• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konflik dan kekerasan dalam pandangan Pa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Konflik dan kekerasan dalam pandangan Pa"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Konflik dan Kekerasan dalam Pandangan Talcott Parson

Oleh : M. SYAIFUL

PROLOG

Manusia tentu saja cenderung mengharapkan keseimbangan antara ekspektasi nilai dan kapabilitas nilai. Tetapi kondisi seperti itu tidak bisa dicapai oleh semua manusia. Dalam kenyataannya, banyak manusia dihadapkan pada kesenjangan antara keduanya. Pada akhirnya kesenjangan ini melahirkan konflik dan kekerasan. Kajian yang dilakukan Charles Y. Glock (dalam Ronald I. Johnstone, 1983) semakin memperjelaskan kaitan konflik dan kekerasan dengan kondisi deprivasi relatif yang dialami manusia.

(2)

Dari pelbagai perspektif teoritik di atas, kajian ini selanjutnya akan memfokuskan pada analisis kebudayaan dalam memahami konflik dan kekerasan. Dengan pilihan terhadap analisis kebudayaan tidak berarti menegasikan perspektif teori lainnya. Pilihan ini semata-mata didasarkan pada relevansinya dengan sebuah wacana yang ingin mengkaji konstruksi budaya nir-kekerasan dalam studi agama yang berbasis multikulturalisme. Dengan demikian, penelitian ini lebih banyak bekerja di ranah kebudayaan, dari pada di ranah material dan politik. Kebudayaan memiliki pengaruh kuat terhadap perilaku manusia seperti perilaku dalam berhubungan dengan kelompok agama lain.

Salah satu pandangan mengatakan bahwa kebudayaan manusia terdiri dari nilai, kepercayaan, norma, rasionalisasi, simbol, dan ideologi (Thompson, Ellis, dan Wildavsky, 1990). Semua unsur kebudayaan ini selanjutnya menjadi faktor determinan terhadap cara berfikir, perasaan, dan tindakan manusia ketika berinteraksi dengan lingkungan sosialnya (Gollnick dan Chinn, 2002). Namun tetap diakui adanya dialektika antara faktor subyektif manusia dengan lingkungan sosialnya. Jika dikatakan bahwa tindakan manusia dipengaruhi oleh dunia maknanya yang berbentuk kebudayaan, tidak boleh dilupakan, kebudayaan manusia sendiri sebenarnya merupakan hasil internalisasi dari lingkungan sosialnya. Untuk menjembatani hubungan antara manusia dengan lingkungan sosialnya, Talcott Parson, mengembangkan teori, The Structure of Social Action.

Melalui teorinya ini, Parson, di satu pihak mengakui adanya kesukarelaan manusia dalam melakukan tindakan (voluntaristic action), sedangkan di pihak lain, Parson tidak mengabaikan lingkungan sosial manusia. Berikut ini prinsip-prinsip fundamental tindakan manusia dari Parson: (1) individu sebagai aktor; (2) aktor memiliki tujuan yang ingin dicapai; (3) aktor memiliki pelbagai cara yang mungkin dapat dilaksanakan untuk mencapai tujuan yang diinginkan tersebut; (4) aktor dihadapkan pada pelbagai kondisi dan situasi yang dapat mempengaruhi pemilihan cara-cara yang akan digunakan untuk mencapai tujuan tersebut; (5) aktor dipandu oleh nilai-nilai, norma-norma dan ide-ide dalam menentukan tujuan yang diinginkan dan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut; (6) perilaku, termasuk bagaimana aktor mengambil keputusan tentang cara-cara yang akan digunakan untuk mencapai tujuan, dipengaruhi oleh ide-ide dan situasi kondisi sosial yang ada (Jonathan H. Turner, 1982; George Ritzer dan Douglas J. Goodman, 2004).

(3)

norma, simbol, rasionalisasi, dan ideologi, yang berpengaruh dalam tindakan manusia. Semua unsur kebudayaan ini tidak diperoleh manusia secara genetik, atau transmisi secara biologis, tetapi melalui proses belajar (Freedman, et.all, 1952; Ihromi, 1990). Sebagaimana halnya mekanisme biologis pada makhluk hidup yang digerakkan oleh kebutuhan, manusia juga demikian. Semua makhluk hidup butuh makanan. Jika makhluk hidup merasa lapar, secara butuh ingin makan. Kebutuhan terhadap makanan bukan kebudayaan, karena bersifat instingtif. Konsep kebudayaan baru bisa dipakai pada kasus makanan jika berkaitan dengan tata cara makan yang diperoleh melalui proses belajar. Sedangkan segala sesuatu yang bersifat instingtif tidak diperoleh melalui proses belajar. Nilai, norma, simbol, rasionalisasi, dan ideologi, hanya bisa menjadi bagian penting dalam kehidupan manusia jika diperoleh melalui proses belajar. Salah satu proses penting untuk mempelajari pelbagai unsur budaya tersebut adalah melalui sosialisasi, yakni proses dalam mana individu mempelajari budaya masyarakatnya (M. Haralambos dan M. Holborn, 1994).

Lewat proses sosialisasi, individu-individu masyarakat belajar mengetahui dan memahami tingkah tingkah pekerti apakah yang harus dilakukan, dan tingkah pekerti-tingkah pekerti apa pulakah yang harus tidak dilakukan (terhadap dan berhadapan dengan orang lain) di dalam masyarakat. Melalui proses sosialisasi ini pula individu-individu belajar mengetahui dan memahami tingkah pekerti-tingkah pekerti apakah yang harus dilakukan, atau tidak dilakukan (terhadap dan sewaktu berhadapan dengan dia, atau dengan orang ketiga) dalam masyarakat. Ringkas kata, lewat sosialisasi warga masyarakat akan saling mengetahui peranan masing-masing dalam masyarakat, dan karenanya kemudian dapat bertingkah pekerti sesuai dengan peranan sosial masing-masing itu, tepat sebagaimana diharapkan oleh norma-norma sosial yang ada dan selanjutnya mereka-meraka akan dapat saling menyerasikan serta menyesuaikan tingkah pekerti masing-masing sewaktu melakukan interaksi-interaksi sosial (Soetantyo Wignjosoebroto dan Bagong Suyanto, 2004).

(4)

orang tuanya. Oleh karena dunia anak-anak adalah bermain, maka peniruan praktik agama, katakanlah ibadah solat, doa, dan lain sebagainya, dilakukan dengan main-main, tanpa perlu mengetahui alasan di balik praktik tersebut. Inilah yang disebut dengan play stage. Pada tahapan berikutnya, game stage, individu mulai mengetahui alasan di balik praktik ibadah itu meskipun belum begitu mendalam. Pada tahapan ini individu sudah mengerti bahwa praktik ibadah itu dalam rangka menyembah Tuhan. Individu mulai menemukan pengertian terhadap peranan yang dilakukan orang lain pada sosialisasi tahap ketiga, generalized others. Pada tahapan ini pula, individu menemukan media identifikasi. Agama dengan demikian muncul menjadi bagian dalam apa yang disebut dengan in- group feeling. Ia akan melakukan tindakan dalam agama sebagaimana yang dilakukan kelompoknya. Maka tidak heran jika kemudian agama menjadi sebuah kategori atau golongan askriptif, sebagaimana unsur kebudayaan lainnya.

Dalam posisi yang demikian, individu, menurut Parsudi Suparlan (2003) tidak mempunyai pilihan lain kecuali mengikuti kebudayaan (agama) kelompoknya. “Keterpaksaan” yang dialami individu ketika berhadapan dengan kebudayaan kelompoknya, mengingatkan pada konsep fakta sosial yang dikembangkan oleh teoritikus struktural fungsional, Emile Durkheim. Fakta sosial yang dimaksud Durkheim adalah: “Consists of ways of acting, thinking and feeling, external to the individual and endowed with the power of coercion by reason of which they exert control” (Ken Morrison, 1996). Kebudayaan memiliki “daya memaksa” kepada individu sehingga tidak memiliki pilihan lain kecuali bertindak sebagaimana kebudayaan kelompoknya. Keberagamaan individu seringkali juga diperoleh melalui proses yang demikian.

(5)

Masalah muncul ketika keberagamaan individu yang telah berkembang menjadi identitas kelompok berhadapan dengan identitas kelompok lainnya, karena sebagaimana dikatakan Ronald I. Johnstone (1983): “Group members feel and express a sense of identification with the group.” Dalam kajian antropologi dikenal konsep bounded system

untuk menggambarkan adanya teritorialisasi masyarakat berdasarkan wilayah geografis dan nilai-nilai kebudayaannya (Irwan Abdullah, 1999). Masyarakat memiliki kecenderungan alami mempertahankan batas-batas terioterialnya tersebut, sebagaimana yang juga terjadi dalam kehidupan agama. Dalam konteks ini, selalu terjadi paradoks antara in-group dan out-group yang mengambil beberapa bentuk sebagai berikut: pertama, stereotip, yakni pandangan (image) umum suatu kelompok tentang kelompok lainnya (Paul B. Horton dan Chester L. Hunt, 1984). Meskipun stereotip ada yang berkonotasi positip, tetapi pada umumnya stereotip selalu digunakan untuk memberikan pencitraan negatif terhadap kelompok lain. Terhadap kelompoknya sendiri selalu diberi penilaian sebagai kelompok terpandai dan superior (as virtuos and superior), yang melahirkan sikap: willingness to fight and die for in- group. Sedangkan terhadap kelompok luar dipandang sebaliknya, yaitu rendah, immoral, dan inferior (as contemtible, immoral, and inferior), yang melahirkan sikap: distrust and fear of the out-group (Robert A. Levine dan Donald T. Campbell, 1972).

SEBUAH KASUS

Dari beberapa penelitian terhadap konflik yang berkembang di Indonesia, konflik dalam wilayah agama memperoleh perhatian serius. Hal ini karena konflik pada wilayah agama seringkali terjadi baik dengan eskalasi konflik yang luas maupun terbatas. Konflik di Ambon dan Poso merupakan contoh yang memiliki eskalasi yang luas. Konflik di Ambon dan Poso memang tidak bisa hanya dipahami dari perspektif agama. Dari penelusuran terhadap konflik di Ambon dan Poso diperoleh suatu kesimpulan bahwa konflik di Ambon tidak murni bersinggungan dengan masalah keagamaan, tetapi juga berkaitan dengan persoalan pembangunan yang ternyata membawa ekses disparitas terhadap orang-orang miskin. Meskipun demikian, nuansa keagamaan dalam konflik di Ambon sulit ditutupi.

(6)

konflik. Menurut perspektif konflik dalam paradigma fakta sosial, perkembangan konflik biasanya melewati tiga tahapan, yaitu: latent tension, nascent conflict, dan intensified conflict. Pada tahapan pertama, latent tension, konflik masih dalam bentuk kesalahpahaman antara satu dengan lainnya, tetapi antara pihak yang bertentangan belum melibatkan dalam konflik. Tahapan ini bisa disebut juga dengan konflik autistik. Pada tahapan kedua, nescent conflict, konflik mulai nampak dalam bentuk pertentangan meskipun belum menyertakan ungkapan-ungkapan ideologis dan pemetaan terhadap pihak lawan secara terorganisasi. Sedangkan pada tahapan ketiga, intensified conflict, konflik berkembang dalam bentuk yang terbuka disertai dengan radikalisasi gerakan di antara pihak yang saling bertentangan, dan masuknya pihak ketiga ke dalam arena konflik.

Kajian dari paradigma ini bisa digunakan sebagai kerangka teoritik dalam mencermati konflik di Ambon dan Poso karena memiliki eskalasi yang luas seperti ditunjukkan dengan pelibatan pihak lain. Solidaritas keagamaan menjadi pendorong utama keterlibatan pihak ketiga dalam konflik di Ambon dan Poso. Kentalnya warna keagamaan konflik di Ambon dan Poso menarik perhatian banyak kalangan untuk membuat citra bahwa konflik tersebut adalah konflik antaragama. Pencitraan ini mengandung maksud, perbedaan agama (Islam dan Kristen) menjadi penyebab terjadinya konflik horizontal di Ambon dan Poso.

(7)

dimensi esoterik agama-agama yang dapat mengarahkan orientasi keberagamaan kepada tujuan yang lebih universal (Komaruddin Hidayat dan Muhammad Wahyuni Nafis, 2003).

Referensi

Dokumen terkait

Kedua, Bagaimana Analisis Hukum Islam Terhadap Penguatan Program Tribina (Bina Keluarga Balita, Remaja, Lansia) di Kecamatan Cerme Kabupaten Gresik. Penelitian ini merupakan

Dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM-MP), khususnya program Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP) serta Usaha Ekonomi Produktif

Penulis memilih divisi Media karena Media merupakan salah satu komonen yang penting di dalam sebuah agency periklanan.. Divisi Media lah yang akan memilih media mana

 Etika yang berarti Mengenai filsafat etika Al-Ghazali secara sekaligus dapat kita lihat pada teori tasawufnya, Maksudnya adalah agar manusia sejauh kesanggupannya meniru

Secara keseluruhan dapat dilihat pengendalian proses yang dapat dilakukan oleh sistem yang digunakan masih banyak mengalami kekurangan dan masih harus diperbaiki serta

Pada tahap ini maka akan dilakukan pembuatan model simulasi mengenai model rantai pasok sampah organik yang terdapat pada penelitian yang dilakukan yaitu alur

Pada waktu perkembangan kebudayaan mencapai puncaknya berwujud unsur-unsur budaya yang bersifat halus, indah, tinggi, sopan, luhur dan sebagainya, maka masyarakat