang. Baginya air-baptisan bukan hanya berfungsi sebagai tanda yang menunjuk kepada janji-janji Allah dan yang memeteraikannya, tetapi lebih dari itu: ia juga adalah wahana dari anugerah Allah, tetapi tidak seperti yang diajarkan oleh GKR. Sebab anugerah itu hanya diperoleh kalau orang percaya.47 Menurut Calvin, baptisan adalah peraturan Allah. Kenyataan inilah, menurut dia, yang memberikan nilai kepada baptisan dan yang membuatnya menjadi wahana-anugerah dalam arti yang sebenarnya. Sebagai tanda dari masuknya manusia dalam persekutuan Gereja, baptisan memberikan kepadanya tiga hal. Pertama: baptisan adalah tanda dan bukti dari pengampunan dosa oleh darah Kristus (= baik dosa-dosa yang dibuat sebelum, maupun dosa-dosa yang dibuat sesudah pelayanan baptisan). Kedua: oleh baptisan manusia mendapat bagian dalam kematian dan kebangkitan kembali

45 J.L.Ch.Abineno, Pemberitaan Firman Pada Hari-Hari Khusus, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1985),

hlm.86. Baptisan pada Abad-abad Pertengahan hanya boleh dilayankan oleh uskup dan, kalau ia tidak ada, oleh presbyter. Diaken hanya boleh membaptis dalam hal-hal darurat dan dengan izin uskup.

46 Sakramen seperti ini misalnya tercantum dalam pengakuan Iman Belanda (Confessio Belgica)

[1561], sakramen merupakan “tanda-tanda dan meterai-meterai yang kelihatan dari sesuatu yang bersifat batiniah dan tidak kelihatan yang melaluinya Allah bekerja di dalam diri kita dengan kuasa Roh Kudus”. Lih. Christiaan de Jonge, Apa itu Calvinisme?, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2001), hlm.23 ; Th.Van den End, Enam Belas Dokumen Dasar Calvinisme).

(22)

dan pembaharuan. Ketiga: oleh baptisan manusia dipersatukan dengan Kristus dan mendapat bagian dalam karya-penyelamatan-Nya.48

Ajaran ini kemudian disebarkan dalam Gereja-gereja Protestan oleh pengikut-pengikut Luther dan Calvin, khususnya melalui rumusan-rumusan (formulir-formulir) liturgis dan naskah-naskah pengakuan iman. Bukan saja di bidang ajaran, juga di bidang pelayanan baptisan, Reformasi berbeda dengan GKR. Perbedaan itu terdapat di berbagai-bagai bidang. Pertama: di bidang upacara pelayanan baptisan. Gereja-gereja Lutheran umumnya tidak berkeberatan terhadap upacara-upacara lama seperti eksorsisme, penumpangan tangan dan lain-lain. Gereja Calvinis tidak demikian: mereka menolak segala macam upacara lahiriah sebagai peraturan-peraturan yang tidak essensial dan dengan tegas menuntut untuk kembali kepada kesederhanaan Kitab Suci. Kedua : di bidang bentuk pelayanan baptisan. Memang harus diakui bahwa simbolik baptisan lebih jelas nampak, kalau ia berlangsung dalam bentuk penyelaman. Tetapi oleh rupa-rupa sebab – antara lain iklim, pembaptisan anak kecil, pelayanan pembaptisan dan gedung gereja – lama-kelamaan dalam gereja-gereja Protestan penyelaman diganti dengan pemercikan atau penyiraman (=permandian). Hal ini didasarkan antara lain atas kesaksian Kitab Suci dan atas data-data lain yang menyatakan bahwa di samping penyelaman Gereja Purba juga mengenal pemercikan dan penyiraman, dan bahwa arti dan kekuatan (=sahnya) baptisan tidak bergantung pada banyaknya air yang dipakai. Sekalipun demikian dianjurkan, supaya air yang dipakai itu jangan terlampau sedikit, agar ide pembasuhan (=penyucian) jangan hilang seluruhnya. Ketiga: di bidang tempat baptisan. Suatu perbedaan lain ialah kebiasaan untuk menyelenggarakan pelayanan baptisan di tengah-tengah jemaat. Kebiasaan itu didasarkan atas anggapan, bahwa pelayanan baptisan adalah bagian dari ibadat (=kebaktian) umum, yang erat hubungannya dengan pelayanan pemberitaan Firman. Sesuai dengan itu wewenang untuk membaptis hanya diberikan oleh Gereja-gereja Protestan kepada mereka, yang berhak memberitakan Firman dalam ibadat. Keempat: di bidang penundaan baptisan. Terhadap kecenderungan untuk menunda baptisan, karena sebab-sebab yang tidak berarti, Gereja-gereja Protestan selalu mendesak anggota-anggotanya

(23)

untuk selekas mungkin membaptis anak-anak mereka. Kelima: di bidang pelayanan baptisan Gereja-gereja lain. Gereja-gereja Protestan mengakui baptisan Gereja-gereja lain, kalau baptisan itu dilayani: a) sesuai dengan perintah Tuhan Yesus, yaitu dengan air dan dalam nama Allah Tritunggal, b) dalam persekutuan Kristen (=jemaat) dan c) oleh seorang yang mendapat hak untuk pelayanan itu.49

5. Perjamuan Kudus. Salah satu pokok perdebatan mengenai Perjamuan Kudus ialah sifat kehadiran Kristus. Pokok ini merupakan pokok yang dapat dikatakan paling penting dipersoalkan. Inti persoalannya adalah sampai sejauh mana dan dalam arti apakah tubuh dan darah Kristus itu hadir dalam roti dan anggur Perjamuan. Maksudnya, sampai sejauh mana kita harus memahami pernyataan, “Inilah tubuh-Ku”, dan “Inilah darah-Ku”. Bagi GKR, Perjamuan Kudus itu merupakan transubstansiasi (roti dan anggur diubah oleh kemahakuasaan Allah menjadi tubuh dan darah Kristus).50 Ajaran ini dituangakan dalam Konsili Trente yang berbicara mengenai kehadiran Kristus dalam ekaristi, khususnya pada roti dan anggur dan mengenai ekaristi sebagai kurban.

Ajaran Trente mengenai kehadiran Kristus dalam Ekaristi berbunyi: “Dalam sakramen Ekaristi yang mahakudus ada secara sungguh, riil dan substansial, tubuh dan darah Tuhan kita Yesus Kristus, bersama dengan jiwa dan keallahan-Nya, jadi seluruh Kristus”. Tidak “tinggal substansi roti-dan-anggur bersama dengan tubuh dan darah Tuhan kita Yesus Kristus”, sebab tubuh dan darah Kristus hadir karena “perubahan seluruh substansi roti menjadi tubuh dan seluruh substansi anggur menjadi darah, sedang yang tinggal hanyalah rupa roti dan anggur, ialah perubahan yang oleh GKR dengan tepat disebut trans-substansiatio” (DS 1651; 1753).51

Dalam perjamuan terakhir, pada malam Ia diserahkan, Penyelamat kita mengadakan kurban ekaristis tubuh dan darah-Nya, untuk melangsungkan kurban salib selama peredaran abad sampai Ia datang kembali. Dengan demikian Ia mempercayakan kepada Gereja, mempelai-Nya yang tercinta, pengenangan akan wafat dan kebangkitan-Nya: sakramen kasih sayang, tanda kesatuan, ikatan cinta-kasih, perjamuan Paska, di mana Kristus disantap, jiwa dipenuhi rahmat, dan diberikan jaminan kemuliaan kelak (SC 47).52

Ajaran ini ditolak oleh Reformasi, sebab ajaran itu tidak sesuai dengan kesaksian Kitab Suci. Sekalipun demikian, penolakan itu tidak menghasilkan

49 J.L.Ch.Abineno, Pemberitaan Firman …, hlm.89.

50 Pada Konsili ke-4 di Lateran (1215), ajaran trans-substansiasi disahkan menjadi dogma gereja.

Ajaran ini kemudian dikembangakan oleh Thomas Aquinas († 1274). Konsili Trente (1545-1563) menguatkan ajaran trans-substansiasi ini.

(24)

suatu ajaran reformator yang dapat diterima oleh semua pihak. Para reformator mempunyai anggapan yang berbeda-beda tentang perjamuan. Perbedaan itu begitu besar sehingga tidak dapat dipertemukan. Pandangan Luther berbeda dengan pandangan GKR dalam banyak hal namun tidak semuanya. Luther tidak menolak seluruh pandangan tradisional. Yang disangkal Luther adalah doktrin trans-substansiasi dari GKR. Molekul-molekul itu tidak berubah menjadi daging dan darah; molekul itu tetap berupa roti dan anggur. Sekalipun demikian tubuh dan darah Kristus hadir “di dalam, dengan, dan di bawah” roti dan anggur itu. Artinya bukan bahwa roti dan anggur itu telah menjadi tubuh dan darah Kristus, melainkan bahwa kita sekarang mempunyai tubuh dan darah tersebut selain roti dan anggur itu. Tubuh dan darah itu ada, tetapi bukan secara eksklusif sehingga meniadakan keberadaan roti dan anggur.53 Luther juga menolak aspek-aspek lainnya dari pemahaman GKR tentang penyelenggaraan misa.54 Luther khususnya menolak gagasan bahwa misa merupakan upacara pengorbanan. Karena Kristus telah mati untuk memperdamaikan dosa sekali dan untuk selamanya, dan karena orang percaya dibenarkan oleh iman pada korban Kristus yang sekali dan untuk selamanya, maka tidak perlu diulang-ulang lagi. Luther juga menolak pemahaman sakerdotalisme.55 Kehadiran tubuh dan darah tersebut diakibatkan oleh kuasa Yesus Kristus sendiri. Sekalipun yang boleh menyelenggarakan Perjamuan Kudus haruslah pendeta yang telah ditahbiskan, namun hadirnya tubuh dan darah Kristus pada Perjamuan tersebut tidak disebabkan oleh tindakan tertentu yang dilakukan oleh yang telah ditahbiskan itu.56

53 Millard J.Erickson, Teologi Kristen, (terj. Nugroho) (Malang: Gandum Mas, vol.3, 2004), hlm.

409-410. Luther, sejak tahun 1520 mengajarkan bahwa roti dan anggur adalah tanda, yang di dalamnya benar-benar hadir tubuh dan darah Kristus (=konsubstansiasi). Kemudian, dalam perjuangannya melawan pemimpin Gereja di Swiss, kehadiran jasmaniah ini Luther sangat tekankan. Bagi Luther, dalam Perjamuan Kudus roti (Tubuh Kristus) bukan saja dimakan oleh orang-orang percaya “dengan mulut iman” mereka, tetapi juga orang-orang yang tidak percaya.

54 Karena penghayatan Gereja Katolik Roma tentang Perjamuan Kudus sebagai “Kurban Misa” dalam

pengertian “Kristus berulang-ulang dipersembahkan oleh Imam di atas altar” itulah yang menyebabkan Luther, Calvin dan Zwingli bereaksi keras, dan berakibat membuang semua bahasa “kurban” dari penghayatan Perjamuan Kudus dalam Gerakan Reformasi Protestan sampai sekarang.

55 Sakerdotalisme merupakan gagasan bahwa imam yang sudah ditahbiskan secara resmi harus hadir

untuk memberkati Roti Perjamuan Kudus itu. Tanpa imam untuk melayani, unsur-unsur itu tetap menjadi roti dan anggur biasa.

(25)

Bukan di bidang ajaran, juga di bidang perayaan perjamuan Gereja-gereja reformatoris berbeda pendapat dengan GKR seperti: pertama: bagi kaum reformatoris, perjamuan malam adalah suatu persekutuan. Untuk menyatakan persekutuan itu dalam praktik, mereka – khususnya gereja-gereja Calvinis – menyuruh jemaat berkumpul mengelilingi meja-perjamuan. Dengan itu mereka menolak kebiasaan yang terdapat dalam GKR untuk memakai mezbah sebagai titik-pusat perayaan. Kedua: perayaan perjamuan dalam gereja-gereja reformatoris, sederhana dalam pelaksanaannya dibandingkan dengan GKR. Ketiga: menurut ritus reformatoris dalam perayaan perjamuan anggota-anggota jemaat bukan saja menerima roti, tetapi juga menerima anggur57 (Melawan kebiasaan GKR yang hanya memberikan roti (=hosti) kepada jemaatnya). Keempat: dalam gereja-gereja reformatoris tidak terdapat peraturan-peraturan tertentu mengenai macam elemen-elemen perjamuan (= roti dan anggur) yang dipakai (GKR hanya memakai roti yang tidak beragi yang terbuat dari tepung gandum). Gereja-gereja reformatoris menganggap itu tidak penting. Mereka memakai roti yang tidak beragi maupun yang beragi. Yang penting ialah, bahwa apa yang disebut roti itu benar-benar adalah roti. Kelima: dalam perayaan perjamuan, Gereja-gereja reformatoris terdapat hubungan yang erat antara firman dan sakramen. GKR memisahkan keduanya: ia dapat merayakan perjamuan (=ekaristi) pada setiap saat, tanpa pemberitaan firman, malah tanpa hadirnya jemaat. Bagi kalangan reformatoris hal itu tidak mungkin. Bagi mereka, perjamuan harus didahului oleh pemberitaan firman, sebab tanda-tanda yang tidak disertai penjelasan Firman adalah tanda-tanda yang tidak mempunyai arti. Itu berarti, bahwa pada tiap-tiap perayaan perjamuan harus ada khotbah.58

5. TANGGAPAN HISTORIS

Setelah melihat perbedaan pemahaman dan pengajaran di antara kedua Gereja Katolik dan Reformatoris, maka timbullah beberapa tanggapan historis terhadap sakramen ini dari sudut pandang Protestantisme. Pandangan GKR tentang

57 Sekarang warga jemaat Katolik sudah bisa menerima anggur ketika hosti dicelupkan ke dalam cawan

anggur sebelum diberikan kepada warga jemaat.

(26)

sakramen sebelum Konsili Vatikan II tahun 1962 di atas tidak bisa diterima seutuhnya oleh kalangan reformatoris. Misalnya, J.Verkuyl memberikan beberapa alasan bahwa ajaran GKR sebelum Konsili Vatikan II tersebut berbeda dengan ajaran Protestan yaitu: pertama-tama, pengertian GKR tentang anugerah yang ditandakan dan dimeterai oleh sakramen-sakramen itu, adalah salah. Anugerah itu diartikan GKR sebagai suatu anugerah alam-atas yang datang dari luar, yang mengangkat manusia itu ke alam-atas itu dan memberinya sifat ke-Tuhanan. Tetapi menurut Kitab Suci, anugerah yang tersimpul dalam Firman dan sakramen itu bukanlah sesuatu rahmat yang datang dari luar, bukan sesuatu tambahan, bukan suatu mahkota, atas kejadian ini, melainkan anugerah itu menghapuskan dosa dan membarui batin kita secara radikal. Anugerah itu bukan membuat lapisan kedua yang terdiri dari anugerah alam-atas di atas lapisan pertama, yakni kodrat manusia itu, melainkan anugerah memperbarui dan melahirkan kembali keadaan manusia itu.59

Kedua, ajaran tentang sakramen ini salah menafsirkan perhubungan antara Firman dan sakramen. Menurut ajaran ini, Firman itu memang mempunyai sesuatu arti, tetapi hanya sedikit, yakni sebagai persiapan saja. Firman itu dapat mempersiapkan manusia menerima anugerah yang didatangkan sakramen. Menurut ajaran ini anugerah itu baru diberikan dalam melakukan sakramen. Pendapat ini tidak alkitabiah. Baik dalam Firman maupun dalam sakramen anugerah itu serupa juga yaitu sama-sama memberitakan tentang anugerah. Roh Kudus datang, baik dengan perantaraan Firman maupun dengan sakramen. Sakramen itu adalah meterai yang dilekatkan pada Firman itu. Sakramen itu menguatkan Firman.60

Ketiga, pendapat GKR mengenai hubungan di antara sakramen dan yang menerima sakramen itu adalah salah. Menurut GKR, anugerah diberikan oleh sakramen berdasarkan perbuatan imam yang menjalankannya. Pendapat ini sungguh magis, merupakan sihir. Di sini lambang dijadikan berhala. Perbuatan-perbuatan dalam melakukan sakramen itu berubah menjadi Perbuatan-perbuatan sihir.

(27)

Berdasarkan Kitab Suci, akibat dan hasil dari sakramen tergantung pada iman sipenerima. Anugerah harus selaras dengan iman.61

Keempat, kita harus menyanggah perbuatan GKR yang menetapkan lima sakramen-sakramen lainnya kepada kedua sakramen yang ditetapkan Kristus. GKR menetapkan sakramen-sakramen itu dengan mempergunakan ayat-ayat Kitab Suci. Sudah jelas bagi setiap orang yang mengenal PB bahwa Yesus Kristus hanya mengadakan Pembaptisan dan Perjamuan Kudus saja sebagai sakramen, dan menyuruh kita melakukannya sampai kedatangan-Nya untuk kali kedua (Mat.28:19-20; Mrk,14:22-24).62

Namun pendapat Verkuyl ini terbantahkan setelah Konsili Vatikan II tahun 1962. Dalam Konsili Vatikan II ini, Konsili Vatikan II merumuskan ajarannya mengenai Ekaristi secara ringkas dalam SC 47:63

Pada perjamuan terakhir, pada malam Ia diserahkan, Penyelamat kita mengadakan Korban Ekaristi Tubuh dan Darah-Nya. Dengan demikian, Ia mengabdikan Kurban Salib untuk selamanya, dan mempercayakan kepada Gereja Mempelai-Nya yang terkasih kenangan Wafat dan Kebangkitan-Nya: sakramen cinta kasih, lambang kesatuan, ikatan cinta kasih, perjamuan Paskah. Dalam perjamuan itu Kristus disambut, jiwa dipenuhi rahmat, dan kita dikaruniai jaminan kemuliaan yang akan datang.

Dalam perkembangan selanjutnya, pemahaman yang berbedaan antara GKR dan Reformator pun mengalami perubahan yang menuju pada pemahaman baru. Artinya Gereja selalu membaharui ajarannya sesuai dengan tuntutan zaman. Misalnya, dalam Gereja Katolik sejak Konsili Vatikan II, paham ex opere operato sudah tidak memainkan peranan dalam diskusi teologi sakramen hingga sekarang. Vatikan II dan teologinya lebih suka memandang perayaan sakramen-sakramen sebagai peristiwa komunikasi dialogis yang menyertakan dan melibatkan semua unsurnya. Di satu pihak, Gereja dan teologi tetap memandang secara tegas bahwa rahmat penyelamatan yang disampaikan melalui perayaan sakramen-sakramen tetaplah melulu berasa dan bergantung dari Allah saja. Namun, di lain pihak, perayaan sakramen-sakramen merupakan perayaan perjumpaan antara Allah dan

61 Ibid., hlm. 66.

62 J.Verkuyl, Apakah beda ..., hlm. 67. Sebenarnya jika mengacu pada istilah alkitabiah, maka istilah

sakramen tidak ditemukan dalam Alkitab. Namun setiap gereja selalu mengklaim diri bahwa ajarannya selalu berdasarkan Alkitab, seolah-olah ajaran Gereja lainnya tidak alkitabiah. Padahal jika kita telusuri pengurapan pada orang sakit juga terdapat dalam Alkitab (Yak.5:14), sakramen tobat (Luk.7:48,50).

(28)

umat-Nya dalam bentuk simbol. Yang dirayakan dan disampaikan dalam perayaan sakramen bukanlah suatu “barang” tetapi peristiwa pertemuan dan persekutuan antara Allah dan manusia itu sendiri.

Suatu pandangan ekumenis mengenai Ekaristi antara Gereja Katolik dan Gereja-gereja Reformasi dewasa ini tampak dengan bagus dalam dokumen Lima. Itu merupakan hasil sidang Dewan Gereja-gereja Se-Dunia di Lima, Peru, Amerika Latin, pada tahun 1982. Isinya meliputi pernyataan teologis bersama mengenai baptisan, Ekaristi, dan pelayanan atau jabatan ("Baptism, Eucharist and Ministry“ disingkat BEM). Dokumen Lima dipandang sebuah dokumen bersama yang mendalam, komprehensif dan kaya mengenai tiga masalah pokok: baptisan, Ekaristi, dan pelayan.64

Memang harus kita akui bahwa masih banyak yang harus diperbaharui dalam setiap pemahaman Ekaristi ini. Misalnya, apakah setiap anggota Katolik bisa diizinkan menerima Perjamuan Kudus yang dilaksanakan gereja Protestan dan sebaliknya? Gereja Katolik memang dengan tegas melarang orang di luar Katolik untuk menerima Ekaristi tersebut. Menurut Katolik, sakramen merupakan pengalam yang membentuk dan mengungkapkan kesatuan Gereja Katolik. Karena itu, sakramen hanya dapat diterima oleh orang Katolik. Itulah sebabnya orang yang bukan Katolik, bahkan juga mereka yang dibaptis dalam agama Kristen lain, biasanya tidak diundang untuk menerima Sakramen.65

Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah, bisakah Perjamuan Kudus dilaksanakan melalui satelit, internet, teleconference? Dalam kemajuan zaman ini, sudah ada gereja yang melaksanakan Perjamuan Kudus dengan memakai satelit. Seorang pendeta bisa berada di sebuah gedung, namun bisa melaksanakan sekaligus Perjamuan Kudus di berbagai daerah di Indonesia.66

Mengenai ajaran baptisan, hingga kini pemahaman ini menjadi perdebatan yang tak kunjung habisnya. Saat ini, baptis ulang menjadi pembahasan bagi para teolog

64 E.Martasudjita, Sakramen-Sakramen …, hlm. 303.

65 Alfred Mcbride, Pendalaman Iman Katolik, (terj. A.S.Hadiwiyata) (Jakarta: Obor, 2005, jilid 1), hlm.

160.

66 Lihat misalnya Pdt.Drs.Yesayas Pariadji,STh yang melaksanakan Perjamuan Kudus sekaligus pada

(29)

dan gereja-gereja baik Protestan maupun gereja Injili. Ada yang beranggapan bahwa seseorang yang belum dibaptis ulang belum mendapatkan keselamatan. Dan ironisnya, banyak orang Kristen sekarang bangga jika dirinya dibaptis ulang di gereja „lain“. Padahal baptisan hanya terjadi sekali dalam hidup orang percaya (Rom.6:10). Karena baptisan hanya sekali, maka seharusnya gereja-gereja yang ada di Indonesia ini harus menerima dan mengakui setiap baptisan yang diterima oleh seseorang di dalam kehidupan orang percaya itu. Dan jika mereka „pindah“ jemaat, jangan lagi dibaptis ulang, hanya untuk menyatakan bahwa dia sudah sah sebagai anggota gerejanya. Memang jika kita bertanya kepada mereka yang melakukan baptisan ulang ini, pasti mereka akan mengatakan bahwa mereka bukan melakukan baptisan ulang. Yang mereka lakukan adalah baptisan yang benar, yakni baptisan yang mengacu pada alkitabiah.

DAFTAR PUSTAKA

Abineno, J.L.Ch. Pemberitaan Firman Pada Hari-Hari Khusus, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1985.

Appleby, Dale Memperkenalkan Gereja Anglikan, Jakarta: All Saints Anglican Church, 2005.

The Augsburg Confession, Adelaide: Lutheran Publishing House, 1980. Banawiratma, J.B.Baptis Krisma Ekaristi, Yogyakarta: Kanisius, 1989.

Bromiley, G.W. Scramental Teaching and Practice in the Reformation Churches, Grand Rapids, Michigan: Wm.B.Eerdmans Publishing Co, 1957. Buku Konkordia, Pematangsiantar: Lutheran Literatur Team, 1986.

Calvin, Yohanes Intitutio, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008.

Dahlenburg, G.D. Pemberitaan Firman dan Pelayanan Sakramen, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997.

de Jonge, Christiaan Apa itu Calvinisme?, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2001.

Dister, Nico Syukur Teologi Sitematika 2: Ekonomi Keselamatan, Yogyakarta: Kanisius, 2008.

(30)

Hayon, Niko Ekaristi Perayaan Keselamatan Dalam Bentuk Tanda, Flores: Nusa Indah, 1986.

Katekismus Gereja Katolik, Ende: Percetakan Arnoldus Ende, 1998.

Konferensi Wali Gereja Indonesia, Iman Katolik, Jakarta: Penerbit Obor, 2007.

Lohse, Bernhard Pengantar Sejarah Dogma Kristen, (terj.A.A.Yewangoe) Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994.

Luther, Martin Katekismus Besar, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996. Luther, Martin Katekismus Kecil, Pematangsiantar: LKS, ttp.

Luther’s Works, Philadelphia: Muhlenberg Press, vol.36.

Martasudjita, E. Sakramen-Sakramen Gereja: Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral, Yogyakarta: Kanisius, 2007.

Mcbride, Alfred Pendalaman Iman Katolik, (terj. A.S.Hadiwiyata) Jakarta: Obor, 2005, jilid 1.

McGrath, Alister E. Sejarah Pemikiran Reformasi, (terj.Liem Sien Kie) Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002.

Pohle, Joseph & Preuss, Arthur The Sacraments: A Dogmatic Tretise, St.Louis: B.Herder Book Co,957.

Urban, Linwood Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen, (terj. Liem Sien Kie) Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003.

Ursinus, Zakharias & Olevianus, Caspar Katekismus Heidelberg: Pengajaran Agama Kristen, Jakarta: BPK Gunung Mulia, cet.ke-27, 2005. Verkuyl, J. Apakah beda Geredja Rum Katolik dan Reformasi?, Jakarta: BPK

Gunung Mulia, 1960.

(31)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI……… (i)

PENDAHULUAN……….. …… 1

1. PENGERTIAN SAKRAMEN……… 3

2. PANDANGAN DAN AJARAN GEREJA KATOLIK ROMA

TENTANG SAKRAMEN ………... 4

3. PANDANGAN DAN AJARAN REFORMATOR (ISTIMEWA

MARTIN LUTHER) TENTANG SAKRAMEN ... 12

4. PERBEDAAN ANTARA AJARAN GEREJA KATOLIK ROMA

DAN AJARAN REFORMATOR (ISTIMEWA MARTIN

LUTHER) TENTANG SAKRAMEN ...……… 16

5. TANGGAPAN HISTORIS ...………... 25

(32)

Referensi

Dokumen terkait

Bagi pеnеlitian sеlanjutnya diharapkan dapat mеnambahkan variabеl lain yang lеbih luas sеlain jumlah uang bеrеdar (M2), tingkat suku bunga SBI dan tingkat inflasi

Sebagai contoh, sebuah gerbang AND terdiri dari tiga saluran masukan seperti simbol logika yang ditunjukkan oleh gambar 1-3 dan tabel kebenarannya pada Tabel

Dari pemaparan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sejauh mana nilai ekonomi yang terkandung dalam batu akik garut dilihat dari tiga dimensi yaitu daya

Hasil estimasi anggaran biaya pada pekerjaan struktural pembangunan Gedung Asrama Institut Teknologi Sumatera menggunakan analisa BIM lebih ekonomis dibandingkan metode

Tindak pidana yang terorganisir biasanya bersembunyi dibalik suatu perusahaan atau nama lain ( nominees ) dengan melakukan perdagangan internasional palsu dan berskala besar

PEMBA- NGUNAN DESA Meningkatkan KESEJAHTERAAN MASYARAKAT Desa Meningkatkan KUALITAS HIDUP Manusia Penanggulangan KEMISKINAN Mela lui : Pemenuhan Kebutuhan Dasar

Berdasarkan distribusi data dari hasil dari angket yang disebarkan kepada 37 pekerja tentang variabel sikap kerja terhadap kecelakaan kerja diperoleh data 94,6%

Dari hasil temuan dalam wawancara, peneliti telah menemukan bagaimana konsep bahasa penggunaan media sosial Instagram yang dilakukan oleh siswa/siswi Yayasan