• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perubahan Kelembagaan Dalam Meningkatkan produktifitas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Perubahan Kelembagaan Dalam Meningkatkan produktifitas"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

1

1. PENDAHULUAN

Persoalan-persoalan krisis lingkungan, berupa kerusakan sumberdaya alam, termasuk sumberdaya hutan, akhir-akhir ini menjadi isu yang hangat untuk diperbincangkan dan mendapat perhatian besar dari hampir semua negara-negara di dunia. Hal ini terjadi mengingat manusia dihadapkan pada serangkaian masalah-masalah global yang membahayakan biosfer dan kehidupan makhluk hidup.

Penyebab kerusakan lingkungan hidup secara umum bisa dikategorikan dalam dua faktor yaitu akibat peristiwa alam dan akibat ulah manusia. Letusan gunung berapi, banjir, abrasi, tanah longsor, angin puting beliung, gempa bumi, dan tsunami merupakan beberapa contoh bencana alam sebagai penyebab rusaknya lingkungan hidup akibat peristiwa alam. Meskipun jika ditelaah lebih lanjut, bencana seperti banjir, abrasi, kebakaran hutan, dan tanah longsor bisa saja terjadi karena adanya campur tangan manusia juga. Penyebab kerusakan lingkungan hidup yang kedua adalah akibat ulah manusia. Kerusakan yang disebabkan oleh manusia ini biasanya lebih besar dibanding kerusakan akibat bencana alam, mengingat kerusakan yang dilakukan bisa terjadi secara terus menerus dan cenderung meningkat.

Terkait dengan kerusakan hutan, dengan mengacu pada data FAO, Indonesia termasuk negara perusak hutan terbesar di dunia dengan laju kerusakan dua persen atau 1,87 juta hektare per tahun yang berarti setiap hari terjadi kerusakan hutan seluas 51 kilometer persegi. WWF dan Greenpeace menempatkan Indonesia di peringkat tertinggi pembabatan hutan dunia dengan rekor 1,6 juta hektare per hari di Kalimantan, Papua, dan Sumatra.(news.liputan6.com, 8 September 2012). Beberapa fakta lain terkait tingginya kerusakan hutan di Indonesia diungkapkan oleh Khan, (2010); Hidayat, (2011); dan juga Elias, (2013) yang menyatakan bahwa laju deforestasi mencapai 1,8 juta hektar/tahun yang mengakibatkan 21% dari 133 juta hektar hutan Indonesia hilang.

Kajian terakhir yang juga dipublikasikan dalam jurnal Science menyebutkan bahwa sepanjang 2001-2013 Indonesia telah kehilangan 15,8 juta hektare hutan. Situasi yang terjadi Indonesia berbanding terbalik dengan yang terjadi di Brasil. Brasil mampu menekan laju penggundulan hutan dari 4 juta hektare di tahun 2003 sehingga menjadi di bawah 2 juta hektare pada tahun 2012. Sementara itu, laju penggundulan hutan Indonesia malah cenderung meningkat dari 1 juta hektare pada 2003 menjadi 2 juta hektare di tahun 2012 (tempo.co, 14 Mei 2014; nationalgeographic.co.id, Juli 2014).

Sejalan dengan kajian UN-REDD (2013), tingginya kerusakan hutan ini menunjukkan bahwa tata kelola kehutanan di Indonesia terkategori rendah atau dengan kata lain bahwa pengelolaan hutan di Indonesia belum didasarkan pada prinsip-prinsip tata kelola kehutanan yang baik. Hasil kajian yang dilakukan UN-REDD (2013) pada 31 lokasi yang tersebar di tingkat nasional, 10 tingkat provinsi dan 20 tingkat kabupaten menunjukan, secara keseluruhan indeks tata kelola berdasarkan prinsip tata kelola kehutanan berada pada angka 2,33 dari kisaran nilai indeks 0,00–5,00. Skor 2,33 berasal dari nilai agregat pusat 2,78, lalu nilai agregat rata-rata provinsi 2,39, dan nilai agregat kabupaten 1,80. Nilai indeks tata kelola hutan, lahan, dan REDD+ berdasarkan prinsip tersebut masih di bawah nilai tengah yaitu nilai 3,00.

(2)

2

menyebabkan stakeholder tidak bersdia memberi sanksi kepada pihak-pihak yang merusak SDH; (c) kelemahan tata kelola kehutanan (forestry governance) yang pada akhirnya menjadikan persoalan kehutanan semakin kompleks seperti pengkonversian hutan alam tanpa proses konsultasi publik, penanaman hutan tanaman yang mengabaikan hak-hak masyarakat sekitar hutan, dan teknik pengelolaan hutan yang diterapkan justru menghilangkan keragaman hayati.

Diamond (2005) dalam Kartodihardjo (2006) menelaah kegagalan dan keberhasilan kehidupan suku, bangsa, perusahaan, dalam melakukan pengelolaan sumberdaya alam di beberapa negara. Salah satu pelajaran yang dapat ditarik dari telaah Diamond tersebut adalah pentingnya mengubah arah kebijakan secara mendasar dari bangsa-bangsa di dunia untuk menghindari masalah-masalah besar yang dihadapi, khususnya akibat kerusakan sumberdaya alam. Perubahan orientasi kebijakan dapat dilakukan hanya apabila suatu fenomena tertentu yang dihadapi oleh suatu negara dapat difahami dari berbagai sudut pandang secara komprehensif. Disamping itu, perubahan nilai-nilai (values) yang digunakan juga mempunyai peran penting. Sebagaimana

dikatakan Peters (2000) bahwa ”institution must become institution”. Seringkali upaya

perubahan kelembagaan – dalam hal ini adalah aturan main dan instrumennya – tidak diikuti oleh pembaruan landasan filosofi dan kerangka pikir yang digunakan.

Sejalan dengan itu Nugroho (2013) menyebutkan bahwa kegagalan tata kelola kehutanan disebabkan dua persoalan utama yaitu: (1) kegagalan dalam menyediakan peraturan/perundangan/kebijakan yang efisien dan efektif dan (2) kegagalan dalam membangun kapasitas organisasi yang mampu menjalankan peraturan/perundangan/ kebijakan untuk pencapaian tujuan hutan lestari dan masyarakat sejahtera. Kegagalan pertama berkaitan dengan institutional arrangement atau rules of the game. Dan kegagalan kedua merujuk pada institutional environment atau institutions of governance.

Dalam upaya penanganan kegagalan tata kelola kehutanan yang ada, Nugroho (2013) dengan merujuk kepada Mayers, dkk., (2002), menyatakan bahwa pencapaian

Sustainable Forest Management tidak dapat dilepaskan dari enabling policy, legal dan

institutional conditions dalam upaya pencapaian good foresry governance (GFG). Di sisi lain Heriyanto (2007); Llewellyn (2007) menyatakan bahwa penata kelolaan krisis lingkungan hidup termasuk hutan yang kini sedang melanda dunia bukanlah melulu persoalan teknis, ekonomis, politik, hukum, dan sosial-budaya semata, melainkan diperlukan upaya penyelesaian dari berbagai perspektif, termasuk salah satunya adalah perspektif etika (prilaku manusia) dan norma-norma hukum untuk keselamatan alam semesta (kosmos). Sedangkan Darusman (2012) menyatakan perlunya memperhatikan faktor moral sebagai hal yang penting dalam rancangan atau perumusan kebijakan pengelolaan hutan. Jauh sebelumnya INFORM/CI (2006) menyatakan bahwa penanganan kerusakan lingkungan secara teknik-intelektual sudah banyak diupayakan, namun secara moral-spiritual belum cukup diperhatikan dan dikembangkan. Oleh sebab itu, pemahaman masalah lingkungan hidup dan penanganannya perlu diletakkan di atas suatu fondasi moral dengan cara menghimpun dan merangkai sejumlah prinsip, nilai dan norma, serta ketentuan hukum yang bersumber dari ajaran agama.

Mengacu pada pemaparan pendahuluan yang ada maka paper ini dilakukan untuk mendapatkan pengetahuan tentang perubahan kelembagaan pengelolaan SDH serta perubahan orientasi kebijakan yang semestinya dapat dilakukan dengan mengacu pada perspektif Good Forestry Governance1 serta bagaimana pendekatan etika dalam perumusan kebijakan.

(3)

3

2. PENGERTIAN DAN LINGKUP PERUBAHAN KELEMBAGAAN

Asumsi dalam Kelembagaan

Sudah dipahami secara umum bahwa makna kelernbagaan bukan hanya lernbaga dalam pengertian organisasi atau perangkat “keras", rnelainkan perangkat lunak, aturan main, keteladanan, rasa percaya, serta konsistensi kebijakan yang diterapkan oleh pernerintah terhadap lembaga-lembaga masyarakat (Peters, 2000; Ostrom, 2008). Kelembagaan melihat hukum dari sisi kemanfaatan dan rasa keadilan yang diciptakannya dan bukan aspek legalitasnya saja.

Dalam telaah pustaka mengenai kelembagaan, Peters (2000) menyebutkan bahwa terdapat empat aliran pemikiran mengenai kelembagaan. Pertama, kelembagaan dirumuskan dengan pendekatan normatif. Dalam pendekatan ini logika tentang kesesuaian (logic of appropriateness) dianggap menjadi dasar perilaku individu yang dikendalikan oleh suatu kelembagaan. Yang berlawanan dengan logika kesesuaian tersebut adalah logika tentang konsekuensi (logic of consequentiality) yang menjadi dasar teori pilihan rasional.

Berdasarkan pendekatan normatif tersebut, individu-individu yang dikendalikan dalam suatu kelembagaan tertentu mempunyai perilaku yang didasarkan pada standar normatif dan tidak menggunakan keputusan-keputusan untuk menguntungkan dirinya sendiri. Standar perilaku normatif tersebut kemudian dijadikan dasar pembentukan kelembagaan dan menjadi landasan nilai-nilai sosial yang berlaku.

Kedua, kelembagaan dirumuskan berdasarkan pilihan rasional. Dalam hal ini, kelembagaan mengatur dan menetapkan insentif bagi seluruh individu dan perilaku individu-individu tersebut ditentukan oleh struktur insentif yang tersedia. Tidak seperti dalam pendekatan normatif, dalam pendekatan pilihan rasional ini, nilai dan sikap (sets of preferences) individu-individu yang didasarkan atas rasionalitas tersebut dianggap tidak pernah berubah.

Ketiga, pendekatan historis. Dalam pendekatan ini, kebijakan dan aturan di dalam suatu kelembagaan yang telah ditetapkan dianggap selalu tetap memberi pengaruh bagi individu-individu dalam jangka panjang. Dalam kondisi demikian ini dianggap terdapat ketergantungan antar waktu (path dependency) yang pada gilirannya kelembagaan di masa lampau tetap memberi warna terhadap kebijakan-kebijakan yang ditetapkan di saat

ini. Terjadinya kondisi “status quo” dapat dijelaskan oleh pendekatan yang ketiga ini.

Keempat, pendekatan empiris (empirical institutionalism). Dalam pendekatan ini biasanya pertanyaan yang dijawab adalah apakah dengan bentuk kelembagaan yang berbeda akan dikeluarkan kebijakan yang berbeda. Pendekatan ini banyak digunakan untuk menganalisis lembaga-lembaga pemerintah. Lembaga-lembaga pemerintah inilah yang dianggap sebagai kelembagaan yang mengendalikan perilaku individu-individu dalam masyarakat.

Berdasarkan keempat pendekatan tersebut, dalam setiap analisis mengenai kelembagaan, yang terpenting adalah menetapkan pendekatan mana yang akan digunakan. Pendekatan mana yang dipilih, sangat tergantung pada asumsi-asumsi yang digunakan dan kesesuaiannya dengan situasi dan kondisi lapangan yang dihadapi.

Perubahan Kelembagaan

Untuk tujuan yang lebih operasional, perubahan kelembagaan menjadi pokok pembicaraan. Tujuan perubahan kelembagaan adalah untuk mendapatkan kinerja lebih baik yang diharapkan. Dengan kata lain, untuk memperbaiki kinerja yang buruk, salah

(4)

4

satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan perubahan kelembagaan. Menurut Peters (2000), perubahan kelembagaan terdiri dari dua hal. Pertama, proses institusionalisasi, atau secara populer biasa disebut sebagai pelembagaan. Kedua, perubahan norma atau nilai-nilai atau struktur yang menjadi karakteristik kelembagaan tersebut.

Dalam proses institusionalisasi pokok masalahnya adalah bagaimana mengubah kelembagaan menjadi “kelembagaan”. Maksudnya, perlu ada perubahan yang sangat esensial agar kelembagaan benar-benar berubah, sehingga kinerja lebih baik yang diharapkan juga terjadi. Misalnya, apabila pemerintah merumuskan kebijakan baru atau mengubah suatu tugas pokok dan fungsi suatu lembaga/unit kerja, tetapi tidak ada akibat perubahan di lapangan seperti yang diharapkan, maka perubahan kelembagaan sebenarnya tidak pernah terjadi. Dalam hal ini Samuel Hutington dalam Peters (2000) menetapkan empat kriteria terjadinya proses institusionalisasi, yaitu:

1) Terdapat kemampuan lembaga untuk membuat dan menjalankan keputusan-keputusan yang dibuatnya;

2) Terdapat kemampuan lembaga untuk membentuk struktur di dalam dirinya sehingga dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan;

3) Terdapat kemampuan lembaga untuk mengelola aktivitas dan mengembangkan prosedur sehingga tugas-tugasnya selesai tepat pada waktunya.

4) Terdapat kesanggupan lembaga untuk beradaptasi terhadap lingkungannya;

Pengertian kedua dari perubahan kelembagaan adalah mengubah nilai-nilai dan aturan main untuk memperbaiki apa yang akan dihasilkan oleh berjalannya kelembagaan tersebut. Menilai hasil perubahan tersebut sangat tergantung pendekatan yang digunakan. Dengan pendekatan empiris, perubahan yang dimaksud lebih dipentingkan hasil akhir yang diakibatkannya. Misalnya perubahan kelembagaan dapat digambarkan oleh perubahan perilaku masyarakat yang semula merusak hutan menjadi tidak merusak hutan secara permanen. Oleh karena itu dalam proses institusionalisasi perlu dimasukkan nilai-nilai ke dalam struktur kelembagaan yang baru, dan bukan sekedar mementingkan, misalnya, perubahan Surat Keputusan atau nama dan struktur organisasi.

Kelembagaan erat kaitannya dengan governance. Kaufman, dkk., (2000) yang dikutif Ducan dan Toatu (2004), menyebutkan bahwa governance terdiri dari tradisi dan institusi yang menentukan bagaimana kewenangan-kewenangan dijalankan di suatu negara. Institusi yang dimaksud adalah aturan-aturan (formal dan informal) yang berkembang di suatu masyarakat yang mampu menetapkan insentif kerangka kerja perilaku individu (Nugroho, 2013).

Dalam perspektif governance, kelembagaan tersebut meliputi: (a) aturan bagaimana pemerintahan (governments) dipilih, menjalankan fungsinya secara akuntabel, dapat dimonitor dan diganti; (b) kapasitas pemerintahan mengelola sumberdaya secara efisien dan memformulasikan, mengimplementasikan, dan menegakkan kebijakan dan peraturan; (c) bagaimana masyarakat dan negara dapat menghormati kelembagaan (formal dan informal) yang mengatur interaksi kegiatan ekonomi dan sosial diantara mereka.

3. KONSEPSI TATA KELOLA KEHUTANAN YANG BAIK

(5)

5

kehadiran institusi-institusi formal negara, pembuatan kerangka hukum dan peraturan formal, norma dan nilai-nilai normatif dan pemberian layanan publik. Sedangkan konsep tata kelola berbasis hak, lebih melihat hubungan antar aktor negara dan non negara, struktur-struktur yang mendorong interaksi antar aktor, ruang negosiasi dengan pemegang otoritas publik, dan mekanisme akuntabilitas antar aktor (Saunders dan Reeve, 2010).

Kedua pendekatan ini memiliki kekuatan dan juga kelemahannya. Pendekatan tata kelola berbasis hukum dan aturan memiliki sejumlah kelemahan. Pendekatan yang mengandalkan model top-down, dan command-and-control itu bahkan dinilai telah kehilangan legitimasi dan efektivitasnnya. Ini bisa dilihat dari gagalnyanegara-negara kesejahteraan di Eropa Utara menghadapi krisis ekonomi pada tahun 1980-an. Kegagalan ini kemudian memunculkan gugatan dan pertanyaan mengenai efisiensidan konsep negara kesejahteraan. Hal ini pada gilirannya berimplikasi pada munculnya perubahan

konsep dan pendekatan pengelolaan dari ”government” ke” governance”, yang

ditunjukan dengan berpindahnya otoritas dan kompetensi dari negara ke lembagalembaga non negara, seperti organisasi internasional, NGOs dan swasta.

Sedangkan Saunders dan Reeve (2010) berpandangan berbeda. Mereka justru melihat pendekatan berbasis aturan masih sangat relevan dalam konteks perubahan transformatif pada sektor hutan dan lahan. Pendekatan ini sangat fungsional mengidentifikasi kebijakan-kebijakan yang harus ada untuk menangani kebijakan politik dan ekonomi pengelolaan sumberdaya hutan yang tidak kondusif akibat kelemahan dan ketidakjelasan kerangka hukum maupun penegakannya. Pedekatan berbasis aturan juga bermanfaat menentukan kriteria yang paling sesuai terkait dengan pengaturan pembagian manfaat dari kegiatan perlindungan hutan, disamping untuk memastikan apakah mekanisme akuntabilitas terhadap pemangku kepentingan dijalankan sesuai dengan aturan.

Dalam konsep tata kelola, negara adalah aktor yang paling utama dalam mengelola hutan. Ini tidak hanya berlaku di negara maju tetapi juga di Negara-negara yang sedang berkembang atau tidak hanya berlaku di Negara-Negara-negara sosialis yang menerapkan sentralisasi kekuasaan, tetapi juga di negara-negara yang menerapkan demokrasi liberal seperti di Amerika. Kepemilikan dan peran negara diperlukan untuk mencegah berulangnya ”tragedy of the commons” yang bersumber pada tindakan masing -masing pihak —baik individu, entitas negara dan bisnis— yang mengeksploitasi kekayaan alam milik bersama untuk kepentingan pribadi atau kelompok sehingga merugikan kepentingan publik (Hardin, 1961). Karena itu, Negara perlu mengatur kepemilikan dan akses terhadap sumberdaya alam termasuk hutan. Jika tidak, semua hutan akan jatuh ke tangan swasta yang lebih berorientasi ”personal profit gain”.

Menurut Humphreys (2006) dan Peluso (1994), pada masa kolonial maupun pasca kolonial, negara-negara penganut paham kapitalis atau sosialis telah terbukti gagal sebagai manager hutan yang kapabel. Para pengelola negara telah melakukan eksploitasi hutan yang melampaui daya dukungnya; memberikan izin kepada perusahaan swasta dan publik tanpa mekanisme pengawasan dan evaluasi yang efektif; dan para pengelola hutan tidak berfungsi sebagai pengelola hutan yang kredibel. Ini menyebabkan laju kerusakan hutan cukup tinggi dan dinyakinin sebagai peyumbang gas rumah kaca pasca revolusi industri terjadi di negara-negara Barat.

(6)

6

hutan itu sendiri. Oleh karenanya dalam membangun kerangka pikir batasan Tata Kelola Hutan yang Baik (good foresry governance) harus mencakup kajian terkait ‘tujuan’,

identifikasi aktor’, ‘mekanisme inter-relasi’, dan ’instrumen pengontrol mekanisme’

untuk pengurusan dan pengelolaan sumberdaya hutan.

Diyakini bahwa tata kelola kehutanan yang baik menjadi faktor penentu berhasil atau tidaknya dalam pengelolaan hutan lestari di Indonesia. Dalam konteks pengelolaan hutan, struktur dan praktek-praktek tata kelola sangat mempengahuri bagaimana masalah-masalah ditetapkan, kebijakan dibuat, dan dilaksanakan untuk mencapai kinerja tertentu yang ingin dicapai. Tata kelola yang baik ditandai oleh sikap menghormati kepastian hukum, transparansi dan aliran informasi yang bebas, keikutsertaan warga negara yang signifikan, kesetaraan, akuntabilitas yang tinggi, manajemen sumber-sumber daya publik yang efektif, dan terkendalinya korupsi. Kajian tata kelola ini diharapkan mampu

menyediakan diagnosa kondisi tata kelola hutan dalam bentuk “baseline data”,

rekomendasi kebijakan, dan peta jalan serta instrumen monitoring isu-isu tata kelola hutan.

UN-REDD (2013) dalam kajiannya menggunakan 117 indikator yang telah disepakati oleh para pihak untuk mengukur kondisi tata kelola hutan pada tingkat pusat, provinsi dan kabupaten. Indikator-indikator tersebut dikelompokkan kedalam 3 (tiga) komponen tata kelola hutan dan REDD yaitu: (1) hukum dan kebijakan, (2) kapasitas para aktor (pemerintah dalam pengertian luas, masyarakat sipil, masyarakat adat dan lokal, perempuan serta masyarakat bisnis), dan (3) kinerja masing-masing aktor. Prinsip-prinsip tata kelola dipergunakan sebagai parameter melihat komponen dan isu tata kelola hutan. Adapun prinsip-prinsip yang dipergunakan adalah partisipasi, transparansi, akuntabilitas, efektivitas, kapasitas dan keadilan.

Laporan hasil kajian UN-REDD (2013) tentang indeks tata kelola kehutanan berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola hutan yang dipakai menunjukkan bahwa Nilai indeks tata kelola hutan, lahan, dan REDD+ yang secara nasional didasari oleh komponen tata kelola hutan, lahan, dan REDD+ bernilai 2,33. Nilai tersebut berasal dari agregat rata-rata indeks komponen tata kelola hutan, lahan, dan REDD+ pada tingkat pusat sebesar 2,78, lalu nilai indeks rata-rata 10 provinsi yang memiliki hutan terluas sebesar 2,39, dan nilai indeks rata-rata 20 kabupaten dalam provinsi tersebut sebesar 1,8. Nilai indeks pada masing-masing tingkatan seperti pada tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten ini sendiri merupakan angka komposit dari 117 indikator dan 6 isu tata kelola hutan, lahan, dan REDD+ yang dikelompokkan kedalam tiga komponen tata kelola hutan, lahan, dan REDD+. Ketiga komponen tersebut adalah komponen hukum dan kebijakan, kapasitas para aktor (pemerintah dalam pengertian luas, masyarakat sipil, masyarakat adat dan lokal, perempuan serta masyarakat bisnis), dan kinerja masing-masing aktor.

Melihat nilai indeks tata kelola hutan, lahan, dan REDD+ berdasarkan komponen secara keseluruhan, skor akhir masih jauh di bawah nilai 3. Ini mengandung arti bahwa nilai indeks keseluruhan tata kelola hutan, lahan, dan REDD+ berdasarkan komponen masih belum baik terutama pada tingkat kabupaten yang nilai akhirnya di bawah angka dua. Dengan kata lain, kondisi tata kelola hutan, lahan, dan REDD+, berdasarkan komponen, masuk dalam kategori buruk pada tingkat kabupaten, dan kenyataannya semua hutan berada dalam wilayah administrasi kabupaten

(7)

7

menekankan adanya jaminan hukum (rules) yang memberikan landasan bagi pelaksanaan tata kelola yang baik; aktor yang menjalankan landasan hukum tersebut; serta praktik (aktualisasi) tata kelola kehutanan yang telah dijamin oleh peraturan perundangan.

Secara garis besar hasil penilaian Jaringan Tata Kelola Hutan Indonesia (2013) tentang kondisi tata kelola kehutanan di lokasi kajian (Propinsi Kalimantan Tengah dan Nusa Tenggara Barat) adalah: (1) Aspek Transparansi, meskipun sudah ada Undang undang No.14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik ternyata aspek Transparansi masih belum secara utuh diaktualisasikan, (2) Aspek Partisipasi, pada isu tenurial, dirasakan bahwa partisipasi masyarakat belum mendapatkan perhatian yang signifikan. Demikian juga dalam hal pengangaran, rapat anggaran dapat dijadikan tertutup (tanpa alasan) oleh DPR dan kemudian pada prakteknya diperparah dengan

keberadaan “mafia anggaran”, (3) Aspek Akuntabilitas dari pengelolaan hutan, akan

menjadi hasil dari sebuah proses yang transparan dan inklusif. Namun dalam implementasinya, ditemukan bahwa mekanisme dan pengaturan yang telah ada itu tidak dapat secara efektif dijalankan. Banyak faktor politis maupun prosedural yang menghambat pelaksanaan mekanisme akuntabilitas publik, (4) Aspek koordinasi, permasalahan koordinasi pada sistem birokrasi di Indonesia, memiliki kompleksitas yang sangat rumit. Demikian juga halnya yang terjadi pada sektor kehutanan, aspek koordinasi masih sangat terbatas pada pengaturan mengenai kejelasan kewenangan, tugas dan fungsi dari aktor penyelenggara negara. Namun ketika menyentuh kepada jaminan pelaksanaan koordinasi lintas sektor tidak terdapat satu kesatuan pola pengelolaan karena jaminan hukum tidak mengatur hal tersebut.

4. PENGUATAN KELEMBAGAAN DALAM

TATA KELOLA KEHUTANAN

Ditinjau dari perspektif ilmu manajemen hutan dan ilmu kelembagaan, kerusakan hutan Indonesia di luar Pulau Jawa pada umumnya karena tidak adanya organisasi pengelola di tingkat tapak. Situasi demikian menyebabkan pada sebagian kawasan hutan negara secara de facto menjadi sumberdaya ”open access”. Praktek-praktek illegal logging dan perambahan hutan menyebabkan terjadinya deforestasi dan degradasi hutan (Kartodihardjo, dkk., 2013). Kondisi ”open access” ini akibat lemahnya pengelolaan

hutan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan pemegang ijin usaha. Ketiga pihak ini di masa lalu dan bahkan hingga sekarang lebih berorientasi kepada mengeksploitasi komoditi kayu, bukan berorientasi kepada pengelolaan kawasan hutan

Dalam situasi demikian organisasi kehutanan harus mampu mentrasformasi dirinya dari organisasi yang berorientasi pengawasan, pengaturan, dan hanya fokus pada aspek-aspek teknis kehutanan dan berorientasi kepada objek dalam mengatasi masalah-masalah,

menjadi menjadi organisasi yang berorientasi pada pelayanan publik, lebih terbuka terhadap pandangan-pandangan keilmuan non kehutanan, dan berorientasi kepada subyek (aktor yang terlibat).

(8)

8

yang merupakan komponen kelembagaan dalam arti luas, dan organisasi akan berjalan bila kelembagaan mengizinkan dan memungkinkan.(DFID, 2003).

Inti dari GFG adalah bagaimana para aktor yang terlibat dapat ditata mekanisme inter-relasinya memalui berbagai instrumen pengontrol mekanisme inter-relsi tersebut untuk mencapai tujuan-tujuan bersama dalam pengurusan dan pengelolaan SDH dan penyediaan barang dan jasa secara berkelanjutan. Kegagalan membangun hubungan yang harmonis atau lemahnya kapasitas para aktor akan menyebabkan tujua-tujuan tersebut sulit untuk dicapai.

Kegagalan pencapaian GFG pada umumnya disebabkan oleh institusi (aturan main dan organisasi) dalam pengurusan dan pengelolaan hutan. Oleh karenanya guna mencapai GFG perlu dilakukan intervensi kelembagaan dalam memperbaiki kegagalan-kegagalan dengan tindakan seperti (Nugroho, 2013): (1) penataan peran, kewenangan, dan tangung jawab, (2) penguatan sistem pendanaan yang memadai, (3) penguatan sistem informasi, (4) penguatan sistem dan mekanisme penegakan sanksi, dan (5) akuntabilitas dan peradilan yang jujur.

Terkait penguatan kelembagaan dalam mencapai GFG, Kartodihardjo (2008) menyatakan bahwa tujuan melakukan perubahan kelembagaan adalah untuk mendapatkan kinerja lebih baik seperti yang diharapkan. Dengan kata lain, untuk memperbaiki kinerja yang buruk, salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan perubahan kelembagaan. Dengan demikian intervensi kelembagaan seharusnya diarahkan untuk memperbaiki kegagalan-kegagalan yang ada. Oleh karena itu untuk mencapai GFG diperlukan serangkain aksi seperti:

a) Penataan peran, kewenangan, dan tanggung jawab

Sesuai karakteristik barang dan jasa kehutanan, penataan ulang peran dan kewenangan fundamental yang perlu dilakukan adalah menanta peran negara/pemerintah dalam hal produksi barang dan jasa SDH. Di dlam mnjalankan fungsi produksinya, apakah negara harus memproduksi barang dan jasa privat sekaligus publik?

Sifat exludable dan divisible barang dan jasa privat menyediakan insentif bagi swasta untuk meproduksinya dan sekaligus menindikasikan bahwa untuk megkonsumsinya diperlukan persaingan yang melibatkan proses bisnis dan hanya orang yang memenuhi sayarat yang dapat mengkonsumsinya. Dengan demikian pelibatan negara/pemerintah sebagai pelaku ekonomi langsung untuk memproduksi barang dan jasa privat tidak akan menguntungkan. Sebaliknya untuk pure publik good and services

dimana melekat karakteristik non exludable dan divisible, maka negara sebagai representatif publik wajib menyediakannya, karena swasta tidak tidak akan tertarik untuk memproduksinya di satu sisi, sementara kebutuhan masyarakat akan barang dan jasa ini sangat tinggi.

b) Penguatan sistem pendaan yang memadai

Dalam pengelolaan SDH perlu ada kejelasan kaitan antara kebutuhan anggaran dengan layanan jasa publik yang akan dihasilkan (kinerja). Demikian juga bahwa setiap dana yang diperlukan tersebut disediakan tepat pada waktunya. Disisi lain juga penting mendekatkan organisasi pembiayaan dengan orgaisasi penghasil pendapatyang berimplkasi pada kebutuhan untuk menghadirkan administrasi yang otonom, transparan, dan akuntabel.

c) Sistem monitoring dan evaluasi kerja

(9)

9

d) Penguatan sistem dan mekanisme penegakan hukum

Sistem dan mekanisme penegakkan hukum dimaksudkan untuk memberi penghargaan (reward) kepada aktor yang berhasil menjalankan penguatan kelembagaan dan hukuman (punishment) bagi yang tidak mencapai kinerja yang ditentukan. Sebaik apapun kelembagaan yang dibangun tidak akan memiliki arti (sia-sia) jika tidak ada sanksi atas penyimpangannya. Penegakan sanksi memerlukan kapasitas, kewenangan, dan akuntabilitas organisasi (aktor) untuk dapat menegakkannya

e) Penyelesaian property rights

Poperty rights adalah hak yang dimiliki individu, masyarakat, negara atas suatu sumberdaya (asset/endowment) untuk mengelola, memperoleh manfaat, memindahtangankan, bahkan untuk merusaknya. Poperty rights merupakan institusi, karena di dalamnya mengandung norma-norma dan aturan main pemanfaatanya dan merupakan alat pengatur hubungan antar individu (North, 1990 dalam Nugroho, 2013). Konsep hak kepemilikan memiliki implikasi terhadap konsep hak (right) dan ewajiban (obligation) yang diatur oleh huku, adat, dan tradisi atau konsensus yan mengatur hubungan antar anggota masyarakat dalam hal kepentingannya terhadap sumberdaya.

Syarat kesempurnaan hak kepemilikan adalah (1) dapat diperjualbelikan (tradable), (2) dapat dipindahtangankan (transferable), (3) dapat mengeluarkan pihak lain yang tidak berhak (exludable), dan (4) dapat ditegakan hak-haknya (enforceable). Semakin banyak syarat terpenuhi, semakin sempurna hak kepemilikannya, sehingga semakin dapat diharapkan efisiensi alokasinya dan kelestarian pengelolaannya.

5. PENDEKATAN MORAL ETIKA DALAM

PENGUATAN KELEMBAGAAN

Isu-isu kerusakan lingkungan termasuk hutan menghadirkan persoalan etika yang rumit. Karena meskipun pada dasarnya alam sendiri sudah diakui sungguh memiliki nilai dan berharga, tetapi kenyataannya terus terjadi pencemaran dan perusakan. Keadaan ini memunculkan banyak pertanyaan. Apakah manusia sudah melupakan hal-hal ini atau manusia sudah kehilangan rasa cinta pada alam? Bagaimanakah sesungguhnya manusia memahami alam dan bagaimana cara menggunakannya?

Etika secara etimologis berasal dari bahasa Yunani ethosyang berarti “adat istiadat” atau “kebiasaan”. Maksudnya, etika berkaitan dengan kebiasaan hidup yang baik, tata cara hidup yang baik, baik pada diri sendiri atau masyarakat. Kebiasaan hidup yang baik ini dianut dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Etika digunakan dalam bentuk kaidah, aturan atau norma secara lisan oleh masyarakat, sehingga dikenal, dipahami dan dilaksanakan masyarakat.

Etika Lingkungan disebut juga Etika Ekologi. Etika Ekologi selanjutnya dibedakan menjadi dua yaitu etika ekologi dalam dan etika ekologi dangkal. Selain itu etika lingkungan juga dibedakan lagi sebagai etika pelestarian dan etika pemeliharaan. Etika pelestarian adalah etika yang menekankan pada mengusahakan pelestarian alam untuk kepentingan manusia, sedangkan etika pemeliharaan dimaksudkan untuk mendukung usaha pemeliharaan lingkungan untuk kepentingan semua mahluk.

Sikap dan perilaku seseorang terhadap sesuatu sangat ditentukan oleh bagaimana pandangan seseorang terhadap sesuatu itu. Hal tersebut berlaku untuk banyak hal, termasuk mengenai hubungan manusia dengan alam lingkungannya. Manusia memiliki pandangan tertentu terhadap alam, di mana pandangan itu telah menjadi landasan bagi tindakan dan perilaku manusia terhadap alam (Keraf , 2002; Irland, 2005).

(10)

10

moral dan etika sebagai penentu perilaku sangat kurang ditelaah, sehingga kurang diperhatikan dalam rancangan dan pengambilan keputusan. Beberapa kebenaran berikut menunjukkan betapa pentingnya faktor moral dan etika dalam menentukan keberhasilan atau kemajuan seseorang atau masyarakat antara lain:

a) Manusia dan binatang tidak hanya merspons stimulasi dari luar, tapi ada keinginan-keinginan dari dalam, atau apa yang disebut nafsu.

b) Manusia, dan hanya manusia yang punya akal yang gunanya untuk mengakali stimulasi dari luar dan nafsu dari dalam. Kekuatan akal manusia berbeda-beda, dikatakan semakin kuat bila semakin mampu menekan atau mengendalikan pengaruh stimulasi dari luar dan nafsu dari dalam. Demikian sebaliknya, semakin lemah akalnya semakin mendekati sifat binatang dimana stimulasi dari luar dan nafsu dari dalam menguasi dan mengatur dirinya.

c) Kekuatan akal pengendali nafsu itu perlu tertambat atau terikat kuat pada moral yang berakar pada agama (believe)

d) Ketertambatan atau keterikatan akal pada agama dan moral etika sendiri adalah muncul atau hasil dari akal. Percaya akan adanya kekuatan pengendali hidup di luar akal adalah kesimpulan akal.

Oleh karena itu, sebaiknya para ilmuwan dan para pembuat kebijakan segera mulai dengan sungguh-sungguh menggali, membangun, memperkuat, dan memasukan moral dan etika yang berakarkan agama ke dalam telaahan-telaahan ilmiahnya. Sekarang, para ilmuwan mungkin masih merasa sulit memasukan faktor moral dan etika dalam analisis kebijakan. Tetapi perlu diingat kembali pada tahu 1980-an, di mana para ilmuwan masih merasa sulit melakukan apa yang sekarang dikenal dengan “analisis kelembagaan” dalam perumusan kebijakan. Paling tidak, para ilmuwan tidak begitu saja menerima sebagai pemaafan (exuse), bahwa wajar saja seseorang melakukan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) bila gajinya rendah, bahwa wajar pula bila yang kuat cenderung mengeksploitasi yang lemah, atau bahwa dalam hubungan kemitraan, wajar saja bila pimpinan (principal) cenderung memanfaatkan anak buah (agent)2, dan lain-lain.

6. PENUTUP

Kelembagaan dikatakan baik apabila aturan main dan organisasi mampu mengarahkan perilaku para pihak yang terlibat dan saling terkait untuk mencapai tujuan-tujuan bersama (common goal). Perlu diwaspadai bahwa dalam proses transformasi dan penguatan kelembagaan terdapat masa transisi yang sering diokupasi oleh kelompok yang berkepentingan. Proses tansisi yang baik, apabila hal-hal yang demikian dapat diantisipasi.

Kesadaran akan tata kelola kehutanan yang baik yang didasarkan pada moral dan etika perlu ditanamkan kepada setiap pribadi (individu) dan menjadi tanggung jawab bersama, lebih-lebih pemerintah sebagai pemegang regulasi dalam rangka menjaga dan melestarikan hutan dan mengantisipasi dampak kerusakannya.

(11)

11

DAFTAR PUSTAKA

Conservation International (CI) Indonesia. 2006. Fiqih Lingkungan (Fiqh al-Bi’ah). Jakarta

Darusman, D. 2012. Kehutanan Demi Keberlanjutan Indonesia. IPB Press. Bogor DFID. 2003. Promoting Institutional and Organisational Development. Departement for

International Development (DF-ID). March 2003

Elias. 2013. Menatap Masa Depan Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Indonesia dalam Mewujudkan Kehutanan Indonesia Baru dalam D. Suhardjito dan H.R. Putro (Editor). 2013. Pembangunan Kehutanan Indonesia Baru: Refleksi dan Inovasi Pemikiran. IPB Press. Bogor

FWI/GFW. 2001. Potret Keadaan Hutan Indonesia. Bogor, Indonesia: Forest Watch Indonesia dan Washington D.C.: Global Forest Watch

Hardin, G. 1968. "The Tragedy of the Commons". Science 162 (1968): 1243-1248. Heriyanto, H. 2007. Respons Realisme Islam Terhadap Krisis Lingkungan dalam F.M.

Mangunjaya, H. Heriyanto, dan R. Gholami (Editor). 2007. Menanam Sebelum Hidayat, H. 2011. Politik Lingkungan. Pengelolaan Hutan Masa Orde Baru dan Masa

Reformasi. Yayasan Pusaka Obor Indonesia. Jakarta

Humphreys, D. 2006. Logjam: Deforestation and the Crisis of Global Governance,

London: Earthscan.

http://nationalgeographic.co.id/berita/2014/07/laju-kerusakan-hutan-indonesia-mengalahkan-brasil (Diunduh 30 Oktober 2014)

http://www.tempo.co/read/news/2014/05/14/173577714/Dalam-Satu-Tahun-2-Juta-Hektar-Hutan-Dibabat (Diunduh 30 Oktober 2014)

http://nasional.news.viva.co.id/news/read/149597-indonesia__rangking_empat_perusak_lingkungan (Diunduh 01 Nopember 2014)

http://dnpi.go.id/portal/id/berita/berita-terbaru/302-kerusakan-lingkungan-di-tengah-ancaman-perubahan-iklim(Diunduh 01 Nopember 2014)

Irland L.C. 2005. “The ethics of forest management.” Northern Woodlands, Summer, p.

9.www.northernwoodlands.org.

Jaringan Tata Kelola Hutan Indonesia (2013). Potret Pelaksanaan Tata Kelola Hutan: Sebuah Studi Mendalam di Provinsi Kalimantan Tengah dan Nusa Tenggara Barat. Bogor

Kartodihardjo, H. 2006. Masalah Kapasitas Kelembagaan Dan Arah Kebijakan Kehutanan: Studi Tiga Kasus. Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. XII No. 3 : 14-25 (2006)

Kartodihardjo, H. 2008. Kelembagaan dan Kebijakan Dalam Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat. Bahan Makalah Diskusi Panel “Pembangunan Hutan Tanaman

Rakyat”. Pusat Penelitian Sosial dan Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan, Badan

Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor, 14 Agustus 2008.

Kartodihardjo H, Nugroho B, Putro HR. 2013. Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH): Konsep, Peraturan Perundangn dan Implementasi. Jakarta (ID): Kementerian Kehutanan RI.

Kerap, A.S. 2002. Etika Lingkungan. Penerbit Buku Kompas. Jakarta

Khan, A. 2010. Kebijakan Usaha Kehutanan Indonesia: Sebuah Analisis Diskursus. Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. XVI, (2): 101-111, Agustus 2010. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

(12)

12

Lywellyn, O.A.R. 2007. Disiplin Dasar Hukum Lingkungan Islam dalam F.M. Mangunjaya, H. Heriyanto, dan R. Gholami (Editor). 2007. Menanam Sebelum Kiamat. Islam, Ekologi, dan Gerakan Lingkungan Hidup. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta

Nugroho, B. 2013. Reformasi Kelembagaan dan Tata Kepemerintahan: Faktor Pemungkin Menuju Tata Kelola Kehutanan Yang Baik dalam Kartodihardjo, H. 2013 (Editor) Kembali Ke Jalan Lurus. Kritik Penggunaan Ilmu dan Praktek Kehutanan Indonesia. FORCI DEVELOPMENT dan Tanah Air Beta. Yogyakarta Ostrom, E. 2008. Institutions And The Environment. Journal Compilation Institute of

Economic Affairs. Published by Blackwell Publishing, Oxford

Peluso, N. Lee. 1994. Rich Forests, Poor People: Resource Control and Resistance in Java. Barkeley, CA: University of California Press.

Peters, B. G. 2000. Institutional Theory: Problem and Prospects. 69 Political Science Series. Institute for Advance Studies. Vienna

Referensi

Dokumen terkait

Kalor merupakan derajat panas suatu benda yang dapat merubah suatu benda jika diberikan kalor dan kalor merupakan energi yang dapat berpindah dari benda yang

Namun setelah 12 minggu pengamatan, ternyata pertambahan bobot hidup yang paling tinggi diperoleh pada ayam hitam dengan perlakuan onggok terfermentasi (920 g), diikuti oleh

Pada dasarnya karya seni merupakan perwujudan nilai seniman penciptanya yang ditujukan kepada orang lain. Dari satu sisi, karya seni adalah wujud seperangkat nilai

Kenyataan yang tampak di masyarakat saat ini adalah semakin meningkatnya kasus kekerasan dalam rumah tangga jumlah kasus KDRT seperti ”fenomena gunung es” artinya jumlah kasus

Perencanaan desain pencahayaan dimulai dengan menggali kebutuhan ruang berdasarkan aktifitas sampai dengan mendesain kembali untuk memperbaiki kondisi pencahayaan

Perseroan adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi

Dengan konsep user interaction, kita juga dapat meampilkan apabila ada dokumen yang mana user tidak mempunyai akan diinformasikan seperti pada Gambar 8...

Pada Periode analisis pertama tahun 1980 -1989, komponen jumlah dari analisis shift share menunjukkan bahwa sektor pertanian yang merupakan sektor yang mengalami