• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kepribadian Radikal dan Kelompok Radikal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kepribadian Radikal dan Kelompok Radikal"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Kepribadian radikal dan kelompok radikal

1

Oleh: D.P. Budi Susetyo

Pendahuluan

Pemahaman tentang radikalisme yang berkembang sekarang ini nampaknya lebih pada sikap reaktif pada radikalisme destruktif, yang secara fenomenal tergambarkan dalam kengerian aksi pengemboman Word Trade Centre di New York Amerika Serikat 11 September 2001 lalu dan yang masih hangat-hangatnya adalah pengeboman di pantai Kuta Bali 12 Oktober 2002 yang tidak kalah dasyatnya.

Sebagai fenomena perilaku, radikalisme nampaknya tidak selalu bersifat destruktif sebagaimana tergambarkan dalam aksi Imam Samudra dan kawan-kawannya. R.A. Kartini barangkali dianggap gadis pembangkang pada jamannya, ketika ia memiliki pemikiran yang terlalu maju (radikal) untuk jamannya karena keinginannya untuk membebaskan para gadis dari pingitan, keterbelakangan pendidikan, poligami. Walaupun pada akhirnya ia kalah oleh jaman, namun di kemudian hari pemikiran-pemikirannya memberi inspirasi dan semangat bagi upaya memperjuangkan persamaan hak kaum wanita. Demikian pula ilmuwan Coppernicus (1473-1543) dianggap melakukan bida’ah karena kebenaran yang ia temukan (matahari sebagai pusat tatasurya) bertentangan dengan keyakinan agama Katolik pada waktu itu yang meyakini bumi sebagai pusat tatasurya. Di India ada Mahatma Gandhi yang memperjuangkan kemerdekaan dengan cara-cara anti kekerasan. Sementara para pejuang kemerdekaan Indonesia selalu mendapat ‘cap’ sebagai kelompok ekstremis dari pemerintahan kolonial Belanda karena kenekatan dan keberaniannya dalam berjuang melaawan kolonialisme. Sekelompok orang yang memperjuangkan demokrasi di era pemerintahan yang fasis dapatlah dianggap sebagai kelompok radikal yang mengancam kelangsungan pemerintahan. Demikian pula, di kalangan generasi muda cenderung memiliki pemikiran yang radikal (anti kemapanan) yang sering membuat tidak nyaman generasi pendahulunya. Apa yang dilakukan Greenpeace adalah bagian dari radikalisme bidang lingkungan yang mendapat banyak dukungan. Jika digali lagi maka radikalisme dapat ditemukan dalam banyak sisi kehidupan.

Demikianlah sekedar ilustrasi untuk menunjukkan bahwa radikalisme ketika dipahami dalam konteksnya tidak selalu berkonotasi destruktif, konyol, nekat, asal beda, asal aneh, karena semuanya tergantung pada gagasan yang melatarbelakangi dan tindakan yang dilakukan. Dalam radikalisme yang positif maupun destruktif sama-sama menghendaki perubahan yang total dari keadaan sekarang.

Normal dan Abnormal

Dalam terminologi psikologi maka radikalisme nampaknya cukup relevan dipahami dalam konteks perilaku normal dan abnormal. Secara statistik normalitas perilaku ditentukan oleh banyak sedikitnya orang yang memiliki gagasan ataupun melakukan suatu perilaku tertentu. Ketika suatu perilaku dilakukan oleh sebagian besar / kebanyakan orang atau ketika suatu gagasan juga dimiliki oleh kebanyakan orang, maka dapatlah dikategorikan normal. Namun ketika hanya ada sedikit orang berperilaku atau

1Disampaikan dalam Diskusi Akhir Tahun – Panel Forum Unika Soegijapranata, Semarang 20

(2)

memiliki gagasan tertentu, maka inilah yang disebut sebagai abnormal ataupun radikal. Dalam konteks yang demikian, maka labeling tentang gagasan dan perilaku radikal kiranya dapat kita kenakan pada R.A. Kartini yang ingin memperbaiki keadaan kaum perempuan di jaman feodal, pada sedikit pejabat di Indonesia yang berani melawan arus dengan tidak korupsi, pada sedikit penegak hukum yang kebal suap, para penemu dan penggagas besar. Di kalangan rakyat, radikalisme bisa dijumpai pada diri Yuyu Yusanah seorang wanita petani biasa dari desa Cipendeuy Kecamatan Bantarujeg Kabupaten Majalengka - Jawa Barat. Pada tahun 1987, ia memulai kerja besarnya yang mungkin dianggap ‘gila’ oleh orang-orang disekitarnya karena kenekatannya membuat terowongan air menembus bukit seorang diri, hanya beralatkan linggis, pahat batu dan palu, sehingga desanya bisa mendapatkan air yang cukup untuk bertani dari sungai Cipicung. Karena ide dan tindakannya tersebut ia bahkan mendapat penghargaan Kalpataru dari pemerintah dan selalu dikenang dalam berbagai kesempatan.

Namun apakah gagasan, perilaku radikal tersebut bermakna negatif ataukah positif nampaknya terkait dengan akibat yang ditimbulkannya. Pakar Psikologi Sosial Sarlito Wirawan Sarwono (dalam Kompas, 25 September 2001) misalnya, menengarai keberhasilan pengeboman World Trade Centre yang mengejutkan dunia tersebut selain didukung oleh tekad yang kuat, keberanian, kecerdasan, namun yang paling utama dari keberhasilan tersebut sebenarnya adalah kreativitas. Demikianlah selalu ada gagasan, temuan, perilaku kreatif dibalik radikalisme yang akan membawa perubahan yang mengejutkan. Dalam kreativitas selalu terkandung gagasan-gagasan baru, alternatif, orisinilitas, berpikir divergen. Namun ketika digunakan untuk tujuan agresi jadinya bersifat kontra produktif. Di sisi lain radikalisme juga terbukti telah memberikan banyak manfaat bagi kesejahteraan peradaban manusia.

Alfred Bernard Nobel (1835-1896) tentunya berharap bahwa mesiu dan dinamit temuannya akan memudahkan pekerjaan manusia antara lain pada waktu itu untuk membuka tanah, namun ketika kemudian dipakai untuk kepentingan militer justru telah membawa tragedi kemanusiaan karena digunakan sebagai penghancur manusia dalam perang. Ia bahkan merasa perlu menebus rasa bersalahnya dengan menghibahkan hadiah Nobel untuk perdamaian. Tenaga nuklir tentunya lebih bermanfaat ketika dimanfaatkan lebih dari sekedar bom atom. Temuan-temuan dalam teknologi transportasi, ruang angkasa, komunikasi nyata-nyata banyak memberikan kemudahan dan memajukan peradaban.

Namun radikalisme yang telah dipertontonkan Imam Samudra dan kelompoknya, pelaku pengeboman World Trade Centre, Timmothy McVeigh yang mengebom gedung federal Oklahoma di Amerika, aksi bom bunuh diri separatis Tamil di Srilangka dan masih banyak lagi, sungguh merupakan radikalisme yang menyebarkan teror, ketakutan, kebengisan, melukai perasaan kemanusiaan secara global dan harus dihentikan. Bahkan radikalisme agama yang marak, yang dilakukan atas nama Tuhan, kesucian, jihad, sacred

violence (kekerasan mengatasnamakan kesucian), membuat pelakunya tampil sebagai

pembunuh berdarah dingin dan tidak merasa bersalah / menyesali tindakannya yang biadab.

(3)

makin marak tiga tahun belakangan ini. Radikalisme yang destruktif nampaknya telah menjadi kerikil dalam sepatu yang menyakitkan, semakin melukai, semakin merongrong, sehingga harus segera dihentikan.

Pada dasarnya tidak ada asap kalau tidak ada api. Demikian pula dengan radikalisme destruktif yang marak di Indonesia khususnya maupun secara global, tentunya tidak muncul begitu saja ke muka bumi. Ada prakondisi, antecedent yang menjadi pemicu. Bahkan radikalisme dapat dikatakan sebagai anak salah asuh. Karena konsekuensinya yang merugikan maka penanganannya dirasa mendesak. Namun tentunya kita semua perlu memahami secara proposional mengapa mengapa radikalisme destruktif begitu marak berkembang di Indonesia ? Siapa yang patut dipersalahkan (dimintai pertanggungjawaban) dalam persoalan ini ? Demikianlah dalam kesempatan yang baik ini penulis mencoba menyampaikan sumbangan pemikiran untuk melengkapi pemahaman tentang radikalisme dari sisi psikologi dimana sebagai fenomena perilaku, radikalisme dapat dipengaruhi oleh faktor kepribadian dan faktor lingkungan sosial (kelompok).

Pesona Radikalisme

Misteri tentang siapa dalang / pelaku dibalik setiap peristiwa teror selalu menarik perhatian, karena memancing rasa ingin tahu orang banyak tentang siapa figur dan apa motifnya. Pemberitaan media massa yang intensif seputar pengungkapan tragedi Bali, memunculkan Imam Samudra maupun Amrozi sebagai icon publik yang justru menjadi buah bibir. Artinya selain ada reaksi menghujat, sisi petualangan, keberanian, kenekatan, ketenangan, kepercayaan diri dan kecerdasan yang ditunjukkan tidak jarang bisa memunculkan kesan heroik, kharismatik yang menempatkan mereka sebagai public

figure yang mempesona. Ambang benci dan kekaguman bisa jadi bias dan tidak menutup

kemungkinan figur-figur seperti Imam Samudra, Amrozi, menjadi idola bagi kalangan tertentu sesuai dengan konteks jamannya. Demikian pula tokoh-tokoh dibalik radikalisme pada umumnya adalah pribadi yang memiliki pesona dan berkharisma. Apalagi krisis ekonomi, dekadensi moral, hilangnya makna hidup karena orientasi materialisme antara lain sering menjadi isu yang memiliki daya magnit kuat bagi para kaum yang mendambakan figur untuk berlabuh. Mereka inilah yang seringkali mudah terjebak dalam arus radikalisme yang dangkal.

Kepribadian radikal

(4)

Dalam persoalan radikalisme Islam, Ketua PP Muhamadiyah Ahmad Syafii Maarif (dalam Majalah Tempo edisi 16 – 22 Desember) bahkan mengemukakan pandangan yang konstruktif, yaitu bahwa satu-satunya jalan terbaik agar Islam tidak kehilangan wibawa dalam percaturan dunia adalah dengan mengejar ketertinggalan dalam bidang ilmu, teknologi dan organisasi. Menurut pendapat penulis inferioritas dalam hal ekonomi sebagai hal yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Dalam situasi ekonomi global, maka keterbelakangan ekonomi bisa memperkuat perasaan inferioritas sehingga semakin menyuburkan embrio radikalisme, karena orang akan unjuk diri secara defensif dengan mengembangkan fanatisme yang berlebihan menurut identitas kelompoknya (agama, etnis dan sebagainya)

Dalam teori the authoritarian personality yang dikemukakan oleh Adorno dkk (dalam Taylor dan Moghaddam, 1994, Hogg dan Abram 1988, Leyens dkk, 1994), juga dikemukakan tentang berkembangnya kepribadian authoritarian yakni individu yang berpotensi menjadi fasistik. Menurut Adorno hal tersebut berkembang karena adanya rasa takut, rasa lemah, inferior, rasa terancam, yang kemudian direpresi dan menumbuhkan suatu perisai irasional (irrational shield) berupa belief yang melindungi diri dan menyangkal bahwa ciri-ciri tadi ada pada dirinya. Yang terjadi kemudian, untuk menutupi sifat lembeknya tadi dilakukan proyeksi dengan menyerang, memusuhi

outgroup (biasanya minoritas yang dipandang lemah) selaku kambing hitam. Sementara

diri sendiri atau kelompok sendiri tetap dianggap suci, unggul dan bermoral. Sindrom authoritarian biasanya berkembang dalam lingkungan dimana mereka tidak dapat mengekspresikan perbedaan pendapat, sementara pihak otoritas sebagai pihak yang selalu benar karena hanya satu nilai yang diberlakukan.

Dalam beberapa penelitian, sebagaimana dikemukakan dalam Lindgren (1973), ditengarai bahwa kepribadian authoritarian banyak ditemukan pada mereka yang berpendidikan rendah, memiliki kemampuan intelektual yang rendah. Sementara jika dilihat dari klas sosial maka kepribadian authoritarian lebih kuat ditemukan pada kelas sosial rendah dibandingkan kelas sosial menengah dan atas.

Nampaknya juga cukup relevan untuk mengacu pada teori open-closed mind

yang dikemukakan oleh Rokeach, yang menjelaskan bahwa kepribadian radikal dapat disamakan dengan kepribadian dogmatis (closed mind), dimana orang / kelompok ini sulit menerima gagasan baru yang tidak sesuai dengan yang sudah dianut, diyakini selama ini.

(5)

(agama sempalan) People Temple Jim Jones yang paranoid, halusinatif, sehingga ketika ia menjadi patron bagi komunitasnya bisa mempengaruhi pengikutnya dengan gagasan-gagasan yang regresif, radikal, termasuk ajakan untuk melakukan bunuh diri massal di tahun 1978. Sekte ini ditengarai mulai berkembang di Amerika Serikat di tahun enampuluhan dengan pengikut kebanyakan orang-orang frustrasi, putus asa. Kemudian sekte ini berpindah ke Guyana Amerika Selatan, membangun komunitas pertanian yang tertutup. Sisi penampilan Jim Jones yang kharismatik, hangat, bersahabat dan ramah, mampu menjadi figur pelindung yang mempesona pengikutnya. Namun demikian ia ternyata menyimpan kompleks kejiwaan yang patologis (dalam Hoog dan Abram, 1988, Majalah Tempo, 8 Juli 1993 )

Deindividuasi

Tertangkapnya Imam Samudra memunculkan sisi-sisi menarik. Menurut orang-orang yang mengenalnya Imam Samudra termasuk pribadi yang normal-normal saja, tidak ada disposisi untuk berperilaku sebagai teroris. Bahkan dari surat yang ditujukan kepada istrinya, ia adalah suami yang romantis. Ditulisnya dalam surat itu:

“Ingatlah bahwa kehidupan ini teramat panjang dan meletihkan dan amat bersyukur memilikimu sayang. I love you. I love you …………”.

Demikianlah sosok Imam Samudra adalah pribadi yang penuh kontradiksi. Memang dalam diri setiap individu yang memposisikan diri seperti Imam Samudra yaitu menjadi pengikut fanatik suatu kelompok tertentu (bisa kelompok agama, politik atau yang lainnya), selalu melekat kepribadian individual dan kepribadian kelompok yang mempengaruhi perilakunya. Penampilan Imam Samudra yang sangat berani, dingin, tidak merasa bersalah, percaya diri, sangat yakin bahwa tindakannya ini merupakan tindakan jihad, suci, merupakan bentuk deindividuasi. Menurut pendapat penulis, apa yang menjadi dasar perilaku radikal dari Imam Samudra lebih karena pengaruh kelompok bukan karena pengaruh kepribadian patologis.

Mengacu pada pendapat Diener (dalam Hogg dan Abram, 1988) maka deindividuasi adalah keadaan menurun atau menghilangnya kesadaran pribadi (self

awareness) yang terjadi dalam situasi kelompok yang mendukung terjadinya anonimitas

dan berkurangnya perhatian pada patokan berperilaku yang bersifat individual. Selanjutnya menurut Zimbardo, kesadaran diri yang menurun ini ditandai dengan melemahnya kontrol diri yang berkaitan dengan rasa malu, rasa bersalah, rasa takut, komitmen individual. Munculnya deindividuasi antara lain terkait dengan:

1) Jumlah kelompok, yaitu ketika seseorang berada dalam kelompok massa yang jumlahnya ratusan ataupun ribuan orang.

2) Anonimitas, suatu keadaan dimana identitas pribadi seseorang tidak dikenali. Anonimitas bisa dilakukan dengan sengaja misalnya dengan menggunakan nama samaran, nama alias, memalsukan identitas. Juga bisa tersembunyi dalam pakaian seragam atau ketika seseorang berada di daerah dimana tidak banyak/tidak ada orang yang mengenalnya sebagai pribadi.

(6)

Deindividuasi juga terjadi karena pengaruh hipnotis pemimpin yang karismatik. Sebagaimana dikemukakan oleh Sigmund Freud, pemimpin yang karismatik akan mengambil alih superego individu anggota kelompok. Dengan demikian perilaku individu anggota kelompok akan dikendalikan menurut standar pemimpinnya. Bahkan deindividuasi seringkali dipicu oleh gejala collective regression, yaitu ketika secara bertahap anggota kelompok juga menginternalisasikan kompleks ketidaksadaran yang patologis sang pemimpin yang terbentuk pada masa kecil/ remaja. Misalnya, gejala paranoid, delusi, ketakutan bahwa dunia sebagai tempat yang berbahaya, gagasas obsesif yaitu dalam bentuk gagasan bunuh diri masal sebagai cara untuk melarikan diri dari kekuatan musuh dan bencana alam global yang ada dalam diri Jim Jones secara bertahap diinternalisasikan kepada anggota sekte People Temple dengan cara-cara intimidatif, ancaman, hukuman, brainwashing sehingga menciptakan collective madness

(radikalisme destruktif yang sifatnya kolektif). Hal yang sama kiranya juga terjadi pada gerakan-gerakan radikal seperti yang dilakukan Imam Samudra dan kawan-kawan, dimana secara langsung maupun tidak langsung kelompok-kelompok seperti ini pasti tidak lepas dari pengaruh indoktrinasi, intimidasi dari sang pemimpin yang mereka kagumi.

Menabur angin menuai badai

Radikalisme ditengarai tumbuh subur di kalangan kelompok minoritas, kelompok marjinal, kelompok pemberontak, pembangkang, bangsa yang terjajah, kelompok Islam yang selalu dipojokkan Amerika Serikat, GAM di Aceh yang merepotkan Indonesia, Palestina yang selalu diteror Israel dan sebagainya. Hal ini mengindikasikan bahwa merebaknya radikalisme yang destruktif, tidak bisa semata-mata dipersalahkan dari sisi pelaku. Hal ini karena dalam interaksi antarkelompok berlangsung secara resiprokal, ada aksi maka ada reaksi, ibarat menabur angin menuai badai. Gaya kepemimpinan Presiden Amerika Serikat, misalnya ditengarai mempengaruhi pasang surutnya radikalisme. Dapat saja dikatakan radikalisme adalah anak salah asuh karena sikap penguasa yang kurang adil, sewenang-wenang, represif.

Tajfel (1982) menjelaskan bahwa dalam relasi antarkelompok, antarpihak, selalu mengacu pada terjadinya recognition (pengakuan) dan social equality (kesetaraan sosial). Namun tidak jarang terjadi suatu proses yang disebut perceived illegatimacy yaitu ketika suatu kelompok merasa dicurangi, diperlakukan tidak adil, sewenang-wenang oleh kelompok lain. Hal ini dapat terjadi dalam hubungan antara pihak penguasa dan rakyat, kelompok mayoritas – mayoritas, dalam hubungan antaragama, hubungan antarnegara dan lain sebagainya. Pada dasarnya selalu terjadi social comparison dalam setiap hubungan antarkelompok, dimana antarkelompok saling menilai tentang status, kekuatan, dominasi satu kelompok dibanding ataupun terhadap kelompok lain, yang pada akhirnya menjadi pertimbangan utama yang menentukan bentuk relasi. Ketika dalam relasi tersebut dipersepsikan terjadi perbandingan yang tidak seimbang (insecure

comparison) maka persepsi tentang terjadinya relasi yang penuh kecurangan,

(7)

sebutan kafir untuk kelompok agama lain. Keadaan inilah yang memicu perilaku/tindakan radikal, karena menempatkan outgroup sebagai musuh yang harus dihancurkan atas nama keyakinan ingroup yang selalu benar.

Penutup

Dari paparan di atas dapat dipahami bahwa radikalisme sebagai fenomena perilaku bisa memberi manfaat positif bagi kesejahteraan manusia dan kemajuan peradaban karena kontribusi dari temuan, gagasan yang inovatif dan kreatif. Nampaknya setiap jaman akan lahir sang inovator, pendobrak, pelopornya masing-masing. Namun sisi destruktif dari radikalisme memberikan konsekuensi yang memprihatinkan, sehingga mendesak untuk dicarikan solusi. Untuk mengeliminir berkembangnya radikalisme destruktif yang sempit, maka kunci penyelesaiannya sebenarnya adalah: sejahterakan kehidupan rakyat, berantas kebodohan, hindari tindakan ataupun kebijakan represif, diskriminatif yang menempatkan suatu kelompok menjadi semakin terpinggirkan. Jika hal tersebut diabaikan, maka karakter masyarakat menjadi rentan, fragile, sehingga mudah terprovokasi pada ajakan, hasutan radikal yang kontra produktif.

Daftar Pustaka

Hogg, M.A. & Abram, D.(1988). Social identification: A social psychology of intergroup

relation and group processes. London: Routledge.

Lindgren, H.C.(1973). An Introduction To Social Psychology. New Delhi: Wiley Eastern Limited

Leyens, J.P., Yzerbyt, V & Schadron, G.(1994). Stereotype and social cognition. London: Sage Publications Ltd.

Sarwono, S.W.(1999).Psikologi Sosial: Individu dan Teori-Teori Psikologi Sosial.

Jakarta: Balai Pustaka

Kompas. Koran Harian. 25 September 2001.Keunggulan Kreativitas atas Kecerdasan. Tempo.Majalah Mingguan.Edisi 8 Juli 1993

Tempo. Majalah Mingguan. Edisi 16 – 22 Desember 2002

Tajfel, H.(1982). Social identity and intergroup relations. London: Cambridge University Press.

Referensi

Dokumen terkait

Sebagaimana dikemukakan oleh Kunandar (2007) bahwa dalam.. menjalankan tugasnya seorang guru setidaknya harus memiliki kemampuan dan sikap sebagai berikut: pertama,

• Wilayah Kota Sorong, Kabupaten Sorong, dan Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat merupakan wilayah rawan gempa bumi dan tsunami, karena terletak dekat dengan sumber

Perancangan media promosi ini memiliki tujuan utama, yaitu untuk memperkenalkan pada target market tentang salah satu daya tarik Artotel yaitu Triwulan

Pada waktu hari mu- lai malam, datanglah kedua belas murid kepada Yesus dan berkata, “Suruhlah orang banyak itu pergi, supaya mereka pergi ke desa dan kampung-kampung

Nilai pemakaian kelompok A indeks kritis lebih tinggi (83.1%) bila diband- ingkan dengan kelompok A analisis ABC (79.1%) karena jumlah jenis bahan baku untuk memenuhi persediaan

Todd Johnson, seorang manajer proyek senior di FASB yang menyatakan bahwa dewan memerlukan penggunaan yang lebih besar dari pengukuran fair value dalam laporan

ekspansi secara maksimal dengan penggunaan Dasilitas produksi yang terintegrasi dari bagian spinning dan dyeing secara bersama/sama dengan teknologi produksi unggul

Pemanfaatan hasil evaluasi pembelajaran dalam pengembangan program pembelajaran dilakukan oleh guru TK Al-Mubaarok yaitu terlihat dari pemanfaatannya untuk