MENUJU KEPASTIAN HUKUM ATAS TANAH: KASULTANAN DAN PAKUALAMAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
TIM PENYUSUN
Cetakan I, Januari 2013
Penulis : Munsyarief
Editor : Ronni M. Guritno (KRT Purwowinoto) Desain Sampul : Tri Rahayu
Copyright@ All right reserved
Diterbitkan oleh Penerbit Ombak CV
Perumahan Nogotirto III, Jl. Progo B -15 Yogyakarta, Indonesia 55292, Sleman, Yogyakarta.
Perpustakaan Nasional Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Munsyarief
MENUJU KEPASTIAN HUKUM ATAS TANAH: KASULTANAN DAN PAKUALAMAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
Cetakan I-Yogyakarta: Penerbit Ombak CV, 2013 ix+95 hlm; 14,8 x 21 cm
Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah: Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta
ii
KATA PENGANTAR
Penulisan buku ini bertujuan untuk mengetahui permasalahan kebijakan pengaturan dan penguasaan tanah bekas swapraja di Daerah Istimewa Yogyakarta pada masa lalu, saat ini, dan pengembangannya pada masa mendatang. Dari hasil kajian ternyata dengan Hukum Tanah yang ada saat ini tidak mampu menyelesaikan persoalan pertanahan di Daerah Istimewa Yogyakarta, karena masih saja timbul masalah ketidakpastian hukum atas tanah-tanah lembaga Kraton Kasultanan (Sultan Ground) dan Kadipaten Pakulaman (Pakualaman Pakualaman Ground).
Dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta terutama pada pasal 7 ayat (2) huruf d dan khususnya pasal 32 dan pasl 33 yaitu tentang kewenangan istimewa dalam pertanahan, diharapkan tindak lanjut kebijakan Peraturan Daerah Istimewa yang akan diterbitkan tentang tanah Kraton Kasultanan dan Kadipaten Pakulaman dapat disinkronkan dengan Hukum Tanah Nasional, sehingga mampu menjawab kekosongan hukum dalam menetapkan subyek dan obyek hak atas tanah bekas Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman.
Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah: Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta
Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah: Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta
iv ABSTRAK
UUPA diberlakukan secara penuh di Daerah Istimewa Yogyakarta pada Tahun 1984, tetapi dalam pangaturan penguasaan tanah hanya diatur beberapa konversi perorangan bekas hak adat menjadi hak milik saja sedangkan untuk Tanah Lembaga Keraton Kasultanan (SG dan CD) dan tanah Lembaga Kadipaten Pakualaman (PAG) belum diterapkan konversinya dalam sistem hukum tanah nasional, dikarenakan ketentuan UUPA khususnya Diktum Keempat huruf A tidak dapat diberlakukan untuk tanah dimaksud dan peraturan pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada Diktum Keempat huruf B sampai saat ini belum diterbitkan.
Dari kajian histori yuridis dan administrasi pengaturan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta. Tanah-tanah adat terdata dan tercatat dalam suatu pencatatan (registrasi) di desa atau kelurahan dengan Model A, B, C, D, dan E. sedangkan untuk Keraton kasultanan dikelola
lembaga Kewedanaan Hageng Punokawan Wahono Sarto Kriyo, yaitu sebuah Lembaga Tata Pemerintahan Keraton yang menangani pertanahan dan Panitia 7 Puro Pakualaman untuk tanah-tanah Puro Pakualaman.
Berdasarkan hasil inventarisasi data luas tanah Kasultanan (Sultan Ground dan Crown Domain) dan tanah Pakualaman (Pakualaman Ground) adalah 6.430,87 hektar 2,1% dari luas Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, oleh karena itu diperlukan sinkronisasi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta dengan UUPA, , dengan cara memilah-milah subyek dan obyek hak atas tanah.
Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah: Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta
v DAFTAR TABEL
TABEL 1 PENGUASAAN DAN PEMILIKAN TANAH-TANAH BEKAS SWAPRAJA HASIL IDENTIFIKASI DAN PENGUKURAN DI DERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA 44 TABEL 2 NILAI EKONOMIS PEMANFAATAN TANAH-TANAH
KASULTANAN (SULTAN GROUND) DAN
Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah: Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta
vi DAFTAR GAMBAR
GAMBAR 1 . BAGAN MENUJU KEPASTIAN HUKUM ATAS TANAH KASULTANAN DAN PAKULAMAN ... 8 GAMBAR 2. PETIKAN SOKO REGISTER, BAB WEWENANG
HANDARBE BUMI NGIRAS LAYANG UKURAN ... 49 GAMBAR 3 PETIKAN SOKO WEWENANG HANDARBE BUMI
NGIRAS LAYANG UKURAN ... 49 GAMBAR 4 BAGAN KECAMATAN JETIS KOTA YOGYAKARTA 50 GAMBAR 5 IDENTIFIKASI PENETAPAN STATUS TANAH
Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah: Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta
vii DAFTAR ISI
TIM PENYUSUN ... i
KATA PENGANTAR ... ii
KATA SAMBUTAN SULTAN HAMENGKUBUWONO X ... iii
KATA SAMBUTAN KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL RI .... iv
ABSTRAK ... iv
DAFTAR TABEL ... v
DAFTAR GAMBAR... vi
DAFTAR ISI ... vii
PENDAHULUAN 1. Pengelolaan Pertanahan di Daerah Istimewa Yogyakarta ... 5
2. Model Sinkronisasi Pengelolaan Tanah Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta ... 8
TINJAUAN TINJAUAN HUKUM TANAH NASIONAL DALAM RANGKA SINKRONISASI DENGAN KEISTIMEWAAN YOGYAKARTA DALAM BIDANG PERTANAHAN 1. Kewenangan Mengatur Atas Tanah ... 15
2. Pengaturan Hubungan Hukum Atas Tanah Sebelum UUPA ... 17
3. Hak-Hak Atas Tanah Dalam Hukum Tanah Nasional ... 20
4. Historis Yuridis Pengelolaan Pertanahan di Pulau Jawa ... 22
a. Pengelolaan Pertanahan Tradisional (adat) di Pulau Jawa Bagian Tengah ... 22
b. Pengelolaan Pertanahan Masa Kolonial di Pulau Jawa ... 24
c. Pengelolaan Pertanahan Setelah Kemerdekaan di Yogyakarta ... 29
REFLEKSI SEJARAH DAN POLITIK PERTANAHAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA 1. Tanah Keprabon (Crown Domain) ... 36
2. Tanah Dede Keprabon (Rijks Domein) ... 36
Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah: Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta
viii
2. Pelaksanaan dan Solusi Penguasaan dan Pemilikan Tanah Swapraja dan Bekas Swapraja di Daerah Istimewa Yogyakarta ... 50 SINKRONISASI HUKUM TANAH NASIONAL DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2012 YANG BERKAITAN DENGAN BIDANG PERTANAHAN
1. Pendekatan Praktis (Practical Approach) sebagai Strategi dan Konsep Penyelesaian Sengketa Tanah ... 59 2. Pelaksanaan dan Solusi Penguasaan dan Pemilikan Tanah
Swapraja dan Bekas Swapraja di Daerah Istimewa Yogyakarta ... 61 3. Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah Swapraja dan Bekas
Swapraja di Daerah Istimewa Yogyakarta ... 68 4. Tanggapan dan Harapan Penggarap Tanah Sultan Ground
dan Pakualaman Ground di Daerah Istimewa Yogyakarta ... 70 5. Permasalahan dan Isu-isu Strategis Pengelolaan Pertanahan
di Daerah Istimewa Yogyakarta ... 71 a. Isu Strategis Pengelolaan Pertanahan Wilayah Daerah
Istimewa Yogyakarta ... 71 b. Isu Strategis Pengelolaan Pertanahan di Kota Yogyakarta ... 72 c. Isu Strategis Pengelolaan Pertanahan di Kabupaten Sleman ... 74 d. Isu Strategis Pengelolaan Pertanahan di Kabupaten
Gunungkidul ... 75 e. Isu Strategis Pengelolaan Pertanahan di Kabupaten
Kulonprogo ... 76 f. Isu Strategis Pengelolaan Pertanahan di Kabupaten Bantul ... 78 P E N U T U P ... 81 DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR RIWAYAT HIDUP PENULIS
Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah: Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta
1
Pendahuluan
Secara konseptual, kebijakan pengaturan penguasaan,
pemilikan, dan pemanfaatan tanah yang ditetapkan dalam Undang
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria (selanjutnya disebut UUPA), merupakan pengembangan dari
kehendak politik sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 133 ayat (3)
UUD 1945 yang kemudian dikembangkan ke dalam Pasal 11 UUPA
(dengan menambahkan "ruang angkasa") dan menjadi landasan
kebijakan agraria/pertanahan untuk mewujudkan kesejahteraan
rakyat. Pasal 11 UUPA, menyatakan bahwa: "bumi, air, ruang
angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat".
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan Undang
Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah
Istimewa Yogyakarta sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang Undang Nomor 9 Tahun 1955 dan Undang Undang Nomor 13
Tahun 2012, masih mendapatkan kewenangan dalam bidang
agraria/pertanahan. Hal ini berkaitan dengan keberadaan Kraton
Kasultanan Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman terhadap
wilayah dan pemerintahan yang telah ada sebelum lahirnya Negara
Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
Kedudukan dan keberadaaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
sebagai Daerah Istimewa tetap diakui dan dihormati secara hukum
Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah: Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta
2
Dalam pengaturan penguasaan atas tanah-tanah di wilayah
Daerah Istimewa Yogyakarta, berdasarkan Keputusan Presiden
Nomor 33 Tahun 1984 juncto Peraturan Mendagri Nomor 66 Tahun
1984, UUPA diberlakukan secara penuh di Daerah Istimewa
Yogyakarta, tetapi dalam pangaturan penguasaan tanah hanya
diatur beberapa konversi perorangan bekas hak adat menjadi hak
milik saja sedangkan untuk Tanah Lembaga Keraton Kasultanan
(Sultan Ground) atau SG dan tanah Lembaga Kadipaten Pakualaman
(Paku Alam Ground) atau PAG1 belum diterapkan konversinya
dalam sistem hukum tanah nasional.
Pengelolaan pertanahan di Daerah Istimewa Yogyakarta,
telah terjadi pandangan/persepsi yang berbeda terhadap Undang
Undang Nomor 5 Tahun 1960, tetapi saat ini dengan diterbitkannya
Undang Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan
1 Masyarakat pada awalnya meyakini bahwa tanah adalah milik Sultan walaupun
secara fisik penguasaannya oleh masyarakat (masyarakat diluar Kotapraja Yogyakarta hanya di beri Hak Anganggo atau Hak Pakai Turun-temurun atau
Erfelijk Individueel Gebriksrecht), dalam perkembangannya masyarakat dapat diberikan Hak Milik Atas Tanah (setelah Reorganisasi Tanah oleh Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman Tahun 1912), dan bagi yang tidak dapat membuktikan kepemilikannya oleh seseorang maka menjadi milik Sultan (Sultan Ground) atau Pakualaman (Pakualaman Ground). Biasanya tanah-tanah yang tidak dapat dibuktikan pemilikannya merupakan tanah-tanah yang berpasir, berbatu, lereng-lereng terjal, pangonan, oro-oro, tanah timbul (wedi kengser),
dan lainnya yang tidak mempunyai nilai ekonomis bila dimanfaatkan. I Made
Sandy, kaitannya dengan pemanfaatan tanah ini menjelaskan, Bahwa rakyat
sudah mulai memanfaatkan tanah yang atau tadinya merupakan tanah kosong atau tanah pangonan . Gerakan Kearah Tanah Marginal Telah Dimulai, Publikasi Tata Guna Tanah Nomor 27 Tahun 1970, Jakarta. Hal. 11. Karena jumlah tanah yang baik habis terpakai, sedangkan jumlah manusia bertambah, akhirnya sebagian daripada manusia itu akan terpaksa mengolah tanah yang kualitasnya lebih rendah, yang dalam keadaan tanah cukup, tidak akan dijamah. Rakyat
terpaksa mempergunakan tanah-tanah marginal dengan segala akibat-akibat
yang bisa timbul kemudian. Tanah Kritis Sehubungan Dengan Tanah Pertanian.
Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah: Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta
3
Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan asumsi bahwa: substansi
Pasal 14 Undang Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang
Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta, dimana status tanah
Sultan Ground dan Pakualaman Ground danhak-hak adat yang ada
masih diberlakukan ketentuan khusus terlebih dalam Pasal 7 (1)
Kewenangan DIY sebagai daerah otonom mencakup kewenangan
dalam urusan Pemerintahan Daerah DIY sebagaimana dimaksud
dalam undang-undang tentang pemerintahan daerah dan urusan
Keistimewaan yang ditetapkan dalam huruf d. yaitu mencakup
bidang pertanahan.
Permasalahan utama selama ini tanah-tanah Swapraja atau
Bekas-Swapraja di Daerah Istimewa Yogyakarta, pada waktu mulai
berlakunya UUPA yang seharusnya beralih kepada Negara tidak
dapat diberlakukan, karena aturan pelaksana sebagaimana dimaksud
pada Diktum Keempat huruf B UUPA sampai saat ini belum
diterbitkan2. Dengan demikian, tanah-tanah SG dan PAG yang dahulu
merupakan bagian dari Bekas Swapraja di Daerah Istimewa
Yogyakarta masih berlaku ketentuan Rijkblad Kasultanan Tahun 1821
Nomor 16 dan Rijkblad Puro Pakualaman Tahun 1821 Nomor 18,
sehingga status tanahnya tidak beralih kepada Negara, dikarenakan
ketentuan UUPA khususnya Diktum Keempat huruf A tidak dapat
diberlakukan untuk tanah dimaksud.
Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah: Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta
4
Aspek penguasaan tanah di Indonesia adalah bagian utama
politik agraria dari satu masa ke masa pemerintahan, dimana tanah
selalu dijadikan alat politik bagi pihak penguasa. Dari tinjauan
historis terlihat bahwa mulai dari zaman kerajaan sampai dengan
Orde Baru, penguasaan sumber daya tanah oleh pemerintah telah
menjadikan petani selalu berada posisi subordinat dan
ketergantungan. Hal ini disebabkan karena pemerintahlah yang
memegang hak penguasaan tanah, sedangkan petani menjadi
penggarap. Petani belum diberi hak penguasaan yang secukupnya
agar dapat menjadi pengelola penuh dalam usahataninya. Struktur
sosial masyarakat pedesaan juga berubah mengikuti perubahan pola
penguasaan tanah tersebut, karena bagi komunitas agraris tanah
adalah sumber daya utama kehidupannya. Bagi petani, tanah
merupakan sumber produksi dalam menyumbang tingkat
kesejahteraan mereka, walaupun saat ini tanah-tanah Kasultanan
dan Pakualaman yang sebelumnya merupakan tanah-tanah marginal,
saat ini telah digarap oleh masyarakat, yang secara ekonomis dapat
memberikan manfaat, tetapi walaupun masih dipenuhi oleh
persoalan terkait dengan berbagai aspek sosial dan ekonomi yang
berkaitan erat dengan kemiskinan, ketimpangan pendapatan, alokasi
sumberdaya tanah (the value of land) yang semestinya berkontribusi
untuk kesejahteraan manusia (human welfare), tetapi tidak dapat
optimal pemanfaatannya.
Dengan latar belakang permasalahan tersebut diperlukan
suatu sinkronisasi dalam menyusunan kebijakan yang berkaitan
dengan pengaturan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan
Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah: Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta
5
Ground (PAG) dengan pola pendekatan historis, yuridis, sosiologis,
ekonomi dan politik, sehingga tidak menimbulkan permasalahan
dimasa yang akan datang.
Identifikasi permasalahan utama tentang bagaimana
pengaturan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan
tanah dahulu dan saat ini di Daerah Istimewa Yogyakarta serta
mensinkronkan pengaturan penguasaan, pemilikan dan penggunaan
dan pemanfaatan tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta. Sehingga
dengan harapan dapat mengetahui pengaturan penguasaan,
pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dahulu dan saat ini
dan mensinkronkan pengaturan penguasaan, pemilikan dan
penggunaan dan pemanfaatan tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta.
1. Pengelolaan Pertanahan di Daerah Istimewa Yogyakarta Pengelolaan Pertanahan adalah suatu kegiatan penegakan
hukum pertanahan yang adil dan transparan untuk meningkatkan
kepastian hukum hak atas tanah kepada masyarakat melalui
sinkronisasi perundangan pertanahan, penyelesaian konflik dan
pengembangan budaya hukum serta penataan penguasaan,
pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang berkeadilan,
berkelanjutan, dan menjunjung supremasi hukum.
Hukum Agraria/Tanah Nasional dalam arti luas merupakan
suatu kelompok berbagai hukum yang mengatur hak-hak
penguasaan atas sumber-sumber daya alam yang meliputi:
a. Hukum pertanahan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas
Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah: Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta
6
b. Hukum air, yang mengatur hak-hak penguasaan atas air;
c. Hukum pertambangan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas
bahan-bahan galian yang dimaksudkan oleh undang-undang
pokok pertambangan;
d. Hukum perikanan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas
kekayaan alam yang terkandung di dalam air;
e. Hukum kehutanan, yang mengatur hak-hak atas penguasaan atas
hutan dan hasil hutan;
f. Hukum penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang
angkasa (bukan space law), mengatur hak-hak penguasaan atas
tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa yang dimaksudkan
oleh Pasal 48 UUPA.
g. Sedangkan pengertian hukum agraria dalam arti sempit, hanya
mencakup Hukum Pertanahan, yaitu bidang hukum yang
mengatur hak-hak penguasaan atas tanah.
Sinkronisasi adalah penyelarasan dan penyelerasian, proses
pengaturan jalannya beberapa proses pada saat yang bersamaan.
Dalam hal ini sinkronisasi yang dimaksud adalah penyelarasan
berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
peraturan perundang-undangan yang telah ada dan disusun dalam
rangka mengatur suatu bidang tertentu sehingga pengaturan Tanah
dalam proses menentukan penguasaan, pemilikan dan penggunaan
dan pemanfaatan tanah sebagai sumber daya alam secara
Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah: Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta
7
Tanah Bekas Swaparaja adalah tanah yang dimilki oleh atau
ada karena persekutuan hukum teritorial Indonesia asli dengan yang
dimiliki Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang selanjutnya
disebut Kasultanan dan Pakualaman Pakulaman yang merupakan
warisan budaya bangsa yang ditetapkan sebagai Badan Hukum
(Pasal 32 ayat (1)). Kasultanan yang dipimpin oleh Sri Sultan
Hamengku Buwono dan Kadipatenan yang dipimpin oleh Adipati
Paku Alam merupakan subyek hak milik atas tanah (Pasal 32 ayat
(2)) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2012) yang pengelolaan dan
pemanfaatannya ditujukan untuk sebesar-besarnya pengembangan
kebudayaan, kepentingan sosial, dan kesejahteraan masyarakat.
Keraton Kasultanan adalah seluruh struktur kekuasaan politik,
budaya, dan sosial, dan otoritas kewilayahannya di Yogyakarta, yang
keberadaannya telah ada sebelum negara Republik Indonesia lahir,
dan yang hingga saat ini masih eksis dengan segenap otoritas
kekuasaannya tersebut, baik langsung maupun tidak langsung
sedangkan Kadipaten Pakualaman adalah daerah Perdikan di wilayah
Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang dibangun pada tanggal
22 Juni 1812. Raja pertamanya yaitu Pangeran Natakusuma (Putera
Hamengku Buwono) dan bergelar K.G.P.A.A Paku Alam I. Wilayah
yang termasuk Kadipaten Pakualaman terpecah-pecah antara lain di
Pajang, Bagelan, sebagian di pusat Kota Yogyakarta (Istana
Pakualaman) juga ada di wilayah Kulon Progo (yaitu antara Sungai
Progo dan Sungai Bogowonto). Wilayah yang berada di wilayah Kulon
Progo dulu pernah menjadi kabupaten tersendiri yaitu Kabupaten
Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah: Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta
8
Kabupaten Kulon Progo yang menjadi bagian dari pemerintahan
Yogyakarta.
Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah: Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta
9
Tinjauan Hukum Tanah Nasional Dalam Rangka
Sinkronisasi dengan Keistimewaan
Yogyakarta dalam Bidang Pertanahan
Hukum agraria yang berlaku sekarang ini adalah azas-azasdan ketentuan-ketentuan pokoknya terdapat dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria, yang dikenal dengan sebutan Undang-Undang Pokok-Pokok
Agraria (UUPA) yang berlaku mulai tanggal 24 September 1960.
Yang dimaksud dengan hukum tanah adalah bidang hukum yang
mengatur hak-hakpenguasan atas tanah, yang dalam bahas Inggris
disebut Land Tenure. Adapun yang dimaksud dengan tanah (dalam
artian yuridis) adalah permukaan bumi, yang terdiri atas
satuan-satuan (persil, parcel, atau bidang) berdimensi dua dengan ukuran
meter persegi (panjang, lebar, luas), karena tanah yang dihaki
adalah untuk digunakan yang tidak mungkin penggunaan itu hanya
meliputi permukaan saja, tetapi juga memerlukan sebagian ruang
yang ada di tubuh bumi.
Berbicara hukum pertanahan/agraria tidak akan lepas dari
pendaftaran tanah, dimana sebelum berlakunya Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 juncto Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah atau lebih
dikenal dengan Kadaster Recht istilah ini telah dipakai oleh Gouw
Giok Siong dan Nyonya Soekahar Badwi3, Boedi Harsono4, dan
3 Gouw Giok Siong/Soekahar Badwi SH., Tafsir Undang-Undang Pokok Agraria,
1963, cet.2,h.38-39
Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah: Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta
10
Soedargo5 dalam arti pendaftaran tanah sebagaimana ditetapkan
dalam pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria. Kadaster
menurut Schermerhorn dan Van Steeinis6 dalam bukunya
Hermanses yang tidak dipublikasikan (Pendaftaran tanah di
Indonesia, Diktat Kulian Akademi Agraria Yogyakarta, 1990) adalah
sebagai suatu badan pemerintah untuk meregister dan
mengaministrasi keadaan hukum dari semua benda tetap dalam
daerah tertentu termasuk semua perubahan-perubahan yang
terjadi dalam keadaan hukum itu. (het kadaster is een ever
heiddsinstelling ter registrastie on administrasi van de rechtsteestand
van alle weizigeingen, die heirin in deleep der tijeen voorkomen).
Politik hukum pertanahan pada zaman penjajahan kolonial
Belanda dengan azas Domein dan Agrarisch Wetnya, dimana siapa
yang tidak dapat membuktikan tanah dengan tanda haknya
dianggap tanah milik negara. Sehingga jelas bahwa hanya
tanah-tanah yang sudah didaftarkan akan diberikan tanda bukti hak7.
Hak-hak penguasaan atas tanah dalam Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960, memberikan kewenangan kepada Negara
untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki, yaitu:
a. hak menguasai dari negara misalnya memberi kewenangan
untuk berbuat hal-hal yang disebut dalam pasal 2 UUPA;
5 Mr. Soedargo, Perundag-Undangan Agraria Indonesia, 1962 judul Bab XX.
6 W Schermerhorn dan HJ Van Steeinis, Leer Boek der Landmet Kunde, cet.2,
1946.h.436
7 Tanda bukti hak atas tanah, untuk yang tunduk pada hukum golongan
Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah: Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta
11
b. hak-hak atas tanah semuanya memberi kewenangan untuk
menggunakan tanah yang dihaki, seperti yang disebut dalam
pasal 4 UUPA;
c. hak jaminan atas tanah memberi kewenangan kepada kreditur
untuk menjual lelang tanah yang dijadikan jaminan untuk
pelunasan piutang yang dijamin, jika debitur cidera janji, dengan
mendahulu daripada kreditur-kreditur yang lain.
Hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam Hukum
Tanah Nasional adalah: Hak Bangsa (pasal1), hak menguasai dari
negara (pasal 2), hak ulayat masyarakat hukum adat (pasal 3),
hak-hak atas tanah (pasal 4, 16 dan lain-lainnya) dan hak-hak jaminan atas
tanah (pasal 51). Hak-hak penguasaan atas tanah tersebut
pengaturannya dalam hukum pertanahan dapat berupa wujud
penampilan hak-hak atas tanah, yaitu: lembaga hukum, kalau belum
dihubungkan dengan subyek dan obyek tertentu, dan hubungan
hukum, kalau sudah dihubungkan dengan subyek tertentu sebagai
pemegang haknya dan dengan tanah tertentu sebagai obyeknya.
Dengan berpangkal pada adanya wujud-wujud penampilan
hak-hak penguasaan atas tanah itu maka peraturan-peraturan
hukum pertanahan/agraria tersusun sebagai suatu sistem dengan
sistematika yang khas, yang membedakannya dengan sistem bidang
hukum yang lain, sehingga dalam hukum pertanahan/agraria kita
jumpai:
1. Kelompok peraturan-peraturan hukum yang mengatur hak-hak
penguasaan atas tanah sebagai lembaga hukum, yaitu yang
Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah: Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta
12
atas tanah, isi tiap-tiap hak tersebut, berupa
wewenang-wewenang, kewajiban-kewajiban dan larangan-laranngan bagi
pemegang haknya, hal mengenai pemegang haknya dan
hal-hal mengenai tanah yang dihaki.
2. Kelompok peraturan-peraturan hukum yang mengatur hak-hak
penguasaan atas tanah sebagai hubungan hukum, yaitu yang
mengatur hal-hal terjadinya suatu hak, hal-hal mengenai
pembebanannya dengan hak-hak lain, hal-hal mengenai
beralihnya hak kepada subyek lain8, hal-hal mengenai hapusnya
hak; dan hal-hal mengenai pembuktiannya.9
Dalam hukum negara yang menggunakan azas accessie atau
perlekatan dimana bangunan, tanaman yang berada diatas tanah
serta kandungan mineral yang berada di dalam tanah merupakan
bagian dari tanah, Sehingga perbuatan-perbuatan hukum mengenai
tanah dengan sendirinya meliputi juga bangunan, tanaman yang
berada di atas tanah serta kandungan mineral yang berada di dalam
tanah ataukah apa yang disebut azas pemisahan horizontal dimana
hukum tanahnya terpisah dengan benda-benda yang berada di atas
8 Menentukan hukum yang berlaku dalam kegiatan memperoleh tanah karena jual
beli, kalau pihak baru sampai pada kesepakatan bahwa pemilik tanah bersedia menjual tanah miliknya dan pihak yang memerlukan tanah bersedia membelinya dengan harga yang disetujui, maka perbuatan hukum tersebut walaupun
mengenai tanah bukanlah perbuatan hukum yang diatur hukum
pertanahan/agraria tetapi termasuk dalam hukum perjanjian (yang hingga kini
masih dualistik). Tetapi jika sudah sampai pada perbuatan hukum pemindahan
haknya, pengaturannya termasuk bidang hukum pertanahan/agraria.
9 Peralihan hak karena pewarisan tanpa wasiat atau memperoleh hak karena
Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah: Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta
13
tanah dan di dalam tanah, perbuatan hukum mengenai tanah tidak
dengan sendirinya meliputi juga bangunan, tanaman yang berada di
tas tanah dan kandungan mineral yang berada di dalam tanah10.
Guna menghadapi tantangan di masa yang akan datang yang
keadaan dan suasanya yang jauh berbeda, sehubungan dengan
makin kuatnya pengaruh dan tekanan semangat ekonomi yang
indivindualistik dan kapitalistik, yang mulai nampak melanda dunia
dewasa ini. sehubungan dengan itu diperlukan perangkat hukum
pertanahan/agraria yang pada satu pihak mampu memberikan
dukungan dan bagi keberhasilan penyelenggaran pembangunan
nasional dan mampu memberikan perlindungan bagi kepentingan
dalam arus globalisasi yang tidak akan mungkin dihindari.
Pendekatan sejarah (history approuch) hukum pertanahan/
agraria secara nasional baik sebelum kemerdekaan (penjajahan)
sampai tanggal 17 Agustus 1945 yaitu mulai merdekanya Bangsa
Indonesia, antara tanggal 17 Agustus 1945 sampai dengan tanggal
24 September 1960 yaitu mulai diberlakukannya Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960, dan antara tanggal 24 September 1960
sampai dengan saat ini.
Sejarah perkembangan hukum pertanahan/agraria di
Indonesia sebelum kemerdekaan, Van Huls11 membagi tiga periode,
10 Hukum pertanahan yang bersumber pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(pasal 500) dan hukum pertanahan di Singapura (pasal 4 Land Tittle Act 1970) misalnya menggunakan azas accessie. Hukum pertanahan adat menggunakan azas pemisahan horizontal. Dengan demikian juga hukum pertanahan/agraria (UUPA) yang berlaku hingga sekarang yang didasarkan pada hukum adat. 11 Mr. C.G van Huls, Uitbreining van de Taak van de Diesnt van het Kadaster,
Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah: Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta
14
Pertama, Periode Pra Kadaster (1602-1837), periode Kadaster
Lama (1837-1875) dan periode Kadaster Baru (setelah tahun
1875). Pada perioede pra kadaster, dasar dari pendaftaran hak atas
tanah di Indonesia, dasar hukum dari pelaksanaan pendaftaran hak
atas tanah adalah Nedherlandsch Indisch Plaakatboek (Buku
Maklumat (india Belanda yang dikeluarkan pada jaman Vecenigde
Oost-Indisch Compagnie (VOC) Persekutuan Dagang Kompeni
Hindia Timur) yang didirikan pada tahun 1602, VOC selain
menerima hak untuk berdagang sendiri di Indonesia dari
pemerintah di Negeri Belanda (Staten Generaal) juga menerima
pula hak menjalankan kekuasaan kedaulatan di daerah yang
dikuasainya dengan kekuatan senjata. Kedua, Periode Kadaster
Lama (1837-1875), periode ini dikeluarkannya keputusan
Gubernur Jenderal Hindia Belanda (Gouverneur General
Nedherlands-Indie) Staatblats 1837 Nomor 3 (S.1837. Nomor 3)
tanggal 18 Januari 1837 yang menetapkan suatu instruksi bagi ahli
ukur (Gouvernements Landmeters) di Jakarta, Semarang dan
Surabaya sebagai awal pelaksanaan kadaster yang lebih terperinci
sesuai dengan pokok-pokok penyelenggaraan kadaster dalam arti
modern dan Ketiga, Periode Kadaster Baru (1875-1960), periode ini
dikeluarkannya peraturan untuk penyusunan kadaster baru
diantaranya: Staatblats 1875 Nomor 183 juncto Staatblats 1879
Nomor 164) tentang Alagemene Voorschriffen de Kadasterale
Metingen in Ned-Indie (ketentuan-ketentuan umum mengenai
pengukuran-pengukuran kadaster di Indonesai).
Hukum pertanahan/agraria yang berlaku sebelum tanggal 17
Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah: Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta
15
yang berlaku bersamaan, masing-masing mengenai kelompok
tanah-tanah yang memperoleh status yang berbeda, dimana
pengelompokkannya dari berbagai sumber diantaranya dari Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (Agrarischs Wet) yang berasal dari
Negeri Belanda, perangkat Hukum Pertanahan/agraria dari Bekas
Swapraja yang pada dasarnya berkonsepsi feodal dan yang diatur
oleh Hukum Pertanahan Adat yang bersumber sebagian besar dari
hukum aslinya rakyat Indonesia:
1. Kewenangan Mengatur Atas Tanah
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa Bumi dan
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Amanat ini merupakan politik negara
untuk memakmurkan Rakyat Indonesia yang bersumber dari
sumber daya agraria yang harus menjadi komitmen seluruh
komponen bangsa baik Pemerintah maupun legislatif dan
yudikatif (Pemerintahan). Untuk mencapai dan mewujudkan
amanat tersebut, maka disusunlah Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
(Undang Undang Pokok Agraria) dan peraturan lainnya yang
berhubungan dengan pertanahan. UUPA merupakan alat yang
penting untuk mewujudkan amanat tersebut dalam rangka
membangun masyarakat yang adil dan makmur. UUPA,
merupakan politik negara untuk melaksanakan amanat pasal 33
Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah: Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta
16
pelaksanaan kebijakan mengenai pengaturan penguasaan
pemilikan dan pemanfaatan tanah.
Konsiderans UUPA menyatakan bahwa negara wajib
untuk: (1) mengatur pemilikan tanah dan (2) memimpin
penggunaannya, sehingga semua tanah yang ada di seluruh
wilayah Indonesia dapat dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Kewajiban tersebut telah dijabarkan dalam
pasal-pasal UUPA. Isi dari.pasal-pasal UUPA tersebut adalah
filosofi politik pertanahan/keagrariaan pada pasal 1 sampai
dengan 15 dan operasionalnya pada pasal 16 sampai dengan 49.
Hak menguasai dari Negara atas tanah dinyatakan dalam
pasal 2 ayat 1 UUPA, yaitu memberi wewenang kepada Negara
untuk:
a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa;
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum
antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang-angkasa;
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum
antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang
mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Upaya untuk mengatur pemilikan tanah dan memimpin
penggunaannya telah ditetapkan dalam berbagai kebijakan
pertanahan, namun sampai saat ini amanat untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat belum dapat dicapai sebagaimana yang
Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah: Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta
17
2. Pengaturan Hubungan Hukum Atas Tanah Sebelum UUPA
Sejarah pengaturan macam-macam hak penguasaan atas
tanah di Indonesia yang ada dalam hukum pertanahan/agraria
yang 3 (perangkat) hukum tanah. Ketiga perangkat hukum
tersebut mempunyai kebhinekaan sruktur perangkat hukum
yang berlaku bersamaan, masing-masing mengenai kelompok
tanah-tanah yang memperoleh status yang berbeda. Kelompok
peraturan-peraturan hukum yang mengatur hak-hak
penguasaan atas tanah sebagai lembaga hukum, yaitu yang
menetapkan dan yang mengatur macam-macam hak penguasaan
atas tanah yang ada dalam hukum pertanahan/agraria yang
bersumber dari;
Pertama, yang bersumber pada Kitab Undang-undang
Hukum Perdata (KUHPerdata), lebih dikenal dengan
macam-macam hak hak eropa atau hak barat seperti hak eigendom, hak
erfpacht, dan hak opstal yang semuanya didaftar dengan tanda
bukti hak.
Kedua, hukum dari Bekas Swapraja, lebih dikenal dengan
hak-hak bekas kerajaan dan untuk tiap-tiap daerah mempunyai
nama yang berbeda-beda seperti: Bekas Swapraja di Banyumas,
Madiun dan Kediri dengan nama desa-desa perdikan, di Yogyakarta (Risjksblad Kasultanan Tahun 1926 Nomor 13) dan
Solo (Rijksblad Kesunanan Tahun 1938 Nomor 14)dengan hak
-hak konversi , di Medan Peraturan Gemeente/Kotapraja
Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah: Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta
18
pelaksanaannya yang bernama Undang-Undang Maharaja Nanti
atau lebih dikenal dengan Undang-Undang Beraja Niti, yang
terdiri dari 164 pasal. Undang-Undang tersebut diberlakukan
pada jaman pemerintahan Sultan Aji Muhammad Sulaiman
(1845- dengan pemberian hak Pengoempoean, Limpah
Kemoerahan , dan lain-lain, dan
Ketiga, hukum pertanahan/agraria adat, dimana
konsepsinya didasarkan atas kuatnya hubungan bathin dengan
sumber daya tanah dan alamnya sebagai hak milik (Boedi
Harsono, 1999) yang meletakan hukum adat sebagai sumber
utamanya, mengandung rumusan dan mempuyai ciri-ciri
landasan komunalistik religus , memungkinkan penguasaan tanah secara individual, dengan hak-hak atas tanah yang bersifat
pribadi, sekaligus mengandung kebersamaan;
Hubungan manusia dalam kelompok masyarakat adat
dengan bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya berupa hubungan hukum yang dikuasai
dengan hak milik, karena di dalamnya terkandung semua sistem
nilai yang meliputi berbagai aspek politik, ekonomi, sosisal
budaya, kesehatan dan religi12. Menurut hukum adat, hak milik
atas tanah terdiri dari dua jenis: (1) hak milik perseorangan dan
(2) hak milik bersama atau hak milik persekutuan hukum
dimana para anggotanya yang dapat bebas exploit any virgin
land, yaitu boleh mengerjakan tanah yang belum dijamah oleh
12 Gunawan Wiradi, Noer Fauzi, Kharisna Ghimire, Epilog 2001. Prinsip-prinsip
Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah: Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta
19
orang lain untuk macam-macam keperluan, boleh membuka
tanah untuk pertanian (clearing it for agricultural), mendirikan
kampung (founding a village), dan mengambil hasil hutan
(gathering forest produce); orang lain yang diluar persekutuan
adat boleh melakukan, hanya dengan ijin persekutuan; orang
luar dan kadang-kadang para anggota persekutuan harus
membayar sewa bumi, supaya diberi izin melakukan tindakan
tersebut;
Persekutuan hukum adat tetap mempunyai hak
pengawasan terhadap cultivated lands; persekutuan
bertanggung jawab dalam hal unaccountable delict within the
area (misalnya yang bersalah tidak diketahui atau tidak dapat
ditangkap); hak ulayat can not be permanently alienated atau
tidak dapat dilepaskan untuk selama-lamanya.
Pengaturan hal-hal mengenai penetapan pemegang hak
atas tanah sebelum UUPA adalah hukum perdata, untuk subyek
hak dari hak-hak eropa atau hak-hak barat dan golongan
tertentu dengan sistem pendaftaran hak yang diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata dengan sistem negatif13,
sedangkan dalam hal peralihan hak atas tanah mengenal dua
macam azas yaitu azas memo plusjuris dan azas itikad baik, dimana azas memo plusjuris adalah azas dalam pengalihan hak
yang berasal dari Hukum Romawi, menurut azas ini orang tidak
dapat mengalihkan hak yang melebihi hak yang ada padanya
13 Mr. H.E.A. Volmar, Inleiding tot de studie van het Nedherlands Bergerlijk Recht,
Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah: Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta
20
(memo plujuris um transfer potest qua ipse habed). Tujuan dari
azas memo plusjuris adalah melindungi pemegang hak yang
sebenarnya terhadap tindakan orang lain yang mengalihkan
haknya tanpa sepengetahuannya. Berhubung dengan itu,
dinegara-negara dimana berlaku azas tersebut hanya dapat
diselenggarakan sistem pendaftaran hak yang negatif.
3. Hak-Hak Atas Tanah Dalam Hukum Tanah Nasional
Sebelum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) berlaku di
Indonesia berlaku 3 (perangkat) hukum tanah. Mengingat
bahwa UUPA atau Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
disusun dan diundangkan dalam rangka mengadakan unifikasi
hukum tanah, maka pasal-pasal yang mengandung penerapan
asas Accersie harus dianggap sebagai tidak berlaku lagi. Bahkan Hasni14 menyatakan secara tegas, dalam kesimpulannya
yang menyatakan bahwa yang dipergunakan dalam hukum
tanah kita yang berlaku sekarang ini adalah asas hukum adat,
yaitu: 1) bahwa pada asasnya, ada pemisahan antara tanah dan
bangunan yang berdiri di atasnya (asas pemisahan horizontal),
yang menyatakan bahwa hukum yang berlaku terhadap tanah
tidak sendirinya berlaku juga terhadap bangunan yang berdiri di
atasnya. Tanah tunduk pada hukum tanah , sedangkan
pengaturan soal bangunan termasuk hukum perutangan. 2)
bahwa kepemilikan atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi
14 Hasni, Hukum Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah Dalam konstek
Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah: Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta
21
juga pemilikan bangunan yang ada di atasnya. Barang siapa
yang membangun, dialah pemilik bangunan yang dibangun .
Hal tersebut sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh
Subekti,15 yang menyatakan bahwa B.W dalam tanah menganut apa yang dinamakan asas vertical , sedangkan Hukum Adat menganut asas horizontal . Menurut asas vertikal, maka hak milik atas sebidang tanah meliputi benda-benda yang berada di
atasnya (bangunan). Karena itu maka azas vertikal itu juga
dinamakan asas absorpsi (artinya: menyedot segala apa yang berada di atasnya). Sedangkan menurut asas horizontal hak
milik atas sebidang tanah tidak meliputi bangunan yang ada di
atasnya. Sedangkan dalam Hukum Tanah Nasional yang akan
datang, sudah disepakati oleh para Sarjana Hukum kita, untuk
menganut asas horizontal, tetapi dengan memungkinkan
pengecualian-pengecualian. Pendapat Subekti tersebut, menurut
penulis sejalan dengan apa yang tertuang dalam Ketentuan Pasal
5 UUPA, yang menjadikan Hukum Adat sebagai dasar dari
hukum agraria. Pasal 5 UUPA menyatakan bahwa Hukum
Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah
hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa,
dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan
yang tercantum dalam UUPA dan dengan peraturan
perundang-undangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan
unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.
15 Subekti, Perbandingan Hukum Perdata, Jakarta, PT. Pradnya Paramita, 1992,
Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah: Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta
22
Dalam Penjelasan Umum Angka Romawi III, angka 1
disebutkan mengenai pertimbangan mengapa UUPA menjadikan
dasar Hukum Adat dari Hukum Agraria, yaitu salah satunya
bahwa rakyat Indonesia sebagian terbesar tunduk pada hukum
adat, maka hukum agraria yang baru tersebut akan didasarkan
pula pada ketentuan-ketenyuan hukum adat itu, sebagai hukum
yang asli, yang disempurnakan dan disesuaikan dengan
kepentingan masyarakat dalam Negara.
4. Historis Yuridis Pengelolaan Pertanahan di Pulau Jawa
Pola pengelolaan pertanahan adalah pengaturan
penguasaan, pemilikan, penggunaan dan peman fa atan tanah
berdasarkan aturan normative ataupun secara alami atas tanah.
Adapun pengelolaan pertanahan khususnya di Pulau Jawa
berdasarkan historis yuridis, dibagai dalam beberapa tahapan,
yaitu:
a. Pengelolaan Pertanahan Tradisional (Adat) di Jawa Bagian
Tengah
Landasan pikir awal untuk memahami pola
penguasaan tanah pertanian di Jawa pada masa lampau
adalah bahwa penguasaan tanah tidak lepas dari otoritas raja
sebagai penguasa. Raja adalah penguasa mutlak atas tanah.
Kemudian dalam pengelolaannya raja memiliki bawahan
untuk mengatur tanah-tanah tersebut. Hal ini sesuai dengan
pendapat dari Ong Hok Ham (1984:5) yakni menurut tradisi
mutlak raja adalah satu-satunya pemilik tanah dalam arti
Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah: Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta
23
penguasaannya ada beberapa jenis tanah pada masa
tradisional ini yakni tanah narawita dan tanah
lungguh/bengkok/apanage (Wasino, 2005:1-2). Tanah
narawita merupakan tanah yang dikuasai secara langsung
oleh raja, sedangkan tanah lungguh adalah tanah yang
merupakan tanah gaji yang diberikan raja untuk dikelola oleh
bangsawan atau pejabat. Keberadaan tanah narawita dan
lungguh terletak di daerah yang disebut dengan Negara
Agung. Daerah Negara Agung merupakan daerah luar
benteng yang berada di antara Kuthagara dan Mancanegara.
Daerah Negara Agung terdiri atas beberapa daerah yakni
daerah Sewu di Kawasan Bagelen, Bumi (di daerah Kedu
Barat), Bumija (di daerah Kedu Timur), Numbak Anyar (di
daerah Bagelen timur), Penumping (daerah sebelah barat
Surakarta), serta Panekar di daerah Sukawati dan Pajang
(Wasino, 2005:18).
Tanah narawita terbagi atas beberapa jenis, yakni
bumi pamajegan, pangrembe, dan gladag (Wasino, 2005:29;
Suhartono, 1991:29). Bumi pamajegan merupakan
tanah-tanah raja yang menghasilkan pajak uang. Sementara itu
daerah pangrembe merupakan tanah yang ditanami padi atau
tanaman lain untuk istana. Sedangkan gladag merupakan
tanah yang penduduknya mendapat tugas transportasi.
Tanah lungguh atau apanage adalah tanah raja yang hak
gunanya diberikan kepada para pejabat. Pejabat-pejabat
birokrasi tidak mendapat imbalan jasa berupa gaji, tetapi
Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah: Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta
24
ganduhan atau peminjaman tanah, sebagai tanah lungguh.
Dari hasil bumi tanah tersebut para pejabat dapat membiayai
keperluan hidupnya. Hasil dari tanah sebagian diberikan
kepada kas kerajaan (Pesponegoro dan Notosusanto [et.al],
1984: 20). Jumlah tanah yang diberikan berbeda-beda. Dalam
Serat Pustaka Raja Purwara misalnya disebutkan bahwa ibu
raja dan istri raja masing-masing mendapat tanah lungguh
1000 karya, Adipati Anom seluas 8000 karya, Wedana Lebet
mendapat tanah seluas 5000 karya, dan sebagainya16.
Berkaitan dengan adanya tanah lungguh ada beberapa istilah
yang terkait dengan pengelolaan tanah lungguh tersebut.
Seorang yang diberi hak tanah lungguh disebut patuh. Patuh
dalam pelaksanaannya tidak turun langsung ke daerah
Negaragung karena mereka tinggal di Kuthagara untuk
memudahkan kontrol raja terhadap para patuh. Patuh
dibantu oleh bêkêl sebagai pengelola tanah lungguh. Bêkêl
bertugas sebagai penebas pajak yang dibayar secara teratur
ataupun okasional.
b. Pengelolaan Pertanahan Masa Kolonial di Pulau Jawa
Pola peguasaan tanah pertanian mulai bergeser dan
berubah setelah masuknya bangsa barat ke Jawa. Dimulai
dari bekembangnya VOC, Pemerintahan Rafless, tanam
paksa, sampai keluarnya Agrarische Wet pada 1870
16 Ukuran luas yang digunakan pada masa itu adalah karya atau cacah, yakni
jumlah petani penggarap sawahnya. Berkaitan hal tersebut, ukuran apanage
adalah jung kira-kira 28.386 m2 yang dikerjakan oleh empat cacah/karya
Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah: Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta
25
terjadilah perubahan-perubahan pola penguasaan tanah.
Penguasaan tanah oleh raja mulai begeser menjadi
penguasaan tanah atas nama pemerintah kolonial dan
penguasaan pribadi. Awal mula tejadinya perubahan pola
penguasaan tanah adalah ketika VOC mulai bekembang di
Jawa. Wilayah Mataram secara perlahan mengalami
pengurangan wilayah akibat kontrak-kontrak dengan VOC17.
Wilayah Pesisir meliputi Pesisir Barat (Pekalongan, Nrebes,
Wiradesa, Bantar, Lebaksiu, Tegal, Pemalang, Batang, Kendal,
dan Demak) dan Pesisir Timur (Jepara, Kudus, Cengkal Sewu,
Pati, Juana, Pejangkungan, Rembang, Tuban, Sidayu,
Lamongan, Gresik, Surabaya, Pasuruan, Bangil, Besuki,
Blambangan, Banyuwangi, dan Madura). Akan tetapi secara
umum tidak ada perubahan pola penguasaan tanah di
masyarakat.
Setelah VOC bangkrut, dimulailah fase baru dalam
kehidupan politik di Nusantara, yakni dengan berdirinya
pemerintah kolonial Hindia Belanda pada tahun 1800. Pada
awal abad XIX inilah di dalam daerah kerajaan para penguasa
jatuh di bawah penguasaan Belanda. Sikap politik agraria
pemerintahan Belanda mulai berubah semenjak Gubernur
Jenderal Deandles berkuasa. Ia memprakarsai
perubahan-perubahan administrasi pertanahan untuk tercapainya
kekuasaaan politik yang sistematis. Bahkan, beberapa
17 Ketika terjadi Perjanjian Giyanti pada 1755, wilayah pesisir sudah menjadi milik
VOC. Wilayah Surakarta dan Yogyakarta tinggal Kuthagara, Negara Agung, dan
Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah: Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta
26
wilayah di Batavia, Semarang, dan Surabaya dijual kepada
swasta untuk memecahkan kesulitan keuangan pemerintah.
Kemudian ketika Inggris berkuasa atas Indonesia
(1811-1816) di bawah Gubernur Jenderal Raffles, terjadi perubahan
dalam sistem agraria. Raffles melakukan reformasi agraria
dengan nama Land Rent Sistem (Sistem Sewa Tanah) dengan
dengan 3 (tiga) azas pengelolaan tanah18. Ide perubahan ini
banyak dipengaruhi oleh keberhasilannya dalam penerapan
sistem serupa di India. Raffles menentang stelsel hubungan
tanah feodal sebagaimana dilakukan oleh pemerintahan
tradisional dan VOC (Wasino, 2005: 5). Namun demikian,
pelaksanaan sistem sewa tanah ini menalami kegagalan
karena terbentur pada sistem sosial budaya rakyat Jawa
karena mengganggu tradisi, belum adanya kepastian hukum
atas tanah, rakyat belum terbiasa menggunakan uang sebagai
alat pembayaran pajak, serta pemerintahan Raffles yang
singkat (Wasino, 2005:6).
Perubahan-perubahan besar dalam bidang penguasa
an tanah terjadi setelah perang Diponegoro usai pada tahun
1830. Setelah akhir perang Diponegoro daerah luaran atau
mancanegara oleh raja Jawa diserahkan pada Belanda
sebagai ganti jerih payah mereka menindas pemberontakan
18 3 (tiga) azas sistem sewa tanah Raffles, yakni (1) segala bentuk dan jenis
penyerahan wajib dan kerja rodi dihapuskan, dan petani berhak menentukan jenis tanaman, (2) peran bupati sebagai pemungut pajak dihapuskan dan mereka menjadi bagian pemerintahan kolonial, (3) pemerintah kolonial adalah pemilik tanah dan para petani dianggap sebagai penyewa, petani wajib membayar sewa
Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah: Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta
27
(Ong Hok Ham, 1984:3). Hal ini merupakan upaya Hindia
Belanda untuk segera mengisi kas yang kosong akibat
perang. Untuk itu dilakukanlah kontrak-kontrak antara
Hindia Belanda dan Sunan Paku Buwono VII untuk
memperkuat landasan hukum penguasaan tanah atas daerah
mancanegara (Suhartono, 1991:75). Pada tahun 1830 mulai
diterapkan sistem tanam paksa (cultuurstelsel) oleh
pemerintah Hindia Belanda pada daerah-daerah yang telah
berhasil dikuasainya. Sistem ini bertujuan untuk
memanfaatkan sumber daya tanah, tenaga kerja, dan
kedudukan hukum dari keduanya. Pada masa ini negara
mendominasi dua faktor produksi, yakni tanah dan tenaga
kerja. Kuntowijoyo menyatakan bahwa ekspoitasi negara
atas tanah dan tenaga kerja itu disahkan berdasarkan
anggapan bahwa tanah adalan milik negara (Wasino,
2005:6).
Sistem tanam mulai dihentikan pada tahun 1870 dan
pada tahun 1885 dikeluarkan Staatsblad (Lembaran Negara)
Nomor 102 Tahun 1885 tentang berakhirnya secara resmi
tanam paksa. Setelah tahun ini sistem liberal mulai
bekembang di Hindia Belanda. Dalam bidang agraria,
liberalisme ini nampak dengan dilkeluarkannya Agrarische
Wet atau Undang Agraria pada tahun 1870.
Undang-undang inilah yang menjadi dasar kebijakan agraria
pemerintah Hindia Belanda pada masa-masa berikutnya.
Undang-undang mempunyai azas yang sangat berbeda dengn
Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah: Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta
28
umumnya masih bersifat komunal, dalam Undang-undang ini
mengatur kearah indivindualistis. Diantaranya:
1).Memberi kesempatan kepada penyewaan jangka panjang
tanah-tanah untuk perkebunan.
2).Dimungkinkannya untuk memiliki hak mutlak atas tanah
(hak eigendom) termasuk hak untuk menyewakannya ke
pihak lain. Akan tetapi kepemilikan mutlak oleh petani
sulit tercapai karena penguasa lebih tergiur untuk
memberikan konsesi kepada para penguasa swasta asing.
3).Sistem penguasaan tanah di Jawa yang tadinya milik
bersama desa, dikembalikan kepada individu-individu.
4).Gubernur Jenderal van Heutz secara bertahap
menghapuskan sistem apanage pada kurun waktu
1912-1917, kemudian antara tahun 1917-1926 digunakan
untuk mengkonversi tanah-tanah perkebunan.
5).Penguasaan tanah oleh patuh dengan hak anggaduh
(pinjam sementara) telah dihapuskan dan hak tanah itu
diberikan kepada petani dengan hak andarbe (milik)
secara individual. Akan tetapi, pada kenyataannya
tanah-tanah tersebut jatuh ke tangan para elite desa dan
perusahaan perkebunan melalui persewaan tanah
tradisional maupun kontrak-kontrak modern
6).Dikeluarkan Regeringsomlagvel Nomor 30318 tanggal 17
Oktober 1930 tentang pengakuan hak-hak pribumi sesuai
Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah: Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta
29
hak kepemilikan dengan syarat tertentu, misalnya
memperoleh hasil hutan dengan izin kepala desa dan
Asisten Residen. (Suhartono, 1991: 96-101).
c. Pengelolaan Pertanahan Setelah Kemerdekaan di Yogyakarta
Terbentuknya negara Republik Indonesia pada tanggal
17 Agustus 1945 membawa perubahan eksistensi Kasultanan
Yogyakarta yang semula merupakan bagian dari wilayah
pemerintah Hindia Belanda, kemudian Sri Paduka Ingkang
Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengkubowono IX maupun Sri
Paduka Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam
VIII19, menyatakan bahwa Kasultanan Yogyakarta
merupakan bagian dari Republik Indonesia20. Untuk
19 Kasultanan Yogyakarta dan Pakualaman sesungguhnya sejak saat itu sudah
bergabung menjadi satu daerah, yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta dengan Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebagai Gubernur dan Pangeran Paku Alam VIII sebagai Wakil Gubernur. Pengesahan penggabungan kedua daerah kekuasaan
tersebut disahkan oleh Pemerintah Republik Indonesia pada saat
diundangkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Daerah Istimewa Yogyakarta.
20 Amanat Sri Paduka Ingkang Sinumuwun Kanjeng Sultan: Kami,
Hamengkubuwono IX, Sultan Negeri Ngajogjokarto Hadiningrat menyatakan:
1) Bahwa Negeri Ngajogjokarto Hadiningrat yang bersifat kerajaan adalah
Daerah Istimewa dari Negara Republik Indonesia.
2) Bahwa Kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam
Negeri Ngajogjokarto Hadiningrat, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam negeri Ngajogjokarto Hadiningrat mulai saat ini berada ditangan Kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnya Kami pegang seluruhnya.
3) Bahwa hubungan antara Negeri Ngajogjokarto Hadiningrat dengan
Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia bersifat langsung dan Kami bertanggung jawab atas Negeri Kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia.
Kami memerintahkan supaya segenap penduduk Negeri Ngajogjokarto Hadiningrat mengindahkan Amanat Kami ini.
Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah: Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta
30
mengatur urusan pertanahan sejak tahun 1946, dikeluarkan
berbagai Maklumat dan Petunjuk Jawatan Praja Daerah
Istimewa Yogyakarta yang mengatur hak-hak atas tanah dan
segala sesuatu yang berhubungan dengan status tanah,
antara lain Maklumat Nomor 13 tahun 1946 tentang tanah
negeri dan berdasarkan pasal 4 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 3 tahun 1950, Daerah Istimewa Yogyakarta mendapat
kewenangan untuk mengurus beberapa hal dalam rumah
tangganya sendiri, salah satu diantara urusan yang menjadi
kewenangan Daerah Istimewa Yogyakarta adalah bidang
keagrariaan/pertanahan
Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 5
tahun 1960 secara nasional pada tanggal 24 September 1960.
Kewenangan keagrariaan seharusnya berada pada
pemerintah pusat namun, pada pelaksanaannya dapat
dilimpahkan pada pemerintah daerah ataupun kepada
persekutuan masyarakat hukum adat, tetapi dalam
pelaksanaan penghapusan tanah-tanah swapraja
sebagaimana diatur dalam Diktum Keempat A UUPA yang
menyatakan bahwa hak dan wewenang atas bumi dan air,
swapraja dan bekas swapraja beralih pada negara sejak
berlakunya UUPA, dan dalam Diktum Keempat B akan diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Sampai saat ini
Peraturan Pemerintah tersebut tidak segera diwujudkan.
Untuk menjaga agar tidak terjadi kekosongan hukum
Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah: Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta
31
ketentuan berdasarkan Peraturan Daerah Istimewa
Yogyakarta Nomor 5 Tahun 1954 dan Peraturan Daerah
Istimewa Yogyakarta Nomor 10 Tahun 1954. Dalam
penjelasan umum, Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta
Nomor 5 Tahun 1954 angka 4 mengenai pokok pikiran juncto
penjelasan pasal 11 dinyatakan bahwa, Daerah Istimewa
Yogyakarta dalam mengatur masalah pertanahan harus
berdasarkan prinsip atau asas domein sebagaimana
ditentukan dalam pasal 1 Rijksblaad Kasultanan Tahun 1918
Nomor 16 dan Rijksblaad Pakualaman Tahun 1919 Nomor
18, di mana semua tanah yang tidak dapat dibuktikan dengan
hak eigendom oleh pihak lain adalah milik/domain
kerajaan/Kraton Yogyakarta.
Penguasaan tanah oleh Sultan Yogyakarta didapat
sebagai pelaksanaan kesepakatan dari perjanjian yang
diadakan di Desa Giyanti (sehingga dikenal dengan nama
Perjanjian Giyanti) pada tahun 13 Februari 1755. Setelah
adanya perjanjian Giyanti, maka Sultan Hamengku Buwono
mempunyai hak milik (domein) atas tanah di wilayah barat
Kerajaan Mataram dan hal ini tetap harus hidup dalam
kesadaran hukum masyarakat (KPH. Notojudo, 1975: 4-5),
sehingga di seluruh wilayah Kasultanan Yogyakarta dengan
tegas diberlakukan asas domein. Asas ini merupakan
pernyataan sepihak dari Sultan. Seperti yang termuat dalam
pasal 1 Rijksblaad Kasultanan Tahun 1918 Nomor 16:
Sakabehing bumi kang ora ana tandha yektine kadarben ing
Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah: Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta
32
Ingsun Ngayogyakarta. atau Semua tanah yang tidak ada
tanda kepemilikan orang lain maupun wewenang eigendom,
adalah milik Sultan
Hak eigendom dan hak opstal yang bisa dimiliki oleh
rakyat adalah berpangkal pada pasal 570 BW, peraturan
tersebut merupakan ketentuan yang dikeluarkan pihak
pemerintah Hindia Belanda. Hal ini bisa diberlakukan di
wilayah Kasultanan Yogyakarta karena adanya ikatan
kontrak politik yang berlangsung hingga tahun 1940.
Selanjutnya setelah seluruh tanah selain yang dilekati dengan
hak eigendom dinyatakan milik kraton, diantaranya
diserahkan kepada:
1).Konsekuensi dari diberlakukannya asas domein tersebut
maka rakyat yang tidak mempunyai hak eigendom, untuk
masyarakat kota[raja penguasaan tanahnya adalah
dengan hak anggaduh yaitu penguasaan dengan kewajiban menyerahkan separo atau sepertiganya hasil
tanahnya jika merupakan tanah pertanian dan apabila
berupa tanah pekarangan, maka mereka dibebani kerja
tanpa upah untuk kepentingan Raja (Boedi Harsono,
1968: 56 ). Untuk selanjutnya berdasarkan RB Kasultanan
Yogyakarta 1925 Nomor 23 dan RB Kadipaten Pakulaman
1925 Nomor 25, warga masyarakat di Kotapraja
diberikan hak andarbe . sedangkan warga masyarakat di pedesaan (luar kotapraja) diberikan hak anganggo turun
Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah: Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta
33
2).Untuk desa atau kalurahan yang sudah ada dan dibentuk
diberikan dengan hak andarbe atau tanah hak milik desa21, dengan pengaturannya sebagai berikut:
a) Hasil dari penggunaan dan pemanfaaan tanahnya
untuk pembiayaan administrasi desa/kalurahan
dengan status Tanah Kas Desa.
b) Hasil penggunaan dan pemanfaatan tanahnya yang
dipergunakan untuk penmghasilan perangkat desa
(pamong) dengan status Tanah Bengkok/Lungguh
c) Hasil penggunaan dan pemanfaatan tanahnya untuk
mantan perangkat desa (pamong) dengan status
Tanah Pengarem-arem, dan
d) Tanah desa lainnya untuk kepentingan umum seperti:
jalan, lapangan, pengembalaan, makam, dsb.
e) Tanah domein bebas yang penggunaan dan
pemanfaatannya berupa hutan belukar, terlantar, dan
tanah yang tidak dapat dimanfaatkan.
Permasalahannya sampai saat ini dari pengukuran
kadastral dan pelacakan yang dilaksanakan sejak 1993 hingga
2000 Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan
melibatkan Badan Pertanahan Nasional serta perangkat desa,
21 Untuk penduduk Kotapraja Yogyakarta Dapat Diberikan Hak Milik Atas Tanah,
sedangkan untuk luar kotapraja yang dapat memiliki Hak Milik Atas Tanah
adalah Kalurahan (sekaranag desa) atau Dorps Beschikkingrecht. Untuk
penduduk hanya dapat diberikan Hak Pakai Turun-temurun atau Erfelijk
Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah: Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta
34
baru dapat mendata 3.675,0630 hektar tanah-tanah Sultanaat
Ground (SG) atau Siti Kagungandalem dan Pakualaman Ground
(PAG)22. Untuk memberi solusi dalam pendaftaran tanah telah
dikeluarkan Surat Kepala Badan Pertanahan Nasional
570.34-2493 tanggal 21 Oktober 2003 yang ditujukan kepada Kepala
Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakart, diantarnya berisi tentang persyaratan
permohonan hak atas tanah di atas Sultan Ground ataupun
Pakualaman Ground, dapat didaftarkan dengan hak atas tanah
sesuai dengan UUPA di atas tanah Sultan Ground/Pakualaman
Ground.
22 Surat Kakanwil BPN Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta kepada Bapak
Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah: Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta
35
Refleksi Sejarah dan Politik Pertanahan di
Daerah Istimewa Yogyakarta
Secara tradisional Sultan sebagai pemegang kekuasaantertinggi di Kasultanan Mataram adalah pemilik atas tanah yang ada
di dalam daerah kekuasaan atau wewengkon-nya (Uraian pada
bagian ini berdasarkan pada Soemarsaid Moertono, 1963; Soeripto,
1929; Rouffaer, 1931 kecuali apabila disebut secara khusus). Dalam
Adatsrechtbundel Jilid XXXIV, menyebutkan bahwa wilayah
Kasultanan Mataram lama dapat dibedakan menjadi tiga bagian23
yaitu:
a. Negara, ibukota (kota istana) yang menjadi pusat segala
kehidupan yang mencakup masalah politik, ekonomi, sosial dan
kebudayaan.
b. Nagara-gung yang secara harafiah berarti kota besar.
c. Mancanegara, yaitu daerah di luar Nagara.
Dalam perkembangannya, setelah terjadi penyerangan
masyarakat Cina yang disebut Geger Pacinan dengan penyerangan
ibu kota Kasultanan Mataram di Kartosuro pada tahun 1742 dan
mangkatnya Sri Sunan Paku Buwono II pada tahun 1749,
diangkatnya Pangeran Adipati Anom sebagai Sri Sunan Paku
Buwono III. Dalam kondisi peperangan melawan kumpeni.
Dikarenakan keleLahan dalam peperangan, maka diadakan
23 Suyitno, Tanah Kasultanan Yogyakarta (SG) dan Pakualaman (PAG). Tinjauan