• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Perilaku Penderita Diabetes Mellitus dalam Pemanfaatan Pos Pembinaan Terpadu (Posbindu) Lansia di Puskesmas P.B. Selayang II Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Gambaran Perilaku Penderita Diabetes Mellitus dalam Pemanfaatan Pos Pembinaan Terpadu (Posbindu) Lansia di Puskesmas P.B. Selayang II Medan"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perilaku

Perilaku manusia sangat kompleks dan mempunyai ruang lingkup yang sangat luas. Bloom (1908) dalam Notoatmodjo (2010) seorang ahli psikologi pendidikan membagi perilaku ke dalam tiga domain atau ranah/kawasan yaitu ranah kognitif (cognitive domain), ranah efektif (effective domain) dan ranah psikomotor (psychomotor domain), meskipun kawasan-kawasan tersebut tidak mempunyai batasan yang jelas dan tegas. Pembagian kawasan ini dilakukan untuk kepentingan tujuan pendidikan, yaitu mengembangkan atau meningkatkan ketiga domain perilaku tersebut yang terdiri dari :

1. Pengetahuan peserta terhadap materi pendidikan yang diberikan (knowledge). 2. Sikap atau tanggapan peserta didik terhadap materi pendidikan yang diberikan

(attitude).

3. Praktik atau tindakan yang dilakukan oleh peserta didik sehubungan dengan materi pendidikan yang diberikan (practice).

Skinner (1938) dalam Notoatmodjo (2010), seorang ahli psikologi merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Berdasarkan rumus teori Skinner tersebut maka perilaku manusia dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu :

1. Perilaku tertutup (covert behavior)

(2)

2. Perilaku terbuka (overt behavior)

Perilaku terbuka ini terjadi bila respon terhadap stimulus sudah berupa tindakan, atau praktik ini dapat diamati orang lain dari luar atau observable behavior.

Dari penjelasan di atas dapat disebutkan bahwa perilaku itu terbentuk di dalam diri seseorang dan dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu :

1. Faktor eksternal, yaitu stimulus yang merupakan faktor dari luar diri seseorang. Faktor eksternal atau stimulus adalah faktor lingkungan, baik lingkungan fisik, maupun non-fisik dalam bentuk sosial, budaya, ekonomi maupun politik. 2. Faktor internal, yaitu respon yang merupakan faktor dari dalam diri seseorang.

Faktor internal yang menentukan seseorang merespon stimulus dari luar dapat berupa perhatian, pengamatan, persepsi, motivasi, fantasi, sugesti dan sebagainya.

Dari penelitian-penelitian yang ada faktor eksternal merupakan faktor yang memiliki peran yang sangat besar dalam membentuk perilaku manusia karena dipengaruhi oleh faktor sosial dan budaya dimana seseorang itu berada (Notoatmodjo, 2007).

2.1.1. Bentuk-Bentuk Perilaku

Benyamin Bloom (1908) dalam Notoatmodjo seorang ahli psikologi pendidikan membedakan adanya tiga ranah prilaku, sebagai berikut:

a. Pengetahuan (knowledge) b. Sikap (attitude)

(3)

2.2. Pengetahuan (knowledge)

Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap objek tertentu. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior). Pengetahuan yang dicakup di dalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan, yaitu:

1. Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali terhadap suatu yang spesifik dari seluruh badan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima.

2. Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar objek yang diketahui dan dapat menginterprestasikan materi tersebut secara benar.

3. Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi yang sebenarnya.

4. Analisis (analysa)

(4)

5. Sintesis (syntesa)

Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru sari formulasi-formulasi yang ada.

6. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang ada.

Faktor - faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang antara lain : 1. Pendidikan

Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain agar mereka dapat memahami. Tidak dapat dipungkiri bahwa makin tinggi pendidikan seseorang maka makin mudah pula bagi mereka untuk menerima informasi, dan pada akhirnya makin banyak pula pengetahuan yang mereka miliki.

2. Pekerjaan

Lingkungan pekerjaan dapat menjadikan seseorang memperoleh pengalaman dan pengetahuan baik secara langsung maupaun secara tidak langsung.

3. Umur

(5)

4. Minat

Minat diartikan sebagai suatu kecendrungan atau keinginan yang tinggi terhadap sesuatu. Minat menjadikan seseorang untuk mencoba menekuni suatu hal dan pada akhirnya diperoleh pengetahuan yang lebih mendalam.

5. Informasi

Kemudahan seseorang untuk memperoleh informasi dapat membantu mempercepat seseorang untuk memperoleh pengetahuan yang baru (Wahid, 2007).

2.3. Sikap (attitude) 2.3.1. Pengertian Sikap

Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap stimulus atau objek (Notoatmodjo, 2012).

Menurut Notoatmodjo, Newcomb salah seorang ahli psikologi sosial mengatakan bahwa sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan merupakan pelaksana dari suatu motif tertentu.

Sikap mempunyai tiga komponen pokok, seperti yang dikemukakan Allport (1954) dalam Notoatmodjo (2010), yaitu :

1. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek. 2. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek. 3. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave).

Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh

(total attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, berfikir,

keyakinan dan emosi memegang peranan penting.

Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan

(6)

1. Menerima (receiving) artinya bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan objek.

2. Merespon (responding) yaitu memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dan sikap.

3. Menghargai (valuing) yaitu mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga (kecenderungan untuk bertindak).

4. Bertanggung jawab (responsible) yaitu yang bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko adalah merupakan sikap yang paling tinggi.

2.3.2. Ciri-ciri sikap adalah :

1. Sikap seseorang tidak dibawa sejak lahir, tetapi harus dipelajari selama perkembangan hidupnya.

2. Sikap itu tidak semata-mata berdiri sendiri, melainkan selalu berhubungan dengan suatu objek, pada umumnya sikap tidak berkenaan dengan suatu objek saja, melainkan juga dapat berkenaan dengan deretan-deretan objek yang serupa.

3. Sikap, pada umumnya mempunyai segi-segi motivasi dan emosi, sedangkan pada kecakapan dan pengetahuan hal ini tidak ada.

2.4. Tindakan (Practice)

(7)

fasilitas. Disamping faktor fasilitas juga diperlukan faktor dukungan (support) dari pihak lain didalam tindakan atau praktik (Notoatmodjo, 2010).

Adapun tingkatan dari tindakan antara lain: a. Persepsi

Persepsi merupakan tindakan tingkat pertama yaitu memilih dan mengenal objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil.

b. Respon terpimpin

Respon terpimpin adalah jika seseorang mampu melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar, sesuai dengan contoh yang diberikan.

c. Mekanisme

Mekanisme maksudnya bila seseorang mampu melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis sudah merupakan kebiasaan.

d. Adopsi / adaptasi

Adopsi merupakan praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik.

2.5. Model Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan

Model ini dikembangkan oleh Andersen (1968) yaitu teori pemanfaatan terhadap pelayanan kesehatan. Di dalam model ini terdapat 3 karakteristik pelayanan kesehatan yaitu :

1) Karakteristik Predisposisi

Digunakan untuk menggambarkan fakta bahwa setiap individu mempunyai suatu kecenderungan dalam menggunakan pelayanan kesehatan yang berbeda-beda. Dikelompokkan dalam 3 kelompok :

a. Ciri-ciri demografi, seperti jenis kelamin dan umur.

(8)

c. Manfaat-manfaat kesehatan, seperti keyakinan bahwa pelayanan kesehatan dapat menolong menyembuhkan suatu penyakit. Andersen juga percaya bahwa :

1) Setiap orang atau individu mempunyai karakteristik yang berbeda dan punya tipe, frekuensi penyakit, pola penggunaan pelayanan kesehatan yang juga berbeda.

2) Setiap individu mempunyai struktur sosial, gaya hidup yang juga berbeda yang pada akhirnya juga membuat pola penggunaan pelayanan kesehatan juga berbeda.

3) Setiap individu juga mempunyai kepercayaan terhadap kemanjuran pengobatan di dalam pelayanan kesehatan.

2) Karakteristik Pendukung

Karakteristik ini mencerminkan bahwa penggunaan pelayanan kesehatan tergantung pada kemampuan konsumen dalam membayar walaupun ia mempunyai predisposisi dalam menggunakan pelayanan kesehatan, ia tidak akan bertindak untuk menggunakannya kecuali ia mampu. Ketersediaan pelayanan kesehatan, jarak pelayanan kesehatan, jumlah tenaga kesehatan sebagaimana asumsi andersen bahwa semakin banyak dan dekat pelayanan kesehatan maka makin banyak yang memanfaatkan pelayanan kesehatan itu dan makin sedikit ongkos yang di keluarkan oleh masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.

3) Karakteristik Kebutuhan

(9)

kebutuhan merupakan dasar dan stimulus langsung untuk menggunakan pelayanan kesehatan, bilamana tingkat predisposisi dan enabling itu ada.

2.5.1. Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Pemanfaatan

a. Umur

Menurut Green (1991) umur adalah salah satu faktor demografi yang mempengaruhi perilaku seseorang.

b. Jenis kelamin

Sullivan & Thompson dalam Smeet (1994) menyatakan bahwa wanita lebih banyak melaporkan adanya gejala penyakit dan berkonsultasi dengan dokter dibandingkan dengan laki-laki.

c. Pendidikan

Penelitian yang dilakukan oleh Sutanto (2006) menunjukkan bahwa secara statistik ada hubungan bermakna antara pendidikan dengan pemanfaatan posbindu lansia.

d. Pekerjaan

Penelitian Lestari (2010) menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara pekerjaan dengan pemanfaatan posbindu lansia.

e. Pengetahuan

Penelitian Ariyani (2011) menunjukkan secara statistik adanya hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan pemanfaatan posbindu lansia. f. Sikap Terhadap Posbindu Lansia

(10)

g. Jarak Tempuh

Penelitian yang dilakukan oleh Ariyani (2011) menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara jarak tempuh posbindu lansia dengan pemanfaatan posbindu lansia dimana para lansia lebih cenderung 2,47 kali memanfaatkan posbindu lansia dibandingkan dengan lansia yang mempunyai jarak rumah yang jauh.

2.6. Perilaku Kesehatan

Berdasarkan batasan perilaku dari Skinner tersebut, maka perilaku kesehatan adalah suatu respons seseorang (organisme terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, dan minuman, serta lingkungan). Dari batasan ini, perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu :

a. Perilaku pemeliharaan kesehatan (Health maintanance)

Adalah perilaku atau usaha-usaha seseorang untuk memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk penyembuhan bilamana sakit. b. Perilaku pencarian dan penggunaan sistem atau fasilitas pelayanan kesehatan,

atau sering disebut perilaku pencarian pengobatan (health seeking behavior). Perilaku ini adalah menyangkut upaya atau tindakan seseorang pada saat menderita penyakit dan atau kecelakaan. Tindakan atau perilaku ini dimulai dari mengobati sendiri (self treatment) sampai mencari pengobatan ke luar negeri.

c. Perilaku kesehatan lingkungan

(11)

2.7.Lansia

2.7.1. Pengertian Lansia

Usia lanjut menurut Kamus Besar Bahasa indonesia (1995) adalah tahap masa tua dalam perkembangan individu dengan batas usia 60 tahun ke atas. Menurut Notoatmodjo (2010) usia lanjut adalah kelompok orang yang sedang mengalami suatu proses perubahan dalam jangka waktu beberapa dekade. Penuaan adalah suatu proses alami yang tidak dapat dihindari, berjalan terus menerus, dan berkesinambungan. Selanjutnya akan menyebabkan perubahan anatomis, fisiologis, dan biokimia pada tubuh sehingga akan mempengaruhi fungsi dan kemampuan tubuh secara keseluruhan (Kemenkes, 2010).

Kelompok lanjut usia adalah kelompok penduduk yang berusia 60 tahun ke atas. Penggolongan lansia menjadi lima kelompok yakni :

a. Kelompok lansia dini (45 sampai < 60 tahun), merupakan kelompok yang baru memasuki lansia / Pra lansia.

b. Kelompok lansia (60-70 tahun).

c. Kelompok lansia resiko tinggi, yaitu lansia yang berusia lebih dari 70 tahun (DepKes RI,2010).

d. Lansia Potensial

Lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan kegiatan yang dapat menghasilkan barang/jasa (Kemenkes, 2012).

e. Lansia Tidak Potensial

Lansia yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain (Kemenkes, 2012).

(12)

2. Usia lanjut (elderly) antara 60-74 tahun. 3. Usia lanjut tua (old) antara 75-90 tahun. 4. Usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun.

Menurut undang-undang No.4 tahun 1965 pasal 1 bahwa seseorang dapat dinyatakan sebagai orang jompo atau lanjut usia setelah yang bersangkutan mencapai umur 55 tahun, tidak mempunyai atau tidak berdaya mencari nafkah sendiri untuk keperluan hidupnya sehari-hari dan menerima nafkah dari orang lain.

Ciri – ciri yang dijumpai di usia lanjut yaitu : a. Fisik

1. Penglihatan dan pendengaran menurun 2. Kulit tampak mengendur

3. Aktivitas tubuh menurun

4. Penumpukan lemak di bagian perut dan panggul b. Psikologis

1) Merasa kurang percaya diri 2) Sering merasa kesepian

3) Merasa sudah tidak dibutuhkan lagi dan tidak berguna.

Merujuk kembali pada hasil ASEAN Teaching Seminar on Psychogeriatric Problems yang dikutip dari Yaumil Agoes Achir dari Fakultas Psikologi UI, persoalan dan keluhan para usia lanjut meliputi :

(13)

b. Psiko – edukatif seperti perasaan kesepian, kehilangan, ditolak dan tidak (disenangi, hubungan yang tegang dengan sanak keluarga, apatis, dan lain – lain).

c. Sosio – ekonomik dan budaya misalnya : kesulitan keuangan, kesulitan mendapatkan pekerjaan, tidak punya rumah tempat menetap, dan lain sebagainya (Wahyunita, Fitrah, 2010).

2.7.2. Perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia

Menurut Nugroho (2000), perubahan yang terjadi pada lansia adalah : A. Perubahan atau kemunduran biologis.

1. Kulit yaitu kulit menjadi tipis, kering, keriput dan tidak elastis lagi. Fungsi kulit sebagai pengikat suhu tubuh lingkungan dan perisai terhadap masuknya kuman terganggu.

2. Rambut yaitu rontok berwarna putih kering dan tidak mengkilat. Hal ini berkaitan dengan perubahan degeneratif kulit.

3. Gigi mulai habis.

4. Penglihatan dan pendengaran berkurang.

5. Mudah lelah, gerakan menjadi gambaran lamban dan kurang lincah.

6. Kerampingan tubuh menghilang disana-sini terjadi timbunan lemak terutama dibagian perut dan panggul.

7. Otot yaitu jumlah sel otot berkurang mengalami atrofi sementara jumlah jaringan ikat bertambah, volume otot secara keseluruhan menyusut, fungsinya menurun dan kekuatannya berkurang.

(14)

akibat merokok, hipertensi, diabetes mellitus, kadar kolestrol tinggi dan lain-lain yang memudahkan timbulnya penggumpalan darah dan trombosis. 9. Tulang pada proses menua kadar kapur (kalsium) menurun akibat tulang

menjadi keropos dan mudah patah.

10. Seks yaitu produksi hormon testoteron pada pria dan hormon progesteron dan estrogen wanita menurun dengan bertambahnya umur.

B. Perubahan atau kemunduran kemampuan kognitif 1. Mudah lupa karena ingatan tidak berfungsi dengan baik.

2. Ingatan kepada hal-hal dimasa muda lebih baik dari pada yang terjadi pada masa tuanya yang pertama dilupakan adalah nama-nama.

3. Orientasi umum dan persepsi terhadap waktu dan ruang atau tempat juga mundur, erat hubungannya dengan daya ingat yang sudah mundur dan juga karena pandangan yang sudah menyempit.

4. Meskipun telah mempunyai banyak pengalaman skor yang dicapai dalam test-test intelegensi menjadi lebih rendah sehingga lansia tidak mudah untuk menerima hal-hal yang baru.

C. Perubahan-perubahan psikososial

1. Pensiun, nilai seseorang sering diukur oleh produktifitasnya selain itu identitas pensiun dikaitkan dengan peranan dalam pekerjaan.

2. Merasakan atau sadar akan kematian.

3. Perubahan dalam cara hidup, yaitu memasuki rumah perawatan bergerak lebih sempit.

(15)

6. Kesepian akibat pengasingan dari lingkungan sosial. 7. Gangguan saraf panca indera.

8. Gangguan gizi akibat kehilangan jabatan.

9. Rangkaian dari kehilangan yaitu kehilangan hubungan dengan teman dan keluarga.

10. Hilangnya kemampuan dan ketegapan fisik.

Perubahan terhadap gambaran diri, perubahan konsep diri. Dari definisi lanjut usia dan karakteristik lanjut usia perlu pembinaan untuk menjaga dan meningkatkan derajat kesehatan lansia dengan pembentukan posbindu lansia.

2.7.3. Tugas Perkembangan Keluarga dengan Lansia

Keluarga diharapkan dapat memenuhi kebutuhan biologis, imperatif (saling menguatkan), budaya dan aspirasi serta nilai – nilai keluarga.

Menurut Carter dan McGoldrick (1988), tugas perkembangan keluarga lansia adalah :

1. Mempertahankan pengaturan hidup yang memuaskan 2. Penyesuaian terhadap pendapatan yang menurun 3. Mempertahankan hubungan perkawinan

4. Penyesuaian diri terhadap kehilangan pasangan 5. Pemeliharaan ikatan keluarga antar generasi

6. Meneruskan untuk memahami eksistensi usia lanjut (Padila, 2013)

2.8. Posbindu Lansia

2.8.1. Sejarah Posbindu Lansia

(16)

keterampilan dan ketersediaan sarana dan prasarana yang lebih baik sehingga mampu berperan dalam pelayanan pasien diabetes melitus.

Untuk menciptakan terciptanya pelayanan diabetes melitus yang meliputi upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif dengan pendekatan holistik dan kekeluargaan di wilayah kerja Puskesmas P.B. Selayang, maka dibentuklah sebuah sarana yang khusus menangani pasien diabetes melitus yaitu Posbindu lansia. Pos pembinaan terpadu lansia Puskesmas P.B. Selayang ini didirikan pada tanggal 22 Juni 2009 yang beralamat di Jalan Bunga Wijaya Kesuma 99, Kec. Medan Selayang dan memberikan pelayanan setiap bulan di minggu ke 2 (Profil Puskesmas P.B. Selayang, 2014).

2.8.2. Pengertian Posbindu Lansia

Pos Pembinaan Terpadu Lansia merupakan suatu forum komunikasi, alih tehnologi dan pelayanan kesehatan oleh masyarakat dan untuk masyarakat yang mempunyai nilai strategis untuk pengembangan sumber daya manusia, khususnya Lanjut Usia (DepKes, 2011). Posbindu ini untuk masyarakat usia lanjut di suatu wilayah tertentu yang sudah disepakati, yang digerakkan oleh masyarakat dimana mereka bisa mendapatkan pelayanan kesehatan. Posbindu lansia merupakan pengembangan dari kebijakan pemerintah melalui pelayanan kesehatan bagi lansia yang penyelenggaraannya melalui program Puskesmas dengan melibatkan peran serta para lansia, keluarga, tokoh masyarakat dan organisasi sosial dalam penyelenggaraannya (Erfandi, 2008 ).

(17)

bentuk peran serta aktif kelompok masyarakat dalam upaya pencegahan sekaligus peningkatan pengetahuan untuk pencegahan penyakit (R. Siti, 2010).

2.8.3. Visi dan Misi Posbindu Lansia

Adapun Visi Posbindu Lansia ini adalah memberikan pelayanan diabetes mellitus yang berkualitas dan terjangkau ditingkat puskesmas. Dalam mewujudkan visi tersebut, maka posbindu lansia memiliki 3 misi, yaitu :

1. Memberikan edukasi agar pasien diabetes mellitus dapat mengatur diet sendiri. 2. Mendidik pasien agar terhidar dari komplikasi diabetes mellitus.

3. Memberikan penyuluhan kepada pasien dan masyarakat yang mempunyai faktor resiko penyakit diabetes mellitus agar tidak tercetus penyakit diabetes mellitus.

Posbindu lansia Puskesmas P.B. Selayang, kebanyakan pasien baru yang datang dan sudah menderita diabetes mellitus sehingga langkah kebijakan yang diambil adalah meningkatkan penyuluhan dan deteksi dini faktor resiko diabetes mellitus.

2.8.4. Tujuan Dan Sasaran Pembinaan

A. Tujuan Umum

Meningkatakan derajat kesehatan dan mutu kehidupan untuk mencapai masa tua yang bahagia dan berdaya guna dalam kehidupan keluarga dan masyarakat sesuai dengan keberadaannya dalam strata kemasyarakatan.

B. Tujuan Khusus

(18)

2. Meningkatkan kemampuan dan peran serta masyarakat termasuk keluarganya dalam menghayati dan mengatasi kesehatan usia lanjut.

3. Meningkatkan jenis dan jangkauan kesehatan. 4. Meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.

C. Sasaran pembinaan Secara Langsung usia lanjut.

a. Kelompok usia menjelang usia lanjut ( 45 -54 tahun ) atau dalam virilitas dalam keluarga maupun masyarakat luas.

b. Kelompok usia lanjut dalam masa prasenium (55 -64 tahun) dalam keluarga, organisasi masyarakat usia lanjut dan masyarakat umumnya.

c. Kelompok usia lanjut dalam masa senescens (lebih dari 65 tahun) dan usia lanjut dengan resiko tinggi (lebih dari 70 tahun) hidup sendiri, terpencil, hidup dalam panti,penderita penyakit berat, cacat dan lain-lain.

D.Sasaran Pembinaan Tidak Langsung 1. Keluarga dimana usia lanjut berada.

2. Organisasi sosial yang bergerak didalam pembinaan kesehatan usia lanjut. 3. Masyarakat luas.

2.8.5. Pelayanan di Posbindu Lansia.

Pelayanan Kesehatan di Posbindu lansia meliputi pemeriksaan Kesehatan fisik dan mental emosional yang dicatat dan dipantau untuk mengetahui lebih awal penyakit yang diderita (deteksi dini) atau ancaman masalah kesehatan yang dihadapi. Jenis Pelayanan Kesehatan yang diberikan kepada usia lanjut di Posbindu Lansia adalah:

1. Penyuluhan Diabetes Melitus

(19)

3. Pemeriksaan Kadar Gula Darah setiap bulan. 4. Urine glukotes

5. Demonstrasi Diet Diabetes Melitus, antara lain :

a. panduan diet diabetes melitus dan bahan penukarnya b. memberikan contoh menu berdasarkan jumlah kalori diet

c. peragaan model diet diabetes melitus dam bentuk mentah dan olahan. 6. Pemeriksaan fisik

7. Terapi.

2.8.6. Faktor-faktor yang mempengaruhi frekuensi kehadiran Lansia di Posbindu Lansia.

Kesehatan individu dan kesehatan masyarakat dipengaruhi dua faktor yaitu faktor perilaku dan diluar perilaku. Faktor perilaku sendiri sangat ditentukan oleh tiga faktor yaitu (Notoadmodjo, 2007) :

1. Faktor pemudah, yang mencakup : pengetahuan, pendidikan, sikap, pekerjaan, nilai. Keyakinan dan demografi (sosial ekonomi, umur, jenis kelamin, jumlah keluarga).

2. Faktor pendukung, yang mencakup : ketersediaan fasilitas kesehatan dan ketersedian sumberdaya kesehatan.

3. Faktor penguat, yang mencakup : keluarga, sikap petugas kesehatan dan lingkungan masyarakat.

2.9. Diabetes Melitus

2.9.1. Pengertian Diabetes Melitus

(20)

metabolisme dari karbohidrat, protein, lemak, air dan elektrolit. Gangguan metabolisme tergantung pada adanya kehilangan aktivitas insulin dalam tubuh dan pada banyak kasus, akhirnya menimbulkan kerusakan selular, khususnya sel endotelial vaskular pada mata, ginjal dan susunan saraf (Soegondo, 2004).

Menurut American Diabetes Association (ADA) diabetes melitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik yang ditandai oleh kadar glukosa darah melebihi nilai normal (hiperglikemia) dengan diagnosa kadar gula darah sewaktu > 200 mg/dL atau kadar gula darah puasa > 120 mg/dL, yang terjadi oleh karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya. Glukosa secara normal bersirkulasi dalam jumlah tertentu dalam darah. Glukosa dibentuk di hati dari makanan yang dikonsumsi. Insulin adalah suatu hormon yang diproduksi oleh pankreas, mengendalikan kadar kadar glukosa dalam darah dengan mengatur produksi dan penyimpanannya. Pada penderita diabetes kemampuan tubuh untuk bereaksi terhadap insulin dapat menurunkan atau pankreas dapat menghentikan sama sekali produksi insulin. Oleh karena itu terjadi gangguan jumlah insulin sehingga pengaturan kadar glukosa darah menjadi tidak stabil.

(21)

2.9.2. Jenis-Jenis Diabetes Melitus

Secara umum, diabetes melitus dibagi menjadi 2 macam, yaitu : 1. Diabetes Mellitus yang tergantung pada insulin (IDDM atau DM Tipe-1)

Kebanyakan diabetes tipe-1 adalah anak-anak dan remaja yang pada umumnya tidak gemuk. Setelah penyakitnya diketahui mereka harus langsung memakai insulin. Pankreas sangat sedikit atau bahkan sama sekali tidak menghasilkan insulin (Soegondo, 2004).

Diabetes melitus tipe-1 dicirikan dengan hilangnya sel beta penghasil insulin pada Langerhans pankreas sehingga terjadi kekurangan insulin pada tubuh. Sampai saat ini, diabetes tipe-1 tidak dapat dicegah. Diet dan olahraga tidak bisa menyembuhkan ataupun mencegah diabetes tipe-1. Kebanyakan penderita diabetes tipe-1 memiliki kesehatan dan berat badan yang baik saat penyakit ini mulai diderita. Selain itu, sensitivitas maupun respons tubuh terhadap insulin umumnya normal pada penderita diabetes tipe ini, terutama pada tahap awal.

Penyebab terbanyak dari kehilangan sel beta pada diabetes tipe-1 adalah kesalahan reaksi autoimunitas yang menghancurkan sel beta pankreas. Reaksi autoimunitas tersebut dapat dipicu oleh adanya infeksi pada tubuh. Saat ini diabetes tipe 1 hanya dapat diobati dengan menggunakan insulin, dengan pengawasan yang teliti terhadap tingkat glukosa darah melalui alat monitor pengujian darah (Mirza, 2008).

2. Diabetes Mellitus Tipe-2 atau Tidak Tergantung Insulin (DMTTI)

(22)

terhadap insulin yang melibatkan reseptor insulin di membran sel. Pada tahap awal abnormalitas yang paling utama adalah berkurangnya sensitivitas terhadap insulin, yang ditandai dengan meningkatnya kadar insulin di dalam darah. Pada tahap ini, hiperglikemia dapat diatasi dengan berbagai cara dan obat anti diabetes yang dapat meningkatkan sensitifitas terhadap insulin atau mengurangi produksi gula dari hepar, namun semakin parah penyakit, sekresi insulin pun semakin berkurang, dan terapi dengan insulin kadang dibutuhkan.

Diabetes tipe kedua ini disebabkan oleh kurang sensitifnya jaringan tubuh terhadap insulin. Pankreas tetap menghasilkan insulin, kadang kadarnya lebih tinggi dari normal. Tetapi tubuh membentuk kekebalan terhadap efeknya, sehingga terjadi kekurangan insulin relatif (Mirza, 2008).

DM Tipe-2 biasanya terjadi pada usia > 40 tahun. Penderita DM Tipe-2 lebih sering dijumpai dari pada DM Tipe-1, proporsinya mencapai 90% dari seluruh kasus diabetes. Pasien-pasien yang termasuk dalam kelompok DM Tipe-2 biasanya memiliki berat badan yang berlebih dan memiliki riwayat adanya anggota keluarga yang menderita DM, 25% dari pasien DM Tipe-2 mempunyai riwayat adanya anggota keluarga yang menderita DM. Kembar identik dengan DM Tipe-2, pasangan kembarnya akan menderita penyakit yang sama (Noer, 2003).

(23)

dalam darah. Akibatnya, glukosa dalam darah meningkat. Pasien biasanya tidak memerlukan tambahan suntikan insulin dalam pengobatannya, tetapi memerlukan obat yang bekerja memperbaiki fungsi insulin dan menurunkan kadar gula dalam darah (Tandra, 2008).

2.9.3. Gejala Diabetes Melitus

Tanda awal yang dapat diketahui bahwa seseorang menderita DM atau kencing manis yaitu dilihat langsung dari efek peningkatan kadar gula darah, dimana peningkatan kadar gula dalam darah mencapai nilai 160 - 180 mg/dL dan air seni (urine) penderita kencing manis yang mengandung gula (glucose), sehingga urine sering dilebung atau dikerubuti semut (Mirza, 2008).

Penderita kencing manis umumnya menampakkan tanda dan gejala dibawah ini meskipun tidak semua dialami oleh penderita :

1. Jumlah urine yang dikeluarkan lebih banyak (Polyuria) 2. Sering atau cepat merasa haus/dahaga (Polydipsia) 3. Lapar yang berlebihan atau makan banyak (Polyphagia) 4. Frekwensi urine meningkat/kencing terus (Glycosuria) 5. Kehilangan berat badan yang tidak jelas sebabnya

6. Kesemutan/mati rasa pada ujung syaraf ditelapak tangan & kaki 7. Cepat lelah dan lemah setiap waktu

8. Mengalami rabun penglihatan secara tiba-tiba

9. Apabila luka/tergores (korengan) lambat penyembuhannya 10. Mudah terkena infeksi terutama pada kulit.

(24)

manis dapat berkembang dengan cepat waktu ke waktu dalam hitungan minggu atau bulan, terutama pada seorang anak yang menderita penyakit Diabetes Mellitus Tipe-1. Lain halnya pada penderita Diabetes Mellitus Tipe-2, umumnya mereka tidak mengalami berbagai gejala diatas. Bahkan mereka mungkin tidak mengetahui telah menderita kencing manis.

Selain gejala-gejala utama di atas, gejala selanjutnya adalah badan terasa lemah, kurang gairah kerja, mudah mengantuk, timbul kesemutan pada jari tangan dan kaki, gatal-gatal, gairah seks menurun bahkan sampai impotensi, luka yang sulit sembuh, penglihatan kabur, dan keputihan. Terkadang, ada sekelompok orang yang sama sekali tidak mengalami gejala-gejala tersebut, namun penyakit ini baru diketahui secara kebetulan pada waktu “check up” atau melakukan pemeriksaan darah (Tara, 2002).

2.9.4. Determinan Diabetes Melitus

Faktor-faktor yang mempengaruhi penyakit diabetes melitus terdiri dari: a. Genetik

Diabetes melitus dapat menurun menurut silsilah keluarga yang mengidap penyakit diabetes melitus, yang disebabkan oleh karena kelainan gen yang mengakibatkan tubuh tidak dapat menghasilkan insulin dengan baik. Individu yang mempunyai riwayat keluarga penderita diabetes melitus memiliki resiko empat kali lebih besar jika dibandingkan dengan keluarga yang sehat.

(25)

sebelum 40 tahun. Walaupun demikian, tidak lebih dari 25 % dari anak-anak mereka akan menderita penyakit diabetes melitus dan gambaran ini lebih rendah pada anak-anak dari orang tua dengan diabetes melitus yang timbulnya lebih lanjut (Waspadji, 2010).

b. Usia

Bertambahnya usia mengakibatkan mundurnya fungsi alat tubuh sehingga menyebabkan gangguan fungsi pankreas dan kerja dari insulin. Pada usia lanjut cenderung diabetes melitus tipe 2 (Noer, 2003).

Diabetes mellitus dapat terjadi pada semua kelompok umur, terutama ≥

40 tahun karena resiko terkena diabetes mellitus akan meningkat dengan bertambahnya usia dan manusia akan mengalami penurunan fisiologis yang akan berakibat menurunnya fungsi endokrin pankreas untuk memproduksi insulin. Diabetes mellitus tipe-1 biasanya terjadi pada usia muda yaitu pada usia ≤ 40 tahun, sedangkan diabetes mellitus tipe-2 biasanya terjadi pada usia ≥ 40 tahun. Di negara-negara barat ditemukan 1 dari 8 penderita diabetes mellitus berusia di atas 65 tahun, dan 1 dari penderita berusia di atas 85 tahun (Sukarmin, 2008). c. Pola Makan dan Obesitas

(26)

Kelebihan berat badan atu obesitas merupakan faktor resiko dari beberapa penyakit degeneratif dan metabolik termasuk diabetes melitus. Pada individu yang obesitas banyak diketahui terjadinya retensi insulin. Akibat dari retensi insulin adalah diproduksinya insulin secara berlebihan eleh sel beta pankreas, sehingga insulin didalam darah menjadi berlebihan (hiperinsulinemia). Hal ini akan meningkatkan tekanan darah dengan cara menahan pengeluaran natrium oleh ginjal dan meningkatkan kadar plasma neropineprin.

Insulin diperlukan untuk mengelola lemak agar dapat disimpan ke dalam sel-sel tubuh. Apabila insulin tidak mampu lagi mengubah lemak menjadi sumber energi bagi sel-sel tubuh, maka lemak akan tertimbun dalam darah dan akan menaikkan kadar gula dalam darah (Noer,2003).

d. Kurangnya Aktivitas Fisik

(27)

2.9.5. Upaya Pencegahan Diabetes Melitus

Mengingat jumlah pasien yang semakin meningkat dan besarnya biaya perawatan pasien penderita diabetes melitus yang terutama disebabkan oleh karena komplikasi, maka upaya yang paling baik adalah pencegahan. Menurut WHO tahun 1991, upaya pencegahan pada penderita diabetes melitus ada 3 tahap, yaitu :

a. Pencegahan Primer

Pencegahan primer adalah suatu upaya yang ditujukan pada orang-orang yang termasuk kelompok resiko tinggi, yakni mereka yang belum menderita diabetes melitus, tetapi berpotensi untuk menderita diabetes melitus. Pencegahan ini merupakan suatu cara yang sangat sulit karena yang menjadi sasarannya adalah orang-orang yang belum sakit artinya mereka masih sehat sehingga cakupannya menjadi sangat luas (Noer, 2003).

Yang bertanggung jawab dalam hal ini bukan hanya profesi tetapi semua pihak, untuk mempromosikan pola hidup sehat dan menghindari pola hidup beresiko, seperti : kampanye makanan sehat dengan pola tradisional yang mengandung lemak rendah atau pola makan seimbang, menjaga berat badan agar tidak gemuk dengan olah raga secara teratur. Cara tersebut merupakan alternatif terbaik dan harus sudah ditanamkan pada anak-anak sekolah sejak taman kanak-kanak. Hal ini merupakan salah satu upaya pencegahan primer yang sangat murah dan efektif (Noer, 2003).

b. Pencegahan Sekunder

(28)

penyakit. Deteksi dini dilakukan dengan tes penyaringan terutama pada populasi resiko tinggi. Menurut WHO (1991) untuk negara berkembang termasuk Indonesia kegiatan tersebut memerlukan biaya yang sangat besar (PERKENI, 2002).

Pada pencegahan sekunder penyuluhan tentang perilaku terhadap sehat seperti pada pencegahan primer harus dilaksanakan ditambah dengan peningkatan pelayanan kesehatan primer di pusat-pusat pelayanan kesehatan, disamping itu juga diperlukan penyuluhan kepada pasien dan keluarganya tentang berbagai hal mengenai penatalaksanaan dan pencegahan komplikasi.

c. Pencegahan Tertier

Upaya mencegah komplikasi dan kecacatan yang diakibatkannya terdiri dari 3 tahap, antara lain :

1. Mencegah timbulnya komplikasi.

2. Mencegah berlanjutnya komplikasi untuk tidak terjadi kegagalan organ. 3. Mencegah terjadinya kecacatan oleh karena kegagalan organ atau jaringan.

Dalam upaya ini diperlukan kerja sama yang baik antara pasien dan dokter maupun antara dokter ahli diabetes dengan dokter-dokter yang terkait dengan komplikasinya. Dalam hal ini peran penyuluhan sangat dibutuhkan untuk meningkatkan motivasi pasien untuk mengendalikan diabetesnya (Soegondo, 2004).

2.9.6. Pengelolaan Diabetes Melitus

(29)

nyaman. Sedangkan tujuan jangka panjang adalah tercegahnya berbagai komplikasi baik pada pembuluh darah maupun pada susunan syaraf sehingga dapat menekan angka morbiditas dan mortalitas (Waspadji, 2010).

a. Edukasi / Penyuluhan

Edukasi diabetes adalah pendidikan dan latihan mengenai pengetahuan dan keterampilan dalam pengelolaan diabetes yang diberikan kepada setiap penderita diabetes. Disamping kepada penderita, edukasi juga diberikan kepada anggota keluarga penderita dan kelompok masyarakat yang beresiko tinggi. Tim kesehatan harus senantiasa mendampingi pasien dalam menuju perubahan perilaku. Makanya dibutuhkan edukasi yang komprehensif, pengembangan keterampilan dan motivasi (Waspadji, 2010).

Beberapa hal yang perlu dijelaskan pada penderita diabetes melitus adalah apa penyakit diabetes melitus itu, cara perencanaan makanan yang benar (jumlah kalori, jadwal makan dan jenisnya), kesehatan mulut (tidak boleh ada sisa makan dalam mulut, selalu berkumur setiap habis makan), latihan ringan, sedang, teratur setiap hari dan tidak boleh latihan berat, menjaga baik bagian bawah ankle joint (daerah berbahaya) seperti : sepatu, potong kuku, tersandung, hindari trauma dan luka (Waspadji, 2010).

b. Diet Diabetes

(30)

umumnya akan menurunkan resistensi insulin. Dengan demikian, penurunan berat badan akan meningkatkan pengambilan glukosa oleh sel dan memperbaiki pengendalian glukosa darah (Mirza, 2008).

c. Latihan Fisik

Diabetes melitus akan terawat dengan baik apabila terdapat keseimbangan antara diet, latihan fisik secara teratur setiap hari dan kerja insulin. Latihan juga dapat membuang kelebihan kalori, sehingga dapat mencegah kegemukan juga bermanfaat untuk mengatasi adanya resistensi insulin pada obesitas (Noer, 2003).

Meskipun latihan teratur itu baik untuk penderita diabetes melitus, tetapi syarat yang harus dipenuhi adalah persediaan insulin di dalam tubuh harus cukup. Apabila latihan dikerjakan oleh penderita diabetes melitus yang tidak cukup persediaan insulinnya, maka latihan akan memperburuk bagi penderita tersebut. Beberapa kegunaan dari latihan teratur setiap hari pada penderita diabetes melitus antara lain :

a. Meningkatkan kepekaan insulin apabila dikerjakan setiap 1,5 jam sesudah makan dapat mengurangi resistensi insulin dan meningkatkan sensitivitas insulin pada reseptornya.

b. Mencegah kegemukan apabila ditambah latihan pagi dan sore.

c. Meningkatkan kadar kolesterol HDL yang merupakan faktor protektif untuk penyakit jantung koroner.

(31)

e. Menurunkan total kolesterol dan trigliserida dalam darah, karena terjadi pembakaran asam lemak menjadi lebih baik.

d. Intervensi Farmakologis

Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah normal belum tercapai dengan pengaturan makan dan latihan fisik. Dalam pengelolaan diabetes mellitus yang memakai obat hipoglikemia ini ada dua macam obat yang diberikan yaitu pemberian secara oral dan secara injeksi. Obat yang diberikan secara oral/hipoglikemia yang umum dipakai adalah Sulfonilurea dan Binguanid. Sedangkan yang diberikan secara injeksi adalah insulin (Waspadji, 2010).

2.10. Kerangka Konsep

Berdasarkan teori dan keterbatasan saya sebagai peneliti, maka peneliti membatasi hal-hal yang akan diteliti. Hal-hal tersebut dapat dilihat dengan jelas pada bagan kerangka konsep berikut ini :

Karakteristik responden:

- Umur

- Jenis Kelamin

- Pendidikan

- Pekerjaan

- Penghasilan

Sumber informasi:

- Keluarga

- Teman sebaya

- Petugas kesehatan

Pengetahuan Sikap

Pemanfaatan

(32)

Referensi

Dokumen terkait

Perencanaan dan Pengendalian Produksi dapat diartikan menjadi proses untuk merencanakan dan memegang kendali atas aliran material yang masuk, melalui dan keluar dari sistem produksi

Master Control dapat digunakan untuk mengatur jarum jam dalam rangka adjustment, berperan dalam fungsi illumination pada malam hari, dan auto correction time jika listrik PLN mati dan

Buat karyawan-karyawan di PT.Toba Pulp Lestari,Tbk Porsea, Pak Suhunan sirait, B’sefliadi, B’Mestika, B’rikson, B’frans serta bapak-bapak yang tidak tersebutkan namanya yang

Berkaitan dengan kepentingan mendesak dan kebutuhan yang dapat kita lihat diatas, dengan maraknya pembangunan Residensial yang membutuhkan furniture untuk mengisi interior maka

Pajak tangguhan diukur dengan menggunakan tarif pajak yang berlaku atau yang telah secara substantif berlaku pada tanggal laporan posisi keuangan interim dan yang akan digunakan

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang dijelaskan sebelumnya, tidak ada satupun variabel yang berpengaruh terhadap keputusan nasabah dalam memilih jasa

Berdasarkan hasil penelitian, untuk variabel pengetahuan ibu tentang kangker serviks didapatkan sebagian besar responden dikategorikan memiliki pengetahuan yang baik

Dari latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah untuk tesis ini adalah belum adanya penelitian yang membandingkan pengaruh metode perhitungan jarak Euclidean Distance,