• Tidak ada hasil yang ditemukan

Buletin Tata Ruang dan Pertanahan Edisi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Buletin Tata Ruang dan Pertanahan Edisi"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

Menyusun Babak Baru Pembangunan Bidang Tata Ruang

dan Pertanahan: RPJMN 2015-2019

Koordinasi Pembangunan: Menciptakan Kebijakan Penataan Ruang

dan Pertanahan yang Komprehensif

Dr. Ir. Dedi M. Masykur Riyadi

Staf Khusus Menteri/Sekretaris Tim Analisa Kebijakan Kementerian PPN/Bappenas

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) sebagai

Rencana Induk Pembangunan: Lesson Learned dari Pelaksanaan

RPJMN 2010-2014

Dr. Ir. Edi Effendi Tedjakusuma, MA Deputi Bidang Evaluasi Kinerja Pembangunan

Mewujudkan Sinergitas Perencanaan Pembangunan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)

Prof. Dr. Ir. Hj. Winarni Monoarfa, MS

Ketua Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah Provinsi Gorontalo

(2)

Tahun 2014 akan menjadi tahun bersejarah bagi bangsa Indonesia. Tepatnya 9 Juli 2014 pesta demokrasi akan berlangsung untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden Indonesia 2014-2019. Arah pembangunan Indonesia 5 tahun ke depan akan bergantung pada visi misi yang diusung Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Bagaimana visi misinya? dan siapa Presiden dan Wakil Presiden terpilih? Itu masih menjadi misteri. Namun yang pasti RPJMN 2015-2019 perlu dipersiapkan.

Bersamaan dengan pelaksanaan pesta demokrasi, Kementerian PPN/Bappenas sebagai institusi yang diamanatkan untuk menyusun rencana pembangunan tengah menyusun Rancangan Teknokratik Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RT RPJMN) 2015-2019. Arah pembangunan Indonesia 2015-2019 sudah diamanatkan RPJPN 2005-2025 (UU 17/2007) yakni memantapkan pembangunan secara menyeluruh melalui pembangunan keunggulan kompetitif perekonomian yang berbasis SDA, SDM, dan IPTEK. Akan menjadi tantangan tersendiri melakukan sinkronisasi antara RT RPJMN 2015-2019 dengan visi misi Presiden dan Wakil Presiden terpilih.

Karena masih hangatnya proses penyusunan rencana pembangunan nasional, Buletin Tata Ruang dan Pertanahan edisi kali ini mengangkat tema Menyusun Babak Baru Pembangunan Bidang Tata Ruang dan Pertanahan: RPJMN 2015-2019. Untuk mengingat kembali pentingnya koordinasi antarsektor dalam proses penyusunan rencana pembangunan, rubrik wawancara kali ini menghadirkan Dr. Dedi M Masykur Riyadi (Staf Khusus Menteri/Sekretaris Tim Analisa Kebijakan, Kementerian PPN/Bappenas). Wawancara ini menarik untuk disimak karena koordinasi menjadi hal yang sepertinya mudah tetapi tidak pada pelaksanaannya. Topik penting lainnya adalah hasil evaluasi RPJMN 2010-2014 yang menjadi input dalam perumusan RPJMN 2015-2019. Materi ini diulas oleh Dr. Edi Effendi Tedjakusuma (Deputi Evaluasi Perencanaan Pembangunan, Kementerian PPN/Bappenas).

Seperti halnya pada edisi-edisi sebelumnya, pembahasan Bidang Tata Ruang dan Pertanahan disajikan secara seimbang. Topik tata ruang mengupas sinergitas rencana pembangunan dengan rencana tata ruang yang menjadi upaya perwujudan pemerataan pembangunan yang berkeadilan. Topik ini dikupas tuntas oleh Prof. Dr. Winarni Monoarfa (Ketua Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah Provinsi Gorontalo). Begitu pula topik pertanahan, mengetengahkan diskusi mendalam bersama Prof. Maria Sumardjono dan Dr. Budi Prayitno dalam pemilihan alternatif kebijakan pengelolaan pertanahan.

Untuk edisi kali ini, Rubrik Ringkas Buku, Koordinasi dan Kajian diisi dengan materi Politik Hukum Agraria, Rancangan Kebijakan Pertanahan dalam Kerangka Regulasi, dan Tinjauan Kebencanaan Perencanaan Tata Ruang Kawasan Strategi Nasional (KSN) Jabodetabekpunjur. Tidak lupa sosialisasi peraturan bidang tata ruang dan pertanahan, serta berbagai kegiatan penting yang telah dilakukan sejak awal Tahun 2014 sampai dengan pertengahan Tahun 2014 tetap kami hadirkan.

Selamat Membaca! Pelindung

Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah

Penanggung Jawab Direktur Tata Ruang dan Pertanahan

Pemimpin Redaksi Jl. Taman Suropati No. 2

Gedung Madiun Lt. 3 Jakarta 10310 telp: 021 - 392 66 01 email: trp@bappenas.go.id website: http://www.trp.or.id

Redaksi menerima kiriman tulisan/artikel dari luar, Isi berkaitan dengan penataan ruang dan pertanahan dan belum pernah dipublikasikan.

Panjang naskah tidak dibatasi. Sertakan identitas diri, Redaksi berhak

mengeditnya. Silakan kirim ke alamat di atas

(3)

edisi I tahun 2014

Menyusun Babak Baru Pembangunan Bidang Tata Ruang dan

Pertanahan: RPJMN 2015-2019

Koordinasi Pembangunan:

Menciptakan Kebijakan Penataan Ruang dan

Pertanahan yang Komprehensif

Dr. Ir. Dedi M. Masykur Riyadi

Staf Khusus Menteri/Sekretaris Tim Analisa Kebijakan Kementerian PPN/Bappenas

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) sebagai

Rencana Induk Pembangunan:

Lesson Learned

dari Pelaksanaan

RPJMN 2010-2014

Dr. Ir. Edi Effendi Tedjakusuma, MA Deputi Bidang Evaluasi Kinerja Pembangunan

Mewujudkan Sinergitas Perencanaan Pembangunan dalam Rencana

Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)

Prof. Dr. Ir. Hj. Winarni Monoarfa, MS

Ketua Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah Provinsi Gorontalo

Kebijakan Baru Dalam Pengelolaan Pertanahan Nasional 2015-2019

Prof. Dr. Maria S. W. Sumardjono, SH, MCL, MPA Guru Besar Universitas Gajah mada

Dr. Budi Prayitno

Dosen Universitas Gajah mada

Tinjauan Kebencanaan:

Perencanaan Tata Ruang Kawasan Strategis

Nasional (KSN) Jabodetabekpunjur

daftar isi

sosialisasi peraturan

koordinasi trp

ringkas buku

melihat dari dekat

dalam berita

1

16

19

21

24

27

2

4

7

9

11

(4)

Saat ini, Kementerian PPN/Bappenas tengah menyusun RPJMN 2015-2019, termasuk Bidang Tata Ruang dan Pertanahan. Menurut Bapak, bagaimana peran koordinasi dalam proses penyusunan Kebijakan Tata Ruang dan Pertanahan?

Koordinasi memiliki peran strategis dalam tata kelola

pembangunan, termasuk dalam bidang tata ruang dan pertanahan. Dalam berbagai kegiatan yang umumnya sensitif terhadap ruang, proses pengaturan ruang membutuhkan koordinasi yang baik antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, serta masyarakat sehingga pembagian peran dan kewenangan harus jelas, sejak tahap perencanaan dan terutama pada tahap implementasi. Selain itu, koordinasi harus mampu memberikan ruang untuk mencapai kesepahaman dan kesepakatan sehingga membuahkan solusi atau keputusan bersama.

Dengan peran koordinasi yang demikian strategis, bagaimana seharusnya proses koordinasi tersebut berjalan, baik di tataran internal maupun eksternal dengan seluruh mitra kerja?

Dalam bidang perencanaan pembangunan, sudah menjadi tugas pokok dan fungsi Kementerian PPN/Bappenas untuk mengoordinasikan dan merumuskan kebijakan. Tahun ini, secara rutin dan intens, Kementerian PPN/Bappenas melakukan koordinasi baik di tataran internal maupun eksternal dengan seluruh mitra

kerja dalam menyusun Rancangan Teknokratik RPJMN 2015-2019. Nantinya, proses koordinasi ini akan berpengaruh pada kualitas kebijakan yang diformulasikan. Hal mendasar yang diperlukan untuk menciptakan keberhasilan koordinasi adalah kesadaran akan kebutuhan berkomunikasi dan hubungan kerjasama yang saling menguntungkan.

Kebijakan merupakan hasil komunikasi dan koordinasi pihak-pihak terkait untuk mencapai suatu tujuan bersama. Inisiatif berkomunikasi dimulai dari proses koordinasi di lingkungan internal. Kementerian PPN/Bappenas memiliki mitra kerja K/L di seluruh direktorat-direktoratnya, dan sudah sepatutnya proses koordinasi mulai dibangun antardirektorat. Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan sebagai leading player penyusunan kebijakan tata ruang dan pertanahan, mengonsultasikan dan mensinkronkan rancangan kebijakan yang tengah disusun dengan direktorat sektor terkait untuk mendapatkan masukan sehingga menghasilkan kebijakan yang padu.

Berkenaan dengan penyusunan rancangan teknokratik RPJMN, Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan banyak melalui konsultasi dengan direktorat terkait di Bappenas. Bagaimana pandangan Bapak mengenai hal ini?

Apa yang telah dijalankan Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan tersebut merupakan langkah yang tepat. Proses koordinasi ini membuka peluang penyempurnaan terhadap rancangan kebijakan sehingga lebih komprehensif, dapat diterima oleh sektor-sektor terkait, serta lebih implementatif. Proses yang berlaku dua arah dan bersifat iteratif akan menghasilkan kebijakan bersama yang mengakomodasi dan diakomodasi oleh seluruh sektor terkait. Dengan sikap terbuka dan mau mendengar pendapat pihak-pihak yang berkepentingan, akan lebih mudah mencapai konsensus. Memang akan ada dampak positif dan negatif dari suatu kebijakan yang dihasilkan. Namun kebijakan yang telah dipilih ini merupakan kebijakan yang terbaik secara sosial,yang telah mempertimbangkan segala resikonya.

Bagaimana koordinasi internal berpengaruh terhadap koordinasi eksternal?

Koordinasi internal yang telah dibangun dengan baik, akan memudahkan proses koordinasi eksternal. Koordinasi eksternal

wawancara

Koordinasi Pembangunan:

Menciptakan Kebijakan Penataan Ruang

dan Pertanahan yang Komprehensif

Dr. Ir. Dedi M. Masykur Riyadi

Staf Khusus Menteri/Sekretaris Tim Analisa Kebijakan Kementerian PPN/Bappenas

K

ebijakan Bidang Tata Ruang dan Pertanahan merupakan kebijakan dasar yang bersifat lintas sektor, sehingga tidaklah mudah untuk mengintegrasikan seluruh kebijakan sektor, dari mulai tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga pengendaliannya. Proses koordinasi menjadi sangat penting untuk menghasilkan kebijakan tata ruang dan pertanahan yang padu. Untuk mendalami esensi koordinasi dalam penyusunan kebijakan penataan ruang dan pertanahan. Redaksi mewawancarai Dr.Ir. Dedi M. Masykur R, Staf Khusus Menteri PPN yang diberi tugas menjadi Sekretaris Tim Analisa Kebijakan Kementerian PPN/Bappenas.

S

etelah tahun 1976-1979 menjadi peneliti muda di bidang kehutanan, beliau berkarya di Bappenas sejak tahun 1979; pernah menjabat Kepala Biro (Karo) Penyiapan dan Analisis Proyek Pembangunan; Karo Pembangunan Dati I dan Transmigrasi; dan Karo Kewilayahan dalam periode 1993-2001; kemudian menjabat Deputi Bidang Pembangunan Regional dan Sumber Daya Alam (2001-2002); Deputi Menteri Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup (2002-2005); Deputi Menteri Bidang Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan (2005-2007); Staf Ahli Menteri PPN/Kepala Bappenas Bidang Ekonomi dan Pembiayaan Pembangunan; dan Staf Ahli Menteri Bidang Revitalisasi Pertanian, Perdesaan dan Agroindustri (2007-2010). Sempat bertugas sebagai Plt Deputi Menteri PPN Bidang Evaluasi Kinerja Pembangunan (2009-2010). Dari pengalamannya berkiprah di Bappenas, banyak pembelajaran berharga yang beliau bagikan. Berikut ulasan pokok-pokok pemikiran, pengalaman, dan pembelajaran yang beliau tuturkan.

(5)

komunikasi yang tampaknya sepele tetapi memperlancar jalannya koordinasi.

Dewasa ini, permasalahan cenderung kian kompleks dan berbagai kepentingan turut memengaruhi proses penyusunan kebijakan. Dalam kondisi demikian, bagaimana tantangan koordinasi perencanaan pembangunan di masa mendatang dan apa pesan-pesan Bapak untuk menghadapi tantangan tersebut?

Semakin besar tantangan ke depan, kesadaran berkomunikasi harus ditingkatkan agar proses koordinasi lebih efektif. Upaya koordinasi harus menjadi peluang untuk mengisi ketidakmampuan yang ada, juga memperdalam keilmuan dan kemampuan tentang berbagai sektor sehingga alternatif kebijakan lebih variatif. Agar rencana tata ruang menjadi alat efektif bagi seluruh sektor untuk melangsungkan pembangunan secara berkelanjutan, kebijakan dan program tata ruang harus dapat diimplementasikan hingga ke tingkat mikro (zoning).

Untuk menghasilkan formulasi kebijakan yang berkualitas, penyusun kebijakan harus yakin bahwa apa yang dipikirkan benar dan terbaik yang mungkin dilakukan karena sudah melalui koordinasi dan pengujian (peer review), dan juga yakin adanya kemungkinan perbaikan dengan mendengar dan mengakomodasi gagasan pihak lain. Dengan terjalinnya konsensus akan memudahkan proses koordinasi. Untuk itu, penting membuka peluang atas gagasan mitra. Di sisi lain, dengan kemajuan teknologi penulisan, sudah sewajarnya narasi kebijakan dapat disajikan lebih ringkas untuk memudahkan pemahaman mitra.

Dalam konteks internal, berkurangnya kewenangan Kementerian PPN/Bappenas menjadi tantangan tersendiri. Namun, harusnya tidak menjadi kendala karena keberhasilan kebijakan tergantung pada kemampuan sumber daya manusia di dalamnya untuk mengembangkan ide dan gagasan. Ide dan gagasan dapat ditawarkan, dimatangkan dan diakomodasi dalam RPJMN sebagai suatu alat yang baik untuk mencapai keberlanjutan pembangunan. Selain itu, Kementerian PPN/Bappenas masih memiliki kemewahan dengan keberadaan seluruh mitra kerja K/L. Ini harus dikelola dengan baik melalui koordinasi yang efektif dan memastikan bahwa anggaran sudah dialokasikan secara benar pada rencana yang telah disusun. Ini juga yang merupakan intisari pentingnya kesatuan antara perencanaan dan penganggaran.

Pada penghujung wawancara, Dedi Masykur berpesan bahwa dalam proses perumusan kebijakan tata ruang dan pertanahan perlu digarisbawahi bahwa koordinasi yang dibutuhkan tidak hanya sebatas dengan Kementerian/Lembaga mitra kerja yang menjadi pengguna program-program yang dikawal oleh Direktorat TRP tetapi juga antara Kementerian PPN/Bappenas dengan seluruh sektor dan pihak terkait [rt/gp/ay].

dilakukan Kementerian PPN/Bappenas secara horizontal dan vertikal, baik dengan Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah, serta unsur perwakilan masyarakat. Di bidang tata ruang, penyusunan kebijakan sepatutnya melalui pertemuan koordinasi dengan berbagai K/L terkait. Koordinasi dilakukan agar kebijakan tata ruang yang dihasilkan lebih komprehensif dan implementatif, mengingat ruang diisi oleh berbagai sektor dan terikat oleh berbagai peraturan. Dengan kondisi saat ini, yang masih terdapat tumpang tindih, kerancuan atau bahkan pertentangan dalam peraturan, maka melalui proses koordinasi perlu disusun daftar kriteria atas prinsip dasar tata ruang yang harus diikuti oleh semua pihak.

Secara vertikal, kebijakan tata ruang yang telah disusun di tingkat pusat harus dapat diimplementasikan di daerah. Untuk itu, kebijakan ini harus lebih fleksibel ketika sudah diturunkan ke daerah, dengan syarat adanya ketentuan fleksibilitas yang masih dapat diterima. Mengingat posisinya, Kementerian PPN/ Bappenas berperan pada level kebijakan, yang nantinya akan menjadi acuan di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota. Koordinasi dilakukan dalam rangka menentukan prinsip dasar, tujuan, serta kriteria penentuan kebijakan. Untuk mengimplementasikannya, Kementerian PPN/Bappenas juga perlu mengenali pembagian peran dan kewenangan di tingkat lokal, memberikan solusi kebijakan terhadap permasalahan sensitif dan strategis dalam pembangunan, serta memastikan bahwa pelaksanaan kebijakan pusat terkoordinasi dan berjalan baik di daerah. Sebagaimana halnya dalam penentuan alokasi ruang, perlu diidentifikasi terlebih dahulu kebijakan dan penggunaan ruang di tingkat nasional yang juga telah mempertimbangkan kebutuhan provinsi, kabupaten, dan kota. Penggunaan ruang di tingkat makro akan menjadi dasar penentuan penggunaan ruang di tingkat mikro, dengan ketentuan bahwa kapasitas dan perangkat di tingkat mikro harus dipenuhi. Sistem koordinasi yang telah dibentuk dengan baik, harus pula didukung dengan sumber daya manusia yang baik. Pekerjaan dilakukan oleh setiap individu dengan penuh tanggung jawab di setiap tingkatnya. Misal, dalam menyusun lampiran pidato (Lampid) Presiden yang merupakan bentuk pertanggungjawaban pemerintah, harus dikerjakan dengan serius, detail, dan diperiksa berulang kali untuk memastikan tidak ada kesalahan.

Sebenarnya apa kendala yang turut menghambat proses koordinasi?

Tidak dapat dipungkiri bahwa ada beberapa kendala yang menghambat proses koordinasi. Kecerdasan dan kepintaran tidak serta merta menjamin koordinasi dapat terlaksana dengan baik. Padatnya pekerjaan masing-masing bidang kerap membuat waktu berkomunikasi dan berkoordinasi dengan bidang lain semakin sempit. Kondisi seperti ini tentu menghambat pelaksanaan koordinasi, apalagi jika ditambah dengan tingkat kemauan berkoordinasi dan berkomunikasi yang rendah.

Bagaimana kiat mengatasi kendala dalam koordinasi?

Menyikapi kendala dalam koordinasi, para penyusun kebijakan seharusnya mampu menentukan prioritas pekerjaannya secara tepat agar tetap dapat meluangkan waktu untuk berkoordinasi dalam pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya mendesak dan strategis. Selain itu, dibutuhkan kesiapan mental dalam membangun komunikasi sehingga koordinasi yang dibangun akan berkelanjutan dan proses pengambilan keputusan dan pencapaian konsensus dapat berjalan lebih cepat. Caranya tidak selalu harus formal, tapi melalui pembicaraan ringan. Kuncinya adalah komunikasi. Terlebih dahulu menghubungi pihak-pihak yang akan diundang dalam rapat, sebelum pengiriman undangan secara formal, merupakan langkah

(6)

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) merupakan penjabaran visi, misi, dan program Presiden dan Wakil Presiden yang telah ditetapkan melalui Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 dan menjadi arah pembangunan Indonesia selama lima tahun. RPJMN memuat strategi pembangunan nasional, kebijakan umum, program Kementerian/Lembaga (K/L) dan lintas K/L, kewilayahan, dan kerangka ekonomi makro yang mencakup gambaran perekonomian secara menyeluruh termasuk arah kebijakan fiskal dalam rencana kerja yang berupa kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif.

RPJMN 2010-2014 ini selanjutnya menjadi pedoman bagi K/L dalam menyusun Rencana Strategis K/L (Renstra-KL) dan menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah daerah dalam menyusun/ menyesuaikan rencana pembangunan daerahnya masing-masing dalam rangka pencapaian sasaran pembangunan nasional. RPJMN kemudian dijabarkan ke dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) yang akan menjadi pedoman bagi penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) setiap tahunnya. Hal ini sesuai dengan amanat Pasal 4 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN).

Peran RPJMN dalam Membangun Indonesia

RPJMN merupakan rencana pembangunan selama lima tahun.

Sesuai dengan amanat UU No. 17 Tahun 2007, tahapan pelaksanaan merupakan arahan dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) yang terdiri atas empat tahapan, yakni: (i) RPJMN 2005 – 2009; (ii) RPJMN 2010 – 2014; (iii) RPJMN 2015 – 2019; (iv) RPJMN 2020 – 2025. Masing-masing tahapan mempunyai skala prioritas dan strategi pembangunan yang berkesinambungan dengan skala prioritas dan strategi pembangunan pada periode sebelumnya. Perencanaan yang disusun dalam RPJMN menjadi arahan untuk menyusun Rencana Kerja Pemerintah (RKP) setiap tahunnya. RKP adalah dokumen perencanaan Nasional untuk periode 1 (satu) tahun, dan merupakan penjabaran dari RPJMN. RPJMN yang telah disusun memiliki target-target tertentu sesuai dengan skala prioritas yang telah ditentukan. Target yang hendak dicapai harus dimasukkan ke dalam RKP. Jika ada target-target yang belum tercapai dapat dilanjutkan ke RPJM berikutnya atau masuk ke dalam RKP berikutnya pula.

Kaitan RPJMN, RPJMD, dan Renstra

RPJMN disusun sebagai arahan pembangunan 5 tahun ke depan, dan menjadi acuan penyusunan Renstra K/L, RKP, dan Rencana Kerja (Renja) K/L di tingkat nasional, serta RPJMD di tingkat lokal. Seluruh rencana tersebut harus sinkron satu sama lain agar tujuan perencanaan pembangunan tercapai dan agar dalam pelaksanaannya antara wilayah dengan sektor tidak mendapat kendala yang berarti. Dalam proses sinkronisasi, yang harus menjadi perhatian adalah kebijakan dan sasaran yang ditetapkan

artikel

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional

(RPJMN) sebagai Rencana Induk Pembangunan:

Lesson Learned

dari Pelaksanaan RPJMN 2010-2014

Dr. Ir. Edi Effendi Tedjakusuma, MA

Deputi Bidang Evaluasi Kinerja Pembangunan

M

erujuk pada tahapan pembangunan RPJPN 2005 - 2025 yang ditetapkan dengan UU Nomor 17 Tahun 2007, saat ini Rencana Pembangunan Nasional telah memasuki tahap kedua, yakni pelaksanaan RPJMN 2010 - 2014. Untuk mencapai visi pembangunan Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil dan Makmur, RPJMN pada tahap kedua ini berada pada tahapan memantapkan penataan kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM), membangun kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), dan memperkuat daya saing perekonomian. Pada tahun 2012 dan menjelang akhir tahun 2014 ini, Kementerian PPN/Bappenas melakukan evaluasi pelaksanaan RPJMN 2010-2014 untuk mengetahui pencapaian berbagai sasaran pembangunan yang telah ditetapkan, permasalahan dan kendala yang dihadapi, serta alternatif tindak lanjut yang diperlukan dalam perencanaan pembangunan periode berikutnya. Hasil evaluasi ini akan menjadi bahan masukan RPJMN 2015 – 2019 yang juga sedang disusun pada tahun ini.

Prioritas Nasional (PN)

Pada periode RPJMN 2010 – 2014, PN dibagi ke dalam 11 prioritas nasional dan 3 (tiga) prioritas lainnya. Sebelas prioritas nasional, meliputi (1) reformasi birokrasi dan tata kelola; (2) pendidikan; (3) kesehatan; (4) penanggulangan kemiskinan; (5) ketahanan pangan; (6) infrastruktur; (7) iklim investasi dan iklim usaha; (8) energi; (9) lingkungan hidup dan pengelolaan bencana; (10) daerah tertinggal, terdepan, terluar, dan pasca konflik; serta (11) kebudayaan, kreativitas dan inovasi teknologi. Sementara 3 (tiga) prioritas lainnya meliputi: bidang politik, hukum, dan keamanan; bidang perekonomian; dan bidang kesejahteraan rakyat. Kebijakan bidang tata ruang termasuk dalam PN (6), sementara bidang pertanahan termasuk dalam PN (4), (5), (6), (7), (8), dan (10).

Sumber: Buku Evaluasi Paruh Waktu RPJMN 2010-2014 oleh Kementerian PPN/ Bappenas

(7)

sektor terhadap RPJMN yang berdimensi kewilayahan sehingga arahan pembangunan wilayah dan sektor sinkron. Kebijakan dan program ini dibahas dalam forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) yang dilaksanakan setiap tahun. Apabila RPJMD yang disusun tidak mengacu pada RPJMN, dikhawatirkan program yang disusun nantinya akan mengalami kendala dan tidak sesuai dengan kondisi di lapangan, dan tujuan perencanaan pembangunan nasional tidak tercapai. Pada forum tersebut diharapkan baik RPJMN, RPJMD, dan Renstra K/L sudah saling berkesinambungan.

Tidak menutup kemungkinan, RKP dengan Renja K/L tidak sinkron (terdapat deviasi), seperti yang terjadi pada tahun 2013, diketahui adanya deviasi antara RKP dengan Rencana Kerja K/L sebesar 28,9%. Hal ini sangat dimungkinkan, misalnya karena saat pembahasan mengenai Renja K/L di DPR, Kementerian PPN/ Bappenas tidak ikut serta, sehingga dapat terjadi perubahan pada target, sasaran, program dan kepastian alokasi anggaran Renja K/L, tapi RKP tetap. Mengenai kondisi ini, Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan keputusan yang membahas proses mekanismenya sehingga deviasi dapat diatasi. Untuk tahun ini, akan dibentuk juga

sebuah forum yang membahas dan mensosialisasikan RPJMN ke daerah, sehingga Pemerintah Daerah dapat mendiskusikan RPJMD-nya, serta mensinkronkan dengan RPJMN.

Rencana Pembangunan dan RTRW

Dalam penyusunan RPJMN, integrasi rencana pembangunan dengan rencana tata ruang dapat dituangkan ke dalam Buku I RPJMN. Dalam buku tersebut terdapat lima poin utama yang menjadi pembahasan, di antaranya: (i) pertumbuhan; (ii) kemiskinan; (iii) kesenjangan; (iv) pemerataan; dan (v) keberlanjutan.

Jika dikaitkan dengan Bidang Tata Ruang, maka pertumbuhan dan keberlanjutan menjadi hal krusial yang harus diperhatikan. Untuk pertumbuhan, sektor pertanian, pertambangan, infrastruktur, dan pemukiman adalah empat hal yang terkait dengan penggunaan ruang. RTRW juga wajib mencantumkan alokasi ruang dan peruntukannya, sehingga tidak terjadi tumpang tindih di lapangan, dan dapat mengurangi konflik antar ruang. Untuk itu, dalam pelaksanaan di lapangan, Bidang Tata Ruang wajib memberikan arahan dalam perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian ruang di dalam RPJMN. Untuk mendukung hal tersebut, RTRW setiap propinsi maupun Kabupaten/Kota harus tersusun dengan baik. Di masa mendatang, diharapkan seluruh propinsi maupun Kabupaten/Kota di Indonesia telah memiliki RTRW dan perda yang menaunginya.

Tata Ruang juga diharapkan dapat memberikan feedback kepada sektor, misalnya terkait dengan permasalahan perumahan. Tata Ruang dapat memberikan inisiatif penggunaan ruang vertikal untuk perumahan, sehingga perumahan kumuh dapat dikurangi. Walaupun pada tahun 90-an dirasa tidak fleksibel, ide ini dapat ditawarkan pada kondisi saat ini. Terlebih penggunaan ruang di beberapa lokasi di Indonesia terbatas. Namun demikian, program tersebut harus didukung dengan penyusunan RPJMN dalam Bidang Tata Ruang yang jelas dan tegas. Dengan arahan yang jelas, jika terjadi konflik di daerah, maka penegakan hukum di pemerintah daerah harus lebih tegas.

Pelaksanaan Penataan Ruang dalam UU No. 26 Tahun 2007

Di dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007, pembahasan mengenai sinkronisasi antara rencana tata ruang dengan rencana pembangunan tertuang pada Bab VI mengenai “Pelaksanaan Penataan Ruang”, baik mengenai RTRWN, RTRW Provinsi, Kab/Kota. Di dalam pasal-pasalnya, disebutkan bahwa: 1. Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) harus

mengacu kepada Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), baik itu di tingkat Nasional/Provinsi/Kabupaten/Kota. 2. Rencana Tata Ruang Wilayah kemudian menjadi pedoman

untuk penyusunan RPJP serta RPJM, baik itu di tingkat Nasional/Provinsi/Kabupaten/Kota, serta dalam mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan antar sektor.

PN Prioritas Nasional Jumlah

Indikator

Jumlah Notifikasi

Merah Kuning Hijau 1 Reformasi Birokrasi dan Tata Kelola 10 4 4 2

2 Pendidikan 6 0 0 6

3 Kesehatan 11 7 2 2

4 Penanggulangan Kemiskinan 5 0 1 4

5 Ketahanan Pangan 6 2 5 1

6 Infrastruktur 14 2 3 9

7 Iklim Investasi dan Iklim Usaha 9 1 3 5

8 Energi 7 2 0 5

9 Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Bencana 10 0 1 9 10 Daerah Tertinggal, Terdepan, Terluar dan Pasca Konflik 4 0 4 0 11 Kebudayaan, Kreativitas dan Inovasi Teknologi 7 0 0 7

12 Politik, Hukum, dan Keamanan 12 2 0 10

13 Perekonomian 15 0 6 9

14 Kesejahteraan Rakyat 15 0 1 14

Jumlah Total 133 20 30 83

Keterangan:

Sudah tercapai Perlu kerja keras Sangat sulit tercapai

Tabel 1. Rekapitulasi Noti

fi

kasi Prioritas Nasional

(8)

Capaian Pelaksanaan RPJMN 2010-2014

Selama dua setengah tahun pelaksanaan RPJMN, indikator pembangunan saat ini lebih sejahtera dan demokratis dibandingkan kondisi awal pelaksanaan RPJMN 2010-2014. Namun, terdapat indikasi kesenjangan yang sedikit melebar, dan penegakan hukum juga pemberantasan korupsi masih menghadapi kendala. Pada RPJMN periode II, belum dilakukan evaluasi secara menyeluruh, detail, dan komprehensif. Namun dari hasil diskusi yang telah dilakukan, terdapat beberapa program yang sejalan dengan RPJMN dan berjalan dengan baik, ada pula yang berjalan kurang baik karena terkendala beberapa faktor. Namun demikian, sebagian besar RPJMD telah sinkron dengan RPJMN.

Secara umum, pencapaian sasaran PN menunjukkan hasil yang cukup baik. Sebagian besar pencapaian PN diperkirakan mencapai target tahun 2014 yang ditetapkan. Dari 14 PN, 10 PN diperkirakan mencapai target yang ditetapkan, sementara 4 PN lainnya masih memerlukan kerja keras untuk mencapai target tahun 2014. Bidang kesehatan menjadi PN yang sulit mencapai target, salah satunya disebabkan rendahnya akses masyarakat terhadap fasilitas kesehatan yang berdampak pada masih tingginya jumlah kematian ibu dan anak (lihat Tabel 1).

Harapan untuk RPJMN 2015-2019

Saat ini, Kementerian PPN/Bappenas dalam proses penyempurnaan rencana teknokratis RPJMN 2015-2019 yang nantinya akan disinkronkan dengan visi misi Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Sesuai dengan kerangka RPJPN 2005-2025, RPJMN 2015-2019 berada pada tahap memantapkan pembangunan secara menyeluruh dengan menekankan pembangunan keunggulan

kompetitif perekonomian yang berbasis SDA yang tersedia, SDM yang berkualitas, serta kemampuan IPTEK. Oleh karena itu, di masa mendatang, diharapkan peran Kementerian PPN/Bappenas dapat diperkuat, tidak hanya sebagai badan perencanaan, tapi juga berperan dalam perencanaan alokasi dana dan evaluasi seluruh perencanaan yang dilakukan oleh K/L. Dapat juga dibentuk badan khusus yang dapat melakukan evaluasi atas perencanaan dan pelaksanaan kerja, sehingga antara rencana dengan

implementasinya sesuai dan berjalan dengan efektif dan efisien. Hal ini penting dilakukan sehingga antara RPJMN, Renstra K/L, serta dokumen perencanaan lainnya dapat sinkron satu sama lain. Selain itu, diharapkan Tata Ruang dapat memberikan feedback kepada sektor. Dengan semakin terbatasnya ruang, Tata Ruang harus dapat menciptakan ide dan gagasan kebijakan yang dapat ditawarkan pada kondisi saat ini. Seperti yang diusung salah satu calon Presiden 2014 adalah program pelarangan konversi lahan. Program tersebut harus didukung dalam RPJMN Bidang Tata Ruang secara jelas dan tegas sehingga tidak terjadi konflik dan penegakan hukum lebih tegas, baik di pusat maupun daerah.

Capaian Pelaksanaan RPJMN 2010 – 2014 Bidang Tata Ruang dan Pertanahan

Bidang Tata Ruang dan Pertanahan merupakan bagian dari prioritas nasional infrastruktur, dengan indikator inventarisasi pemilikan, penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah (P4T) untuk bidang pertanahan; dan jumlah rencana tata ruang yang telah disinkronkan program pembangunannya untuk bidang tata ruang.

Capaian penting dalam pelaksanaan pembangunan Bidang Tata Ruang antara lain: (1) telah ditetapkan empat Perpres Rencana Tata Ruang (RTR) Pulau yaitu RTR Pulau Sumatera, RTR Pulau Jawa-Bali, RTR Pulau Kalimantan, dan RTR Pulau Sulawesi; (2) telah ditetapkan lima Perpres RTR Kawasan Strategis Nasional (KSN) yaitu RTR Kawasan Perkotaan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur (Jabodetabekpunjur), RTR Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan (Sarbagita), RTR Kawasan Perkotaan Makassar, Maros, Sungguminasa dan Takalar (Mamminasata), RTR Kawasan Perkotaan Medan, Binjai, Deli Serdang dan Karo (Mebidangro), dan RTR Kawasan Batam, Bintan dan Karimun (BBK); dan (3) telah ditetapkan 25 Perda RTRW Provinsi, 291 Perda RTRW Kabupaten dan 75 Perda RTRW Kota yang disusun dengan merujuk pada UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang dan PP No. 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN). Sesuai dengan indikator yang telah ditetapkan, seluruh rencana tata ruang yang telah dihasilkan tersebut telah disinkronkan dengan program pembangunan melalui proses persetujuan substansi yang dilakukan oleh Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN).

Di Bidang Pertanahan, target infrastruktur didukung oleh kegiatan inventarisasi P4T. Kegiatan ini adalah upaya awal dalam

melakukan penataan di bidang pertanahan, melalui pendataan bidang-bidang tanah dan pemilik tanah yang dilakukan secara sistematis dengan basis wilayah desa. Keluaran kegiatan ini adalah basis data bidang-bidang tanah pada wilayah yang bersangkutan sehingga dapat diperoleh informasi pertanahan menyeluruh yang dapat mendukung proses pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Pada Tahun 2013, Badan Pertanahan Nasional menargetkan kegiatan inventarisasi P4T sebanyak 198.000 bidang yang tersebar di seluruh wilayah provinsi dan telah terealisasi sebanyak 118.417 bidang. Kegiatan ini akan sulit mencapai target sebagaimana telah ditetapkan RPJMN 2010-2014. Untuk tahun 2014, BPN menargetkan inventarisasi P4T sebanyak 142.400 bidang.

Selain itu, pengadaan tanah untuk pembangunan akan sulit tercapai pada tahun 2014. Hambatan dalam proses pengadaan tanah ini terutama terjadi dalam upaya kesepakatan harga ganti rugi atau pembelian tanah antara pemerintah atau badan usaha swasta dengan masyarakat pemilik tanah. Untuk itu, pada Tahun 2012 Pemerintah bersama DPR telah menyusun UU No. 2/2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Kemudian peraturan turunan yang menjadi amanat UU No. 2 Tahun 2012 tersebut juga telah disusun pada tahun yang sama yaitu Perpres No. 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) No. 5 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengadaan Tanah. Sebagai kelanjutannya pada Tahun 2013 dilakukan sosialisasi peraturan perundangan tersebut baik ditingkat pusat maupun daerah [na/gp/ay].

sumber: dokumentasi Direktorat TRP

(9)

Birokrasi pemerintahan, baik yang berada di tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan hingga ke tingkat desa/kelurahan, merupakan komponen yang memegang peranan penting untuk mewujudkan hal ini. Masyarakat hanya dapat menyampaikan aspirasi dan keinginannya, tapi yang dapat menuangkan dalam bentuk rencana, merealisasikan dalam bentuk program dan kegiatan serta melakukan pengawasan dan pengendalian adalah pemerintah. Pemerintahlah yang harus mampu mengatur ritme dan pola pelaksanaan pembangunan sehingga kita mengenal mekanisme perencanaan pembangunan yang bersifat bottom up dan top down. Perencanaan pembangunan yang benar-benar lahir dari aspirasi dan keinginan masyarakat maupun perencanaan yang lahir dari kemampuan teknis aparatur pemerintah untuk mengisi celah kekosongan yang tidak diusulkan melalui arus perencanaan bawah. Hal inilah yang melatarbelakangi dilakukannya mekanisme perencanaan pembangunan yang dimulai dari

musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) di tingkat desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, regional pulau hingga musrenbang di tingkat nasional.

Terlepas dari mekanisme perencanaan pembangunan yang dilakukan setiap tahun, hal mendasar yang harus dilakukan oleh pemerintah untuk mendapatkan bentuk kolektivitas pengalokasian program dan kegiatan yang berkesinambungan dari tahun ke tahun adalah menyusun rencana pembangunan jangka panjang (RPJP) 20 tahun dan rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) untuk 5 tahun. RPJP sangat penting karena merupakan bentuk perencanaan program pembangunan yang akan menjaga agar kolektivitas program secara makro dapat berkesinambungan, tidak putus oleh terjadinya proses pergantian pimpinan pemerintahan dalam waktu lima tahunan. Kolektivitas perencanaan jangka panjang ini akan menjaga dan memberikan antisipasi agar pemanfaatan anggaran dapat dialokasikan lebih fokus pada skema makro sehingga akan lebih efektif untuk mencapai tujuan secara bertahap.

Namun demikian untuk memberikan ruang gerak bagi pimpinan pemerintahan yang terpilih setiap lima tahun, dibuatlah mekanisme penyusunan dokumen RPJM. Sebenarnya RPJM merupakan dokumen penjabaran yang lebih rinci dari dokumen RPJP, karena sudah menuangkan bentuk program dan kegiatan lebih rinci yang merupakan manifestasi dari visi dan misi pimpinan pemerintahan terpilih. RPJM menjadi dokumen rujukan untuk mengukur target dan capaian pemerintahan dalam waktu 5 (lima) tahunan yang dirinci kembali setiap tahunnya dalam dokumen Rencana Kerja

Pemerintah (RKP). Dalam menyusun RPJM, pimpinan pemerintahan terpilih dimintakan merujuk dokumen RPJP untuk selanjutnya membuat inovasi dan kiat tertentu melalui program tahunan agar target 5 (lima) tahunan tersebut dapat tercapai. Dengan demikian RPJP yang berlaku selama 20 tahun tersebut, akan memiliki metode dan cara pendekatan yang mungkin berbeda dalam setiap 5 (lima) tahun sesuai visi dan misi pimpinan pemerintahan terpilih namun masih dalam kerangka makro yang sudah diatur dalam RPJP.

Dokumen RPJP yang dijabarkan lagi dalam bentuk dokumen RPJM sudah tentu memiliki acuan maupun target yang jelas dan terukur secara lengkap untuk dicapai dalam periode waktu yang ditentukan. Namun demikian masih terdapat beberapa aspek yang belum bisa tercakup dalam perencanaan pembangunan tersebut. Keterpaduan berbagai aspek dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan seringkali belum optimal dilakukan sehingga belum mendapatkan hasil yang memuaskan. Terkadang produk perencanaan yang baik, tidak selalu menghasilkan penataan ruang yang baik. Seringkali suatu daerah maju secara ekonomi, tapi ternyata menimbulkan dampak negatif yang cukup tinggi dari aspek sosial budaya bahkan dampak negatif yang berlebihan terhadap kondisi lingkungan hidup. Hal inilah yang seringkali tidak dapat dikenali wujud pengendalian pembangunannya, karena program hanya berorientasi kepada pencapaian kinerja dari sisi teknis dan pencapaian target realisasi keuangan suatu program tanpa melihat dari matra spasial/keruangan. Padahal hampir secara keseluruhan program kegiatan yang berwujud fisik bahkan beberapa yang non fisik itu, akan sangat terkait dengan aspek kewilayahan dan penataan ruang. Aspek ruang merupakan aspek yang lebih penting diperhatikan oleh perencana ruang atau wilayah. Eksistensi ruang bukan hanya menumbuhkan nuansa fisik terhadap warga kota, tetapi juga dapat menumbuhkan aktivitas ekonomi. Oleh karena itu, perubahan fungsi bangunan sebagai bagian dari proses perkembangan kota memiliki urgensi yang sangat mendasar dalam penataan kota.

Untuk menjaga keseimbangan perencanaan makro pembangunan yang sudah dituangkan dalam RPJP dan RPJM, sangat dibutuhkan peranan yang sangat strategis dari Dokumen Perencanaan Penataan Ruang baik dalam bentuk Rencana Umum Tata Ruang maupun Rencana Rinci Tata Ruang. Tidak dapat dipungkiri bahwa sebenarnya aspek pengendalian yang paling utama dalam

perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan, akan sangat terkait dengan aspek pengendalian pemanfaatan ruang.

artikel

Mewujudkan Sinergitas Perencanaan Pembangunan dalam

Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), Rencana

Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), dan Rencana

Tata Ruang Wilayah (RTRW)

Prof. Dr. Ir. Hj. Winarni Monoarfa, MS Ketua Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah Provinsi Gorontalo

(10)

Dalam hal ini, Budiharjo (1997) menjelaskan bahwa salah satu kendala penataan ruang adalah lemahnya mekanisme pengendalian ruang. Jika disandingkan dengan dokumen RPJP dan RPJM, maka jangka waktu Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) akan sebanding dan setara dengan jangka waktu dokumen RPJP. Namun demikian, untuk mengakomodir dalam batas-batas tertentu akan dinamisnya perubahan perencanaan, maka dimungkinkan dokumen rencana tata ruang untuk direvisi setiap 5 (lima) tahun.

Dalam tataran implementasinya di Provinsi Gorontalo, Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) 2007 – 2027 sudah dijabarkan dalam RPJMD untuk 5 (lima) tahun pertama 2007-2012. Saat ini sudah berproses untuk RPJMD tahap 5 (lima) tahun kedua 2012 – 2017. Ini merupakan kunci kesinambungan program jangka menengah 5 (lima) tahunan yang dijabarkan dari dokumen perencanaan pembangunan jangka panjang, yang diatur sedemikian rupa bersamaan dengan jangka waktu suksesi (pergantian kepemimpinan) Kepala Daerah setiap lima tahun juga. Hal ini sangat bermanfaat untuk menghindari terjadinya perubahan perencanaan jangka menengah pada pertengahan periode 5 (lima) tahun jika terjadi pergantian kepala daerah, karena dapat dipastikan setiap pergantian pimpinan daerah paling tidak terdapat pembeda dengan visi dan misi sebelumnya. Dengan terdapatnya mekanisme penyusunan RPJMD diawal masa pemerintahan baru, maka visi dan misi RPJMD juga dapat segera disesuaikan dengan program unggulan yang diusung oleh pasangan pimpinan pemerintahan baru dimaksud.

Dokumen RTRW sebenarnya bukan hanya menuangkan program dan kegiatan dalam matra spasial pada peta dengan skala tertentu, tapi juga dilengkapi dengan lampiran Indikasi Program Lima Tahunan yang menuangkan secara makro perencanaan program dan kegiatan pembangunan seperti halnya dalam dokumen RPJP dan RPJM. Aspek perencanaan spasial maupun perencanaan dalam indikator program lima tahunan RTRW inilah yang harus selalu bersinergi dengan program perencanaan pembangunan dalam RPJP dan RPJM. Kesesuaian antara matriks program pembangunan dalam RPJPD, RPJMD dan RTRW harus memiliki keterhubungan satu sama lain. Dalam tataran implementasinya di Provinsi Gorontalo, untuk mewujudkan hal tersebut maka dapat dicermati dalam matriks RPJPD dan RPJMD jika disandingkan dengan matriks Indikasi Program Lima Tahunan pada RTRW Provinsi Gorontalo tahun 2010 – 2027.

Pada dasarnya RTRW Provinsi Gorontalo baru bisa ditetapkan melalui Peraturan Daerah (Perda) pada tahun 2011, namun prinsip utama perencanaan spasial RTRW dimaksud sebenarnya sudah dirancang dan disusun sejak tahun 2007 bersamaan dengan penyusunan RPJPD sehingga garis besar program dan kegiatan sudah memiliki keterkaitan sejak awal. Oleh karena itu, sejak awal penyusunan Tim Penyusun RPJPD dan Tim Penyusun RTRWP maupun Tim Penyusun RPJMD, selalu melakukan konsolidasi untuk mencermati kesesuaian antara dokumen-dokumen perencanaan dimaksud. Keberadaan dari Sekretaris Daerah (Sekda) yang berfungsi sebagai Ketua Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) yang juga berperan sebagai Ketua Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) memiliki peran dan fungsi strategis terhadap sinergitas Bappeda, Dinas PU dan Dinas Keuangan Daerah serta SKPD lainnya sehingga ketiga dokumen tersebut memiliki garis kebijakan yang saling bersesuaian dan mendukung satu sama lain.

Dalam implementasi program RPJPD dan RPJMD, pada dasarnya yang akan selalu menjadi permasalahan adalah ketidaksesuaian program dengan penyelenggaraan penataan ruang daerah.

Sering timbul permasalahan antara lain adanya persepsi yang berbeda dalam pemanfaatan ruang/kawasan yang tidak sesuai peruntukan ruang sebagaimana yang telah diatur dalam Perda No. 4 Tahun 2011 tentang RTRW Provinsi Gorontalo sehingga untuk meningkatkan kualitas dan efektifitas penyelenggaraan penataan ruang di daerah perlu dilakukan upaya sinkronisasi dan harmonisasi perda RTRW kepada unsur pemerintah kabupaten/ kota dan masyarakat serta pemangku kepentingan lainnya. Dalam upaya tersebut melalui BKPRD telah dilakukan serangkaian langkah kebijakan antara lain :

1. Koordinasi penyelenggaran penataan ruang secara rutin melalui kunjungan langsung ke kabupaten/kota untuk mengakomodir dan mengantisipasi dampak dinamika perubahan wilayah yang begitu cepat, sehingga segera dapat diantisipasi sedini mungkin alternatif langkah penyelesaiannya;

2. Meningkatkan pemahaman dan kualitas SDM di bidang Perencanaan Pembangunan dan Penataan Ruang, baik melalui sosialisasi maupun diseminasi perda dan perundang-undangan terkait perencanaan pembangunan dan penataan ruang; 3. Mendorong lahirnya peraturan penjabaran yang lebih rinci, baik

Peraturan Daerah (Perda), maupun Peraturan Kepala Daerah (Perkada), melalui bimbingan teknis, supervisi dan fasilitasi percepatan Perda, misalnya tentang Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dan RTR Kawasan Strategis Provinsi dan Kab/Kota. Hal inilah yang akan menjadi barometer dalam pengendalian perencanaan pembangunan secara spasial di daerah;

4. Melakukan asistensi dan pengawasan secara terpadu terhadap kebijakan dan regulasi, misalnya Gubernur dapat menunda rekomendasi RTRW maupun Rencana Rinci/ RDTR kabupaten/ kota jika belum diintegrasikan dengan dokumen RPJMD dan RPJPD maupun dokumen RTRW Provinsi;

5. Provinsi Gorontalo juga menjadi pilot project Badan

Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) untuk kegiatan institutional building for the integration of nasional region yang merupakan wujud kerjasama Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda)-Bappenas dan World Bank yang diikuti oleh peserta dari Bappeda Provinsi dan Kabupaten/Kota di Provinsi Gorontalo dari aspek kesesuaian integrasi program perencanaan pembangunan.

Salah satu keunggulan dari dokumen perencanaan jangka panjang dan menengah yang bersinergi dengan dokumen rencana tata ruang, adalah lahirnya program dan kegiatan yang memiliki sinergitas dan interkoneksi wilayah perencanaan sehingga akan terhindar dari disparitas wilayah. Keunggulan lainnya adalah terkendalinya pemanfaatan sumber daya alam, sehingga pemanfaatannya bukan hanya untuk generasi saat ini tapi juga menyiapkan cadangan pemanfaatan untuk generasi yang akan datang. Jika hal tersebut sudah dapat dilakukan, maka siapapun pimpinan pemerintahan yang terpilih akan selalu memiliki acuan dan arahan yang lebih fokus, bukan hanya dari segi arahan makro program pembangunan tapi juga arahan secara spasial/keruangan untuk perencanaan, pelaksanaan maupun pengendalian program pembangunan.

Daftar Pustaka

- Yunus, Hadi Sabari, 2005A. Manajemen Kota, Pustaka Pelajar, Yogyakarta

(11)

Kebijakan Baru Dalam Pengelolaan

Pertanahan Nasional 2015-2019

Pembentukan Kamar Khusus Pertanahan di Pengadilan Negeri

Dalam beberapa tahun ini banyak muncul pemberitaan mengenai kasus pertanahan, baik itu konflik antarindividu, antara individu dengan instansi, maupun antarinstansi. Upaya penyelesaian kasus tersebut telah dilakukan melalui mediasi maupun lembaga peradilan. Namun, seringkali putusan yang dihasilkan tidak dapat dieksekusi karena satu kasus pertanahan dapat diselesaikan di peradilan umum baik pidana dan perdata maupun di Peradilan Tata Usaha Negara, sehingga memiliki beberapa putusan yang berbeda. Terkait dengan persoalan tersebut, maka dalam draf RPJMN 2015-2019 diusulkan pembentukan Kamar Khusus Pertanahan di Pengadilan Negeri untuk membatasi yurisdiksi kasus pertanahan yang terjadi sehingga penyelesaian kasus pertanahan tidak berlarut-larut.

Mengenai hal tersebut, Prof. Maria Sumardjono berpendapat bahwa kasus pertanahan bersifat multi dimensi, lintas sektor dan aspeknya sangat luas sehingga penyelesaiannya tidak dapat dikategorikan ke dalam satu kategori khusus, baik itu pidana, perdata, maupun tata usaha negara. Praktek di lapangan yang seringkali satu kasus pertanahan memiliki beberapa putusan yang berbeda dikarenakan pengajuan penyelesaian kasus tersebut tidak dalam waktu yang bersamaan sehingga memungkinkan kasus tersebut diputus secara pidana, perdata, dan tata usaha negara. Pada saat ini, proses pengambilan keputusan oleh Hakim hanya didasarkan pada materi yang diajukan sehingga satu kasus hanya diputus berdasarkan pidana, perdata, atau tata usaha negara sesuai yang diminta pemohon. Kemudian untuk pengajuan kembali kasus yang sama (banding) idealnya dilakukan pada tingkat pengadilan yang lebih tinggi bukan pengadilan yang sama sehingga satu kasus tidak mempunyai beberapa keputusan yang berbeda.

Kemudian Prof. Maria Sumardjono menyampaikan bahwa pada dasarnya, dibawah pengadilan umum dapat dibentuk kekhususan yang sifatnya dilihat dari kompetensinya, seperti pada pengadilan lalu lintas yang di bawahnya dibentuk pengadilan tindak pidana ringan. Untuk membentuk pengadilan khusus atau kamar khusus (special chambers) pertanahan kewenangan ada di Mahkamah Agung, dan yang menjadi dasar pembentukannya adalah hal-hal yang sifatnya strategis/khusus, penting, dan memiliki unsur pelanggaran HAM sehingga bila ingin membentuk pengadilan khusus, maka harus jelas kekhususannya misalnya, pengadilan anak, pengadilan HAM, pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor), dan pengadilan pajak. Contoh kasus pengadilan khusus pertanahan adalah pengadilan khusus pertanahan di Afrika Selatan yang pembentukannya khusus dikarenakan adanya kasus apartheid yang tidak dapat diputuskan oleh Komisi Penyelesaian Kasus. Oleh karena itu, beliau berpendapat untuk penyelesaian kasus pertanahan di Indonesia sebaiknya melalui pembentukan komisi penyelesaian kasus terlebih dahulu karena pembentukan pengadilan khusus/kamar khusus pertanahan di Pengadilan Negeri belum tentu efektif menyelesaikan kasus pertanahan yang ada.

Pembentukan Bank Tanah

Latar belakang usulan pembentukan bank tanah adalah berlarut-larutnya upaya pembebasan tanah untuk pembangunan kepentingan umum sehingga tidak ada kepastian waktu

penyelesaiannya. Dengan diterbitkannya Undang-Undang (UU) No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum serta Peraturan Presiden (Perpres) No. 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum serta perangkat hukum turunannya, permasalahan kepastian dari sisi waktu pengadaan sebenarnya telah teratasi karena peraturan tersebut telah mengatur kerangka waktu pengadaan tanah maksimal. Namun demikian, peraturan tersebut belum dapat mengantisipasi permasalahan kepastian dari sisi perencanaan pengadaan tanah secara umum karena dalam peraturan tersebut diserahkan sepenuhnya kepada masing-masing instansi pemerintah yang membutuhkan tanah. Sehingga untuk melengkapi peraturan tersebut diusulkan pembentukan bank tanah yang dapat bertindak mewakili negara untuk melakukan praktik pencadangan tanah.

Prof. Maria Sumardjono berpendapat bank tanah yang akan dibentuk harus bertujuan untuk mengendalikan harga tanah dan sifatnya lebih pada bank tanah umum yang pengadaan tanahnya dapat dimanfaatkan oleh seluruh sektor pembangunan yang

B

erbagai kasus pertanahan yang terjadi selama ini menunjukan bahwa sistem pengelolaan pertanahan nasional saat ini masih perlu

penyempurnaan. Selama ini, Pemerintah telah menjalankan beberapa kegiatan strategis di bidang pertanahan, tapi target pencapaian kegiatan tersebut belum terpenuhi sesuai rencana. Untuk itu, Kementerian PPN/Bappenas melalui Tim Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional (RAN) mengusulkan beberapa kebijakan baru pengelolaan pertanahan untuk masuk dalam Rancangan Teknoraktik RPJMN 2015-2019, diantaranya (i) pembentukan kamar khusus pertanahan di Pengadilan Negeri; (ii) pembentukan bank tanah; dan (iii) reforma agraria (diskresi kasus tanah transmigrasi). Dalam rangka pematangan usulan kebijakan tersebut, Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan (TRP) melakukan diskusi mendalam dengan pakar di bidang pertanahan, yaitu Prof. Maria Sumardjono (MS) dan Dr. Budi Prayitno (BP).

Prof. Dr. Maria S. W. Sumardjono, SH, MCL, MPA Guru Besar Universitas Gajah Mada

sumber: dokumentasi Direktorat TRP

artikel

(12)

memerlukan. Selain itu, bank tanah tersebut harus jelas bentuknya, lembaganya, sumber daya manusianya, mekanisme operasionalnya dan sebaiknya tidak disangkutkan di BPN tetapi lembaga nasional sendiri (national board) dan sifatnya berjenjang/bertingkat (nasional, provinsi, kab/kota). Kemudian SDM yang mengelola lembaga bank tanah juga sebaiknya berasal dari lintas K/L. Secara operasional, bank tanah nasional diperlukan untuk pengadaan tanah yang sifatnya lintas wilayah, sedangkan bank tanah yang sifatnya tidak lintas wilayah dapat dilakukan oleh daerah itu sendiri.

Dr. Budi Prayitno menilai lembaga bank tanah yang akan dibentuk harus mempertimbangkan dua hal yaitu kepentingan rakyat (welfare) dan kepentingan pembangunan berdaya saing (market) sehingga bank tanah harus menampung dua kepentingan tersebut. Hal ini dikarenakan di beberapa tempat tidak mungkin melakukan freeze harga lahan di lahan komersial.

Secara umum model bank tanah dibedakan menjadi 2 (dua) jenis, yaitu : 1) bank tanah khusus (skala kecil dan berorientasi pasar); dan 2) bank tanah umum (skala umum dan tidak berorientasi profit). Praktik bank tanah yang ada yaitu di United States of America (USA) memakai konsep bank tanah khusus, yang cenderung pro kapitalis, sedangkan beberapa negara di Eropa memakai konsep bank tanah umum. Pada dasarnya, untuk menaungi pembentukan bank tanah diperlukan adanya pergeseran administratif pertanahan ke arah government based approach, dan menggunakan skema pengembangan wilayah. Pada praktiknya, pembentukan bank tanah ini dapat mencontoh model bank perumahan yang berada dibawah naungan Bank BTN. Sependapat dengan Prof. Maria Sumardjono, Dr. Budi Prayitno berpendapat usulan pembentukan lembaga bank tanah juga sebaiknya dalam bentuk badan nasional (national board) dan berada di luar wilayah kewenangan kerja BPN (tidak dibawah BPN). Namun, beliau menilai sebaiknya lembaga bank tanah hanya ada di level nasional jangan di level provinsi/kab/kota.

Secara regulasi, dalam Rancangan UU Pertanahan, Bank Tanah akan dibentuk dalam Peraturan Pemerintah. Namun sebaiknya dibentuk dalam wadah UU agar lebih kuat (BP). Regulasi juga harus diperketat untuk mengatur mengenai kelembagaan bank tanah, yang juga mempertimbangkan UU Otonomi Daerah. Salah satu contoh praktik untuk Bank Tanah dapat dipelajari dari Philipina.

Berdasarkan hasil diskusi dengan kedua pakar tersebut maka dapat diambil beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembentukan bank tanah, meliputi: (i) luas tanah yang dapat dibeli, (ii) mekanisme pengambilan tanah (seluruh atau sebagian), (iii) cara perolehan asal tanah (dari mekanisme jual-beli atau tanah terlantar), (iv) mekanisme

pendanaan (usulan mekanisme masuk kas keluar kas); dan (v) apakah tanah yang telah dibeli akan dijual kembali atau hanya disewakan. Selain itu, sebaiknya isu reklamasi juga dapat masuk ke dalam bagian pengaturan bank tanah karena belum ada payung hukum yang mengaturnya hingga saat ini.

Diskresi Kasus Tanah Transmigrasi

Konsep Reforma Agraria merupakan restrukturisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan, dan Pemanfaatan Tanah (P4T). Pelaksanaan transmigrasi bukan merupakan bagian dari Reforma Agraria karena institusi BPN sifatnya hanya memberikan legalisasi aset. Terdapat perbedaan paradigma mengenai transmigrasi saat ini dan dahulu. Saat ini, arah transmigrasi adalah pada pendekatan pembangunan wilayah sedangkan pada masa lalu sifatnya memindahkan penduduk dari tempat padat ke tempat yang masih jarang penduduknya.

Saat ini, masih terdapat ± 300.000 bidang tanah transmigran yang belum disertipikatkan karena tanahnya masih bermasalah. Permasalahan sertipikat tanah transmigrasi terjadi dikarenakan tanahnya berada dalam kawasan hutan. Oleh karena itu, Kementerian PPN/Bappenas perlu mendorong kejelasan kawasan hutan melalui kegiatan tata batas kawasan hutan, terutama setelah terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 35/PUU-X/2012 tentang Pengukuhan Hutan Adat.

Kasus diskresi tanah transmigran tujuannya sangat baik dan sebaiknya diselesaikan dengan Surat Keputusan Bersama (SKB). Namun, penyelesaian kasus tanah transmigran melalui diskresi ini harus hati-hati dan terlebih dahulu perlu dilakukan identifikasi ulang dan survei lapangan [rn/uk].

Jumlah Bidang Tanah Bersetipikat Tahun 2001-2013

Berdasarkan hasil rekapitulasi laporan kantor pertanahan, jumlah bidang tanah bersertipikat meningkat setiap tahunnya. Peningkatan signifikan terjadi pada 2005-2007, yakni sebesar 5.723.588 bidang tanah. Peningkatan ini didorong dengan adanya program sertipikasi tanah, antara lain: 1) Larasita; dan 2) Sertifikasi Tanah Proyek Operasi Nasional Agraria (Prona); Petani; Nelayan; UKM; Transmigrasi; dan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).

Sumber: www.bpn.go.id.

(13)

Sumber: Indeks Rawan Bencana Indonesia (IRBI) BNPB, 2011

Tabel 1 Profil Kerawanan Bencana Kabupaten/Kota di Kawasan Jabodetabekpunjur No. Kabupaten/Kota Nilai /

Skor

Tingkat Kerawanan Peringkat Nasional

Peringkat

Jabodetabekpunjur

I Wilayah Hulu

1 Kabupaten Bogor 129 Tinggi 5 1

2 Kabupaten Cianjur 118 Tinggi 11 2

3 Kota Bogor 61 Tinggi 202 11

II Wilayah Tengah

1 Kabupaten Tangerang 87 Tinggi 63 4

2 Kabupaten Bekasi 81 Tinggi 78 6

3 Kota Tangerang 65 Tinggi 173 10

4 Kota Depok 46 Tinggi 321 12

5 Kota Bekasi 41 Tinggi 357 14

6 Kota Tangerang Selatan 15 Sedang 441 15

III Wilayah Hilir

1 Kota Jakarta Timur 90 Tinggi 48 3

2 Kota Jakarta Selatan 84 Tinggi 70 5

3 Kota Jakarta Utara 80 Tinggi 84 7

4 Kota Jakarta Barat 79 Tinggi 92 8

5 Kota Jakarta Pusat 77 Tinggi 104 9

6 Kepulauan Seribu 42 Tinggi 352 13

Tinjauan Kebencanaan:

Perencanaan Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional

(KSN) Jabodetabekpunjur

Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana mengamanatkan penataan ruang dalam konteks penanggulangan bencana. Tujuan utamanya adalah untuk mengurangi risiko bencana dengan menyerap hasil kajian risiko bencana ke dalam RTR, penetapan standar keselamatan, dan penerapan sanksi terhadap pelanggar. Demikian pula, UU No.26/2007 tentang Penataan Ruang yang mengamanatkan penataan ruang berbasis mitigasi bencana sebagai upaya meningkatkan keselamatan dan kenyamanan kehidupan dan penghidupan.

Kajian risiko adalah identifikasi dan pengenalan terhadap sumber bahaya dan potensi risiko bencana sebagai informasi geospasial, yang bermanfaat bagi penyusunan RTR. Nantinya, RTR ini digunakan sebagai dokumen kebijakan spasial yang menggunakan pendekatan manajemen risiko bencana.

Pada Tahun 2012, BNPB telah menyelesaikan kajian dan peta risiko bencana untuk 33 provinsi di Indonesia. Peta tersebut memiliki skala yang sama dengan skala peta yang ditetapkan untuk menyajikan pola dan struktur ruang pada Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) yaitu skala 1:250.000. Jenis bencana yang diidentifikasi mencapai 13 jenis, meliputi: 1) gempa bumi;

2) tsunami; 3) banjir; 4) tanah longsor; 5) letusan gunung api; 6) gelombang ekstrim dan abrasi; 7) cuaca ekstrim; 8) kekeringan; 9) kebakaran hutan dan lahan; 10) kebakaran gedung dan permukiman; 11) epidemi dan wabah penyakit; 12) gagal teknologi; dan 13) konflik sosial. Peta ini menjadi peta utama yang digunakan dalam kajian.

KSN Jabodetabekpunjur yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden (Perpres) No. 54/2008 menjadi studi kasus yang dipilih dengan pertimbangan saat ini sedang ditinjau-ulang oleh Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN), dan keberadaan Provinsi DKI Jakarta sebagai bagian wilayah Jabodetabekpunjur yang merupakan pusat pemerintahan negara, pusat bisnis dan perekonomian, pusat pelayanan jasa, daya dukung dan daya tampungnya telah terlampaui.

Profil Kerawanan, Kerentanan, dan Risiko Bencana di Kawasan Jabodetabekpunjur

Secara umum, tingkat kerawanan bencana relatif tinggi pada hampir seluruh kabupaten/kota di kawasan Jabodetabekpunjur, dengan tingkat kerawanan tertinggi pada kabupaten Bogor. Berikut profil kerawanan bencana Kab/Kota di Kawasan Jabodetabekpunjur (Tabel 1).

I

ndonesia merupakan negara dengan tingkat kerawanan bencana yang tinggi. Erupsi Gunung Sinabung, ibu kota tergenang air, dan kabut asap di wilayah Riau adalah sebagian kecil bencana yang terjadi di negara ini yang tidak hanya menimbulkan kerugian harta benda namun juga menimbulkan korban jiwa. Perspektif mitigasi bencana dalam konsep pembangunan menjadi keharusan, salah satunya melalui Rencana Tata Ruang (RTR). Kajian berikut menyediakan perspektif mitigasi bencana pada KSN Jabodetabekpunjur dengan menggambarkan tingkat risiko bencana ke dalam Rencana Tata Ruang (RTR).

(14)

Indikasi kerawanan bencana ini dapat digunakan dan diolah untuk mempersiapkan kemampuan kawasan di masa mendatang dalam menghadapi bencana dan dapat membantu fokus perencanaan tata ruang wilayah dalam mitigasi bencana, terutama untuk menyelamatkan pusat-pusat kegiatan nasional maupun sub-sub pusat kegiatan agar tetap tumbuh sebagaimana direncanakan. Kerentanan adalah suatu kondisi dari masyarakat yang mengarah pada ketidakmampuan menghadapi ancaman bahaya, yang ditentukan oleh faktor bahaya dan kondisi yang rentan. Kondisi ini termasuk kehidupan sosial manusia, ekonomi wilayah, struktur fisik, dan lingkungan. Potensi kerugian akibat bencana banjir sangat tinggi di Provinsi Banten. Sementara di Provinsi DKI Jakarta, potensi kerugian fisik dan ekonomi hampir merata untuk 6 jenis bencana mencapai 1.148 trilyun Rupiah per bencana. Di Provinsi Jawa Barat, potensi kerugian fisik dan ekonomi hampir merata untuk 6 jenis bencana dengan rata-rata mencapai 734 trilyun rupiah per bencana. Selengkapnya pada Gambar 1.

Berdasarkan hasil kajian tingkat risiko bencana di masing-masing provinsi, dapat diketahui urutan jenis bencana tertinggi risikonya hingga terendah (lihat Tabel 2). Banjir menjadi bencana berisiko tinggi pada Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten. Sementara, Provinsi DKI dan Banten mempunyai tingkat risiko bencana yang tinggi untuk gelombang ekstrim dan abrasi. Selain itu, berdasarkan analisis kecenderungan kejadian bencana dalam Rencana Penanggulangan Bencana (RPB), maka bencana yang kecenderungannya naik setiap tahun di setiap provinsi adalah banjir.

Potensi dampak berbagai jenis bencana tersebut akan menimbulkan kerugian dan dampak yang tidak kecil bagi

perekonomian dan kehidupan sosial masyarakat Jabodetabekpunjur dalam kurun waktu 5 tahun. Dengan diketahuinya kemungkinan dan besaran kerugian, maka fokus dalam perencanaan tata ruang wilayah provinsi maupun kabupaten/kota menjadi lebih efektif. Upaya mitigasi bencana dapat tepat sesuai dengan masing-masing bencana dan kebutuhan biaya bagi upaya pengurangan risiko bencana tersebut.

Analisis RTR KSN Jabodetabekpunjur dari Perspektif Risiko Bencana

Ketinggian lokasi di atas permukaan air laut menjadi faktor penentu dalam menggolongkan kawasan menjadi hulu, tengah dan hilir. Bencana berisiko tinggi untuk Jabodetabekpunjur terbagi menurut karakteristik wilayah tersebut, yaitu:

t)VMVHFNQBCVNJUBOBIMPOHTPSMFUVTBOHVOVOHBQJ

kekeringan, kebakaran hutan dan lahan, kebakaran gedung dan permukiman, epidemi dan wabah penyakit, serta kegagalan teknologi;

t5FOHBIHFNQBCVNJCBOKJSDVBDBFLTUSJNLFLFSJOHBO

kebakaran gedung dan permukiman, epidemi dan wabah penyakit, serta kegagalan teknologi;

t)JMJSCBOKJSHFMPNCBOHFLTUSJNEBOBCSBTJFQJEFNJEBOXBCBI

penyakit, konflik sosial, serta kegagalan teknologi.

Metode yang digunakan dalam analisis potensi risiko bencana ini adalah melalui tumpangsusun peta ancaman, kerentanan, dan risiko bencana dengan peta struktur dan pola ruang KSN Jabodetabekpunjur. Kemudian diperoleh zona-zona yang signifikan terkena dampak bencana pada KSN Jabodetabekpunjur, seperti terlihat pada Gambar 2.

Tabel 2 Urutan Jenis Bencana Risiko Tinggi di Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten

Sumber: Rencana Penanggulangan Bencana Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten, 2012-2016

Sumber: Rencana Penanggulangan Bencana Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten, 2012-2016

Gambar 1 Potensi Kerugian Fisik dan Ekonomi Provinsi (Triyun Rp)

No. Jenis Bencana DKI

Jakarta

Jawa Barat

Banten

1 Gempabumi 5 3 5

2 Tsunami 9 4 12

3 Banjir 3 1 3

4 Tanah Longsor 8 2 10

5 Letusan Gunung Api - 11 11

6 Gelombang Ekstrim dan Abrasi

1 7 1

7 Cuaca Ekstrim 2 6 2

8 Kekeringan - 10 8

9 Kebakaran Hutan dan Lahan

- 8 6

10 Kebakaran Gedung dan Permukiman

- -

-11 Epidemi dan Wabah Penyakit

4 9 4

12 Gagal Teknologi 6 5 7

(15)

Berdasarkan analisis risiko bencana terhadap peta struktur dan pola ruang Jabodetabekpunjur, diketahui bahwa bencana banjir berisiko tinggi terjadi pada bagian utara, yang meliputi zona Budidaya (B1,B6, B7) dan Non budidaya (N1). Termasuk pada 3 titik Pusat Perkotaan (Jakarta Pusat, kota Tangerang, kota Bekasi) (lihat gambar 3).

1. Kawasan Barat

Tingkat risiko kawasan ini sedang cenderung rendah akibat kepadatan infrastruktur yang masih rendah, terutama untuk mendukung area sekitar bandara (B2 dan B5). Risiko cenderung meningkat apabila ada pembangunan infrastruktur strategis (misalnya pembangunan jalan tol dan rel kereta api ke arah Serpong atau Kalideres) atau konversi dari perumahan hunian sedang, perdagangan dan jasa, industri padat tenaga kerja (B2), maupun pertanian lahan basah beririgasi teknis (B5) ke perumahan hunian padat, perdagangan dan jasa, industri ringan non-polutan dan berorientasi pasar (B1). Hal tersebut juga berpotensi meningkatkan risiko dan frekuensi bencana banjir yang merugikan serta mengancam kehidupan manusia. Perlu dikembangkan pengelolaan lingkungan yang tepat untuk melindungi kawasan bandara dari bencana banjir, dan perlu studi lebih lanjut untuk melakukan realokasi arahan penggunaan lahan menjadi kawasan lindung berupa situ, hutan bakau atau hutan kota.

2. Kawasan Timur

Tingkat risiko kawasan ini sedang cenderung tinggi akibat perkembangan kawasan industri, pergudangan dan pusat transportasi di Pulo Gadung dan pertumbuhan permukiman. Banjir menyebabkan kerugian di kawasan industri Pulo Gadung Tahun 2012 yang lalu. Sebagian kawasan dengan tingkat risiko sedang menurut rencana dalam Perpres No. 54 /2008 adalah zona pertanian lahan basah beririgasi teknis (B5). Perlu dipertimbangkan alternatif peruntukan ruang yang lebih optimal di kawasan tersebut. Alternatifnya yaitu: konversi dari sawah ke biofarming (tambak), atau menjadi situ dan hutan kota untuk meningkatkan daya dukung dan kualitas lingkungan sekaligus tempat wisata.

3. Kawasan Tengah

Kawasan ini merupakan wilayah DKI Jakarta dengan tingkat risiko cenderung tinggi karena kondisinya yang sudah terlampau padat. Menurut Perpres, kawasan ini direncanakan sebagai perumahan hunian padat, perdagangan dan jasa, industri ringan non-polutan dan berorientasi pasar (B1), juga perumahan hunian rendah dengan koefisien zona terbangun (KZB) maksimal 50 persen (B6), perumahan hunian rendah dengan KZB maksimal 40 persen (B7) dan kawasan hutan lindung, resapan air, kawasan pantai berhutan bakau (N1) di kawasan pantai utara Jakarta.

Secara umum, upaya mitigasi bencana banjir dengan risiko bencana yang tinggi, sebagai berikut:

t.FNCBOHVOJOGSBTUSVLUVSLFTJBQTJBHBBOBHBSNBTZBSBLBUEBQBU

lebih tangguh menghadapi bahaya seperti penyusunan rencana kontijensi melalui koordinasi antar K/L, dan pelatihan untuk meningkatkan kesiagaan masyarakat maupun pemerintah di tingkat Kecamatan/Kelurahan dalam menghadapi bencana banjir;

t%JQFSUJNCBOHLBOQFSHFTFSBOQBSBEJHNBNFOVKVQFOHHVOBBO

lahan intensif (diperlukan arahan tentang intensitas ruang, pengaturan kawasan budidaya dengan instrumen KZB, koefisien dasar bangunan (KDB), koefisien luas bangunan (KLB)).Misalnya pembangunan hunian vertikal (KDB ditekan sedang, KLB besar atau sangat besar, KZB ditekan sekecil mungkin), pelarangan/ pengurangan hunian satu tingkat, transportasi masal, penataan bantaran sungai Ciliwung melalui penertiban bangunan illegal, penerapan sistem polder, normalisasi kali Ciliwung;

t1FSLVBUCBOHVOBOEBOJOGSBTUSVLUVSZBOHCFSQPUFOTJUFSLFOB

bencana;

t%JQFSUJNCBOHLBOQFNCBOHVOBOEBOQFNVMJIBOLBQBTJUBTQPMEFS

dan pemompaan di polder (terutama di wilayah Istana Merdeka);

t.FOZVTVO3%53CFSCBTJTNJUJHBTJCFODBOBCBOKJSEJ,PUB+BLBSUB

Utara dan Kota Jakarta Pusat.

Secara khusus, upaya mitigasi telah disusun untuk setiap jenis bencana pada wilayah hulu, tengah, dan hilir, sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 3.

Gambar 2 Bencana Risiko Tinggi di Kawasan Jabodetabekpunjur Berdasarkan Ketinggian Wilayah

(16)

Kesimpulan

Dari hasil kajian ini, disimpulkan bahwa:

tAspek kebencanaan yang diulas dalam RTRWP DKI Jakarta, Jawa Barat, maupun Banten belum lengkap sehingga diperlukan langkah untuk melengkapinya kelak apabila RTRWP akan dievaluasi.

tBerdasarkan kajian pada kasus kota Jakarta Timur, ditemui bahwa peta multi risiko yang dibuat di skala 1:50.000 masih terlalu umum dan informasi di dalamnya tidak dapat digunakan. Kondisi ini akan menyulitkan pembuatan jalur evakuasi dan identifikasi kerusakan terparah. Dengan demikian, untuk melakukan analisis pada kota Jakarta Timur, diperlukan peta dengan kedalaman informasi pada skala 1:25.000.

tPendekatan Kajian Risiko Bencana (KRB) BNPB tingkat dasar yang tersedia saat ini dan data spasial BNPB yang meliputi ancaman, kerentanan dan risiko bencana pada skala 1:250.000, dapat dimanfaatkan pada perencanaan KSN dan RTRWP pada skala peta 1:250.000 dan tidak dapat dimanfaatkan untuk perencanaan tata ruang tingkat kabupaten/kota.

tPendekatan KRB dapat dimanfaatkan untuk melengkapi substansi tinjauan ulang RTR KSN (kasus studi RTR KSN Jabodetabekpunjur), RTRW Provinsi DKI Jakarta, RTRW Provinsi Jawa Barat dan RTRW Provinsi Banten dengan substansi kajian risiko bencana.

tDari kasus KRB Jakarta Timur terlihat bahwa untuk perencanaan tata ruang skala kabupaten/kota masih membutuhkan data spasial yang meliputi ancaman, kerentanan dan risiko bencana pada skala 1:25.000 dan lebih detil dengan kualitas data yang lebih baik.

Rekomendasi

Untuk meningkatkan kualitas perencanaan ke depan, rekomendasi yang diusulkan sebagai berikut:

tInfo kerawanan bencana pada wilayah hulu, tengah dan hilir dapat digunakan untuk melengkapi muatan teknis RTRWP DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten.

t Berdasarkan hasil tumpangsusun peta risiko bencana ditemukan penggunaan lahan lain dengan potensi tingkat risiko bencana yang tinggi yang tidak sesuai dengan Perpres No. 54/2008; sehingga alternatif rekomendasinya adalah: (i) dilakukan perubahan pola pemanfaatan ruang; dan (ii) dilakukan upaya pengendalian pemanfaatan ruang. Diperlukan studi lebih lanjut untuk mengkaji secara lebih detail terhadap hal ini melalui RDTR.

t Dalam kaitan dengan upaya mitigasi bencana, maka pembangunan infrastruktur kesiapsiagaan dianjurkan untuk dilakukan pada wilayah yang sudah padat dan sudah tidak bisa diubah peruntukannya. Diperlukan studi lebih lanjut untuk mengkaji secara lebih detail terhadap hal ini melalui RDTR.

t Dalam kaitan dengan arahan susunan pusat-pusat kegiatan di Jabodetabekpunjur, diperlukan studi lebih lanjut untuk mereview terhadap sub-sub pusat perkotaan tersebut mana yang akan lebih dominan sehingga dapat direkomendasikan untuk digabung menjadi satu pusat perkotaan.

Rekomendasi khusus untuk wilayah hulu, tengah, dan hilir adalah: 1) melengkapi aspek kebencanaan pada kegiatan evaluasi RTRWP untuk masing-masing jenis bencana; dan 2) kedalaman materi aspek kebencanaan yang telah ada sebaiknya disesuaikan dengan hasil Kajian Risiko Bencana (KRB) masing-masing provinsi. Rekomendasi khusus juga diberikan untuk instansi terkait, diantaranya:

t#BEBO*OGPSNBTJ(FPTQBTJBM #*(NFOHVTBIBLBOEBO

mempersiapkan dukungan untuk penyusunan RDTR berbasis mitigasi bencana pada skala 1:5.000 dan 1:10.000 khususnya pada KSN Jabodetabekpunjur untuk: kota Bogor, kabupaten Bogor, kota Depok, kota Tangerang, kabupaten Tangerang, kota Bekasi, kabupaten Bekasi, kota Jakarta Utara, kota Jakarta Pusat,

Sumber: Hasil Kajian “Perencanaan Tata Ruang KSN: Tinjauan Kebencanaan, Studi Kasus Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur, Direktorat TRP, Kementerian PPN/Bappenas

(17)

Tabel 3 Upaya Mitigasi Bencana di Wilayah Hulu, Tengah, Hilir

Sumber: Hasil Kajian “Perencanaan Tata Ruang KSN: Tinjauan Kebencanaan, Studi Kasus Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur, Direktorat TRP,

kota Jakarta Barat, dan kota Jakarta Selatan.

t#BEBO/BTJPOBM1FOBOHHVMBOHBO#FODBOB #/1#

mengintegrasikan sistemnya dengan infrastruktur data spasial nasional yang sedang dikerjakan BIG sehingga tujuan UU No. 4 Tahun 2011 tentang penyelenggaraan Informasi Geospatial Dasar (IGD) dan Informasi Geospasial Tematik (IGT) dalam One-Map Policy dapat terwujud. Selain itu, untuk peta ancaman, kerentanan dan risiko bencana diharapkan tidak berhenti pada tingkat provinsi (skala 1:250.000) tetapi bisa dikembangkan sampai kedetilan skala kabupaten yakni 1:50.000 dan untuk kota yakni 1:25.000 atau lebih detail. BNPB

juga perlu menginformasikan secara visual kegiatan analisis spasial dari data peta ancaman, kerentanan dan risiko dengan memperhatikan aspek-aspek kebencanaan pada struktur dan pola ruang.

t,FNFOUFSJBO1FLFSKBBO6NVN 16NFMFOHLBQJQFEPNBO

penyusunan RTR KSN dan RTRWP dengan analisis risiko bencana dalam penyusunan rencana tata ruang.

Gambar

Tabel 1. Rekapitulasi Notifkasi Prioritas Nasional
Tabel 1  Profl Kerawanan Bencana Kabupaten/Kota di Kawasan Jabodetabekpunjur
Gambar 1 Potensi Kerugian Fisik dan Ekonomi Provinsi (Triyun Rp)
Gambar 2 Bencana Risiko Tinggi di Kawasan Jabodetabekpunjur Berdasarkan Ketinggian Wilayah
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penelitian ini verifikasi hasil model dilakukan terhadap elevasi pasang surut, suhu permukaan dan suhu vertikal serta verifikasi pola arus permukaan yang diperoleh dari

Persoalan yang hendak diketahui dalam penelitian ini adalah mencari latar belakang konsep tauhid salafi dalam buku Mulia dengan Manhaj Salaf Karya Yazid bin Abdul Qadir

kriteria tertentu tersebut, dalam proses penunjukan anggota Komisaris dan Direksi, perlu dilakukan melalui mekanisme yang formal dan transparan, sehingga anggota

metode yang sangat baku dan simple disebut HALT, atau Burst Mode DMA, karena DMA controller memegang kontrol dari sistem bus dan mentransfer semua blok data ke atau dari memori

Rangkaian program counter (PC) dan memori instruksi mengeluarkan 16-bit alamat yang akan didistribusikan ke elemen-elemen dalam prosessor seperti control unit dan register

Dalam melaksanakan tugas content marketing, Marketing Communications Intern dilibatkan dalam webinar atau talkshow melalui Instagram Live dengan tema yang sesuai

Artikel yang dibuat oleh penulis merupakan gabungan dari hasil menyadur dari media lain serta ditambah dengan pandangan dari pakar untuk memperkaya sudut pandang

Penggunaan dua kali proses penghapusan outlier dikarenakan pada proses yang pertama hanya difokuskan pada penghapusan objek-objek yang tersebar atau