FFD dan Masa Depan Seni Media Rekam
Oleh Leistar Adiguna
Pada saat Festival Film Dokumenter (FFD) 2012, saya menyadari beberapa hal berkaitan dengan subjek studi saya, yaitu seni media rekam. Sebelumnya, saya pikir ada baiknya saya menceritakan penelusuran saya terhadap bidang studi saya. Seni media rekam, jelasnya adalah bidang seni yang memakai media untuk merekam, tegasnya kamera, entah film, video atau digital, untuk mengekspresikan gagasan atau perasaan senimannya. Istilah ini kurang populer. Saya mencari istilah ini di Google dan hasilnya yang keluar adalah nama fakultas saya di ISI. Selain itu ada profil fakultas seni media rekam di ISI Denpasar, Solo dan lain sebagainya.
Tidak ada sama sekali yang membahas istilah ini sebagai istilah yang umum dipakai untuk klasifikasi jenis-jenis kesenian. Seperti seni rupa atau seni pertunjukan yang lebih populer. Istilah seni rupa sendiri dalam bahasa Inggris yaitu visual art. Seni pertunjukan bisa disebut dengan performance art ataupun performing art dalam bahasa Inggris. Sedangkan seni media rekam, nyaris tidak ada istilah yang menaungi bidang seni ini. Kalau dirinci, bidang film, video juga fotografi masuk ke dalam istilah visual art.
Satu-satunya hal yang paling dekat dengan istilah seni media rekam adalah klasifikasi seni berdasarkan tingkat penyampainnya menurut James Monaco. Pertama, seni pertunjukan. Seni ini berlangsung dalam waktu sebenarnya. Kedua, seni representasional. Seni ini bergantung pada konvensi bahasa dan kode yang sudah diakui (baik secara sastra maupun gambar) dalam penyampaian informasi tentan subyek kepada pengamat. Ketiga, seni rekaman. Seni ini memungkinkan hubungan langsung antara subyek dengan pengamat. Media rekam secara kualitatif bersifat lebih langsung daripada seni representasional.
Meski nyaris tidak populer, bukan berarti istilah ini menjadi jelek. Tidak ada yang buruk dengan istilah ini. Hanya saja banyak sekali pertanyaan terkait istilah seni media rekam. Soalnya ada sebuah batasan yang sangat mengungkung di dalam istilah seni media rekam. Dari asal kata rekam saja, sudah ada pertanyaan dasar. Kalau film termasuk media rekam, bagaimana dengan animasi atau kartun. Bukankah kartun hanyalah gambar yang digerakkan ?
Di daerah Amerika, film dan video lebih tenar dengan sebutan motion picture atau gambar bergerak. Istilah movie juga berasal dari kata move atau bergerak. Karena rol film terus bergerak hingga seolah-olah gambar tadi bergerak berkesinambungan, orang-orang Amerika menyebutnya movie. James Monaco menyebut istilah movie adalah film yang penuh dengan hiburan sementara cinema adalah film yang sarat dengan estetika. Istilah seni media rekam masih kurang populer di luar sana.
sinetron. Begitu buruk kualitasnya. Jarang kita mendapatkan pesan-pesan menyentuh atau bahkan pengalaman sinematik yang murni teknis pun tidak akan kita dapatkan dari sinetron. Saya tidak menyangkal kalau saya agak meremehkan kualitas estetik dari program televisi. Bahkan juga mayoritas film Indonesia juga sangat kurang nilai seni dan estetiknya. Hingga saya menonton beberapa film di FFD.
Di FFD, saya menyadari bahwa merekam ternyata mengasyikkan. Peduli amat hanya direkam menggunakan handycam bermerk “lama”, yang penting, ceritanya sampai. Seperti film Teladan Totem Pro Parte. Film ini buatan anak-anak SMA 1 Yogyakarta atau SMA Teladan. Mereka merekam pendapat teman-teman satu angkatan mereka mengenai angkatan dan sekolah mereka. Hanya itu dan jadilah film ini memenangkan penghargaan kategori film pelajar di FFD.
Di satu sisi, saya jadi berpikir ini mirip buku tahunan anak SMA. Dan bisa jadi itu benar. Toh, film ini sudah dapat pengakuan dengan penghargaan di FFD. Tak masalah bukan, meski film ini hanyalah dokumentasi tahunan angkatan. Pertanyaan dasarnya sekarang, apa bedanya dokumentasi dengan documenter ?
Tidak ada. Saya rasa tidak ada bedanya. Mungkin orang lain bersikeras perbedaan itu ada. Perbedaan itu ada pada pendekatan story-telling-nya. Dokumentasi terkesan kaku dan tidak ber-story-telling. Lagipula documentasi hanya berbicara di tingkat komunitas. Tapi jangan lupa, merekam adalah seni, meski masih kurang populer di Indonesia. Seni harus bisa diterima siapa saja, di mana saja, dan kapan saja. Itulah yang membuat perbedaan apa pun sangat tidak relevan. Termasuk perbedaan antara documenter dan fiksi. Toh, bagi saya, baik documenter, dokumentasi, atau fiksi, ujung-ujungnya semua kita sebut film. Yang membedakan hanyalah pendekatan. Tidak ada yang berbeda kalau hanya bermasalah di media saja.
Bahwa FFD memberikan gambaran documenter itu yang penting isi dan struktur, dan bukannya teknik melulu, adalah hal lain yang saya sadari. Film dokumenter Teladan Totem Pro Parte dari segi teknik biasa saja. Tidak ada yang istimewa. Juga tidak jelek-jelek amat. Bahkan jika melihat pembuatnya baru SMA, rekamannya cukup bagus. Sekuen-sekuen saling sambung menyambung hingga membangun cerita yang menarik. Akhirnya, strukturlah yang penting. Saya rasa, entah itu documenter, entah itu fiksi, struktur tetaplah sebuah hal yang membuat penonton bertahan menonton.
Sebenarnya, penonton pun akan mengalami pengalaman estetik sendiri bila subjek dalam rekaman dekat dengan penonton, terutama secara emosional. Maka biarpun rekaman berdiri sendiri tanpa disejajarkan dengan video rekaman lainnya, satu rekaman tetap bisa mempengaruhi penonton. Kalau begitu, orang awam pun sangat bisa beraktivitas seni merekam. Asalkan ada alat untuk merekam, semuanya menjadi mungkin.
Kalau orang awam saja bisa, lalu bagaimana dengan senimannya ? Seharusnya kualitas karya bisa menjadi perbedaan di antara seniman dan orang awam. Orang awam merekam untuk mengabadikan momen yang menurut mereka berharga. Seniman ? Motif seniman merekam, kalau mendasarkan pada pengalaman saya belajar bidang ini, adalah untuk cari uang. Mereka punya keterampilan teknis yang tidak dimiliki oleh orang awam. Nah, inilah yang mereka jual kepada orang-orang yang disebut klien oleh mereka.
Motif lain mungkin adalah ekspresi personal mereka. Seniman merekam karena mereka merasa rekaman itu dapat menyalurkan ekspresi atau emosi dalam diri mereka. Seniman ketika melihat suatu tempat yang sangat indah akan segera merekam dengan hasil yang tak kalah indah pula. Itu adalah ungkapan perasaan mereka. Seniman tidak akan pernah hanya berhenti pada mengabadikan saja. Karena akan sayang sekali kalau kemampuan teknis setingkat mereka terbuang sia-sia.
Di FFD, saya akhirnya sadar kalau bidang yang saya tekuni berpeluang melahirkan seniman-seniman baru. Seniman-seniman yang lahir dari generasi digital. Mereka punya kemampuan teknis untuk merekam. Bukan karena generasi ini lebih pintar dari generasi sebelumnya. Tapi mereka beruntung saat ini begitu mudah memiliki alat perekam digital. Dari sanalah mereka bisa belajar menggunakan kamera, bahkan computer untuk menyusun gambar-gambar tadi. Otomatis kesempatan generasi ini untuk berkarya akan jauh lebih besar daripada generas-generasi sebelumnya.
Bagaimana kualitas karya generasi ini ? Mereka masih terlalu hijau untuk sampai ke taraf itu. Melihat karya generasi digital, ada potensi untuk sampai pada taraf berkualitas. Namun jangan mengaharap terlalu banyak. Generasi ini masih perlu waktu mengasah kehalusan perasaan mereka dengan segala macam media rekam. Maka, saya pikir ini adalah generasi di antara seniman dan orang awam. Levelnya di bawah seniman dan di atas orang awam. Tinggal menunggu gelombang yang akan datang.