3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Bagaimana rasanya memakai sepatu yang tidak sesuai dengan ukuran kaki?
Tentu tidak nyaman dan akan menimbulkan luka di tumit. Hal itulah yang dirasakan
ketika agama Kristen memaksakan sepatu agama yang kecil untuk kekayaan budaya
dan kepelbagian agama yang besar dalam dunia ini. Akhirnya kekayaan budaya dan
agama-agama merasa tidak nyaman dan terluka karena dipaksa masuk dalam
pemikiran kekristenan yang sempit. Kenyataan ini terjadi ketika agama Kristen
berkembang di Asia. Kekristenan yang beraroma Barat mengalahkan semua
keberagaman aroma Asia. Kekristenan mengisolasi semua kebudayaan dan agama
lain di dalam tas punggungnya, sehingga terkesanlah kekristenan arogan. Pewartaan
Injil di Asia berhadapan langsung dengan kepelbagaian agama dan kemiskinan. Dua
situasi inilah yang mustinya mempengaruhi cara kekristenan di Asia meng-ada.
Kekristenan tidak bisa mengisolasi semuanya dalam tas punggungnya, seolah-olah
tidak peduli terhadapnya. Konteks itu harus dihadapi dengan baik dan tepat agar tidak
terjadi pemaksaan.
Kearoganan kekirstenan salah satunya memonopoli pengertian Mesias. Mesias
digenggam erat sehingga konsep Mesias dan sosok Mesias hanya miliki kekristenan.
Padahal, konsep mesias sebenarnya telah ada dan berkembang dalam konteks Asia.
4
terhadap penjajahan Belanda.1 Keadaan sulit dan menderita yang diciptakan oleh
penjajahan Belanda menghasilkan pengharapan untuk mencapai kemerdekaan demi
hidup yang lebih baik. Konsep mesianis menjadi tenaga untuk melakukan gerakan
perlawanan melawan tirani penjajah. Konsep mesianis itu diaplikasikan bagi beberapa
tokoh karismatik yang dianggap mampu menjadi pemimpin perubahan dan
kemerdekaan, sebut saja Pangeran Diponegoro. Sedangkan gerakan yang
menggunakan konsep mesianis adalah gerakan Ratu Adil, gerakan Samin di Jawa,
gerakan njuli di Kalimatan, dan gerakan mejapi di Minahasa. Seluruh gerakan ini
mempunyai tujuan yang sama yaitu membawa pembebasan dan kelepasan dari situasi
terjajah bagi orang-orang yang terlibat di dalamnya. Bahkan dikatakan mejapi di
Minahasa terinspirasi dari gerakan Yesus sebagai penyelamat.2
Mesias sendiri berarti ‘yang diurapi’. Kenapa harus diurapi? Sebab seseorang
yang diurapi akan melakukan tugas yang spesifik. Dan praktik pengurapan ini adalah
pratik yang biasa dilakukan di Israel. Nabi, imam, dan raja selalu identik dengan
pengurapan. Christopher Wright mengatakan bahwa seseorang yang diurapi adalah
pilihan Allah.3 Allah sendiri yang memilih dan memperlengkapi orang tersebut dalam
melakukan tugasnya. Seseorang yang diurapi dilindungi dan diberikan kuasa-Nya
untuk bertindak atas nama Allah.
Mesias sendiri pengalami perkembangan makna. Mesias pada awalnya berarti
raja yang memerintah di Israel dan merupakan keturunan Daud. Mesias berkembang
menjadi Raja Keselamatan yang datang menyelamatkan serta membawa Israel kepada
1Justus M. van der Kroef, “The Messiah in Indonesia and Melanesia,” The Scientific Monthly, Vol. 75, No. 3 (September 1952): 161.
2Kroef, “The Messiah in Indonesia,” 162. 3
5
zaman baru yang lebih baik.4 Pengharapan Israel itu tumbuh karena kekecewaan
terhadap raja-raja yang memerintah dan peristiwa terbuangnya Israel dari tanahnya.
Pengharapan Mesias Israel adalah seorang raja yang penuh dengan keadilan, yang
akan membawa kemenangan kepada musuh-musuh Israel, bahkan menjadi imam
sekaligus nabi. Konsep Mesias tersebut tidak lepas dari kerinduan Israel atas sosok
raja Daud, yang bagi mereka adalah raja yang ideal.
Keadaan Israel pada masa pembuangan ternyata terulang lagi pada masa
pemerintahan romawi. Penderitaan dan perasaan tertekan menggiring orang Yahudi
pada pengharapan datangnya Mesias. Kedatangan Yesus dengan segala kuasa Allah
menumbuhkan pengharapan bahwa Yesus adalah Mesias yang selama ini dinantikan.
Orang Yahudi berharap bahwa Yesus sebagai Yang Diurapi akan menyelamatkan
mereka dan mengembalikan kejayaan Israel dengan mengalahkan Kerajaan Roma.
Yesus sendiri menolak untuk menjadikan dirinya Mesias. Yesus tidak
menuruti Mesias berdasarkan pandangan Yahudi. Yesus menjadi Mesias yang
menyelamatkan dan membawa orang pada Kerajaan Allah, bukan Kerajaan Israel.
Yesus memilih tidak menjadi Mesias yang penuh dengan kekerasan, tapi lebih kepada
nirkekerasan. Yesus tampil dengan penuh kesederhanaan, menghindari terjadi konflik,
dan menerima dengan taat penderitaan salib. Konsep Mesias Yesus ini jelas ditolak
oleh umat Yahudi serta para pemimpin keagamaannya.
Konsep nirkekerasan Yesus itu menjadi jalan yang dipilih untuk melawan
kekerasan Romawi bersama dengan kekerasan para ahli taurat. Yesus tidak
menghindari kekerasan namun justru menghadapinya, dan akhirnya menang terhadap
4
6
kekerasan itu. John R.W. Stott berpendapat bahwa kekerasan yang tidak dibalas
dengan kekerasan justru dapat mengurangi kekerasan dalam dunia, dan kekerasan
yang dibalas dengan kekerasan justru akan menambah kekerasan dalam dunia. Itu
terlihat jelas dalam salib, di mana ketaatan Yesus sampai mati membawa keselamatan
bagi banyak orang.5 Walaupun tidak mengurangi kejahatan dalam dunia, namun sikap
Yesus mengajak setiap pengikut-Nya untuk menempuh jalan nirkekerasan.
Jalan nirkekerasan selalu mendapat tantangan dari sebuah bentuk kekerasan
yang terjadi secara komunal. Kekerasan secara komunal meruntuhkan kepercayaan
bahwa jalan nirkekerasan dapat diterima sebagai suatu jalan hidup. Salah satu contoh
kekerasan yang terjadi secara komunal dan menggoreskan kenangan yang mengerikan
adalah konflik etnis antara Dayak dan Madura. Mengapa hal ini terjadi? Dove
berpendapat ini adalah ulah regim Orde Baru yang bekerja sama dengan para pemilik
modal yang akan membuka lahan perkebunan kebun sawit. Kebanyakan lahan itu
berada di wilayah konflik. Dove menyimpulkan bahwa konflik etnis antara Dayak dan
Madura itu bersifat politis.6 Dayak dikatakan sebagai suku yang anti negara karena
menimbulkan konflik besar, apalagi berkonflik dengan sesama etnis Indonesia.
Namun kesimpulan berbeda disampaikan oleh IDRD (Institute for Dayakologi
Research and Development). Menurut IDRD konflik etnis yang terjadi adalah persoalan adat. Kesimpulan IDRD ini sulit diterima oleh berbagai pihak. Kesimpulan
IDRD membuat Dayak tidak dipersalahkan dan melihat bahwa Dayak adalah korban.
5
John R. W. Stott, The Cross of Christ (England: Inter-Vasity Press, 1986), 301.
7
Secara adat, Dayak merasa ‘diserang’, sehingga akhirnya Dayak menggunakan adat
mereka untuk melawan Madura.
Konflik ini akhirnya memunculkan dua gambaran Dayak. IDRD menyebutnya
sebagai gambaran tradisional dan gambaran modern. Gambaran tradisional adalah
gambaran Dayak sebagai kumpulan yang menjadi satu, selalu bergerak/bersatu karena
kesadaran kolektif. Gambaran modern adalah gambaran Dayak sebagai etnis barbar
yang menggunakan kekerasan. Hal ini didukung dengan prajurit-prajurit Dayak yang
bertindak kanibal karena kerasukan roh. Dove menjelaskan tentang pandangan
terhadap konflik etnis ini dengan menggunakan pendekatan “ethnographic refusal”.
Pendekatan itu melihat bahwa kekerasan yang terjadi dalam konflik itu adalah hasil
bagaimana Dayak memahami kediriannya di tengah kehidupan modern yang
dihadapinya. Sehingga kegamangan itu berakhir pada sikap kembali pada adat
mereka. Ini dikarenakan tindakan yang dilakukan saat itu mirip dengan kegiatan adat
mereka di masa lampau yaitu pencarian kepala.7
Masyarakat Dayak di daerah Ketapang – Kalimantan Barat disebut sebagai
Dayak Pesaguan. Masyarakat Dayak Pesaguan tinggal di sekitar sungai Pesaguan.
Berdasarkan pengakuan masyarakat Dayak Pesaguan, mereka memiliki pandangan
untuk hidup berdamai ataupun hidup dengan cara nirkekerasan. Hal itu terlihat dalam
praktik hukum adat ataupun falsafah hidup masyarakat Dayak Pesaguan. Ketika dua
pihak berkonflik, maka hukum adat pun dapat juga dijalankan. Ketika proses itu
berjalan, kedua pihak itu tidak boleh bertemu secara langsung namun diwakilkan oleh
orang lain. Hal ini dipercaya untuk menghindari konflik yang lebih meruncing lagi
dari kedua belah pihak. Interaksi dilakukan melalui wakil dari masing-masing pihak.
8
Wakil masing-masing pihak itu disebut Suruhan. Suruhan menjadi sosok yang akan
menjadi penghubung antara kedua pihak yang berkonflik. Suruhan akan
menyampaikan maksud atau keinginan salah satu pihak yang berkonflik kepada pihak
lainnya. Suruhan menjadi sosok yang berperan penting dalam rekonsiliasi kedua
pihak yang berkonflik. Sosok Suruhan dalam orang Dayak Pesaguan merupakan
konsep untuk melakoni hidup nirkekerasan. Sosok Mesias itu ternyata juga ada dalam
perspektif orang Dayak Pesaguan. Sosok Suruhan dapat dipakai dalam menjelaskan
konsep Mesianis nirkekerasan dalam perspektif orang Dayak Pesaguan.
Berdasarkan deskripsi di atas maka penulis merumuskan judul tesis ini adalah
Suruhan :
Sosok Mesianis Nirkekerasan dalam Perspektif Orang Dayak Pesaguan
di Dusun Pengancing
1.2. Perumusan Masalah
Tulisan ini akan berisi tentang penjelasan tentang makna Suruhan bagi orang
Dayak Pesaguan di Dusun Pengancing. Sosok Suruhan itu juga akan dijelaskan bahwa
Suruhan adalah sosok Mesias nirkekerasan di Dusun Pengancing. Suruhan adalah konsep yang dipakai untuk memahami mesias nirkekerasan bagi orang Dayak
Pesaguan di Dusun Pengancing.
1.3. Pembatasan Masalah
Penulis menyadari bahwa masyarakat Dayak Pesaguan tersebar di berbagai
daerah Kabupaten Ketapang. Oleh karenanya, penulis hanya membatasi masyarakat
Dayak Pesaguan di Dusun Pengancing. Dusun Pengancing adalah salah satu dusun di
9
Pengancing juga masih kuat menjalankan adat istiadat Dayak Pesaguan. Pembahasan
konsep mesias hanya akan dilakukan pada Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.
Ketika membahas konsep mesias dalam Perjanjian Baru hanya akan membahas
konsep mesias dalam Injil Sinoptik. Injil Sinoptik dipilih karena tiga Injil tersebut
menyusun kisah Yesus berdasarkan teologi masing-masing penulis Injil.
1.4. Tujuan Penulisan
Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan mesias nirkekerasan dan
Suruhan. Tulisan ini juga menunjukkan bahwa orang Dayak Pesaguan di Dusun
Pengancing mempunyai konsep mesias nirkekerasan yaitu konsep Suruhan.
1.5. Manfaat Penulisan
Melalui penelitian ini diharapkan masyarakat Dayak Pesaguan semakin
menghayati imannya namun tidak tercabut dari akar budayanya. Mereka bisa menjadi
umat Kristen yang taat dan menjadi masyarakat adat yang luhur. Erabolarasi Mesias
yang nirkekerasan dan makna Suruhan yang nirkekerasan bisa menjadi sumbangan
tersendiri bagi orang Dayak Pesaguan untuk hidup dalam nirkekerasan.
1.6. Metode Penelitian
Penggalian pokok Mesias Nirkekerasan akan dilakukan melalui studi pustaka.
Nilai-nilai masyarakat Dayak Pesaguan ditinjau dari studi pustaka dan wawancara.
Wawancara yang dilakukan dalam menggali makna Suruhan adalah wawancara
kualitatif kepada orang Dayak Pesaguan di Dusun Pengancing dengan jumlah sekitar
10
1.7. Sistematika Penulisan
Tesis ini akan terbagi dalam lima bab. Bab pertama adalah pendahuluan.
Bagian ini akan memaparkan mengenai latar belakang permasalahan, perumusan
masalah, pembatasan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metodologi
penelitian, dan sistematika penulisan. Bab dua akan membahas Nirkekerasan Mesias.
Awal-awal bab ini akan menjelaskan mengenai konsep Mesias termasuk di dalamnya
pemahaman Mesias yang berkembang di Israel. Dan bab berlanjut menjelaskan
konsep Mesias yang nirkekerasan. Bab tiga akan menjelaskan Dayak Pesaguan yang
mencakup latar belakang dan kebudayaannya. Bab tiga juga akan memamparkan hasil
penelitian tentang konsep Suruhan dan mesias nirkekerasan. Bab empat akan
membahas bagaimana nilai nirkekerasan Mesias dan kebudayaan Dayak Pesaguan
berelaborasi dan menjadi identitas tersendiri bagi masyarakat Dayak Pesaguan di
Dusun Pengancing. Bab lima akan berisi kesimpulan umum dari keseluruhan tulisan
ini dan refleksi atas hasil elaborasi nilai nirkekerasan Mesias dan kebudayaan
masyarakat Dayak Pesaguan. Dalam bab lima ini juga akan diberikan saran dari hasil