• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konflik Sosial dan Alternatif Pemecahann (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Konflik Sosial dan Alternatif Pemecahann (1)"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

1Tulisan ini merupakan penerbitan ulang artikel yang

sama dari Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA vol. XXIII, no. 59, 1999, hlm. 7–19.

Konflik Sosial dan Alternatif Pemecahannya

1

Parsudi Suparlan

(Universitas Indonesia)

Abstract

In this article the author looks into social conflict and alternative solutions to the prob-lem. He begins by discussing the merits of a conflict model in viewing society, as expounded by Dahrendorf, Bailey and others. The author argues that, in contrast, the New Order Regime of Indonesia followed a model of equilibrium, characteristic of most pseudo-democratic or au-thoritarian states. With an emphasis on gotong royong. uniformity, balance and harmony, any move toward individuality or anti-stability was seen as having no function in the maintenance of the system. Holding to this latter model, any view deviating from official policy was removed. Different views could only be expressed by those with power, who were in fact those in power. By setting the rules of the game, their own views were never seen as a form of deviation. This led to the emergence of conflict between various groups, whereby some were stripped of their identities, dignity and/or material resources in the interest of the state or more powerful groups. Conflicts between ethnic groups present a special problem, because any attack on the group is seen as an attack on the individual, and vice versa. The author suggests that with a conflict model, differences are a given, and conflicts give rise to competition where there exist rules for competition that are fair and well-enforced. These rules must be enforced by an impartial police. However, the incorporation of the police into the Indonesian military for the past 32 years has placed emphasis on the use of military tactics for resolving conflict. In fact, one solution to the problem of conflict is the presence of one institution or organization that can be trusted and depended upon by all parties involved; and this should be the police.

Key words: conflict potentiality; ethnic plurality; culture dominant.

Pendahuluan

Konflik dapat dilihat sebagai sebuah perjuangan antarindividu atau kelompok untuk memenangkan sesuatu tujuan yang sama-sama ingin mereka capai. Kekalahan atau kehancuran pihak lawan dilihat oleh yang bersangkutan sebagai sesuatu tujuan utama untuk memenangkan tujuan yang ingin dicapai.

(2)

kelompok atau lebih yang biasanya selalu terjadi dalam keadaan berulang.

Sesuatu konflik fisik atau perang biasanya berhenti untuk sementara, karena harus istirahat agar dapat melepaskan lelah; atau bila jumlah korban pihak lawan sudah seimbang dengan jumlah korban pihak sendiri. Setelah istirahat, konflik diteruskan atau diulang lagi pada waktu atau kesempatan yang lain. Contoh klasik dari proses-proses konflik tersebut dapat dilihat dalam kehidupan Orang Dani dan Orang Yale yang hidup di pegunungan Jayawijaya, Irian Jaya. Orang Dani, secara tradisional, dari waktu ke waktu, hidup dalam keadaan perang antarkelompok kerabat atau klen, atau moiety yang terwujud sebagai perang antardesa atau federasi desa (lihat Heider 1970). Hal yang sama juga berlaku dalam kehidupan Orang Yale, yang hidup di wilayah bagian Timur dari Orang Dani (lihat Koch 1971:359-365). Menurut Koch (1971:360), sesuatu perang sebagai sebuah symptom, umumnya terjadi karena ketidakadaan, tidak cukupnya, atau telah hancurnya prosedur-prosedur yang d a p a t d i g u n a k a n u n t u k m e n j e m b a t a n i perbedaan-perbedaan yang dapat memecah-kan dan menghentimemecah-kan perang, atau konflik tersebut.

Dalam karya klasik tokoh sosiologi Talcott Parsons dan Edward Shills (1951), dinyatakan bahwa proses-proses sosial yang terwujud sebagai tindakan-tindakan sosial pada dasarnya bertujuan untuk dapat saling beker-ja sama di antara para pelaku yang merupakan warga masyarakat. Karena itu, proses-proses sosial mempunyai fungsi-fungsi yang me-nekankan tujuan untuk terwujudnya kehidupan sosial dan kemasyarakatan yang bercorak keseimbangan atau ekuilibrium di antara unsur-unsurnya, sehingga menghasilkan adanya integrasi sosial dan integrasi kemasya-rakatan. Oleh Parsons dan pengikutnya,

tindakan-tindakan yang terwujud sebagai kon-flik dilihat sebagai penyimpangan, atau tidak fungsional dalam kehidupan manusia.

Sebaliknya, para ahli sosiologi konflik, melihat gejala-gejala sosial, termasuk tindakan-tindakan sosial manusia, sebagai hasil dari konflik. Menurut para ahli sosiologi konflik, kepentingan-kepentingan yang dipunyai orang perorang atau kelompok berada diatas norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Usaha-usaha pencapaian kepentingan-kepentingan itu didorong oleh konflik-konflik antarindividu dan kelompok sebagai aspek-aspek yang lazim terdapat dalam kehidupan sosial manusia. Model lain yang bertentangan, tetapi relevan dengan model konflik, adalah model keteraturan yang digunakan untuk melihat berbagai bentuk kompetisi dan konflik dalam olahraga dan politik sebagai sebuah bentuk keteraturan. Dalam tulisan ini, saya mencoba melihat konflik sosial dalam perspektif model konflik dan model keteraturan, dalam upaya memahami potensi-potensi dan eskalasinya, serta upaya-upaya untuk pencegahannya.

Konflik dan keteraturan

(3)

atau kekuasaan. Karena organisasi itu juga membatasi berbagai tindakan manusia, maka pembatasan-pembatasan tersebut juga hanya dapat dilakukan oleh mereka yang mempunyai kekuasaan. Mereka yang miskin kekuasaan, yang terkena oleh pembatasan-pembatasan secara organisasi oleh yang mempunyai kekuasaan, akan berada dalam konflik dengan mereka yang mempunyai kekuasaan. Oleh Dahrendorf konflik dilihat sebagai sesuatu yang endemik, atau yang selalu ada dalam kehidupan manusia bermasyarakat.

Coakley (1986:24-33), seorang ahli sosiologi olahraga, melihat kehidupan manusia sebagai sebuah keteraturan, dan bahwa keteraturan tersebut terwujud karena adanya berbagai dukungan yang bersumber dalam masyarakat itu sendiri. Dukungan yang dimaksud adalah pranata-pranata sosial dan norma-norma sosial serta nilai-nilai budaya masyarakat yang bersangkutan. Olahraga, menurut Coakley, adalah salah satu aspek dalam kehidupan masyarakat yang mendukung lestarinya keteraturan. Model keteraturan tersebut sebenarnya adalah model dialektik dari hakekat olahraga itu sendiri, yaitu kompetisi (konflik) yang terwujud sebagai konflik antarindividu atau antara sekelompok individu dengan sekelompok individu lainnya (individu-individu melalui individualitas masing-masing beker-jasama dalam sebuah tim untuk mengalahkan individu-individu dari tim lainnya).

Jadi, sebenarnya keteraturan hanya mungkin terwujud kalau ada perbedaan di antara unsur-unsurnya, dan jika perbedaan tersebut berada dalam keadaan kompetisi (konflik) yang dilakukan secara teratur, karena mematuhi aturan-aturan permainan yang bersifat adil dan jujur. Model keteraturan ini menuntut adanya nilai-nilai budaya yang menjadi acuan bagi etika dan moral yang tercermin dalam aturan permainan atau konflik, yang perwujudannya dalam tindakan-tindakan

pelakunya lazim kita namakan sebagai sportivitas. Sportivitas hanya mungkin diwujudkan dalam tindakan-tindakan para pelaku olahraga kompetitif bila ada aturan main yang jujur dan adil dalam kompetisi tersebut, dan bila ada wasit dan/atau juri yang menjaga keberlangsungan keadilan dan kejujuran selama kompetisi tersebut berlangsung. Ini pun masih harus didukung oleh adanya penonton yang mengawasi bagaimana wasit dan/atau juri tersebut menjalankan peran-perannya. Bila dirasa kurang, maka bila perlu, dibentuk komisi yang akan menilai keputusan-keputusan wasit dan/atau juri dalam memimpin dan menilai kompetisi yang telah berlangsung. Karena itu, individu-individu dalam kompetisi tim, seperti basket misalnya, mau tidak mau akan harus bermain secara sportif. Bila tidak, secara individu, mereka akan merugikan tim atau kelompoknya, karena berbagai bentuk hukuman yang dijatuhkan oleh wasit dan/atau juri atas pelanggaran-pelanggaran mereka sebagai individu anggota tim dalam kompetisi yang berlangsung.

(4)

kebijakan umum tersebut. Dalam kenyataan proses-proses politik yang berlaku, yang ada tidak hanya antara yang kalah dan yang menang dalam kompetisi, tetapi juga kompromi atau kerjasama di antara pihak-pihak yang saling bertentangan (model non-zero sum game).

Model keteraturan dari Coakley atau Bailey, seperti tersebut di atas, adalah model yang berlaku dalam masyarakat yang menganut prinsip demokrasi. Model ini bertentangan dengan model ekuilibrium dari Talcott Parsons dan Edward Shills yang biasanya digunakan dalam sistem pemerintahan yang pseudo-demokrasi atau otoriter. Di samping model Machiavelli, model ekuilibrium ini secara menyolok telah digunakan dalam pemerintahan Orde Baru untuk menciptakan kestabilan, dan karena itu diacu untuk meredam konflik-konflik dan perbedaan-perbedaan serta individualitas (yang acuan dasarnya adalah individualisme) yang ada dalam masyarakat Indonesia. Dalam paradigma ekuilibrium, konflik dan dinamika kehidupan masyarakat yang anti kestabilan adalah bentuk-bentuk penyimpangan yang tidak fungsional dalam kehidupan. Karena itu, semua bentuk ungkapan yang berbeda dari kebijakan pemerintah dilihat sebagai penyim-pangan yang harus ditiadakan. Penekanan dari kestabilan sosial dalam zaman Orde Baru adalah gotong royong, anti individualitas dan indi-vidualisme, dan karena itu memuja kese-ragaman, keseimbangan, dan keserasian. Ungkapan-ungkapan dan tindakan-tindakan individualisme dan individualitas, dalam zaman Orde Baru, hanya mungkin dilakukan oleh mereka yang mempunyai kekuasaan. Karena mereka itu yang berkuasa, maka tindakan-tindakan mereka tidak digolongkan sebagai penyimpangan oleh pemerintah, sebagaimana dikemukakan oleh Dahrendorf tersebut di atas. Aturan main yang berlaku dalam kehidupan masyarakat Orde Baru adalah aturan main yang ditentukan dari atas ke bawah (top down), yang

tidak selamanya dapat diterima oleh mereka yang di bawah, tetapi harus diterima. Kalau tidak, mereka dianggap menyimpang atau tidak fungsional dalam kehidupan Orde Baru.

Model gotong royong dan anti indi-vidualisme atau anti individualitas dengan aturan main yang datangnya dari atas selama pemerintahan Orde Baru, telah menghasilkan berbagai bentuk konflik terselubung. Konflik tersebut tidak terwujud sebagai konflik terbuka, karena tidak seimbangnya hubungan kekuatan sosial yang dipunyai oleh yang berkuasa, dengan yang dipunyai oleh yang dikuasai— atau rakyat—sehingga rakyat tidak berani menentang kekuasaan pemerintah secara terang-terangan. Konflik terselubung tersebut terjadi antara mereka yang menikmati berbagai bentuk kekuasaan dan fasilitas pemerintahan Orde Baru, dengan mereka yang tersingkirkan atau dimiskinkan kemampuan kekuatan sosialnya oleh kemapanan kekuasaan Orde Baru, sebagaimana dikemukakan Dahrendorf di atas.

(5)

masyarakat meledak dalam berbagai bentuk konflik sosial dan kerusuhan massa. Ledakan dalam wujud konflik dan kerusuhan itu sebenarnya ditujukan terhadap pemerintahan Orde Baru sebagai pranata politik, terhadap tindakan-tindakan pemerintahan Orde Baru dan oknum-oknumnya serta kroni-kroninya, maupun terhadap ABRI yang menjadi tulang punggung kekuatan kekuasaan pemerintahan Orde Baru.

Faksi-faksi politik, yang merupakan kekuatan-kekuatan sosial untuk berbeda dari kebijakan pemerintah Orde Baru, hanya mungkin terwujud di antara golongan elite politik dan militer (yang juga merupakan kekuatan sosial-politik). Model konflik dari Dahrendorf dapat digunakan untuk melihat berbagai gejala sosial yang berlaku dalam elite politik dan militer dalam zaman Orde Baru. Model keteraturan dari Coakley tidak berlaku untuk memahami konflik-konflik sosial politik yang terbuka maupun tertutup di antara faksi-faksi politik dan militer pada tingkat atas, karena corak aturan main ditentukan oleh yang berkuasa, yaitu penguasa tunggal Orde Baru pada waktu itu dan para kroninya.

Potensi-potensi konflik

Bila kita mengikuti model Dahrendorf di atas, secara hipotetis kita ketahui bahwa dalam setiap masyarakat terdapat potensi-potensi konflik, karena setiap warga masyarakat akan mempunyai kepentingan yang harus dipenuhi, yang dalam pemenuhannya harus mengorban-kan kepentingan warga masyarakat lainnya. Upaya pemenuhan kepentingan yang dilaku-kan oleh seseorang yang mengorbandilaku-kan kepentingan seseorang lainnya dapat merupa-kan potensi konflik, bila dilakumerupa-kan tanpa mengikuti aturan main (yang terwujud sebagai hukum, hukum adat, adat, atau konvensi sosial yang berlaku setempat), yang dianggap adil dan beradab. Bila dalam masyarakat tersebut ada

aturan-aturan main yang diakui bersama oleh warga masyarakat sebagai adil dan beradab, maka potensi-potensi konflik akan mentransfor-masikan diri dalam berbagai bentuk persaingan. Jadi, potensi-potensi konflik tumbuh dan berkembang pada saat perasaan-perasaan— yang dipunyai oleh salah seorang pelaku akan adanya perlakuan sewenang-wenang dan tindakan-tindakan tidak adil serta biadab yang dideritanya, yang diakibatkan oleh perbuatan pihak lawannya itu—muncul, berkembang dan semakin mantap.

Adanya potensi konflik dalam diri seseorang atau sekelompok orang ditandai oleh adanya perasaan tertekan karena perbuatan pihak lawan. Dalam keadaan itu, si pelaku tidak mampu untuk melawan atau menolaknya, dan bahkan tidak mampu untuk menghindarinya. Dalam keadaan tersebut si pelaku mengembang-kan perasaan kebencian yang terpendam terhadap pihak lawan. Perasaan kebencian tersebut bersifat akumulatif oleh perbuatan-perbuatan lain yang merugikan dari pihak lawannya. Kebencian yang mendalam dari si pelaku—yang selalu kalah—biasanya terwujud dalam bentuk menghindar atau melarikan diri dari pihak lawan. Tetapi, kebencian tersebut secara umum biasanya terungkap dalam bentuk kemarahan atau amuk, yaitu pada waktu si pelaku yang selalu kalah tidak dapat meng-hindar lagi dari pilihan harus melawan atau mati, yang dapat dilihat dalam bentuk konflik fisik dan verbal di antara dua pelaku yang ber-tentangan tersebut.

(6)

Sewaktu-waktu bila pihak lawan lengah atau situasi yang dihadapi memungkinkan, maka dia akan berusaha untuk menghancurkannya. Tujuannya, agar ia merasa telah menang atau setidak-tidaknya telah seimbang dengan kekalahan yang telah dideritanya dari pihak lawan.

Ketidakadilan dan kesewenang-wenangan biasanya dilihat oleh pelaku yang ber-sangkutan dalam kaitan dengan konsep hak yang dimiliki (harta, jatidiri, kehormatan, keselamatan, dan nyawa) oleh diri pribadi, keluarga, kerabat, dan komunitas atau masyarakatnya. Sesuatu pelanggaran atau perampasan atas hak milik yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang akan dapat diterima oleh seseorang atau sekelompok orang yang memiliki hak tersebut, bila sesuai menurut norma-norma dan nilai-nilai budaya yang berlaku dalam masyarakat setempat, atau memang seharusnya demikian. Tetapi, hal itu tidak dapat diterima oleh yang bersangkutan, bila perbuatan tersebut tidak sesuai dengan norma-norma dan nilai-nilai budaya yang berlaku. Dalam hubungan antarsukubangsa, konsep hipotesa kebudayaan dominan dari Bruner (lihat Suparlan 1999d:13–20) menjadi relevan sebagai acuan untuk memahami keberadaan aturan-aturan main, atau konvensi-konvensi sosial yang berlaku di antara dua sukubangsa atau lebih, yang bersama-sama menempati sebuah wilayah, dan membentuk kehidupan bersama dalam sebuah masyarakat setempat.

Bila dalam kehidupan masyarakat setempat ada sebuah sukubangsa yang dominan, maka kebudayaan sukubangsa tersebut menjadi dominan dalam kehidupan masyarakat setempat. Kebudayaan dominan tersebut menjadi acuan bagi penilaian mengenai tindakan-tindakan yang layak dan tidak layak yang berlaku bagi warga masyarakat setempat tersebut di tempat-tempat umum, termasuk

warga dari berbagai sukubangsa yang tidak tergolong sebagai sukubangsa yang dominan dalam masyarakat tersebut. Kalau model hipotesa kebudayaan dominan dari Bruner (1974) bercorak generalis, yang digunakannya untuk memperbandingkan corak ungkapan-ungkapan kesukubangsaan di Medan dan di Bandung, maka secara empirik model hipotesa kebudayaan dominan tersebut menunjukkan variasi-variasi dalam corak dominasi ke-budayaannya (lihat kritik Suparlan 1995). Variasi tersebut muncul karena masyarakat sebagai sebuah satuan kehidupan tidak dibatasi oleh sebuah satuan kehidupan kota, ataupun di-batasi oleh sebuah satuan kategori masyarakat sukubangsa; tetapi oleh satuan kehidupan dari masyarakat itu sendiri, yang menempati sebuah wilayah atau lingkungan tertentu. Apa yang menjadi corak kehidupan dari suatu masyarakat dalam sebuah satuan wilayah atau lingkungan tertentu, akan berbeda dari corak yang dipunyai oleh suatu masyarakat yang hidup dalam sebuah wilayah atau lingkungan yang lain; walaupun kedua masyarakat tersebut tercakup dalam suatu satuan kehidupan masyarakat sukubangsa.

(7)

itu, konsep benar atau salah, adil atau tidak adil, menjadi kontekstual atau tidak dapat diberlakukan secara umum dan merata.

Indonesia adalah sebuah masyarakat majemuk, yang terdiri atas berbagai suku-bangsa dengan kebudayaan dan keyakinan keagamaan masing-masing yang dipersatukan oleh sistem nasional Indonesia menjadi sebuah masyarakat-negara (Suparlan 1999a). Sebagai sebuah masyarakat majemuk, Indonesia mempunyai potensi-potensi konflik yang tidak sedikit jumlahnya. Potensi-potensi konflik tersebut dapat terwujud sebagai konflik-konflik antarindividu. Konflik-konflik antarindividu dapat meledak menjadi konflik-konflik sosial yang terjadi sebagai konflik antarsukubangsa atau antara yang dikuasai dan yang berkuasa. Konflik antarindividu bisa mempunyai potensi untuk menjadi konflik sosial atau konflik antarsukubangsa, pada waktu konflik tersebut dirasakan sebagai suatu perwujudan ketidak-adilan oleh salah satu pihak terhadap lainnya. Ketidakadilan tersebut dirasakan sebagai ketidakadilan yang bukan hanya menimpa individu yang bersangkutan, melainkan menimpa sukubangsanya dan kepentingan-kepentingannya (jatidiri, kehormatan, kerugian material dan penderitaan atau ketidakpuasan secara umum karena ketidakadilan yang merata yang diderita oleh warga sukubangsa tersebut). Pihak yang menjadi lawan bisa saja suku-bangsa lainnya (kasus Sambas, kasus Ambon), atau pemerintah dan aparatnya (kasus Irian Jaya, kasus Aceh, kasus Riau). Harus dicatat bahwa sesuatu potensi konflik sosial tidak akan terwujud bila tidak ada ‘tukang kipas’ atau provokatornya, yang biasanya mempunyai kepentingan yang ingin dicapai melalui kejayaan sukubangsa atau golongannya yang telah direndahkan martabatnya dalam konflik antarindividu. Begitu juga harus dicatat bahwa sesuatu potensi konflik sosial tidak akan meledak menjadi konflik atau kerusuhan sosial,

bila kondisi kelompok—yang menginginkan adanya konflik sosial itu—tidak berada dalam keadaan tanpa pilihan lain karena situasi yang dihasilkan oleh hubungan antarkelompok sukubangsa tersebut dengan sukubangsa lainnya, atau dengan pemerintah sebagai pihak lawan. Situasi yang dimaksud adalah tidak adanya jalur-jalur yang dapat mengomunikasi-kan keinginan dan kebutuhan mereka secara memuaskan, yang dapat menjembatani untuk mengakomodasi dan mengkrompomikan perbedaan-perbedaan dan pertentangan-pertentangan antara kelompok tersebut dengan pihak lawannya.

Dalam upaya untuk memperkokoh kesatuan dan menjalin persatuan Indonesia, pemerintah Indonesia (dalam zaman pemerintahan Presiden Sukarno dan Presiden Soeharto) memperkuat sistem nasional, antara lain, dengan memperkuat tentara (zaman Presiden Sukarno), dan memperkuat ABRI (Polisi dijadikan bagian dari ABRI, dalam pemerintahan Presiden Soeharto). Dengan menggunakan kekuatan nyata yang menakutkan, yang dapat memaksa ini, maka kesatuan Indonesia dapat diperkokoh, dan persatuan dapat dijalin secara semu. Hal itu terjalin secara semu, karena kesatuan dan persatuan tersebut ‘dipaksakan’ dari atas ke bawah, dan karena itu tidak mempunyai landasan atau dukungan dari bawah (bottom up); yaitu masyarakat-masyarakat sukubangsa yang dirugikan oleh penguatan sistem nasional. Dampak dari penguatan sistem nasional seperti tersebut di atas adalah dilemahkannya sistem-sistem sukubangsa.

(8)

rambu-rambu bagi tindakan-tindakan penyimpangan para oknum-oknum penguasa tersebut. Sering-kali, tindakan-tindakan sewenang-wenang tersebut dianggap sebagai hal yang biasa oleh warga masyarakat Indonesia. Dalam zaman pemerintahan Orde Baru, tindakan-tindakan yang ‘sewenang-wenang’ dari anggota tentara dan kepolisian, seperti naik bis atau makan di ‘warteg’ tidak membayar, dianggap bukan tindakan sewenang-wenang. Bahkan, saya pernah menyaksikan seorang anggota tentara yang membayar biaya naik bis kota di Jakarta, ditolak oleh kondektur bis tersebut.

Perlakuan sewenang-wenang oleh orang atau kelompok lain yang diderita oleh seseorang atau sebuah kelompok atau masyarakat, bila tidak mampu diatasi dalam bentuk perlawanan oleh yang diperlakukan sewenang-wenang, akan membekas dalam bentuk kebencian. Kebencian yang timbul saat terjadinya pe-ristiwa tersebut akan tersimpan atau terpendam dalam hati, karena pihak yang dirugikan tidak berani atau tidak mampu untuk melawannya, atau tertutup oleh berbagai kesibukan dalam suatu jangka waktu tertentu. Peristiwa ke-sewenang-wenangan yang terpendam seperti ini akan muncul dan terungkap dalam bentuk stereotip dan prasangka. Stereotip atau prasangka tersebut akan terwujud dalam bentuk simbol-simbol yang menjadi atribut dari keburukan atau kerendahan martabat pelaku yang sewenang-wenang tersebut. Simbol-simbol tersebut bisa diacu dari pewayangan (sebagaimana yang terjadi pada Orang Jawa di Suriname, dalam Suparlan 1995), atau hewan, atau terwujud dalam bentuk ‘kirata basa’ atau penjabaran sebuah kata yang menghasilkan berbagai corak atribut lawan dalam bentuk kalimat yang kata-katanya penuh dengan ungkapan makna penghinaan karena kebencian. Ungkapan ini seringkali terwujud dalam kalimat yang isinya adalah kata-kata lucu, sehingga menjadi lelucon yang menghibur bagi

yang merasa terpuruk (lihat Douglas 1975:96-101). Pada tahun 1998 yang baru lalu, pada waktu menjelang dan setelah beberapa lama kejatuhan Pak Harto sebagai presiden—yaitu pada waktu gencar-gencarnya aksi anti pak Harto—di kampung-kampung di Jakarta, anak-anak menyayikan lagu menunjuk hidung— yang pada tahun ini sudah hilang dari peredaran permainan anak-anak—dengan cara memleset-kan liriknya, sehingga berbunyi:

Dang dang tut

Bambang ama Tutut Anak raja maling

Sedangkan aslinya berbunyi: Dang dang tut Akar kolang kaling Siapa yang kentut Ditembak raja maling

Keberadaan potensi konflik sosial pada dasarnya juga mengikuti pola-pola yang berlaku dalam terwujudnya potensi konflik antarindividu. Potensi konflik yang meledak menjadi konflik antarindividu, bisa terbatas hanya pada dua orang individu yang bersangkutan saja, tetapi dapat juga meluas melibatkan anggota-anggota keluarga dan kerabatnya, serta komunitas atau masyarakat sukubangsa kedua belah pihak. Keterlibatan keluarga atau kerabat, komunitas, atau juga masyarakat sukubangsa kedua belah pihak dalam konflik yang terjadi, menunjukkan bahwa konflik antarindividu telah mewujudkan dirinya dalam bentuk konflik sosial.

Konflik sosial

(9)

konflik antara orang perorang dengan jatidiri masing-masing, melainkan antara orang perorang yang mewakili jatidiri golongan atau kelompok-nya. Atribut-atribut yang menunjukkan ciri-ciri jatidiri orang perorang tersebut berasal dari stereotip yang berlaku dalam kehidupan antargolongan yang terwakili oleh kelompok-kelompok konflik. Dalam konflik sosial, tidak lagi ada tindakan memilah-milah dan menyeleksi siapa-siapa pihak lawan yang harus dihancur-kan. Sasarannya adalah keseluruhan kelompok yang tergolong dalam golongan yang menjadi musuh atau lawannya, sehingga penghancuran atas diri dan harta milik orang perorang dari pihak lawan, dilihatnya sama dengan penghancuran kelompok pihak lawan.

Dalam konflik fisik yang terjadi, orang dari golongan sosial atau sukubangsa yang berbeda—yang semula adalah teman baik— akan menghapus hubungan pertemanan yang baik tersebut menjadi hubungan permusuhan, atau setidak-tidaknya menjadi hubungan penghindaran. Hubungan mereka menjadi hubungan golongan, yaitu masing-masing mewakili golongannya dalam hubungan konflik yang terjadi. Orang-orang luar, yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan kelompok-kelompok yang sedang dalam konflik fisik tersebut—bila mempunyai atribut-atribut yang memperlihatkan kesamaan dengan ciri-ciri dari pihak lawan—akan digolongkan sebagai lawan. Tanpa permisi atau meminta penjelasan mengenai jatidiri golongannya, orang-orang tersebut akan juga dihancurkan.

Di antara berbagai konflik sosial yang terwujud sebagai konflik fisik, konflik antarsukubangsa adalah konflik yang tidak dapat dengan mudah didamaikan. Konflik yang terjadi, yang disebabkan oleh rasa ketidak-adilan, kesewenang-wenangan ataupun kekalahan, dipahami sebagai penghancuran harga diri dan kehormatan. Kehancuran harga diri itu kemudian dipahami sebagai kehancuran

eksistensi atau keberadaan sukubangsanya. Keberadaan sukubangsanya adalah segala kehidupannya, karena dia dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan sukubangsanya. Dalam lingkungan kehidupan sukubangsanya, dia dibesarkan dan dijadikan manusia, dan memperoleh perlindungan dari segala gang-g u a n y a n gang-g berasal dari luar kehidupan sukubangsanya. Pada waktu mati, dia juga akan dirawat dan dikebumikan sebagai manusia dan sebagai hamba Tuhan atau Sang Pencipta oleh kerabat-kerabat dan handai taulan yang juga sesama warga sukubangsanya. Sukubangsa adalah sesuatu acuan yang primordial (yang utama dan pertama) dalam dan bagi ke-hidupannya. Sukubangsa bagi warga suku-bangsa yang bersangkutan adalah sama dengan dirinya sendiri. Penghinaan terhadap dirinya adalah sama dengan penghinaan terhadap sukubangsanya, dan penghinaan terhadap sukubangsanya adalah sama dengan penghinaan terhadap dirinya.

(10)

dalam sukubangsanya, dan yang tergolong dalam sukubangsa mereka (yang lain), ataupun yang tergolong dalam golongan sosial lainnya, dapat menjadi jelas.

Dalam masyarakat Indonesia yang majemuk (Suparlan 1999a), dengan sistem nasional Indo-nesia yang mempersatukan suku-sukubangsa yang semula adalah masyarakat jajahan Hindia Belanda menjadi sebuah masyarakat-negara In-donesia, kedudukan sukubangsa berada di bawah kekuasaan sistem nasional atau pe-merintah Indonesia. Dalam posisi yang berada di bawah kekuasaan pemerintah Indonesia, sukubangsa yang terwujud sebagai masyarakat sukubangsa, sadar atau tidak sadar, merasakan dominasi kekuasaan pemerintah dalam berbagai bentuk dominasi. Tanah dan segala isinya yang semula adalah hak mereka menurut adat, sekarang menjadi milik negara yang dikuasai oleh pemerintah. Begitu juga halnya dengan wilayah hutan dan air beserta segala isinya. Berbagai ketentuan yang semula diatur oleh adat, sekarang harus diatur oleh hukum positif yang berlaku secara nasional berikut sanksi-sanksinya, yang berbeda dengan sanksi-sanksi adat yang semula berlaku. Wilayah-wilayah yang secara adat adalah wilayah mereka, sekarang juga menjadi wilayah yang berhak untuk dihuni oleh mereka yang berasal dari berbagai sukubangsa.

Konflik-konflik sosial yang terjadi dalam masyarakat mana pun di dunia ini— termasuk yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia— dimulai oleh perebutan sumber-sumber daya atau sumber-sumber rezeki. Bila perebutan yang terjadi berjalan sesuai aturan main yang mereka anggap adil, maka tidak akan terjadi konflik sosial di antara mereka. Dalam keadaan diberlakukannya aturan main secara tidak adil oleh satu dari dua atau lebih kelompok yang bersaing memperebutkan sumber daya atau rezeki, konflik sosial tidak akan terwujud bila penegak hukum dapat bertindak adil dan

bertindak sebagai pengayom. Tetapi, bila penegak hukum bertindak tidak adil, maka aturan-aturan main yang adil dan beradab tidak akan dapat diberlakukan. Tidak ada yang memaksa untuk memberlakukan aturan-aturan main itu. Sebaliknya, masing-masing pihak yang bermusuhan akan menggunakan aturan-aturan mainnya sendiri yang menguntungkan mereka untuk dapat memenangkan konflik yang berlaku.

Jadi, sebuah persyaratan penting untuk meredam, atau menghentikan konflik sosial— yang mentransformasikan dirinya menjadi kerusuhan sosial, yang ditandai oleh menonjol-nya konflik fisik yang saling menghancurkan— ialah adanya aturan main yang adil, dan adanya penegak hukum yang dapat bertindak adil dan bertindak sebagai pengayom masyarakat. Bila petugas kepolisian sebagai penegak hukum tidak dapat bertindak adil dan tidak dapat bertindak sebagai pengayom masyarakat, maka kerusuhan yang terjadi tidak dapat dicegah. Ini pernah terjadi dalam Kerusuhan Sambas (Suparlan 1999b), saat petugas kepolisian di Kecamatan Jawai— yang merupakan asal mula terjadinya kerusuhan Sambas—tidak berani menahan pencuri asal Madura yang tertangkap basah. Akibat dari dilepaskannya pencuri asal Madura tersebut, 200 warga Madura asal kecamatan lain—yang merupakan teman-teman dan kerabat si pencuri—datang menyerbu dan membunuh tiga orang Melayu di Kecamatan Jawai, tempat ditangkapnya si pencuri. Keberanian orang-orang Madura tersebut telah didorong, antara lain, oleh ketidakberanian petugas kepolisian Jawai untuk menghadapi orang-orang Madura.

(11)

menguasai wilayah-wilayah untuk diakui sebagai wilayah sukubangsanya, yaitu untuk menciptakan kebudayaan dominan dalam wilayah yang telah dikuasainya itu. Hal ini terjadi dalam Kerusuhan Sambas dan Kerusuhan Ambon (Suparlan 1999c), dan juga terjadi dalam kerusuhan Aceh.

Dalam Kerusuhan Ambon, konflik yang semula terjadi antara orang-orang Bugis, Buton, dan Makasar (BBM) yang beragama Islam di satu pihak, dengan orang-orang Ambon di kota Ambon yang beragama Kristen di pihak lain, telah bergeser menjadi konflik antara sesama Orang Ambon, yaitu antara Orang Ambon yang beragama Islam dengan yang beragama Kristen. Akibatnya, kerusuhan yang saat ini terjadi di Ambon adalah kerusuhan sosial antara orang-orang Ambon Kristen lawan Islam. Dari berita terakhir yang ada di media massa, kita ketahui bahwa kota Ambon dibagi dalam wilayah-wilayah Kristen dan Islam.

Penutup: menghentikan konflik sosial

Konflik sosial yang terwujud sebagai kerusuhan fisik atau amuk massa harus dihentikan. Yang seharusnya menghentikan adalah petugas kepolisian, dan bukannya tentara, karena doktrin kepolisian sebenaraya berbeda dari doktrin ketentaraan. Sayangnya, Polisi Indonesia sudah menjadi seperti tentara, karena selama 32 tahun di bawah pemerintahan Orde Baru, polisi telah dijadikan sebagai sebuah satuan yang tidak terpisahkan dari ABRI. Bahkan, setelah dikeluarkannya Instruksi Presiden Habibie untuk memisahkan Polisi dari ABRI, Polisi pun secara organisasi masih berada di bawah departemen Hankam.

Fungsi polisi dalam masyarakat adalah sebagai penegak hukum, pengayom masyarakat, dan pelayan masyarakat. Sebagai penegak hukum, polisi juga menjalankan fungsi sebagai pembasmi kejahatan. Dalam organisasi ABRI, selama 32 tahun, fungsi sebagai pembasmi

kejahatanlah yang diutamakan dan dibiayai secara memadai. Fungsi-fungsi lainnya dianaktirikan, atau bahkan diabaikan sama sekali. Fungsi sebagai pembasmi kejahatan mempunyai kesamaan dengan fungsi tentara sebagai penyerang atau penghancur musuh, dan karena itu cocok dengan posisi polisi sebagai bagian dari ABRI.

Dampak dari pengabaian fungsi-fungsi polisi seperti tersebut di atas—yang sebetulnya merupakan fungsi-fungsi utama dari polisi— adalah bahwa polisi menjadi kurang mampu, atau tidak profesional dalam menangani berbagai konflik dan kerusuhan sosial. Hal itu disebabkan oleh cara penanganannya yang bukan merupa-kan cara penanganan polisi, melainmerupa-kan cara penanganan tentara. Yang diturunkan ke lapangan untuk menangani konflik atau kerusuhan sosial adalah pasukan tempur, dan bukannya pasukan pendamai. Akibatnya, konflik sosial yang terjadi bukannya dapat dihentikan, melainkan malah berkembang biak.

Syarat utama bagi setiap upaya penanganan konflik sosial agar dapat menghentikan konflik tersebut, ialah adanya suatu pranata atau organisasi (yang terbaik adalah polisi) yang dipercaya oleh pihak-pihak yang bermusuhan, dan yang digolongkan sebagai pihak ketiga, yang artinya tidak mempunyai kepentingan dalam konflik tersebut. Pihak ketiga itu dipercaya karena keadilan dan kekuatan yang dipunyainya. Bila polisi juga mempunyai kepentingan dalam konflik atau kerusuhan sosial yang terjadi, maka polisi tidak dapat berfungsi sebagai penghenti konflik sosial tersebut. Begitu juga, bila polisi sebagai sebuah pranata atau organisasi tidak mempunyai kekuatan yang sah untuk menegakkan hukum dan keadilan, maka polisi juga tidak akan dapat berfungsi untuk menghentikan konflik sosial yang terjadi.

(12)

berbicara dengan mereka. Dari apa yang telah diuraikan terdahulu, konflik atau perang terjadi karena tidak adanya jalur komunikasi yang dapat mengakomodasi atau meredam per-bedaan-perbedaan dan pertentangan-perten-tangan yang terjadi. Untuk itu, harus dicari kepala-kepala atau tokoh-tokoh yang betul-betul pemimpin dari kelompok-kelompok yang bermusuhan tersebut untuk diajak saling berbicara. Tujuannya ialah mencari titik temu yang memungkinkan dapat dihentikannya konflik sosial yang merugikan semua pihak. Bila suatu keputusan yang disetujui bersama telah dicapai, maka persetujuan bersama tersebut harus dijalankan oleh kedua belah pihak yang bermusuhan dengan diawasi dan dikendalikan pelaksanaannya oleh polisi, untuk betul-betul dijalankan secara bulat dan menyeluruh. Bila hasil persetujuan tidak dijalankan secara bulat dan menyeluruh, maka perdamaian tidak akan berlangsung lama. Seperti yang telah terjadi di Ambon, saya mengusulkan untuk meng-aktifkan pela gandong, sebuah ikatan darah atau seketurunan yang mengikat secara adat dua orang atau kelompok yang beragama Is-lam dan Kristen sebagai sebuah satuan kehidupan sehidup semati, berikut sanksi-sanksi adat bagi para pelanggarnya, yang harus dilakukan melalui upacara yang sakral. Tetapi, yang telah dilakukan untuk mendamaikan konflik Ambon tersebut pada bulan Mei 1999 yang lalu, bukanlah membuat upacara ritual yang sakral, melainkan membuat upacara seremonial yang superfisial. Tentu saja upaya perdamaian tersebut gagal.

Perundingan yang harus dilakukan oleh pihak ketiga yang netral dan diakui kewibawaan kekuasaannya oleh kedua belah pihak yang bermusuhan, adalah titik kunci pembuka jalan perdamaian. Pembicaraan yang dilakukan oleh pihak ketiga harus terpusat pada sebab-sebab permusuhan dan patokan-patokan penilaian menurut kebudayaan masing-masing pihak

yang bermusuhan tersebut. Berdasarkan patokan-patokan nilai budaya yang digunakan oleh masing-masing pihak yang berkonflik tersebut, pihak ketiga dapat melakukan tawar menawar mengenai sumber-sumber konflik. Hal itu bertujuan untuk mereduksi sumber-sumber konflik menjadi perbedaan-perbedaan yang tidak harus diselesaikan dengan cara saling menghancurkan satu sama lain.

Tujuan akhir dari pihak ketiga dalam perundingan tersebut adalah tercapainya persetujuan dari pihak-pihak yang konflik mengenai patokan keadilan yang harus mereka patuhi bersama, keutuhan jatidiri dan kehormatan masing-masing pihak. Kedua belah pihak harus merasa diuntungkan dengan adanya perdamaian di antara mereka. Cara-cara perdamaian dan isi perdamaian harus dirundingkan dan disesuaikan dengan nilai-nilai budaya dari pihak-pihak yang konflik. Jadi, bukan menurut cara-cara pihak ketiga.

(13)

Referensi

Bailey, F.G.

1969 Stratagems and Spoils: A Social Anthropology of Politics. New York: Schocken. Bruner, E.M.

1974 “The Expression fo Ethnicity in Indonesia’, dalam, A. Cohen (peny.) Urban Ethnicity. London: Tavistock. Hlm. 251–288.

Coakley, JJ.

1986 Sport and Society: Issues and Controversies. St. Louis: Times Mirror/Mosby Dahrendorf, R.

1959 Class and Class Conflict in Industrial Society. Stanford, California: Stanford Univer-sity Press.

Douglas, M.

1975 Impilicit Meanings. Boston: Routledge & Kegan Paul. Heider, K.G.

1970 The Dugun Dani: a Papuan Culture in the Highlands of West New Guinea. Chicago: Aldine.

Koch, Klaus-Frederich

1971 ‘Cannibalistic Revenge in Jale Warfare’, dalam J.P. Spradley dan D.W. McCurdy (peny.) Conformity and Conflict: Readings in Cultural Anthropology. Boston: Little, Brown, and Company.

Parsons, T. dan E.A. Shills (peny.)

1951 Toward A General Theory of Action. New York: Harper & Row. Suparlan, P.

1995 The Javanese in Surinam: Ethnicity in an Ethnically Plural Society. Tempe, Arizona: Program for SEA Studies, Arizona State University

1999a ‘Masyarakat Majemuk dan Hubungan Antarsukubangsa’, dalam I.Wibowo (peny.) Retrospeksi dan Rekontekstualisasi Masalah Cina. Jakarta: Gramedia. Hlm. 149– 173.

1999b Laporan Kerusuhan Sambas. Laporan terbatas disampaikan kepada Kapolri. 1999c Laporan Kerusuhan Ambon. Laporan terbatas disampaikan kepada Kapolri. 1999d ‘Kemajemukan, Hipotesis Kebudayaan Dominan, dan Kesukubangsaan’, Jurnal

Referensi

Dokumen terkait

Orang orang yang telah melihat sendiri hal itu menceriterakan kepada mereka tentang apa yang telah terjadi atas orang yang kerasukan setan itu (. bagaimana orang yang dirasuk setan

Dalam penelitian ini ditemukan enam jenis mikroorganisme yang menjadi sumber kontaminasi kultur in vitro di Sub-lab Biologi Laboratorium MIPA Pusat UNS Surakarta, terdiri dari

Jika pada masa lalu terjadi stimulus tertentu, atau serangkaian stimulus adalah situasi dimana tindakan seseorang diberikan imbalan, maka semakin mirip stimulus saat ini

Menurut Connolly (2010) ER modelling adalah pendekatan dari atas ke bawah untuk mendesain database yang dimulai dengan mengidentifikasi data yang penting yang disebut

Evaluasi sensori digunakan untuk menilai adanya perubahan yang dikehendaki atau tidak dikehendaki dalam produk atau bahan-bahan formulasi, mengidentifikasi area untuk

Jadi restorasi RK baik digunakan untuk restorasi klas II MOD dengan lesi yang tidak terlalu luas dan tidak menerima tekanan pengunyahan yang besar, selain itu RK digunakan pada

Yang perlu dipastikan adalah, baik harddisk ataupun drive optik yang digunakan, sudah bekerja pada mode Ultra DMA ( Direct Memory Access ).. Cara mengeceknya, pada Windows XP