BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa telah berkembang sejak
masa silam. Tidak heran bahwa setiap daerah yang ada di Indonesia memiliki
aliran kepercayaan lokal seperti agama Sunda Wiwitan yang kini tersisa pada
Etnis Baduy di Kanekes (Banten), agama Sunda Wiwitan aliran Madrais, juga
dikenal sebagai agama Cigugur di Kuningan, agama Parmalim, agama assli Batak
Toba, agama Kaharingan di Kalimantan, Kepercayaan Tonaas Walian di
Minahasa, Sulawesi Utara, Tolottang di Sulawesi Selatan, Wetu Telu di Lombok,
Naurus di Pulau Seram di Provinsi Maluku, dan sebagainya.
Masyarakat Karo juga memiliki kepercayaan tradisional yang merupakan
agama lokal yang sudah ada sejak zaman nenek moyang mereka yang dikenal
dengan sebutan agama Pemena. Pemena ini juga sering disebut dengan Perbegu,
namun istilah perbegu tidak begitu disukai oleh mereka karena saat ini, istilah itu
dianggap sebagai pemuja setan karena istilah begu saat ini diartikan dengan setan
atau roh jahat. Sehingga kepercayaan ini lebih halus maknanya jika disebut
dengan Pemena, walaupun kata Pemena juga masih banyak disalahartikan dengan
makna yang negatif. Ginting mengatakan bahwa sejak jaman prehistoris, orang
Karo hidup dalam agama Pemena. Suku Karo berusaha menyesuaikan hidupnya
dengan alam sekitarnya melalui cara berhubungan seperti memanggil atau berseru
mendapatkan segala keperluan hidupnya. Kepercayaan adanya kekuatan
supernatural adalah aspek penting yang mendasari kepercayaan Pemena.
(http://digilib.unimed.ac.id/public/UNIMED-Master-333-015050021%20Bab%202.pdf diakses pada tanggal 30 Juli 2013 pukul 19:25 wib).
Keadaan kepercayaan tradisional saat ini termasuk juga kepercayaan
Pemena di Tanah Karo terlihat terpuruk dengan hadirnya agama-agama modern
ke Indonesia, ditambah dengan keadaan mereka yang tidak diakui oleh negara
karena dianggap bukan sebuah agama yang resmi. Terlihat dalam Undang Undang
Dasar Tahun 1945 (UUD 1945) yang melindungi kebebasan beragama, namun
pada kenyataannya bahwa beberapa undang-undang dan peraturan justru
membatasi kebebasan beragama. Meskipun pemerintah secara umum menghargai
kebebasan enam agama yang diakui oleh negara, masih ada beberapa kemunduran
dalam perlindungan hak kebebasan beragama selama ini. Pemerintah daerah
memberlakukan pelarangan terhadap kelompok agama yang tidak diakui negara
dan beberapa kelompok yang dianggap “sesat”. Anggota kelompok kepercayaan
tradisional juga mengalami beberapa diskriminasi yang sifatnya resmi dalam
proses pembuatan catatan sipil pernikahan, akte kelahiran dan kartu tanda
penduduk. (http://jakarta.usembassy.gov/news/keyreports_irf-2011.html diakses
pada tanggal 29 Juli 2013 pukul 23:30 wib).
Kepercayaan-kepercayaan tradisional juga telah mengalami dampak yang
sangat berpengaruh terhadap esksistensi mereka sebagai agama lokal. Di mana
hingga saat ini bahwa Menteri Konstitusi belum mengabulkan uji materi terhadap
Undang-Undang Nomor 1/PNPS Tahun 1965 tentang Penodaan dan Penistaan
Seperti dampaknya terhadap agama tradisional di Sulawesi Tengah bahwa ada
ajaran yang digerebek karena dianggap menyebarkan ajaran sesat padahal mereka
sedang melakukan ritual untuk penyembuhan.
(http://nasional.kompas.com/read/2010/04/19/19085744uupenistaanagama
diakses pada tanggal 30 juli 2013 pukul 00:05 wib).
Walaupun keberadaan kepercayaan tradisional masih tidak diakui di
negara Indonesia, kepercayaan tradisional masih tetap terjaga dan memiliki umat
walaupun terlihat dalam bentuk budaya. Demikian halnya dengan pemeluk
kepercayaan Pemena di Tanah Karo, mereka masih memeluk aliran kepercayaan
Pemena walaupun tidak terlihat dengan jelas keberadaan mereka. Saat ini bahwa
pemeluk kepercayaan Pemena ini sudah sangat sulit diketahui keberadaannya
dengan adanya identitas agama resmi yang mereka anut bahkan tidak ada data
tentang status pemeluk kepercayaan Pemena ini. Seperti halnya bahwa identitas
masyarakat Karo pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) telah menunjukkan hampir
semuanya masyarakat Karo telah memiliki agama yang resmi dalam KTPnya.
Seperti yang terdapat pada Ketetapan Presiden Nomor 1 tahun 1965 bahwa agama
yang disahkan di negara Indonesia hanya enam agama besar. Sedangkan
kepercayaan-kepercayaan diluar itu tidak diakui. Sehingga telah diwajibkan untuk
membuat identitas di KTP dengan memiliki salah satu agama yang diakui oleh
negara.
Masyarakat Karo yang dulunya pemeluk Pemena terlihat terpaksa untuk
memilih agama resmi di KTP karena situasi dan kondisi sosial mereka. Hal ini
memiliki agama resmi akan dianggap sebagai PKI dan akan dihukum oleh negara.
Hal ini telah memberi dampak yang sangat jelas bagi masyarakat Karo untuk
memilih agama resmi dan akhirnya berkembang sampai saat ini. Sehingga
masyarakat juga telah terpengaruh dengan nilai-nilai yang ditanamkan pemerintah
bahwa orang yang tidak beragama resmi itu merupakan kelompok orang yang
salah dan akan mengalami kesulitan dalam berbagai urusan yang berhubungan
dengan administrasi, bahkan bisa dikucilkan dalam masyarakat. Keadaan ini
seakan menekan pemeluk aliran kepercayaan Pemena untuk memilih agama
resmi, ada yang memang benar-benar berpindah agama dan ada juga yang masih
tetap menjalankan kepercayaan Pemena walaupun jumlahnya sangat jauh
berkurang dan keberadaannya juga sulit diketahui dalam masyarakat.
Pemeluk aliran kepercayaan Pemena juga semakin tertekan dengan
banyaknya anggapan bahwa aliran kepercayaan ini sering disamakan dengan
agama Hindu. Bahkan dibeberapa daerah, aliran kepercayaan Pemena
digabungkan dengan agama Hindu Karo. Hal ini dilatarbelakangi karena agama
Hindu dekat dengan suku Karo yang ditandai dengan banyaknya marga-marga
suku Karo yang berdasarkan sejarahnya berasal dari India, seperti halnya marga
Sembiring Brahmana, Keling, dan marga lainnya, ditambah lagi bahwa peradaban
masyarakat Karo sangat erat kaitannya dengan India. Walaupun demikian, pada
dasarnya aliran kepercayaan Pemena berbeda dengan agama Hindu, terlihat dari
cara penyembahan, isi ajarannya serta apa yang mereka sembah. Namun
kebanyakan pemeluk Pemena rela digolongkan sebagai agama Hindu agar
identitas mereka sebagai pemeluk aliran kepercayaan Pemena tidak terlihat, dan
Hindu yang ada di Tanah Karo merupakan agama Hindu Karo yang pada dasarnya
juga terlihat berbeda dengan Hindu pada umumnya karena disesuaikan dengan
budaya Karo dan aliran kepercayaan Pemena. Namun pembedaan secara jelas
masih terlihat di Desa Pergendangen antara aliran kepercayaan Pemena dengan
Hindu, dimana di Desa ini masih tetap menyebut kepercayaan mereka dengan
sebutan kiniteken si ndekah (Pemena) dan bukan agama Hindu.
Dengan adanya penggolongan pemeluk aliran kepercayan Pemena ke
dalam agama Hindu Karo, telah menunjukkan keberadaan aliran kepercayaan
Pemena yang semakin tertekan keberadaannya. Terlihat upaya pemerintah
walaupun secara tidak langsung seperti ingin menghilangkan identitas mereka
sebagai pemeluk aliran kepercayaan Pemena. Penekanan terhadap aliran
kepercayaan Pemena ini sangat terlihat jelas dampaknya, di mana jumlah pemeluk
aliran kepercayaan Pemena terlihat semakin sedikit dan pemeluk aliran
kepercayaan Pemena di beberapa daerah terlihat telah memilih bergabung dengan
agama Hindu Karo, seperti daerah Sibolangit, daerah Tiga Binanga dan
sekitarnya. Namun hal ini belum terjadi di desa Pergendangen, yang masih tetap
membedakan aliran kepercayaan Pemena dengan agama Hindu.
Untuk jumlah pemeluk kepercayaan Pemena, saat ini tidak dapat diketahui
karena tidak ada lembaga atau kementerian yang mengatur kepercayaan
tradisional. Berbeda dengan agama Malim (Parmalim) pada masyarakat Batak
toba yang sudah diakui sebagai sebuah kepercayaan dan telah mengalami
pemugaran. Hal ini disebabkan bahwa agama Malim dianggap pemerintah
memiliki nilai jual sebagai objek wisata sehingga mengalami pelestarian kembali.
kementerian yang berbau agama, dan hanya dianggap sebagai budaya bukan
kepercayaan. Hal ini memberi kesan yang hanya bergantung pada keuntungan
semata, di mana hanya aliran kepercayaan yang memiliki nilai jual saja yang
mendapat perhatian dari pemerintah, yang tidak memiliki nilai jual tidak akan
mendapat pengakuan walau hanya sebagai budaya.
Dilihat lagi dari pandangan ajaran agama resmi misalnya agama Islam dan
Kristen Protestan yang mayoritas dianut masyarakat Karo, bahwa kepercayaan
Pemena ini merupakan hal yang menyalahi ajaran agama atau sesat. Karena
kepercayaan Pemena ini masih percaya pada hal-hal yang gaib seperti halnya
roh-roh nenek moyang mereka yang berwujud benda-benda keramat yang mereka
anggap memiliki kekuatan supranatural. Dengan kata lain bahwa Pemena ini
memiliki bentuk kepercayaan yang animisme dan dinamisme yang sebenarnya
telah bertentangan dengan ajaran agama modern saat ini. Sehingga menjadi
tantangan tersendiri juga bagi pemeluk aliran kepercayaan Pemena dalam
masyarakat. Ditambah lagi bahwa pemeluk aliran kepercayaan Pemena yang
sering disebut Perbegu, sering disalahartikan dengan makna pemelihara hantu
sehingga dalam masyarakat kelompok pemeluk aliran kepercayaan Pemena ini
sering mendapat pandangan negatif dari masyarakat. Padahal Perbegu dalam hal
ini bukan pemelihara hantu karena dari kata Begu, melainkan makna sebenarnya
adalah pemuja roh bukan hantu. Karena Perbegu sangat bertolak belakang dengan
Perbegu Ganjang (Pemelihara Hantu Ganjang). Pemahaman masyarakat yang
masih rendah akan hal inilah yang menyebabkan aliran kepercayaan Pemena ini
semakin tersudutkan dalam masyarakat sehingga di beberapa tempat mereka
Sangat banyak tantangan yang harus dihadapi oleh pemeluk aliran
kepercayaan Pemena, namun masih ada yang tetap bertahan dengan cara tetap
menjalankan serta mempertahankan nilai-nilai aliran kepercayaan Pemena dalam
kehidupan mereka. Terlihat bahwa kebiasaan-kebiasaan seperti Ndilo Udan
(Manggil Hujan), Mbesur-mbesuri, Ngaleng Tendi, Seluk, Perumah Nini, dan
kebiasaan lainnya masih ada dijalankan dibeberapa daerah termasuk pada Desa
Pergendangen. Hal ini tetap mereka pertahankan karena mereka mendapatkan
nilai-nilai yang memang memiliki pengaruh kepada mereka. Dan tidak terlepas
dari penerapan konsep kebebasan beragama yang masih belum jelas di Indonesia.
Dari berbagai tantangan yang dihadapi oleh pemeluk kepercayaan Pemena
ini, baik pandangan negatif dari masyarakat yang bukan pemeluknya serta
tantangan dari negara yang menyudutkan mereka. Sehingga keberadaan pemeluk
aliran kepercayaan Pemena ini tidak begitu jelas dengan adanya upaya
penyembunyian identitas. Menarik juga bahwa nilai-nilai kepercayaan Pemena ini
masih banyak terdapat dan dijalankan pada masyarakat Karo. Hal inilah yang
ingin diketahui oleh peneliti yang akan dilihat pada masyarakat pemeluk
kepercayaan Pemena di salah satu desa di Tanah Karo yaitu Desa Pergendangen
Kecamatan Tiga Binanga Kabupaten Karo. Hal ini dianggap menarik bagi peneliti
melihat era modernisasi yang memunculkan agama-agama modern dan diakui
oleh negara, namun pemeluk kepercayaan Pemena ini tetap bertahan dan
menjalankan nilai-nilai kepercayaan mereka dalam kehidupan sehari-hari.
Ditambah lagi bahwa, penelitian tentang kepercayaan Pemena ini belum pernah
diteliti sebelumnya, sehingga menjadi hal yang sangat menarik bagi peneliti. Dan
tergabung dalam agama Hindu, yang berbeda dengan pemeluk aliran kepercayaan
Pemena di desa lainnya.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah adalah pertanyaan penelitian yang berkaitan dengan
topik atau judul penelitian. Berdasarkan pada uraian latar belakang, maka dalam
penelitian ini yang menjadi rumusan masalahnya adalah:
1. Bagaimanakah Keberadaan Pemeluk dan Penerapan Nilai-nilai Aliran
Kepercayaan Pemena di Desa Pergendangen Kecamatan Tiga Binanga
Kabupaten Karo?
2. Bagaimanakah Penerapan Nilai-nilai Aliran Kepercayaan Pemena oleh
para Pemeluknya di Desa Pergendangen Kecamatan Tiga Binanga
Kabupaten Karo?
3. Bagaimanakah Persepsi Masyarakat terhadap Pemeluk Aliran
Kepercayaan Pemena di Desa Pergendangen Kecamatan Tiga Binanga
Kabupaten Karo?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dibuat, maka tujuan penelitian
ini adalah:
1. Untuk Mengetahui Keberadaan Pemeluk dan Penerapan Nilai-nilai Aliran
Kepercayaan Pemena di Desa Pergendangen Kecamatan Tiga Binanga
2. Untuk Mengetahui Bagaimana penerapan Nilai-nilai Aliran Kepercayaan
Pemena Oleh Pemeluknya di Desa Pergendangen Kecamatan Tiga
Binanga Kabupaten Karo.
3. Untuk Mengetahui Persepsi Masyarakat terhadap Pemeluk Aliran
Kepercayaan Pemena di Desa Pergendangen Kecamatan Tiga Binanga
Kabupaten Karo.
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.4.1 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan agar dapat menambah wawasan ilmiah bagi
mahasiswa ilmu sosial dan masyarakat.Penelitian ini juga diharapkan dapat
member konstribusi bagi ilmu Sosiologi, khususnya bidang Sosiologi Agama.
1.4.2 Manfaat Praktis
1. Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi penulis agar dapat
meningkatkan kemampuan akademis, terutama dalam hal pembuatan
karya ilmiah tentang Keberadaan Pemeluk dan Penerapan Nilai-nilai
Kepercayaan Pemena di Desa Pergendangen Kecamatan Tiga
Binanga Kabupaten Karo.
2. Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi instansi pemerintahan,
khususnya bagi instansi terkait di Pemerintah Kabupaten Karo seperti