RUANG KAJIAN
Latar Belakang Masalah
Pemerintahan demokratis
me-rupakan pemerintahan dari rakyat,
oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Demokrasi adalah sesuatu yang
berat, bahkan mungkin merupakan bentuk pemerintahan yang paling rumit dan sulit, serta banyak ke-tegangan dan pertentangan. Demo-krasi dirancang demi
pertanggung-jawaban politik (political
account-ability) kepada rakyat.
Sekarang ini semua pihak, baik nasional ataupun internasional, telah mengakui bahwa Indonesia merupa-kan salah satu negara demokratis yang besar. Bagi bangsa Indonesia sistem politik demokratis merupakan sebuah keputusan final yang mesti tetap dipertahankan, bukan hanya saat ini tetapi juga untuk masa mendatang. Hampir dapat dipastikan
hanya dengan sistem tersebutlah
Indonesia dapat mewujudkan per -satuan dalam kebhinekaan bangsa ini (Bhineka Tunggal Ika) dalam rangka character building and nation building. Implementasi sistem demokrasi di negara Indonesia – sejak Orde Lama, Orde Baru, dan kini Orde Reformasi – telah mengalami pasang surut. Di zaman Orde Lama, di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno, Indonesia menganut sistem
demo-krasi terpimpin (guided democracy
system) dan hanya satu kali melaksanakan pemilu yaitu di tahun 1955. Selanjutnya di zaman orde Baru, selama 32 tahun di bawah
kepemimpinan Presiden Soeharto,
Indonesia menerapkan sistem demo-krasi Pancasila, tetapi pada
prak-tiknya lebih mengarah pada
pe-merintahan yang otoriter. Ini bisa dibuktikan misalnya dengan
pelak-KOMUNIKASI POLITIK DAN DEMOKRATISASI DI
INDONESIA: DARI KONSOLIDASI MENUJU PEMATANGAN
Idham Holik
Abstract
The term ‘political communication’ and ‘democracy’ are two sides of a coin. The freedom of political communication fosters democratization which there are check and balances mechanism. A key instrument of political communication is mass media. Media freedom should be guaranted by the law of Indonesia state. Media is a determinant factor for political decisions, for the example, voter turnout and a winner of the election is highly influenced by media. Media democracy has created celebrity politicians. So, in the internet era, the democracy is growing into electronic democracy which internet is a channel of political communication. Thus, better political communication is a way of empowering democracy consolidation and finally toward democracy maturation.
57
sanaan program depolitisasi pada
tahun 1972 dimana Pemerintah
melakukan fusi paksa 10 partai politik – yang menjadi peserta Pemilu 19971 – menjadi 3 partai politik yaitu Partai
Persatuan Pembangunan (PPP),
Golongan Karya (Golkar), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Ketiga
partai tersebut menjadi peserta
pemilu mulai Pemilu 1977 sampai dengan Pemilu 1997. Selama itu pula tidak ada kebebasan politik bagi rakyat.
Kemudian sejak reformasi politik tahun 1998, tepatnya 20 Mei 2008 dimana Presiden Soeharto menyata-kan mengundurmenyata-kan diri, Indonesia memasuki babak baru kehidupan politik yaitu sistem demokrasi yang sebenarnya – tanpa embel-embel nama dibelakangnya, tapi banyak juga kalangan yang menyatakan itu sebagai demokrasi liberal.
Dalam pandangan Syamsudin
Haris, seorang peneliti LIPI, menyata-kan bahwa demokrasi bergerak dari pembusukan sebuah rezim otoriter,
melewati masa transisi, menuju
konsolidasi, dan akhirnya menuju pematangan. Mengenai transisi, Juan J. Linz dan Alfred Stepan menyata-kan:
“A democratic transition is complete when sufficient agreement has been reached about political procedures to produce an elected government, when a government comes to power that is the direct result of a free and popular vote, when this government de facto has the authority to generate new policies, and when the executive, legislative and judicial power generated by the new democracy does not have to share power with
other bodies de jure” (Haris dalam Maruto et al, 2002. p.5).
Mengenai hasil akhir dari transisi demokrasi, Larry Diamond secara kategoris membedakan munculnya
dua kecenderungan utama, yaitu
yang bermuara pada suatu kon-solidasi demokrasi minimalis atau
demokrasi pemilihan (electoral
demo-cracy) di satu pihak, dan konsolidasi
demokrasi liberal (liberal democracy)
di pihak lain. Bagi Diamond, demokrasi benarbenar terkonsolidasi apa -bila ia mengarah pada demokrasi liberal. Lalu Diamond juga menegas-kan bahwa konsolidasi demokrasi ditandai dengan terbentuknya suatu perilaku dan sikap, baik di tingkat elite maupun massa, yang mencakup dan bertolak dari metode dan
prinsip-prinsip demokrasi (Haris dalam
Maruto et al, 2002, p.6-7). Setelah fase konsolidasi demokrasi dapat dilalui, maka demokrasi selanjutnya memasuki fase pematangan
demo-krasi (democracy maturation), yang
dicirikan dengan adanya keterbukaan atau transparansi publik, keadaan
bebas dari kekerasan
sewenang-wenang, persamaan hak, keadilan, kesadaran politik yang tinggi, serta
institusi-institusi demokrasi sudah
mahir mengelola setiap krisis yang muncul akibat pertentangan politik (lihat juga Chaniago dalam Maruto et al, 2002, p.24).
Banyak kalangan yang menyata-kan bahwa masa transisi demokrasi di Indonesia itu telah dilalui, dimana
telah sukses terselenggaranya
58
sejak menjelang Pemilu 2004 yang lalu. Dan sebentar lagi Indonesia akan menyongsong penyelenggaraan Pemilu 2009, selanjutnya muncullah
pertanyaan apakah pada pemilu
tersebut nanti bangsa Indonesia
sudah bisa memasuki masa
pematangan demokrasi. Pertanyaan tersebut saat ini agak sulit untuk
dijawab karena jawaban tersebut
kembali kepada perilaku politik
bangsa ini.
Dalam pemerintahan demokratis, menurut M. Alwi Dahlan (1999), komunikasi adalah unsur esensial bagi demokrasi, melekat pada konsep demokrasi itu sendiri. Banyak
ilmu-wan politik ataupun komunikolog
yang menegaskan bahwa komunikasi memiliki peran vital dalam sistem politik demokrasi. Gabriel Almond
(1960) menyatakan “All of the
functions performed in the political system – political socialization and recruitment, interest articulation, inte-rest aggregation, rule making, rule application, and rule adjudication –
are performed by means of
communication” (Rauf, et al (Edts), 1993.p.22). Reed H. Blake dan Edwin O. Haroldsen (1975) mendeskripsikan “political communication is commu-nication that has actual or potential effects on the functioning of a political state or other political entity” (p.4). Bahkan Dan Nimmo (1978)
me-negaskan “....small wonder that
democracy – often called government by public opinion...”(p.8).
Pada artikel ini penulis berusaha
mendeskripsikan secara ringkas (brief
description) dari luasnya kajian peran
komunikasi politik dalam proses
demokratisasi di Indonesia – fase transisi, konsolidasi, dan pematang-an. Artikel dibagi ke dalam tiga sub
tema yaitu Media Massa dan Sistem Politik Demokratis, Komunikasi Politik dan Pemilu Demokratis, dan Demo-krasi Elektronik.
Media Massa dan Sistem Politik Demokratis
1. Peran Media Massa (Media
Power)
Komunikasi politik di dalam
negara yang menganut sistem politik demokratis lebih menekankan pada peran media dalam setiap aktivitas politik. Bahkan para ahli komunikasi menyatakan bahwa media massa
merupakan sebagai fourth estate,
setelah eksekutif, legislatif, dan
yudikatif –dalam pemikiran politik
Trias Politika. Hal ini juga ditegaskan oleh Thomas Carlyle (1907) yaitu “The press is a power, a branch of government with an inalienable weight in law-making, derived from the will of the people”.
James Curren (2002), dalam
buku Media and Power, menyatakan ada tiga peran media dalam sistem
politik demokratis yaitu, pertama,
watchdog role; media harus memonitor semua aktivitas negara,
dan berani mengungkap
penyalahgunaan kekuasaan. Agar
peran ini optimal, maka dibutuhkan
adannya free market dan
deregulation untuk media. Kedua,
information & debate; media mesti
mampu memberikan saluran
komunikasi antara pemerintah dan rakyat. Untuk hal itu, media harus
membuat forum dialog (a forum of
debate) dimana rakyat dapat
mengidentifikasi masalah,
mengajukan solusi, membuat
kesepakatan dan memandu arah
59
direction of society). Dan ketiga,
voice of the people; media
mengantarkan kepentingan rakyat
kepada pemerintah, ini adalah
kulminasi dari misi media. Media
berbicara untuk rakyat, dan
merepresentasikan pandangan dan kepentingan mereka dalam wilayah
publik (the public domain)
(p.217-227).
Media merupakan sarana
masyarakat, pemerintah, partai
politik, lembaga non-pemerintah,
pressure group, dan lain sebagainya
untuk saling berhubungan (atau
berkomunikasi) satu sama lain, yang akhirnya mampu menciptakan kondisi demokrasi yang lebih baik. Untuk melihat posisi media dalam proses
komunikasi politik, penulis
menggunakan bagan hubungan
elemen-elemen komunikasi politik
menurut pemikiran Brian McNair
(1995) berikut.
Selain peran penting media
seperti yang telah dideskripsikan
tersebut di atas, menurut Donald Shaw & Maxwell McComb bahwa media memiliki kemampuan
meng-arahkan agenda kebijakan suatu
pemerintahan. Hal ini tergambar
dalam fungsi agenda-setting media. Fungsi tersebut merupakan sebuah
proses linear dari tiga bagian (a
three-part linear process) yaitu
pertama, media agenda merupakan
prioritas isu-isu yang ditampilkan
media mesti di-set; kedua, media
agenda berpengaruh atau
ber-interaksi dengan apa yang publik
pikirkan, atau ini disebut public
agenda; dan ketiga, public agenda berpengaruh atau berinteraksi de-ngan apa yang dianggap penting oleh Bagan 1: Hubungan Tiga Elemen Komunikasi Politik
Sumber : Harsono Suwardi (2003),Modul Mata Kuliah Komunikasi Politik, Jakarta: FISIP Program S-2 Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia, tak diterbitkan.
Media
Audience/Citizen
Reportage Editorials Commentary Analysis
Opinon Polls Letters Appeal Programmes Advertising Public Relations Reportage
Editorials Commentary Anlaysis
-Govenment - Political party - Public organization - Pressure group - Terrorist group
60
pembuatan kebijakan atau ini disebut policy agenda (Littlejohn, 2002. p.319-320). Rangkaian proses ter-sebut digambarkan sebagai berikut.
Bagan 2: Fungsi Agenda-Setting Media Media Agenda→ Public Agenda→
Policy Agenda
Di Indonesia dengan jelas bisa
kita lihat aplikasi fungsi agenda
setting tersebut dimana misalnya
media massa Indonesia senantiasa
mengawal pelaksanaan kebijakan
pemerintah tentang pemberantasan korupsi – dengan cara terus meliput
peristiwa kejahatan korupsi dan
melakukan investigative report
ten-tang hal tersebut seperti pada akhir Maret media memberitakan kasus aliran dana dari Bank Indonesia kepada anggota DPR sebesar Rp 2,5 milyar dan US$ 145 ribu.
2. Public Sphere dan Kebebasan Media (Pers)
Menurut Edward S. Herman dan
Robert W. McChensey (1997),public
sphere ialah segenap tempat dan
forum dimana segala isu yang
memiliki makna penting bagi
ko-munitas politik didiskusikan dan
diperdebatkan, dan dimana arus
informasi yang esensial bagi
par-tisipasi warga dalam kehidupan
kemasyarakatan disajikan (Armando, 2002, p. 215). Dalam sistem politik demokrasi, media massa memainkan peran yang sangat penting sebagai
instrumen public sphere. Denis
McQuail (2000) menegaskan “....The
media are now probably the key institution of the public sphere, and its ‘quality’ will depend on the quality of
media” (p.502). Jadi kualitas public sphere kembali pada media itu sendiri, sedangkan tidak lepas dari media owner’s interest. Inilah tantangan media di tengah arus
demokratisasi, mampukah media
menampilkan jati dirinya sebagai
watchdog role and voice of the people.
Ade Armando (2002)
menyata-kan bahwapublic sphere merupakan
wilayah vital bagi demokrasi yang mengasumsikan bahwa setiap warga negara terlibat aktif dalam proses pengambilan keputusan menyangkut kehidupan bersama, dan untuk itu warga negara membutuhkan
infor-masi yang memadai. Jadi public
sphere merupakan representasi dari
partisipasi politik rakyat (the people’s
political partisipation) dalam rangka
mekanismecheck and balances.
Untuk mendukung konseppublic
sphere tersebut mesti adanya
kebebasan media atau pers (media
freedom). Kebebasan media menjadi indikator yang paling lazim untuk mengukur berlangsung tidaknya per-lindungan hak-hak asasi manusia
atau demokratis tidaknya sistem
politik di sebuah negara. Tidak ada negara demokratis, tanpa kebebasan media.
Kebebasan media di negara
demokrasi, seperti Indonesia, sangat
membantu proses perkembangan
konsolidasi demokrasi menuju pe-matangan demokrasi. Dengan ada-nya kebebasan media telah men-datangkan manfaat publik yang besar seperti yang diungkapkan oleh Denis McQuail (2000) yaitu:
61
those in power and an adequate supply of reliable information about their activities (this refer to the ‘watchdog’ or critical role of the press); stimulation of an active and informed democratic system and social life; the change to express ideas, beliefs and views about the world; continued renewal and change of
culture and society; and
increase in the amount and variety of freedom available” (p.168).
Kebebasan media (pers) bisa
terwujud setidak-tidaknya dengan
tidak adanya pensensoran berita dan opini media massa yang dilakukan oleh pemerintah dan adanya ke-bebasan bagi warga negara dalam
mengakses berita media massa.
Negara Indonesia termasuk negara
yang menganuta social responsibility
paradigm dimana kebebasan yang
dimiliki pers tetap saja
menge-depankan pertanggungjawaban sosial atas isi pemberitaannya. Selanjutnya, hal yang terpenting dalam prinsip
kebebasan pers adalah dimana
negara menjamin secara hukum
kebebasan pers tersebut.
Di Indonesia, praktik kebebasan
media (pers) di awal reformasi
dijamin oleh UU No. 40 Tahun 1999
tentang Pers, yang tidak lagi
menganut politik hukum kriminalisasi pers. UU tersebut menyatakan bahwa pertama, “kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara”
(Pasal 4 ayat 1); kedua, “untuk
menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak untuk men-cari, memperoleh, dan menyampai-kan gagasan dan informasi” (Pasal 4
ayat 2); ketiga, “untuk menjamin
kemerdekaan pers, pers nasional
mempunyai hak mencari,
mem-peroleh, dan menyebarluaskan gaga-san serta informasi (Pasal 4 ayat 3); dan keempat, “dalam melaksanakan profesinya, wartawan mendapat per-lindungan hukum” (Pasal 8).
Tetapi pada perkembangan se-lanjutnya, mulai tahun 2002, ke-bebasan pers di Indonesia mulai
terancam yaitu pertama, dengan UU
Penyiaran No. 32 tahun 2002, dimana
dalam beberapa pasal
meng-akomodasi politik hukum yang lebih kejam. Isi siaran televisi – termasuk karya jurnalistik – bermuatan fitnah, hasutan, menyesatkan, dan bohong
diancam dengan pidana penjara
bukan hanya sampai lima tahun, juga dapat ditambah dengan denda paling
banyak 10 milyar rupiah.Kedua, pada
tanggal 25 Maret 2008, RUU
Informasi dan Transaksi Elektronik telah ditetapkan. Pasal 27 ayat 3 dan
Pasal 45 ayat 1 UU Informasi
Transaksi Eletronik tersebut dapat
dibaca bahwa pers yang
men-distribusikan karya jurnalistik memuat penghinaan dan pencemaran nama baik dalam wujud informasi elektronik
diancam dengan pidana penjara
paling lama enam tahun dan/atau denda sampai satu milyar rupiah. Ketiga, pada tanggal 3 April 2008,
RUU Keterbukaan dan Informasi
Publik telah ditetapkan. Pasal 51 UU KIP menyatakan, “Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan infor-masi publik secara melawan hukum
dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 tahun dan/atau pidana denda paling banyak 5 juta rupiah. Judulnya keterbukaan, isinya ancam-an penjara. UU tersebut mengatur
informasi rahasia dan informasi
62
terbuka untuk publik, tetapi masih dengan ancaman. Pasal dalam UU tersebut dimaksudkan untuk meng-hambat efektivitas jurnalisme inves-tigasi untuk menggunakan informasi publik dalam mengungkap kebobrok-an birokrasi dkebobrok-an BUMN. Dkebobrok-an terakhir, keempat, Menteri hukum dan HAM
Kabinet SBY-JK telah
memper-siapkan RUU KUHP, yang lebih kejam dari KUHP buatan pemerintah kolonial Belanda (1917). KUHP – berisi 37 pasal yang telah mengirim orang-orang pergerakan dan pers ke penjara Digul – selama 63 tahun ini masih digunakan untuk memenjara-kan wartawan. Kini, RUU KUHP bukannya disesuaikan dengan kon-sepgood governancejustru berisi 61
pasal yang dapat memenjarakan
wartawan.
Di Indonesia sejak pasca refor-masi hingga kini telah terjadi banyak kasus kriminalisasi terhadap media atau pers di Indonesia misalnya pada tanggal 28 Agustus 2007 Majelis Hakim Mahkamah Agung memvonis
Majalah Time Asia membayar ganti
rugi satu trilyun rupiah kepada
mantan Presiden Soeharto. Ini di-sebabkan atas laporan investigasi
Time edisi 24 Mei 1999 tentang
bagaimana mantan Presiden Soe-harto membangun kekayaan keluarga
dinilai mencemarkan nama baik
Soeharto. Sedangkan, menurut Leo Batubara (Wakil Ketua Dewan Pers Indonesia), berdasarkan UU pers,
pemberitaan Time itu adalah karya
jurnalistik dan kalaupun divonis men-cemarkan nama baik, hukumannya maksimum lima ratus juta rupiah.
Kebijakan pemerintah yang se-makin kurang berpihak pada ke-bebasan pers tersebut akan mem-bahayakan proses demokratisasi dan dikhawatirkan akan mengarah pada pemerintahan yang tak demokratis. Kini sudah saat ini Pemerintah coba melihat kembali kepada esensi tujuan reformasi di Indonesia, yaitu mem-berikan kebasan politik bagi rakyat dan media massa.
3. Jurnalisme Publik
Jurnalisme bukan persoalan
praksis pemberitaan saja, tetapi juga merupakan manifestasi komunikasi politik. Kovach & Rosentiel (2001) menyatakan bahwa salah satu prinsip
jurnalisme yaitu jurnalisme harus
menghadirkan sebuah forum untuk kritik dan komentar publik. Selanjut-nya juga mereka menegaskan bahwa jurnalisme ada untuk membangun
kewargaan (citizenship) dimana
hak-hak warga negara terpenuhi. Jadi, jurnalisme ada untuk demokrasi.
Dewasa ini kajian jurnalisme
sudah berkembang menjadi jurnal-isme publik. Dengan adanya penam-bahan kata publik pada jurnalisme diharapkan dapat lebih memfokuskan konsep bahwa aktivitas jurnalisme adalah milik publik, bukan hanya milik industri media (jurnalisme berbasis pasar), pemerintah, bahkan bukan milik profesi jurnalis itu sendiri.
63
Jurnalisme publik bersumber dari publik untuk publik. Ini memiliki peran yang sangat signifikan dalam politik. Peran tersebut yaitu jurnalisme publik mampu meningkatkan proses demo-kratisasi seperti yang diungkapkan oleh Charity (1995.p.6-7) sebagai
berikut “reducing issues to choices,
plumbing to core values, spelling out the costs and consequences of each choice, bridging the expert-public gap, facilitating deliberation, and promoting civility” (dalam Adiputra 2006.p.99).
John Dewey menyatakan tujuan sejati demokrasi yaitu kebebasan
manusia dimana memungkinkan
orang mengembangkan potensi me-reka sepenuhnya (Kovach &
Rosen-tiel, 2001.p.24). Ini sangatcompatible
dengan konsep jurnalisme publik Dengan dukungan kemajuan ICT atau kamera digital yang canggih dan massif, dewasa ini konsep jurnalisme publik semakin diberikan ruang luas oleh industri media di Indonesia, baik media siaran ataupun cetak. Misalnya sudah lama banyak stasiun radio
siaran memberikan ruang bagi publik untuk menyampaikan reportasenya tentang suatu peristiwa, misalnya radio FM Elshinta. Selanjutnya juga saat ini stasiun televisi Metro TV
tahun mulai Maret 2008
me-nayangkan program i-Witness, di-mana publik indonesia dapat
me-ngirimkan news strory ke program
tersebut untuk ditayangkan.
Komunikasi Politik dan Pemilu Demokratis
1. Pemilu sebagai Bentuk Kedaulat-an Rakyat
Dalam sistem politik demokratis,
pemilihan umum (election)
64
“Democracy is not just a system in which elites acquire the power to rule through a competitive struggle for the people’s vote. It is also a political system in which
government must be held
accountable to the people, and in which mechanisms must exist for making it responsive to their passions, preference, and interests” (dalam Chaniago, 2002,p.33).
Jadi dalam konteks komunikasi
politik, pemilu merupakan bentuk
komunikasi dua arah antara partai dan kandidat politik dengan rakyat
(pemilih). Kedua entitas tersebut
mempersuasi para calon pemilih
dengan cara menawarkan program politik bahwa mereka sangat layak dipilih untuk memimpin pemerintahan ke depan.
Pasca Reformasi 1998, p emilu di Indonesia menggunakan sistem multi-partai. Pemilu demokratis tersebut diselenggarakan pada tahun 1999 dan 2004. Pasca pemilu nasional 2004 tersebut, pada tahun 2005, Indonesia mulai melaksanakan pe-milihan kepada daerah dan wakil
kepala daerah (Pilkada) untuk
gubernur dan wakil gubernur dan bupati dan wakil bupati serta walikota dan wakil walikota. Sebentar lagi tahun 2009 Indonesia akan me-nyelenggarakan pemilu yang ketiga kalinya.
Pemilu yang pertama, tahun
1999, diikuti sebanyak 48 partai
politik peserta pemilu dan
di-selenggarakan dengan sistem propor-sional daftar calon tertutup. Selan-jutnya pada pemilu kedua, tahun 2004, telah terjadi perubahan yang sangat signifikan yaitu, bukan hanya
dapat memilih langsung calon angota legislatif (DPR dan DPD) saja, tetapi juga calon presiden. Pemilu legislatif ini diikuti oleh 24 partai politik peserta pemilu dengan sistem proporsional daftar calon terbuka (untuk DPR) dan sistem milih langsung (untuk DPD). Selanjutnya untuk pemilu presiden diikuti oleh 5 pasang calon presiden. Menurut Ignas Kleden (2004), pemilu tersebut dianggap amat penting dan
mungkin lebih penting daripada
pemilu-pemilu sebelumnya, karena
pertama kalinya diadakan pemilu
secara langsung pada berbagai
tingkatan pemilihan, mulai dari pemilu legislatif 5 April 2004 sampai pemilu presiden putaran I 5 Juli 2004 dan putaran II 20 September 2004.
Diawali pada Pemilu 2004 yang lalu, berdasarkan UU No. 30 tahun 2003 tentang Partai Politik dan UU No.12 tahun 2004 tentang Pemilu,
Indonesia mulai menerapkan
affir-mative action yaitu dimana
ke-pengurusan partai politik atau
komposisi calon legislatif minimal
sekurang-kurangnya terdiri dari 30 persen perempuan. Terobosan baru keadilan gender dalam politik ter-sebut, sayangnya, tidak diiringi
ke-mampuan persuasi politik partai
politik dan calon legislatif perempuan, sehingga tidak mendapat dukungan dari kalangan pemilih perempuan –
terbukti dengan sedikitnya caleg
perempuan terpilih, padahal prosen-tase perempuan Indonesia lebih dari 51 persen. Ini membuktikan pada kita bahwa komunikasi politik di Indonesia
masih bias gender dan didominasi
budaya patriarki.
65
tetapi mulai tahun 2005, PDI Per-juangan dengan tegas memposisikan dirinya sebagai partai oposisi. Ini menunjukan bahwa komunikasi politik di Indonesia semakin baik dalam
mekanisme check and balances,
dimana ada pihak yang mendukung kebijakan pemerintah dan sebaliknya
juga ada pihak yang selalu
mengkritisi kebijakan tersebut. Kon-sep oposisi tersebut juga ditegaskan oleh Megawati Soekarnoputri, yaitu
bertujuan menegakan kehidupan
demokrasi yang sehat,
memper-juangkan terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat dan sekaligus juga memberikan solusi-solusi alter-natif bagi kemajuan dan kemakmuran bangsa Indonesia.
Untuk Pemilu 2009 nanti, banyak kalangan memprediksi jumlah partai politik peserta pemilu akan melebihi Pemilu 2004, seperti misalnya M. Alfan Alfian (2008), Direktur Akbar
Tanjung Institute memprediksi
jumlahnya bisa 30-an partai politik. Pada pendaftaran peserta Pemilu 2009, sampai pada tanggal 12 April
2008, sudah 69 partai yang
mendaftar, diketahui 7 diantaranya memiliki kepengurusan ganda. Bagi
Alfian ini merupakan ekspresi
antipartai yang anomalik, yakni tat-kala ketidaksukaan pada partai politik
justru direspon dengan pendirian
partai-partai tandingan.
Banyaknya partai politik, bagi penulis, ini tidak menguntungkan bagi proses demokrasi di Indonesia yang sedang mau beranjak dari konsolidasi menuju pematangan, karena bertensi memunculkan fragmentasi po-litik. Partai semakin jauh dari
ke-pentingan rakyat, hanya
menge-depankan kepentingan elit-elit partai untuk berkuasa.
2. Amerikanisasi Kampanye dan Selebritisasi Politik
Selama pemerintahan Orde
Lama dan Orde Baru, kampanye politik di Indonesia dominan diisi oleh
bentuk-bentuk pengerahan massa
dan terbatasnya penggunaan media massa sebagai alat kampanye. Tapi dewasa ini, sistem politik demokrasi telah merubah strategi kampanye
partai politik Indonesia dalam
mengikuti pemilu yaitu menggunakan konsultan komunikasi profesional dan media massa. Inilah yang disebut
sebagai americanization of political
campaign.
Dedy N. Hidayat (2004)
me-nyatakan bahwa the third wave of
democratization dimanfaatkan para electioneeratau konsultan kampanye
profesional dari Amerika untuk
melakukan ekspansi global,
mengekspor jasa konsultasi strategi, taktik, dan teknik pemenangan pemilu ke berbagai negara demokrasi baru.
Di Indonesia, menjelang Pemilu 2004, mulai bermunculan industri
kampanye pemilu, atau bisnis the
selling of the president, dan sekarang semakin pesat berkembang. Ratusan
mahasiswa dan sarjana ilmu
komunikasi Indonesia telah direkrut
sebagai tenaga profesional
non-partisan dalam berbagai tim kam-panye partai politik, calon presiden, atau calon anggota legislatif, serta
sejumlah agen periklanan dan
kehumasan (domestik dan asing)
juga telah menerima kontrak
pelaksanaan kampanye.
Fenomena amerikanisasi kam-panye politik telah melahirkan
bebe-rapa kecenderungan, yaitu pertama,
peran media massa dalam kampanye
terus meningkat dan memainkan
66
menggantikan jenis kampanye per-temuan terbuka seperti apel akbar
atau bentuk-bentuk pengerahan
massa lainnya dan pertemuan
tertutup seperti dialog dengan para pemilih. Keberhasilan kegiatan
kam-panye sangat ditentukan oleh
rekayasa dan kemasan penampilan partai atau kandidat di media massa termasuk pendanaan kampanye yang besar – sangat sulit bagi partai atau kandidat yang minim permodalan
dapat memenangkan pemilu.
Kecenderungan kedua, peran
kon-sultan profesional (professional
elec-tioneer) dari luar partai (Thurber dan
Nelson, 2000), dan semakin
menggeser peran para "amatir" dari
kalangan kader partai sendiri
(Johnson, 2000). Kecenderungan
ketiga, kian terfokusnya kampanye pada individu kandidat atau tokoh wakil partai. Hal ini membuat pemilu seolah kontes antarindividu, bukan lagi antarpartai (Mughan, 2000).
Pada hakikatnya wacana
“amerikanisasi” tidak hanya
ber-hubungan dengan kampanye saja melainkan juga dengan perkembang-an umum komunikasi politik yperkembang-ang
terkait dengan istilah “demokrasi
media”. Inti dari demokrasi media
adalah analisa bahwa seluruh
komunikasi politik sebuah negara tunduk kepada aturan-aturan yang ditetapkan media massa menyangkut
langkah-langkah penyeleksian dan
menarik perhatian pemirsa.
Praktik komunikasi politik ber-basiskan media ini telah menciptakan
selebritisasi politik. John Street
(2004) ataupun West & Orman (2002) pada umumnya menyatakan bahwa selebritisasi politik bukan sekedar mengarah pada artis yang masuk bidang politik, melainkan politisi yang
diberi kesempatan banyak muncul di media khususnya televisi (Gazali, 2008). Inilah yang disebut sebagai politisi selebriti. Politisi ini biasanya
dibantu olehspin doctoryang bekerja
dalam bidang rekaman (record
company) dan film, serta yang ter-penting adalah tugasnya mengelola citra politisi tersebut. Pada akhirnya, politisi selebriti selalu berada dalam
wilayahpopular culture.
Pemilu Presiden 2004 bisa kita sebut sebagai awal politisi selibriti dimana ditandai dengan kemenangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai presiden. Kemudian diper-tegas lagi dengan kemenangan Rano Karno sebagai Wakil Bupati Tange
-rang pada Pilkada Kabupaten
Tangerang 2007 ataupun Dede Yusuf sebagai Wakil Gubernur Jawa Barat dalam Pilkada Provinsi Jawa Barat.
3. Partisipasi Pemiih
Partisipasi politik dalam pemilu sangat menentukan kualitas demo-krasi dan pemerintahan suatu negara di masa mendatang. Perihal perilaku
memilih (voting behavior) seorang
individu itu sangatlah unik, karena banyak variabel yang mempenga-ruhinya. Bisa dikatakan juga perilaku memilih dipengaruhi oleh kelompok, karena memilih merupakan bukan
hanya sebagai an individual activity
tetapi lebih pada sebagaia collective
activity(Evan, 2004).
Sekarang di Indonesia, kencen -derungan perilaku pemilih itu dapat dilihat dari hasil survei opini publik (public opinion poll) dan survei
pasca-memilih (exit poll) yang dilakukan
67
institusi media penerbitan/penyiaran
melakukan polling (real-time poll),
seperti misalnya Kompas Online,
Tempo Interaktif, dll.
M. Harrop dan W. Miller (1987),
dalam Elections and Voters: A
Comparative Introduction,
menggam-barkan tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi perilaku pemilih
(Evan, 2004). Hal tersebut mereka
konseptualisasikan dalam bagan
berikut ini.
Bagan tersebut menggambarkan
bahwa identifikasi partai politik (party
identification) yang dilakukan oleh
pemilih, itu bersumber pada
ke-anggotaan kelompok (group
member-ship) dan pengaruh keluarga (family
influence). Kemudian identifikasi par-tai tersebut akan mengarahkan pada tiga jenis sikap yaitu, sikap terhadap
kebijakan partai (attitude to policies),
sikap terhadap manfaat kelompok (attitude to group benefits); dan sikap
terhadapt kandidat (attitude to
candidates). Hasil identifikasi
ter-sebutlah yang akan menentukan
pilihan politik seorang pemilih dalam pemilu.
Banyak juga pemilih di Indonesia
melakukan split ticketing dalam
memilih. Perilaku memilih tersebut
dilakukan dengan cara membagi
pilihan politik untuk partai atau
kandidat yang berbeda. Misalnya
dalam pemilu legislatif, untuk DPR-RI pilihan dijatuhkan pada partai politik
A, untuk DPR Provinsi pilihan
dijatuhkan pada partai politik B, dan
untuk DPRD Kab/Kota pilihan
dijatuhkan pada partai politik C.
Selain itu juga banyak dari pemilih
Indonesia tergolong swinging voter,
yaitu berganti-ganti pilihan politik
pada saat pemilu yang berbeda, dan
ini sering juga dikenal sebagaiprotest
voter (pemilih protes) yaitu pemilih yang tak puas dengan kebijakan politik pemerintah sebelumnya. Misal-nya kemenangan PDI Perjuangan pada Pemilu 1999 dengan perolehan suara 33,7 persen, yang selama Orde Baru partai tersebut belum pernah memenangkan pemilu, karena PDI Perjuangan sebagai simbol
perlawan-an terhadap Orde Baru. Perilakusplit
ticketing dan swinging voting ini
merepresentasikan perilaku dari
floating mass. Ini disebabkan
ren-dahnya kualitas civic or poltical
education.
Partisipasi pemilih pada pemilu pertama, tahun 1999, sebesar 93,3 persen. Ini merupakan prosentase yang luar biasa, dimana animo politik
masyarakat Indonesia menaruh
68
harapan yang besar terhadap
perubahan politik pasca Orde Baru yang telah mengarah pada rezim
otoriter. Kemudian pada Pemilu
Legislatif 2004, partisipasi pemilih turun menjadi 84,1 persen dan pemilu
dimenangkan oleh Partai Golkar
dengan perolehan suara 21,58
persen. Lalu untuk partisipasi Pemilu Presiden (Pilpres) juga terus turun yaitu pada Pilpres I sebesar 78,5 persen dan semakin turun pada Pilpres II menjadi 76,7 persen.
Selanjutnya untuk Pilkada tahun 2005, partisipasi pemilih hanya 73,1 persen. Ini bersumber dari hasil riset
yang dilakukan Lingkaran Survei
Indonesia pada saat pemilihan Pil-kada di 176 provinsi/kabupaten/kota. Lalu berdasarkan pengamatan pe-nulis, untuk tahun 2006-2008, par-tispasi pemilih pada pilkada berkisar sekitar 60-an persen, semakin terus merosot.
Rendahnya partisipasi atau
tingginya fenomena golput dalam
setiap pemilu di Indonesia seolah
menguatkan pertanyaan Anthony
Giddens, dalam Runaway World,
How Globalization is Reshaping Our Lives (1999), haruskah kita me-nerima, lembaga-lembaga demokrasi
tersingkir pada titik di mana
demokrasi justru marak? Sebenarnya
fenomena apatisme masyarakat
terhadap pemilu bukan hanya khas Indonesia. Di negara-negara yang
jauh lebih matang demokrasinya
terjadi penurunan antusiasme politik
yang lebih besar. Giddens
menyebutnya sebagai paradoks
demokrasi. Ketika demokrasi
menyebar ke seluruh dunia, justru di negara-negara yang demokrasinya sudah maju timbul kekecewaan atas
proses demokrasi. Kepercayaan
terhadap politisi menurun. Orang
yang menggunakan hak pilih dalam pemilu menyurut. Semakin banyak orang yang tidak tertarik pada politik parlemen, terutama dari kelompok muda.
Untuk fenomena di Indonesia, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, Sura-baya, Kacung Marijan, menyatakan apatisme masyarakat timbul akibat kekecewaan karena tidak adanya perubahan signifikan yang dirasakan
rakyat. Saat reformasi digulirkan,
harapan masyarakat luar biasa besar. Namun, elite yang berkuasa tidak
membawa perubahan yang lebih
nyata dan bermanfaat bagi
masyarakat. Masyarakat lalu
ke-hilangan kepercayaan pada politisi dan prosedur demokratik.
Partai politik sebagai salah satu pemegang kunci untuk membangun kepercayaan konstituennya harusnya
bisa menumbuhkan harapan
per-ubahan. Namun, seperti yang di-ungkap Kacung, kepercayaan masya-rakat pada partai atau pejabat politik justru terus merosot. Mayoritas parpol
terbukti hanya menyentuh
kons-tituennya di saat-saat menjelang
pemilu, dengan tujuan pragmatis
mengumpulkan suara. Setelah pesta usai, peran parpol seperti hilang begitu saja. Ini menujukkan pada kita bahwa partai atau pejabat politik di
Indonesia selalu mengambaikan
permanent campign, yaitu tidak mau atau mampu melaksanakan program-program politik yang ditawarkan pada
saat kampanye. Misalnya
Peme-rintahan SBY-JK yang menjanjikan
perubahan pada saat kampanye
Pemilu 2004, tapi kenyataannya
69
pemerintah tak mampu memberikan solusi yang tepat sasaran.
Jika perilaku partai dan penjabat
politik tak berubah, boleh jadi
apatisme masyarakat pada Pemilu 2009 akan meningkat lebih jauh, terutama di kelompok pemilih muda. Padahal, sebagai kelompok peme-gang jumlah terbanyak, kelompok muda ini merupakan sasaran paling potensial untuk dibidik pada Pemilu 2009.
Demokrasi Elektronik
Konsep demokrasi elektronik
merupakan perkembangan ilmu
sosial dalam dekade terakhir ini. Konsep ini berawal pada tahun
1970-an ketika teoritisi demokrasi
menggunakan media digital baru
seperti telepon dan jaringan komputer
sebagai piranti (tools) untuk reformasi
demokrasi (Cf. Kruach 1972; Etzioni et al. 1975). Hal itu telah merubah karakter demokrasi hingga saat ini.
Menurut Thomas Zittel (2002),
sekarang ini demokrasi digunakan
sebagai sebuah konsep
analitis-empiris yang membawa asumsi
dalam media digital baru pada
umumnya dan jaringan komputer
pada khususnya dalam proses
perubahan ranah (the nature)
komunikasi politik dan pemerintahan demokratis.
Selanjutnya Zittel
mengungkap-kan “the term electronic democracy is
being associated with phenomena such as party web sites, electronic voting, sending e-mails to political representatitves, political discussion fora, and even with administrative services provided over internet”.
Tabel 2 : Peta Konseptual Demokrasi Elektronik
Jurisdictional
Electronic Voting Electronic Referenda
Institutional Level
Informal and formalized opportunities for association using the internet.
Informal and formalized opportunities for direct, decentralized, and interactive vertical communication and participation between parliaments and citizen using the internet. Institutionalized opportunities to participate using the internet in the parliamentary process.
Informal and fomalized opportunities to receive information related to e-referenda and to engage in comprehensive horizontal and vertical debates on this information.
Behavioral Level
Individual uses of new opportunities to communicate and to participate within established
associatons. Individual uses of the internet to establish new types of organizations.
Individual uses of new opportunities to communicate with representative and to participate in parliamentary process.
70
Dalam pandangan Zittel ada tiga dimensi teoritis dari demokrasi untuk mendefiniskan demokrasi elektronik
yaitu jurisdictional dimension,
decisi-onal dimension, dan representational dimension. Ketiga dimensi tersebut digambarkan dalam Tabel 2.
Sejak akhir era tahun 1990-an, lembaga pemerintahan di Indonesia, baik tingkat nasional ataupun daerah, mulai mengimplementasikan konsep e-government dengan memiliki web site. Sebenarnya bukan hanya lem-baga pemerintah saja, tetapi juga
partai politik dan lembaga non
pemerintah (NGO/LSM) sudah me-miliki website.
Implementasi e-government oleh
pemerintahan di Indonesia masih
terkesan sebagai media sosialisasi
saja, tetapi belum digunakan
sepenuhnya untuk public services,
mungkin baru hanya Pemda Kab.
Sragen Jawa Tengah yang sudah
menerapkan one gate service.
Selanjutnya juga untuk e-party itu pun sama, masih sedikit sekali anggota partai politik berinteraksi dengan para
politisi partainya menggunakan
internet. Lalu dalam konteks pemilu, mulai Pemilu 2004, Komisi Pemilihan
Umum menggunakan Situng TI
(Sistem Penghitungan Teknologi
Informasi) yang online dari kantor
Panitia Pemilihan Kecamatan
se-Indonesia, tetapi cukup disayangkan
hasil tersebut tidak bisa dipakai
sebagai landasan hukum penetapan
suara, bahkan dalam prosesnya
sempat di-hackingoleh para hacker
yang tak bertanggung jawab.
Deskripsi tersebut di atas
menegaskan pada akan pentingnya
program baik yang dilakukan
pemerintah ataupun lembaga
non-pemerintah untuk mendorong
penggunaan internet sebagai saluran komunikasi politik tanpa batas.
Indonesia adalah salah satu
negara yang pertumbuhan pengguna-an internetnya spengguna-angat pesat. Ini bisa
kita lihat berdasarkan data dari
Asosiasi Penyedia Jasa Internet
Indonesia, pada tahun 1998 baru ada 512.000 orang pengguna internet, tahun 2005 meningkat tajam menjadi 8.400.000 orang dan yang lebih fantastis lagi peningkatannya yaitu pada tahun 2007 menjadi 25.000.000 orang. Perkembangan tersebut diaki-batkan karena semakin massifnya
penjualan personal computer (PC)
dan notebook serta semakin murah-nya biaya atau tarif akses internet,
apalagi sekarang Pemerintah
Indonesia punya program internet masuk kampung.
Ini menjadi modal yang sangat besar bagi bangsa Indonesia untuk memasuki era demokrasi elektronik, dimana sudah tak ada batasan lagi untuk rakyat berkomunikasi dengan pemerintah, (kandidat) pejabat publik, partai politik dan stakeholder lainnya. Jadi demokrasi elektronik
memper-mudah mekanisme checks and
balances pemerintahan, sehingga
cepat terwujud good and clean
governance.
Kesimpulan
Reformasi politik Indonesia tahun 1998 telah melahirkan kebebasan komunikasi politik dan demokratisasi. Komunikasi politik dan demokrasi adalah dua sisi uang yang tak bisa dipisahkan. Tidak ada demokrasi, tanpa kebebasan komunikasi politik.
Media massa merupakan ins-trumen atau saluran utama dalam
71
media telah menciptakan public
sphere. Tanpa adanya kebebasan
media (media freedom) yang dijamin
oleh hukum atau konstitusi, maka
sangat sulit terwujud public sphere
bagi bangsa Indonesia. Dewasa ini kebebasan media semakin terancam
dengan banyaknya regulasi yang
dikeluarkan untuk mengatur media
media itu, atau sering disebut
ancaman kriminalisasi media, misal-nya seperti UU Keterbukaan dan Informasi Publik. Judulnya keterbuka-an, tetapi isinya adalah ancamketerbuka-an, sangat ironis.
Selanjutnya di negara demo-kratis, media massa harus mampu memfasilitasi jurnalisme publik, di-mana publik memungkinkan mem-buat news storyuntuk ditayangkan di media. Sekarang di Indonesia, jurnal-isme publik sudah mulai menjadi trendpemberitaan di media massa.
Dalam konteks pemilu, komu-nikasi politik Indonesia sudah banyak perubahan. Ini terbukti dengan ada-nya mekanisme memilih langsung para kandidat politik, di zaman Orde Baru hal ini tidak pernah terjadi. Bahkan komunikasi politik pemilu, khususnya kampanye politik, meng-alami revolusi yaitu yang dahulu
memakai cara-cara konvensional
dalam mempersuasi pemilih, kini
menggunakan konsep amerikanisasi kampanye politik, yang pada akhirnya menciptakan politisi selibiriti. Sangat
disayangkan kemajuan tersebut
ternyata tidak diiringi dengan kegiatan
kampanye permanen oleh para
kandidat politik terpilih atau partai
politik, dimana belum terbuktinya
janji-janji kampanye yang akan
meningkatkan kesejahteraan rakyat dan bahkan rakyat dibiarkan sendiri
menghadapi kesulitan ekonomi,
karena pejabat terpilih tidak berdaya terhadap mekanisme pasar (inter-nasional). Inilah menjadi penyebab utama yang mengakibatkan semakin rendahnya partisipasi politik pemilih (rakyat). Jadi bisa disimpulkan bahwa
di Indonesia demokrasi hanya
sebatas prosedur saja.
Pertumbuhan pengguna internet di Indonesia sangatlah pesat, ini merupakan modal besar bagi bangsa Indonesia memasuki era demokrasi elektronik, dimana diharapkan sudah tidak ada batasan komunikasi antara pejabat publik dengan rakyatnya dan proses pengambilan keputusan politik menggunakan internet.
Dari deskripsi tiga sub tema tersebut di atas – Media Massa dan Sistem Politik Demokratis, Komu-nikasi Politik dan Pemilu Demokratis, dan Demokrasi Elektronik – memberi-kan catatan pada kita bahwa saat ini bangsa Indonesia masih sulit untuk beranjak dari fase konsolidasi menuju fase pematangan demokrasi, dikare-nakan hampir terancamnya kebebas-an media (pers) dkebebas-an semakin
ren-dahnya partisipasi politik rakyat
dalam proses pemilu akibat tidak adanya kampanye permanen atau sudah tidak percaya lagi pada partai atau kandidat politik. Akhirnya dapat disimpulkan saat ini bangsa Indo-nesia tetap saja mesti memperkuat kembali fase konsolidasi demokrasi. Komitmen penguatan kembali
ter-sebut akan mempermudah bagi
bangsa Indonesia untuk mewujudkan
impiannya, yaitu good and clean
governance. Hal ini juga diperkuat dengan adanya jurnalisme publik,
demokrasi elektronik, dan politik
oposisi di Indonesia. Akhir kata dari
penulis, “Go ahead my country for the
72 Daftar Pustaka
Buku
Adiputra, Wisnu Martha (2006).
Menyoal Komunikasi Member-dayakan Masyarakat.
Yogya-karta: Penerbit Fisipol UGM,
Cetakan Pertama.
Armando, Ade (2002). Independensi
Media, Public Sphere, dan Demokrasi di Indonesia. dalam Maruto MD & Anwari WMK (Ed.). Reformasi Politik dan Kekuatan
Masyarakat, Kendala dan
Peluang Menuju Demokrasi.
Jakarta: Penerbit LP3ES
Chaniago, Andrinof A. (2002).
Rintangan-rintangan Demokrati-sasi di Indonesia. dalam Maruto
MD & Anwari WMK (Ed.).
Reformasi Politik dan Kekuatan
Masyarakat, Kendala dan
Peluang Menuju Demokrasi.
Jakarta: Penerbit LP3ES
Clack, George, et al (2001),
Demokrasi, USA: Office of
International Information
Program, U.S. Departement of
State,http://usinfo.state.gov
Curran, James (2002). Media Power.
London: Routledge.
Evans, Jocelyn A.J. (2004).Voters &
Voting: Introduction. London: SAGE Publications.
Haris, Syamsudin (2002).Konflik Elite
Sipil dan Dilema Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru. dalam Maruto MD & Anwari WMK (Ed.). Reformasi Politik
dan Kekuatan Masyarakat,
Kendala dan Peluang Menuju
Demokrasi. Jakarta: Penerbit
LP3ES
Kavanagh, Dennis (1995). Election
Campaigning, The New
Marketing of Politics. Oxford, UK: Blackwell Publishers, Ltd.
Kovach, Bill &Tom Rosenstiel
(2001).The Elements of
Journalism, What Newspeople Should Know and the Public Should Expect. terjemahan Yusi A. Pareanom (2003). Elemen-elemen Jurnalisme, Apa yang Seharusnya Diketahui Wartawan dan yang Diharapkan Publik.
Jakarta: Institute Studi Arus
Informasi & Kedutaan Besar
Amerika Serikat di Jakarta.
McQuail, Denis (2000). McQuail’s
Mass Communication Theory. Fourth Edition. London: SAGE Publication, Ltd.
Nimmo, Dan (1978). Political
Communication and Public
Opinion in America. California: Goodyear Publishing Company.
Rauf, Maswadi (1993). Komunikasi
Politik: Masalah Sebuah Bidang Kajian dalam Ilmu Politik. dalam
Maswadi Rauf dan Mappa
Nasrun (Ed.). Indonesia dan
Komunikasi Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Rogers, Everett M. (2004).Theoritical
Diversity in Political
73
Jersey: Lawrence Erlbaum
Associates
Sabirin, Tabrani, M.A. (2000).
Mengantar Bangsa Menuju
Demokrasi, Peran & Sumbangsih
KPU dalam Proses
Demokratisasi di Indonesia. Jakarta: KPU-LPSI, cetakan ke-1
Street, John (2003). The Celebrity
Politician: Political Style and Popular Culture. in John Corner & Dick Pels (Edts.). Media and
The Restyling of Politics:
Consumerism, Celebrity and
Cynicism. London: SAGE
Publications.
Suwardi, Harsono (2003).Modul Mata
Kuliah Komunikasi Politik. Jakarta: FISIP Program S-2 Ilmu Komunikasi Universitas Indone-sia, makalah tak diterbitkan.
Zittel, Thomas (2004). Political
Communication and Electronic
Democracy, American
Exceptionalism or Global Trend?.
In Frank Esser & Barbara
Pfetsch. Comparing Political
Communication. UK: Cambridge University Press.
Surat Kabar/Majalah
Alfian, M. Alfan (2008). Anomali
Antipartai di Indonesia. dalam Surat Kabar KORAN TEMPO. Selasa, 1 April 2008. Jakarta: PT. Tempo Inti Media Harian, p. A10.
Batubara (2008). UU ITE Ancaman
Kebebasan Pers. dalam Surat Kabar KOMPAS, Senin, 7 April
2008,. Jakarta: PT. Gramedia, p.6.
Gazali, Effendi (2008). Mengapa
Hade Syampurno?. dalam Surat Kabar KOMPAS, Senin, 18 April 2008,. Jakarta: PT. Gramedia, p.6.
Kleden, Ignas (2004). Partai Politik
dan Politik Partai. dalam Majalah
Berita Mingguan TEMPO. 2004:
Ketika Presiden Dipilih Langsung. Edisi 29 Desember 2003 – 04 Januari 2004 (Edisi Khusus Akhir Tahun). Jakarta:
PT. Tempo Inti media, Tbk.
p.68-69.
Sudibyo, Agus (2008), Transparansi
Sepenuh Hati?. dalam Surat Kabar KOMPAS, Senin, 7 April 2008,. Jakarta: PT. Gramedia, p.6.
Wicaksono, Bayu (2008),
Implementasi UU Informasi dan Transaksi Electronik. dalam Surat Kabar KORAN TEMPO. Jumat, 4 April 2008. Jakarta: PT.
Tempo Inti Media Harian, p.
A10.
Sumber Web Site
Hidayat, Dedy N (2004).
Amerikanisasi Industri Kampanye Pemilu. Opini Kompas Rabu, 11
Februari 2004 dalam
http://64.203.71.11/kompas-cetak/0402/11/opini/848378.htm
Politisi, Forum. Amerikanisasi”
Komunikasi Politik?. dalam
74 CAmerikanisasi%E2%80%9D%2 0Komunikasi%20Politik?
Suwardiman (2007).Menakar Potensi
Pemilih 2009. dalam
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0609/19/Politikhukum/2965 666.htm
Tribun Jabar, Koran. Golput Pilkada