• Tidak ada hasil yang ditemukan

Primata sebagai “flagship” untuk konservasi keanekaragaman hayati dan kawasan konservasi di Indonesia: Sebuah pembelajaran dari Jawa Barat dan Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Primata sebagai “flagship” untuk konservasi keanekaragaman hayati dan kawasan konservasi di Indonesia: Sebuah pembelajaran dari Jawa Barat dan Sumatera Utara"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Primata sebagai “flagship” untuk konservasi keanekaragaman hayati

dan kawasan konservasi di Indonesia: Sebuah pembelajaran dari Jawa

Barat dan Sumatera Utara

Jatna Supriatna 1,2 dan Anton Ario2

1. Departemen Biologi, FMIPA, Universitas Indonesia, Depok,

2. Conservation International Indonesia; Jalan Pejaten Barat No.16A, Kemang, Jakarta 12550,

E-mail: jatna.supriatna@gmail.com; aario@conservation.org

Abstrak

Conservation International di Indonesia telah mengembangkan tiga program pendidikan konservasi sejak tahun 1995; dua program masih berjalan hingga saat ini, sementara satu program terhenti karena masalah pendanaan. Program pendidikan konservasi merupakan bagian dari rencana jangka panjang untuk memprioritaskan upaya melestarikan keanekaragaman hayati di Indonesia, bersama mitra dan berbagai pihak. Melalui kemitraan dengan LSM lokal, pemerintah, perguruan tinggi, sektor swasta dan lembaga donor lainnya, program pendidikan konservasi dapat dipertahankan. Keberhasilan dalam hal konservasi spesies telah dicapai di beberapa daerah. Sebagai contoh, Pusat Pendidikan Konservasi Alam Bodogol telah difokuskan pada Owa jawa (Hylobates moloch), dan Elang jawa (Nisaetus bartelsi), sedangkan Orangutan sumatera (Pongo abelii) digunakan sebagai spesies utama dalam program pendidikan di Sibolangit. Penghentian program di Sibolangit terjadi karena kurangnya dukungan donor, seperti yang juga pada program pendidikan konservasi di Indonesia lainnya selama bertahun-tahun. Secara nasional, beberapa program kesadaran masyarakat berfokus pada spesies dapat bertahan dan terbukti efektif tanpa bergantung pada donor. Kunci keberhasilan program adalah keterlibatan berbagai mitra yang memiliki berbagai keahlian, peluang pendanaan, dan sumber daya.

I. PENDAHULUAN

Secara historis, kesadaran konservasi sebagian besar telah tertanam dalam pendidikan lingkungan di tingkat primer, sekunder dan tersier dari sistem pendidikan formal, serta dalam kegiatan ekstra kurikuler dari tingakatan anak-anak hingga dewasa. Kegiatan ini meliputi pendidikan tentang alam, satwa liar dan lingkungan dengan tujuan yang mendasari pengembangan berupa: apresiasi terhadap alam, pengetahuan alam atau partisipasi dalam kegiatan yang berkaitan dengan perlindungan alam. Program-program ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan mengubah perilaku untuk berkontribusi dalam konservasi dan mengurangi kerusakan lingkungan akibat praktek aktivitas manusia. Brown (1988) meyakini bahwa tidak banyak pakar lingkungan yang secara aktif terlibat dalam pendidikan flora dan fauna di lapangan khususnya berupa pendidikan non-formal di lapangan, sehingga perlu peningkatan pendidikan yang memiliki keprihatinan tersebut dan dan mau bekerja pada persoalan spesifik khususnya untuk pemecahan masalah lingkungan di lapangan.

(2)

mempunyai satwa yang dicintai masyarakat, juga seringkali mempunyai daya tarik pihak donor yang akan membiayai program-program konservasi. Sebagai contoh adalah Owa Jawa (Hylobates moloch) yang dipakai untuk di pusat pendidikan konservasi di Jawa Barat dan Orangutan Sumatra (Pongo abelii) yang dipakai untuk bahan kampanye pendidikan konservasi hutan di Sumatra.

Satwa karismatik yang dipakai pendidikan konservasi di Jawabarat adalah Owa Jawa. Keluarga owa (Hylobatidae), yang memiliki suara yang indah dan merdu, merupakan jenis primata yang memiliki cara hidup yang unik. Owa umumnya membentuk keluarga melalui sistem kawin monogami. Keragaman marga inipun cukup tinggi, selain dapat dilihat dengan corak warna tubuh, juga dapat didengar melalui lengkingan suara yang mempunyai frekuensi dan lagu yang berlainan. Salah satu Owa dari 8 spesies di Indonesia yang sangat terancam saat ini adalah owa Jawa (Hylobates moloch) yang hanya ditemukan di Jawa bagian barat dan tengah.(Supriatna, 2000, Supriatna & Hendras 2000). Usaha untuk mencegah kepunahan dilakukan dengan berbagai cara baik dengan membuat pusat rehabilitasi maupun dengan melihat penyebaran owa di Jawa (Supriatna, 2006), selain itu juga diteliti keragaman genetiknya untuk mengetahui distribusi populasi di Jawa agar tidak terjadi tekanan silang dalam (Andayani et al, 2001)

Satwa karismatik di Sumatra utara adalah Orangutan Sumatra (Pongo abelii). Orangutan menjadi satwa primata yang paling diperhatikan karena termasuk dalam kera besar yang keberadaanya menjadi perhatian dunia. Orangutan Sumatra sudah masuk dalam tahap kritis karena populasinya menurun drastis selain karena habitatnya bekurang, juga karena perburuan anaknya untuk dijadikan satwa peliharaan (Singleton et al, 2009). Sudah sejak tahun 2002 orangutan Sumatra termasuk dalam 25 primata dunia yang terancam kepunahan (Mittermeier dkk 2007). Rancang aksi juga telah dibuat baik di Sumatara maupun penaksiran populasi di beberapa tempat seperti kawasan baru di Sumatra (Perbatakusumah et al, (2009).

Dalam tulisan ini, kami meninjau dua inisiatif program kesadaran konservasi yang dilakukan oleh CI, berfokus pada pendidikan masyarakat dan siswa yang tinggal di sekitar kawasan hutan taman nasional dan menggunakan jenis satwa sebagai flagships yaitu di Bodogol TNGGP (Taman Nasional Gunung Gede Pangrango) Jawa Barat dengan Owa Jawa dan di Cagar Alam Sibolangit dan Taman Nasional Leuser di Sumatera Utara dan Aceh yang memakai satwa kharismatik, Orangutan Sumatra. Kedua program dianalisis keberhasilan dan permasalahannya dan hanya satu program yang berhasil berkelanjutan yaitu program pendidikan di Bodogol yang masih berlanjut hingga saat ini. Kami menganalisis alasan untuk hasil ini dan mengambil pembelajaran untuk program pendidikan lingkungan masa depan di Indonesia.

Pusat Pendidikan Konservasi Alam Bodogol di TNGGP

(3)

nasional tersebut (Wardojo, 1997). Kawasan konservasi ini merupakan habitat bagi beberapa satwa endemik dan terancam punah, antara lain elang jawa (Nisaetus bartelsi), surili (Presbytis comata), owa jawa (Hylobates moloch), macan tutul jawa (Panthera pardus melas) dan kukang jawa (Nycticebus javanicus) (Supriatna, 2006). Selain itu, kawasan ini merupakan daerah tangkapan air yang penting bagi jutaan orang yang berada di sekitarnya. Potensi air di daerah ini bernilai sekitar US $ 100 juta / tahun; itu dikumpulkan dan dijual untuk dikonsumsi lebih dari 20 juta orang di 144 desa dan lima kota di dekatnya, termasuk Ibukota, Jakarta (CI, 2009).

Sejak tahun 1994, CI bersama TNGGP, telah mengembangkan sebuah konsorsium untuk mempromosikan pendekatan kolaboratif program pendidikan dan kesadaran konservasi keanekaragaman hayati. Lembaga-lembaga tersebut adalah CI, TNGGP dan Yayasan Alam Mitra Indonesia (ALAMI). Konsorsium tersebut juga mencakup Universitas Indonesia, sektor swasta, pemerintah daerah dan masyarakat lokal. Universitas Indonesia berkontribusi dalam pengembangan stasiun penelitian yang berdekatan dengan fasilitas PPKAB (Pusat Pendidikan Konservasi Alam Badogol). Kemudahan akses dari tiga kota besar: Jakarta, Bogor, dan Bandung membuat TNGGP sering dikunjungi wisatwan. PPKAB terletak di lereng Gunung Pangrango, sekitar 800 m di atas permukaan laut, dan memberikan nuansa sejuk dan nyaman.

Banyak mitra dalam konsorsium telah bekerjasama untuk membentuk berbagai program untuk menjaga ekosistem taman nasional, termasuk pendidikan konservasi keanekaragaman hayati. Sejak tahun 1998, para anggota konsorsium telah mengembangkan dan menerapkan kesadaran dan pendidikan sebagai salah satu alat konservasi mereka. Program ini membentuk pintu masuk yang terpisah dari gerbang utama TNGGP untuk memfasilitasi akses kepada pengunjung yang tertarik dalam pendidikan alam. Lokasi ini lebih dekat ke Jakarta daripada gerbang utama di Cibodas dan memungkinkan pengunjung untuk menghindari kemacetan lalu lintas akhir pekan yang umum dijumpai di arah menuju gerbang utama taman nasional.

Program pendidikan informal di PPKAB dirancang untuk memberikan kelompok sasaran akan kesempatan menjelajahi dan langsung mengalami hutan hujan tropis dan sekitarnya. Tema dari program ini adalah "Menyingkap Rahasia Hutan Hujan Tropis,""Program ini dirancang agar sesuai dengan karakteristik kelompok pengunjung yang beragam, dengan penekanan pada penyediaan pengalaman menjelajahi hutan hujan tropis. Metode yang digunakan untuk menyampaikan informasi tentang isu-isu konservasi alam diekmas secara menyenangkan dan interaktif untuk mendorong rasa ingin tahu dan kreativitas, serta partisipasi yang positif dan aktif.

Sebagian besar kegiatan dilakukan di luar ruangan (75%) dan fokus pada penyediaan pengunjung untuk menggunakan indera mereka dan melalui kegiatan kelas (25%) yang difokuskan pada memperkenalkan dan menyediakan mereka dengan informasi tentang kehidupan di hutan. Kegiatan di luar ruangan terutama dilakukan dengan menjelajahi jalur pendidikan (termasuk melintasi jembatan kanopi) dengan melibatkan pemandu, permainan alam dan diskusi. Peserta dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil, biasanya maksimal 6 orang, dan disertai dengan fasilitator.

(4)

pemandangan yang mencakup informasi tentang keanekaragaman hayati dan ekosistem di taman nasional.

PPKAB juga menyediakan pelatihan penelitian di stasiun penelitian bagi para mahasiswa yang melakukan penelitian keanekaragaman hayati. Paket program yang ditawarkan di PPKAB meliputi: satu hari kunjungan (termasuk program + tiket + asuransi + panduan + minuman selamat datang) menyusuri jembatan kanopi atau air terjun Cikaweni (3-4 jam) untuk Rp 35.000,0 (masyarakat umum) atau Rp 25.000 (siswa) dan untuk paket keduanya termasuk menyusuri jembatan kanopi dan air terjun Cikaweni (4-6 jam) sebesar Rp 50.000 (masyarakat umum) atau Rp 30.0000 (siswa). Paket petualangan + jembatan kanopi (4-6 jam) biaya sekitar Rp 50.000 (masyarakat umum) atau Rp 35.000 (siswa), paket mengunjungi air terjun Cipadaranten (6-7 jam untuk minimal 5 orang) biaya 60.000 (masyarakat umum) atau 40.0000 (siswa).

Ada juga beberapa paket untuk kunjungan beberapa hari yang mencakup biaya program tiket, asuransi, interpreter, akomodasi, minuman selamat datang, makan, dan transportasi. Biaya berkisar dari Rp 200.000 sampai Rp 500.000 untuk satu orang untuk kegiatan wisata penelitian, family gathering, outbond, family camp, dan paket lainnya. Program ini juga memberikan manfaat bagi masyarakat di sekitar taman nasional, seperti lapangan kerja bagi staf lapangan dan interpreter, penyediaan makanan, transportasi sepeda motor lokal (ojeg) dan penyewaan jip.

Selama periode 2003-2007, pengembangan program pendidikan konservasi dilakukan dengan mengembangkan program mobile unit konservasi. Dengan dukungan dari Ford Motor Company di Jakarta, konsorsium meluncurkan program ini dan telah mengunjungi ratusan sekolah dan sekitar 50.000 siswa dan masyarakat di sekitar taman nasional. Unit ini disebut "Moli dan Telsi" dan melambangkan dua satwa utama di taman nasional yaitu Moli adalah owa jawa (Hylobates moloch), dan Telsi adalah elang jawa (Nisaetus bartelsi). Mobil itu dilengkapi alat multimedia, untuk menampilkan film dokumenter dan berbagai metode pendekatan lainnya bagi anak-anak sekolah dan masyarakat di desa-desa.

Pusat Pendidikan Sibolangit, Sumatera Utara

Dari 2001-2004, dengan dana dari Critical Ecosystem Partnership Fund (CEPF) dan bermitra dengan Dinas Kehutanan, CI mengembangkan Pusat Pendidikan Sibolangit, yang terletak kira-kira 1 jam perjalanan dari Medan menuju Berastagi. Pusat pendidikan ini menggunakan Orangutan Sumatera sebagai "flagship” untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pengelolaan sumber daya alam dan konservasi keanekaragaman hayati. Terfokus pada pendidikan konservasi dan meningkatkan kesadaran masyarakat sekitar Taman Nasional Gunung Leuser [Perbatakusumah et al, 2009].

Staf di Sibolangit didukung oleh relawan dari masyarakat sekitar, yang semuanya telah menjalani pelatihan intensif dalam interpretasi alam. Untuk menjangkau audiens yang tidak memiliki kesempatan belajar tentang konservasi orangutan, CI juga mengoperasikan Mobile unit Orangutan, yang mengambil pesan konservasi di luar Sibolangit ke daerah-daerah terpencil. Daerah ini termasuk desa pengungsi dari Tsunami Aceh Desember 2004.

(5)

terpencil dan berkemah selama 3-4 hari dengan kunjungan rutin dilakukan sepanjang tahun. Selama kunjungan, tim CI melakukan sesi pembelajaran informal dari kunjungan sekolah dan panggung boneka dengan menunjukkan permainan interaktif. Program ini diterima hangat oleh masyarakat setempat dan sangat efektif dalam meningkatkan kesadaran di kalangan berbagai khalayak. Mencapai desa-desa dan kamp-kamp pengungsi di kabupaten di Sumatera Utara, dan ratusan orang menghadiri setiap sesi kegiatan program, khususnya, pemutaran film malam hari tentang film orangutan.

Pendidikan Mobile Unit ini merupakan bagian integral dari kegiatan pendidikan konservasi di Sumatera Utara, dan juga memberikan poin penting untuk mencapai para pemangku kebijakan lokal. Interpreter memainkan peran yang sangat penting dalam pendidikan konservasi di seluruh dunia, dan melalui mereka, masyarakat datang untuk memahami sifat dan perannya dalam mendukung mata pencaharian mereka. Interpreter memiliki keterampilan berkomunikasi dan menerjemahkan aspek teknis lingkungan dan interaksinya dengan penonton yang umumnya non-ilmuwan agar secara jelas dan mudah dipahami. Dengan demikian, interpreter adalah komponen kunci dari program pendidikan konservasi yang sukses. Oleh karena itu perlu diberikan materi pelatihan termasuk dasar-dasar ekologi untuk panduan alam atau interpreter, permainan konservasi, dasar-dasar-dasar-dasar penafsiran alam, komunikasi pemandu alam, identifikasi flora dan fauna, jungle survival, dan praktek di lapangan.

Sebagai bagian dari pengembangan program pendidikan, dilakukan penilaian tingkat pengetahuan tentang konservasi orangutan di daerah sekitarnya Taman Nasional Gunung Leuser. Survei yang dilakukan untuk mengevaluasi tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku masyarakat untuk memberikan landasan untuk mengembangkan strategi kampanye yang ditargetkan. Survei dilakukan di tiga kecamatan (Bohorok, Sibolangit, dan Tiga Lingga), berada di dekat dengan habitat orangutan. Jumlah responden 360 orang, 48 di antaranya adalah para pemimpin formal dan informal masyarakat. Selain itu, juga dilakukan penilaian lain khusus dirancang untuk mengevaluasi pengetahuan, sikap, dan perilaku dari para pengambil keputusan [Perbatakusumah et al, 2009]

Hasil survei menunjukkan bahwa masyarakat di Kecamatan Tiga Lingga memiliki tingkat terendah dalam pengetahuan tentang hutan, orangutan, dan hubungan antara keduanya. Di sebagian besar wilayah studi, penurunan air bersih (baik ketersediaan dan kualitas) adalah perhatian yang paling penting bagi orang yang diwawancarai. Sebagian besar responden mempersoalkan tentang kesejahteraan yang menjadi prioritas utama mereka, Sedangkan perusakan hutan sebagai keprihatinan yang lebih rendah.

(6)

Kategori kedua ditargetkan khusus pengambil kebijakan melalui serangkaian pertemuan dan kunjungan. Pengambil kebijakan yang menjadi sasaran anatara lain kepala pemerintah daerah, anggota parlemen, pejabat kehutanan dan anggota lembaga lain yang berbatasan dengan habitat orangutan.

Pembelajaran dari program penyadaran konservasi

Program pendidikan konservasi yang dilakukan CI Indonesia terangkup dalam Tabel 1. Kedua program tersebut memiliki banyak kesamaan dalam hal latar belakang, tujuan dan metode. Kedua program berhasil menggunakan flagship species untuk menjangkau khalayak yang lebih besar dan menarik lebih banyak donor. Hanya model pendanaan berbeda.

Tabel 1. Perbandingan dua program pendidikan konservasi yang diinisiasi oleh Conservation International Indonesia.

Produk Bodogol Sibolangit

1. Lokasi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango

Cagar Alam Sibolangit

2. Target sasaran Masyarakat dan siswa sekitar taman nasional, maysraakat umum yang

3. Organisasi mitra TNGGP, CI, LSM lokal, dunia usaha BKSDA, CI, LSM lokal, USAID

4. Jangkauan Pusat Pendidikan Konservasi dan melalui masyarakat sekitar taman

5. Flagship Species Owa Jawa dan Elang Jawa Orangutan Sumatera

6. Perlengkapan Dokumentasi film digital dan

bekerjasama dengan pimpinan pondok

(7)

8. Donor Kemitraan kolaborasi (dana taman nasional, perusahaaan lokal maupun internasional, tiket dan biaya program), Keidaren Foundation Jepang, Mattel coorp.

CEPF (Critical Ecosystem Partnership Fund) dan USAID

9. Instruktur Staf CI, staf taman nasional, bekerjasama dengan mahasiswa UI, Volunteer, LSM lokal, dan masyarakat, dengan mengembangkan modul

pendidikan konservasi, lembar informasi dan informasi digital.

Staf CI, staf BKSDA, dan volunteer

10. Lama waktu 1998 hingga saat ini 2001-2007

11. Tema program “Menyingkap rahasia hutan hujan

tropis” dengan berbagai kegiatan paket

program antara lain: “hutan penyedia makanan terbesar”, “hutan sebagai gudang obat-obatan”, dan “kehidupan dibawah kanopi”

“Selamatkan orangutan”

PPKAB telah berhasil bergerak menuju keberlanjutan keuangan, kecuali untuk mobile unit yang mendidik anak-anak sekolah. Program yang terakhir ini sempat terhenti pada periode 2007-2008 karena dana yang tidak mencukupi untuk operasi dan pemeliharaan, namun dilanjutkan kembali hingga saat ini. Pusat Pendidikan Sibolangit, yang bergantung pada donor daripada pendapatan dari pengunjung dan peserta dalam program-programnya, dihentikan pada tahun 2007 setelah CI menyerahkannya kepada LSM lokal. Sayangnya, LSM lokal tidak mampu mengumpulkan cukup dana untuk mempertahankan program pendidikan.

Hasil tinjauan kami dari kedua program tersebut, tampaknya penting dalam meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap jasa lingkungan (misalnya, perlindungan DAS dan pengendalian erosi) yang disediakan oleh hutan, merupakan komponen kunci dalam menghentikan atau memperlambat kerusakan hutan, sekaligus melestarikan orangutan dan owa jawa. Kebanyakan program yang ditawarkan oleh kedua pusat pendidikan tersebut mempromosikan ide layanan jasa ekosistem. Selain itu, menghargai bagaimana kelangsungan hidup orangutan di Sumatera dan owa jawa dan elang jawa di Jawa yang terkait dengan hutan. Diperlukan peran aktif masyarakat dan pengambil kebijakan untuk memahami pentingnya mengurangi keberlanjutan hilangnya melalui penghentian penebangan dan / atau restorasi habitat, serta dengan memberikan peluang mata pencaharian alternatif bagi masyarakat setempat.

Sejumlah metode pendidikan yang digunakan, termasuk lembar fakta, poster, display, dan presentasi power point, bersama dengan beberapa edisi lembar khotbah untuk mempromosikan pentingnya melindungi spesies dan alam dari perspektif Islam dan Kristen. Semua kegiatan penyadaran tersebut didahului oleh penilaian kebutuhan kesadaran masyarakat umum dan para pengambil kebijakan.

(8)

kepentingan komersial, pertanian, penebangan, penambangan terbuka, kebakaran hutan, pembangunan infrastruktur, perambahan lokal dan berbagai faktor lainnya. Hutan Sumatera diperkirakan akan mengalami tingkat konversi yang tertinggi di dunia [Supriatna et al., 2002; Wich et al., 2008; Singleton et al., 2009], hal tersebutlah yang menyebabkan hilangnya habitat orangutan.

Hal berbeda untuk owa jawa dan jawa elang. Faktor kehilangan habitat mereka sama seperti di Sumatera, namun, penyebab utama yang paling mengancam spesies ini adalah perburuan untuk mengambil anak-anak mereka untuk dijual sebagai satwa peliharaan. Populasi kedua spesies telah menurun secara signifikan di alam, tidak lebih dari 5000 owa jawa [Supriatna, 2006; Supriatna et al., 2010] dan hanya beberapa ratus elang jawa yang tersisa [Whitten dan Soeriaatmadja, 1999].

Mangunjaya [2002] mempelajari persepsi keanekaragaman hayati di kalangan siswa sekolah menengah di sekitar TNGGP setelah beberapa dari mereka dikunjungi oleh tim mobil unit konservasi. Persepsi tentang pentingnya keanekaragaman hayati di kalangan siswa meliputi: estetik (27%), moralistik (22%), humanistik (19%), ilmiah (13%), naturalistik (6%), utilitarian (4%), dominionistik (3%) dan simbolistis (2%). Skor tertinggi untuk estetika, nilai-nilai moral dan humanistik mencerminkan nilai-nilai-nilai-nilai sosial tertentu. Nilai estetika menunjukkan daya tarik keindahan, kesetaraan, simetri dan cinta alam, sedangkan nilai moral menunjukkan kedekatan spiritual dengan alam, menunjukkan bahwa manusia merasa perlu untuk melindungi dan memahaminya [Kellert, 2002].

Strategi pemasaran, seperti iklan di media massa, juga sangat efektif untuk meningkatkan kesadaran masyarakat sekaligus berinfestasi skala kecil dalam menyebarkan fakta-fakta penting tentang konservasi. Meskipun kampanye iklan media massa tidak pernah bisa menggantikan kurikulum pendidikan, namun dapat menjangkau audiens penting lainnya dan mempengaruhi para pengambil keputusan dan tokoh masyarakat lainnya dengan meningkatkan kesadaran secara luas. Banyak donor telah meningkatkan upaya konservasi kawasan lindung dengan mempromosikan kebanggaan dalam keanekaragaman hayati endemik Indonesia dan juga keprihatinan di masa depan [Supriatna, 2004].

Pembahasan dan Kesimpulan

(9)

Pendidikan konservasi difokuskan pada spesies utama bukanlah hal yang baru, tetapi menggabungkan strategi ini dengan berbagai alat, seperti pada dua program tersebut, sebagian besar telah berhasil. Dalam kasus PPKAB, pendekatan ini telah menghasilkan suatu mekanisme pendanaan berkelanjutan. Model yang berbeda menunjukkan bahwa pendidikan konservasi pada akhirnya akan berhasil hanya jika didukung multi pihak, saat ini maupun di masa depan, dengan pendanaan yang cukup, baik melalui sumbangan, model pembiayaan yang menggalang dana dari pengunjung, atau kombinasi keduanya.

DAFTAR PUSTAKA

Andayani, N. J.C. Morales, M.R.J. Forstner, J. Supriatna & D.J. Melnick 2001. Genetic Variability in mtDNA of the Silvery Gibbon: Implications for the Conservation of a Critically Endangered Species. Conservation Biology 15(3): 770-775.

Brown LR. 1988. And today we’re going to talk about biodiversity... that’s right, biodiversity. In: Eilson EO, editor. Biodiversity. Washington, DC: National Academic Press. p 446-449.

Boulton, M.N., & D. Knight,. 2010. Conservation Education. In: ConservationBiology, Ian Spelerberg (ed), Pp. 70-79, Longman Group, London.

Conservation International Indonesia. 2009. Promoting Ecosystem Services Value from Hydrological

Processes in the Gedepahala. Conservation International Indonesia Report, Jakarta.

Indrawan, M., R. Primack, & J. Supriatna, 2007. Biologi Konservasi (Conservation Biology). Yayasan Obor, Jakarta, 502 p.

Jacobson, S.K. 1995. Introduction: Wildlife Conservation Through Education. In: Conserving Wildlife

: International Education and Communication Approaches http://www.pplhselo.or.id/PPLH.

Consulted on 10 November 2014.

Kellert SR. 2002. Values, ethics, and spiritual and scientific relations to nature. In: Kellert SR and J. Farnham, editors. The good in nature and humanity. Washington, D.C.: Island Press. P 49-64. Mangunjaya FM. 2002. Persepsi pelajar tentang keanekaragaman hayati dan ketangguhan institusi

SMA Negeri dan Pesantern di sekitar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat (MS thesis). Depok: Universitas Indonesia.

Mittermeier R.A., J. Ratsimbazafy, A.B. Rylands, L. Williamson, J. Oates. D. Mbora , J.U. Ganzhorn, E. Rodríguez-Luna, E. Palacios, E.W. Heymann, M.C. , Kierulff , Y. . Long, J. Supriatna, C. Roos, S. Walker, S. & J.M. Aguiar 2007. Primates in Peril: The world’s 25 most endangered primates in 2006-2008. Primate Conservation 22: 1-40.

Perbatakusumah E. A, J, Supriatna, I. Wijayanto 2009. Strengthening biodiversity conservation at key landscape areas in the Northern Sumatra Corridor. Report to GITI TIRES. Jakarta, Indonesia: Conservation International.

Singleton I, J. Supriatna, & S.A. Wich. 2009. Sumatran orangutan. In: Mittermier RA, Nash SD,

IUCN/SSC Primate Specialist Group, et al., editors. Primates in peril: the world’s 25 most

endangered primates in 2008-2010. Switzerland: IUCN, IPS and CI. p 65-66.

Supriatna,J. 2000. Status Konservasi Satwa Primata. Dalam: Konservasi Satwa Primata:Tinjauan Ekologi, Sosial Ekonomi, dan Medis dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (P.Yuda &S.I.O.Salasia eds), Fakultas Kedokteran Hewan dan Kehutanan Univ. Gadjah Mada, Yogyakarta, p.3-12.

Supriatna, J. 2006. Conservation Programs for the Endangered Javan gibbons (Hylobates moloch).

Primate Conservation, 21: 155-162.

Supriatna,J. & E. Hendras, 2000. Panduan lapangan Primata Indonesia (Indonesia’s Primate Field Guide). Yayasan Obor Jakarta, 332 p.

(10)

Supriatna J, A. Mootnick, & N. Andayani. 2010. Javan gibbon (Hylobates moloch): population and conservation. In: Gursky-Doyen S & J. Supriatna, editors. Indonesian primates: developments in primatology: progress and prospects. New York: Springer. p 320.

Wardojo, W. 1997. Keanekaragaman Hayati dan Status Kawasan Konservasi Gunung Gede- Pangrango dan Gunung Halimun, serta kendala pengelolaannya. In: Prosiding Diskusi

Whitten, T, Soeriaatmadja,R.E, & Suraya,A., 1999. The Ecology of Java and Bali. Periplus, Singapore, 969p.

Wich, S.A. E. Meijard, A.J. Marshall, S. Husson, M.Acrenaz, R.C. Lacy, C.P.van Schaik, J.Sugardjito, T.Simorangkir, K.Traylor-Holzer, M. Doughty, J. Supriatna, R. Dennis, M. Gumal, C.D. Knott & I.Singleton 2008. Distribution and conservation status of the orangutan (Pongo spp) on Borneo and Sumatra: how many remain? Oryx 42(3): 329-339.

Gambar

Tabel 1. Perbandingan dua program pendidikan konservasi yang diinisiasi oleh Conservation International Indonesia

Referensi

Dokumen terkait

Setiap model pembelajaran memiliki tujuan yang akan dicapai, sama halnya dengan pembelajaran kooperatif. 60) mengatakan bahwa pembelajaran kooperatif memberikan

Berdasarkan penelitian diperoleh hasil responden yang bekerja pada perusahaan inspektor bawah air yang mempunyai durasi selam < 30 menit dan tidak terindikasi

1 kali Kab Magelang 20.000 0 20.000 Penting dan Mendesak 1 Mendukung pencapaian target MDGs 25 Peningkatan Kesejahteraan Pendidik Wiyata Bhakti Pendidikan Formal; PENDIDIKAN

PERTAMA : Menetapkan Daftar Nomor dan Nama Pendaftar yang dinyatakan DITERIMA sebagai Calon Peserta Didik Baru MAN YOGYAKARTA III dan santri asrama Mutasyirul

Sasaran utama pengelolaan anestesi untuk pasien dengan cedera otak adalah optimalisasi tekanan perfusi otak dan oksigenasi otak, menghindari cedera sekunder dan

Permasala- han yang dikaji dalam penelitian ini adalah kualitas pelayanan yang diberikan oleh Koperasi Serba Usaha di Kecamatan Gringsing masih rendah atau belum baik, sehingga

Strategi utama yang dilakukan adalah; (a) internalisasi nilai-nilai keselamatan melalui briefing pagi, coffee morning, poster/spanduk, workshop dan pelatihan; (b)

Dalam tahap ini deret data musiman awal yang telah disesuaikan diproses lebih lanjut dengan menggunakan rata-rata bergerak untuk menghilangkan setiap pengaruh