BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Hukum ada pada setiap masyarakat dimanapun dimuka bumi ini (Ubi
societas Ibi ius). Primitif dan modernnya suatu masyarakat pasti mempunyai
hukum. Oleh karena itu keberadaan (eksistensi) hukum sifatnya universal. Hukum
tidak bisa dipisahkan dengan masyarakat, keduanya mempunyai hubungan timbal
balik. Aristoteles menyatakan bahwa manusia adalah Zoon Politicon yang artinya
bahwa manusia itu pada dasarnya selalu ingin bergaul, berkumpul dan membaur
dengan sesama manusia. Oleh karena sifat manusia itu disebut “mahkluk sosial”.
Manusia sebagai mahkluk individu bisa saja mempunyai sifat untuk hidup
menyendiri, tetapi manusia sebagai mahkluk sosial tidak akan mungkin dapat
hidup menyendiri. Manusia harus hidup bermasyarakat, sebab ia lahir, hidup,
berkembang, dan meninggal dunia didalam masyarakat.
Setiap anggota masyarakat tersebut pasti memiliki kebutuhan dan
kepentingan. Dengan adanya kebutuhan dan kepentingan yang berbeda-beda
didalam masyarakat tersebut maka sering terjadi pertentangan-pertentangan antara
satu kepentingan dengan kepentingan lainnya. Agar kepentingan-kepentingan
yang saling bertentangan tersebut tidak menimbulkan kekacauan didalam
masyarakat dan agar kedamaian serta ketentraman dapat dipelihara maka perlu
adanya suatu kekuasaan berupa petunjuk-petunjuk hidup atau peraturan-peraturan
Indonesia sebagai Negara Hukum memiliki aturan-aturan yang wajib
dipatuhi oleh masyarakatnya agar kepentingan-kepentingan yang berbeda-beda
didalam masyarakat tersebut terhindar dari pertentangan-pertentangan antara satu
kepentingan dengan kepentingan lainnya, agar kepentingan-kepentingan yang
saling bertentangan tersebut tidak menimbulkan kekacauan didalam masyarakat
dan agar kedamaian serta ketentraman dapat dipelihara.
Tolak ukur praktis mengenai filsafat hukum nasional Indonesia tidak lain
adalah Pancasila yang terdiri dari lima sila dan merupakan abstraksi dari
nilai-nilai luhur kehidupan manusia Indonesia, yang didalamnya terkandung cita-cita
hukum bangsa. Diantara kelima sila tersebut menurut Muhammad Hatta yang
merupakan salah seorang dari the founding fathers Negara Indonesia yang juga
merupakan proklamator kemerdekaan Indonesia bersama Soekarno, sila
ke-Tuhanan Yang Maha Esa, merupakan sila pertama dan sekaligus merupakan sila
yang utama. Sila pertama ini menyinari, mengayomi, memimpin dan
mempersatukan keempat sila lainnya.
Sistem hukum Indonesia itu haruslah didasarkan kepada prinsip
ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Ini pula sebabnya mengapa sistem peradilan
diIndonesia yang merupakan bagian dari sistem hukum, harus didasarkan kepada
prinsip ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Setiap putusan hakim, harus dijatuhkan demi
keadilan berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Demikian pula dalam
pembukaan UUD 1945, Tuhan diakui sebagai pemberi Rahmat bagi upaya
terwujudnya cita-cita kemerdekaan Republik Indonesia dalam kata-kata : “… Atas
dengan ini kemerdekaannya…”. Bahkan mengenai sumpah Presiden dan Wakil
Presiden juga diatur berdasarkan pasal 9 UUD 1945, harus diucapkan dimulai
dengan kata-kata “Demi Allah”.1 Sejalan dengan hal tersebut didalam pasal 29
ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa Negara (Republik
Indonesia) berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
Indonesia merupakan Negara Hukum yang hukum-hukum berpedoman
kepada nilai-nilai KeTuhanan dan bukan negara sekuler atau liberal yang
memisahkan antara kehidupan bernegara dengan kehidupan beragama yang
kemudian hanya menggunakan rasionalisasi manusia. Dengan demikian, praktek
kehidupan berbangsa dan bernegara harusnya selalu dilandasi oleh nilai-nilai
keagamaan, dan budaya luhur bangsa Indonesia.
Apabila hukum lain selain hukum pidana tersebut gagal, hukum pidana
haruslah maju kedepan. Hal ini pernah dikemukakan Modderman dengan
mengatakan, Negara seyogyanya memidana hal-hal yang bertentangan dengan
hukum, yang tidak dapat dihambat dengan oleh upaya-upaya lain dengan baik,
sehingga pidana tetap merupakan ultimum remedium (merupakan upaya
terakhir).2
Menurut Soedarto hukum pidana secara umum ditanggapi sebagai semua
peraturan yang dibuat oleh yang berwenang dengan tujuan mengatur tata
kehidupan bermasyarakat yang berupa larangan dan bersifat memaksa, dimana
1
Jimly Asshiddiqie. Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, (Bandung:Angkasa 1996), hal. 194
2
penjatuhan pidana diberikan kepada seseorang yang melanggarnya. Menurutnya
bahwa hukum pidana memuat aturan-aturan hukum yang mengikatkan kepada
perbuatan-perbuatan yang memenuhi syarat tertentu akibat yang berupa pidana.3
Adapun tujuan pidana menurut Roeslan Saleh yaitu: 4
1. Dari segi prevensi, yaitu bahwa hukum pidana adalah hukum sanksi, suatu
upaya untuk dapat mempertahankan kelestarian hidup bersama dengan
melakukan pencegahan kejahatan; dan
2. Dari segi pembalasan yaitu bahwa hukum pidana sekaligus merupakan pula
penentuan hukum, merupakan koreksi dan reaksi atas sesuatu yang bersifat
melawan hukum sehingga dapat dikatakan bahwa pidana adalah merupakan
perlindungan terhadap masyarakat dan pembalasan atas perbuatan melawan
hukum. Disamping mengandung hal-hal lain yaitu bahwa pidana diharapkan
sebagai sesuatu yang akan membawa kerukunan dan pidana adalah suatu
proses pendidikan untuk menjadikan orang dapat diterima kembali dalam
masyarakat.
Realitanya dilapangan apabila kita melihat tujuan dari pidana yang
diungkapkan Roeslan Saleh tersebut diatas dan dikaitkan dengan Tindak Pidana
Perzinahan yang telah ada diatur didalam hukum pidana Indonesia (Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana) ternyata masih jauh dari harapan dan tujuan dari
hukum pidana tersebut.
3
Roni wijayanto, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, Mandar maju , Bandung, 2012, hal. 9
4
Zina sudah dianggap sebagai suatu perbuatan yang sudah biasa atau lazim
didalam masyarakat Indonesia. Meningkatnya budaya seks bebas di kalangan
pelajar adalah salah satu faktor yang sangat mempengaruhi dan mengancam masa
depan bangsa Indonesia. Bahkan perilaku seks pra nikah tersebut dari tahun ke
tahun terus meningkat. Pendataan yang dilakukan oleh Direktur Remaja dan
Perlindungan Hak-Hak Reproduksi Badan Koordinasi Keluarga Berencana
Nasional (BKKBN), Masri Muadz, menunjukan kasus tersebut memperlihatkan
peningkatan yang semakin miris, sebagai berikut; 5
1. Menurut penuturan Masri kepada okezone, belum lama ini, Wimpie Pangkahila pada tahun 1996 melakukan penelitian terhadap remaja SMA di
Bali. Dia mengambil sampling 633. Kesemuanya memiliki pengalaman
berhubungan seks pra nikah, dengan persentase perempuan 18% dan 27%
laki-laki. Sedangkan penelitian Situmorang tahun 2001 mencatat, laki-laki
dan perempuan di Medan mengatakan sudah melakukan hubungan seks
dengan komposisi, 9% perempuan dan 27% laki-laki. Survei Kesehatan
Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI) di tahun 2002-2003, remaja
mengatakan mempunyai teman yang pernah berhubungan seksual pada: usia
14-19 tahun, perempuan 34,7%, laki-laki 30,9%. Sedangkan pada usia 20-24
tahun perempuan 48,6% dan laki-laki 46,5%.
2. SKRRI pun melanjutkan analisanya pada tahun 2003 dengan memetakan
beberapa faktor yang mempengaruhi mereka melakukan seks pra nikah.
5
OkeZone.com NEWS., Tiap Tahun, Remaja Seks Pra Nikah Meningkat, diakses dari
Menurut SKRRI, faktornya yang paling mempengaruhi remaja untuk
melakukan hubungan seksual antara lain: Pertama, pengaruh teman sebaya
atau punya pacar. Kedua, punya teman yang setuju dengan hubungan seks
para nikah. Ketiga, punya teman yang mendorong untuk melakukan seks pra
nikah.
3. Di tahun 2005 Yayasan DKT Indonesia melakukan penelitian yang sama.
DKT memfokuskan penelitiannya di empat kota besar antara lain:
Jabodetabek, Bandung, Surabaya, dan Medan. Berdasarkan norma yang
dianut, 89% remaja tidak setuju adanya seks pra nikah. Namun, kenyataannya
yang terjadi di lapangan, pertama, 82% remaja punya teman yang melakukan
seks pra nikah. Kedua, 66% remaja punya teman yang hamil sebelum
menikah. Ketiga, remaja secara terbuka menyatakan melakukan seks pra
nikah. Persentase tersebut menunjukkan angka yang fantastis. Jabodetabek
51%, Bandung 54% Surabaya 47% dan Medan 52%.
4. Tahun 2006 PKBI menyebutkan, pertama, kisaran umur pertama kali yakni
13-18 tahun melakukan hubungan seks. Kedua, 60% tidak menggunakan alat
atau obat kontrasepsi. Ketiga, 85% dilakukan di rumah sendiri. Sementara
merujuk pada data Terry Hull dkk (1993) dan Utomo dkk (2001), PKBI
menyebutkan, 2,5 juta perempuan pernah melakukan aborsi per tahun dan
27% atau kurang lebih 700 ribu remaja dan sebagian besar dengan tidak
aman. Selain itu 30-35% aborsi penyumbang kematian ibu.
5. Pada 2007 SKRRI melakukan penelitian kembali. Penelitian tersebut
a. Pertama, perilaku seks pranikah remaja cenderung terus meningkat dan
kehamilan yang tidak diinginkan (KTD) juga terjadi pada remaja.
b. Kedua, jumlah kelompok remaja Indonesia yang menginginkan
pelayanan Keluarga Berencana (KB) diberikan kepada mereka.
c. Ketiga, meningkat jauh dari SKRRI 2002.
d. Keempat, jumlah remaja 15-24 tahun sekitar 42 juta jiwa, berarti sekitar
37 juta jiwa remaja membutuhkan alokon tidak terpenuhi (unmet need
berKB kelompok remaja).
e.Kelima, kelompok ini akan tetap menjadi unmet need. Sebab dalam
undang-undang No 10 tahun 1992, pelayanan KB hanya diperuntukkan
bagi pasangan suami istri, sesuai dengan pemilihannya.
6. Bahkan, temuan Lembaga Studi Cinta dan Kemanusiaan serta Pusat
Penelitian Bisnis dan Humaniora (LSCK-PUSBIH) di tahun 2008 lebih
mengagetkan lagi. LSCK-PUSBIH melakukan penelitian terhadap 1.660
mahasiswi di Yogyakarta. Hasil yang mereka dapatkan, 97,05% mahasiswi di
Yogyakarta sudah hilang kegadisannya dan 98 orang mengaku pernah
melakukan aborsi.
7. Kemudian Penelitian yang dilakukan Komnas Perlindungan Anak (KPAI) di
33 Provinsi pada bulan Januari-Juni 2008 menyimpulkan empat hal: Pertama,
97% remaja SMP dan SMA pernah menonton film porno. Kedua, 93,7%
remaja SMP dan SMA pernah ciuman, genital stimulation (meraba alat
kelamin) dan oral seks. Ketiga, 62,7% remaja SMP tidak perawan. Dan yang
Bahkan baru-baru ini kita mendengar ada kasus penyimpangan pelajar
siswa dan siswi SMP (Sekolah Menengah Pertama) di Ibu Kota Jakarta yang
sudah berani melakukan dan bahkan merekam perbuatan yang menyimpang
tersebut, dan hal ini sudah merupakan yang kesekian kalinya dilakukan.6 Dapat
dibayangkan ketika anak-anak yang masih duduk disekolah menengah pertama
saja sudah berani melakukan perbuatan persetubuhan diluar pernikahan (Zina) dan
bahkan berani merekam perbuatan mereka tersebut, bagaimana lagi dengan orang
yang lebih dewasa dari mereka yang merupakan contoh dan panutan bagi mereka?
Sangat diharapkan regulasi mengenai perzinahan kedepannya haruslah
lebih komperhensif, serta relevan dengan kepentingan masyarakat. Dan tentunya
dapat menjaga dan melindungi seluruh kepentingan, baik itu kepentingan yang
bersifat horizontal (manusia dengan manusia) maupun yang bersifat vertikal
(manusia dengan Tuhan).
Hal tersebut sesuai dengan tujuan hukum yang disebutkan oleh Jeremy
Bentham bahwa hukum harus menuju kearah barang apa yang berguna (anggapan
yang mengutamakan utilitet utiliteits theorie). Menurut anggapan itu hukum
mewujudkan semata-mata apa yang berfaedah bagi orang lain.7
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan diatas, maka penulis tertarik
untuk menyusun skripsi yang berjudul “PERBANDINGAN TINDAK PIDANA
PERZINAHAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA
DAN HUKUM ISLAM”
6
VOAislam, Anak SMP buat video seks, bukti Zina sudah merajalela dan dianggap Biasa
, diakses dari , http://m.voa-islam.com//news/aqidah/2013/10/25/27269/anak-smp-buat-video-seks-bukti-zinah-sudah-merajalela-dianggap-biasa/... pada tanggal 1 Desember 2013
7
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang skripsi ini, maka ada permasalahan yang akan
menjadi bahasan dalam skripsi ini. Perumusan masalah yang diangkat dalam
tulisan ini adalah sebagai berikut;
1. Bagaimanakah Pengaturan Tindak Pidana Perzinahan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana?
2. Bagaimanakah Pengaturan Tindak Pidana Perzinahan menurut Hukum Islam?
3. Bagaimana perbandingan Tindak Pidana Perzinahan Menurut Kitab Undang Undang Hukum Pidana dan Menurut Hukum Islam
C. Tujuan dan manfaat Penelitian
Karya Tulis ini bertujuan untuk mengetahui sejarah dan unsur-unsur yang
mempengaruhi Tindak Pidana Perzinahan yang berlaku saat ini kemudian
membandingkannya dengan Tindak Pidana menurut Hukum Islam dan mengambil
kesimpulan, manakah yang lebih bermanfaat (berfaedah) bagi masyarakat
Indonesia. Dan dari penelitian ini semoga dapat bermanfaat dan memperkaya
literatur-literatur yang telah ada sebelumnya, khususnya mengenai Tindak Pidana
Perzinahan dan dapat menjadi acuan untuk penelitian yang lebih mendalam yang
kemudian dapat menjadi sumber pertimbangan bagi hukum positif yang
menyangkut tentang perzinahan dimasa mendatang. Sehingga diharapkan dapat
D. Keaslian Penulisan
Adapun karya tulis dengan judul ““PERBANDINGAN TINDAK
PIDANA PERZINAHAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM
PIDANA DAN HUKUM ISLAM ” dibuat dengan sebenarnya oleh penulis
dengan dibantu oleh buku-buku dari kepustakaan yang ada. Keaslian Penulisan ini
juga bisa dibuktikan dengan adanya surat Keterangan Lulus Perpustakaaan yang
ditetapkan oleh Kepala Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
tertanggal ( ). Dan apabila ternyata dikemudian hari ada masalah
berkenaan dengan karya tulis ini maka penulis akan bersedia
mempertanggungjawabkannya
E. Tinjauan Kepustakaan
1. Hukum Pidana menurut kajian KUHP dan Hukum Islam
a. Hukum Pidana menurut kajian KUHP
1) Pengertian Hukum Pidana
Stelsel pidana merupakan bagian dari hukum penitensier yang di dalamnya
berisikan tentang jenis pidana, cara dan dimana menjalankannya, begitu juga
mengenai pengurangan, penambahan, dan pengecualian penjatuhan pidana.
Hukum penitensier juga di samping itu berisi tentang sistem tindakan (maatregel
stelsel). Dalam usaha negara mempertahankan dan menyelenggarakan ketertiban,
melindunginya dari penyimpangan terhadap berbagai kepentingan hukum, secara
juga diberi hak untuk menjatuhkan tindakan (maatregelen).8 Pidana berasal dari
kata straf (Belanda), yang adakalanya disebut dengan istilah hukuman. Istilah
pidana lebih tepat dari istilah hukuman, karena sudah lazim merupakan
terjemahan dari recht.9
Pidana lebih tepat didefinisikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja
dijatuhkan/diberikan oleh negara pada seseorang atau beberapa orang sebagai
akibat hukum (sanksi) baginya atas perbuatannya yang telah melanggar larangan
hukum pidana yang secara khusus larangan dalam hukum pidana ini disebut
sebagai tindak pidana (strafbaar feit).10 Pergaulan manusia didalam kehidupan
bermasyarakat tidak selamanya berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Manusia
selalu diharapkan pada masalah-masalah atau pertentangan dan konflik
kepentingan antar sesamanya. Keadaan yang demikian ini hukum diperlukan
untuk menjaga keseimbangan dan ketertiban dalam masyarakat. Istilah hukum
pidana dalam bahasa Belanda disebut dengan Strafrecht sedangkan dalam bahasa
Inggris istilah pidana disebut dengan Criminal Law. Pidana merupakan istilah
yang lebih khusus, maka perlu ada pembatasan pengertian atau makna sentral
yang dapat menunjukkan ciri-ciri atau sifat-sifatnya yang khas. Beberapa
pendapat dari para Sarjana tentang pidana yaitu sebagai berikut :
Menurut Sudarto : Pidana adalah nestapa yang diberikan oleh negara
kepada seseorang yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan
8
Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana (Jakarta: RajaGrafindo,2010) hal.23
9Ibid.,
hal.24.
10Ibid.,
undang (hukum pidana), sengaja agar dirasakan sebagai nestapa.11 Pemberian
nestapa atau penderitaan yang sengaja dikenakan kepada seorang pelanggar
ketentuan Undang-undang tidak lain dimaksudkan agar orang itu menjadi jera.
Hukum pidana sengaja mengenakan penderitaan dalam mempetahankan
norma-norma yang diakui dalam hukum. Sanksi yang tajam dalam hukum pidana inilah
yang membedakannya dengan bidang-bidang hukum yang lain. Inilah sebabnya
mengapa hukum pidana harus dianggap sebagai sarana terakhir apabila sanksi
atau upaya-upaya pada bidang hukum yang lain tidak memadai.
Menurut Roeslan Saleh dalam buku Stelsel Pidana Indonesia mengatakan
bahwa pidana adalah reaksi-reaksi atas delik, yang berwujud suatu nestafa yang
sengaja ditampakan negara kepada pembuat delik.12 Pengertian pidana menurut
Roeslan Saleh ini pada dasarnya hampir sama dengan pengertian pidana dari
Sudarto, yaitu bahwa pidana berwujud suatu nestapa, diberikan oleh negara,
kepada pelanggar. Reaksi-reaksi atas delik yang dikemukakan oleh Roeslan Saleh
ini menunjukkan bahwa suatu delik dapat memberikan reaksinya atau imbalannya
apabila dilanggar, yaitu berupa ancaman hukuman atau pidana.
Menurut Sudarto, perkataan pemidanaan adalah sinonim dari perkataan
penghukuman. Tentang hal tersebut beliau berpendapat bahwa 13 “Penghukuman
itu berasal dari kata dasar hukum, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan
hukum suatu peristiwa itu tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja,
11
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana (Bandung: Alumni, 1981) hal.109-110.
12
Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia (Jakarta: Bina Aksara, 1987) hal.5.
13
akan tetapi juga hukum perdata, oleh karena tulisan ini berkisar pada hukum
pidana, maka istilah tersebut harus disempitkan artinya, yakni penghukuman
dalam arti pidana, yaitu kerap kali dengan pemidanaan atau pemberian atau
penjatuhan pidana oleh hakim. Penghukuman dalam hal ini mempunyai makna
yang sama dengan sentence atau veroordeling.”
2) Tujuan Hukum Pidana menurut KUHP
Sebagian besar para ahli hukum berpendapat bahwa hukum pidana adalah
“Kumpulan aturan yang mengandung larangan dan akan mendapatkan sanksi
pidana atau hukuman bila dilanggar”. Sanksi didalam hukum pidana jauh lebih
keras dibandingkan dengan akibat sanksi hukum yang lainnya, “akan tetapi ada
juga para ahli yang berpendapat sanksi belaka sebagai ancaman pidana sehingga
hukum pidana adalah hukum sanksi belaka.14
Menurut Soedarto hukum pidana secara umum ditanggapi sebagai semua
peraturan yang dibuat oleh yang berwenang dengan tujuan mengatur tata
kehidupan bermasyarakat yang berupa larangan dan bersifat memaksa, dimana
penjatuhan pidana diberikan kepada seseorang yang melanggarnya. Menurutnya
bahwa hukum pidana memuat aturan-aturan hukum yang mengikatkan kepada
perbuatan-perbuatan yang memenuhi syarat tertentu akibat yang berupa pidana.15
Adapun tujuan pidana menurut Roeslan Saleh yaitu: 16
14
Marlina, Op.Cit,, hal. 15
15
Roni wijayanto, Op.Cit, hal. 9
16
1. Dari segi prevensi, yaitu bahwa hukum pidana adalah hukum sanksi, suatu
upaya untuk dapat mempertahankan kelestarian hidup bersama dengan
melakukan pencegahan kejahatan; dan
2. Dari segi pembalasan yaitu bahwa hukum pidana sekaligus merupakan pula
penentuan hukum, merupakan koreksi dan reaksi atas sesuatu yang bersifat
melawan hukum sehingga dapat dikatakan bahwa pidana adalah merupakan
perlindungan terhadap masyarakat dan pembalasan atas perbuatan melawan
hukum. Disamping mengandung hal-hal lain yaitu bahwa pidana diharapkan
sebagai sesuatu yang akan membawa kerukunan dan pidana adalah suatu
proses pendidikan untuk menjadikan orang dapat diterima kembali dalam
masyarakat.
b. Hukum Pidana menurut kajian Hukum Islam (Hukum Pidana Islam)
1) Pengertian Hukum Pidana menurut Hukum Islam (Hukum Pidana Islam)
Pengertian islam secara terminologis diungkapkan Ahmad Abdullah
Almasdoos (1962) bahwa islam adalah kaidah hidup yang diturunkan kepada
manusia sejak manusia digelarkan kemuka bumi. Dan terbina dalam bentuknya
yang terakhir dan sempurna dalam Al-qur‟an yang suci yang diwahyukan Tuhan
kepada Nabi-Nya yang terakhir, yakni nabi Muhammad ibn Abdullah, satu kaidah
hidup yang memuat tuntunan yang jelas dan lengkap mengenai aspek hidup
manusia, baik spiritual maupun material.17
17
Dari definisi itu dapat disimpulkan bahwa islam adalah agama yang
diturunkan Allah kepada manusia melalui Rasul-rasulNya, berisi hukum-hukum
yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, manusia dengan manusia, dan
manusia dengan alam semesta,. Agama yang diturunkan Allah kemuka bumi sejak
Nabi Adam sampai Nabi Muhammad SAW adalah agama Islam sebagaimana
diungkapkan oleh Al-qur‟an : 18
Sesungguhnya agama disisi Allah adalah agama Islam (Ali Imran: 19)
Setelah memaknai Islam seperti penjelasan diatas, barulah kita
membicarakan apa itu Hukum Islam. Jika kita berbicara tentang hukum, secara
sederhana terlintas dalam pikiran kita peraturan-peraturan atau seperangkat norma
yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat, baik peraturan atau
norma itu berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat
maupun peraturan atau norma yang dibuat dengan cara tertentu dan ditegakkan
oleh penguasa. Bentuknya mungkin berupa hukum yang tidak tertulis seperti
hukum adat, mungkin juga berupa hukum tertulis dalam peraturan
perundang-undangan seperti hukum Barat. Hukum Barat melalui asas konkordansi, sejak
pertengahan abad ke-19 (1855) berlaku di Indonesia. Hukum dalam konsepsi
seperti hukum Barat adalah hukum yang sengaja dibuat oleh manusia untuk
mengatur kepentingan manusia sendiri dalam masyarakat tertentu. Dalam
konsepsi hukum perundang-undangan (Barat), yang diatur oleh hukum hanyalah
hubungan manusia dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat.19
Dibandingkan dengan konsepsi Hukum Islam, dasar dan kerangka
hukumnya ditetapkan oleh Allah, tidak hanya mengatur hubungan manusia
dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat, tetapi juga
hubungan-hubungan lainnya, karena manusia yang hidup dalam masyarakat itu mempunyai
berbagai hubungan. Hubungan-hubungan itu, seperti telah berulang disinggung
dimuka, adalah hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan
dirinya sendiri, hubungan manusia dengan manusia lain dan hubungan manusia
dengan benda dalam masyarakat serta alam sekitarnya.20
Dalam sistem Hukum Islam ada lima hukm atau kaidah yang dipergunakan
sebagai patokan mengukur perbuatan manusia baik dibidang ibadah maupun
dilapangan muamalah. Kelima jenis kaidah tersebut, disebut ahkam
al-khamsah, atau penggolongan hukum yang lima (Sajuti Thalib, 1985: 16) yaitu (1)
Ja‟iz atau mubah atau ibahah, (2) sunnat, (3) makruh, (4) wajib dan (5) haram.21
Kemudian sumber Hukum Islam, Allah telah menentukan sendiri sumber
hukum (agama dan ajaran) Islam yang wajib diikuti oleh setiap muslim. Menurut
Al-qur‟an surat Al-Nisa (4) ayat 59, setiap muslim wajib mentaati (mengikuti)
kemauan atau kehendak Allah, kehendak rasul dan kehendak ulil amri yakni
orang yang mempunyai kekuasaan atau “penguasa”. Kehendak Allah berupa
19
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada Cetakan ke-18 2012), hal. 43
ketetapan kini tertulis didalam Al-qur‟an, kehendak rasul berupa sunnah
terhimpun sekarang didalam kitab-kitab hadis, kehendak “penguasa” kini dimuat
didalam peraturan perundang-undangan (dulu dan sekarang) atau dalam hasil
karya orang yang memenuhi syarat untuk berijtihad karena mempunyai
“kekuasaan” berupa ilmu pengetahuan untuk mengalirkan (ajaran) Hukum Islam
dari dua sumber utamanya yakni dari Al-qur‟an dan dari kitab-kitab hadis yang
memuat Sunnah Nabi Muhammad. Yang ditetapkan Allah dalam Al-qur‟an itu
dirumuskan dengan jelas dalam percakapan Nabi Muhammad SAW dengan
sahabat Beliau Mu‟az bin Jabal, yang didalam kepustakaan terkenal dengan hadits
Mu‟az. Demikianlah menurut riwayat, pada suatu ketika Nabi Muhammad
mengirimkan seorang sahabatnya ke Yaman (dari Madinah) untuk menjadi
gubernur disana. Sebelum berangkat, nabi Muhammad SAW menguji sahabatnya
yang bernama Mu‟az bin Jabal itu, dengan menanyakan sumber hukum yang akan
dipergunakannya kelak untuk memecahkan berbagai masalah dan atau sengketa
yang dijumpainya didaerah baru itu. Pertanyaan itu dijawab oleh Mu‟az dengan
mengatakan bahwa ia akan mempergunakan Al-qur‟an. Jawaban tersebut disusul
oleh Nabi dengan pertanyaan: “Jika tidak terdapat petunjuk khusus (mengenai
suatu masalah) dalam Al-quran bagaimana? “Mu‟az menjawab: “saya akan
mencarinya dalam sunnah nabi. Nabi bertanya lagi: “kalau engkau tidak
menemukan petunjuk dalam sunnah nabi, bagaimana?” Mu‟az menjawab: “Jika
demikian, saya akan berusaha sendiri mencari sumber pemecahannya dengan
dengan jawaban dari Mu‟az tersebut dan berkata: Aku bersyukur kepada Allah
yang telah menuntun utusan rasul-Nya. 22
Dari hadits Mu‟az bin Jabal diatas, dapatlah disimpulkan bahwa sumber
Hukum Islam ada tiga, yaitu (1) Al-qur‟an, (2) As-Sunnah, dan (3) akal pikiran
manusia yang memenuhi syarat untuk berijtihad. Akal pikiran ini, dalam
kepustakaan Hukum Islam, disebut juga dengan istilah ar-ra‟yu atau pendapat
orang atau pendapat orang-orang yang memenuhi syarat untuk menentukan nilai
dan norma (kaidah) pengukur tingkah-laku manusia dalam segala bidang hidup
dan kehidupan.
Selanjutnya Perbuatan manusia yang dinilai sebagai pelanggaran atau
kejahatan kepada sesamanya, baik pelanggaran atau kejahatan tersebut secara fisik
atau non fisik, seperti membunuh, menuduh, atau memfitnah maupun kejahatan
terhadap harta benda dan lainnya, dibahas didalam Hukum Pidana Islam.
Ulama-ulama muta‟akhirin menghimpunnya dalam bagian khusus yang dinamai fiqih
jinayah, yang dikenal dengan Hukum Pidana Islam. Didalamnya terhimpun
pembahasan semua jenis pelanggaran atau kejahatan manusia dengan berbagai
sasaran, badan, jiwa, harta benda, kehormatan, nama baik, negara, tatanan hidup,
dan lingkungan hidup.23
Adapun asas-asas didalam hukum pidana islam yang terkandung didalam
Al-qur‟an dan Hadits Rasulullah SAW, baik secara eksplisit maupun secara
implisit. Beberapa asas hukum pidana yang umum oleh para pakar Hukum Islam,
22Ibid.
hal 73
23
diantaranya Ahmad Hanafi, Mohammad Daud Ali, yaitu asas legalitas, asas
larangan memindahkan kesalahan kepada orang lain, asas praduga tak bersalah..24
1) Asas Legalitas.
Asas ini didalam bahasa latin disebut Nullum Delictum Nulla Poena Sine
Praevia Lege Poenali (seseorang tidak dapat dihukum apabila tidak ada hukum
yang mengatur perbuatan yang telah dilakukannya). Asas ini merupakan jaminan
dasar bagi kebebasan individu dengan memberi batas aktifitas apa yang dilarang
secara jelas dan tepat. Asas ini melindungi dari penyalahgunaan kekuasaan atau
kesewenang-wenangan hakim, menjamin keamanan individu dengan informasi
apa yang boleh dan apa yang dilarang.
Asas legalitas didalam Hukum Islam bukan berdasarkan akal manusia,
tetapi dari ketentaun Allah. Dalam Kitab Suci Al-qur‟an Allah SWT Berfirman:
“…. Dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang
rasul.” (Q.S. Al-Israa‟;15)
Jadi jauh sebelum Declaration of the Right Human and Citizen (yang
dianggap sebagai tonggak sejarah dalam membasmi kesewenang-wenangan).
Asas legalitas ini sudah ada didalam Hukum Islam. Karena hukum ini merupakan
hukum yang berasal dari Allah, maka Allah lah yang paling mengerti apa yang
paling baik bagi hambah-hambahNya.
2) asas larangan memindahkan kesalahan kepada orang lain
24
Dasar dari asas ini adalah surat al-Isra ayat 15, bahwa
“… Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan
Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul.
Kemudian Surat an-Najm ayat 38 - 39, Fatir Ayat 18, dan Luqman ayat 33.
Maka perbuatan pidana yang dilakukan oleh seseorang tidak dapat ia pindahkan
kepada orang lain. Termasuk tindak pidana yang dilakukan oleh seorang bapak
tidak dapat dipindahkan ke anaknya dan sebaliknya.
3) Asas Praduga Tidak Bersalah (The Presumption of innocence)
Suatu konsekuensi yang tidak bisa dihindarkan dari asas legalitas adalah
asas praduga tidak bersalah. “Principle Of Lawfulness”. Menurut asas ini semua
perbuatan (kecuali ibadah khusus) dianggap boleh kecuali dinyatakan sebaliknya
oleh suatu nash hukum. Selanjutnya setiap orang dianggap tidak bersalah untuk
suatu perbuatan jahat kecuali dibuktikan kesalahannya pada suatu kejahatan tanpa
ada keraguan; jika suatu keraguan yang beralasan muncul, seorang tertuduh harus
dibebaskan (Sanad, 1991;72).25
Konsep ini juga sebenarnya sudah ada empat belas abad yang lalu, Nabi
Muhammad SAW Bersabda;
“Hindarkan bagi muslim hukuman hudud kapan saja kamu dapat dan bila
kamu dapat menemukan jalan untuk membebaskannya. Jika imam salah,
25
lebih baik salah dalam membebaskan dari pada salah dalam
menghukum”26
2) Tujuan Hukum Pidana Islam
Pembuat hukum tidak menyusun ketentuan-ketentuan hukum dari syariat
tanpa tujuan apa-apa, melainkan disana ada tujuan tertentu yang luas. Dengan
demikian untuk memahami pentingnya suatu ketentuan, mutlak perlu diketahui
apa tujuan dari ketentuan itu. Disamping itu Karena kata-kata dan teks dari suatu
ketentuan mungkin mengandung beberapa arti dari sekian arti lain. Kecuali kita
mengetahui tujuan nyata dari pembuat hukum dalam menyusunnya. Lebih jauh
lagi kita tidak dapat menghilangkan ketidak sesuaian antara ketentuan ynag
bertentangan, kecuali kita mengetahui apa tujuan dari pembuat hukum.
Singkatnya adalah muthlak bagi yang mempelajari Hukum Islam untuk
mempelajari maksud dan tujuan dari pembuat hukum dan keadaan atau kejadian
yang memerlukan turunnya wahyu suatu Al-Qur‟an dan Hadits Nabi SAW.27
Para ahli Hukum Islam mengklasifikasi tujuan-tujuan yang luas dari
syari‟ah sebagai berikut tujuan hukum pidana menurut Audah, 1987: 246-249 ;28
Tujuan pertama
menjamin keamanan dari kebutuhan-kebutuhan hidup merupakan tujuan pertama
dan utama dari syariah. Ini merupakan hal-hal dimana kehidupan manusia sangat
26
Ibid
27
Topo Santoso, Membumikah Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Gema Insani Press 2003), hal. 18-19
28
tergantung sehingga tidak bisa dipisahkan. Apabila ada kebutuhan-kebutuhan ini
tidak terjamin, akan terjadi kekacauan dan ketidak tertiban dimana-mana. Kelima
(5) kebutuhan hidup yang primer ini (daruriyat) dalam kepustakaan Hukum Islam
disebut dengan istilah al-maqasid al-syari‟ah al-khamsah (tujuan0tujuan syariah),
yaitu:
1) Memelihara agama (hifzh al-din)
2) Memelihara Jiwa (hifzh al-nafsi)
3) Memelihara akal pikiran (hifzh al-„aqli)
4) Memelihara Keturunan (hifzh al-nashli)
5) Memelihara harta (hifzh al-mal)
Syariah telah menetapkan pemenuhan, kemajuan dan perlindungan tiap
kebutuhan-kebutuhan itu dan menegaskan ketentuan-ketentuan yang berkaitan
dengannya sebagai ketentuan-ketentuan yang esensial.
Tujuan Kedua
Tujuan berikutnya adalah menjamin keperluan-keperluan hidup (keperluan
sekunder) atau disebut hajiyyat. Ini mencakup hal-hal yang penting bagi ketentuan
itu dari berbagai fasilitas untuk penduduk dan memudahkan kerja keras dan beban
tanggung jawab mereka. Ketiadaan fasilitas-fasilitas tersebut mungkin tidak
menyebabkan kekacauan dan ketidak tertiban, akan tetapi dapat menambah
kesulitan-kesulitan bagi masyarakat. Dengan kata lain, keperluan-keperluan ini
terdiri dari hal-hal yang menyingkirkan kesulitan-kesulitan dari masyarakat dan
Tujuan Ketiga
Tujuan ketiga dari Perundang-undangan Islam adalah membuat
perbaikan-perbaikan , yaitu menjadikan hal-hal yang dapat menghiasi kehidupan social dan
menjadikan manusia mampu berbuat dan urusan-urusan hidup secara lebih baik
(keperluan sekunder) atau tahsinat. Ketiadaan perbaikan-perbaikan ini tidak
membawa kekacauan dan anarki sebagaimana dalam ketiadaan
kebutuhan-kebutuhan hidup; juga tidak mencakup apa-apa yang perlu untuk menghilangkan
kesulitan-kesulitan dan membuat hidup mudah. Perbaikan adalah hal-hal yang
apabila tidak dimiliki akan membuat hidup tidak menyenangkan bagi para
intelektual. Dalam arti ini perbaikan mencakup kebijakan (virtues), cara-cara yang
baik (good manner) dan setiap hal yang melengkapi bagi peningkatan cara hidup.
2. Tindak Pidana menurut kajian KUHP dan Hukum Islam
a. Tindak Pidana menurut kajian KUHP
1) Pengertian Tindak Pidana
Hukum Pidana Belanda memakai istilah Strafbaar Feit, kadang-kadang
juga delict yang berasal dari bahasa latin delictum. Hukum Pidana Negara-negara
Oleh karena Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia bersumber pada
WvS Belanda, maka istilah aslinya pun sama yaitu Strafbaar Feit.29
Perkataan “Feit” itu sendiri didalam bahasa Belanda berarti “sebagian dari
suatu kenyataan” atau “een geedelte van de werkwlijkheid”. Sedang “Strafbaar”
berarti “dapat dihukum”, hingga secara harfiah perkataan “Strafbaar Feit” dapat
diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum”, yang
sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak akan kita ketahui bahwa yang
dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan
kenyataan, perbuatan atau tindakan.30
Strafbaar Feit yang merupakan istilah asli bahasa Belanda yang
diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia tersebut mempunyai berbagai arti
diantaranya, yaitu: tindak pidana, delik, perbuatan pidana, peristiwa pidana
maupun perbuatan yang dapat dipidana.31
Kemudian oleh Pembentuk undang-undang kita menggunakan perkataan
Strafbaar Feit untuk menyebutkan apa yang kemudian kita kenal sebagai “Tindak
Pidana” didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tanpa memberikan
sesuatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan
perkataan “Strafbaar Feit” tersebut.32 Didalam prakteknya para ahli memberikan
29
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta Cetakan ke III 2008), hal 86
30
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti 1997), hal 181
31
Roni Wijayanto, Op.Cit, hal. 160
32
berbagai definisi Strafbaar Feit atau tindak pidana berbeda-beda, sehingga
perkataan tindak pidana mempunyai banyak arti.33
Menurut Profesor POMPE, perkataan “Strafbaar Feit” itu secara teoritis
dapat dirumuskan sebagai “suatu pelanggaran” norma (gangguan terhadap tertib
hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh
seorang pelaku. Dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah
perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum”.34
Kemudian Apa yang dimaksud dengan tindak pidana, menurut simons
didefinisikan sebagai suatu perbuatan (handeling) yang diancam dengan pidana
oleh undang-undang, bertentangan dengan hukum (Onrechtmatig) dilakukan
dengan kesalahan (Schuld) oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab.
Rumusan tindak pidana yang diberikan simons tersebut dipandang oleh Jonker
dan Utrecht sebagai rumusan yang lengkap, karena akan meliputi: 35
1. Diancam dengan pidana oleh hukum;
2. Bertentangan dengan hukum;
3. Dilakukan oleh seseorang dengan kesalahan (Schuld);
4. Seseorang tersebut dipandang bertanggung jawab atas perbuatannya.
Van Hammel juga sependapat dengan rumusan tindak pidana dari Simons,
tetapi ia menambahkan adanya “sifat perbuatan yang mempunyai sifat dapat
33
Roni Wijayanto Loc. Cit.
34
P.A.F. Lamintang, Op.Cit, hal. 162
35
dihukum”. Jadi pengertian tindak pidana menurut van hamel meliputi lima unsur,
yakni ; 36
1. Diancam dengan pidana oleh hukum;
2. Bertentangan oleh hukum;
3. Dilakukan oleh seseorang dengan kesalahan (Schuld);
4. Seseorang tersebut dianggap bertanggung jawab atas perbuatannya;
5. Sifat perbuatan yang mempunyai sifat dapat dihukum.
Sedangkan Vos merupakan salah satu diantara para ahli yang merumuskan
tindak pidana secara singkat, yaitu hanya mencakup kelakuan manusia yang oleh
peraturan perundang-undangan diberi pidana. Kemudian pengertian tindak pidana
yang diberikan Vos tersebut, dikomentari oleh Satochid Kartanegara , ia
mengatakan rumusan Vos tersebut sama saja memberikan keterangan “een
vierkante tafel is vier kant” (meja segi itu adalah segi empat), karena definisinya
tidak menjepit isinya, sedangkan pengertian “orang” dan “kesalahan” juga tidak
disinggung, karena apa yang dimaksud Strafbaar Feit, sebagai berikut: 37
1. Pelanggaran atau pemerkosaan kepentingan hukum (Schanding of kreenking
van een rechtsbelang);
2. Sesuatu yang membahayakan kepentingan hukum (het in gevearbrengen van
een rechtsbelang.)
36Ibid. 37Ibid.
Kepentingan hukum yang dimaksud Satochid Kartanegara ialah tiap-tiap
kepentingan yang harus dijaga agar tidak dilanggar, yang terdiri atas tiga jenis,
yaitu; 38
1. Kepentingan perseorangan, yang meliputi: jiwa (leven), badan (lijk),
kehormatan (eer) dan harta benda (Vermogen).
2. Kepentingan masyarakat, yang meliputi : ketentraman dan keamanan (rusten
orde).
3. Kepentingan Negara adalah keamanan Negara.
Melihat berbagai pendapat para ahli tersebut diatas mengenai pengertian
Strafbaar Feit, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan tindak
pidana atau Strafbaar Feit yaitu merupakan rumusan yang memuat unsur-unsur
tertentu yang menimbulkan dapat dipidananya seseorang atas perbuatannya yang
dianggap telah melanggar kepentingan hukum yang telah ditentukan oleh
peraturan perundang-undangan pidana. Unsur-unsur tindak pidana tersebut dapat
berupa perbuatan yang sifatnya aktif maupun pasif atau tidak berbuat
sebagaimana diharuskan oleh undang-undang, yang dilakukan oleh seseorang
dengan kesalahan, dan bertentangan dengan hukum pidana, dan orang tersebut
dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya.
2) Unsur-Unsur Tindak Pidana
Menjadi tuntutan Normatif yang harus dipenuhi bila mana seseorang dapat
dipersalahkan karena melakukan sesuatu tindak pidana, yaitu perbuatan itu harus
dibuktikan mencakup semua unsur Tindak Pidana. Apabila salah satu unsur
Tindak Pidana tidak terpenuhi atau tidak dapat dibuktikan, maka konsekuensinya
Tindak Pidana yang dituduhkan kepada sipelaku tidak terbukti dan tuntutan dapat
batal demi hukum.
Ditinjau dari sifat unsurnya, pada umumnya unsur-unsur Tindak Pidana
dapat dibagi menjadi dua macam, yakni: unsur-unsur subjektif dan unsur-unsur
objektif.
a. Unsur Subjektif
Menurut Lamintang bahwa yang dimaksud dengan unsur-unsur subjektif
itu adalah unsur-unsur yang melekat pada diri sipelaku atau yang berhubungan
dengan diri sipelaku. Dan termasuk kedalamnya yaitu segala sesuatu yang
terkandung didalam hatinya. Adapun unsur-unsur subjektif menurut lamintang
yakni sebagai berikut:
a. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus dan culpa);
b. Maksud (voornemen) pada suatu percobaan (poging) seperti yang dimaksud
didalam Pasal 53 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
c. Macam-macam maksud (oogmerk) seperti yang terdapat misalnya didalam
d. Merencanakan terlebih dahulu (voorbedache raad) misalnya seperti yang
terdapat didalam kejahatan pembunuhan menurut pasal 340 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana;
e. Perasaan takut (vress) seperti yang antara lain terdapat didalam rumusan tindak
pidana menurut pasal 308 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;39
Sedangkan Menurut Satochid Kartanegara, ia membedakan unsur subjektif
hanyamenjadi dua macam saja, yakni;
a. Toerekeningswatbaarheit (kemampuan bertanggung jawab)
b. Schuld (Kesalahan)40
Leden Marpaung mengemukakan asas hukum pidana menyatakan bahwa
“tidak ada hukuman kalau tidak ada kesalahan”. Kesalahan yang dimaksud adalah
kesalahan yang diakibatkan oleh kesengajaan (iintention/opzet/dolus) dan
kealpaan (culpa) ini merupakan bentuk kesalahan yang lebih ringan dari
kesengajaan, dimana kealpaan meliputi dua bentuk, yaitu: tidak berhati-hati dan
dapat menduga akibat perbuatan tersebut.41
Didalam doktrin dan ilmu pengetahuan hukum pidana unsur kesengajaan
atau opzet tersebut kemudian pada umumnya dibedakan menjadi tiga jenis, yakni:
1. Kesengajaan dengan maksud (Opzet als oogmerk)
39
P.A.F. Lamintang, Op.Cit, hal 194
40
Roni Wijayanto Op.Cit. hal. 166
41
2. Kesengajaan dengan keinsyafan (Opzet bij zekerheidsbewustzijn)
3. Kesengajaan dengan keinsyafan atau kemungkinan (Opzet bij
mogelijkheidsbewustzijn)
Maka dapat diambil kesimpulan dari uraian diatas, bahwa unsur-unsur
subjektif meliputi;
1. Kemampuan bertanggung jawab (toerekeningswatbaarheit)
2. Kesalahan (Schuld) yang terdiri dari :
3. Kesengajaan (dolus)
a. Kesengajaan dengan maksud (Opzet als oogmerk)
b. Kesengajaan dengan keinsyafan (Opzet bij zekerheidsbewustzijn)
c. Kesengajaan dengan keinsyafan atau kemungkinan (Opzet bij
mogelijkheidsbewustzijn)
d. Kealpaan (culpa)
4. Unsur Objektif
Menurut Lamintang bahwa yang dimaksud dengan unsur-unsur subjektif
itu adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu
didalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari sipelaku itu harus
dilakukan. Kemudian ia membagi menjadi tiga bentuk unsur objektif dari tindak
a. Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid
b. Kualitas dari sipelaku, misalnya “keadaan sebagai seorang pegawai negeri”
didalam kejahatan jabatan menurut pasal 415 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana atau “keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseoan
terbatas didalam kejahatan menurut pasal 398 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana.
c. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan
sesuatu kenyataan sebagai akibat.42
Sedangkan Menurut Satochid Kartanegara, ia mengemukakan bahwa unsur
objektif merupakan unsur yang dilarang dan diancam pidana oleh undang-undang,
yang berupa:
a. Suatu tindakan;
b. Suatu akibat; dan
c. Keadaan (omstandigheid)
Kemudian Leden Marpaung lebih mencakup kepada dua pendapat ahli
diatas, ia kemudian membagi unsur Objekktif menjadi empat bentuk, yakni;
a. Perbuatan manusia, berupa;
1) Act, yakni perbuatan aktif atau perbuatan positif;
42
2) Omission, yakni perbuatan pasif atau perbuatan negative
b. Akibat (result) perbuatan manusia, yaitu akibat tersebut membahayakan atau
merusak, bahkan menghilangkan kepentingan-kepentingan yang
dipertahankan oleh hukum, misalnya: nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik,
kehormatan, dan sebagainya
c. Keadaan-keadaan (circumstances), yang umumnya berupa;
1) Keadaan-keadaan pada saat perbuatan dilakukan;
2) Keadaan-keadaan setelah perbuatan dilakukan.
d. Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum. Sifat dapat dihukum
berkenaan dengan alasan-alasan yang membebaskan sipelaku dari hukuman.
Sedangkan sifat melawan hukum adalah apabila perbuatan itu bertentangan
dengan hukum, yakni berkenaan dengan larangan atau perintah.43
Kemudian Mengingat tujuan diadakan hukum pidana adalah untuk
melindungi dan menghindari gangguan atau ancaman bahaya terhadap
kepentingan hukum, baik kepentingan perseorangan, kepentingan masyarakat dan
kepentingan Negara. Setiap perbuatan yang memenuhi unsur Tindak Pidana atau
delik seperti yang dinyatakan secara tegas dalam peraturan perundang-undangan
dapat memberikan gambaran kepentingan hukum apa yang dilanggar. Oleh karena
itu, perbuatan-perbuatan yang memenuhi unsur-unsur delik dapat digolongkan
43
menjadi berbagai jenis delik. Dan salah satunya adalah tindak pidana dalam perlu
tidaknya aduan dalam penuntutan (Delik Biasa dan Delik Aduan).
1. Delik biasa (gewone delichten) adalah suatu delik yang dapat dituntuk tanpa
membutuhkan adanya pengaduan.44 Sedangkan
2. Delik aduan (klachtdelict) adalah Tindak Pidana yang penuntutannya hanya
dilakukan atas dasar adanya pengaduan dari pihak yang berkepentingan atau
terkena. Misalnya penghinaan, perzinahan, pemerasan. Jumlah delik aduan ini
tidak banyak terdapat didalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. siapa yang
dianggap berkepentingan, tergantung dari jenis deliknya dan ketentuan yang
ada. Untuk perzinahan misalnya, yang berkepentingan adalah suami atau isteri
yang bersangkutan. Terdapat dua jenis delik aduan, yaitu delik aduan absolute
yang penuntutannya hanya berdasarkan pengaduan dan delik aduan relatif disini
karena adanya hubungan istimewa antara pelaku dengan korban, misalnya
pencurian dalam keluarga (pasal 367 ayat (2) dan (3) Kitab Undang-undang
Hukum Pidana.
b. Tindak Pidana dalam kajian Hukum Islam
Suatu perbuatan dinamai jarimah (tindak pidana, peristiwa pidana atau
delik) apabila perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian bagi orang lain atau
masyarakat baik jasad ( anggota badan atau jiwa), harta benda, keamanan, tata
aturan masyarakat, nama baik, perasaan ataupun hal-hal lain yang harus dipelihara
44
dan dijunjung tinggi keberadaannya. Jadi, yang menyebabkan suatu perbuatan
dianggap sebagai suatu jarimah adalah dampak dari perilaku tersebut yang
menyebabkan kerugian kepada pihak lain, baik dalam bentuk material (jasad,
nyawa atau harta benda) maupun nonmateri ataugangguan nonfisisk, seperti
ketenangan, ketenntraman, harga diri, adat istiadat dan sebagainya. Penyebab
perbuatan yang merugikan tersebut diantaranya adalah tabiat manusia yang
cenderung pada sesuatu yang mengutungkan bagi dirinya walaupun hasil pilihan
atau perbuatan tersebut merugikan orang lain. Kenyataan itu memerlukan
kehadiran peraturan atau undang-undang. Akan tetapi, kehadiran peraturan
tersebut menjadi tak berarti tanpa adanya dukungan yang dapat memaksa sesorang
untuk mematuhi peraturan tersebut. Dukungan yang dimaksud adalah penyertaan
ancaman hukuman atau sanksi yang menyertai kehadiran peraturan tersebut.
Sanksi sangat diperlukan untu mendukung peraturan yang dikenakan pada
perbuatan tindak pidana, dengan harapan yang bersangkutan tidak mengulangi
perbuatan tersebut. Disamping itu, agar perbuatan yang sama tidak ditiru orang
lain. Dengan demikian, terpeliharalah kepentinngan umum.45
a. Jarimah dan Uqubah
Fikih jinayah adalah ilmu tentang hukum syara‟ yang berkaitan dengan
masalah perbuatan yang dilarang (jarimah) dan hukumannya (uqubah), yang
diambil dari dalil-dalil yang terperinci. Defenisi tersebut merupakan gabungan
antara pengertian “fikih” dan “jinayah”. Dari pengertian tersebut dapat diketahui
45
objek pembahasan Fikih Jinayah itu secara garis besar ada dua, yaitu jarimah atau
tidak pidana dan uqubah atau hukumannya.
Pengertian jarimah sebagaimana dikemukakan oleh Imam Al-Mawardi adalah
sebagai berikut:
“Jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara‟ yanng
diancam oleh Allah dengan hukuman had atau ta‟zir”
Dalam istilah lain jarimah disebut juga dengan jinayah. Menurut Abdul Qadir
Audah pengertian jinayah adalah sebagai berikut:
“Jinayah adalah suatu istilah untuk perbuatann yang dilarang oleh
syara‟, baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta atau lainnya”
Adapun pengertian hukuman sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Qodir Audah
adalah “hukuman adalah pembalasan yang ditpkan untuk kemaslahatan
masyarakat, karena adanya pelanggaran atas ketentuan-ketentuan syara”.46
b. Unsur-unsur Tindak Pidana Islam (Jarimah)
Unsur-unsur Tindak Pidana Islam secara umum ada tiga, yaitu adanya
usnur formal, unsur materil dan unsur morial, adapun yang dimaksud dengan
ketiganya yakni sebagai berikut; 47
1. Unsur Formal atau Rukun Syar‟i
46
Ahmad wardi Muslisch, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika 2005), hal ix
47
Yang dimaksud dengan unsur formal atau rukun syar‟I adalah adanya
ketentuan syara atau nash yang menyatakan bahwa perbuatan yang dilakukan
merupakan perbuatan yang oleh hukum dinyatakan sebagai sesuatu yang dapat
dihukum atau adanya nash (ayat) yang mengancam hukuman terhadap perbuatan
yang dimaksud
2. Unsur Material atau Rukun Maddi
Yang dimaksud dengan unsur material adalah adanya perilaku yang
membentuk jarimah, baik berupa perbuatan ataupun tidak berbuat atau adanya
perbuatan yang bersifat melawan hukum.
3. Unsur Moril atau Rukun Adaby
Unsur ini juga disebut dengan al-mas‟uliyyah al-jinayah atau pertanggung
jawaban pidana. maksudnya adalah pembuat Jarimah (pembuat tindak pidana atau
delik) haruslah orang yang dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya. Oleh
karena itu pembuat Jarimah haruslah orang yang dapat memahami hukum,
mengerti isi beban, dan sanggup menerima beban tersebut. Orang – orang yang
diasumsikan memiliki kriteria tersebut adalah orang-orang yang mukallaf sebab
hanya merekalah yang terkena khitbah (panggilan) pembebanan (taklif).
c. Macam-Macam Jarimah
Diantara pembagian jarimah yang paling penting adalah pembagian yang
kepada tiga bagian, yaitu jarimah hudud, jarimah qishas dan diat, dan jarimah
ta‟zir.
1. Jarimah Hudud
Jarimah hudud adalah jarimah yang diancam dengan hukuman had.
Pengertian hukuman hadd, sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Qadir Audah ;
“Hukuman had adalah hukuman yang telah ditentukan oleh syara‟ dan merupakan
hak Allah”. Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa ciri khas jarimah
hudud adalah sebagai berikut:
a. Hukumannya tertentu dan terbatas, dalam arti bahwa hukuman tersebut telah
ditentukan oleh syara‟ dan tidak ada batas minimal dan maksimal.
b. Hukuman tersebut merupakan hak Allah semata-mata, atau kalau ada hak
manusia disamping hak Allah maka hak Allah yang lebih dominan.
Oleh karena hukuman had itu merupakan hak Allah maka hukuman
tersebut tidak bisa digugurkan oleh perseorangan (orang yang menjadi korban
atau keluarganya) atau oleh masyarakat yang diwakili oleh negara. Jarimah hudud
ini ada tujuh macam, yaitu: 48
1) Jarimah zina
2) Jarimah qadzaf
3) Jarimah syurb al-khamar
4) Jarimah pencurian
5) Jarimah hirabah
48
6) Jarimah riddah, dan
7) Jarimah pemberontakan (Al-Bagyu)
2. Jarimah Qisash dan Diat
Jarimah qishash dan diat adalah jarimah yang diancam dengan hukuman
qisash atau diat. Baik qisash maupun diat kedua-duanya adalah hukuman yang
sudah ditentukan oleh syara‟. Perbedaannnya dengan hukuman had adalah bahwa
hukuman had merupakan hak Allah (hak masyarakat), sedangkan qishash dan
diat mmerupakan hak manusia (hak individu). Disamping itu, perbedaan yang
lain adalah karena hukuman qishash dan diat merupakan hak manusia maka
hukuman tersebut bisa dimaafkn atau digugurkan oleh korban atau kelluarganya,
sedangkan hukuman had tidak bisa dimaafkan atau digugurkan. Pengertian
qisash, sebagaimana dikeukakan oleh Muhammad Abu Zahrah adalah
“persamaan dan keseimbangan antara jarimah dan hukuman”. Jarimah qhisash
dan diat ini hanya ada dua macamm, yaituu pemmbunuhan dan penganniayaan.
Namun apabila diperluas, jumlahnya ada lima macam, yaitu: 49
a. Pembunuhan sengaja
b. Pembunuhan mmenyerupai sengaja
c. Pembunuhan karena kesalahan
d. Penganiayaan sengaja
e. Penganiayaan tidak sengaja
49Ibid
3. Jarimah ta’zir
Jarimah ta‟zir adallah jarimah yang diancaam dengan hukuman ta‟zir.
Penngerttian ta‟zir menurut bahasa adallah ta‟dib, artinnya membeeri pelajaran.
Ta‟zir juga diartikan dengan Ar-Raddu wal Man‟u, yang artinya menolak dan
mencegah. Sedangkan pengertian ta‟zir menurut istilah, sebagaimana
dikemukakan olehh Al-Mawardi “Ta‟zir adalah hukuman penddidikan atas dosa
(tindak pidana) yang belum ditentukan hukumannya oleh syara”. Dari defenisi
tersebut, dapat diketahui bahw hukuman ta‟zir adala hukuman yang belum
ditentukan oleh syara‟ dan wewenang untuk menetapkannya diserahkan kepadda
ulil amri. Di samping itu, defenisi tersebut dapat diketahui bahwa ciri khas
jarimah ta‟zir adalah sebagai berikut: 50
a) Hukumannya tidak tertentu dan tidak terbatas, artinya, hukuman tersebut
belum ditentukan oleh syara‟ dan ada bas minimal dan maksimal.
b) Penentuan hukuman tersebut adalah hak penguasa (ulil amri).
3. Kejahatan terhadap Kesusilaan
Menurut Bemmelen kejahatan adalah Tiap kelakuan yang merugikan
(merusak) dan asusila, yang menimbulkan kegoncangan sedemikian besar dalam
suatu masyarakat tertentu, sehingga masyarakat itu berhak mencela dan
50Ibid
mengadakan perlawanan terhadap kelakuan tersebut dengan jalan menjatuhkan
dengan sengaja suatu nestapa terhadap pelaku perbuatan tersebut.51
Sedangkan kata Kesusilaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang
disusun oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan diterbitkan Balai Pustaka
1989. Dimuat artinya “perihal susila” kata susila dimuat arti sebagai berikut:52
a. Baik budi bahasanya, beradab, sopan santun, tertib;
b. Adat istiadat yang baik, sopan santun, kesopanan, keadaban;
c. Pengetahuan tentang adat;
Kesusilaan disini pada umumnya diartikan sebagai rasa kesusilaan yang
berkaitan dengan nafsu seksual, karena yurisprudensi memberikan pengertian
melanggar kesusilaan sebagai perbuatan yang melanggar rasa malu seksual (HR 1
desember 1970, NJ No. 374). Hal ini tidak pernah dibantah oleh para sarjana.
Simon misalnya mengatakan bahwa kriterium eer boarheid (kesusilaan) menuntut
bahwa isi dan pertunjukkan mengenai kehidupan seksual dan oleh sifatnya yang
tidak senonoh dapat menyinggung rasa malu atau kesusilaan orang
lain. Kesusilaan (zedelijkheid) adalah mengenai adat kebiasaan yang baik dalam
hubungan antar berbagai anggota masyarakat, tetapi khusus yang sedikit banyak
51Forum kajian ilmu kriminologi dan sosial
,http://qsukri.blogspot.com/2010/11/apa-itu-kejahatan.html, diakses pada hari sabtu 4 april 2014
52
mengenai kelamin (seks) seorang manusia, sedangkan kesopanan (zeden) pada
umumnya mengenai adat kebiasaan yang baik. 53
Menurut Barda Nawawi bahwa Delik Kesusilaan adalah delik yang
berbuhubungan dengan (masalah) kesusilaan. Definisi singkat dan sederhana itu
apabila dikaji lebih lanjut untuk mengetahui seberapa jauh ruang lingkupnya
ternyata tidaklah mudah, karena pengertian dan batas-batas “kesusilaan” itu cukup
luas dan dapat berbeda-beda menurut pandangan dan nilai-nilai yang berlaku
didalam masyarakat. Terlebih pada dasarnya setiap delik atau tindak pidana
mengandung didalamnya pelanggaran terhadap nilai-nilai kesusilaan; bahkan
dikatakan bahwa hukum itu sendiri pada hakikatnya merupakan nilai-nilai
kesusilaan yang minimal (das Recht ist das ethische minimum). 54
Istilah melanggar dalam melanggar kesusilaan sebenarnya tidak ada
hubungannya dengan kata pelanggaran asal kata dari overtredingen (jenis-jenis
tindak pidana dalam buku III KUHP), tetapi diartikan melakukan suatu perbuatan
yang dilarang. Melanggar kesusilaan artinya melakukan suatu perbuatan yang
menyerang rasa kesusilaan masyarakat.55 Adapun hal yang harus dipahami betul
bahwa isi atau materi/substansinya harus bersumber serta mendapat sandaran
yang kokoh dari moral agama, seperti yang dikatakan Barda Nawawi Arief,
ditambahkan bahwa penentuan delik Kesusilaan juga harus berorientasi pada
“nilai-nilai kesusilaan nasional” yang telah disepakati bersama dan juga
53Ibid 54
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana, (Jakarta: Kencana 2011), hal. 251
55
memperhatikan nilai-nilai kesusilaan yang hidup didalam masyarakat.56 Dalam
perkembangan penyusunan konsep KUHP, tidak lagi dibedakan antara “kejahatan
kesusilaan” dan “pelanggaran kesusilaan”. Konsep hanya mengelompokkan dalam
satu bab dengan judul “Tindak Pidana terhadap Pelanggaran Melanggar
Kesusilaan”.57
Oleh karena itu Maka dapat dikatakan seseorang dianggap melanggar
kesusilaan apabila perbuatan tersebut melanggar rasa malu seksual dan dianggap
menodai nilai-nilai kesusilaan yang hidup didalam masyarakat, serta nilai-nilai
kesusilaan tersebut berdasarkan nilai-nilai agama yang hidup didalam masyarakat
tersebut.
Adapun Ketentuan Tindak pidana kesusilaan (berkaitan dengan seks) yang
diatur didalam KUHP dapat dikelompokkan menjadi:
a. Bentuk kejahatan diatur dalam pasal 281-289 KUHP
b. Bentuk pelanggaran diatur dalam pasal 532-535 KUHP (Mengungkap atau mempertunjukkan sesuatu yang bersifat porno).
F. Metode Penelitian
Dalam penyusunan skripsi ini agar menjadi tulisan karya ilmiah yang
memenuhi kriteria, dibutuhkan data-data yang relevan dari skripsi ini. Dalam
56
Nyoman Serikat Putra Jaya, Pengembangan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti 2008), hal. 25
57
upaya pengumpulan data yang diperlukan, menerapkan metode pengumpulan data
sebagai berikut:
1. Sifat dan Jenis Penelitian
Sifat penelitian dibagi menjadi tiga yakni:58
a. Penelitian eksploratoris (explorative research) atau penjelajahan adalah
suatu penelitian yang dilakukan untuk memperoleh keterangan, penjelasan
dan data mengenai hal-hal yang belum diketahui.
b. Penelitian deskriptif Penelitian deskriptif adalah penelitian yang bertujuan
untuk melukiskan tentang sesuatu hal di daerah tertentu
c. Penelitian eksplanatoris Penelitian eksplanatoris merupakan suatu penelitian
untuk menerangkan, memperkuat atau menguji dan bahkan menolak suatu
teori atau hipotesa-hipotesa serta terhadap hasil-hasil penelitian yang
ada.
Dan sifat penelitian yang digunakan adalah deskriptif analisis. Menurut
Whitney, metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang
tepat.59 Tujuan penelitian deskriptif adalah menggambarkan secara tepat, sifat
individu, suatu gejala, keadaan atau kelompok tertentu.
58
Sejathi, Tipologi Penelitian Hukum, http://id.shvoong.com/law-and-politics/ contem porary-theory/2109107-tipologi-penelitian-hukum/
59
Dikenal ada dua jenis penelitian hukum, yaitu penelitian hukum normatif
dan penelitian hukum empiris (sosiologis). Hal tersebut sesuai dengan yang
dikemukakan Ronny Hanitijo Soemitro, bahwa:60
a. Penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doctrinal, yaitu penelitian
hukum yang menggunakan sumber data sekunder atau data yang diperoleh
melalui bahan-bahan kepustakaan.
b. Penelitian hukum empiris atau penelitian hukum sosiologis, yaitu penelitian
hukum yang memperoleh datanya dari data primer atau data yang diperoleh
langsung dari masyarakat.
Jenis penelitian yang digunakan adalah Penelitian Hukum Normatif yang
disebut juga dengan Penelitian Hukum Doktrinal. Jenis penelitian yang dilakukan
dan dipergunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah penelitian hukum normatif
atau penelitian hukum kepustakaan yang dilakukan dengan cara meneliti bahan
pustaka atau data sekunder. 61 Seperti yang diungkapkan oleh Peter Mahmud
Marzuki bahwa tujuan penelitian hukum normatif, yakni;
“…suatu proses untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip-prinsip
hukum, maupun doktrin-doktrin hukum untuk menjawab permasalahan hukum
yang dihadapi. … Penelitian hukum normatif dilakukan untuk menghasilkan
argumentasi, teori atau konsep baru sebagai presripsi dalam menyelesaikan
masalah yang dihadapi…”62
60
Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Cetakan 1 2010), hal. 154
61
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 2004), hal. 23
62
Adapun karakteristik penelitian hukum normatif yakni:63
a. Sebagai sumber datanya hanyalah data sekunder (kepustakaan), yang terdiri
dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier;
b. Penyusunan kerangka teoritis yang bersifat tentatif (skema) dapat ditinggalkan
tetapi penyusunan kerangka konseptual mutlak perlu;
c. Tidak diperlukan hipotesis, kalaupun ada hanya hipotesis kerja;
d. Konsekuensi dari (hanya) menggunakan data sekunder, maka penelitian hukum
normatif tidak diperlukan sampling, karena data sekunder (sebagai sumber
utamanya) memiliki bobot dan kualitas tersendiri yang tidak bisa diganti
dengan data jenis lainnya.
2. Sumber Data
Dalam penelitian hukum terdapat dua jenis data yang diperlukan. Hal
tersebut diperlukan karena penelitian hukum itu ada yang merupakan penelitian
hukum normatif dan ada penelitian hukum empiris. Jenis data yang pertama
disebut sebagai data sekunder dan jenis data yang kedua disebut dengan data
primer.64
Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder. Data
sekunder atau data kepustakaan atau dikenal dengan bahan hukum dalam
penelitian hukum seperti ada kesepakatan yang tidak tertulis dari para ahli peneliti
hukum, bahwa hukum itu berupa berbagai literatur yang dikelompokkan.65 Data
sekunder diperoleh dengan cara menelurusuri bahan-bahan yang berkaitan dengan
63
Amiruddin dan Zainal Asikin, Op.Cit, hal.118-120.
64Ibid,
hal. 156
65