• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perbandingan Tindak Pidana Perzinahan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dan Hukum Islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perbandingan Tindak Pidana Perzinahan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dan Hukum Islam"

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang

Hukum ada pada setiap masyarakat dimanapun dimuka bumi ini (Ubi

societas Ibi ius). Primitif dan modernnya suatu masyarakat pasti mempunyai

hukum. Oleh karena itu keberadaan (eksistensi) hukum sifatnya universal. Hukum

tidak bisa dipisahkan dengan masyarakat, keduanya mempunyai hubungan timbal

balik. Aristoteles menyatakan bahwa manusia adalah Zoon Politicon yang artinya

bahwa manusia itu pada dasarnya selalu ingin bergaul, berkumpul dan membaur

dengan sesama manusia. Oleh karena sifat manusia itu disebut “mahkluk sosial”.

Manusia sebagai mahkluk individu bisa saja mempunyai sifat untuk hidup

menyendiri, tetapi manusia sebagai mahkluk sosial tidak akan mungkin dapat

hidup menyendiri. Manusia harus hidup bermasyarakat, sebab ia lahir, hidup,

berkembang, dan meninggal dunia didalam masyarakat.

Setiap anggota masyarakat tersebut pasti memiliki kebutuhan dan

kepentingan. Dengan adanya kebutuhan dan kepentingan yang berbeda-beda

didalam masyarakat tersebut maka sering terjadi pertentangan-pertentangan antara

satu kepentingan dengan kepentingan lainnya. Agar kepentingan-kepentingan

yang saling bertentangan tersebut tidak menimbulkan kekacauan didalam

masyarakat dan agar kedamaian serta ketentraman dapat dipelihara maka perlu

adanya suatu kekuasaan berupa petunjuk-petunjuk hidup atau peraturan-peraturan

(2)

Indonesia sebagai Negara Hukum memiliki aturan-aturan yang wajib

dipatuhi oleh masyarakatnya agar kepentingan-kepentingan yang berbeda-beda

didalam masyarakat tersebut terhindar dari pertentangan-pertentangan antara satu

kepentingan dengan kepentingan lainnya, agar kepentingan-kepentingan yang

saling bertentangan tersebut tidak menimbulkan kekacauan didalam masyarakat

dan agar kedamaian serta ketentraman dapat dipelihara.

Tolak ukur praktis mengenai filsafat hukum nasional Indonesia tidak lain

adalah Pancasila yang terdiri dari lima sila dan merupakan abstraksi dari

nilai-nilai luhur kehidupan manusia Indonesia, yang didalamnya terkandung cita-cita

hukum bangsa. Diantara kelima sila tersebut menurut Muhammad Hatta yang

merupakan salah seorang dari the founding fathers Negara Indonesia yang juga

merupakan proklamator kemerdekaan Indonesia bersama Soekarno, sila

ke-Tuhanan Yang Maha Esa, merupakan sila pertama dan sekaligus merupakan sila

yang utama. Sila pertama ini menyinari, mengayomi, memimpin dan

mempersatukan keempat sila lainnya.

Sistem hukum Indonesia itu haruslah didasarkan kepada prinsip

ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Ini pula sebabnya mengapa sistem peradilan

diIndonesia yang merupakan bagian dari sistem hukum, harus didasarkan kepada

prinsip ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Setiap putusan hakim, harus dijatuhkan demi

keadilan berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Demikian pula dalam

pembukaan UUD 1945, Tuhan diakui sebagai pemberi Rahmat bagi upaya

terwujudnya cita-cita kemerdekaan Republik Indonesia dalam kata-kata : “… Atas

(3)

dengan ini kemerdekaannya…”. Bahkan mengenai sumpah Presiden dan Wakil

Presiden juga diatur berdasarkan pasal 9 UUD 1945, harus diucapkan dimulai

dengan kata-kata “Demi Allah”.1 Sejalan dengan hal tersebut didalam pasal 29

ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa Negara (Republik

Indonesia) berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.

Indonesia merupakan Negara Hukum yang hukum-hukum berpedoman

kepada nilai-nilai KeTuhanan dan bukan negara sekuler atau liberal yang

memisahkan antara kehidupan bernegara dengan kehidupan beragama yang

kemudian hanya menggunakan rasionalisasi manusia. Dengan demikian, praktek

kehidupan berbangsa dan bernegara harusnya selalu dilandasi oleh nilai-nilai

keagamaan, dan budaya luhur bangsa Indonesia.

Apabila hukum lain selain hukum pidana tersebut gagal, hukum pidana

haruslah maju kedepan. Hal ini pernah dikemukakan Modderman dengan

mengatakan, Negara seyogyanya memidana hal-hal yang bertentangan dengan

hukum, yang tidak dapat dihambat dengan oleh upaya-upaya lain dengan baik,

sehingga pidana tetap merupakan ultimum remedium (merupakan upaya

terakhir).2

Menurut Soedarto hukum pidana secara umum ditanggapi sebagai semua

peraturan yang dibuat oleh yang berwenang dengan tujuan mengatur tata

kehidupan bermasyarakat yang berupa larangan dan bersifat memaksa, dimana

1

Jimly Asshiddiqie. Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, (Bandung:Angkasa 1996), hal. 194

2

(4)

penjatuhan pidana diberikan kepada seseorang yang melanggarnya. Menurutnya

bahwa hukum pidana memuat aturan-aturan hukum yang mengikatkan kepada

perbuatan-perbuatan yang memenuhi syarat tertentu akibat yang berupa pidana.3

Adapun tujuan pidana menurut Roeslan Saleh yaitu: 4

1. Dari segi prevensi, yaitu bahwa hukum pidana adalah hukum sanksi, suatu

upaya untuk dapat mempertahankan kelestarian hidup bersama dengan

melakukan pencegahan kejahatan; dan

2. Dari segi pembalasan yaitu bahwa hukum pidana sekaligus merupakan pula

penentuan hukum, merupakan koreksi dan reaksi atas sesuatu yang bersifat

melawan hukum sehingga dapat dikatakan bahwa pidana adalah merupakan

perlindungan terhadap masyarakat dan pembalasan atas perbuatan melawan

hukum. Disamping mengandung hal-hal lain yaitu bahwa pidana diharapkan

sebagai sesuatu yang akan membawa kerukunan dan pidana adalah suatu

proses pendidikan untuk menjadikan orang dapat diterima kembali dalam

masyarakat.

Realitanya dilapangan apabila kita melihat tujuan dari pidana yang

diungkapkan Roeslan Saleh tersebut diatas dan dikaitkan dengan Tindak Pidana

Perzinahan yang telah ada diatur didalam hukum pidana Indonesia (Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana) ternyata masih jauh dari harapan dan tujuan dari

hukum pidana tersebut.

3

Roni wijayanto, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, Mandar maju , Bandung, 2012, hal. 9

4

(5)

Zina sudah dianggap sebagai suatu perbuatan yang sudah biasa atau lazim

didalam masyarakat Indonesia. Meningkatnya budaya seks bebas di kalangan

pelajar adalah salah satu faktor yang sangat mempengaruhi dan mengancam masa

depan bangsa Indonesia. Bahkan perilaku seks pra nikah tersebut dari tahun ke

tahun terus meningkat. Pendataan yang dilakukan oleh Direktur Remaja dan

Perlindungan Hak-Hak Reproduksi Badan Koordinasi Keluarga Berencana

Nasional (BKKBN), Masri Muadz, menunjukan kasus tersebut memperlihatkan

peningkatan yang semakin miris, sebagai berikut; 5

1. Menurut penuturan Masri kepada okezone, belum lama ini, Wimpie Pangkahila pada tahun 1996 melakukan penelitian terhadap remaja SMA di

Bali. Dia mengambil sampling 633. Kesemuanya memiliki pengalaman

berhubungan seks pra nikah, dengan persentase perempuan 18% dan 27%

laki-laki. Sedangkan penelitian Situmorang tahun 2001 mencatat, laki-laki

dan perempuan di Medan mengatakan sudah melakukan hubungan seks

dengan komposisi, 9% perempuan dan 27% laki-laki. Survei Kesehatan

Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI) di tahun 2002-2003, remaja

mengatakan mempunyai teman yang pernah berhubungan seksual pada: usia

14-19 tahun, perempuan 34,7%, laki-laki 30,9%. Sedangkan pada usia 20-24

tahun perempuan 48,6% dan laki-laki 46,5%.

2. SKRRI pun melanjutkan analisanya pada tahun 2003 dengan memetakan

beberapa faktor yang mempengaruhi mereka melakukan seks pra nikah.

5

OkeZone.com NEWS., Tiap Tahun, Remaja Seks Pra Nikah Meningkat, diakses dari

(6)

Menurut SKRRI, faktornya yang paling mempengaruhi remaja untuk

melakukan hubungan seksual antara lain: Pertama, pengaruh teman sebaya

atau punya pacar. Kedua, punya teman yang setuju dengan hubungan seks

para nikah. Ketiga, punya teman yang mendorong untuk melakukan seks pra

nikah.

3. Di tahun 2005 Yayasan DKT Indonesia melakukan penelitian yang sama.

DKT memfokuskan penelitiannya di empat kota besar antara lain:

Jabodetabek, Bandung, Surabaya, dan Medan. Berdasarkan norma yang

dianut, 89% remaja tidak setuju adanya seks pra nikah. Namun, kenyataannya

yang terjadi di lapangan, pertama, 82% remaja punya teman yang melakukan

seks pra nikah. Kedua, 66% remaja punya teman yang hamil sebelum

menikah. Ketiga, remaja secara terbuka menyatakan melakukan seks pra

nikah. Persentase tersebut menunjukkan angka yang fantastis. Jabodetabek

51%, Bandung 54% Surabaya 47% dan Medan 52%.

4. Tahun 2006 PKBI menyebutkan, pertama, kisaran umur pertama kali yakni

13-18 tahun melakukan hubungan seks. Kedua, 60% tidak menggunakan alat

atau obat kontrasepsi. Ketiga, 85% dilakukan di rumah sendiri. Sementara

merujuk pada data Terry Hull dkk (1993) dan Utomo dkk (2001), PKBI

menyebutkan, 2,5 juta perempuan pernah melakukan aborsi per tahun dan

27% atau kurang lebih 700 ribu remaja dan sebagian besar dengan tidak

aman. Selain itu 30-35% aborsi penyumbang kematian ibu.

5. Pada 2007 SKRRI melakukan penelitian kembali. Penelitian tersebut

(7)

a. Pertama, perilaku seks pranikah remaja cenderung terus meningkat dan

kehamilan yang tidak diinginkan (KTD) juga terjadi pada remaja.

b. Kedua, jumlah kelompok remaja Indonesia yang menginginkan

pelayanan Keluarga Berencana (KB) diberikan kepada mereka.

c. Ketiga, meningkat jauh dari SKRRI 2002.

d. Keempat, jumlah remaja 15-24 tahun sekitar 42 juta jiwa, berarti sekitar

37 juta jiwa remaja membutuhkan alokon tidak terpenuhi (unmet need

berKB kelompok remaja).

e.Kelima, kelompok ini akan tetap menjadi unmet need. Sebab dalam

undang-undang No 10 tahun 1992, pelayanan KB hanya diperuntukkan

bagi pasangan suami istri, sesuai dengan pemilihannya.

6. Bahkan, temuan Lembaga Studi Cinta dan Kemanusiaan serta Pusat

Penelitian Bisnis dan Humaniora (LSCK-PUSBIH) di tahun 2008 lebih

mengagetkan lagi. LSCK-PUSBIH melakukan penelitian terhadap 1.660

mahasiswi di Yogyakarta. Hasil yang mereka dapatkan, 97,05% mahasiswi di

Yogyakarta sudah hilang kegadisannya dan 98 orang mengaku pernah

melakukan aborsi.

7. Kemudian Penelitian yang dilakukan Komnas Perlindungan Anak (KPAI) di

33 Provinsi pada bulan Januari-Juni 2008 menyimpulkan empat hal: Pertama,

97% remaja SMP dan SMA pernah menonton film porno. Kedua, 93,7%

remaja SMP dan SMA pernah ciuman, genital stimulation (meraba alat

kelamin) dan oral seks. Ketiga, 62,7% remaja SMP tidak perawan. Dan yang

(8)

Bahkan baru-baru ini kita mendengar ada kasus penyimpangan pelajar

siswa dan siswi SMP (Sekolah Menengah Pertama) di Ibu Kota Jakarta yang

sudah berani melakukan dan bahkan merekam perbuatan yang menyimpang

tersebut, dan hal ini sudah merupakan yang kesekian kalinya dilakukan.6 Dapat

dibayangkan ketika anak-anak yang masih duduk disekolah menengah pertama

saja sudah berani melakukan perbuatan persetubuhan diluar pernikahan (Zina) dan

bahkan berani merekam perbuatan mereka tersebut, bagaimana lagi dengan orang

yang lebih dewasa dari mereka yang merupakan contoh dan panutan bagi mereka?

Sangat diharapkan regulasi mengenai perzinahan kedepannya haruslah

lebih komperhensif, serta relevan dengan kepentingan masyarakat. Dan tentunya

dapat menjaga dan melindungi seluruh kepentingan, baik itu kepentingan yang

bersifat horizontal (manusia dengan manusia) maupun yang bersifat vertikal

(manusia dengan Tuhan).

Hal tersebut sesuai dengan tujuan hukum yang disebutkan oleh Jeremy

Bentham bahwa hukum harus menuju kearah barang apa yang berguna (anggapan

yang mengutamakan utilitet utiliteits theorie). Menurut anggapan itu hukum

mewujudkan semata-mata apa yang berfaedah bagi orang lain.7

Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan diatas, maka penulis tertarik

untuk menyusun skripsi yang berjudul “PERBANDINGAN TINDAK PIDANA

PERZINAHAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA

DAN HUKUM ISLAM”

6

VOAislam, Anak SMP buat video seks, bukti Zina sudah merajalela dan dianggap Biasa

, diakses dari , http://m.voa-islam.com//news/aqidah/2013/10/25/27269/anak-smp-buat-video-seks-bukti-zinah-sudah-merajalela-dianggap-biasa/... pada tanggal 1 Desember 2013

7

(9)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang skripsi ini, maka ada permasalahan yang akan

menjadi bahasan dalam skripsi ini. Perumusan masalah yang diangkat dalam

tulisan ini adalah sebagai berikut;

1. Bagaimanakah Pengaturan Tindak Pidana Perzinahan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana?

2. Bagaimanakah Pengaturan Tindak Pidana Perzinahan menurut Hukum Islam?

3. Bagaimana perbandingan Tindak Pidana Perzinahan Menurut Kitab Undang Undang Hukum Pidana dan Menurut Hukum Islam

C. Tujuan dan manfaat Penelitian

Karya Tulis ini bertujuan untuk mengetahui sejarah dan unsur-unsur yang

mempengaruhi Tindak Pidana Perzinahan yang berlaku saat ini kemudian

membandingkannya dengan Tindak Pidana menurut Hukum Islam dan mengambil

kesimpulan, manakah yang lebih bermanfaat (berfaedah) bagi masyarakat

Indonesia. Dan dari penelitian ini semoga dapat bermanfaat dan memperkaya

literatur-literatur yang telah ada sebelumnya, khususnya mengenai Tindak Pidana

Perzinahan dan dapat menjadi acuan untuk penelitian yang lebih mendalam yang

kemudian dapat menjadi sumber pertimbangan bagi hukum positif yang

menyangkut tentang perzinahan dimasa mendatang. Sehingga diharapkan dapat

(10)

D. Keaslian Penulisan

Adapun karya tulis dengan judul ““PERBANDINGAN TINDAK

PIDANA PERZINAHAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM

PIDANA DAN HUKUM ISLAM ” dibuat dengan sebenarnya oleh penulis

dengan dibantu oleh buku-buku dari kepustakaan yang ada. Keaslian Penulisan ini

juga bisa dibuktikan dengan adanya surat Keterangan Lulus Perpustakaaan yang

ditetapkan oleh Kepala Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

tertanggal ( ). Dan apabila ternyata dikemudian hari ada masalah

berkenaan dengan karya tulis ini maka penulis akan bersedia

mempertanggungjawabkannya

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Hukum Pidana menurut kajian KUHP dan Hukum Islam

a. Hukum Pidana menurut kajian KUHP

1) Pengertian Hukum Pidana

Stelsel pidana merupakan bagian dari hukum penitensier yang di dalamnya

berisikan tentang jenis pidana, cara dan dimana menjalankannya, begitu juga

mengenai pengurangan, penambahan, dan pengecualian penjatuhan pidana.

Hukum penitensier juga di samping itu berisi tentang sistem tindakan (maatregel

stelsel). Dalam usaha negara mempertahankan dan menyelenggarakan ketertiban,

melindunginya dari penyimpangan terhadap berbagai kepentingan hukum, secara

(11)

juga diberi hak untuk menjatuhkan tindakan (maatregelen).8 Pidana berasal dari

kata straf (Belanda), yang adakalanya disebut dengan istilah hukuman. Istilah

pidana lebih tepat dari istilah hukuman, karena sudah lazim merupakan

terjemahan dari recht.9

Pidana lebih tepat didefinisikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja

dijatuhkan/diberikan oleh negara pada seseorang atau beberapa orang sebagai

akibat hukum (sanksi) baginya atas perbuatannya yang telah melanggar larangan

hukum pidana yang secara khusus larangan dalam hukum pidana ini disebut

sebagai tindak pidana (strafbaar feit).10 Pergaulan manusia didalam kehidupan

bermasyarakat tidak selamanya berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Manusia

selalu diharapkan pada masalah-masalah atau pertentangan dan konflik

kepentingan antar sesamanya. Keadaan yang demikian ini hukum diperlukan

untuk menjaga keseimbangan dan ketertiban dalam masyarakat. Istilah hukum

pidana dalam bahasa Belanda disebut dengan Strafrecht sedangkan dalam bahasa

Inggris istilah pidana disebut dengan Criminal Law. Pidana merupakan istilah

yang lebih khusus, maka perlu ada pembatasan pengertian atau makna sentral

yang dapat menunjukkan ciri-ciri atau sifat-sifatnya yang khas. Beberapa

pendapat dari para Sarjana tentang pidana yaitu sebagai berikut :

Menurut Sudarto : Pidana adalah nestapa yang diberikan oleh negara

kepada seseorang yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan

8

Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana (Jakarta: RajaGrafindo,2010) hal.23

9Ibid.,

hal.24.

10Ibid.,

(12)

undang (hukum pidana), sengaja agar dirasakan sebagai nestapa.11 Pemberian

nestapa atau penderitaan yang sengaja dikenakan kepada seorang pelanggar

ketentuan Undang-undang tidak lain dimaksudkan agar orang itu menjadi jera.

Hukum pidana sengaja mengenakan penderitaan dalam mempetahankan

norma-norma yang diakui dalam hukum. Sanksi yang tajam dalam hukum pidana inilah

yang membedakannya dengan bidang-bidang hukum yang lain. Inilah sebabnya

mengapa hukum pidana harus dianggap sebagai sarana terakhir apabila sanksi

atau upaya-upaya pada bidang hukum yang lain tidak memadai.

Menurut Roeslan Saleh dalam buku Stelsel Pidana Indonesia mengatakan

bahwa pidana adalah reaksi-reaksi atas delik, yang berwujud suatu nestafa yang

sengaja ditampakan negara kepada pembuat delik.12 Pengertian pidana menurut

Roeslan Saleh ini pada dasarnya hampir sama dengan pengertian pidana dari

Sudarto, yaitu bahwa pidana berwujud suatu nestapa, diberikan oleh negara,

kepada pelanggar. Reaksi-reaksi atas delik yang dikemukakan oleh Roeslan Saleh

ini menunjukkan bahwa suatu delik dapat memberikan reaksinya atau imbalannya

apabila dilanggar, yaitu berupa ancaman hukuman atau pidana.

Menurut Sudarto, perkataan pemidanaan adalah sinonim dari perkataan

penghukuman. Tentang hal tersebut beliau berpendapat bahwa 13 “Penghukuman

itu berasal dari kata dasar hukum, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan

hukum suatu peristiwa itu tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja,

11

Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana (Bandung: Alumni, 1981) hal.109-110.

12

Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia (Jakarta: Bina Aksara, 1987) hal.5.

13

(13)

akan tetapi juga hukum perdata, oleh karena tulisan ini berkisar pada hukum

pidana, maka istilah tersebut harus disempitkan artinya, yakni penghukuman

dalam arti pidana, yaitu kerap kali dengan pemidanaan atau pemberian atau

penjatuhan pidana oleh hakim. Penghukuman dalam hal ini mempunyai makna

yang sama dengan sentence atau veroordeling.”

2) Tujuan Hukum Pidana menurut KUHP

Sebagian besar para ahli hukum berpendapat bahwa hukum pidana adalah

“Kumpulan aturan yang mengandung larangan dan akan mendapatkan sanksi

pidana atau hukuman bila dilanggar”. Sanksi didalam hukum pidana jauh lebih

keras dibandingkan dengan akibat sanksi hukum yang lainnya, “akan tetapi ada

juga para ahli yang berpendapat sanksi belaka sebagai ancaman pidana sehingga

hukum pidana adalah hukum sanksi belaka.14

Menurut Soedarto hukum pidana secara umum ditanggapi sebagai semua

peraturan yang dibuat oleh yang berwenang dengan tujuan mengatur tata

kehidupan bermasyarakat yang berupa larangan dan bersifat memaksa, dimana

penjatuhan pidana diberikan kepada seseorang yang melanggarnya. Menurutnya

bahwa hukum pidana memuat aturan-aturan hukum yang mengikatkan kepada

perbuatan-perbuatan yang memenuhi syarat tertentu akibat yang berupa pidana.15

Adapun tujuan pidana menurut Roeslan Saleh yaitu: 16

14

Marlina, Op.Cit,, hal. 15

15

Roni wijayanto, Op.Cit, hal. 9

16

(14)

1. Dari segi prevensi, yaitu bahwa hukum pidana adalah hukum sanksi, suatu

upaya untuk dapat mempertahankan kelestarian hidup bersama dengan

melakukan pencegahan kejahatan; dan

2. Dari segi pembalasan yaitu bahwa hukum pidana sekaligus merupakan pula

penentuan hukum, merupakan koreksi dan reaksi atas sesuatu yang bersifat

melawan hukum sehingga dapat dikatakan bahwa pidana adalah merupakan

perlindungan terhadap masyarakat dan pembalasan atas perbuatan melawan

hukum. Disamping mengandung hal-hal lain yaitu bahwa pidana diharapkan

sebagai sesuatu yang akan membawa kerukunan dan pidana adalah suatu

proses pendidikan untuk menjadikan orang dapat diterima kembali dalam

masyarakat.

b. Hukum Pidana menurut kajian Hukum Islam (Hukum Pidana Islam)

1) Pengertian Hukum Pidana menurut Hukum Islam (Hukum Pidana Islam)

Pengertian islam secara terminologis diungkapkan Ahmad Abdullah

Almasdoos (1962) bahwa islam adalah kaidah hidup yang diturunkan kepada

manusia sejak manusia digelarkan kemuka bumi. Dan terbina dalam bentuknya

yang terakhir dan sempurna dalam Al-qur‟an yang suci yang diwahyukan Tuhan

kepada Nabi-Nya yang terakhir, yakni nabi Muhammad ibn Abdullah, satu kaidah

hidup yang memuat tuntunan yang jelas dan lengkap mengenai aspek hidup

manusia, baik spiritual maupun material.17

17

(15)

Dari definisi itu dapat disimpulkan bahwa islam adalah agama yang

diturunkan Allah kepada manusia melalui Rasul-rasulNya, berisi hukum-hukum

yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, manusia dengan manusia, dan

manusia dengan alam semesta,. Agama yang diturunkan Allah kemuka bumi sejak

Nabi Adam sampai Nabi Muhammad SAW adalah agama Islam sebagaimana

diungkapkan oleh Al-qur‟an : 18

Sesungguhnya agama disisi Allah adalah agama Islam (Ali Imran: 19)

Setelah memaknai Islam seperti penjelasan diatas, barulah kita

membicarakan apa itu Hukum Islam. Jika kita berbicara tentang hukum, secara

sederhana terlintas dalam pikiran kita peraturan-peraturan atau seperangkat norma

yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat, baik peraturan atau

norma itu berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat

maupun peraturan atau norma yang dibuat dengan cara tertentu dan ditegakkan

oleh penguasa. Bentuknya mungkin berupa hukum yang tidak tertulis seperti

hukum adat, mungkin juga berupa hukum tertulis dalam peraturan

perundang-undangan seperti hukum Barat. Hukum Barat melalui asas konkordansi, sejak

pertengahan abad ke-19 (1855) berlaku di Indonesia. Hukum dalam konsepsi

seperti hukum Barat adalah hukum yang sengaja dibuat oleh manusia untuk

mengatur kepentingan manusia sendiri dalam masyarakat tertentu. Dalam

(16)

konsepsi hukum perundang-undangan (Barat), yang diatur oleh hukum hanyalah

hubungan manusia dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat.19

Dibandingkan dengan konsepsi Hukum Islam, dasar dan kerangka

hukumnya ditetapkan oleh Allah, tidak hanya mengatur hubungan manusia

dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat, tetapi juga

hubungan-hubungan lainnya, karena manusia yang hidup dalam masyarakat itu mempunyai

berbagai hubungan. Hubungan-hubungan itu, seperti telah berulang disinggung

dimuka, adalah hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan

dirinya sendiri, hubungan manusia dengan manusia lain dan hubungan manusia

dengan benda dalam masyarakat serta alam sekitarnya.20

Dalam sistem Hukum Islam ada lima hukm atau kaidah yang dipergunakan

sebagai patokan mengukur perbuatan manusia baik dibidang ibadah maupun

dilapangan muamalah. Kelima jenis kaidah tersebut, disebut ahkam

al-khamsah, atau penggolongan hukum yang lima (Sajuti Thalib, 1985: 16) yaitu (1)

Ja‟iz atau mubah atau ibahah, (2) sunnat, (3) makruh, (4) wajib dan (5) haram.21

Kemudian sumber Hukum Islam, Allah telah menentukan sendiri sumber

hukum (agama dan ajaran) Islam yang wajib diikuti oleh setiap muslim. Menurut

Al-qur‟an surat Al-Nisa (4) ayat 59, setiap muslim wajib mentaati (mengikuti)

kemauan atau kehendak Allah, kehendak rasul dan kehendak ulil amri yakni

orang yang mempunyai kekuasaan atau “penguasa”. Kehendak Allah berupa

19

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada Cetakan ke-18 2012), hal. 43

(17)

ketetapan kini tertulis didalam Al-qur‟an, kehendak rasul berupa sunnah

terhimpun sekarang didalam kitab-kitab hadis, kehendak “penguasa” kini dimuat

didalam peraturan perundang-undangan (dulu dan sekarang) atau dalam hasil

karya orang yang memenuhi syarat untuk berijtihad karena mempunyai

“kekuasaan” berupa ilmu pengetahuan untuk mengalirkan (ajaran) Hukum Islam

dari dua sumber utamanya yakni dari Al-qur‟an dan dari kitab-kitab hadis yang

memuat Sunnah Nabi Muhammad. Yang ditetapkan Allah dalam Al-qur‟an itu

dirumuskan dengan jelas dalam percakapan Nabi Muhammad SAW dengan

sahabat Beliau Mu‟az bin Jabal, yang didalam kepustakaan terkenal dengan hadits

Mu‟az. Demikianlah menurut riwayat, pada suatu ketika Nabi Muhammad

mengirimkan seorang sahabatnya ke Yaman (dari Madinah) untuk menjadi

gubernur disana. Sebelum berangkat, nabi Muhammad SAW menguji sahabatnya

yang bernama Mu‟az bin Jabal itu, dengan menanyakan sumber hukum yang akan

dipergunakannya kelak untuk memecahkan berbagai masalah dan atau sengketa

yang dijumpainya didaerah baru itu. Pertanyaan itu dijawab oleh Mu‟az dengan

mengatakan bahwa ia akan mempergunakan Al-qur‟an. Jawaban tersebut disusul

oleh Nabi dengan pertanyaan: “Jika tidak terdapat petunjuk khusus (mengenai

suatu masalah) dalam Al-quran bagaimana? “Mu‟az menjawab: “saya akan

mencarinya dalam sunnah nabi. Nabi bertanya lagi: “kalau engkau tidak

menemukan petunjuk dalam sunnah nabi, bagaimana?” Mu‟az menjawab: “Jika

demikian, saya akan berusaha sendiri mencari sumber pemecahannya dengan

(18)

dengan jawaban dari Mu‟az tersebut dan berkata: Aku bersyukur kepada Allah

yang telah menuntun utusan rasul-Nya. 22

Dari hadits Mu‟az bin Jabal diatas, dapatlah disimpulkan bahwa sumber

Hukum Islam ada tiga, yaitu (1) Al-qur‟an, (2) As-Sunnah, dan (3) akal pikiran

manusia yang memenuhi syarat untuk berijtihad. Akal pikiran ini, dalam

kepustakaan Hukum Islam, disebut juga dengan istilah ar-ra‟yu atau pendapat

orang atau pendapat orang-orang yang memenuhi syarat untuk menentukan nilai

dan norma (kaidah) pengukur tingkah-laku manusia dalam segala bidang hidup

dan kehidupan.

Selanjutnya Perbuatan manusia yang dinilai sebagai pelanggaran atau

kejahatan kepada sesamanya, baik pelanggaran atau kejahatan tersebut secara fisik

atau non fisik, seperti membunuh, menuduh, atau memfitnah maupun kejahatan

terhadap harta benda dan lainnya, dibahas didalam Hukum Pidana Islam.

Ulama-ulama muta‟akhirin menghimpunnya dalam bagian khusus yang dinamai fiqih

jinayah, yang dikenal dengan Hukum Pidana Islam. Didalamnya terhimpun

pembahasan semua jenis pelanggaran atau kejahatan manusia dengan berbagai

sasaran, badan, jiwa, harta benda, kehormatan, nama baik, negara, tatanan hidup,

dan lingkungan hidup.23

Adapun asas-asas didalam hukum pidana islam yang terkandung didalam

Al-qur‟an dan Hadits Rasulullah SAW, baik secara eksplisit maupun secara

implisit. Beberapa asas hukum pidana yang umum oleh para pakar Hukum Islam,

22Ibid.

hal 73

23

(19)

diantaranya Ahmad Hanafi, Mohammad Daud Ali, yaitu asas legalitas, asas

larangan memindahkan kesalahan kepada orang lain, asas praduga tak bersalah..24

1) Asas Legalitas.

Asas ini didalam bahasa latin disebut Nullum Delictum Nulla Poena Sine

Praevia Lege Poenali (seseorang tidak dapat dihukum apabila tidak ada hukum

yang mengatur perbuatan yang telah dilakukannya). Asas ini merupakan jaminan

dasar bagi kebebasan individu dengan memberi batas aktifitas apa yang dilarang

secara jelas dan tepat. Asas ini melindungi dari penyalahgunaan kekuasaan atau

kesewenang-wenangan hakim, menjamin keamanan individu dengan informasi

apa yang boleh dan apa yang dilarang.

Asas legalitas didalam Hukum Islam bukan berdasarkan akal manusia,

tetapi dari ketentaun Allah. Dalam Kitab Suci Al-qur‟an Allah SWT Berfirman:

“…. Dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang

rasul.” (Q.S. Al-Israa‟;15)

Jadi jauh sebelum Declaration of the Right Human and Citizen (yang

dianggap sebagai tonggak sejarah dalam membasmi kesewenang-wenangan).

Asas legalitas ini sudah ada didalam Hukum Islam. Karena hukum ini merupakan

hukum yang berasal dari Allah, maka Allah lah yang paling mengerti apa yang

paling baik bagi hambah-hambahNya.

2) asas larangan memindahkan kesalahan kepada orang lain

24

(20)

Dasar dari asas ini adalah surat al-Isra ayat 15, bahwa

“… Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan

Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul.

Kemudian Surat an-Najm ayat 38 - 39, Fatir Ayat 18, dan Luqman ayat 33.

Maka perbuatan pidana yang dilakukan oleh seseorang tidak dapat ia pindahkan

kepada orang lain. Termasuk tindak pidana yang dilakukan oleh seorang bapak

tidak dapat dipindahkan ke anaknya dan sebaliknya.

3) Asas Praduga Tidak Bersalah (The Presumption of innocence)

Suatu konsekuensi yang tidak bisa dihindarkan dari asas legalitas adalah

asas praduga tidak bersalah. “Principle Of Lawfulness”. Menurut asas ini semua

perbuatan (kecuali ibadah khusus) dianggap boleh kecuali dinyatakan sebaliknya

oleh suatu nash hukum. Selanjutnya setiap orang dianggap tidak bersalah untuk

suatu perbuatan jahat kecuali dibuktikan kesalahannya pada suatu kejahatan tanpa

ada keraguan; jika suatu keraguan yang beralasan muncul, seorang tertuduh harus

dibebaskan (Sanad, 1991;72).25

Konsep ini juga sebenarnya sudah ada empat belas abad yang lalu, Nabi

Muhammad SAW Bersabda;

Hindarkan bagi muslim hukuman hudud kapan saja kamu dapat dan bila

kamu dapat menemukan jalan untuk membebaskannya. Jika imam salah,

25

(21)

lebih baik salah dalam membebaskan dari pada salah dalam

menghukum”26

2) Tujuan Hukum Pidana Islam

Pembuat hukum tidak menyusun ketentuan-ketentuan hukum dari syariat

tanpa tujuan apa-apa, melainkan disana ada tujuan tertentu yang luas. Dengan

demikian untuk memahami pentingnya suatu ketentuan, mutlak perlu diketahui

apa tujuan dari ketentuan itu. Disamping itu Karena kata-kata dan teks dari suatu

ketentuan mungkin mengandung beberapa arti dari sekian arti lain. Kecuali kita

mengetahui tujuan nyata dari pembuat hukum dalam menyusunnya. Lebih jauh

lagi kita tidak dapat menghilangkan ketidak sesuaian antara ketentuan ynag

bertentangan, kecuali kita mengetahui apa tujuan dari pembuat hukum.

Singkatnya adalah muthlak bagi yang mempelajari Hukum Islam untuk

mempelajari maksud dan tujuan dari pembuat hukum dan keadaan atau kejadian

yang memerlukan turunnya wahyu suatu Al-Qur‟an dan Hadits Nabi SAW.27

Para ahli Hukum Islam mengklasifikasi tujuan-tujuan yang luas dari

syari‟ah sebagai berikut tujuan hukum pidana menurut Audah, 1987: 246-249 ;28

Tujuan pertama

menjamin keamanan dari kebutuhan-kebutuhan hidup merupakan tujuan pertama

dan utama dari syariah. Ini merupakan hal-hal dimana kehidupan manusia sangat

26

Ibid

27

Topo Santoso, Membumikah Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Gema Insani Press 2003), hal. 18-19

28

(22)

tergantung sehingga tidak bisa dipisahkan. Apabila ada kebutuhan-kebutuhan ini

tidak terjamin, akan terjadi kekacauan dan ketidak tertiban dimana-mana. Kelima

(5) kebutuhan hidup yang primer ini (daruriyat) dalam kepustakaan Hukum Islam

disebut dengan istilah al-maqasid al-syari‟ah al-khamsah (tujuan0tujuan syariah),

yaitu:

1) Memelihara agama (hifzh al-din)

2) Memelihara Jiwa (hifzh al-nafsi)

3) Memelihara akal pikiran (hifzh al-„aqli)

4) Memelihara Keturunan (hifzh al-nashli)

5) Memelihara harta (hifzh al-mal)

Syariah telah menetapkan pemenuhan, kemajuan dan perlindungan tiap

kebutuhan-kebutuhan itu dan menegaskan ketentuan-ketentuan yang berkaitan

dengannya sebagai ketentuan-ketentuan yang esensial.

Tujuan Kedua

Tujuan berikutnya adalah menjamin keperluan-keperluan hidup (keperluan

sekunder) atau disebut hajiyyat. Ini mencakup hal-hal yang penting bagi ketentuan

itu dari berbagai fasilitas untuk penduduk dan memudahkan kerja keras dan beban

tanggung jawab mereka. Ketiadaan fasilitas-fasilitas tersebut mungkin tidak

menyebabkan kekacauan dan ketidak tertiban, akan tetapi dapat menambah

kesulitan-kesulitan bagi masyarakat. Dengan kata lain, keperluan-keperluan ini

terdiri dari hal-hal yang menyingkirkan kesulitan-kesulitan dari masyarakat dan

(23)

Tujuan Ketiga

Tujuan ketiga dari Perundang-undangan Islam adalah membuat

perbaikan-perbaikan , yaitu menjadikan hal-hal yang dapat menghiasi kehidupan social dan

menjadikan manusia mampu berbuat dan urusan-urusan hidup secara lebih baik

(keperluan sekunder) atau tahsinat. Ketiadaan perbaikan-perbaikan ini tidak

membawa kekacauan dan anarki sebagaimana dalam ketiadaan

kebutuhan-kebutuhan hidup; juga tidak mencakup apa-apa yang perlu untuk menghilangkan

kesulitan-kesulitan dan membuat hidup mudah. Perbaikan adalah hal-hal yang

apabila tidak dimiliki akan membuat hidup tidak menyenangkan bagi para

intelektual. Dalam arti ini perbaikan mencakup kebijakan (virtues), cara-cara yang

baik (good manner) dan setiap hal yang melengkapi bagi peningkatan cara hidup.

2. Tindak Pidana menurut kajian KUHP dan Hukum Islam

a. Tindak Pidana menurut kajian KUHP

1) Pengertian Tindak Pidana

Hukum Pidana Belanda memakai istilah Strafbaar Feit, kadang-kadang

juga delict yang berasal dari bahasa latin delictum. Hukum Pidana Negara-negara

(24)

Oleh karena Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia bersumber pada

WvS Belanda, maka istilah aslinya pun sama yaitu Strafbaar Feit.29

Perkataan “Feit” itu sendiri didalam bahasa Belanda berarti “sebagian dari

suatu kenyataan” atau “een geedelte van de werkwlijkheid”. Sedang “Strafbaar”

berarti “dapat dihukum”, hingga secara harfiah perkataan “Strafbaar Feit” dapat

diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum”, yang

sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak akan kita ketahui bahwa yang

dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan

kenyataan, perbuatan atau tindakan.30

Strafbaar Feit yang merupakan istilah asli bahasa Belanda yang

diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia tersebut mempunyai berbagai arti

diantaranya, yaitu: tindak pidana, delik, perbuatan pidana, peristiwa pidana

maupun perbuatan yang dapat dipidana.31

Kemudian oleh Pembentuk undang-undang kita menggunakan perkataan

Strafbaar Feit untuk menyebutkan apa yang kemudian kita kenal sebagai “Tindak

Pidana” didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tanpa memberikan

sesuatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan

perkataan “Strafbaar Feit” tersebut.32 Didalam prakteknya para ahli memberikan

29

Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta Cetakan ke III 2008), hal 86

30

P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti 1997), hal 181

31

Roni Wijayanto, Op.Cit, hal. 160

32

(25)

berbagai definisi Strafbaar Feit atau tindak pidana berbeda-beda, sehingga

perkataan tindak pidana mempunyai banyak arti.33

Menurut Profesor POMPE, perkataan “Strafbaar Feit” itu secara teoritis

dapat dirumuskan sebagai “suatu pelanggaran” norma (gangguan terhadap tertib

hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh

seorang pelaku. Dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah

perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum”.34

Kemudian Apa yang dimaksud dengan tindak pidana, menurut simons

didefinisikan sebagai suatu perbuatan (handeling) yang diancam dengan pidana

oleh undang-undang, bertentangan dengan hukum (Onrechtmatig) dilakukan

dengan kesalahan (Schuld) oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab.

Rumusan tindak pidana yang diberikan simons tersebut dipandang oleh Jonker

dan Utrecht sebagai rumusan yang lengkap, karena akan meliputi: 35

1. Diancam dengan pidana oleh hukum;

2. Bertentangan dengan hukum;

3. Dilakukan oleh seseorang dengan kesalahan (Schuld);

4. Seseorang tersebut dipandang bertanggung jawab atas perbuatannya.

Van Hammel juga sependapat dengan rumusan tindak pidana dari Simons,

tetapi ia menambahkan adanya “sifat perbuatan yang mempunyai sifat dapat

33

Roni Wijayanto Loc. Cit.

34

P.A.F. Lamintang, Op.Cit, hal. 162

35

(26)

dihukum”. Jadi pengertian tindak pidana menurut van hamel meliputi lima unsur,

yakni ; 36

1. Diancam dengan pidana oleh hukum;

2. Bertentangan oleh hukum;

3. Dilakukan oleh seseorang dengan kesalahan (Schuld);

4. Seseorang tersebut dianggap bertanggung jawab atas perbuatannya;

5. Sifat perbuatan yang mempunyai sifat dapat dihukum.

Sedangkan Vos merupakan salah satu diantara para ahli yang merumuskan

tindak pidana secara singkat, yaitu hanya mencakup kelakuan manusia yang oleh

peraturan perundang-undangan diberi pidana. Kemudian pengertian tindak pidana

yang diberikan Vos tersebut, dikomentari oleh Satochid Kartanegara , ia

mengatakan rumusan Vos tersebut sama saja memberikan keterangan “een

vierkante tafel is vier kant” (meja segi itu adalah segi empat), karena definisinya

tidak menjepit isinya, sedangkan pengertian “orang” dan “kesalahan” juga tidak

disinggung, karena apa yang dimaksud Strafbaar Feit, sebagai berikut: 37

1. Pelanggaran atau pemerkosaan kepentingan hukum (Schanding of kreenking

van een rechtsbelang);

2. Sesuatu yang membahayakan kepentingan hukum (het in gevearbrengen van

een rechtsbelang.)

36Ibid. 37Ibid.

(27)

Kepentingan hukum yang dimaksud Satochid Kartanegara ialah tiap-tiap

kepentingan yang harus dijaga agar tidak dilanggar, yang terdiri atas tiga jenis,

yaitu; 38

1. Kepentingan perseorangan, yang meliputi: jiwa (leven), badan (lijk),

kehormatan (eer) dan harta benda (Vermogen).

2. Kepentingan masyarakat, yang meliputi : ketentraman dan keamanan (rusten

orde).

3. Kepentingan Negara adalah keamanan Negara.

Melihat berbagai pendapat para ahli tersebut diatas mengenai pengertian

Strafbaar Feit, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan tindak

pidana atau Strafbaar Feit yaitu merupakan rumusan yang memuat unsur-unsur

tertentu yang menimbulkan dapat dipidananya seseorang atas perbuatannya yang

dianggap telah melanggar kepentingan hukum yang telah ditentukan oleh

peraturan perundang-undangan pidana. Unsur-unsur tindak pidana tersebut dapat

berupa perbuatan yang sifatnya aktif maupun pasif atau tidak berbuat

sebagaimana diharuskan oleh undang-undang, yang dilakukan oleh seseorang

dengan kesalahan, dan bertentangan dengan hukum pidana, dan orang tersebut

dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya.

(28)

2) Unsur-Unsur Tindak Pidana

Menjadi tuntutan Normatif yang harus dipenuhi bila mana seseorang dapat

dipersalahkan karena melakukan sesuatu tindak pidana, yaitu perbuatan itu harus

dibuktikan mencakup semua unsur Tindak Pidana. Apabila salah satu unsur

Tindak Pidana tidak terpenuhi atau tidak dapat dibuktikan, maka konsekuensinya

Tindak Pidana yang dituduhkan kepada sipelaku tidak terbukti dan tuntutan dapat

batal demi hukum.

Ditinjau dari sifat unsurnya, pada umumnya unsur-unsur Tindak Pidana

dapat dibagi menjadi dua macam, yakni: unsur-unsur subjektif dan unsur-unsur

objektif.

a. Unsur Subjektif

Menurut Lamintang bahwa yang dimaksud dengan unsur-unsur subjektif

itu adalah unsur-unsur yang melekat pada diri sipelaku atau yang berhubungan

dengan diri sipelaku. Dan termasuk kedalamnya yaitu segala sesuatu yang

terkandung didalam hatinya. Adapun unsur-unsur subjektif menurut lamintang

yakni sebagai berikut:

a. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus dan culpa);

b. Maksud (voornemen) pada suatu percobaan (poging) seperti yang dimaksud

didalam Pasal 53 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

c. Macam-macam maksud (oogmerk) seperti yang terdapat misalnya didalam

(29)

d. Merencanakan terlebih dahulu (voorbedache raad) misalnya seperti yang

terdapat didalam kejahatan pembunuhan menurut pasal 340 Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana;

e. Perasaan takut (vress) seperti yang antara lain terdapat didalam rumusan tindak

pidana menurut pasal 308 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;39

Sedangkan Menurut Satochid Kartanegara, ia membedakan unsur subjektif

hanyamenjadi dua macam saja, yakni;

a. Toerekeningswatbaarheit (kemampuan bertanggung jawab)

b. Schuld (Kesalahan)40

Leden Marpaung mengemukakan asas hukum pidana menyatakan bahwa

“tidak ada hukuman kalau tidak ada kesalahan”. Kesalahan yang dimaksud adalah

kesalahan yang diakibatkan oleh kesengajaan (iintention/opzet/dolus) dan

kealpaan (culpa) ini merupakan bentuk kesalahan yang lebih ringan dari

kesengajaan, dimana kealpaan meliputi dua bentuk, yaitu: tidak berhati-hati dan

dapat menduga akibat perbuatan tersebut.41

Didalam doktrin dan ilmu pengetahuan hukum pidana unsur kesengajaan

atau opzet tersebut kemudian pada umumnya dibedakan menjadi tiga jenis, yakni:

1. Kesengajaan dengan maksud (Opzet als oogmerk)

39

P.A.F. Lamintang, Op.Cit, hal 194

40

Roni Wijayanto Op.Cit. hal. 166

41

(30)

2. Kesengajaan dengan keinsyafan (Opzet bij zekerheidsbewustzijn)

3. Kesengajaan dengan keinsyafan atau kemungkinan (Opzet bij

mogelijkheidsbewustzijn)

Maka dapat diambil kesimpulan dari uraian diatas, bahwa unsur-unsur

subjektif meliputi;

1. Kemampuan bertanggung jawab (toerekeningswatbaarheit)

2. Kesalahan (Schuld) yang terdiri dari :

3. Kesengajaan (dolus)

a. Kesengajaan dengan maksud (Opzet als oogmerk)

b. Kesengajaan dengan keinsyafan (Opzet bij zekerheidsbewustzijn)

c. Kesengajaan dengan keinsyafan atau kemungkinan (Opzet bij

mogelijkheidsbewustzijn)

d. Kealpaan (culpa)

4. Unsur Objektif

Menurut Lamintang bahwa yang dimaksud dengan unsur-unsur subjektif

itu adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu

didalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari sipelaku itu harus

dilakukan. Kemudian ia membagi menjadi tiga bentuk unsur objektif dari tindak

(31)

a. Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid

b. Kualitas dari sipelaku, misalnya “keadaan sebagai seorang pegawai negeri”

didalam kejahatan jabatan menurut pasal 415 Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana atau “keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseoan

terbatas didalam kejahatan menurut pasal 398 Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana.

c. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan

sesuatu kenyataan sebagai akibat.42

Sedangkan Menurut Satochid Kartanegara, ia mengemukakan bahwa unsur

objektif merupakan unsur yang dilarang dan diancam pidana oleh undang-undang,

yang berupa:

a. Suatu tindakan;

b. Suatu akibat; dan

c. Keadaan (omstandigheid)

Kemudian Leden Marpaung lebih mencakup kepada dua pendapat ahli

diatas, ia kemudian membagi unsur Objekktif menjadi empat bentuk, yakni;

a. Perbuatan manusia, berupa;

1) Act, yakni perbuatan aktif atau perbuatan positif;

42

(32)

2) Omission, yakni perbuatan pasif atau perbuatan negative

b. Akibat (result) perbuatan manusia, yaitu akibat tersebut membahayakan atau

merusak, bahkan menghilangkan kepentingan-kepentingan yang

dipertahankan oleh hukum, misalnya: nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik,

kehormatan, dan sebagainya

c. Keadaan-keadaan (circumstances), yang umumnya berupa;

1) Keadaan-keadaan pada saat perbuatan dilakukan;

2) Keadaan-keadaan setelah perbuatan dilakukan.

d. Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum. Sifat dapat dihukum

berkenaan dengan alasan-alasan yang membebaskan sipelaku dari hukuman.

Sedangkan sifat melawan hukum adalah apabila perbuatan itu bertentangan

dengan hukum, yakni berkenaan dengan larangan atau perintah.43

Kemudian Mengingat tujuan diadakan hukum pidana adalah untuk

melindungi dan menghindari gangguan atau ancaman bahaya terhadap

kepentingan hukum, baik kepentingan perseorangan, kepentingan masyarakat dan

kepentingan Negara. Setiap perbuatan yang memenuhi unsur Tindak Pidana atau

delik seperti yang dinyatakan secara tegas dalam peraturan perundang-undangan

dapat memberikan gambaran kepentingan hukum apa yang dilanggar. Oleh karena

itu, perbuatan-perbuatan yang memenuhi unsur-unsur delik dapat digolongkan

43

(33)

menjadi berbagai jenis delik. Dan salah satunya adalah tindak pidana dalam perlu

tidaknya aduan dalam penuntutan (Delik Biasa dan Delik Aduan).

1. Delik biasa (gewone delichten) adalah suatu delik yang dapat dituntuk tanpa

membutuhkan adanya pengaduan.44 Sedangkan

2. Delik aduan (klachtdelict) adalah Tindak Pidana yang penuntutannya hanya

dilakukan atas dasar adanya pengaduan dari pihak yang berkepentingan atau

terkena. Misalnya penghinaan, perzinahan, pemerasan. Jumlah delik aduan ini

tidak banyak terdapat didalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. siapa yang

dianggap berkepentingan, tergantung dari jenis deliknya dan ketentuan yang

ada. Untuk perzinahan misalnya, yang berkepentingan adalah suami atau isteri

yang bersangkutan. Terdapat dua jenis delik aduan, yaitu delik aduan absolute

yang penuntutannya hanya berdasarkan pengaduan dan delik aduan relatif disini

karena adanya hubungan istimewa antara pelaku dengan korban, misalnya

pencurian dalam keluarga (pasal 367 ayat (2) dan (3) Kitab Undang-undang

Hukum Pidana.

b. Tindak Pidana dalam kajian Hukum Islam

Suatu perbuatan dinamai jarimah (tindak pidana, peristiwa pidana atau

delik) apabila perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian bagi orang lain atau

masyarakat baik jasad ( anggota badan atau jiwa), harta benda, keamanan, tata

aturan masyarakat, nama baik, perasaan ataupun hal-hal lain yang harus dipelihara

44

(34)

dan dijunjung tinggi keberadaannya. Jadi, yang menyebabkan suatu perbuatan

dianggap sebagai suatu jarimah adalah dampak dari perilaku tersebut yang

menyebabkan kerugian kepada pihak lain, baik dalam bentuk material (jasad,

nyawa atau harta benda) maupun nonmateri ataugangguan nonfisisk, seperti

ketenangan, ketenntraman, harga diri, adat istiadat dan sebagainya. Penyebab

perbuatan yang merugikan tersebut diantaranya adalah tabiat manusia yang

cenderung pada sesuatu yang mengutungkan bagi dirinya walaupun hasil pilihan

atau perbuatan tersebut merugikan orang lain. Kenyataan itu memerlukan

kehadiran peraturan atau undang-undang. Akan tetapi, kehadiran peraturan

tersebut menjadi tak berarti tanpa adanya dukungan yang dapat memaksa sesorang

untuk mematuhi peraturan tersebut. Dukungan yang dimaksud adalah penyertaan

ancaman hukuman atau sanksi yang menyertai kehadiran peraturan tersebut.

Sanksi sangat diperlukan untu mendukung peraturan yang dikenakan pada

perbuatan tindak pidana, dengan harapan yang bersangkutan tidak mengulangi

perbuatan tersebut. Disamping itu, agar perbuatan yang sama tidak ditiru orang

lain. Dengan demikian, terpeliharalah kepentinngan umum.45

a. Jarimah dan Uqubah

Fikih jinayah adalah ilmu tentang hukum syara‟ yang berkaitan dengan

masalah perbuatan yang dilarang (jarimah) dan hukumannya (uqubah), yang

diambil dari dalil-dalil yang terperinci. Defenisi tersebut merupakan gabungan

antara pengertian “fikih” dan “jinayah”. Dari pengertian tersebut dapat diketahui

45

(35)

objek pembahasan Fikih Jinayah itu secara garis besar ada dua, yaitu jarimah atau

tidak pidana dan uqubah atau hukumannya.

Pengertian jarimah sebagaimana dikemukakan oleh Imam Al-Mawardi adalah

sebagai berikut:

“Jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara‟ yanng

diancam oleh Allah dengan hukuman had atau ta‟zir”

Dalam istilah lain jarimah disebut juga dengan jinayah. Menurut Abdul Qadir

Audah pengertian jinayah adalah sebagai berikut:

“Jinayah adalah suatu istilah untuk perbuatann yang dilarang oleh

syara‟, baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta atau lainnya”

Adapun pengertian hukuman sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Qodir Audah

adalah “hukuman adalah pembalasan yang ditpkan untuk kemaslahatan

masyarakat, karena adanya pelanggaran atas ketentuan-ketentuan syara”.46

b. Unsur-unsur Tindak Pidana Islam (Jarimah)

Unsur-unsur Tindak Pidana Islam secara umum ada tiga, yaitu adanya

usnur formal, unsur materil dan unsur morial, adapun yang dimaksud dengan

ketiganya yakni sebagai berikut; 47

1. Unsur Formal atau Rukun Syar‟i

46

Ahmad wardi Muslisch, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika 2005), hal ix

47

(36)

Yang dimaksud dengan unsur formal atau rukun syar‟I adalah adanya

ketentuan syara atau nash yang menyatakan bahwa perbuatan yang dilakukan

merupakan perbuatan yang oleh hukum dinyatakan sebagai sesuatu yang dapat

dihukum atau adanya nash (ayat) yang mengancam hukuman terhadap perbuatan

yang dimaksud

2. Unsur Material atau Rukun Maddi

Yang dimaksud dengan unsur material adalah adanya perilaku yang

membentuk jarimah, baik berupa perbuatan ataupun tidak berbuat atau adanya

perbuatan yang bersifat melawan hukum.

3. Unsur Moril atau Rukun Adaby

Unsur ini juga disebut dengan al-mas‟uliyyah al-jinayah atau pertanggung

jawaban pidana. maksudnya adalah pembuat Jarimah (pembuat tindak pidana atau

delik) haruslah orang yang dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya. Oleh

karena itu pembuat Jarimah haruslah orang yang dapat memahami hukum,

mengerti isi beban, dan sanggup menerima beban tersebut. Orang – orang yang

diasumsikan memiliki kriteria tersebut adalah orang-orang yang mukallaf sebab

hanya merekalah yang terkena khitbah (panggilan) pembebanan (taklif).

c. Macam-Macam Jarimah

Diantara pembagian jarimah yang paling penting adalah pembagian yang

(37)

kepada tiga bagian, yaitu jarimah hudud, jarimah qishas dan diat, dan jarimah

ta‟zir.

1. Jarimah Hudud

Jarimah hudud adalah jarimah yang diancam dengan hukuman had.

Pengertian hukuman hadd, sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Qadir Audah ;

“Hukuman had adalah hukuman yang telah ditentukan oleh syara‟ dan merupakan

hak Allah”. Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa ciri khas jarimah

hudud adalah sebagai berikut:

a. Hukumannya tertentu dan terbatas, dalam arti bahwa hukuman tersebut telah

ditentukan oleh syara‟ dan tidak ada batas minimal dan maksimal.

b. Hukuman tersebut merupakan hak Allah semata-mata, atau kalau ada hak

manusia disamping hak Allah maka hak Allah yang lebih dominan.

Oleh karena hukuman had itu merupakan hak Allah maka hukuman

tersebut tidak bisa digugurkan oleh perseorangan (orang yang menjadi korban

atau keluarganya) atau oleh masyarakat yang diwakili oleh negara. Jarimah hudud

ini ada tujuh macam, yaitu: 48

1) Jarimah zina

2) Jarimah qadzaf

3) Jarimah syurb al-khamar

4) Jarimah pencurian

5) Jarimah hirabah

48

(38)

6) Jarimah riddah, dan

7) Jarimah pemberontakan (Al-Bagyu)

2. Jarimah Qisash dan Diat

Jarimah qishash dan diat adalah jarimah yang diancam dengan hukuman

qisash atau diat. Baik qisash maupun diat kedua-duanya adalah hukuman yang

sudah ditentukan oleh syara‟. Perbedaannnya dengan hukuman had adalah bahwa

hukuman had merupakan hak Allah (hak masyarakat), sedangkan qishash dan

diat mmerupakan hak manusia (hak individu). Disamping itu, perbedaan yang

lain adalah karena hukuman qishash dan diat merupakan hak manusia maka

hukuman tersebut bisa dimaafkn atau digugurkan oleh korban atau kelluarganya,

sedangkan hukuman had tidak bisa dimaafkan atau digugurkan. Pengertian

qisash, sebagaimana dikeukakan oleh Muhammad Abu Zahrah adalah

“persamaan dan keseimbangan antara jarimah dan hukuman”. Jarimah qhisash

dan diat ini hanya ada dua macamm, yaituu pemmbunuhan dan penganniayaan.

Namun apabila diperluas, jumlahnya ada lima macam, yaitu: 49

a. Pembunuhan sengaja

b. Pembunuhan mmenyerupai sengaja

c. Pembunuhan karena kesalahan

d. Penganiayaan sengaja

e. Penganiayaan tidak sengaja

49Ibid

(39)

3. Jarimah ta’zir

Jarimah ta‟zir adallah jarimah yang diancaam dengan hukuman ta‟zir.

Penngerttian ta‟zir menurut bahasa adallah ta‟dib, artinnya membeeri pelajaran.

Ta‟zir juga diartikan dengan Ar-Raddu wal Man‟u, yang artinya menolak dan

mencegah. Sedangkan pengertian ta‟zir menurut istilah, sebagaimana

dikemukakan olehh Al-Mawardi “Ta‟zir adalah hukuman penddidikan atas dosa

(tindak pidana) yang belum ditentukan hukumannya oleh syara”. Dari defenisi

tersebut, dapat diketahui bahw hukuman ta‟zir adala hukuman yang belum

ditentukan oleh syara‟ dan wewenang untuk menetapkannya diserahkan kepadda

ulil amri. Di samping itu, defenisi tersebut dapat diketahui bahwa ciri khas

jarimah ta‟zir adalah sebagai berikut: 50

a) Hukumannya tidak tertentu dan tidak terbatas, artinya, hukuman tersebut

belum ditentukan oleh syara‟ dan ada bas minimal dan maksimal.

b) Penentuan hukuman tersebut adalah hak penguasa (ulil amri).

3. Kejahatan terhadap Kesusilaan

Menurut Bemmelen kejahatan adalah Tiap kelakuan yang merugikan

(merusak) dan asusila, yang menimbulkan kegoncangan sedemikian besar dalam

suatu masyarakat tertentu, sehingga masyarakat itu berhak mencela dan

50Ibid

(40)

mengadakan perlawanan terhadap kelakuan tersebut dengan jalan menjatuhkan

dengan sengaja suatu nestapa terhadap pelaku perbuatan tersebut.51

Sedangkan kata Kesusilaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang

disusun oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan diterbitkan Balai Pustaka

1989. Dimuat artinya “perihal susila” kata susila dimuat arti sebagai berikut:52

a. Baik budi bahasanya, beradab, sopan santun, tertib;

b. Adat istiadat yang baik, sopan santun, kesopanan, keadaban;

c. Pengetahuan tentang adat;

Kesusilaan disini pada umumnya diartikan sebagai rasa kesusilaan yang

berkaitan dengan nafsu seksual, karena yurisprudensi memberikan pengertian

melanggar kesusilaan sebagai perbuatan yang melanggar rasa malu seksual (HR 1

desember 1970, NJ No. 374). Hal ini tidak pernah dibantah oleh para sarjana.

Simon misalnya mengatakan bahwa kriterium eer boarheid (kesusilaan) menuntut

bahwa isi dan pertunjukkan mengenai kehidupan seksual dan oleh sifatnya yang

tidak senonoh dapat menyinggung rasa malu atau kesusilaan orang

lain. Kesusilaan (zedelijkheid) adalah mengenai adat kebiasaan yang baik dalam

hubungan antar berbagai anggota masyarakat, tetapi khusus yang sedikit banyak

51Forum kajian ilmu kriminologi dan sosial

,http://qsukri.blogspot.com/2010/11/apa-itu-kejahatan.html, diakses pada hari sabtu 4 april 2014

52

(41)

mengenai kelamin (seks) seorang manusia, sedangkan kesopanan (zeden) pada

umumnya mengenai adat kebiasaan yang baik. 53

Menurut Barda Nawawi bahwa Delik Kesusilaan adalah delik yang

berbuhubungan dengan (masalah) kesusilaan. Definisi singkat dan sederhana itu

apabila dikaji lebih lanjut untuk mengetahui seberapa jauh ruang lingkupnya

ternyata tidaklah mudah, karena pengertian dan batas-batas “kesusilaan” itu cukup

luas dan dapat berbeda-beda menurut pandangan dan nilai-nilai yang berlaku

didalam masyarakat. Terlebih pada dasarnya setiap delik atau tindak pidana

mengandung didalamnya pelanggaran terhadap nilai-nilai kesusilaan; bahkan

dikatakan bahwa hukum itu sendiri pada hakikatnya merupakan nilai-nilai

kesusilaan yang minimal (das Recht ist das ethische minimum). 54

Istilah melanggar dalam melanggar kesusilaan sebenarnya tidak ada

hubungannya dengan kata pelanggaran asal kata dari overtredingen (jenis-jenis

tindak pidana dalam buku III KUHP), tetapi diartikan melakukan suatu perbuatan

yang dilarang. Melanggar kesusilaan artinya melakukan suatu perbuatan yang

menyerang rasa kesusilaan masyarakat.55 Adapun hal yang harus dipahami betul

bahwa isi atau materi/substansinya harus bersumber serta mendapat sandaran

yang kokoh dari moral agama, seperti yang dikatakan Barda Nawawi Arief,

ditambahkan bahwa penentuan delik Kesusilaan juga harus berorientasi pada

“nilai-nilai kesusilaan nasional” yang telah disepakati bersama dan juga

53Ibid 54

Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana, (Jakarta: Kencana 2011), hal. 251

55

(42)

memperhatikan nilai-nilai kesusilaan yang hidup didalam masyarakat.56 Dalam

perkembangan penyusunan konsep KUHP, tidak lagi dibedakan antara “kejahatan

kesusilaan” dan “pelanggaran kesusilaan”. Konsep hanya mengelompokkan dalam

satu bab dengan judul “Tindak Pidana terhadap Pelanggaran Melanggar

Kesusilaan”.57

Oleh karena itu Maka dapat dikatakan seseorang dianggap melanggar

kesusilaan apabila perbuatan tersebut melanggar rasa malu seksual dan dianggap

menodai nilai-nilai kesusilaan yang hidup didalam masyarakat, serta nilai-nilai

kesusilaan tersebut berdasarkan nilai-nilai agama yang hidup didalam masyarakat

tersebut.

Adapun Ketentuan Tindak pidana kesusilaan (berkaitan dengan seks) yang

diatur didalam KUHP dapat dikelompokkan menjadi:

a. Bentuk kejahatan diatur dalam pasal 281-289 KUHP

b. Bentuk pelanggaran diatur dalam pasal 532-535 KUHP (Mengungkap atau mempertunjukkan sesuatu yang bersifat porno).

F. Metode Penelitian

Dalam penyusunan skripsi ini agar menjadi tulisan karya ilmiah yang

memenuhi kriteria, dibutuhkan data-data yang relevan dari skripsi ini. Dalam

56

Nyoman Serikat Putra Jaya, Pengembangan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti 2008), hal. 25

57

(43)

upaya pengumpulan data yang diperlukan, menerapkan metode pengumpulan data

sebagai berikut:

1. Sifat dan Jenis Penelitian

Sifat penelitian dibagi menjadi tiga yakni:58

a. Penelitian eksploratoris (explorative research) atau penjelajahan adalah

suatu penelitian yang dilakukan untuk memperoleh keterangan, penjelasan

dan data mengenai hal-hal yang belum diketahui.

b. Penelitian deskriptif Penelitian deskriptif adalah penelitian yang bertujuan

untuk melukiskan tentang sesuatu hal di daerah tertentu

c. Penelitian eksplanatoris Penelitian eksplanatoris merupakan suatu penelitian

untuk menerangkan, memperkuat atau menguji dan bahkan menolak suatu

teori atau hipotesa-hipotesa serta terhadap hasil-hasil penelitian yang

ada.

Dan sifat penelitian yang digunakan adalah deskriptif analisis. Menurut

Whitney, metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang

tepat.59 Tujuan penelitian deskriptif adalah menggambarkan secara tepat, sifat

individu, suatu gejala, keadaan atau kelompok tertentu.

58

Sejathi, Tipologi Penelitian Hukum, http://id.shvoong.com/law-and-politics/ contem porary-theory/2109107-tipologi-penelitian-hukum/

59

(44)

Dikenal ada dua jenis penelitian hukum, yaitu penelitian hukum normatif

dan penelitian hukum empiris (sosiologis). Hal tersebut sesuai dengan yang

dikemukakan Ronny Hanitijo Soemitro, bahwa:60

a. Penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doctrinal, yaitu penelitian

hukum yang menggunakan sumber data sekunder atau data yang diperoleh

melalui bahan-bahan kepustakaan.

b. Penelitian hukum empiris atau penelitian hukum sosiologis, yaitu penelitian

hukum yang memperoleh datanya dari data primer atau data yang diperoleh

langsung dari masyarakat.

Jenis penelitian yang digunakan adalah Penelitian Hukum Normatif yang

disebut juga dengan Penelitian Hukum Doktrinal. Jenis penelitian yang dilakukan

dan dipergunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah penelitian hukum normatif

atau penelitian hukum kepustakaan yang dilakukan dengan cara meneliti bahan

pustaka atau data sekunder. 61 Seperti yang diungkapkan oleh Peter Mahmud

Marzuki bahwa tujuan penelitian hukum normatif, yakni;

“…suatu proses untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip-prinsip

hukum, maupun doktrin-doktrin hukum untuk menjawab permasalahan hukum

yang dihadapi. … Penelitian hukum normatif dilakukan untuk menghasilkan

argumentasi, teori atau konsep baru sebagai presripsi dalam menyelesaikan

masalah yang dihadapi…”62

60

Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Cetakan 1 2010), hal. 154

61

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 2004), hal. 23

62

(45)

Adapun karakteristik penelitian hukum normatif yakni:63

a. Sebagai sumber datanya hanyalah data sekunder (kepustakaan), yang terdiri

dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier;

b. Penyusunan kerangka teoritis yang bersifat tentatif (skema) dapat ditinggalkan

tetapi penyusunan kerangka konseptual mutlak perlu;

c. Tidak diperlukan hipotesis, kalaupun ada hanya hipotesis kerja;

d. Konsekuensi dari (hanya) menggunakan data sekunder, maka penelitian hukum

normatif tidak diperlukan sampling, karena data sekunder (sebagai sumber

utamanya) memiliki bobot dan kualitas tersendiri yang tidak bisa diganti

dengan data jenis lainnya.

2. Sumber Data

Dalam penelitian hukum terdapat dua jenis data yang diperlukan. Hal

tersebut diperlukan karena penelitian hukum itu ada yang merupakan penelitian

hukum normatif dan ada penelitian hukum empiris. Jenis data yang pertama

disebut sebagai data sekunder dan jenis data yang kedua disebut dengan data

primer.64

Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder. Data

sekunder atau data kepustakaan atau dikenal dengan bahan hukum dalam

penelitian hukum seperti ada kesepakatan yang tidak tertulis dari para ahli peneliti

hukum, bahwa hukum itu berupa berbagai literatur yang dikelompokkan.65 Data

sekunder diperoleh dengan cara menelurusuri bahan-bahan yang berkaitan dengan

63

Amiruddin dan Zainal Asikin, Op.Cit, hal.118-120.

64Ibid,

hal. 156

65

Referensi

Dokumen terkait

pelaku pembunuhan tersebut tidak dapat di hukum.. Sumber Hukum Tindak Pidana Pembunuhan Biasa dalam Bentuk Pokok berdasarkan KUHP dengan Hukum Pidana Islam. 1. Sumber Hukum

Pada kasus pembunuhan ini KUHP memberikan ancaman hukuman bagi pelakunya dengan pidana penjara.. paling lama tujuh tahun. Sanksi pidana pembunuhan ini jauh lebih

Hal ini tak terkecuali bagi tindak pidana penganiayaan yang diancam dengan pidana perampasan kemerdekaan (pidana penjara) disamping pidana denda. Tindak pidana

Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia , (Bandung: Sinar Baru, 2000), hlm.. Menurut Simon, pengertian “Tindak Pidana” yaitu sejumlah aturan-aturan dan keharusan-keharusan

hukuman penjara sebagai hukuman asasi yang dibatasi oleh waktu sebagaimana halnya dalam KUHP. Namun hukum Islam menetapkan hukuman penjara tanpa adanya batasan waktu

Se- dangkan sanksi pidana pencurian di dalam hukum pidana Islam adalah potong tangan, jika pelakunya telah balig, berakal, dan jumlah barang yang dicuri seharga seperempat

Tindak pidana pengeroyokan sampai mengakibatkan korban meninggal dunia merupakan pelanggaran hukum atas tindak pidana yang mendapati suatu delik yang dilakukan dengan sengaja, misalnya,

Pasal 531 Kitab UndangUndang Hukum Pidana mengatur tentang Perbuatanseseorang yang meninggalkan orang lain yang membutuhkan pertolongan, dapat diancam pidana sebagaimana terdapat dalam: