Represi Terhadap Perempuan
Dalam Cerkak Dengan Judul “Sendhuk”
Oleh :
Puji Dewi Srihastuti (11430072)
Kelas 2B
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA JAWA
FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
IKIP PGRI SEMARANG
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar BelakangMasa awal kemunculan karya sastra Jawa Modern yaitu pada masa penjajahan Belanda. Pemerintah Belanda mendirikan berbagai lembaga yang membidangi sastra dan bahasa, maka dari itu munculnya karya sastra Jawa Modern tidak lepas dari campur tangan pemerintah Belanda. Awalnya, tujuan dari pendirian lembaga tersebut adalah mendidik sekelompok orang untuk membantu pemerintah Belanda dalam hal menyebarkan paham mereka.
Pada tahun 1908 pemerintah Belanda mendirikan Komisi Bacaan Sekolah dan Bacaan Rakyat. Sembilan tahun kemudian, tepatnya tahun 1917 Komisi Bacaan Sekolah dan Bacaan Rakyat mengalami perubahan nama menjadi Balai Pustaka. Para pengarang yang bernaung di bawah Balai Pustaka menghasilkan berbagai macam karya sastra, salah satunya yaitu cerkak.
Menurut sejarahnya, cerkak muncul kurang lebih pada tahun 30-an. Cerkak merupakan prosa Jawa yang selesai dibaca sekali duduk, kira – kira berkisar antara 1 – 2 jam dan hanya berisi kurang lebih 5000 kata, serta hanya memuat satu peristiwa yang sering terjadi dalam kehidupan sehari – hari. Pada awalnya karya sastra yang berbentuk cerkak disebut sebagai panglipur manah. Panglipur manah merupakan salah satu rubrik di sebuah majalah berbahasa Jawa yakni majalah Kejawen. Cerkak di muat pada beberapa majalah Jawa diantaranya yaitu Panjebar Semangat (PS), Kejawen, Jaya Baya, Jaka Lodhang, dan lain – lain. Kritik terhadap cerkak ini membahas mengenai seorang perempuan yang mendapat perlakuan tidak adil dari seorang laki – laki, sehingga dapat dikategorikan dalam kritik feminisme. Hal tersebut yang mendasari pemilihan cerkak dengan judul “Sendhuk” ini sebagai kajian dalam kritik feminisme. Feminisme adalah sebuah teori yang mengungkapkan harga diri pribadi dan harga diri semua perempuan, menurut Wolf (Via Sofia,2009: 13).
Represi merupakan tindakan penekanan, pengekangan, penahanan, dan penindasan. Represi terhadap perempuan merupakan tindakan penekanan, pengekangan, penahanan, dan penindasan terhadap perempuan. Kekerasan terhadap perempuan merupakan hal yang tidak lazim terjadi. Menurut Diarsi (La Pona dkk., 2002: 9), hal ini dipicu oleh relasi gender yang timpang, yang diwarnai oleh ketidakadilan dalam hubungan antarjenis kelamin, yang berkaitan erat dengan kekuasaan.
Ketimpangan gender adalah perbedaan peran dan hak perempuan serta laki – laki di masyarakat yang menempatkan perempuan dalam status lebih rendah dari pada laki – laki. “Hak istimewa” yang dimiliki oleh pihak laki – laki seolah – olah menjadikan perempuan sebagai “barang” milik laki – laki yang berhak untuk diperlakukan dengan semena – mena. Fakih (1997: 17) menyatakan bahwa kekerasan terhadap sesama manusia pada dasarnya berasal dari berbagai sumber, namun salah satu kekerasan terhadap jenis kelamin tertentu, misalnya perempuan, disebabkan oleh anggapan gender. Fakih menyebutnya sebagai gender – related violence. Ketidaksetaraan kekuatan yang ada dalam masyarakat menyebabkan munculnya bentuk kejahatan yang bisa dikategorikan sebagai kekerasan gender seperti pemerkosaan, pemukulan dan serangan fisik dalam ranah domestik, penyiksaan yang mengarah kepada organ alat kelamin, kekerasan dalam bentuk pelacuran, pornografi, pemaksaan sterilisasi dalam Keluarga Berencana, serta pelecehan seksual (Fakih, 1997 : 17 – 20).
Feminisme radikal beranggapan bahwa faktor utama yang menjadi penyebab pembagian kerja secara seksual adalah sistem patriarkhal yang laki – laki mengendalikan perempuan dengan kekerasan (Sugihastuti, dan Satriyani, 2007: 66). Sumber kelemahan perempuan adalah pada struktur biologis badannya (Sugihastuti, Satriyani, 2007: 67). Kelemahan – kelemahan perempuan tersebut sering kali menimbulkan dampak negatif pada perempuan. Dampak negatif yang dialami oleh para perempuan diantaranya yaitu represi.
Represi merupakan tindakan penekanan, pengekangan, penahanan, dan penindasan. Represi terhadap perempuan merupakan tindakan penekanan, pengekangan, penahanan, dan penindasan terhadap kaum perempuan. Ketimpangan gender adalah perbedaan peran dan hak perempuan serta laki – laki di masyarakat yang menempatkan perempuan dalam status lebih rendah dari pada laki – laki. “Hak istimewa” yang dimiliki oleh pihak laki – laki seolah – olah menjadikan perempuan sebagai “barang” milik laki – laki yang berhak untuk diperlakukan dengan semena – mena.
Represi seksual
Represi seksual merupakan tindakan kekerasan atau pelecehan seksual. Menurut Kalyanamitra dan Prasetyo (Dzuhayatin dan Yuarsi,2002: 7), dalam intensitas yang paling ringan, kekerasan seksual disebut sebagai pelecehan seksual. Ketidaksetaraan kekuatan yang ada dalam masyarakat menyebabkan munculnya bentuk kejahatan yang bisa dikategorikan sebagai kekerasan gender seperti pemerkosaan, pemukulan dan serangan fisik dalam ranah domestik, penyiksaan yang mengarah kepada organ alat kelamin, kekerasan dalam bentuk pelacuran, pornografi, pemaksaan sterilisasi dalam Keluarga Berencana, serta pelecehan seksual (Fakih, 1997 : 17 – 20).
Kasus pelecehan seksual yang terdapat dalam cerkak yang berjudul “Sendhuk” ini yaitu pelecehan seksual yang dilakukan oleh lurah Darman terhadap Sendhuk, lurah Darman memegang tangan Sendhuk dan mencolek dagunya yang dibuktikan dalam kutipan :
“Ngerti yen Sendhuk kepenak diajak rembugan, lurah Darman sajak kaya diwenehi ati. Sinambi ngulungake layang menyang Sendhuk, tangane kumlawe ngranggeh janggute bocah wadon kuwi. Tangan sijine nggemen kenceng driji – drijine Sendhuk sing mentas nampani layang.”
Terjemahan :
“Tahu kalau Sendhuk enak untuk diajak bicara, Lurah Darman merasa seperti diberi kesempatan. Sambil memberikan surat kepada Sendhuk, tangannya mencolek dagu anak perempuan itu. Tangan yang satunya menggenggam jari – jari Sendhuk yang menerima surat tersebut.”
Sebagai akibat dari perlakuan yang diterima oleh Sendhuk, Sendhuk melakukan perlawanan terhadap lurah Darman yang telah melecehkannya dengan mencolek dagu dan menggenggam tangannya. Dibuktikan dalam kutipan :
“Sendhuk rumangsa dijamah ajining dhirine dening lurah Darman. Dheweke banjur njengkakake wong nomer siji ing desane kuwi nganti tiba glangsaran. Weruh wong sing arep kurang ajar kuwi njekangkang, Sendhuk terus mlayu bali. Tekan omah kabeh kadadean ing kantor desa mau dicritakake marang wong tuwane. Warok Tunggul sajak muntab atine krungu critane Sendhuk. Dheweke banjur nglabrag lurah Darman menyang kantor desa.”
Terjemahan :
rumah dan mengadu kepada ayahnya. Ayahnya marah dan langsung menuju ke kantor desa untuk melabrak lurah Darman.
Kekerasan terhadap perempuan terjadi dalam ranah domestik dan publik. Kekerasan dalam ranah publik merupakan tindak kekerasan yang tidak melibatkan relasi kekerabatan dan cenderung bersifat anonim, seperti yang dialami oleh tokoh Sendhuk dalam cerkak ini. Sedangkan kekerasan dalam ranah domestik meliputi tindak kekerasan yang melibatkan relasi kekerabatan (Abdullah,2004 : 1 – 10).
A. Kesimpulan
Secara leksikal, represi berarti penekanan, pengekangan, penahanan, dan penindasan. Penindasan berarti cara memperlakukan dengan sewenang – wenang (dengan kekerasan), dalam hal ini terhadap perempuan. Represi yang dialami perempuan dapat berupa represi fisik, represi psikologis, represi seksual, dan represi ekonomi. Seperti yang dialami oleh tokoh Sendhuk dalam cerkak yang berjudul “Sendhuk” ini yaitu represi seksual, karena Sendhuk mengalami pelecehan seksual yang dilakukan oleh lurah Darman terhadap dirinya.
DAFTAR PUSTAKA
Sugihastuti, dan Itsna Hadi Saptiawan. September 2007. Gender & Inferioritas Perempuan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Cerkak dengan judul “ Sendhuk ” karangan Sumono Sandy Asmara. 27 Maret 2004. Panjebar Semangat edisi 13.