• Tidak ada hasil yang ditemukan

REINTERPRETASI DAN REKONSTRUKSI CERITA SI KABAYAN DAN SANGKURIANG DALAM KESUSASTRAAN INDONESIA MODERN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "REINTERPRETASI DAN REKONSTRUKSI CERITA SI KABAYAN DAN SANGKURIANG DALAM KESUSASTRAAN INDONESIA MODERN"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

SI KABAYAN DAN SANGKURIANG DALAM KESUSASTRAAN

INDONESIA MODERN

Si Kabayan and Sangkuriang:

Reinterpretation and Reconstruction in Modern Indonesian Literature

Lina Meilinawati Rahayu

Fakultas Ilmu Budaya Jln. Raya Bandung-Sumedang km. 21 Universitas Padjadjaran Jatinangor

Email: lina_sastraunpad@yahoo.co.id

Naskah Masuk 16 Mei 2015, disetujui: 9 November 2015, revisi akhir: 20 November 2015

Abstrak: Penelitian yang berjudul “Reinterpretasi dan Rekonstruksi Cerita Si Kabayan dan Sangkuriang dalam Kesusastraan Indonesia Modern” bertujuan untuk mengkaji transformasi kisah Sangkuriang dan Si Kabayan dengan tujuan mengetahui perubahan interpretasi dan rekonstruksi kedua cerita lisan tersebut ke dalam sastra Indonesia kontemporer. Cerita Sangkuriang dan Si Kabayan yang pada mulanya merupakan cerita lisan, tidak hanya ditransformasikan ke dalam bentuk tulis oleh banyak sastrawan, tetapi juga bertransformasi ke dalam bentuk drama hingga film. Dalam penelitian ini digunakan enam teks transformasi, yaitu: (1) Sang Kuriang karya Utuy Tatang Sontani,(2) Lelaki yang Terus mencintai Sumbi karya Hermawan Aksan, (3) Kesadaran Sangkuriang karya Dian Hartati, (4) Si Kabayan

karya Utuy T. Sontani,(5) Si Kabayan Nongol di Zaman Jepang karya Achdiat K. Mihadrja, (6) Si Kabayan Jadi Wartawan karya Muchtar ibn Thalab. Dengan metode sastra bandingan dan teori transformasi ditemukan bahwa Sangkuriang dalam ketiga teks transformasinya digunakan untuk penyampaian ideologi. Sementara itu, Si Kabayan dalam ketiga teks transformasinya digunakan sebagai alat penyampai kritik terhadap berbagai ketimpangan yang terjadi di masyarakat.

Kata Kunci: reinterpretasi, rekonstruksi, cerita rakyat, transformasi

Abstract: The research, entitling “Si Kabayan and Sangkuriang: Reinterpetation and Reconstruc-tion in Modern Indonesian Literature,” is aimed at studying the transformaReconstruc-tion of Si Kabayan and Sangkuriang stories and how they are reinterpreted as well as reconstructed in contemporary Indonesian literature. These originally oral stories have been transformed into not only written texts, but also drama and film by different authors. The research focuses on six texts, namely, (1) Sangkuriang by Utuy Tatang Sontani, (2) Lelaki yang Terus mencintai Sumbi by Hermawan Aksan, (3) Kesadaran Sangkuriang by Dian Hartati, (4) Si Kabayan by Utuy T. Sontani,(5) Si Kabayan Nongol di Zaman Jepang by Achdiat K. Mihadrja, and (6) Si Kabayan Jadi Wartawan by Muchtar ibn Thalab. By using principles of comparative literature and transformation theory, the study finds that in the three texts, the transformation of Sangkuriang story is intended to convey an ideology. While in the transformation of Kabayan story is intended as a means to critize injustice and inequality that occurs in the society.

(2)

1. Pendahuluan

Jawa Barat merupakan salah satu wilayah yang memiliki tradisi budaya rakyat yang cukup banyak. Sumardjo (2008) mengemukakan bahwa meskipun di daerah Jawa Barat pernah berdiri dua kerajaan besar yaitu, Kerajaan Galuh dan Kerajaan Pajajaran, tradisi kebudayaan yang dibangun oleh pihak istana cenderung tidak berkembang. Hal itu berbanding terbalik dengan tradisi budaya rakyat yang lebih mengakar kuat dan diwariskan turun-temurun kepada anggota budaya yang lain. Lebih jauh Sumardjo mengungkapkan bahwa seringkali tradisi ini diwariskan secara lisan melalui pelbagai bentuk cerita seperti kisah legenda, mitos, dongeng binatang, hingga kehidupan rakyat sehari-hari. Salah satu bentuk cerita yang masih bertahan dan dikenal hingga saat ini adalah cerita Sangkuriang dan Si Kabayan.

Kedua cerita tersebut tidak hanya dikenal oleh masyarakat Jawa Barat saja, tetapi juga sampai tingkat nasional. Cerita Sangkuriang dan Si Kabayan yang pada mulanya merupakan cerita lisan, tidak hanya ditransformasikan ke dalam bentuk tulis tetapi juga bertransformasi ke dalam bentuk drama dan film atau dalam terminologi Ong (2013) berubah ke dalam kelisanan tahap kedua. Terdapat dua film yang diadaptasi dari cerita Sangkuriang, yaitu film yang berjudul Tangkuban Perahu  yang dirilis tahun 1982 dan film Sangkuriang yang menjadi film terlaris ketiga di Jakarta pada tahun 1983 dengan jumlah penonton lebih dari 329.779 orang (Redaksi:2014). Adapun cerita Si Kabayanberalihwahana ke dalam tujuh film, yaitu: film Si Kabayan (2006: 7) menyebutkan bahwa transformasi cerita Si Kabayan dilakukan pada berbagai genre yang tidak hanya dilakukan dalam bahasa Sunda tetapi juga dalam bahasa In-donesia dan Inggris. Lebih lanjut, Sutari dkk.

menegaskan bahwa kisah Si Kabayan mengalami dua kali transformasi penceritaan yaitu transformasi transgenre dan transformasi translingual. Hal tersebut berlaku juga pada cerita Sangkuriang. Transformasi cerita Sangkuriang dan Si Kabayan tersebut dapat menjadi salah satu tolak ukur kepopuleran cerita lisan Jawa Barat di tingkat nasional.

Dalam konteks karya sastra Indonesia modern, transformasi cerita Sangkuriang dan Si Kabayan juga menjadi pilihan para sastrawan untuk menuliskan karyanya, terutama sastrawan yang berasal atau tumbuh di wilayah Jawa Barat. Misalnya, Sangkuriang Kesiangan (1961) oleh Ajip Rosidi, Lelaki yang Terus mencintai Sumbi (2012) oleh Hermawan Aksan, Kesadaran Sangkuriang (2012) oleh Dian Hartati, Panah Patah Sangkuriang oleh Femmy Syahrani, dan drama Sang Kuriang (1959) dan Sangkuriang~Dayang Sumbi (1953) oleh Utuy Tatang Sontani. Selain itu, salah seorang sastrawan yang juga banyak mengadaptasi kisah Sangkuriang dalam bentuk cerpen adalah Soni Farid Maulana yaitu Sangkuriang (2005) Kafe Cicak Terbang (2002) Aku, Tias dan Secangkir Kopi (2002) Panggil Saya Aura (2003) dan Pisau Berkilat di Tangan Ning (2011).

Adapun kisah Si Kabayan yang bertransformasi ke dalam bentuk karya sastra tulis di antaranya adalah Si Kabayan (1959) oleh Utuy T. Sontani, Si Kabayan Manusia Lucu (1997) dan Si Kabayan Nongol di Zaman Jepang oleh Achdiat K. Mihadrja, Kabayan Bikin Ulah (2002) dan Si Kabayan Jadi Sufi (2003) oleh Yus R. Ismail, Si Kabayan di Gugat (2004) oleh Yuliadi Soekardi dan U. Syahuddin, dan Si Kabayan Jadi Wartawan (2005) oleh Muchtar ibn Thalab.

(3)

Dari latar belakang masalah yang telah diungkapkan di atas memunculkan rumusan masalah yang akan dijawab dalam penelitian sebagai berikut. (1) Bagaimanakah proses transformasi cerita Sangkuriang dan Si Kabayan dalam sastra Indonesia modern? (2) Bagaimanakah perbandingan transformasi cerita Sangkuriang dan Si Kabayandalam sastra Indonesia modern? (3) Ideologi apa yang terdapat pada teks transformasi cerita Sangkuriang dan Si Kabayan?

Selanjutnya, ketiga pertanyaan yang diajukan pada rumusan masalah menjadi dasar untuk menentukan tujuan penelitian yang terpaparkan sebagai berikut.

Penelitian ini menggunakan hasil transformasi cerita Si Kabayan dan Sangkuriang masing-masing dari tiga pengarang yang disusun dalam tabel di bawah ini.

Selanjutnya transformasi dari cerita Sangkuriang akan disebut “Sang1”, Sang2", dan “Sang3” dan cerita Si Kabayan akan disebut “Kab1”, “Kab2”, dan Kab3" seperti tertera dalam tabel di atas.

2. Kajian Teori

2.1 Teori Transformasi

Secara sederhana transformasi dapat diartikan sebagai perubahan atau perluasan sebuah teks dari teks asal atau hipogram. Menurut Sardjono, sebagaimana dijelaskan oleh Pudentia (1992) transformasi adalah upaya melihat hubungan intertekstual dalam suatu teks dengan teks asal atau hipogramnya dengan melihat teks baru sebagai ekpansi, konversi, modifikasi, dan ekserp.

Walaupun Riffatere (1978: 47--75) secara khusus membicarakan transformasi dalam genre puisi, namun pendapatnya tentang transformasi berlaku pula dalam genre prosa yaitu bahwa transfromasi dalam sebuah karya biasanya dilakukan melalui dua metode yaitu ekspansi atau perluasan dan pengembangan teks dari teks asal/ hipogram. Adapun konversi adalah upaya teks untuk memutarbalikan hipogram. Menurut Pudentia (1992: 72) karya sastra, khususnya prosa, seringkali melakukan transfromasi penceritaan lewat manipulasi tokoh atau alur.

Mengacu kepada Junus (1985:87) penulisan karya sastra merupakan sesuatu yang aktif, dinamik, yaitu bagaimana pembaca menerima sesuatu, atau bagaimana mendapat suatu kesan atau memberi makna kepada suatu teks. Kemunculan suatu teks tidak dapat dilepaskan dari teks-teks sebelumnya yang dibaca oleh pengarang. Sebagaimana pengarang Angkatan 45 dalam memunculkan karya-karyanya terlebih dahulu membaca tulisan Angkatan Balai Pustaka.

(4)

sebagaimana adanya, mengubahnya pada tempat-tempat tertentu, atau merombak dan menantangnya. Dari pertanyaan tersebut dapat diketahui cara pandang atau ideologi seperti apakah yang terkandung di dalam teks transformasi tersebut sebab hal ini berkaitan dengan cara pengarang melakukan interpretasi dan memperlakukan teks asal/hipogram. Hal itu disebabkan teks baru yang dihasilkan oleh pengarang berkaitan dengan sikap dan cara pandang seseorang. Maka dari itu, dalam teks baru terdapat bagian-bagian khusus yang tetap dipertahankan, tetapi juga ada yang dilupakan, bahkan diubah sama sekali.

2.2 Sastra Bandingan

Dalam buku Pegangan Penelitian Sastra Bandingan(2005), Damono menjelaskan dengan terperinci mulai dari pengertian dasar hingga contoh-contoh penelitian yang telah dan bisa dilakukan dengan sastra bandingan. Damono mengutip pendapat Clements (1978: 7), selanjutnya menyimpulkan bahwa menentukan lima pendekatan yang bisa dipergunakan dalam penelitian sastra bandingan, yakni: (1) tema/mitos, (2) genre/bentuk, (3) gerakan/ zaman, (4) hubungan-hubungan antara sastra dan bidang seni dan disiplin ilmu lain, dan (5) pelibatan sastra sebagai bahan bagi perkembangan teori yang terus-menerus bergulir.Damono juga menyetujui pendapat Jost (1974: 33) yang membagi-bagi pendekatan dalam sastra bandingan menjadi empat bidang, yakni (1) pengaruh dan analogi, (2) gerakan dan kecenderungan, (3) genre dan bentuk, dan (4) motif, tipe, dan tema. Bidang pertama telah menghasilkan paling banyak hasil penelitian, antara lain karena kedua hal itulah yang dianggap sebagai sastra bandingan. Demikian pula yang dilakukan dalam tulisan ini, melihat pengaruh cerita lisan Sangkuriang dan Si Kabayan dalam sastra Indonesia modern.

3. Hasil dan Pembahasan

Dari hasil pembacaan terhadap cerita Sangkuriang dan Si Kabayan versi transformasi dalam kesusastraan Indonesia modern, pembahasan akan difokuskan pada tiga hal utama, yaitu bagaimanakah proses transformasi dilakukan oleh para pengarang terhadap cerita Sangkuriang dan Si Kabayan dalam sastra Indonesia modern. Selanjutnya, membandingkan hasil transformasi cerita Sangkuriang dan Si Kabayan dalam sastra Indonesia modern. Dengan demikian, akan diketahui maksud ideologis yang terdapat pada teks-teks hasil transformasi dari Sangkuriang dan Si Kabayan. Ketiga fokus utama pembahasan ini diharapkan dapat memetakan cerita Sangkuriang dan Si Kabayan hasil interpretasi para pengarang Indonesia mod-ern. Setelah itu, mendudukkan hasil interpretasi tersebut dalam konteks yang lebih luas, yaitu budaya Indonesia.

3.1 Konvensi dan Improvisasi Sangkuriang dalam Ketiga Teks

Pada umumnya ketiga teks hasil transformasi berusaha “mengekalkan”kisah Sangkuriang yang selama ini identik dengan cerita lisan (Sunda) ke dalam sastra Indone-sia modern. Hal itu dapat dilihat dari adanya persamaan yang tetap dipertahankan yaitu kisah seorang laki-laki muda yang mencintai perempuan yang jauh lebih tua. Motif inilah yang tetap dikekalkan dalam semua cerita. Akan tetapi, ada upaya dari pengarang untuk memperluas cerita Sangkuriang baik dari segi latar, tokoh, konflik, maupun alur yang digunakan dalam cerita. Berikutnya, akan dipaparkan mengenai struktur naratif teks yang terdapat dalam ketiga teks beserta makna yang terkandung di dalamnya 3.1.1 Penggambaran Latar dalam Ketiga

(5)

latar halaman rumah. Di sana ada Dayang Sumbi yang ditemani Bujang sedang asyik menenun. Dayang Sumbi gundah karena di hutan, di tempat yang “rata dan lega”, Sang Kuriang sedang membuat perahu sebagai syarat yang diajukannya untuk menikah. Dengan demikian Sang1 tidak mengubah latar tempat walaupun tidak pernah dijelaskan kondisi hutan tempat berlangsungnya peristiwa.

Waktu penceritaan dalam drama Sang1ini selama satu hari dan satu malam. Babak pertama ditandai dengan petunjuk waktu siang hari. Babak ini terdiri atas tiga lakon, sedangkan babak kedua ditandai dengan petunjuk waktu malam hari yang terdiri atas dua lakon. Setiap petunjuk waktu dituliskan di kanan atas bersamaan dengan pergantian babak. Selain yang sudah dijelaskan, tidak ditemukan lagi hal-hal lain yang mengacu pada waktu

Hal yang sama juga terdapat dalam Sang3 karya Dian Hartati. Waktu berlangsungnya peristiwapada malam hari. Begitu pula latar tempat berlangsung di hutan seperti Sang1. Seperti tampak dalam kutipan di bawah ini.

Malam telah lewat, kesibukan di tengah hutan menghilangkan lengang kelam. Angin menghembuskan aroma daun-daun yang mulai membasah ditetesi embun. Di balik rimbun pepohonan terdengar jejak langkah yang teratur, deru napas yang berirama sedemikian rupa, hingga semua penghuni di hutan itu tidak mengetahui ada pekerjaan yang harus diselesaikan sebelum fajar tiba.

Bila dalam Sang1 Cerita berlangsung satu hari satu malam, dalam Sang3 hanya berlangsung satu malam. Hal yang berbeda dalam Sang2 cerita berlangsung dua malam (tidak berturut-turut), tanpa siang.

3.1.2 Perubahan Alur dalam Ketiga Teks Cerita Sangkuriang

Drama Sang1 karya Utuy bermula dari kegelisahan Dayang Sumbi yang bingung atas lamaran seorang laki-laki muda. Hal yang sama tampak dalam Sang3 karya Dian

Hartati. Yang berbeda dalam cerpen Sang2 yaitu kegelisahan terletak bukan pada Dayang Sumbi, melainkan pada Sangkuriang. Lelaki ini gelisan karena terus-menerus mencari keberadaan “Sumbi”. Dia meyakini Mira, seorang PSK di sebuah gang adalah Sumbi yang selama ini dicarinya.

Ketiga cerita memiliki perbedaan pada akhir cerita. Dalam Sang1 tokoh Sangkuriang bunuh diri setelah Dayang Sumbi terlebih dahulu bunuh diri. Dalam Sang2 tokoh Lelaki itu bertekad untuk terus mencari “Sumbi” karena wanita yang ia sangka Sumbi pergi bersama laki-laki dengan memakai mobil mewah. Sementara dalam Sang3 cerita berakhir dengan kesadaran dari Sangkuriang dan Dayang Sumbi. Sangkuriang sadar bahwa wanita yang ia cintai mati-matian adalah ibunya sendiri.Di pihak lain, Dayang Sumbi sadar bahwa Sangkuriang sangat mencintainya terbukti dari dibuatkan danau dan perahu. Dengan demikian, ketiga cerita hasil transformasi mengakhiri cerita dengan cara yang berbeda: dalam Sang1 Sangkuriang bunuh diri, dalam Sang2 Sangkuriang bertekad akan terus mencari, dan dalam Sang3 Sangkuriang menyadari kekeliruan. Yang sama dalam mengakhiri cerita dengan dongeng Sangkuriang yang selama ini dikenal umum adalah Sang2. Mitos yang dipercaya (oleh masyarakat Sunda) bahwa bunyi geluduk sebelum hujan adalah langkah Sangkuriang yang terus-menerus mengejar Dayang Sumbi.

(6)

pincang). Tindakan pertama yang dilakukan atas ketidakpercayaannya itu adalah membunuh bapaknya.

Dalam Sang2, Sangkuriang digambarkan sebagai lelaki yang sangat kukuh pada keyakinannya. Dia yakin perempuan yang bekerja sebagai PSK adalah Sumbi, wanita yang dicarinya selama ini. Dengan demikian, penggambaran Sangkuriang sosok laki-laki yang sangat yakin akan kemampuannya sendiri hampir sama antara Sang1 dan Sang2. Penggambaran yang agak berbeda dilakukan oleh Dian Hartati dalam Sang3. Dalam judulnya saja Hartati sudah menunjukkan melalui kata “kesadaran”. Kata tersebut menunjukkan bahwa selama ini, Sangkuriang dianggap salah karena telah jatuh cinta pada ibunya sendiri. Seperti tampak dalam kutipan di bawah ini.

Kenangan kembali berlesatan seperti lelatu. Wajah ibunya kembali hadir dan dapat Sangkuriang ingat. Kelembutan ibunya sama dengan kelembutan Sumbi. Sangkuriang mencoba mengingat nama ibunya. Nama ibu yang seharusnya ia kenali. Ingatannya tentang Tumang, anjing setianya muncul. Nama ibunya. Ya, Sangkuriang ingat.

Dengan penutup di atas, penulis ingin menekankan bahwa apa yang diperbuat oleh Sangkuriang adalah sebuah kesalahan. Oleh karena itu, perlu sebuah paragraf yang memberi penjelasan tentang hal tersebut Akan tetapi, di sisi lain Hartati tidak sekadar menyalahkan Sangkuriang. Apa yang dilakukan Sangkuriang tentu bukan tanpa sebab. Sangkuriang mencintai ibunya karena kesalahan ibunya sendiri yang meminta pada dewata agar tetap muda. Permohonan ibunya inilah yang dijadikan alasan bahwa Sangkuriang tidak sepenuhnya keliru. Hal ini dikatakan oleh ketiga perempuan yang datang pada Sumbi.

Ketiga perempuan itu juga menyalahkan Sumbi karena tidak memberitahukan asal-usul ayahnya pada Sangkuriang. Pembelaan juga dilanjutkan mengapa Sangkuriang sampai membunuh

si Tumang. Hal ini, menurut ketiga perempuan tersebut, semata-mata karena keinginan untuk membahagiakan ibunya. Dengan demikian, menjadi wajarlah apa yang dilakukan Sangkuriang. Dengan demikian, dari ketiga transformasi ini Sang3-lah paling berbeda dalam menggambarkan sosok Sangkuriang.

3.1.4 Perubahan Penggambaran Tokoh-Tokoh Penunjang

Dalam Sang1 bapak Sang Kuriang memiliki nama, yaitu si Tumang (seperti nama dalam dongeng Sangkuriang). Penggunaan kata “si” dalam kebudayaan Sunda menunjuk pada orang yang lebih rendah statusnya atau lebih rendah usianya atau bisa jadi lebih akrab hubungannya. Bila kata “si” itu langsung diucapkan kepada orang yang bersangkutan, kata tersebut memiliki nilai rasa yang kurang sopan. Akan tetapi, dalam Sang1 penggunaan kata “si” ditujukan kepada orang yang lebih rendah statusnya karena si Tumang di dalam cerita tersebut digambarkan sebagai seorang bujang suruhan atau pembantu.

(7)

hanya Dayang Sumbi meminta nasihat dan saran kepada para dayangnya yang biasanya perempuan.

Dalam Sang2 tidak ada tokoh yang menjadi Bapak Sangkuriang atau tokoh-tokoh lainnya. Tokoh difokuskan hanya pada lelaki. Lelaki yang dari awal digambarkan gelisah lalu diakhiri dengan tekad yang kuat untuk tetap mencari perempuan yang dicarinya. Tokoh lain yang tidak memiliki peran penting adalah Mira (Sumbi), seorang PSK yang diyakini sebagai perempuan yang sedang dicarinya selama ini.

Dian Hartati tidak menghapuskan si Tumang dalam Sang3. Kehadiran si Tumang hanya lewat cerita yang disampaikan Dayang Sumbi. Artinya, peristiwa yang melibatkan si Tumang seperti halnya Sontani dihapuskan. Hartati menghadirkan tiga tokoh perempuan yang fungsinya sebagai penasihat. Bila dalam Sang1, tokoh penasihat adalah laki-laki, sementara dalam Sang3 tokoh penasihat adalah tiga perempuan. Dengan demikian, tokoh penasihat tetap dihadirkan dalam Sang1 dan Sang3. Tokoh tersebut dianggap penting sebagai pemberi pertimbangan atas kegelisahan-kegelisahan dan pertanyaan-pertanyaan Dayang Sumbi.

3.1.5 Perubahan Jumlah Tokoh & pengikutnya. Penambahan jumlah tokoh dalam Sang1tentu bukan tanpa alasan Kehadiran tokoh Arda Lepa pun bukan tanpa maksud. Arda Lepa digambarkan sebagai tokoh tua dan bijaksana dari golongan kebanyakan. Dia dan pengikutnya selalu tampak bahagia karena tidak ada apa pun yang dirahasiakan. Dayang Sumbi selalu iri dengan kebahagiaan yang selalu diperlihatkan Arda Lepa dan pengikutnya. Hal itu bila dikaitkan dengan kondisi

kerakyatan yang diusung Lekra (organisasi afiliasi PKI yang diikuti Utuy Tatang Sontani pada saat itu) menyarankan harus selalu gembira dan bahagia walaupun hanya menjadi rakyat kebanyakan.

Dalam Sang2 terdapat pengurangan tokoh. Tokoh hanya diperankan oleh dua orang. Selain itu, yang berperan hanya satu, yaitu tokoh laki-laki. Tokoh perempuan dihadirkan untuk menguatkan tokoh laki-laki. Berbeda dengan Sang3,tokoh yang menjadi sentral adalah Dayang Sumbi. Kegelisahan, pergulatan batin, dan berbagai pertanyaan ditunjukkan oleh Dayang Sumbi dari awal. Dia juga melakukan berbagai usaha agar pekerjaan Sangkuriang tidak berhasil. Dalam karya Hartati itu pun terdapat mengurangan tokoh. Tokoh-tokoh siluman yang membantu Sangkuriang tidak dihadirkan secara “nyata”. Dayang Sumbi juga tidak meminta bantuan kepada Dewata untuk menggagalkan usaha Sangkuriang. Usaha yang dilakukan Dayang Sumbi hanyalah menjadikan “seolah-olah” hari sudah pagi yang ditandai beragam aktivitas pagi-pagi.

Dengan demikian, dari ketiga teks hasil transformasi pengurangan tokoh paling tampak pada Sang2 yang berfokus hanya tokoh lelaki. Dalam Sang3 fokus pada Dayang Sumbi, tetapi tokoh-tokoh lain tetap hadir kecuali si Tumang. Dalam Sang1 tokoh hampir sama dengan cerita Sangkuriang pada umumnya hanya tokoh penasihat diganti oleh tokoh laki-laki tua yang bijaksana.

(8)

Ternyata di luar dugaan Sang Kuriang, bapaknya seorang bujang suruhan yang selama ini setia menemaninya ke mana pun. Sang Kuriang meragukan kebenaran cerita ibunya. Dia terus berpikir dan menyangsikan kebenaran cerita yang disampaikan ibunya.

Ketika Dayang Sumbi tak kuasa menolak paksaan Sang Kuriang yang terus-menerus memintanya sebagai istri, bunuh diri dijadikan jalan keluarnya. Dayang Sumbi lari menghindar karena terus dikejar Sang Kuriang. Dayang Sumbi bunuh diri dengan menikamkan kujang ke dadanya. Ketika bunuh diri, Dayang Sumbi menyerahkan sukma pada Dewata. Dia melakukannya karena meyakini bahwa Sang Kuriang adalah anaknya. Sang Kuriang kemudian menyusul bunuh diri menggunakan kujang yang dipakai Dayang Sumbi. Motif yang berbeda atas bunuh diri yang dilakukan Sang Kuriang dan Dayang Sumbi. Sang Kuriang melakukannya karena meyakini kendali atas kehidupan dia yang memegang, sementara Dayang Sumbi melakukannya karena yakin bahwa Sang Kuriang adalah anaknya. Dia menyerahkan jiwanya kepada dewata karena tidak bisa menyelesaikan sendiri.

Dalam Sang2, Sangkuriang ditampilkan sebagai lelaki yang pantang menyerah. Tanpa lelah dia mencari perempuan idaman hatinya. Walaupun dihadapkan pada kenyataan bahwa perempuan yang diyakininya bukanlah Sumbi dan pergi dengan laki-laki lain, dia akan tetap mencari. Pada akhir cerita dia bergumam bahwa dia telah “dikekalkan” untuk terus mencari.

Dengan demikian, penggambaran Sangkuriang yang keras ditampilkan oleh Sontani dan Aksan. Kekerasan Sang Kuriang akan keyakinannya dalam Sang1 ditunjukkan dengan bunuh diri, sementarakekerasan Sangkuriang dalam Sang2 ditunjukkan oleh tekadnya yang terus akan mencari sampai kapan pun. Berbeda dalam Sang3 Sangkuriang tampil sebagai manusia yang “lebih lembut” lambat-laun

dipulihkan ingatannya hingga menyadari Dayang Sumbi adalah ibunya.

3.2 Konvensi dan Improvisasi Si Kabayan dalam Ketiga Teks

Pada umumnya ketiga teks berusaha memindahkan kisah Si Kabayan yang selama ini identik dengan cerita lisan ke dalam kompleksitas sastra modern. Hal ini dapat ditelisik dari upaya teks untuk memperluas cerita Si Kabayan baik dari segi latar, tokoh, konflik, serta alur yang dipergunakan dalam cerita. Berikutnya akan dipaparkan mengenai struktur naratif teks yang terdapat dalam ketiga teks beserta makna yang terkandung di dalamnya. 3.2.1 Penggambaran Latar dalam Ketiga

Teks Transformasi Si Kabayan

Keberadaan latar di dalam ketiga teks merupakan salah satu elemen yang dapat diidentifikasi untuk meninjau perluasan dari cerita Si Kabayan. Berbeda dengan Transformasi Sangkuriang, pada umumnya ketiga teks transformasi Si Kabayan menggunakan latar realis sebagai bahan utama penceritaan. Dari ketiga objek penelitian terdapat dua cara yang digunakan oleh teks untuk membangun latar material atau ruang tempat para tokoh berinteraksi dan tumbuh secara psikologis dalam penceritaannya.

Pertama, sebagaimana kisah dalam tradisi lisan, latar utama penceritaan adalah perkampungan tempat tinggal Si Kabayan. Hal ini dapat ditelisik misalnya pada teks Si Kabayan:Komedi Satu Babak karya Utuy Tatang Sontani (Kab1). Walaupun teks tidak secara khusus menyebutkan posisi serta letak latar yang dipergunakan, pembaca diarahkan untuk menarik sebuah kesimpulan bahwa kisah tersebut terjadi di sebuah perkampungan. Proses ini dilakukan melalui pekerjaan para tokoh yang cenderung tidak banyak berkaitan dengan dunia urban seperti pabrik, mesin, dan industri.

(9)

perkotaan. Latar ini dibangun melalui dua pola, yaitu pola penceritaan yang menggambarkan Si Kabayan sebagai manusia perkotaan/urban seperti yang terdapat dalam teks Si Kabayan Nongol di Zaman Jepang (Kab2) dan pola penceritaan yang menunjukkan bahwa Si Kabayan harus pergi dari kampungnya ke kota karena memiliki persoalan yang mesti diselesaikan sebagaimana terdapat dalam teks Si Kabayan Jadi Wartawan (Kab3). Penggunaan latar perkotaan ini diperkuat melalui pekerjaan yang dilakukan Si Kabayan. Struktur naratif teks memberikan sentuhan baru kepada sosok Si Kabayan dengan berusaha menjadikannya sebagai bagian dari kehidupan budaya kelas menengah perkotaan dengan menjadi wartawan, kurator galeri seni, penulis naskah, hingga pemilik sebuah perusahan. Walaupun demikian, terdapat cara pandang sama yang muncul dari ketiga teks ketika merepresentasikan persoalan latar ini. Pertama, teks memandang bahwa kampung atau desa sebagai sebuah tempat yang murni dan penuh nilai-nilai luhur. Kedua, teks memandang bahwa kota merupakan tempat liar dan penuh dengan degradasi nilai yang mengancam kehidupan kampung atau desa. Dalam hal ini terjadi sebuah oposisi biner antara kota dan kampung yang menempatkan keduanya ke dalam posisi berlawanan.

Terdapat dua hal yang dapat dimaknai dari kutipan percakapan di atas. Pertama, dapat dilihat bahwa hubungan antara kota dengan kampung berjalan tidak seimbang. Perkampungan beserta kehidupannya digambarkan cenderung pasif. Perkembangan kehidupan kota semakin mendesak kehidupan kampung tanpa bisa dicegah. Hal ini tampak dari sikap yang ditunjukkan oleh Ki Silah dan warga kampung lainnya yang dengan antusias menyediakan berbagai macam hidangan demi menjamu warga kota yang datang. Sikap ini di sisi lain dapat dipandang sebagai sebuah kritikan dari pola pembangunan yang tidak seimbang antara kehidupan perkotaan dan perdesaan. Kedua, dari pola

pembangunan yang tidak seimbang tersebut muncul nilai-nilai stereotipikal mengenai paradigma bahwa kehidupan kota dipandang selalu lebih baik dibanding kehidupan kampung. Pemahaman seperti ini nampak dari sikap yang ditunjukkan oleh Si Kabayan yang menganggap bahwa produk-produk yang dihasilkan manusia kota seperti makanan lebih baik dibandingkan produk perkampungan. 3.2.2 Perubahan Alur Cerita dalam Ketiga

Teks Transformasi Si Kabayan

(10)

menyebarkan kebenaran ke khalayak. Selain itu, permasalahan yang timbul juga diselesaikan dengan keberhasilan Si Kabayan dalam memperdaya orang lain. Hal ini tampak dalam kisah Kab1 yang menjadikan Si Kabayan sebagai sosok wali palsu demi memenuhi keinginan Kabayan untuk meneruskan kebiasannya tidur lebih lama.

3.2.3 Perubahan Sosok Si Kabayan: Dari yang Malas Hingga menjadi Hero Para tokoh yang muncul dari ketiga objek yang dijadikan bahan penelitian dapat dikategorikan ke dalam tiga bagian yakni, tokoh Si Kabayan sebagai tokoh utama penceritaan, tokoh antagonis dan tokoh perempuan. Pola umum yang muncul dari ketiga teks adalah tokoh Si Kabayan sebagai tokoh utama penceritaan seringkali dibayangkan sebagai seorang hero atau menempati peran-peran krusial dalam masyarakat, seperti dengan menjadikannya sebagai seorang pejabat, wartawan, wali, sufi, dan kritikus seni. Adapun tokoh antagonis yang muncul seringkali direpresentasikan melalui tokoh-tokoh yang memiliki kekuasaan otoritatif seperti mertua, pemuka agama, dan pemilik perusahaan. Melalui perannya tersebut tokoh Kabayan melakukan kritik terhadap pelbagai ketimpangan yang terjadi di tengah masyarakat, terutama permasalahan yang muncul akibat sikap dari para tokoh otoritatif tersebut. Dalam hal ini, sosok Si Kabayan menjadi sarana atau alat untuk melontarkan kritik. Kritik-kritik yang selama ini nampak mustahil dilakukan dalam kehidupan nyata mendapatkan momentumnya pada sosok serta sikap Si Kabayan.

Walaupun begitu ketiga objek yang dijadikan bahan penelitian memiliki kecenderungan sama dalam merepresentasikan sosok Si Kabayan. Stereotip yang selama ini melekat kepada sosok Si Kabayan sebagai laki-laki pemalas, lugu, tidak memiliki ketampanan, bersikap konyol, teks tampak dominan dalam menggambarkan citra Kabayan. Ketiga teks

tidak banyak melakukan perubahan dalam menggambarkan citra Si Kabayan sebagai tokoh utama (protagonis) dengan yang selama ini dikenal oleh masyarakat. Berbeda misalnya dengan cerita Si Kabayan karya Godi Suwarna yang justru menggambarkan sosok tersebut secara terbalik sebagai tokoh serakah dan egois.

3.2.4 Perubahan Penggambaran Tokoh Perubahan penggambaran tokoh juga tampak pada beberapa sosok yang selama ini telah dikenal oleh masyarakat. Pertama tokoh istri Si Kabayan. Dalam kisah Kab3 tokoh istri Si Kabayan ini tidak digambarkan keberadaannya. Cerita yang muncul hanya berpusat pada tokoh Si Kabayan semata. Berbeda misalnya dengan kisah Kab2yang menempatkan posisi tokoh istri kabayan sebagai sosok yang cukup penting. Ia hadir sejak permulaan cerita bersama Si Kabayan. Tokoh Nyi Iteung digambarkan sebagai sosok seorang janda kaya. Ia merupakan mantan isteri dari seorang saudagar batik. Nyi Iteung dalam kisah ini menjadi tulang punggung bagi kehidupan Si Kabayan.

Terdapat beberapa konsepsi dasar yang sama antara penggambaran sosok Nyi Iteung dalam kisah Achdiat K. Mihardja dengan kisah klasik Si Kabayan. Sosok Nyi Iteung dalam kedua cerita digambarkan berasal dari golongan berada yang harus kena “sial” menikah dengan Kabayan yang pemalas dan miskin. Selain itu, sosok Nyi Iteung pun digambarkan sebagai sosok yang cantik dan molek mendekati citra ideal perempuan yang didambakan oleh setiap laki-laki.

(11)

yang diberikan pun cenderung minim mengenai ciri-ciri fisik istri Si Kabayan tersebut. Kehadiran istri Si Kabayan tidak jauh berbeda dengan tokoh masyarakat lain yang muncul dalam kisah Si Kabayan. 3.2.5 Perubahan Jumlah Tokoh

Pada bagian penggambaran perubahan watak tokoh, terutama dalam menggambarkan sosok istri Si Kabayan diketahui bahwa dalam kisah yang ditulis Di dalam kisah klasik mengenai Si Kabayan telah disebutkan bahwa konflik yang muncul dalam alur cerita berkisar antara tokoh Kabayan, istrinya, dan mertuanya. Akan tetapi, dari ketiga objek penelitian ditemukan perubahan jumlah tokoh yang hadir dalam kisah Si Kabayan. Konflik yang muncul tidak hanya berkisar antara Kabayan, istrinya, dan mertuanya. Akan tetapi, meluas dan melibatkan berbagai elemen lain dalam masyarakat seperti pejabat pemerintahan, tentara, wali, pemuka agama seperti kiai, kritikus seni, redaktur koran hingga pimpinan sebuah perusahaan.

Kehadiran tokoh-tokoh ini bukan tanpa maksud. Tokoh-tokoh tambahan tersebut berkali-kali digambarkan berasal dari golongan kelas yang lebih tinggi. Di dalam kisah Kab3 misalnya, sosok pimpinan perusahaan dan pejabat berulang-ulang hadir menciptakan konflik dengan Kabayan. Dalam hal ini, dari ketiga teks memiliki kecenderungan yang sama dalam soal permasalahan pertentangan kelas. Ketiga teks memandang bahwa golongan atas cenderung melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap golongan bawah. Golongan atas, terutama mereka yang bergerak dalam bidang pemerintahan digambarkan sebagai sosok yang selalu mengisap dan menyengsarakan kehidupan rakyat dengan berbagai perilaku yang dilakukannya.

3.2.6 Perubahan Tema: Komedi, Nilai-Nilai Modern, dan Individualitas Manusia

Beberapa kritikus sastra menyepakati jika proses penciptaan cerita Si Kabayan yang berkembang dalam cerita lisan pada dasarnya spontan, intuitif, dan memiliki pola tertentu (Durachman, 2014:30-31). Dengan demikian, sebenarnya transformasi cerita Si Kabayan yang berkembang dalam cerita modern juga seringkali didasarkan pada skema penceritaan yang dimiliki pengarang tentang kisah Si Kabayan. Skema ini diperoleh dari pengenalan pengarang terhadap cerita-cerita lisan Si Kabayan.

(12)

mementingkan diri sendiri. Kedua, bersikap menerima dan berada dalam kehidupan modern sambil melontarkan kritik. Sikap ini nampak dalam dua objek lain yakni Kab3karya Muhtar Ibnu Thalab dan Kab2 karya Achdiat K. Mihardja. Walaupun nilai-nilai modern dipandang memiliki sisi negatif kedua novel ini memercayai bahwa hal tersebut bisa diperbaiki.

3.3 Perbandingan Transformasi Cerita Sangkuriang dan Si Kabayan

Berdasarkan hasil analisis atas tiga teks Sangkuriang dan tiga teks Si Kabayan, ketiga-tiganya mengalami proses transformasi. Baik Sangkuriang maupun Si Kabayan bertranformasi dengan cara yang berbeda. Di bawah ini akan ditampilkan hasil transformasi tersebut.

(13)

Daftar Pustaka

Ayatrohaedi (2004). Si Kabayan: Cawokah atau Jorang? Esai dalam Seks Teks Konteks: Tubuh dan Seksualitas dalam Wacana Lokal dan Global halaman 121-140. Penyunting Taufiq Hanafi dkk. Jatinangor: Jurusan Sastra Inggris Fakultas Sastra Universeitas Padjadjaran dan Kelompok Belajar Nalar

Bassnet, Susan.(1993)Comparative Literature.Oxford UK: Blackwell Publishers.

Budiman, Manneke.(2005) “Tentang Sastra Bandingan.” Kalam,Jurnal Kebudayaan, No. 22, Edisi Sastra Bandingan (3-9).

Coster-Wijsman, Lina Maria(2008). Si Kabayan: Cerita Lucu di Indonesia Terutama di Tanah Sunda. Jakarta: Pustaka Jaya.

Culler, Jonathan(1997). Literary Theory A Very Short Introduction. United States: Oxford University Press

Damono, Sapardi Djoko. (2005). Pegangan Penelitian Sastra Bandingan. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.

Durachman, Memen. 2008. “Cerita Si Kabayan: Transformasi, Proses Penciptaan, Makna, dan Fungsi” dalam Jurnal Penelitian Sastra Metasastra Volume 1 Nomor 1, Juni.

Fang, Liaw Yock(1991). Sejarah Kesastraan Melayu Klasik: Jilid 1. Jakarta: Erlangga.

4. Simpulan

Dari hasil analisis diperoleh simpulan bahwa cerita Sangkuriang dan Si Kabayan yang selama ini identik dengan tokoh khas Sunda membawa pesan yang berbeda dalam hasil transformasinya. Dalam ketiga cerita hasil transformasi Sangkuriang lebih banyak digunakan untuk penyampaian ideologi. Penanaman ideologi paling tampak pada Sang Kuriang karya Utuy Tatang Sontani.

Ideologi atheis yang tidak mempercayai adanya Tuhan/Dewata ditampilkan melalui tokoh Sang Kuriang. Dia meyakini bahwa manusialah yang memegang kendali atas dirinya. Hermawan Aksan mengukuhkan ideologi Sang Kuriang yang selalu yakin atas dirinya dan teguh pada pendiriannya. Sementara Hartati membalikkan stereotipe Sangkuriang yang selama ini kukuh menjadi sosok yang pada akhirnya menyadari kekeliruannya.

(14)

Fudernik, M. (2009). Toward a ‘Natural’ Narratology. London New York: Routledge.

Gambar

Tabel 1: Perbadingan Transformasi CeritaSangkuriang dan Si Kabayan

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini memilih studi kasus kover komik serial “Si Buta Dari Gua Hantu” yang dicetak ulang pada edisi no 1, untuk mengetahui model gambaran lakon

Objek maupun hasil dari penelitian ini dapat direlevansikan terhadap pembelajaran di sekolah, khususnya pada pembelajaran sastra di SMP. Adapun mata pelajaran yang

Kesadaran yang muncul akan realitas objek yang menampakkan diri kepada Sasana diperjelas dengan pribadinya yang kemudian berubah menjadi tokoh Sasa, sang biduan, penyanyi

Di sisi lain, pronomina persona yang sering muncul adalah kata ganti orang ketiga yang merujuk pada seseorang, nama tokoh, benda, dan hal yang terkait dengan

Hal ini juga terdapat dalam cerpen Komedi Si Bugil dan Spanduk Lusuh yang menggambarkan bahwa tubuh perempuan yang bugil atau telanjang adalah sesuatu yang tidak

dalam menyelesaikan permasalahan agama di Madinah juga bisa dijadikan cermin untuk menyelesaikan permasalahan kerukunan umat beragama yang muncul hingga akhir-akhir

Di dalam cerita pendek itu nampak jelas bahwa pengarang ingin memperlihatkan suatu kritikan terhadap opresi patriarki melalui diri sang tokoh utama yang

Kemudian, pada kutipan tersebut juga muncul tokoh Rania dalam novel Critical Eleven mengalami perubahan dengan film Critical Eleven yang mana tokoh Rania dalam film tidak