Kuliner Soto Babat dan Teh Susu Depan Pasar Cinde Palembang
Delapan tahun lalu saat masih tinggal di Palembang, tepatnya tahun 2007, aku dan si Akang
pernah diajak tetangga kami, Pak Yusfik dan istrinya, menikmati kuliner soto babat di sebuah
warung makan sederhana di Palembang.
Mulanya aku heran mengapa mereka menganggap tempat makan sederhana itu sebagai
sesuatu yang istimewa hingga mengajak kami ke sana. Tempat makan itu menempati sebuah
ruko di jalan Jendral Sudirman, berseberangan dengan pasar Cinde. Tempat itu bergaya
seadanya,cenderung suram dan “jadul”, bahkan tidak ada papan namanya.
Meja-meja kayu dengan kursi plastik berbeda-beda warna. Ada yang putih dekil, merah pudar
dan hijau lusuh seakan membawaku pada suasana warung makan masa lalu.
“Kami ingin mengajak kalian bernostalgia. Dulu kami sering makan di sini. Sotonya enak. Dan
rasanya tetap tak berubah seiring waktu. “ Ujar Pak Yusfik disambut senyum manis istrinya.
Kami memesan soto babat campur daging dan nasi putih.
“Saya pesankan minuman istimewa ya. Es teh susu di sini enak lho. “ Pak Yusfik berkata
setengah promosi.
Kami mengangguk.
Lalu pelayan menyuguhkan soto babat daging dan nasi pesanan kami. Soto dengan kuah agak
Aku menyendok sedikit kuahnya, menunggu uap panasnya berkurang, lalu menghirup
pelan-pelan. Ternyata memang enak!
“Bagaimana?” Tanya Pak Yusfik.
Aku mengacungkan jempol sambil tersenyum. Pak Yusfik tertawa.
Lalu segelas pelayan mengangsurkan segelas teh susu. Penampilan minuman ini tak ada
istimewanya. Sama saja dengan teh susu di warung-warung pada umumnya.
“Coba cicipi teh susu ini.” Ujar Pak Yusfik.
Tak menunggu lama aku menyeruput minuman dingin itu. Ada rasa sedikit pahit dan sepet khas
daun teh yang sangat serasi berpadu dengan susu kental manis. Seketika aku terlempar kembali
ke masa kecil. Sudah lama sekali aku tak menjumpai rasa dan aroma teh persis seperti yang
tertanam dalam memori masa kecilku, saat tak banyak pilihan produk teh di pasaran. Seperti
inilah rasa dan aroma teh yang kunikmati bersama kakek, nenek, mami, papi dan tante-tanteku
di rumah besar milik kakek di Bandar Lampung dulu. Bukan main! Seteguk es teh susu di warung
sederhana ini menimbulkan kesan yang sangat menyentuh. Aku berterimakasih pada Pak Yusfik
dan istrinya yang sudah mengajak bernostalgia melalui wisata rasa.
Hari ini 25 Juli 2015, delapan tahun sejak kunjungan kami ke warung sederhana di depan pasar
Cinde , aku dan Akang kembali menyambangi tempat itu.
Warung makan ini tak banyak berubah. Hanya sedikit lebih baik dari kondisi delapan tahun lalu.
Meja-meja masih dari kayu, dan kursinya juga tetap kursi plastik tapi kini warnanya seragam,
cat. Lantainya masih ubin pc abu-abu kuno yang suram dan retak-retak. Jangan berharap
warung ini mengikuti konsep caffe-caffe modern yang berdesain kekinian. Tidak. Warung ini
setia pada gaya jadul seadanya.
Kami kembali memesan menu yang sama dengan pesanan delapan tahun lalu. Soto babat
daging dengan es teh susu. Ternyata rasanya tetap tak berubah. Sotonya enak, dengan babat
dan daging yang lembut, dicampur sedikit toge, berkuah kuning mengepul panas. Es teh
susunya kembali membuaiku menelusuri masa kecil lewat sentuhan rasa unik pahit sepat manis
pada indra pengecapku. Alhamdulillah senangnya…
Yang membuatku tersenyum adalah para pengunjung yang menikmati menu di tempat ini masih
seperti dulu. Rata-rata para manula yang tampaknya menjadi pelanggan setia. Kesetiaan para
pelanggan ini tentulah karena rasa masakan yang juga terjaga, tak berubah seiring waktu.
Harga yang kami bayar untuk dua porsi soto babat daging, nasi, dua kerupuk dan dua gelas es
teh susu adalah Rp. 60.000,-
Ingin mencoba? Silahkan mampir ke warung tanpa nama di depan pasar Cinde Palembang.