• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kata kunci: Epistemologi, Manajemen, Pendidikan Islam, al-Qur‟an PENDAHULUAN - LANDASAN EPISTEMOLOGIS MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM DALAM AL-QUR’AN DAN HADIT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kata kunci: Epistemologi, Manajemen, Pendidikan Islam, al-Qur‟an PENDAHULUAN - LANDASAN EPISTEMOLOGIS MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM DALAM AL-QUR’AN DAN HADIT"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

74

LANDASAN EPISTEMOLOGIS MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM

DALAM AL-QUR’AN DAN HADITS

Oleh: Ali Mufron

Abstrak

Tujuan penelitian ini adalah untuk memahami dan mengetahui Landasan Epistemologis Manajamen Pendidikan Islam dalam al-Qur‟an dan Hadits. Metode yang digunakan penulis dalam penelitian ini yaitu kepustakaan, dengan melalui data primer pembacaan buku-buku mutakhir. Kajian ini dengan melibatkan teman sejawat yaitu dosen-dosen manajemen pendidikan Islam dari berbagai kampus, dengan langkah-langkah: pengujian naskah melalui diskusi, kritik, saran, perbaikan, dan finalisasi. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan: Landasan Epistemologis Manajamen Pendidikan Islam dalam al-Qur‟an dan Hadits dibagi menjadi dua, yakni landasan pokok dan landasan operasional: (1) Landasan pokok, yaitu al-Qur‟an, Sunnah, dan Ijtihad; (2) Landasa opersional manajemen pendidikan Islam, yaitu historis, hukum atau yuridis, sosial, ekonomi, psikologis, dan filosofis.

Kata kunci: Epistemologi, Manajemen, Pendidikan Islam, al-Qur‟an

PENDAHULUAN

Al-Qur‟an sebagai sumber utama Islam mengandung segudang hikmah

yang berfungsi memberi bimbingan jalan kehidupan manusia. Pada masa Nabi

Muhammad Saw. hidup, subtansi dari al-Qur‟an beliau amalkan sendiri dan beliau ajarkan kepada para sahabatnya.1 Selain al-Qur‟an, perbuatan, ucapan dan sikap dari Nabi Muhammad Saw., juga menjadi rujukan dalam kehidupan muslim baik

menyangkut hubungan dengan Tuhan, sesama manusia maupun alam. Inilah yang

dinamakan dengan hadits.2

1 Al-Qur‟an diturunkan kepada Nabi Muhammad untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya yaitu Islam. Al-Qur‟an pernah mencetak sebuah generasi, generasi yang dahulunya adalah generasi Jahiliyah menjadi generasi terbaik sepanjang masa. Sebuah generasi yang dibina langsung oleh manusia terbaik (Rasulullah). Kehidupan di bawah naungan al-Qur‟an, merupakan kehidupan yang penuh pesona dan berkah. Konsep kehidupan yang ditawarkan al-Qur‟an begitu lengkap dan universal. Beberapa generasi yang hidup dibawah naungan al-al-Qur‟an, kehidupan mereka penuh dengan keberkahan dan kedamain. Lihat: Muhammad Syahrur, Al-Kitab wa al-Qur‟an: Qira‟ah Mu‟asirah (Damaskus; Ahali li al-Nasyr wa al-Tauzi‟, 1992), 32.

2

(2)

75

Al-Qur‟an dan hadis diyakini mengandung prinsip dasar menyangkut

segala aspek kehidupan manusia. Penafsiran atas al-Qur‟an dan Hadis perlu senantiasa dilakukan. Hal ini penting dilakukan, sebab pada satu sisi wahyu dan

kenabian telah berakhir sedangkan pada sisi yang lain kondisi zaman selalu

berubah seiring dengan perkembangan pemikiran manusia dan tetap mutlak

diperlukannya petunjuk yang benar bagi manusia.3

Untuk menghadapi perkembangan dalam dunia pendidikan yang penuh

dengan sebuah inovasi sebagaimana dalam UU No. 20 Tahun 2003; tentang

Sistem Pendidikan Nasional.

“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.”4

Dalam menjawab tantangan yang demikian, muncul upaya

merekonstruksi masyarakat dengan pendidikan sebagai wahananya. Karena secara

kodrati manusia sejak lahir mempunyai potensi dasar, baik potensi fisik, psikis,

moral, sosial maupun potensi keagamaan yang harus ditumbuh kembangkan agar

berfungsi bagi kehidupan manusia di kemudian hari. Untuk aktualisasi terhadap

potensi-potensi tersebut dapat dilakukan usaha-usaha yang disengaja dan secara

sadar, agar mencapai pertumbuhan dan perkembangan secara optimal melalui

pendidikan Islam.5

dan senang, sebagai mana diriwayatkan bahwa beliau tidak mengingkari orang yang makan daging biawak di tempat makan beliau. Lihat: Muhammad Thalib, Ilmu ushul Fiqh (Jakarta: Bina ilmu, 1977), 67.

3 Jurnal Didaktika Religia Volume 3, No. 2 Tahun 2015, 21. Studi terhadap al-Qur‟an dan metodologi tafsir sebenarnya selalu mengalami perkembangan yang cukup sinifikan, seiring dengan akselerasi perkembangan kondisi sosial budaya dan peradaban manusia, sejak turunnya al-Qur‟an hingga sekarang. Fenomena tersebut merupakan konsekuensi logis dari adanya keinginan umat Islam untuk selalu mendialogkan antara al-Qur‟an sebagai teks (nas) yang terbatas, dengan perkembangan problem sosial kemanusiaan yang dihadapi manusia sebagai konteks (waqa‟i) yang tak terbatas. Hal itu juga merupakan salah satu implikasi dari pandangan teologis umat Islam bahwa al-Qur‟an itu salih li kulli zaman wa makan, (al-Qur‟an itu selalu cocok untuk setiap waktu dan tempat). Karenanya, sebagaimana dikatakan Muhammad Syahrur, al-Qur‟an harus selalu ditafsirkan sesuai dengan tuntutan era kontemporer yang dihadapi umat manusia. Lihat: Syahrur, Al-Kitab wa al-Qur‟an: Qira‟ah Mu‟asirah…., 32.

4

Sekretariat Negara RI. UU RI No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Bandung: Fokus Media, 2003), 2.

5

(3)

76

Lembaga pendidikan, khususnya lembaga pendidikan Islam harus

berperan aktif untuk mengembangkan potensi itu. Namun sistem pendidikan Islam

di Indonesia sekarang ini masih dipertanyakan kedudukan dan kompetensi

lulusannya, yang kurang mampu bersaing dengan mutu lulusan lembaga-lembaga

lain yang benar-benar sudah memperhatikan masalah pendidikan. Maka dari itu

lembaga pendidikan Islam harus berbenah. Salah satu usaha pembenahan yang

baik untuk dilakukan adalah pada manajemen pendidikan Islam.

Penggunaan manajemen yang baik dalam lingkup lembaga pendidikan

bertujuan meningkatkan kualitas pengelolaan madrasah dengan memberikan

kekuasaan dan meningkatkan partisipasi madrasah dalam upaya perbaikan kerja di

madrasah. Sistem pendidikan di Indonesia yang berkaitan dengan manajemen

kelembagaan telah diatur dalam berbagai peraturan dan perundang-undangan

seperti UUSPN No. 20 tahun 2003 dan PP No. 19 tahun 2005 serta Peraturan

Pemerintah yang menyertainya.6

berlangsung secara alami melalui pendidikan dari orang tua (informal) atau dari anggota masyarakat (nonformal) maupun pendidikan yang tersistem atau formal yang diselenggarakan oleh sekolah, madrasah dan pesantren. Baik pendidikan formal, informal, maupun pendidikan nonformal tiada lain adalah untuk menumbuh kembangkan berbagai potensi yang ada pada diri manusia, yaitu potensi kognitif, afektif, psikomotirik dan spritual untuk dibimbing dan diarahkan ke tingkat kualitas hidup yang baik seiring dengan tujuan manusia diciptakan yakni sebagai hamba dan sebagai khalifah. Pendidikan yang terarah merupakan pendidikan yang berbasis pada fi trah manusia dalam pendidikan. Artinya, pendidikan terarah adalah pendidikan yang bisa membentuk manusia secara utuh, baik dari dimensi jasmani (materi) maupun dari sisi dimensi mental/ immateri (ruhani, akal, rasa dan hati). Lihat: Maragustam Siregar dalam Ali Mufron, Ilmu Pendidikan Islam (Yogyakarta: Aura Pustaka, 2013), vii.

6

Syaiful Sagala, Kemampuan Profesional Guru dan Tenaga Kependidikan (Bandung: Alfabeta,2009), 109. Pada dasarnya manajemen sudah ada sejak manusia itu ada, manajemen sebetulnya sama usianya dengan kehidupan manusia, mengapa demikian, karena pada dasarnya manusia dalam kehidupan sehari-harinya tidak bisa terlepas dari prinsip-prinsip manajemen, baik langsung maupun tidak langsung, baik disadari ataupun tidak disadari.

Firman Allah SWT:

“Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepadanya dalam

satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu.” (Q.S. Al-Sajdah: 5) Juga Firman Allah SWT:

(4)

77

Dalam pandangan Islam, segala sesuatu harus dilakukan secara rapi,

benar, tertib, dan teratur. Proses-prosesnya harus diikuti dengan baik. Sesuatu

tidak boleh dilakukan secara asal-asalan mulai dari urusan terkecil seperti

mengatur urusan rumah tangga sampai dengan urusan terbesar seperti mengatur

urusan sebuah negara semua itu diperlukan pengaturan yang baik, tepat dan

terarah dalam bingkai sebuah manajemen agar tujuan yang hendak dicapai bisa

diraih dan bisa selesai secara efisien dan efektif.

Dalam konteks pemaknaan tentang pendidikan Islam di Indonesia, ada

persoalan serius yang perlu dicermati. Hal ini terkait dengan makna pendidikan

Islam yang banyak mengalami reduksi. Paling tidak reduksi ini dapat dilihat dari

beberapa sudut. Pertama, secara kelembagaan, selama ini pendidikan Islam

cenderung dipahami sebagai pendidikan yang diselenggarakan oleh institusi

pendidikan yang berlabel Islam atau lembaga yang mengajarkan ilmu-ilmu agama

dalam pengertian al-'ulum al-naqliyyah. Karena itu, yang termasuk kategori ini

adalah pondok pesantren, madrasah, sekolah dengan label Islam, atau IAIN.

Kedua, pendidikan Islam lebih diartikan sebagai pendidikan tentang ilmu agama,

sementara yang dimaksud dengan ilmu agama adalah ilmu-ilmu yang selama ini

termasuk kategori ilmu naqliyyah seperti fiqih, tafsir, hadis, akhlak, aqidah, dan

bahasa Arab, untuk tidak menyebut semuanya secara rinci. Lebih reduksi lagi,

pendidikan Islam (agama) dimaknai sebagai mata pelajaran di sekolah umum

yang hanya berbobot 2 atau 3 sks. Dengan pemahaman ini mata pelajaran

non-agama bukan bagian dari pendidikan Islam. Dalam perspektif Rahman, ini

merupakan implikasi dari dikotomi ilmu dalam Islam yang sudah berjalan sekian

lama.7

Pada dasarnya ajaran Islam yang tertuang dalam al-Qur‟an dan al- Sunnah mengajarkan tentang kehidupan yang serba terarah dan teratur merupakan

contoh konkrit adanya manajemen yang mengarah kepada keteraturan. Puasa, haji

Kedua ayat diatas terdapat kata yudabbiru al-amra yang berarti mengatur urusan. Ahmad al-Syawi menafsirkan sebagai berikut: “Bahwa Allah adalah pengatur alam (manager). Keteraturan alam raya merupakan bukti kebesaran Allah SWT dalam mengelola alam ini. Namun, karena manusia yang diciptakan Allah telah dijadikan sebagai khalifah di bumi, maka dia harus mengatur dan mengelola bumi dengan sebaik-baiknya sebagaimana Allah SWT mengatur alam raya.” Lihat: Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia 2011). 260.

7

(5)

78

dan amaliyah lainnya merupakan pelaksanaan manajemen. Teori dan konsep

manajemen yang digunakan saat ini sebenarnya bukan hal yang baru dalam

perspektif islam. Manajemen itu telah ada paling tidak ketika Allah menciptakan

alam semesta beserta isinya. Unsur-unsur manajemen dalam pembuatan alam

serta makhluk-makhluknya lainnya tidak terlepas dengan manajemen langit.

Ketika Nabi Adam sebagai khalifah memimpin alam raya ini telah melaksanakan

unsur-unsur manajemen tersebut.

Al-Quran dan Hadits diyakini mengandung prinsip dasar menyangkut

segala aspek kehidupan manusia. Penafsiran atas al-Qur‟an dan Hadits perlu senantiasa dilakukan. Hal ini penting dilakukan, sebab pada satu sisi wahyu dan

kenabian telah berakhir sedangkan pada sisi yang lain kondisi zaman selalu

berubah seiring dengan perkembangan pemikiran manusia dan tetap mutlak

diperlukannya petunjuk yang benar bagi manusia.8 Manusia dikenal sebagai makhluk sosial, sehingga eksistensinya dipengaruhi oleh interaksi dengan

manusia lain. Di dalam berinteraksi antar individu hingga yang lebih luas mustahil

tanpa adanya kiat-kiat atau manajemen. Sudah menjadi kepastian, bahwa

al-Qur‟an dan Hadits menjadi referensi dan pandangan hidup dalam aspek kehidupan umat Islam seperti manajemen.

Dalam penelitian ini, peneliti akan mengkaji tentang epistemology

manajemen menurut al-Qur‟an agar manajemen pendidikan Islam pada khususnya mempunyai pijakan yang kuat dan jelas baik dalam pandangan agama maupun

negara, sehingga di dalam mengelola lembaga pendidikan para pimpinan, kepala

8 Mengkaji al-Qur‟an membutuhkan seperangkat ilmu pengetahuan dan metodologi yang benar demi menghindari berbagai kemungkinan terjadinya kesalahan dalam menafsirkan

al-Qur‟an. Seperangkat ilmu tersebut telah dikaji para ulama sejak permulaan Islam. Buku yang ada

di tangan pembaca ini adalah sebuah buku sebagai pengantar mempelajari tafsir dan Qur‟an, karena peranan ilmu tafsir terhadap agama Islam memang sangat besar. Sebagai pemeluk agama yang baik, sudah semestinya seseorang tidak hanya menjalankan ajaran agamanya, namun juga mengerti kitab suci agar mampu menerapkannya dalam kehidupan. Kitab suci umat Islam adalah al-Qur‟an yang diturunkan Allah melalui malikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. Bahasa yang digunakan dalam al-Qur‟an adalah bahasa Arab. Keindahan bahasanya memang tidak dapat diragukan lagi, ada banyak perumpamaan dan kalimat tersirat, sehingga ilmu tafsir dalam

al-Qur‟an diperlukan untuk membuat umat Islam semakin paham akan kandungan di dalamanya.

(6)

79

madrasah, guru, tenaga kependidikan dan karyawan mampu melaksanakan tugas

pokok dan fungsinya dengan baik dan benar.

METODE

Pendekatan atau metode yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah

penelitian kepustakaan. Kajian ini dilakukan mulai tanggal 15 September 2017

sampai dengan 5 Januari 2018 dengan melibatkan teman sejawat dosen

manajemen pendidikan Islam dari berbagai kampus di Jawa Timur. Pertama

penulis menelaah materi-materi tentang Landasan Epistemologis Manajemen

Pendidikan Islam dalam al-Qur‟an dan Hadits dari berbagai literatur, kemudian ditulis dalam sebuah naskah teks yang telah siap untuk dikaji. Berdasarkan hasil

diskusi interaktif dan berbagai masukan, kemudian konten teks direvisi untuk

dikaji pada diskusi ke dua. Final dari diskusi ke dua naskah teks siap untuk

dipublikasikan ke ruang terbuka yang lebih luas.

PEMBAHASAN

“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”9

Pertama, Asbab al-Nuzul

Ibnu Abu Hatim telah mengetengahkan sebuah Hadits melalui Ikrimah

yang telah menceritakan, bahwa ketika diturunkan firman-Nya berikut ini, yaitu: “Jika kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah menyiksa kamu dengan siksa yang pedih dan digantinya (kamu) dengan kaum yang lain, dan

(7)

80

kamu tidak akan dapat memberi kemudharatan kepada-Nya sedikitpun. Allah

Maha Kuasa atas segala sesuatu.”10

Tersebutlah pada saat itu ada orang-orang yang tidak berangkat ke medan

perang, mereka berada di daerah Badui (pedalaman) karena sibuk mengajarkan

agama kepada kaumnya. Maka orang-orang munafik memberikan komentarnya:

“Sungguh masih ada orang-orang yang tertinggal di daerah-daerah pedalaman, maka celakalah orang-orang pedalaman itu.” Kemudian turunlah firman-Nya yang mengatakan : “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka

beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan

untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali

kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”

Ibnu Abu Hatim telah mengetengahkan pula Hadits lainnya melalui

Abdullah Ibnu Ubaid Ibnu Umair yang menceritakan, bahwa mengingat keinginan

kaum Mukminin yang sangat besar terhadap masalah jihad, disebutkan bahwa:

bila Rasulullah mengirimkan Sariyyah-nya, maka mereka semuanya berangkat,

dan mereka meninggalkan Rasul di Madinah bersama dengan orang-orang yang

lemah. Maka turunlah firman Allah Swt, yaitu Q.S. al-Taubah : 122.11

Kedua, Tafsir ayat

Ayat ini menerangkan kelengkapan dari hukum-hukum yang menyangkut

perjuangan yakni hukum mencari ilmu dan mendalami agama. Artinya, bahwa

pendalaman ilmu agama merupakan cara berjuang dengan menggunakan hujjah

dan penyampaian bukti-bukti. Perjuangan yang menggunakan pedang itu tidak

disyari‟atkan kecuali untuk menjadi benteng dan pagar agar dakwah tersebut tidak

dipermainkan oleh orang-orang kafir dan munafik.

Perlu diketahui jihad dapat dilakukan dalam tiga aspek, yaitu jihad dengan

fisik yang berarti perang, jihad dengan pikiran yang berarti melakukan ijtihad, dan

jihad melawan hawa nafsu (mujahadah).

Dalam tafsir al-Misbah dijelaskan bahwa ketika Rasul Saw tiba di

Madinah, beliau mengutus pasukan yang tediri dari beberapa orang ke beberapa

10

Ibid., 39. 11

(8)

81

daerah. Banyak sekali yang ingin ikut dalam pasukan itu sehingga apabila di ikuti,

maka tidak ada yang tinggal bersama Rasul kecuali beberapa orang saja.12 Tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin, dan juga tidak dituntut supaya mereka

seluruhnya berangkat menyertai setiap utusan perang yang keluar menuju medan

perjuangan. Karena, perang itu sebenarnya fardu kifayah, bukan fardu „ain. Perang baru menjadi wajib, apabila Rasul sendiri keluar dan mengarahkan kaum

mukmin menuju medan perang (ghazwah).13

Dalam ayat ini, Allah menerangkan bahwa tidak semua orang mukmin

harus berangkat ke medan perang, bila peperangan itu dapat di lakukan oleh

sebagian kaum muslimin saja. Tetapi harus ada pembagian tugas dalam

masyarakat, sebagian berangkat ke medan perang, dan sebagian lagi harus

menuntut ilmu dan mendalami agama Islam, supaya ajaran-ajaran agama itu dapat

diajarkan secara merata, dan dakwah dapat dilakukan dengan cara yang lebih

efektif dan bermanfaat sehingga kecerdasan umat Islam dapat ditingkatkan.14

12

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al- Qur‟an (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 706.

13

Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi (Semarang: CV Toha Putra, 1992), 85. Dalam al-Qur‟an, istilah tafaqquh fi al-din disebut hanya sekali. Kata al-din dalam rangkaian istilah tersebut berarti “agama” dalam arti yang luas, bukan “agama” arti sempit, seperti mempelajari seluk-beluk wudhu dan masalah shalat, atau hanya menyangkut masalah fiqih. Agama yang oleh ungkapkan tersebut di dorong untuk di dalami oleh dari Nabi Saw, pada saat beliau berada di tempat/ Madinah karena tidak berangkat memimpin perang, meliputi berbagai informasi yang terkandung di dalam ayat-ayat al-Qur‟an yang telah diterima Rasulullah Saw pada periode Mekah selama 13 tahun, dan juga masalah-masalah agama yang mungkin dapat disampaikan Nabi pada saat para sahabat yang berminat melakukan tafaqqauh fi al-din. Jadi, seolah-olah dikatakan bahwa jika Rasulullah Saw sedang berada di Madinah, tidak berangkat memimpin perang, sepatutnya sebagian sahabat memanfaatkan kesempatan itu untuk mendalami berbagai persoalan agama.

Sumber ilmu pengetahuan bisa diperoleh dari ayat-ayat qauliyah dan kauniyah. Manusia memperoleh ilmu pengetahuan dari dua sumber utama; sumber Ilahi berupa wahyu, ilham maupun mimpi yang benar dan sumber manusiawi; jenis ilmu pengetahuan dipelajari manusia dari berbagai pengalaman pribadinya dalam kehidupan, upaya mengamati, menelaah, dan memecahkan berbagai problem yang dihadapi melalui ”trial and error” atau lewat pendidikan dan pengajaran dari kedua orang tuanya, lembaga-lembaga pendidikan maupun penelitian ilmiah. Lihat: Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam, Membangun Intelektual Muslim yang Tangguh (Purwokerto: UMP, 2009) 96

14

(9)

82

Tidak setiap orang Islam mendapat kesempatan untuk menuntut dan

mendalami ilmu pengetahuan serta mendalami ilmu agama, karena sibuk dengan

tugas di medan perang, di ladang, di pabrik, di toko dan sebagainya. Oleh sebab

itu harus ada sebagian dari umat Islam yang menggunakan waktu dan tenaganya

untuk menuntut ilmu dan mendalami ilmu-ilmu agama, agar kemudian setelah

mereka selesai dan kembali ke masyarakat, mereka dapat menyebarkan ilmu

tersebut, serta menjalankan dakwah islamiyah dengan cara dan metode yang baik

sehingga mencapai hasil yang baik pula.

Apabila umat Islam telah memahami ajaran agamanya, dan telah mengerti

hukum halal dan haram, serta perintah dan larangan agama, tentulah mereka akan

lebih dapat menjaga diri dari kesesatan dan kemaksiatan, dan dapat melaksanakan

perintah agama dengan baik dan dapat menjauhi larangan-Nya. Dengan demikian,

umat Islam menjadi umat yang baik, sejahtera dunia dan akhirat.

Tujuan utama dari orang-orang yang mendalami agama itu karena ingin

membimbing kaumnya, mengajari mereka dan memberi peringatan kepada

mereka tentang akibat kebodohan dan tidak mengamalkan apa yang mereka

ketahui, dengan harapan supaya mereka takut kepada Allah dan berhati-hati

terhadap akibat kemaksiatan, di samping agar seluruh kaum mukminin

mengetahui agama mereka, mampu menyebarkan dakwahnya dan membelanya,

serta menerangkan rahasia-rahasianya kepada seluruh umat manusia. Jadi, bukan

bertujuan supaya memperoleh kepemimpinan dan kedudukan yang tinggi serta

mengungguli kebanyakan orang-orang lain, atau bertujuan memperoleh harta dan

meniru orang dzalim dan para penindas dalam berpakaian, berkendaraan maupun

dalam persaingan di antara sesama mereka.

Orang-orang yang mempelajari agama dengan tujuan seperti itu lah orang

yang beruntung. Mereka mendapat kedudukan yang tinggi di sisi Allah, dan tidak

kalah tingginya dari kalangan pejuang yang mengorbankan harta dan jiwa dalam

meninggikan kalimat Allah, membela agama dan ajaran-Nya. Bahkan, mereka

boleh jadi lebih utama dari pejuang pada situasi lain ketika mempertahankan

agama menjadi wajib „ain bagi setiap orang.15

15

(10)

83

Ibnu Abbas ra. memberikan penakwilannya, bahwa ayat ini penerapannya

hanya khusus untuk sariyyah-sariyyah, yakni apabila pasukan itu dalam bentuk

sariyyah, sedangkan ayat sebelumnya yang juga melarang seseorang tetap tinggal

di tempatnya dan tidak ikut berangkat ke medan perang jika itu adalah ghazwah.16 Ibnu Jarir al-Thabari berpendapat bahwa yang memperdalam pengetahuan

adalah aggota pasukan yang ditugaskan Nabi Saw. dengan perjuangan dan

kemenangan menghadapi musuh, mereka memperoleh pengetahuan tentang

kebenaran Islam serta pembelaan Allah Swt. terhadap agama-Nya dan

memperingatkan orang yang tinggal di Madinah agar berhati-hati dalam bersikap

dan kelakuan mereka agar tidak terhindar dari bencana yang dialami orang-orang

yang membangkang perintah-Nya. Pendapat ini di dukung oleh Sayyid Qutb.

Pendapat ini agaknya dipaksakan, apalagi tidaklah pada tempatnya

menamai pengalaman mereka yang terlibat dalam dalam perang atau kemenangan

yang mereka raih sebagai upaya tafaqqah fi al-din (memperdalam ilmu agama).

Ayat ini menggarisbawahi terlebih dahulu motivasi memperdalam pengetahuan

bagi mereka yang di anjurkan keluar, sedang motivasi utama mereka yang

berperang bukanlah tafaqquh. ayat ini tidak berkata bahwa hendaklah jika mereka

pulang mereka ber-tafaqquh, tetapi berkata “untuk memberi peringatan kepada kaum mereka apabila mereka telah kembali kepada mereka, supaya mereka

berhati-hati.” Peringatan itu hasil tafaqquh. Itu tidak mereka peroleh pada saat terlibat dalam perang, karena yang terlibat ketika itu pastilah sedemikian sibuk

menyusun strategi dan menangkal serangan, mempertahankan diri sehingga tidak

16

Jalaluddin Al-Mahalli, dan Jalaluddin As-Suyuthi, Tafsir Jalalain Berikut Asbaabun Nuzuul Ayat (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2000), 819 . Pendapat lain mengatakan: semua golongan dari penduduk Arab yang muslim wajib berangkat berperang, kemudian dari sekian golongan itu harus ada orang-orang yang menyertai Rasulullah Saw. guna memahami agama lewat wahyu yang diturunkan kepadanya, kemudian mereka dapat memperingatkan kaumnya apabila telah kembali, yaitu ihwal persoalan musuh. Jadi, dalam pasukan itu ada dua kelompok: kelompok yang berjihad dan kelompok memperdalam agama melalui Rasul.

(11)

84

mungkin dapat ber-tafaqquh memperdalam pengetahuan. Memang harus diakui,

bahwa yang bermaksud memperdalam pengetahuan agama harus memahami

arena, serta memperhatikan kenyataan yang ada, tetapi itu tidak berarti tidak dapat

dilakukan oleh mereka yang tidak terlibat dalam perang. Bahkan tidak keliru jika

dikatakan yang tidak terlibat dalam perang itulah yang mampu menarik pelajaran,

mengembangkan ilmu daripada mereka yang terlibat langsung dalam perang.17 Surat Yunus Ayat 3-4

“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy untuk mengatur segala urusan. tiada seorangpun yang akan memberi syafa'at kecuali sesudah ada izin-Nya. (Dzat) yang demikian Itulah Allah, Tuhan kamu, Maka sembahlah Dia. Maka Apakah kamu tidak mengambil pelajaran? hanya kepadaNyalah kamu semuanya akan kembali; sebagai janji yang benar daripada Allah, Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk pada permulaannya kemudian mengulanginya (menghidupkannya) kembali (sesudah berbangkit), agar Dia memberi pembalasan kepada orang-orang yang beriman dan yang mengerjakan amal saleh dengan adil. dan untuk orang-orang kafir disediakan minuman air yang panas dan azab yang pedih disebabkan kekafiran mereka. Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu

17

(12)

85

melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.”18

Pertama, Asbab al-Nuzul

Surat Yunus ayat 5 ini tidak mempunyai asbab al-nuzul ayat secara

terperinci, dalam surat Yunus yang berjumlah 109 ayat hanya ada beberapa ayat

yang memiliki asbab al-nuzul yang dijelaskan secara terperinci, namun ayat 3

memiliki keterkaitan asbab al-nuzul dengan ayat 5, yaitu pada saat ayat ke 3 turun

Said bin Ishaq bertemu dengan sekelompok makhluk berkendaraan, yang jelas

mereka bukan dari golongan bangsa Arab. Ia bertanya, siapa kamu? Jawab

mereka: kami kelompok jin dari madinah. Jadi Allah SWT menurunkan ayat ini

sebagai ketegasan bahwa dia yang menciptakan seluruh makhluk dan yang

mengaturnya. Dan lebih khusus lagi memberi tahu bahwa Dia menciptakan langit

dan bumi dalam jangka waktu 6 hari, bila Dia menghendaki jadilah maka jadilah

makhluk yang dikehendaki.19

Kedua, Tafsir Ayat

Ayat 3: Allah mengurus semua urusan makhluknya. Pada ayat ini Allah

menerangkan bahwa Dialah yang mengatur perjalanan tiap-tiap planet, sehingga

satu sama lain tidak berbenturan, dan Dia pula yang menciptakan bumi dan segala

isi yang terkandung di dalamnya, sejak dari yang kecil sampai kepada yang besar,

semuanya diciptakan dalam enam masa yang hanya Allah sendiri yang

mengetahui lama waktu enam masa yang dimaksud itu. Setelah menciptakan

langit dan bumi.

Ayat 4: Bukti-bukti adanya hari berbangkit dan pembalasan atas perbuatan

manusia. Allah telah menciptakan langit dan bumi, tidak ada sesuatupun yang

membantu-Nya, dan Allah Esa dalam ibadat, yaitu hanya Dia sajalah yang berhak

disembah, tidak bersekutu dengan yang lain. Keesaan Allah ini merupakan salah

satu dari prinsip yang lain, yaitu adanya hari berbangkit disertai dengan

bukti-buktinya, dan hikmah Allah mengadakan hari berbangkit itu.

Allah menerangkan bahwa hanya kepada-Nya sajalah semua manusia

dikembalikan setelah ia mati dan sesudah lenyap alam yang fana ini bukan kepada

18

Al-Qur‟an., 10., 3-5

19

(13)

86

sesuatu yang lain, termasuk sembahan-sembahan berhala, dan penolong-penolong

orang kafir itu. Yang demikian itu adalah janji Allah Swt kepada makhluk-Nya.

Dia tidak akan menyalahi janji-Nya sedikitpun.

Sebagai bukti bahwa Allah Swt pasti menepati janji-Nya, ialah Allah telah

menciptakan makhluk pertama kalinya. Penciptaan manusia oleh Allah pada

pertama kalinya itu dapt dijadikan dalil bahwa Allah berkuasa pula untuk

menciptakan makhluk-Nya pada kali kedua atau membangkitkannya kembali.

Mengulangi kembali menciptakan sesuatu itu adalah lebih mudah dari

menciptakan pertama kalinya.

Dalam Hadits Nabi dijelaskan:

“Sesungguhnya, salah seorang diantara kalian dihimpun penciptaannya di dalam perut ibunya selama empat puluh hari berupa nuthfah (mani dan

telur) kemudian menjadi „alaqah (gumpalan darah-yang menempel pada rahim-) selama itu pula kemudian menjadi mudhghah (segumpal daging) selama itu pula. Lalu, diutuslah seorang malaikat yang kemudian meniupkan ruh kepadanya dan diperintahkan untuk menulis (menetapkan) empat hal: Menetapkan rezekinya, ajalnya, amalnya, dan apakah dia sengsara atau bahagia...20

Penjelasan mengenai perkembangan manusia di dalam perut ibunya bahwa

dia mengalami empat fase perkembangan: Pertama, fase nuthfah selama empat

puluh hari. Kedua, fase alaqah selama empat puluh hari. Ketiga, fase mudhghah

selama empat puluh hari. Keempat, fase terakhir setelah ditiupkan ruh kepadanya.

Janin mengalami perkembangan di dalam perut ibunya sebanyak empat fase

perkembangan di atas.

Ayat 5: Alam semesta merupakan bukti kekuasaan Allah. Ayat ini

menerangkan bahwa Allah Swt yang menciptakan langit dan bumi dan

bersemayam di atas Aras-Nya, Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan

bulan bercahaya. Matahari dengan sinarnya adalah sebagai dasar hidup dan

kehidupan, sumber panas dan tenaga yang dapat menggerakkan makhluk-makhluk

20

(14)

87

Allah yang diciptakan-Nya. Dengan cahaya bulan dapatlah manusia berjalan

dalam kegelapan malam dan bersenang-senang melepaskan lelah di malam hari.

Korelasi Ayat dengan Manajemen Pendidikan Islam

Pertama, Surat al-Taubah ayat 122:

Menurut penulis dalam surat ini dapat dikorelasikan dengan manajemen

pendidikan Islam, yaitu sebagai berikut:

Manajemen strategik. Islam mengajarkan untuk mengatur dan membagi

umatnya ke dalam dua kelompok, yang pertama berperang untuk

mempertahankan keutuhan dan keberlangsungan umat Islam dan yang ke dua

untuk memperdalam ilmu pengetahuan sebagai sebuah perencanaan (planing)

mempersiapkan cendekiawan, ilmuan, dan ahli agama di masa yang akan datang,

karena eksistensi pendidikan Islam berpandangan jauh ke masa depan.

Berperilaku proaktif dan antisipatif terhadap kondisi masa depan yang diprediksi

akan dihadapi. Antisipasi masa depan dirumuskan dan ditetapkan sebagai visi

lembaga pendidikan Islam yang akan diwujudkan 10 tahun atau lebih di masa

depan.

Manajemen Strategi adalah proses atau rangkaian kegiatan pengambilan

keputusan yang bersifat mendasar dan menyeluruh, disertai penetapan cara

melaksanakannya, yang dibuat oleh manajemen puncak dan dimplementasikan

oleh seluruh jajaran di dalam suatu organiasasi, untuk mencapai tujuannya.21 Manajemen Islami yang membedakannya dengan manajemen ala Barat

adalah seorang pimpinan dalam manajemen Islami harus bersikap lemah lembut

terhadap bawahan. Contoh kecil seorang manajer yang menerapkan kelembutan

dalam hubungan kerja adalah selalu memberikan senyum ketika berpapasan

dengan karyawan karena senyum salah satu bentuk ibadah dalam Islam dan

mengucapkan terima kasih ketika pekerjaannya sudah selesai. Namun kelembutan

21

(15)

88

tersebut tidak lantas menghilangkan ketegasan dan disiplin. Jika karyawan

tersebut melakukan kesalahan, tegakkan aturan. Penegakan aturan harus konsisten

dan tidak pilih kasih.22

Manajemen sumber daya manusia. Perintah mendalami ilmu pengetahuan,

berarti mempersiapkan manusia-manusia unggul yang mempunyai kualitas

kelimuan yang mapan dan komprehenshif, sehingga umat Islam tidak menjadi

umat yang bodoh, terbelakang, mengalami kemunduran, dan jauh dari

peradaban.23

Manajemen sumberdaya manusia sangat penting peranannya dalam

suatu organisasi termasuk dalam lembaga pendidikan seperti madrasah yang

juga memerlukan pengelolaan sumberdaya manusia yang efektif dalam

meningkatkan kinerja organisasi. Tuntutan akan upaya peningkatan kualitas

pendidikan pada dasarnya berimplikasi pada perlunya madrasah mempunyai

sumber daya manusia pendidikan baik pendidik maupun sumber daya manusia

lainnya untuk berkinerja secara optimal, dan hal ini jelas berakibat pada

perlunya melakukan pengembangan sumber daya manusia yang sesuai dengan

tuntutan legal formal seperti kualifikasi dan kompetensi, maupun tuntutan

lingkungan eksternal yang makin kompetitif di era globalisasi dewasa ini, yang

menuntut kualitas sumber daya manusia yang makin meningkat yang

mempunyai sikap kreatif dan inovatif serta siap dalam menghadapi ketatnya

persaingan.

Integrasi-interkoneksi keilmuan. Dalam ayat tersebut perintah menuntut ilmu

disebutkan seacara universal, maksudnya bahwa tidak adanya perintah menuntut

ilmu agama secara khusus atau ilmu umum secara khusus pula, karena al-Qur‟an memang tidak membedakan ilmu agama dan ilmu umum.

22 Jurnal Iqra‟ Volume 08 No.01 Mei, 2014 23

(16)

89

Quraish Shihab berpendapat bahwa pengaitan tafaqquh (pendalaman

pengetahuan itu) dengan agama, adalah untuk menggarisbawahi tujuan

pendalaman pengetahuan itu, bukan dalam arti pengetahuan tentang ilmu agama.

Pembagian disiplin ilmu-ilmu agama dan ilmu umum belum dikenal pada masa

turunnya al-Qur‟an bahkan tidak diperkenalkan oleh Allah Swt. Al-Qur‟an tidak membedakan ilmu. Ia tidak mengenal istilah ilmu agama dan ilmu umum, kareana

semua ilmu bersumber dari Allah Swt yang diperkenalkannya adalah ilmu yang

diperoleh dengan usaha manusia (acquired knowledge) dan ilmu yang merupakan

anugerah Allah tanpa usaha manusia (ladunny/ perennial).24

Kedua, Surat Yunus ayat 3-5

Adapun korelasinya ayat ini dengan manajemen pendidikan Islam

adalah: bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy untuk mengatur segala urusan.”25

24

Shihab, Misbah…, 707. Berangkat dari fakta bahwa dunia Islam dewasa ini cenderung membuat dikotomi antara ilmu agama dengan ilmu umum, maka Amin Abdullah, merasa perlu merekonstruksi fakta ini dan membuat sebuah restorasi paradigma keilmuan. Pemahaman dikotomi yang rigid ini membuat polarisasi yang dikotomis antara ilmu shari„ah dan ilmu ghayr

al-shari„ah. Pemahaman ilmu ghayr al-shari„ah—yang jumlahnya jauh lebih banyak—tidak penting

untuk dipelajari, yang penting adalah ilmu shari„ah, ilmu yang menuntun orang untuk memasuki surga dan menghindari neraka, merupakan hal yang bisa menghambat kemajuan kajian keislaman. Lihat: M. Amin Abdullah, “Visi Keindonesiaan Pembaharuan Pemikiran Islam Hermeneutik”, Epistema, No. 02 (1999), 3. Gagasan paradigma integrasi-interkoneksi yang dipelopori Amin Abdullah tampil memukau dan mencoba untuk memecahkan kebuntuan dari problematika kekinian. Sehingga dari berbagai disiplin keilmuan itu tidak hanya sampai pada sikap single entity (arogansi keilmuan: merasa satu-satunya yang paling benar), isolated entities (dari berbagai

disiplin keilmuan terjadi “isolasi”, tiada saling tegur sapa), melainkan sampai pada interconnected

entities (menyadari akan keterbatasan dari masing-masing disiplin keilmuan, sehingga terjadi saling kerjasama dan bersedia menggunakan metode-metode walaupun itu berasal dari rumpun ilmu yang lain). Lihat juga: M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif, Adib Abdushomad (ed.) (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), 404-405. Lihat juga M. Amin Abdullah, “Desain Pengembangan Akademik IAIN Menuju UIN Sunan Kalijaga: Dari Pendekatan Dikotomis-Atomistis Kearah Integratif-Interkonektif” dalam Fahrudin Faiz, (ed.), Islamic Studies dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi (Yogyakarta: SUKA Press, 2007), 37-38.

(17)

90

Dari ayat di atas diketahui bahwa Allah SWT merupakan pengatur alam.

Akan tetapi, sebagai khalifah di bumi ini, manusia harus mengatur dan mengelola

bumi dengan sebaik-baiknya sebagaimana Allah SWT mengatur alam raya ini.26 Dalam manajemen pendidikan Islam, manajer adalah pimpinan atau

pemimpin suatu lembaga pendidikan, karena manajer berhubungan langsung

dengan pengambilan keputusan, paling tidak seorang manajer harus memiliki

keterampilan konseptual yang merupakan keterampilan memahami dan mengelola

lembaga pendidikan; keterampilan manusiawi yaitu keterampilan melakukan

kerjasama, memotivasi, dan membangkitkan etos kerja guru dan pegawai; dan

keterampilan teknis, yaitu keterampilan mengoperasikan alat-alat, metode, dan

fasilitas lainnya yang tradisional maupun modern.

Prinsip keadilan dalam manajemen pendidikan Islam





“Hanya kepada-Nyalah kamu semuanya akan kembali; sebagai janji yang benar daripada Allah, Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk pada permulaannya kemudian mengulanginya (menghidupkannya) kembali (sesudah berbangkit), agar Dia memberi pembalasan kepada orang-orang yang beriman dan yang mengerjakan amal saleh dengan adil.”27

Islam sangat menekankan pentingnya menegakkan keadilan, termasuk

dalam urusan kemasyarakatan dan berorganisasi.28 Salah satu prinsip dasar yang penting dalam manajemen pendidikan Islam adalah adil. Menurut Abuddin Nata

26

Saifullah, Manajemen Pendidikan Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2014), 2. Masalah kepemimpinan adalah suatu hal yang urgen dalam suatu organisasi, tidak terkecuali dalam lembaga pendidikan, kerena kepemimpinan merupakan kekuatan aspirasional, semangat dan kekuatan moral yang mampu mempengaruhi anggota untuk mengubah sikap, tingkah laku kelompok atau organisasi menjadi searah dengan kemauan dan aspirasi pemimpin oleh interpersonal pemimpin terhadap anak buahnya. Lihat: Kartini Kartono, Pemimpin dan Kepemimpinan (Jakarta: Raja Gravindo Per-sada, 1998),IX. Paradigm baru di dalam masalah teori kepemimpinan adalah kepemimpinan transformasional. Kepemimpinan Transformasional merupakan jenis kepemimpinan baru (new leader paradigm) yang dipandang efektif untuk mendinamisasikan perubahan, terutama pada siatuasi atau lingkungan yang bersifat transisional. Kepemimpinan transformasional dapat didefinisikan sebagai kemampuan seorang pemimpin dalam bekerja dengan dan atau melalui orang lain untuk mentransformasikan secara optimal sumber daya organisasi dalam rangka mencapai tujuan sesuai dengan target capaian yang telah ditetapkan. Sumber daya yang dimaksudkan meliputi SDM, fasilitas, dana, dan faktor-faktor eksternal keorganisasian. Lihat: Ara Hidayat, Imam Machali, Pengelolaan Pendidikan Konsep, Prinsip dan Aplikasi dalam Mengelola Sekolah dan Madrasah , 101.

27 Al-Qur‟an., 10., 4. 28

(18)

91

keadilan adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan pada persamaan atau

bersikap tengah-tengah atas dua perkara. Keadilan ini terjadi berdasarkan

keputusan akal yang dikonsultasikan dengan agama. Adil sering diartikan sebagai

sikap moderat, obyektif terhadap orang dalam memberikan hukuman, sering

diartikan pula dengan persamaan dan keseimbangan dalam memberikan hak orang

lain tanpa ada yang dilebihkan atau dikurangi.29

Dalam konteks persekolahan, keadilan sering kali menjadi hal yang

sangat sensitif dan sangat rentan menimbulkan konflik manakala ketidakadilan itu

tidak terwujud. Pemberian gaji/tunjangan sampai pemberian tugas/wewenang dan

tanggung jawab adalah diantara bagian manajemen persekolahan yang memiliki

peluang melahirkan ketidakadilan. Oleh karena itu, dalam manajemen pendidikan

Islam, keadilan harus menjadi prinsip dasar yang dimiliki oleh seorang pemimpin

di dalamnya. Sebuah sekolah yang memiliki pemimpin yang adil di dalamnya,

akan memiliki kultur sekolah yang kondusif bagi pengembangan kualitas

didalamnya.30

Reward (ganjaran atau hadiah)







































“…Dia memberi pembalasan kepada orang-orang yang beriman dan yang

mengerjakan amal saleh dengan adil…”

Reward artinya ganjaran, hadiah, penghargaan atau imbalan. Reward

sebagai alat pendidikan diberikan ketika seorang anak melakukan sesuatu yang

baik, atau telah berhasil mencapai sebuah tahap perkembangan tertentu, atau

29

Abuddinnata, Akhlak Tasawuf (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2003), 125. Islam sebagai agama juga tidak bisa terlepas dari syari‟at yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Dengan

harapan syari‟at yang dibawa oleh Beliau dapat membawa kemaslahatan dan ketentraman

bagi umat manusia. Hal ini dikatakan oleh Imam Ibn al-Qayyim sebagaimana dikutip oleh Khadijah al-Nabrawi bahwa syari‟at yang dibangun diatas landasan hukum dan demi kemaslahatan manusia, adalah seluruhnya demi menegakkan keadilan, menebar kasih sayang, dan kemaslahatan, serta mengandung hikmah. Karena itu, jika ada ajaran yang dikaitkan dengan masalah keagamaan namun tidak mengandung seruan keadilan, kasing sayang, serta tidak mengandung hikmah, maka itu tidak masuk dalam kategori syari‟at. Dengan demikian, syari‟at pada hakikatnya merupakan bentuk keadilan Allah kepada seluruh hamba-Nya, rahmat bagi setiap makhluk-hamba-Nya, perwujudan kebijaksanaan-hamba-Nya, serta menunjukkan kebenaran Rasulullah SAW. Lihat: Khadijah al-Nabrawi, Mausu„ah Huquq al-Insan fi al-Islam (Mesir: Dar al-Salam, 2006), 289.

30

(19)

92

tercapainya sebuah target. Dalam konsep pendidikan, reward merupakan salah

satu alat untuk peningkatan motivasi para peserta didik. Metode ini bisa

mengasosiasikan perbuatan dan kelakuan seseorang dengan perasaan bahagia,

senang, dan biasanya akan membuat mereka melakukan suatu perbuatan yang

baik secara berulang-ulang. Selain motivasi, reward juga bertujuan agar seseorang

menjadi giat lagi usahanya untuk memperbaiki atau meningkatkan prestasi yang

telah dapat dicapainya.31Disamping itu reward juga bisa diberikan kepada kepada kepala madrasah, guru, karyawan yang mempunyai reputasi dan prestasi baik

sehingga mampu menumbuhkan etos kerja dan pelajaran yang baik bagi anggota

yang lainnya.

Evaluasi manajemen pendidikan Islam











“…Maka Apakah kamu tidak mengambil pelajaran?”

Dalam ayat tersebut Allah memerintahkan keapada umat Islam untuk

senantiasa berinstropeksi diri atau muhasabah. Tujuannya adalah untuk menguji

daya kemampuan manusia beriman terhadap berbagai macam problema

kehidupan yang dihadapi, untuk mengetahui sejauhmana hasil pendidikan wahyu

yang telah diaplikasikan Rasulullah Saw kepada umatnya, untuk menentukan

klasifikasi atau tingkat hidup keislaman atau keimanan seseorang.

Evaluasi sebagai fungsi manajemen merupakan aktivitas untuk meneliti

dan mengetahui pelaksanaan yang telah dilakukan di dalam proses keseluruhan

organisasi untuk mencapai hasil sesuai dengan rencana atau program yang telah

ditetapkan dalam rangka pencapaian tujuan.32

31

Muhammad Kosim, Antara Reward dan Punishment, Rubrik Artikel, Padang Ekspres, Senin, 09 Juni 2008. 1 Menurut Suharsimi Arikunto, hadiah adalah sesuatu yang diberikan kepada orang lain karena sudah bertingkah laku sesuai dengan yang dikehendaki yakni peraturan sekolah dan tata tertib yang telah ditentukan. Lihat: Suharsimi Arikunto, Manajemen Pengajaran Secara Manusiawi (Yogyakarta: Rieneka Cipta 1993), 182. Reward dan punishment tidak dilakukan sembarangan. Perlu diketahui bahwa Reward dan punishment memiliki tujuan yang ingin dicapai dengan digunakanya metode ini. Reward adalah pemberian hadiah ataupun ganjaran yang diberikan kepada anak atau siswa karena telah melakukansesuatu yang baik. Pada dasarnya, tujuan pemberian hadiah hanyalah untuk pembiasaan semata, ketika pembiasaan telah dicapai maka pemberian hadiah pun harus dikurangi. Lihat: Irawati Istadi, Agar Hadiah dan Hukuman Efektif (Jakarta : Pustaka, 2005), 34.

32

(20)

93

Landasan Manajemen menurut Qur’an dan Hadits

Pertama, Landasan Pokok

Al-Qur’an

Penetapan al-Qur‟an sebagai landasan dan sumber pokok manajemen pendidikan Islam dapat dilihat dan dipahami dari ayat-ayat al-Qur‟an itu sendiri, seperti firman Allah: agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka perselisihan itu dan menjadi

petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.”33

“ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.”34

Para Ulama dalam menetapkan al-Qur‟an sebagai landasan pemikiran dalam membina sistem manajemen pendidikan Islam, memberikan

tekanan-tekanan tersendiri untuk memperkokoh landasannya. Moh. Fadil misalnya,

menandaskan bahwa pada hakikatnya al-Qur‟an itu merupakan perbendaharaan yang besar untuk kebudayaan manusia, terutama bidang kerohanian. Ia pada

umumnya adalah kitab pendidikan masyarakat, moril dan spiritual.35 Selanjutnya firman Allah surat yunus ayat 3:

merupakan kata benda dari “nilai”. Pengertian “pengukuran” mengacu pada kegiatan membandingkan pada sesuatu hal dengan satuan ukuran tertentu, sehingga sifatnya menjadi kuantitatif. Lihat: Suharsimi Arikunto dan Cepi Safruddin Abdul Jabar, Evaluasi Program Pendidikan Pedoman Teoretis Praktik Bagi Praktisi Pendidikan, (jakarta: PT. Bumi Aksara, 2007), hlm.1. Jika kata evaluasi dihubungkan dengan kata pendidikan, maka dapat diartikan sebagai proses membandingkan situasi yang ada dengan kriteria tertentu terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan pendidikan, untuk itu evaluasi pendidikan sebenarnya tidak hanya menilai tentang hasil belajar siswa tersebut, seperti evaluasi terhadap guru, kurikulum, metode, sarana prasarana, lingkungan dan sebagainya. Lihat: Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam I (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), 131.

33Al-Qur‟an., 16., 64. 34

Al-Qur‟an., 38., 29.

35

(21)

94 pengakuan Rasulullah. Hadits menjadi sumber utama dalam kehidupan

sehari-hari, termasuk juga dalam manajemen pendidikan Islam. Hal ini didasarkan pada

Firman Allah: bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari

kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.”38

Kemudian dalam Hadits Rasulullah disebutkan bahwa Rasulullah

bersabda;

“Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.”39

36

Al-Qur‟an., 10., 3.

37

Kebanyakan teori klasik mengenai sunnah memasukkan tiga elemen yang penting. Dalam buku pegangan hukum Islam klasik, istilah sunnah menunjuk kepada contoh autoritatif yang diberikan oleh Nabi Muhaammad saw. dan yang dicatat dalam tradisi (hadits, akhbar) mengenai perkataannya, tindakannya, persetujuannya atas perkataan atau perbuatan orang lain, serta karakteristik (shifah) kepribadiannya. Dengan demikian, elemen pembatas pertama dalam doktrin sunnah, dalam bentuknya yang matang, merupakan identifikasi eksklusif istilah tersebut dengan Nabi Muhammad; sunnah dalam pengertian adalah sunnah Nabi. Elemen kedua teori klasik sunnah adalah identifikasi sempurna sunnah dengan riwayat-riwayat hadis yang bisa dilacak dengan mata rantainya hingga Nabi Muhammad dan dinilai sahih; sunnahsepadan dengan tradisi autentik. Sifat pembatas sunnah yang ketiga dan terakhir adalah statusnya sebagai wahyu. Sunnah, menurut ajaran klasik, diwahyukan oleh Allah melalui perantara Rasulullah seperti halnya al-Qur‟an. Lihat: Jurnal Ulumuna, Volume XV Nomor 2 Desember 2011, 379.

38 Al-Qur‟an., 33., 21. 39

(22)

95

Fenomena ini dapat dilihat dari praktek-praktek edukatif Rasulullah itu

sendiri. Pertama, beliau menggunakan rumah al-Arqam Ibnu Abi al-Arqam untuk

mendidik dan mengajar. Kedua, beliau memanfaatkan tawanan perang umtuk

mengajar baca dan tulis, dan Ketiga, beliau mengirim para sahabat ke

daerah-daerah yang baru masuk Islam.

Al-Qur‟an dan Sunnah sebagai sumber dan dasar pendidikan Islam selalu

membuka kemungkinan penafsiran-penafsiran baru secara dinamis sejalan dengan

perkembangan yang ada. Untuk itu perlu diletakkan dan dikembangkan sumber

dan dasar pelengkap, yaitu ijtihad.40

Ijtihad

Ijtihad ialah istilah para fuqaha, yaitu berfikir dengan menggunakan seluruh ilmu yang dimiliki oleh ilmuan syari‟at Islam untuk menetapkan sesuatu

hukum syari‟at Islam dalam hal-hal yang tenyata belum ditegaskan hukumnya

oleh al-Qur‟an dan al-sunnah.41

Ijtihad dalam manajemen pendidikan Islam tetap bersumber dari

al-Qur‟an dan Sunnah yang diolah oleh akal sehat dari para ahli manajemen

pendidikan Islam. Ijtihad tersebut haruslah berkaitan dengan

kepentingan-kepentingan pendidikan, kebutuhan dan tuntutan-tuntutan hidup disuatu tempat

pada kondisi dan situasi tertentu. Perubahan dan dinamika zaman yang ditandai

dengan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan dan informasi menuntut

40

Sembodo Ardi Widodo, Pendidikan Islam di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Felicha, 2009), 30.

41

(23)

96

adanya ijtihad dalam bentuk penelitian dan pengkajian kembali prinsip dan

praktek-praktek pendidikan islam yang ada.

Dengan adanya landasan pijak ijtihad ini, manajemen pendidikan Islam

diharapkan akan terus berkembang sejalan dengan perkembangan zaman dan

tuntutan-tuntutan sosial budaya sekitar dengan tetap berpegang pada nash.

Kedua, Landasan Operasional

Menurut penulis landasan operasional manajemen pendidikan Islam

terbagi menjadi tujuh macam:

Historis, yaitu landasan yang memberikan persiapan kepada pelaku manajemen

dengan hasil-hasil pengalaman masa lalu, undang-undang dan peraturannya,

batas-batas dan kekurangannya. Sebagaimana yang dijelaskan dalam surat Yunus

ayat 3 di atas:

“… Maka Apakah kamu tidak mengambil pelajaran?”

Pendidikan Islam merupakan pendidikan yang didasarkan pada nilai-nilai

ajaran Islam sebagaimana tercantum dalam al-Qur‟an dan al-Hadis serta dalam

pemikiran para Ulama‟ dan dalam praktik sejarah umat Islam.42

untuk mengetahui

ketercapaian suatu tujuan kegiatan yaitu dengan hasil-hasil pengalaman masa lalu,

undang-undang dan peraturannya, batas-batas dan kekurangannya. Dengan

demikian, maka suatu kegiatan dapat diketahui atau ditentukan tarap

kemajuannya. Berhasil atau tidaknya manajemen pendidikan Islam dalam

mencapai tujuannya dapat dilihat setelah dilakukan review terhadap out put yang

dihasilkannya.

Hukum atau yuridis, landasan dalam hukum berarti melandasi atau mendasari

atau titik tolak. Sementara itu kata hukum dapat dipandang sebagai aturan baku

yang patut ditaati. Aturan baku yang sudah disahkan oleh pemerintah ini, bila

dilanggar akan mendapatkan sanksi sesuai dengan aturan yang berlaku pula.

Landasan hukum dapat diartikan peraturan baku sebagai tempat terpijak atau titik

tolak dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu, dalam hal ini kegiatan

pendidikan. Dalam hal ini landasan hukum manajemen pendidikan Islam adalah

Undang-undang dasar.

42

(24)

97

Sosial, yaitu landasan yang memberikan kerangka budaya dimana pendidikan itu

berkembang, seperti memindahkan, memilih dan mengembangkan kebudayaan.

Di mana pendidikan bertolak atau bergerak dari kerangka kebudayaan yang ada

baik memindahkan memilih dan mengembangkan kebudayaan itu tersendiri.43 Landasan ini juga berfungsi sebagai tolak ukur dalam prestasi suatu

lembaga pendidikan. Artinya, tinggi rendahnya mutu suatu lembaga pendidikan

dapat diukur dari tingkat relevansi output pendidikan dengan kebutuhan dan

keinginan masyarakat. Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang tidak

kehilangan konteks atau tercerabut dari akar masyarakatnya. Prestasi pendidikan

hampir tidak berguna jika prestasi itu merusak tatanan masyarakat. Demikian

juga, masyarakat yang baik akan menyelenggarakan format pendidikan yang baik

pula. Seperti dalam surat al-Taubah 122;

“…memperdalam pengetahuan mereka tentang agama..”

Perintah mendalami ilmu pengetahuan harus ditunjukkan melalui

peningkatan mutu dan daya saing lembaga pendidikan, Di dalam mengembangkan

pendidikan seorang pemimpin harus melihat konteks sosio-budaya agar lembaga

pendidikan Islam yang dikembangkan relevan sesuai dengan konteks ruang dan

waktu.

Ekonomi, yaitu landasan yang memberikan perspektif tentang potensi-potensi

finansial, menggali dan mengatur sumber-sumber serta bertanggung jawab

terhadap rencana dan anggaran pembelanjaannya. Oleh karena manajemen

pendidikan Islam dianggap sebagai sesuatu yang luhur, maka sumber-sumber

finansial dalam menghidupkan pendidikan harus bersih, suci dan tidak bercampur

dengan harta benda yang syubhat.

Soal ekonomi atau muamalah maddiyah sangat sukar, tetapi memegang

peranan penting sekali, karena berhubungan dengan benda dan uang yang sangat

dicintai dan berkuasa dihati manusia. Ekonomi itulah sumber segala pekerjaan,

pusat dari susunan alam, dan dengan ekonomi pula, manusia mencapai tingkat

yang paling tinggi dari kemajuan dan kebahagian.44

43

Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Kalam Mulia; Jakarta, 2010). 121. 44

(25)

98

Ekonomi yang kotor akan menjadikan ketidakberkahan hasil pendidikan.

Misalnya, untuk pengembangan lembaga pendidikan, baik untuk kepentingan

honorarium pendidik maupun biaya operasional madrasah, suatu lembaga

pendidikan mengembangkan sistem rentenir. Boleh jadi usahanya itu secara

material berkembang, tetapi tidak akan berkah secara spiritual. Peningkatan ilmu

pengetahuan bagi peserta didik tidak akan memiliki implikasi yang signifikan

terhadap perkembangan moral dan spiritual peserta didik.

Politik dan administrasi, yaitu landasan yang memberi bingkai ideologi dasar

yang digunakan sebagai tempat bertolak untuk mencapai tujuan yang

dicita-citakan dan rencana yang telah dibuat.

Landasan politik merupakan penjabaran dari politik ideologi nasional ke

dalam sektor pendidikan. Pada dasarnya pembangunan dalam sektor pendidikan

adalah aspek dari pembangunan politik bangsa, yang tidak lain sebagai konsistensi

antara arah politik dengan cetak biru pembangunan bangsa yang berdasarkan

Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.45

Ranah admnistrasi manajemen pendidikan harus didukung oleh ilmu

pengetahuan tentang tujuan pendidikan serta berbagai wahana untuk

meningkatkan kualitas pendidikan. Wahana pendukung tersebut meliputi:

ilmu-ilmu yang berkaitan seperti, psikologi pendidikan, sosiologi pendidikan,

antropologi, ilmu komukasi, dan bimbingan. Ilmu-ilmu tersebut akan memberikan

dasar dalam pengelolaan murid yang menjadi bidang garapan admnistrasi

pendidikan.

Psikologis, yaitu landasan yang memberikan informasi tentang bakat, minat,

watak, karakter, motivasi dan inovasi, pemimpin, pendidik, peserta didik, tenaga

administrasi, serta sumber daya manusia yang lain. Dasar ini berguna juga untuk

mengetahui tingkat kepuasan dan kesejahteraan batiniah pelaku pendidikan, agar

mereka mampu meningkatkan prestasi dan kompetisi dengan cara yang baik dan

sehat. Dasar ini pula yang memberikan suasana batin yang damai, tenang, dan

indah di lingkungan lembaga pendidikan, meskipun dalam kedamaian dan

ketenangan itu senantiasa terjadi dinamika dan gerak cepat untuk lebih maju bagi

pengembangan lembaga pendidikan.

45

(26)

99

Dasar filosofis, yaitu dasar yang memberi kemampuan memilih yang terbaik

memberi arah suatu sistem, mengontrol dan memberi arah kepada semua

dasar-dasar operasional lainnya.46 Bagi masyarakat sekuler dasar ini menjadi acuan terpenting dalam manajemen pendidikan. Sebab, filsafat bagi mereka merupakan

induk dari segala dasar pendidikan. Sementara bagi masyarakat religius, seperti

masyarakat Muslim, dasar ini sekadar menjadi bagian dan cara berpikir di bidang

manajemen pendidikan secara sistemik, radikal, dan universal yang asas-asasnya

diturunkan dan nilai ilahiyah.

PENUTUP

Dari pembahasan di atas dapat peneiti simpulkan bahwa landasan

epistemologis manajemen menurut Qur‟an dan Hadits dibagi menjadi dua, yakni landasan pokok dan landasan operasional:

1. Landasan pokok manajemen pendidikan Islam:

a. Al-Qur‟an, merupakan perbendaharaan yang besar untuk kebudayaan

manusia, terutama bidang manajemen pendidikan. Ia pada umumnya

adalah kitab pendidikan masyarakat, moril dan spiritual.

b. Al-Sunnah, yaitu perkataan, perbuatan, pengakuan dan himmah

Rasulullah. Sunnah menjadi sumber utama dalam kehidupan sehari-hari,

termasuk juga dalam manajemen pendidikan.

c. Ijtihad, dalam manajemen pendidikan Islam ijtihad tetap bersumber dari

al-Qur‟an dan Sunnah yang diolah oleh akal sehat dari para ahli

manajemen pendidikan Islam. Ijtihad tersebut haruslah berkaitan dengan

kepentingan-kepentingan pendidikan, kebutuhan dan tuntutan-tuntutan

hidup disuatu tempat pada kondisi dan situasi tertentu.

2. Landasa opersional manajemen pendidikan Islam:

a. Historis, yaitu landasan yang memberikan persiapan kepada pelaku

manajemen dengan hasil-hasil pengalaman masa lalu, undang-undang dan

peraturannya, batas-batas dan kekurangannya.

46

(27)

100

b. Hukum atau yuridis, peraturan baku sebagai tempat terpijak atau titik tolak

dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu, dalam hal ini kegiatan

pendidikan.

c. Sosial, yaitu landasan yang memberikan kerangka budaya dimana

manajemen pendidikan itu berkembang, seperti memindahkan, memilih

dan mengembangkan kebudayaan.

d. Ekonomi, yaitu landasan yang memberikan perspektif tentang

potensi-potensi finansial, menggali dan mengatur sumber-sumber serta

bertanggung jawab terhadap rencana dan anggaran pembelanjaannya.

e. Psikologis, yaitu landasan yang memberikan informasi tentang bakat,

minat, watak, karakter, motivasi dan inovasi, pemimpin, pendidik, peserta

didik, tenaga administrasi, serta sumber daya manusia yang lain.

f. Filosofis, landasan yang memberi kemampuan memilih yang terbaik

memberi arah suatu sistem, mengontrol dan memberi arah kepada semua

dasar-dasar operasional lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah., M. Amin, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif, Adib Abdushomad (ed.).Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006).

Al-Kaff, Abdullah Zakky. Ekonomi Dalam Prespektif Islam. Jakarta: CV. Pustaka Setia, 2002.

Al-Mahalliy, Imam Jalaluddin dan As-Suyuthi, Imam Jalaluddin. Terjemah Tafsir Jalalain Berikut Asbaabun Nuzul Ayat. Bandung: CV. Sinar Baru Algesindo, 2000.

Al-Maraghi, Ahmad Mustafa. Terjemah Tafsir Al-Maraghi. Semarang: CV Toha Putra, 1992. Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam. Membangun Intelektual Muslim yang Tangguh. Purwokerto: UMP, 2009.

Al-Nabrawi., Khadijah, Mausu„ah Huquq al-Insan fi Islam. Mesir: Dar al-Salam, 2006.

(28)

101

Dapartemen Agama Republik Indonesia. Al-Qur‟an Dan Tafsirnya. Jakarta: Depag. 2009.

Daradjat., Zakiah. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta:Bumi Aksara, 2006.

Istadi., Irawati, Agar Hadiah dan Hukuman Efektif. Jakarta : Pustaka, 2005.

Jurnal Didaktika Religia Volume 3, No. 2 Tahun 2015

Jurnal Iqra‟ Volume 08 No.01 Mei, 2014.

Jurnal Ulumuna, Volume XV Nomor 2 Desember 2011.

Kartono., Kartini, Pemimpin dan Kepemimpinan. Jakarta: Raja Gravindo Per-sada, 1998.

Langgulung, Hasan. Asas-Asas Pendidikan Islam. Jakarta: PustakaAl-husna, 1988.

Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam, Membangun Intelektual Muslim yang Tangguh. Purwokerto: UMP, 2009.

Mufron., Ali, Ilmu Pendidikan Islam. Yogyakarta: Aura Pustaka, 2013.

Munir., Abdul, Seni Mengelola Lembaga Pendidikan Islam. Ciputat: PT. Arta Karya Indonesia, 2010.

Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT Raja Grafindo, 2003.

Nawawi, Hadari. Manajemen Strategik. Yogyakarta: Gadjah Mada Pers, 2005.

Nisjar, Karhi., Winardi, Manajemen Strategik, cet. I. Bandung: Mandar Maju, 1997.

Sagala, Syaiful. Kemampuan Profesional Guru dan Tenaga Kependidikan. Bandung: Alfabeta, 2009.

Saifullah. Manajemen Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2014.

Sekretariat Negara RI. UU RI No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Bandung: Fokus Media, 2003.

Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al- Qur‟an. Jakarta: Lentera Hati, 2002.

Tilaar, HAR. Manajemen Pendidikan Nasional. Bandung: Rosdakarya, 2003.

Referensi

Dokumen terkait

Mulai dari proses penerimaan zakat, infak/sedekah yang diakui sesuai dengan nominal yang disetorkan kepada BAZNAS dari muzzaki, penyaluran zakat, infak/sedekah yang diakui ketika

IDS adalah sebuah piranti baik piranti lunak atau piranti keras yang dapat mendeteksi serangan pada sebuah network dengan melakukan analisis data yang lewat pada jaringan

Permasalahannya adalah apakah ada usaha yang dilakukan oleh masyarakat desa dan perangkat desa setempat untuk meminimalisir dampak yang ditimbulkan oleh

Menurut Bapak Riza selaku Kepala Unit Suroboyo bus menyatakan bahwa sumber daya manusia yang ada untuk mengelolah program ini sudah baik, untuk bagian operasonal

• Kurikulum dan ruang kelas ditata ulang untuk mendukung murid belajar di ruang kelas yang lebih kecil dan sesuai dengan kecepatan belajar mereka masing masing, serta memastikan

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian pada pengembangan ini adalah berupa sistem pencarian informasi buku berbasis web menggunakan Moving Contracting Window

7) Penerimaan merupakan hasil produksi dikali dengan harga jual, dinyatakan dalam satuan rupiah. 8) Keuntungan adalah selisih antara penerimaan total dan biaya total

Di dalam suatu ekosistem, setiap komponen biotik memiliki cara hidup berbeda dengan komponen biotik yang lainnya sehingga interaksi yang terjadi dapat menghasilkan berbagai