• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Mikosis Paru - Analisa Aspergillus fumigatus dengan Menggunakan Polymerase Chain Reaction (PCR) dan Kultur Pada Sputum Penderita Batuk Kronis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Mikosis Paru - Analisa Aspergillus fumigatus dengan Menggunakan Polymerase Chain Reaction (PCR) dan Kultur Pada Sputum Penderita Batuk Kronis"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Mikosis Paru

Infeksi jamur biasanya disebut dengan mikosis. Sebagian besar jamur pathogen bersifat eksogen dan habitat alaminya adalah air, tanah, dan debris organic. Mikosis yang mempunyai insiden paling tinggi adalah kandidiasis dan dermatofitosis disebabkan oleh jamur yang merupakan anggota flora mikroba normal atau yang dapat bertahan hidup pada pejamu manusia. (Mitchell, 2007)

(2)

2.1.1 Mikosis oportunistik

Pasien dengan gangguan pertahanan pejamu, rentan terhadap jamur yang terdapat di mana-mana, tetapi orang sehat yang terpajan biasanya resisten. Pada banyak kasus, tipe jamur dan perjalanan penyakit infeksi mikotik ditentukan oleh keadaan predisposisi pejamu. Sebagai anggota flora mikroba normal, kandida dan ragi serumpun merupakan oportunis endogen. Mikosis oportunistik lain disebabkan oleh jamur eksogen yang secara global terdapat di tanah, air dan udara. (Mitchell, 2007)

Sebagian besar pasien yang mengalami infeksi oportunistik menderita penyakit penyebab yang serius dan mempunyai daya tahan tubuh yang terganggu. Akan tetapi, mikosis sistemik primer juga dapat terjadi pada pasien tersebut, dan infeksi oportunistik juga dapat diderita oleh individu imunokompeten. Selama infeksi, kebanyakan pasien menghasilkan respon imun humoral dan selular yang signifikan terhadap antigen jamur. (Mitchell, 2007)

Jenis jamur yang sering menyebabkan infeksi oportunistik adalah: (Mitchell, 2007)

a.Candida albicans dan candida sp lain (Kandidiasis sistemik) b. Cryptococcus neoformans (Kriptokokosis)

c. Aspergillus fumigatus dan aspergilus sp lain (Aspergilosis)

d. Rhizopus sp, Absidia sp, Mukor sp, dan Zygomacetes sp lain (Mukormikosis / zigomikosis)

(3)

2.1.2 Patogenesis

Seluruh infeksi jamur dari jenis apapun pada umumnya menimbulkan aneka ragam reaksi peradangan, yang dalam hal ini bisa dijumpai hiperplasia epitel, granuloma histiositik, arteritis trombotik, campuran reaksi radang piogenik dan granulomatous, granuloma pengkejuan, fibrosis dan kalsifikasi. Hampir dapat dikatakan bahwa jamur apapun bila menginfeksi baik di paru atau pada jaringan manapun didalam tubuh menimbulkan gambaran granuloma yang secara patologik sulit dibedakan dengan granuloma yang terjadi pada TBC ataupun sarkoidosis. Meskipun dikemukakan bahwa diagnosa patologik ditegakkan dengan isolasi organisme jamur dari jaringan yang terlibat, namun ini masih mempunyai problem yaitu bahwa beberapa jamur seperti Histoplasma Capsulatum, Sporothricum Schenkii, Torulapsis glabrata, Blastomyces dan Coccidioides mempunyai sel-sel berbentuk mirip ragi (Yeast like cells) yang secara histologik sukar dibedakan satu dengan lainnya. Diagnosa pasti dengan demikian memerlukan pemeriksaan kultur (biakan) dan pemeriksaan serologik. (Sukamto, 2004)

(4)

Jamur Candida albicans merupakan flora normal dalam rongga mulut, saluran cerna dan vagina pada individu normal dan dapat menginvasi penderita dengan imunokompromi atau keadaan netropenia yang lama. Koloni akan meningkat pada penderita dengan mendapat pengobatan antibiotika secara luas yang menekan flora normal dan penyakit yang menimbulkan perubahan anatomi maupun perubahan imunologi. Mekanisme pertahanan pejamu yang berperan adalah imun dan non Imun. (Ellis, 1994)

Faktor imun yang berperan dalam pertahanan terhadap jamur yaitu respon imun humoral dan seluler. Faktor imun seluler diperkirakan mempunyai peranan yang lebih penting. Bukti-bukti ini didapat dari pengalaman pada kandidiasis mukokutaneus kronik dan infeksi HIV, adanya defek imunitas seluler tersebut menyebabkan kandidiasis superfisialis yang luas, walaupun sistem imunitas humoral normal. Faktor non imun yang berperan antara lain interaksi dengan flora-flora mikrobial lain pada kulit dan mukosa yang merupakan efek protektif terhadap pertumbuhan patogen jamur oportunistik, sekresi saliva dan keringat merupakan anti fungal alamiah. (Sukamto, 2004)

(5)

Aspergilus dapat membentuk kolonisasi pada bronkus dan kavitas paru dengan latar belakang penyakit TB Paru. Bola jamur bisa terdapat pada rongga kista atau kavitas yang disebut aspergiloma, biasanya terdapat pada lobus atas paru dengan diameter beberapa sentimeter dan dapat terlihat pada foto dada.

Pada orang normal, spora jamur oportunistik sulit menginvasi mukosa saluran napas. Pada penderita dengan kormobid atau fakor predisposisi, spora yang terinhalasi mengalami kolonisasi dan akan menginvasi mukosa serta berkembang, sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan dan menimbulkan manifestasi klinis. Selanjutnya jamur dapat masuk ke dalam peredaran darah dan akan menyebar secara hematogen ke organ lain sehingga menimbulkan kelainan di organ tersebut, dan secara limfogen ke kelenjar hilus dan mediastinum. (Konsesus FKUI-PMKI, 2001)

2.1.3 Diagnosa Mikosis Paru

(6)

pemeriksaan terdidik atau peralatan antigen tidak terdapat di laboratorium tersebut. (Jeffery dan Edman, 1996)

Permasalahan lain dalam mendiagnosa infeksi oleh jamur paru yaitu kita harus dapat menentukan apakah jamur hanya bersifat koloni atau telah terjadi infeksi/patogen. Hal ini perlu dapat dipastikan oleh karena pengobatan dengan anti jamur dapat menimbulkan efek toksis, sehingga sedapat mungkin dibuat sediaan biopsi jaringan, jamur dapat ditemukan dalam bentuk ragi, pseudohifa dan hifa. (Ellis, 1994)

Menurut Jan Susilo diagnosa infeksi jamur dapat tercapai bila kemungkinan infeksi jamur difikirkan, pengambilan bahan klinik tepat, cara pengiriman bahan klinik tepat, bahan klinik sampai dilaboratorium dalam keadaan baik dan perlakuan bahan klinik tersebut dilaboratorium dilakukan dengan baik dan tepat. (Susilo, 1995)

Pada pasien dengan immunokompromise sangat penting untuk dapat menegakkan diagnostik sistemik fungal infeksi secara dini. Keberhasilan diagnosis dan terapi dari infeksi jamur pada pasien-pasien dengan keadaan umum yang lemah sangat tergantung pada kerjasama dari team work antara lain ahli mikrobiologi, onkologis, histopatologis, ahli penyakit infeksi dan staff laboratorium.

(7)

Pemeriksaan laboratorium untuk diagnostik jamur paru dapat pula dilakukan dengan pemeriksaan spesimen dahak. Dahak dikeluarkan oleh penderita setelah sebelumnya berkumur-kumur dengan air bersih berkali-kali untuk menyingkirkan kontaminan Candida, Actinomyces israeli yang hidup komensal dimulut dan rongga pipi. Tanpa pengawet dahak dikirim secepatnya untuk pemeriksaan .Dengan pemeriksaan langsung dibawah mikroskop biasanya dapat dikenali dan nampak spora,hipa dan blastospore. Pengenalan akan lebih mudah dan jelas bila dilakukan penetesan sediaan dengan KOH 20%, ataupun dibuat sediaan apus dengan pewarnaan Giemsa. (Susilo, 1995)

Seperti telah dikemukakan infeksi jamur pada paru tidak memberikan gejala/gambaran klinis dan radiologik yang khas. Untuk menegakkan diagnosa klinis jamur paru dalam anamnesa perlu ditanyakan mengenai hal-hal yang ada kaitannya dengan faktor predisposisi terjadinya infeksi jamur pada paru seperti adakah riwayat menderita DM, riwayat penyakit paru kronis, riwayat pemakaian obat-obat antibiotika, steroid atau radiomimetik (antineoplastik) jangka panjang. Juga ditanyakan mengenai hobi pasien, apakah hobi memelihara unggas, hobi bertualang memasuki gua-gua. (Jeffrey dan Edman, 1996)

(8)

Spesimen lain selain dahak dapat juga bilasan atau cucian bronkus dari pemeriksaan bronkoskopi. Pemeriksaan bronkoskopi disamping untuk melihat langsung keadaan saluran nafas juga dapat dilakukan pengambilan spesimen secara biopsi atau bilasan bronkus.

Secara umum diagnosis jamur paru ditegakkan melalui: (Sukamto, 2004) 1. Kecurigaan yang tinggi terhadap kemungkinan infeksi jamur di paru. 2. Pemeriksaan diagnostik yang lazim terhadap penyakit paru:

a. Foto toraks PA dan lateral, CT Scan toraks. b. Sputum: mikroskopis jamur dan kultur.

c. Bronkoskopi: sekret bronkus, bilasan bronkus, transbronkial lung biopsi.

d. Aspirasi paru dengan jarum. 3. Pemeriksaan laboratorium darah

a. Kultur darah.

b. Pemeriksaan serologi.

2.1.4 Tehnik pengambilan bahan untuk pemeriksaan jamur. A. Pemeriksaan Sputum

(9)

Sputum pagi merupakan yang terbaik untuk melakukan kultur maupun pemeriksaan mikroskopi. Pengumpulan sputum selama 24 jam tidak diperbolehkan untuk dilakukan pemeriksaan. Kuantitas sputum yang adekuat bila jumlah volume berkisar antara 5 – 10 ml. Kualitas sputum yang baik bila tidak tercampur dengan saliva. Jamur dalam sputum dapat bertahan hidup dalam waktu 2 minggu bila disimpan pada suhu 4⁰C. (Kumala W, 2006)

B. Aspirasi transtrakeal.

Merupakan tehnik yang invasif dalam usaha mendapatkan bahan pemeriksaan penyebab infeksi saluran napas bawah yang bebas kontaminasi flora kuman yang hidup di orofaring. Meskipun cara ini lebih handal dari pemeriksaan sputum, namun kontaminasi masih mungkin terjadi

C. Aspirasi transtorakal dengan jarum.

Aspirat diambil langsung dari lesi menggunakan jarum. Lokasi dari lesi ditentukan melalui foto dada, insersi jarum dengan tuntunan CT dan fluoroskopi dibutuhkan untuk lesi yang kecil. Sensitifitas dan spesifitas cukup tinggi, namun mempunyai resiko komplikasi pneumotoraks dan batuk darah D. Biopsi paru terbuka.

Dengan cara ini dapat diperoleh bahan pemeriksaan lebih banyak sehingga negatif palsu kemungkinannya lebih kecil, namun dapat menimbulkan resiko yang tidak ringan berupa pneumotoraks dan perdarahan.

E. Bilasan bronkus

(10)

namun cara ini belum mampu menghindari kontaminasi kuman dari orofaring.

F. Sikatan bronkus.

Bilasan bronkoalveolar terbukti sangat bermanfaat dalam mendiagnosa paru oportunistik pada pasien-pasien imunocompromised host.

Tehnik ini merupakan pengembangan dari cara bilasan bronkus yang tujuannya untuk menghindari semaksimal mungkin kontaminasi kuman daerah orofaring terhadap bahan aspirat. Jenis sikatan bronkus yang terunggul dalam arti kata mampu mendapatkan bahan aspirat yang bebas sama sekali darii kontaminasi kuman orofaring adalah sikatan bronkus dengan karakter ganda terlindung polietilen glikol.

2.2 Aspergillosis

(11)

menghasilkan hifa yang dapat menginvasi paru dan jaringan lain. (Dumasari, 2008, Mitchell 2007)

2.2.1 Morfologi dan identifikasi

Aspergillus adalah jamur yang distribusinya tersebar luas di atmosfir dan memegang peranan dalam mendaur ulang karbon dan nitrogen. Jamur ini memiliki siklus biologikal yang sederhana dengan karakteristik sporulasi yang tinggi, yaitu dapat menghasilkan konidia dengan konsentrasi yang tinggi (1 – 100 konidia / m3

Aspergilus Sp. Tumbuh secara cepat, menghasilkan hifa aerial dengan ciri struktur konidia yang khas: konidiofora panjang dengan vesikel terminal yang fialidnya menghasilkan rantai konidia yang bertumbuh secara basipetal. Spesies diidentifikasi berdasarkan perbedaan morfologi struktur, termasuk ukuran, bentuk, tekstur, dan warna konidia. (Mitchell, 2007)

) di udara. Diameter konidia Aspergillus cukup kecil (2-3µ m) untuk mencapai alveoli paru. (Chamilos dan Kontoyiannis, 2008)

(12)

Gambar 2.1 Gambaran mikroskopis Aspergillus fumigatus. (Tomas et al, 2001)

2.2.2 Pathogenesis

Kecil kemungkinan untuk menderita penyakit invasif kecuali jika jumlah fagosit pada tubuh berkurang. Pada paru, makrofag alveolar mampu menelan dan menghancurkan konidia. Makrofag dapat memfagosit dan menghancurkan conidia aspergilus sedangkan polymorphonuclear (PMN) leukosit dan monosit (MNC) dapat merusak hypha aspergillus melalui mekanisme oxidative dan non-oxidatif. Makrofag dan neutrofil merupakan pertahanan tetap pada paru dalam melawan spesies Aspergillus. Keratin dan barrier epidermal kulit bertindak sebagai tambahan pertahanan pertama secara mekanik. Konidia spesies Aspergillus yang lebih kecil, 3-5 µ m lebih mudah mencapai alveolar, dimana tidak terdapat pertahanan mekanis. (Chander, 2002)

(13)

yang cenderung menginvasi kavitas yang sudah ada (aspergiloma atau bola fungi) atau pembuluh darah. (Dumasari, 2008, Mitchell,2007)

Faktor resiko terjadinya infeksi aspergillosis termasuk hingga menjadi invasiv aspergillosis antara lain adalah keganasan hematologi, penggunaan steroid, agranulocytosis (intensitas dan durasi), penyakit CMV, penyakit paru (termasuk PPOK, penyakit paru interstitial, dan riwayat operasi thoraks) dan tergantung status imun selama pengobatan dengan corticosteroid, alkoholisme, penyakit vascular kolagen atau Chronic granulomatous disease, dan penyakit yang menimbulkan kavitas. Pasien yang mengalami BMT atau transplantasi organ, neutropenia setelah kemoterapi pada keganasan hematologi atau limfoma, pasien dengan HIV stadium terakhir. Resiko timbulnya invasif aspergillosis juga berhubungan dengan derajat terpapar spora aspergillus. (Garbino, 2004)

2.2.3 Mikotoksin

(14)

kematian akut, immunosupressi, lesi kulit dan tanda-tanda hepatotoxic, nephrotoxic, neurotoxic, atau genotoxic. (Soyler, 2004)

Gliotoxins merupakan mikotoksin yang paling sering dipelajari karena senyawa ini secara akut bersifat toxic. (Latge, 1999) Gliotoxin dapat menurunkan fungsi makrofag dan neutrophil. (Dumasari, 2008) Gliotoxins memiliki aktivitas biologi sebagai antibakteri dan antivirus. Gliotoxins juga merangsang apoptosis sel mati pada beberapa jenis sel dan toxin ini diduga memiliki peranan penting terhadap pathogenesis terjadinya invasif aspergillosis. (Soyler, 2004) Selain itu toxin ini juga dapat menghambat aktivasi sel B dan sel T dan menghambat generasi sel cytotoxic.(Latge, 1999) Produksi catalase, superoxide dismutase dan mannitol oleh Aspergillus dapat melindungi jamur tersebut dari kerusakan oxidative yang di induksi oleh sel fagositik. Selain itu, pigmen melanin dan membran protein kakunya terdiri dari vesikel rodlet di permukaan konidia Aspergillus yang juga dapat membuat pertahanan diri dari fagositosis. (Chamilos, 2008)

2.2.4 Gambaran klinis

Sejak diketahui bahwa inhalasi merupakan cara masuknya spora aspergilus ke dalam saluran pernafasan manusia, maka istilah aspergilosis sescara umum meliputi kelompok penyakit yang gambaran klinisnya melibatkan paru-paru.

1. Non-invasif aspergilosis

a. Bentuk alergi (allergic bronchopulmonary aspergillosis / ABPA)

(15)

pajanan berikutnya. Pada individu lain, konidia bergerminasi dan hifa mengolonisasi pohon bronkus tanpa menginvasi parenkim paru. Fenomena tersebut merupakan cirri khas aspergilosis bronkopulmonal alergi, yang secara klinis ditandai dengan asma, infiltrate dada rekuren, eosinifilia, dan hipersensitivitas uji kulit tipe I (cepat) dan tipe III (Arthus) terhadap antigen aspergillus. Banyak pasien menghasilkan sputum akibat aspergilus dan presipitin serum. Mereka mengalami kesulitan bernapas dan timbul parut yang permanen di paru. Pejamu normal yang terpajan konidia dalam jumlah yang sangat banyak dapat mengalami alveolitis alergi ekstrinsik. (Mitchell, 2007)

Allergic bronchopulmonary aspergillosis dilaporkan dijumpai pada asma yang tergantung dengan steroid sekitar 14% dan pada pasien dengan kolonisasi aspergilus seperti cystic fibrosis dijumpai sebanyak 7%. Gambaran klinis yang sering dijumpai yaitu demam, asma dengan perbaikan klinis yang lambat, batuk yang produktif, malaise dan berat badan menurun. (Dumasari, 2008) Kriteria minimal untuk menegakkan diagnosa ABPA adalah 1) asthma; 2) immediate cutaneous reactivity terhadap A. fumigatus; 3) total serum immunoglobulin (Ig)E

1,000 ng/ml; 4) peningkatan specific IgE-Af/IgG-Af; dan 5) central bronchiectasis

tanpa disertai distal bronchiectasis. (Shah, 2010) Selain itu criteria lainnya adalah dijumpai adanya A. fumigatus pada biakan sputum, batuk dengan dahak berwarna coklat atau flek, dan reaksi arthus terhadap antigen Aspergillus. (Chamilos, 2008)

b. Aspergiloma dan kolonisasi ekstrapulmonal

(16)

banyak hifa dalam ruang paru abnormal. Pasien yang menderita penyakit kavitas sebelumnya (misal tuberculosis, sarkoidosis, emfisema) berisiko terkena penyakit ini. Fungus ball sering dijumpai pada lokasi bagian atas lobus paru. Terjadinya lisis yang spontan pernah dilaporkan sekitar 10% dari kasus. (Dumasari, 2008, Mitchell, 2007, Thompson dan Patterson, 2008)

Beberapa pasien asimtomatik, yang lain mengalami batuk, dispnea, penurunan berat badan, lelah, dan hemoptisis. Haemoptisis merupakan gejala klinis yang sering dijumpai sekitar 50 – 80% dari kasus dan jarang bersifat fatal. Kasus aspergiloma jarang bersifat invasive. Infeksi local noninvasive (kolonisasi) oleh spesies aspergilus dapat mengenai sinus nasalis, saluran telinga, kornea, atau kuku. (Mitchell, 2007, Thompson, 2008)

Gambar 2.2 Gambaran Aspergilloma pada paru (A.D.A.M, 2010)

2. Aspergilosis invasive

(17)

limfositik dan limfoma, penerima transplantasi sumsum tulang, dan terutama mereka yang minum kortikosteroid. Gejala antara lain demam, batuk, dispnea, dan hemoptisis. Hifa menginvasi lumen dan dinding pembuluh darah, menyebabkan thrombosis, infark, dan nekrosis. Dari paru penyakit ini dapat menyebar ke saluran cerna, ginjal, hati, otak dan organ lain, menimbulkan abses dan lesi nekrotik. Tanpa pengobatan yang cepat, prognosis untuk pasien yang menderita aspergilosis invasive sangat buruk. Individu dengan penyakit dasar yang tidak terlalu mengganggu dapat mengalami aspergilosis pulmonal nekrotikans kronik, yang merupkan penyakit yang lebih ringan. (Mitchell, 2007)

Faktor resiko terjadinya Aspergillosis paru invasive adalah pada pasien immunocompromised yang disebabkan terutama oleh keadaan neutropenia, haematopoietic stem-cell dan transplantasi organ padat, penggunaan obat kortikosteroid yang lama dan dengan dosis tinggi, keganasan haematologi, terapi cytotoxic, AIDS, dan chronic granulomatous disease (CGD).(Zmeili dan Soubani, 2007)

3. Semi-Invasive/Chronic Necrotising Aspergillosis (CNA)

(18)

Gambar 2.3 Spektrum klinis yang dihasilkan akibat terhirupnya spora aspergillus. ICH, immunocompromised host; IPA, invasive pulmonary aspergillosis; ABPA, allergic bronchopulmonary aspergillosis. (Zmeili dan Soubani, 2007)

2.2.5 Uji diagnostic laboratorium a. Spesimen

Sputum, spesimen saluran pernapasan lain, dan biopsy jaringan paru merupakan specimen yang baik. Sampel darah jarang positif. (Mitchell, 2007) kontaminasi material dapat terjadi pada semua level, sehingga kontaminasi harus dihindari sebisa mungkin. Kontaminasi oleh konidia yang berada di udara dapat terjadi pada sampel. Resiko ini rendah pada sampel darah, meningkat pada sampel saluran pernafasan, sputum, dan sekresi endotracheal, begitu juga dengan sampel yang berasal dari BAL, namun resikonya lebih rendah. (Bolehovska et al, 2006)

b. Pemeriksaan Mikroskopik

(19)

disseminated. Sebelum pemeriksaan sputum, bronchial washing dan aspirasi tracheal dilakukan, specimen tersebut diberi KOH 10% dan tinta parker kemudian selanjutnya diberi pewarnaan gram, sedangkan specimen yang berasal dari biopsy jaringan diberi pewarnaan khusus untuk jamur yaitu Gomori methenamine silver atau Periodic acid-Schiff. (Dumasari, 2008) Dari Hasil pemeriksaan dijumpai adanya cabang dichotomous and hypa bersepta yang mempunyai lebar yang sama (sekitar 4 µm). (Mitchell, 2007)

c. Biakan

Aspergilus Sp. Tumbuh dalam beberapa hari pada sebagian besar medium pada suhu ruangan. Spesies diidentifikasi berdasarkan morfologi struktur konidia. (Mitchell, 2007)

d. Pemeriksaan Kultur

Specimen kultur berasal dari sputum, bilasan bronchial dan aspirasi tracheal di inokulasi pada agar Sabouroud dextrose dengan antibiotic dan tanpa

cycloheximide pada temperature 25⁰C dan 37⁰C. Subkultur isolate dapat

dilakukan pada agar czapk Dox dan agar 2% ekstrak malt dengan inkubasi pada 25⁰C. agar Potato dextrose sangat berguna untuk menginduksi sporulasi sehingga

identifikassi isolate menjadi lebih mudah.(Chander, 2002)

(20)

pemeriksaan kultur darah biasanya negatif tetapi apabila hasilnya positif dapat membantu untuk menegakkan diagnosis.(Dumasari, 2008)

e. Tes Kulit

Tes kulit dengan menggunakan antigen aspergillus hanya berhasil untuk mendiagnosis allergic aspergillosis. Penderita dengan asma tanpa komplikasi yang disebabkan aspergillus menimbulkan reaksi immediate tipe I. Pada pasien allergic bronchopulmonary aspergillosis menimbulkan reaksi immediate tipe I dan juga 70% memberikan reaksi delayed tipe III.(Dumasari, 2008)

f. Serologi

Pemeriksaan antibody Aspergillus sering membantu untuk mendiagnosis bentuk lain dari aspergillosis yang dijumpai pada penderita non-compromise. Pemeriksaan serologis yang dapat dilakukan yaitu immunodiffusion (ID), indirect haemagglutination dan enzyme-linked immunosorbeny assay (ELISA). Pemeriksaan immunodiffusioan mudah dilaksanakan dan pengendapaan dapat dideteksi lebih dari 70% penderita dengan allergic bronchopulmonary aspergillosis dan lebih dari 90% pada penderita pulmonary aspergilloma atau kronik necrotizing pulmonary aspergillosis. Pemeriksaan immunodiffusion juga berguna untuk mendeteksi infeksi Aspergillus bentuk invasive.

(21)

ini kurang sensitive dan Sandwich ELISA (Enzyme-linked immunosorbent Assay) dimana sensitivitinya 90-93% dan spesivitinya 94-98%. (Dumasari, 2008)

Uji ID untuk presipitin terhadap A. fumigates positif pada lebih dari 80% penderita aspergiloma atau aspergilosis bentuk alergi, tetapi uji antibody tidak membantu dalam diagnosis aspergilosis invasive. Namun, uji serologi untuk galaktomanan dinding sel yang bersirkulasi bersifat diagnostic. (Mitchell, 2007)

g. Diagnostik Molekuler

Metode pemeriksaan PCR telah mengalami perkembangan, digunakan untuk mendeteksi DNA Aspergillus di dalam darah, serum dan cairan bronchoalveolar lavage. Metode pemeriksaan Nucleic acid sequence-based amplification assay (NASBA) juga telah mengalami perkembangan, digunakan untuk mendeteksi dan mengidentifikasi genus Aspergillus dengan RNA sequences yang spesifik dari specimen darah. (Dumasari, 2008)

(22)

2.2.6 Pengobatan

Aspergiloma diobati dengan itrakonazol atau amfoterisin B dan pembedahan. Aspergilosis invasive memerlukan pemberian cepat formula alami atau lipid amfoterisin B atau voriconazol, sering ditambahkan imunoterapi sitokin. Penyakit paru nekrotikan kronik yang lebih ringan dapat diobati dengan vorikonazol atau itrakonazol. (Mitchell, 2007) Aspergilosis bentuk alergi diobati dengan kortikosteroid dan itraconazole. (Garbino, 2004)

Prognosis pasien dengan invasive aspergillosis mengalami perbaikan dengan penggunaan klinis terapi anti jamur golongan azole, terutama voriconazole. Meskipun demikian, pertahanan hidup pasien dapat terancam dengan adanya keadaan resistensi aspergillus terhadap golongan azole. Resistensi ini biasanya disebabkan oleh point mutasi pada gen cyp51A, yang merupakan target terapi golongan azole. (Jan et al, 2010)

(23)

2.2.7 Epidemiologi dan Pengendalian

Jamur Aspergillus tersebar diseluruh dunia. Konidianya dapat hidup di tanah dan di udara. Di dalam lingungan rumah sakit jamur Aspergillus spp. dapat ditemukan di udara, penampungan air, tanaman di pot. Sehingga spora jamur ini selalu dapat terhirup oleh manusia. Terjadinya infeksi aspergillus pada manusia lebih berperan pada factor daya imunitas penderita dibandingkan virulensi jamurnya sendiri. Saluran napas atas merupakan organ yang paling sering terkena infeksi jamur Aspergillus. (Kumala, 2006) Pada dekade terakhir, insidens infeksi jamur meningkat. Aspergillosis invasive merupakan infeksi jamur kedua yang paling sering pada pasien kanker, setelah kadidiasis. (Garbino, 2004)

Untuk individu yang beresiko menderita penyakit alergi atau aspergilosis invasive, usaha yang harus dilakukan adalah menghindari pajanan terhadap konidia spesies aspergilus. Kebanyakan unit transplantasi sumsum tulang menggunakan system pendingin berfilter, mengawasi kontaminan melalui udara pada ruangan pasien, mengurangi kunjungan, dan beberapa tindakan lain untuk mengisolasi pasien dan meminimalkan resiko pasien terpajan konidia aspergilus dan kapang lain. Beberapa pasien yang beresiko untuk aspergilosis invasive diberikan profilaksis amfoterisin B atau itrakonazol dalam dosis rendah. (Mitchell, 2007)

2.3 Polymerase Chain Reaction (PCR)

(24)

lebih dari sejuta kali DNA asli. Hasil pelipatgandaan segmen DNA ini menyebabkan segmen DNA yang dilipatgandakan tersebut mudah dideteksi karena konsentrasinya tinggi. Pendeteksian dilakukan dengan metode pemisahan molekul berdasarkan bobot molekulnya, yang disebut elektroforesis menggunakan gel agarosa (Sudjadi, 2008).

Proses pelipatgandaan DNA oleh PCR ini meliputi tiga tahapan proses utama, yaitu:

Proses pertama melepaskan rantai ganda DNA menjadi dua rantai tunggal DNA melalui proses denaturasi. Proses denaturasi DNA dilakukan dengan cara menaikkan suhu sampai 95o

Proses kedua adalah annealing atau pemasangan 2 rantai primer pada kedua rantai DNA tersebut. Primer berfungsi sebagai pancingan awal dalam pelipatgandaan segmen DNA. Primer terdiri dari 18 - 24 deret basa nukleotida pengode DNA [adenin(A), guanin (G), sitosin (C), dan timin (T)] yang disintesis secara artifisial dan biasanya dapat dipasangkan dengan DNA yang akan dideteksi. Proses pemasangan primer dengan DNA yang akan dideteksi ini membutuhkan suhu optimum sesuai kebutuhan primer tersebut. Biasanya dengan cara menurunkan suhu antara 37

C. Sebelum proses denaturasi ini, biasanya diawali dengan proses denaturasi inisial untuk memastikan rantai DNA telah terpisah sempurna menjadi rantai tunggal.

o C-60o

Proses ketiga disebut ekstension atau perpanjangan. Pada proses ini deoksiribonukleotida trifosfat (dNTP), yang sebelumnya telah ditambahkan dalam pereaksi, menyebabkan primer yang tadinya hanya 18 sampai 24 deret basa nukleotida akan memperoleh tambahan basa nukleotida yang terdapat di

(25)

dNTP dan kemudian menjadi sepanjang segmen DNA yang dilipatgandakan itu. Proses ini dibantu oleh adanya enzim DNA polimerase dan enzim ini bekerja optimum pada suhu 72o

Ketiga proses ini dilakukan berulang-ulang sampai jumlah kelipatan segmen DNA sesuai dengan kebutuhan (Sopian, 2006; Sudjadi, 2008).

C. dNTP merupakan kumpulan 4 jenis basa nukleotida (A,G,C, dan T) yang terikat pada 3 gugus fosfat dan masing-masing berdiri bebas sampai enzim DNA polimerase mengkatalis pengikatannya pada primer. Setelah siklus PCR berakhir, proses final extension dilakukan selama 5-15 menit pada suhu yang sama dengan proses ekstensi untuk menjamin semua rantai tunggal DNA telah penuh terbentuk.

2.4 Elektroforesis

Elektroforesis merupakan teknik pemisahan molekul dalam suatu campuran di bawah pengaruh medan listrik. Molekul yang terlarut dalam medan listrik akan bergerak dengan kecepatan tertentu.

(26)

Gambar

Gambar 2.1 Gambaran mikroskopis Aspergillus fumigatus. (Tomas et al, 2001)
Gambar 2.2 Gambaran Aspergilloma pada paru (A.D.A.M, 2010)
Gambar 2.3 Spektrum klinis yang dihasilkan akibat terhirupnya spora
Tabel 2.1 Spektrum Aspergillosis pada saluran pernapasan bawah (Thompson dan

Referensi

Dokumen terkait

Merupakan tanah dengan horizon argilik atau kandik bersifat masam dengan KB <35%, kadar Al tinggi merupakan penghambat untuk pertanian, maka tanah ini

Ketahanan nasional Indonesia adalah kondisi dinamik bangsa Indonesia yang meliputi segenap aspek kehidupan nasional yang terintegrasi , berisi keuletan dan ketangguhan yang

Hal ini dapat terjadi dikarenakan apabila NIM mengalami peningkatan yang disebabkan oleh pendapatan bunga bersih meningkat lebih besar daripada peningkatan

Perilaku vulva hygiene pada siswi Kelas X Administrasi Perkantoran di SMK Muhammadiyah I Wates Kulon Progo Yogyakarta Tahun 2010 sebagian besar responden memiliki perilaku

Data in growth trait (chest girth, mature weight, weaning weight and yearling weight) in all breeds and their crosses were then analysed using standard heterosis estimation

Dalam Penulisan ini penulis ingin mencoba membuat suatu Penjualan Suku Cadang Mobil dengan menggunakan bantuan komputer untuk dapat bekerja dengan mudah dan cepat dalam mengelola

[r]

Pemrosesan data yang masih menggunakan system secara manual sering menimbulkan masalah-masalah yang berkaitan dengan ketidak teraturan system seperti lambatnya pencarian