• Tidak ada hasil yang ditemukan

Membangun melalui Komunikasi Interpersonal denga

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Membangun melalui Komunikasi Interpersonal denga"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Membangun Komunikasi Interpersonal dengan Perempuan Korban Kekerasan (Menilik Layanan Konseling dan Support Group Rifka Annisa Women’s Crisis Center)

Perempuan Indonesia merupakan kelompok penduduk mayoritas dalam jumlah, namun masih tetap minoritas dalam berbagai bidang kehidupan. Budaya patriarki yang muncul dalam banyak wajah menjadikan perempuan sebagai pihak yang rentan menjadi korban kekerasan. Budaya patriarki ini telah menempatkan laki-laki dalam posisi sosial yang lebih tinggi daripada perempuan, sehingga perempuan terpaksa menerima situasi yang tidak menguntungkan dalam relasinya dengan laki-laki. Asian Development Bank (2000) mencatat bahwa tingkat dan peluang mendapatkan pendidikan antara perempuan dan laki-laki masih sangat senjang, hanya 3 dari 10 perempuan yang berkesempatan mendapatkan pendidikan lanjut. Akses perempuan untuk mendapatkan pekerjaan pun masih terbatas dan biasanya perempuan menempati posisi yang relatif tidak membutuhkan keterampilan dan jenis pekerjaan yang spesifik “pekerjaan perempuan”, dengan upah hanya 68% dari upah pekerja laki-laki untuk pekerjaan yang sama.

(2)

kontrasepsi (Silawati: 14, 2001). Seorang perempuan korban kekerasan bisa mengalami salah satu bentuk kekerasan atau beberapa bentuk kekerasan sekaligus.

Berdasarkan data yang dihimpun Rifka Annisa, sebuah Women’s Crisis Center (WCC) di Yogyakarta,kasus kekerasan terhadap perempuan tiap tahunnya cenderung mengalami eskalasi, dari 18 kasus pada tahun 1994 hingga 595 kasus pada 2007. Kebanyakan perempuan yang datang ke Rifka Annisa berasal dari keluarga ekonomi lemah serta berpendidikan rendah. Belum ada data memadai apakah dalam keluarga ekonomi dan pendidikan kuat tidak terjadi kekerasan terhadap perempuan. Persoalan malu dan tatanan sopan santun yang lebih kaku di kalangan perempuan kelas atas diduga membuat mereka tidak mau mengadukan kekerasan yang dialami. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa angka di atas belum mewakili fakta sebenarnya karena kasus kekerasan terhadap perempuan layaknya fenomena gunung es.

Berangkat dari uraian di atas, tulisan ini akan mencoba menggali bagaimana membangun komunikasi interpersonal dengan perempuan korban kekerasan. Dengan menganalisis aprehensi komunikasi yang mungkin muncul pada perempuan korban kekerasan, penulis akan menentukan aspek-aspek apa saja yang seharusnya dimunculkan dalam komunikasi interpersonal dengan perempuan korban kekerasan untuk selanjutnya menentukan model mana yang tepat untuk diterapkan dalam komunikasi interpersonal dengan perempuan korban kekerasan. Layanan konseling dan support group sengaja dipilih karena keduanya merupakan program pendampingan korban di Rifka Annisa Women’s Crisis Center yang dalam prosesnya menggunakan komunikasi interpersonal.

(3)

tidak mudah mengingat cengkeraman budaya Jawa yang patriarkal masih kuat dalam masyarakat Yogyakarta. Akan menarik untuk melihat bagaimana konselor melakukan pendampingan pada perempuan korban kekerasan dalam proses komunikasi interpersonal yang pada dasarnya bersifat terapetik, untuk pemulihan atas trauma terhadap kekerasan.

Ketika Perempuan Mengalami Krisis

Secara teoritis, ada banyak definisi tentang krisis. Burl E. Gilliland dan Richard K. James dalam bukunya Crisis Intervension Strategies (1997) memasukkan empat definisi krisis, yaitu:

1. Orang dapat dikatakan berada dalam keadaan krisis bila mereka menghadapi kendala untuk mencapai tujuan yang sangat penting bagi mereka. Kendala ini begitu beratnya sehingga tak bisa diatasi dengan cara penyelesaian masalah (problem solving) biasa. Dalam proses ini, orang tersebut mengalami masa kekacauan, kemarahan, dan putus asa, sehingga sering terjadi upaya penyelesaian masalah yang tidak tepat (Caplan, 1961)

2. Krisis adalah krisis karena individu mengetahui tidak ada respon untuk mengatasi situasi (Carkhuff & Berenson, 1977)

3. Krisis adalah kesulitan atau situasi personal yang membuat orang tidak mampu mengontrol hidupnya secara sadar (Belkin 1984)

(4)

Berdasarkan beberapa definisi di atas, krisis merupakan satu persepsi terhadap kejadian atau situasi sulit yang melebihi kapasitas dan mekanisme penyesuaian diri seseorang, sehingga berpotensi menyebabkan kekacauan afeksi, kognisi, dan perilaku. Perempuan korban kekerasan dapat dikatakan berada dalam krisis. Secara umum, perempuan korban kekerasan biasanya memiliki perasaan rendah diri sehingga mereka memilih untuk menutup diri, memendam kebencian dan dendam, serta lebih memilih untuk menunjukkan sikap apatis, baik terhadap lingkungannya maupun masa bodoh terhadap dirinya sendiri. Pada dasarnya perempuan korban kekerasan kehilangan rasa aman sehingga mereka menaruh curiga terhadap orang lain atau orang luar. Ruang gerak mereka pun semakin terbatas oleh karena hilangnya rasa aman pada tempat/area tertentu. Beberapa perempuan korban kekerasan juga mengalami putus asa secara ekonomis sehingga memilih melacurkan diri untuk mendapatkan uang. Kebanyakan mengalami frustrasi berkepanjangan yang berujung pada masalah-masalah kesehatan serta memburuknya relasi sosial, terutama dengan keluarga (Silawati:23, 2001).

Aprehensi Komunikasi pada Perempuan Korban Kekerasan

Aprehensi komunikasi mengacu pada perasaan takut atau khawatir terhadap interaksi dalam komunikasi. Mereka yang memiliki aprehensi komunikasi merasa takut melakukan kesalahan dan dihina ketika terlibat dalam suatu interaksi (Bippus & Daly, 1999 dalam Joseph A. deVito, The Interpersonal Communication Book, 2001). Trait apprehension adalah ketakutan berkomunikasi dalam seluruh situasi, sedangkan state

(5)

khawatir terhadap komunikasi ini muncul dalam perilaku yang aprehensif, seperti keengganan untuk melakukan pengungkapan diri (self disclosure), menghindari tatapan mata lawan bicara, memilih tempat duduk yang tidak mudah dilihat atau dijangkau orang. Ada tujuh faktor yang dapat meningkatkan aprehensi komunikasi seseorang, yaitu: tingkat evaluasi, status subordinat, tingkat perhatian yang didapatkan, tingkat keterprediksian, tingkat ketidaksamaan, prioritas sukses dan gagal, serta kurangnya keterampilan dan pengalaman komunikasi (McCroskey&Daly 1987, Beatty 1988, Richmond&McCroskey 1989,dalam Joseph A.deVito, The Interpersonal Communication Book, 2001). Seorang perempuan korban kekerasan yang membuka diri dan menceritakan

(6)

sehingga perempuan korban kekerasan lebih memilih untuk membisu agar hidupnya tidak menjadi lebih buruk daripada saat ini.

Untuk itulah dibutuhkan pendekatan interpersonal berkelanjutan dalam program pendampingan terhadap perempuan korban kekerasan berupa layanan konseling, baik konseling psikologis, hukum, spiritual, maupun kesehatan, dan support group, kelompok yang terdiri dari para survivor dengan jenis kekerasan sama, yang dibentuk untuk membangun kekuatan dan kepercayaan diri berdasarkan tukar pengalaman dan pemberdayaan antarmereka sendiri. Konseling memungkinkan perempuan korban kekerasan membuka diri dna menceritakan kekerasan yang dialaminya dengan jaminan kerahasiaan identitas, sedangkan support group memungkinkan sesama perempuan korban kekerasan saling mendukung dan menguatkan, serta saling belajar dari realitas mereka masing-masing.

Model Humanistik atau Model Pragmatik?

(7)

yang paling cocok digunakan adalah model pragmatik dengan pendekatan sikap terutama pada persamaan (equality).

Mengapa persamaan dan bukan empati, keterbukaan, sikap suportif dan positif? Hal mendasar yang menjadi masalah dalam kasus kekerasan terhadap perempuan adalah pandangan tentang ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam budaya Jawa yang patriarkal. Perempuan dinilai tidak seberharga laki-laki sehingga ia diposisikan di bawah laki-laki. Budaya ini dilestarikan lewat pepatah-pepatah, seperti swarga nunut nraka katut, yang menggambarkan kewajiban istri mengikuti kehendak dan kuasa suami,

(8)

perempuan korban kekerasan tersebut, maka konselor, kita, atau siapa saja yang terlibat komunikasi interpersonal dengan perempuan korban kekerasan akan secara sadar melibatkan perempuan tersebut dalam rangkaian usaha berkesinambungan untuk mengatasi masalahnya.

Setelah kita sanggup dengan konsisten berpijak pada kesetaraan dalam komunikasi interpersonal dengan perempuan korban kekerasan, kita akan mampu bersikap terbuka, berempati, menampilkan sikap positif sekaligus suportif secara tulus dalam komunikasi interpersonal yang sifatnya resiprokal dan mutual dengan perempuan korban kekerasan tersebut. Yang perlu diingat adalah bahwa membangun komunikasi interpersonal dengan perempuan korban kekerasan bukanlah sesuatu yang sifatnya instan. Membangun komunikasi interpersonal dengan perempuan korban kekerasan adalah proses panjang, karena pada dasarnya mereka sulit menaruh kepercayaan pada orang lain di luar diri mereka. Hal inilah yang menuntut konselor Rifka Annisa Women’s Crisis Center menyediakan diri selama 24 jam siaga bagi perempuan korban kekerasan yang

(9)

Referensi

DeVito, Joseph A. 2001. The Interpersonal Communication Book, 9th edition. New York:

Longman

Silawati, Hartian. 2001. Menggagas Women’s Crisis Center di Indonesia. Yogyakarta: Rifka Annisa WCC

Hakimi, Mohammad, dkk. 2001. Membisu Demi Harmoni: Kekerasan Terhadap Istri dan Kesehatan Perempuan di Jawa Tengah Indonesia. Yogyakarta: LPKGM–FK-UGM

Hayati, Elli Nur. 2001. Menggugat Harmoni. Yogyakarta: Rifka Annisa WCC

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian dapat diketahui hasil perhitungan keseluruhan kebutuhan tenaga kerja rencana yang di butuhkan di proyek pembangunan gedung poliklinik RSUD

Information value (IV) memiliki pengaruh positif terhadap user attitude (UA) sehingga diambil kesimpulan bahwa semakin baik information value yang didapat

Praktik penentuan harga kentang di Desa Erelembang petani dapat melakukan tawar menawar pada saat melakukan penjualan ke para pedagang yang pada saat itu ada pedagang

pemasaran (Tabel 3). Pada saluran pemasaran I, jika dilihat dari perolehan keuntungan dan biaya yang dikeluarkan terlihat terjadi perbedaan. Akumulasi biaya

Pengaruh Sosialisasi Perpajakan, Persepsi Wajib Pajak tentang Penerapan PP Nomor 23 Tahun 2018, Perubahan Tarif, dan Pemahaman Perpajakan terhadap tingkat Kepatuhan

[r]

IDRN has been initiated by Ministry of Home Affairs (MHA) in collaboration with United Nations Development Program (UNDP) to systematically build the disaster resource

Dengan menerapkan model pembelajaran Kooperatif tipe Team Assisted Individualization (TAI) di kelas X MIA 7 SMA Negeri 1 Karanganyar penelitian ini diharapkan