• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONFORMITAS TEMAN SEBAYA DAN HEALTH BELIEF MODEL TERHADAP PERILAKU MEROKOK SISWA SMA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KONFORMITAS TEMAN SEBAYA DAN HEALTH BELIEF MODEL TERHADAP PERILAKU MEROKOK SISWA SMA"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

ISSN 2086-3098 (p) -- ISSN 2502-7778 (e)

24

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes --- http://forikes-ejournal.com/index.php/SF KONFORMITAS TEMAN SEBAYA DAN

HEALTH BELIEF MODEL TERHADAP PERILAKU MEROKOK SISWA SMA

Siti Rahmah

(Jurusan Kesehatan Lingkungan, Poltekkes Kemenkes Mamuju; e-mail: sitirahmah.akhsan@gmail.com)

Masnaeni Ahmad (Jurusan Keperawatan, Poltekkes Kemenkes Mamuju; e-mail: naeniahmad@gmail.com)

ABSTRAK

Global Youth Tobbaco Survey (GYTS) menyatakan Indonesia sebagai negara dengan angka perokok remaja tertinggi di dunia dimana sebagian besar laki-laki pertama kali merokok pada umur 12 – 13 tahun. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan konformitas teman sebaya dan health belief model terhadap perilaku merokok siswa SMA, dengan rancangan cross sectional. Subyek penelitian adalah 208 siswa laki-laki kelas XI dan XII di SMA 1 & 2 Mamuju yang dipilih dengan random sampling. Data dikumpulkan melalui pengisian kuesioner lalu dianalisis dengan uji korelasi. Penelitian ini menemukan korelasi antara konformitas teman sebaya dengan perilaku merokok pada siswa SMA laki-laki. Semakin seseorang konformistis dengan kelompok teman sebayanya maka semakin tinggi pula kecenderungannya untuk

menunjukkan perilaku merokok.

Konformistis terjadi karena adanya norma kelompok yang ditaati oleh individu sebagai bagian dari dirinya dan menjadi bentuk identitasnya baik di dalam kelompoknya maupun di dunia luar. Perilaku merokok dalam kelompok teman sebaya menjadi norma yang disepakati bersama dan ditunjukkan sebagai identitas baik di dalam kelompok maupun dunia luar.

Kata Kunci:

Health Belief Model, Konformitas teman sebaya, Perilaku merokok

PENDAHULUAN

Masalah kesehatan yang dihadapi oleh anak usia sekolah sangat kompleks dan bervariasi, salah satunya adalah perilaku merokok. Global Youth Tobbaco Survey (GYTS) menyatakan Indonesia sebagai negara dengan angka perokok remaja tertinggi di dunia dimana sebagian besar laki-laki pertama kali merokok pada umur 12-13 tahun dan sebagian besar perempuan pertama kali mencoba merokok

pada umur ≤7 tahun dan 14-15 tahun (Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI, 2014).

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku merokok, diantaranya faktor individu, lingkungan, dan sosio-demografi. Faktor individu meliputi sikap, pengetahuan, dan keyakinan terhadap rokok, dan suasana emosional seperti stres. Faktor lingkungan berhubungan erat dengan modelling, artinya bahwa individucenderung untuk memodelkan atau menuruti model yang ada di lingkungan yang menjadi perhatiannya. Model ini meliputi orang tua, saudara, teman sebaya, dan iklan rokok. Faktor sosio-demografi dapat dilihat dari umur, jenis kelamin, pendidikan dan penghasilan orang tua (Komasari & Helmi, 2000).

Masa remaja berada diantara masa anak-anak dan masa dewasa sehingga masa remaja disebut juga masa peralihan. Masa remaja berlangsung dari usia 12 tahun hingga usia 21 tahun. Secara lebih rinci masa remaja dibagi ke dalam 3 tahap yaitu: usia 12-15 tahun adalah masa remaja awal, 15-18 tahun adalah masa remajatengah, dan usia 18-21 tahun adalah masaremaja akhir (Monks, Knoers, & Haditono, 2015). Dalam masa remaja, remaja berusaha untuk melepaskan diri dari ikatan orang tua dengan tujuan untuk menemukan jati dirinya. Proses memisahkan diri dari orang tua diikuti dengan proses untuk mencari dan bergabung dengan teman-teman sebaya. Bagi remaja, teman sebaya merupakan tempat untuk mendapatkan informasi mengenai dunia di luar keluarganya, dan untuk dapat diterima sebagai anggota, remaja akan melakukan apa saja (Santrock, 2004).

(2)

ISSN 2086-3098 (p) -- ISSN 2502-7778 (e)

25

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes --- http://forikes-ejournal.com/index.php/SF kurang lebih sama atau identik guna

mencapai tujuan tertentu. Konformitas terhadap tekanan teman sebaya pada remaja bisa dapat menjadi positif atau negatif. Konformitas yang negatif contohnya ikut-ikutan teman yang melakukan hal negatif seperti merokok (Sears, Freedman, & Peplau, 2013). Seseorang yang memiliki tingkat konformitas yang tinggi akan banyak bergantung pada aturan-aturan dan norma yang berlaku dalam kelompoknya, termasuk dalam berperilaku. Demikian halnya perilaku merokok yang sering dilakukan oleh remaja merupakan salah satu akibat dari konformitas terhadap kelompok sebayanya yang dilakukan agar dirinya dapat diterima dalam pergaulan kelompoknya dan menghindari penolakan dari kelompok teman sebaya.

Keinginan seseorang berhenti merokok timbul disebabkan oleh pengetahuan seseorang terhadap bahaya rokok yang disertai dengan keinginan dan motivasi yang kuat untuk melaksanakannya (Nainggolan, 2004). Namun berdasarkan fenomena yang ada, banyak perokok yang gagal berhenti merokok meskipun telah mengetahui bahaya yang dapat ditimbulkan oleh rokok. Health belief model (Sarafino, Edward P; Smith, 2014) merupakan salah satu model kognitif yang dapat digunakan mengetahui perilaku kesehatan. Health belief model memberi kerangka kerja dalam memahami langkah-langkah khusus untuk berhenti merokok sebagai tindakan pencegahan (Sumijatun, 2006). Health belief model memiliki 4 komponen yang menggambarkan persepsi terhadap pencegahan dan manfaatnya, yaitu perceived susceptibility, perceived severity, perceived benefits, perceived barriers. Sedangkan cues toaction dipengaruhi faktor eksternal dalam menentukan perilaku kesehatan. Perceived susceptibility (persepsi terkena penyakit) dan perceived severity (persepsi keparahan) dapat mempengaruhi persepsi terhadap ancaman penyakit. Demikian halnya dengan cues to action dan faktor modifikasi (demografis, struktural, dan sosiopsikologis) juga dapat berpengaruh pada persepsi terhadap ancaman penyakit yang berhubungan langsung dengan kecenderungan seseorang untuk melakukan perilaku kesehatan. Sedangkan perceived benefit (persepsi terhadap manfaat) dan perceived barrier (persepsi terhadap penghambat)

merupakan prediktor utama dalam health belief model yang memiliki dampak sangat besar pada kecenderungan perilaku kesehatan seseorang (Pender, Murdaugh, & P, 2015).

Persepsi manfaat (perceived benefit) berhenti merokok berhubungan dengan motivasi berhenti merokok. Persepsi terhadap manfaat merupakan prediktor kuat dalam health belief model yang melatarbelakangi berbagai pilihan tindakan untuk berhenti merokok. Persepsi penghambat (perceived barrier) berhenti merokok berhubungan dengan motivasi berhenti merokok. Perlu teman pergaulan yang dapat melakukan penolakan sosial apabila seseorang diantaranya berhenti merokok. Hal-hal tersebut dapat berpengaruh signifikan dalam perilaku merokok. Perokok cenderung melanjutkan kebiasaannya tanpa ragu-ragu. Sehingga perokok mengalami penurunan motivasi berhenti merokok.Tingginya persepsi seseorang terhadap penghambat berhenti merokok dapat menjadi salah satufaktor penghambat motivasi berhenti merokok (Kumboyono, 2011).

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan konformitas teman sebaya dan health belief model terhadap perilaku merokok siswa SMA.

METODE PENELITIAN

(3)

ISSN 2086-3098 (p) -- ISSN 2502-7778 (e)

26

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes --- http://forikes-ejournal.com/index.php/SF sehingga disajikan dalam bentuk nilai-nilai

pemusatan dan penyebaran (Nugroho, 2014), selanjutnya dianalisis menggunakan uji korelasi Spearman.

HASIL PENELITIAN

Tabel 1. Distribusi Data Variabel

Variabel Rerata Standar

Deviasi Median Min Max

Perilaku Merokok 4,6 7,2 1 1 31

Konformitas

teman sebaya 51,8 8 53 20 69

Health belief

model 91,5 18,9 93 14 142

Keterangan: Min = Minimal; Max = Maximal

Tabel 1 menunjukkan bahwa pada variabel perilaku merokok, rata-rata responden mempunyai skor 4,6 dengan standar deviasi 7,2 dan median 1. Skor terendah pada variabel perilaku merokok adalah 1 dan skor tertinggi adalah 31. Pada variabel konformitas teman sebaya, rata-rata responden mempunyai skor 51,8 dengan standar deviasi 8 dan median 53. Skor terendah pada variabel konformitas teman sebaya adalah 20 dan skor tertinggi adalah 69. Sedangkan pada variabel health belief model, rata-rata responden mempunyai skor 91,5 dengan standar deviasi 18,9 dan median 93. Skor terendah pada variabel persepsi individu adalah 14 dan skor tertinggi adalah 142.

Tabel 2. Hasil Analisis Korelasi Bivariat

No Nama Variabel P- value r

Arah

1. Konformitas teman sebaya

0,01 0,17 Positif

2. Health belief model

0,17 0,09 Positif Keterangan: r = koefisien korelasi Variabel konformitas teman sebaya memperoleh nilai p-value sebesar 0,01 yang menunjukkan adanya korelasi dengan perilaku merokok. Nilai korelasi (r) sebesar 0,17 menunjukkan kekuatan korelasi sangat lemah antara keduanya sedangkan arah korelasinya adalah positif yang berarti semakin besar skor yang didapatkan di variabel konformitas teman sebaya maka semakin besar pula skor yang didapatkan pada variabel perilaku merokok.

Variabel health belief model memperoleh nilai p-value sebesar 0,17 yang menunjukkan tidak adanya korelasi dengan perilaku merokok. Nilai korelasi (r) sebesar 0,09 menunjukkan kekuatan

korelasi sangat lemah antara keduanya sedangkan arah korelasinya adalah positif yang berarti semakin besar skor yang didapatkan di variabel health belief model maka semakin besar pula skor yang didapatkan pada variabel perilaku merokok. Oleh karena tidak ada korelasi antara perilaku merokok dengan health belief model maka variable perilaku merokok dipecah ketiga aspek, yaitu frekuensi, durasi, dan intensitas merokok kemudian dihubungkan dengan persepsi individu seperti pada tabel berikut.

Tabel 3. Hasil Analisis Korelasi Bivariat Aspek Perilaku Merokok Terhadap Health

Belief Model

No Nama Variabel

P- value R

Arah

1.

Frekuensi Merokok

0,00 0,31 Positif

2. Merokok Durasi 0,00 0,32 Positif

3.

Intensitas Merokok

0,00 0,38 Positif

Keterangan: r = koefisien korelasi Tabel 3 menunjukkan bahwa masing-masing aspek pada perilaku merokok memiliki korelasi dengan health belief model. Berdasarkan kekuatan korelasi, intensitas merokok yang memiliki ikatan yang paling kuat dibandingkan dengan dua aspek lainnya karena memiliki nilai korelasi (r) sebesar 0,38.

Variabel konformitas teman sebaya maupun variabel health belief model terdiri dari beberapa aspek maka variabel tersebut dipecah sesuai dengan aspek tersebut seperti berikut ini.

Tabel 4. Hasil Analisis Korelasi Bivariat Aspek Konformitas Teman Sebaya

No Nama Variabel P- value R

(4)

ISSN 2086-3098 (p) -- ISSN 2502-7778 (e)

27

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes --- http://forikes-ejournal.com/index.php/SF dengam perilaku merokok adalah aspek

kekompakan (p-value = 0,02) dan aspek ketaatan (p-value = 0,02) dengan kekuatan korelasi yang sangat lemah dan arah yang positif.

Tabel 5 Hasil Analisis Bivariat Aspek Health Belief Model

No Nama

Variabel

P- value R

Arah

1. Perceived Susceptibility

0,07 0,13 Positif

2. Perceived Severity

0,46 0,05 Negatif

3. Perceived Threat

0,34 0,07 Negatif

4. Perceived Benefits

0,24 0,08 Positif

5. Perceived Barriers

0,60 0,04 Positif 6. Self Efficacy 0,20 0,09 Positif

Keterangan: r = koefisien korelasi Health belief model terbagi menjadi 6 aspek yaitu, perceived susceptibility, perceived severity, perceived threat, perceived benefits, perceived barriers, dan self efficacy. Keenam aspek tersebut tidak ada yang berkorelasi dengan perilaku merokok berdasarkan pada tabel 5 tapi aspek yang memiliki korelasi paling kuat dengan perilaku merokok adalah aspek perceived susceptibility karena aspek tersebut yang memiliki nilai p-value yang paling kecil.

PEMBAHASAN

Dari hasil penelitian ditemukan adanya korelasi konformitas teman sebaya dengan perilaku merokok. Semakin besar skor yang didapatkan di variabel konformitas teman sebaya maka semakin besar pula skor yang didapatkan pada variabel perilaku merokok. Dengan kata lain, semakin seseorang konformistis dengan kelompok teman sebayanya maka semakin tinggi pula kecenderungannya untuk menunjukkan perilaku merokok. Hal ini senada dengan penelitian Komalasari dan Helmi (Komasari & Helmi, 2000) (Komasari & Helmi, 2000) yang menyatakan bahwa lingkungan teman sebaya memberikan sumbangan yang berarti dalam perilaku merokok remaja. Baron dan Byrne (Baron & Byrne, 2005) menyatakan konformitas adalah kondisi dimana individu merubah perilakunya

dengan menganut pada norma sosial yang berlaku di lingkungannya. Norma kelompok adalah pedoman-pedoman yang mengatur sikap dan perilaku atau perbuatan anggota kelompok (Walgito, 2011). Jika merokok menjadi bagian dari norma kelompok maka anggota kelompok yang di dalamnya akan menunjukkan konformistis untuk merokok juga. Konformitas terhadap teman sebaya dalam penelitian ini diartikan sebagai kecenderungan individu untuk berperilaku sama dengan kelompok teman yang memiliki minat, tujuan, sifat, yang terlihat dari adanya kepercayaan terhadap teman sebaya, kepercayaan dan motivasi untuk memenuhi ajakan kelompok teman sebaya. Lingkungan kelompok sebaya yang mendukung untuk munculnya perilaku merokok akan menciptakan nilai/norma baru bagi individu yang ada di dalam kelompok tersebut untuk melakukan perilaku merokok (Permatasari & Wahyuni, 2011). Kelompok sebaya menyediakan suatu lingkungan, yaitu tempat teman sebayanya dapat melakukan sosialisasi dengan nilai yang berlaku, bukan lagi nilai yang ditetapkan oleh orang dewasa, melainkan oleh teman seusianya, dan tempat dalam rangka menentukan jati dirinya (Santrock, 2004). Dengan kata lain, seseorang yang konformistis pada kelompok teman sebayanya akan menginternalisasi merokok sebagai bagian dari pribadinya dan menunjukkan perilaku merokok baik di dalam maupun luar kelompoknya.

(5)

ISSN 2086-3098 (p) -- ISSN 2502-7778 (e)

28

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes --- http://forikes-ejournal.com/index.php/SF kelompok sehingga individu menunjukkan

perilaku yang sesuai dengan norma kelompok yaitu merokok. Aspek ketaatan membuat individu rela melakukan tindakan walaupun individu tidak menginginkannya. Sumber ketaatan dalam kelompok adalah tekanan terhadap individu untuk menampilkan perilaku yang diinginkan berupa ganjaran, ancaman, atau hukuman jika individu tidak berbuat atau berperilaku sesuai dengan norma kelompok (Bindah & Othman, 2011). Selain adanya tekanan, ketaatan juga ditentukan oleh kerelaan memenuhi permintaan orang lain hanya karena orang lain tersebut mengharapkannya. Perilaku merokok yang ditunjukkan oleh individu dalam kelompok menunjukkan ketaatan individu terhadap norma kelompok (Rosita, Suswardany, & Abidin, 2012). Ketaatan untuk merokok tidak terlepas dari norma kelompok yang memunculkan situasi yang terkendali, di mana segala sesuatunya diatur sedemikian rupa sehingga ketidaktaatan merupakan hal yang hampir tidak mungkin timbul.

Ketaatan dan kekompakan dalam suatu kelompok tidak terlepas dari peran seorang pemimpin dalam kelompok tersebut. Pemimpin dalam suatu kelompok memiliki beberapa fungsi antara lain memberikan struktur yang jelas dari situasi – situasi rumit yang dihadapi kelompoknya, mengawasi dan menyalurkan perilaku kelompok yang dipimpinnya yang berarti pemimpin kelompok bertugas mengendalikan perilaku anggota kelompoknya serta sebagai representasi dari kelompoknya ke dunia luar (Walgito, 2011). Perilaku merokok dalam kelompok menjadi salah satu bentuk perilaku kelompok yang digerakkan oleh pemimpin kelompok dan menjadi identitas kelompok ke dunia luar (Darojah, 2014). Sehingga kelompok yang menjadikan merokok sebagai norma kelompoknya dan digerakkan oleh pemimpinnya akan kompak dalam menunjukkan perilaku merokok baik di dalam kelompoknya sendiri maupun dunia luar.

Hasil penelitian menunjukkan tidak ada korelasi perilaku merokok dengan health belief model. Dengan kata lain, persepsi individu tidak mempengaruhi perilaku merokok yang dilakukan oleh individu melainkan dipengaruhi oleh faktor dari luar dirinya yaitu kelompok teman sebayanya. Namun masing-masing aspek pada perilaku merokok memilki korelasi dengan

health belief model. Aspek tersebut antara lain frekuensi merokok, durasi/lama berlangsungnya merokok dan intensitas merokok. Dari ketiga aspek perilaku merokok tersebut, aspek intensitas merokok memiliki ikatan yang paling kuat dibandingkan dengan dua aspek lainnya karena memiliki nilai korelasi (r) sebesar 0,38. Aspek intensitas menunjukkan banyaknya daya yang dikeluarkan oleh perilaku tersebut yaitu seberapa dalam dan seberapa banyak seseorang menghisap rokok. Health belief model yang berkeyakinan bahwa kesehatan orang yang merokok sama saja atau tidak lebih buruk dari orang tidak merokok akan menguatkan pengulangan (intensitas) perilaku merokok pada diri seseorang (Kumboyono, 2011).

Dari hasil penelitian, tidak ditemukan adanya korelasi antara health belief model dengan perilaku merokok. Dalam hal ini berarti subjek penelitian tidak meyakini bahwa perilaku merokok akan mengganggu kesehatannya (perceived susceptibility). Hal ini bisa disebabkan karena subjek penelitian belum terpapar oleh media promosi kesehatan yang dilakukan oleh institusi/tenaga kesehatan. Selain itu, paparan media massa seperti iklan televisi yang sifatnya persuasif (membujuk) menimbulkan image (citra) tentang seorang perokok itu keren dan efek samping rokok kesehatan tidak terlalu ditonjolkan.

KESIMPULAN DAN SARAN

(6)

ISSN 2086-3098 (p) -- ISSN 2502-7778 (e)

29

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes --- http://forikes-ejournal.com/index.php/SF keterampilan dalam mengutarakan

keinginannya dalam kelompoknya. DAFTAR PUSTAKA

Baron, R. A., & Byrne, D. (2005). Psikologi Sosial Jilid 2. (M. Jumiati, Ed.) (Kesepuluh). Jakarta: Erlangga.

Bindah, E. V., & Othman, N. (2011). The Role of Parental and Peer Smoking Influences in the Development of

Adolescents ’ Smoking Behavior : A

Review. Australian Journal of Basic and Applied Scuences, 5(11), 1054–1061. Darojah, S. (2014). Faktor Determinan

Penghambat Berhenti Merokok Pada Kepala Keluarga di Kecamatan Jatiyoso Kabupaten Karanganyar. Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Komasari, D., & Helmi, A. F. (2000). Faktor - Faktor Penyebab Perilaku Merokok Pada Remaja. Jurnal Psikologi, 1, 37– 47.

Kumboyono. (2011). Analisis Faktor Penghambat Motivasi Berhenti Merokok Berdasarkan Health Belief Model Pada Mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Malang. Jurnal Keperawatan Soedirman, 6(1), 1–8.

Monks, F. J., Knoers, A., & Haditono, S. R. (2015). Psikologi Perkembangan: Pengantar dalam berbagai bagiannya. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Nainggolan, R. . (2004). Anda Mau Berhenti Merokok? Pasti Berhasil. Bandung: Indonesia Publishing House.

Nugroho, H.S.W. 2014. Analisis Data Secara Deskriptif untuk Data Numerik. Ponorogo: Forum Ilmiah Kesehatan (FORIKES).

Pender, N. J., Murdaugh, C. L., & P, M. A. (2015). Health Promotion in Nursing Practice (Seventh). New Jersey: Pearson education,Inc.

Permatasari, I., & Wahyuni. (2011). Hubungan Pola Asuh Keluarga dan Lingkungan Teman Sebaya Dengan Perilaku Merokok Pada Remaja Usia 11 - 20 Tahun di Desa Nambuhan Kecamatan Purwodadi Kota Purwodadi Kabupaten Grobongan. Gaster, 8(1), 706–721.

Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. (2014). Perilaku Merokok Masyarakat Indonesia Berdasarkan Riskesdas 2007 dan 2013. Jakarta. Rahmah, L., Sabrian, F., & Karim, D.

(2015). Faktor Pendukung dan Penghambat Intensi Remaja Berhenti Merokok. JOM, 2(2), 1195–1204.

Rosita, R., Suswardany, D. L., & Abidin, Z. (2012). Penentu Keberhasilan Berhenti Merokok Pada Mahasiswa. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 8(1), 1–9. Santrock. (2004). Adolescence,

Perkembangan Remaja (Keenam).

Jakarta: Erlangga.

Sarafino, Edward P; Smith, T. W. (2014). Health Psychology (8th ed.). New York: JohnWiley & Sons.

Sears, D. O., Freedman, J. L., & Peplau, L. A. (2013). Psikologi Sosial Jilid 2. (M. Adryanto, Ed.) (Kelima). Jakarta: Erlangga.

Sumijatun. (2006). Konsep Dasar Keperawatan Komunitas. Jakarta: EGC. Walgito, B. (2011). Psikologi Kelompok (III).

Gambar

Tabel 3. Hasil Analisis Korelasi Bivariat  Aspek Perilaku Merokok Terhadap Health Belief Model

Referensi

Dokumen terkait

Pemimpin OPD memiliki kemampuan untuk menterjemahkan kebijakan Bupati dan DPRD serta mampu mensinergikan seluruh stakekholder (Legeslatif dan eksekutif / OPD). Memiliki komitmen

Kekurangan yang masih dimiliki oleh SMAN 1 Baleendah adalah pencatatan peminjaman dan pengembalian yang masih bersifat manual sehingga rentan kehilangan sarana

1) Variabel seluruh dimensii dari servqual yaitu, bukti fisik, Keandalan, responsfi, garansi dan pedulian ber-pengaruh positif secara bersamaan terhadap kepuasan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem informasi perpustakaan berbasis web yang dibangun dengan perangkat lunak PHP dan MySQL, dapat bekerja dalam jaringan Internet,

Tujuan dari penelitian adalah mengembangkan desain motif-motif batik khas Kalimantan Timur yang akan memperkaya khasanah budaya batik Kalimantan Timur, disesuaikan dengan

• Sebagai desain awal – Analisa kehandalan menjadi dasar untuk desain awal dari sistem yang dibangun dengan memperkecil celah antara analisa dan desain seperti yang

Jadi, yang dimaksud dengan melakukan query TRIGGER pada contoh di atas adalah untuk melakukan sebuah output bahwa ada data yang sudah dirubah dimana nama data yang lama tersebut

Dari hasil penelitian yang dilakukakan oleh Yahrini (2009) dengan sampal 40 orang tentang pengaruh mengunyah permen karet rendah gula terhadap peningkatan sekresi saliva pada