• Tidak ada hasil yang ditemukan

UPAYA PENANGGULANGAN KEJAHATAN PENIPUAN MELALUI TELEPON GENGGAM YANG DILAKUKAN OLEH NARAPIDANA DI DALAM LEMBAGA PEMASYARAKATAN (Studi Kasus di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IA Bandar Lampung)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "UPAYA PENANGGULANGAN KEJAHATAN PENIPUAN MELALUI TELEPON GENGGAM YANG DILAKUKAN OLEH NARAPIDANA DI DALAM LEMBAGA PEMASYARAKATAN (Studi Kasus di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IA Bandar Lampung)"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

UPAYA PENANGGULANGAN KEJAHATAN PENIPUAN MELALUI TELEPON GENGGAM YANG DILAKUKAN OLEH NARAPIDANA

DI DALAM LEMBAGA PEMASYARAKATAN

(Studi Kasus di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IA Bandar Lampung)

JURNAL

Oleh

Ihsan Naufal

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

ABSTRAK

UPAYA PENANGGULANGAN KEJAHATAN PENIPUAN MELALUI TELEPON GENGGAM YANG DILAKUKAN OLEH NARAPIDANA

DI DALAM LEMBAGA PEMASYARAKATAN

(Studi Kasus di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IA Bandar Lampung)

Oleh :

Ihsan Naufal, Tri Andrisman, Eko Raharjo Email : ihsannaufal147@gmail.com

Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) adalah tempat dimana narapidana menjalani pembinaan atas tindak pidana yang telah dilakukan, Lapas merupakan tempat isolasi bagi para pelaku kriminal dengan sistem birokrasi yang tertutup dan tidak bisa secara bebas berkomunikasi dengan orang luar, serta dirampas kebebasannya karena memang demikian pembinaan yang diterapkan dengan tujuan untuk memberikan unsur jera dan memperbaiki kelakuan agar menjadi baik, namun dalam prakteknya tidak mencapai tujuan yang diharapkan. Sering terjadi penyimpangan-penyimpangan dalam implementasi pembinaan di dalam Lapas, sehingga tujuan yang diharapkan tidaklah tercapai. Penyimpangan yang dimaksud adalah narapidana yang berada di dalam Lapas yang seharusnya telah dirampas kemerdekaannya, namun narapidana tersebut dapat berkomunikasi dengan orang di luar Lapas secara bebas dan bahkan bisa mengendalikan kejahatan dari dalam Lapas, antara lain adalah penipuan. Kejahatan penipuan yang dilakukan narapidana di dalam Lapas beredar dengan modus operandi dan media yang bervariasi contohnya adalah penipuan melalui telepon genggam. Permasalahan yang diteliti penulis adalah apakah faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kejahatan penipuan melalui telepon genggam yang dilakukan oleh narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan dan bagaimanakah upaya penanggulangan terhadap penipuan yang dilakukan oleh narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan.

Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh dengan cara wawancara serta data sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan. Sedangkan pengolahan data yang diperoleh dengan cara identifikasi, klasifikasi, dan penyusunan data serta penarikan kesimpulan. Data hasil pengolahan tersebut dianalisis secara kualitatif dimana data tersebut dideskripsikan dalam bentuk penjelasan dan uraian-uraian kalimat sehingga memudahkan interpretasi dan pemahaman hasil analisis guna menjawab permasalahan yang ada.

(3)

Sedangkan upaya penanggulangan terhadap penipuan yang dilakukan oleh narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan, Lapas lebih menekankan ke tindakan preventif sehingga tindakan represif dapat diminimalisir. Upaya preventif meliputi penyuluhan hukum kepada narapidana, melakukan peningkatan kualitas dan kuantitas kegiatan, dan melakukan razia rutin. Sedangkan upaya represif dilakukan dengan sanksi hukuman disiplin.

Adapun saran yang diajukan penulis yaitu, dalam hal ini keluarga dan kerabat narapidana berperan penting dalam keberhasilan pembinaan narapidana di dalam Lapas, karena keluarga dan kerabat narapidanalah yang memiliki kedekatan emosional dengan narapidana sehingga diharapkan dapat mengarahkan narapidana untuk melakukan kegiatan positif di dalam Lapas. Selain itu perlu dilakukan penambahan waktu dalam melakukan razia rutin di dalam Lembaga Pemasyarakatan.

(4)

ABSTRACT

FRAUD CRIME PREVENTION EFFORTS THROUGH MOBILE PHONE BY THE PRISONERS

IN THE CORRECTIONAL INSTITUTIONS

(Case Study at the Correctional Institution Class IA Bandar Lampung)

By

Ihsan Naufal, Tri Andrisman, Eko Raharjo Email : ihsannaufal147@gmail.com

Penitentiary (Prison) is a place where inmates undergoing training for a criminal offense has been done, prison is a place of isolation for criminals with a bureaucratic system that is closed and can not freely communicate with the outside world, as well as deprived of their liberty because it is so coaching applied with the aim of providing a deterrent and correcting elements in order to be good, but in practice it does not achieve the desired objectives. Often deviations in the implementation of coaching in prison, so that the desired objectives are not achieved. Irregularities in question is inmates who are in prison who should have been deprived of their liberty, but the inmates can communicate with people outside the prison freely and can even control crime from within prisons, among others, is a fraud. Fraud committed crimes within the prison inmates circulated with the modus operandi and varied media such example is fraud via mobile phone. The problem is whether the authors studied the factors that led to the crime of fraud via mobile phone made by inmates at the Correctional Institution and how the response to the fraud committed by the inmates at the Penitentiary.

Approach the problem in this research using normative juridical approach and empirical jurisdiction. The data used are primary data obtained through interviews and secondary data obtained through library research. While processing the data obtained by means of identification, classification, and preparation of the data and drawing conclusions.

Data processing results are analyzed qualitatively where the data is described in terms of explanations and descriptions of the sentence so as to facilitate the interpretation and understanding of the results of the analysis in order to address existing problems.

(5)

The suggestions made by the author that, in this case the family and relatives of prisoners play an important role in fostering the success of inmates in prisons, as families and relatives narapidanalah who have emotional intimacy with inmates that are expected to drive inmates to do positive activities within the prison. In addition it is necessary to increase the time in conducting regular raids in the Penitentiary.

(6)

I. PENDAHULUAN

Narapidana merupakan seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Kehidupan seorang narapidana berbeda dengan kehidupan masyarakat pada umumnya, ketika seseorang berada di Lapas hak - haknya dibatasi oleh peraturan dan norma yang berlaku di Lapas tersebut. Hal ini dikarenakan kebebasan yang dimiliki seorang narapidana telah hilang saat hakim sudah menjatuhkan hukuman dan menghilangkan kemerdekaan orang tersebut. Pemenuhan kebutuhan setiap para Narapidana sudah diatur melalui aturan- aturan yang ketat. Semua orang yang berstatus narapidana pada dasarnya memiliki hak yang sama dikarenakan mereka adalah sama-sama yang didakwa atau dijadikan tersangka karena melakukan pelanggaran hukum. Sistem pemidanaan dari tahun ketahun selalu mengalami perubahan, sebelum adanya Sistem Pemasyarakatan narapidana dimasukan ke dalam penjara sebagai sarana balas dendam dari masyarakat dan negara, akan tetapi Sistem Pemasyarakatan tidak dijumpai lagi dan Lapas menjadi sarana pembinaan bagi narapidana, namun dalam kenyataannya tidak jarang Lapas menjadi tempat untuk narapidana melakukan kejahatan baru, antara lain adalah penipuan.

Indonesia sebagai negara hukum berfungsi sebagai sarana untuk mencapai cita-cita bangsa Indonesia, dalam usahanya mencapai hal

tersebut negara menjumpai banyak rintangan yang ditimbulkan, antara lain adanya pelanggaran hukum atau pelaku kejahatan. Kejahatan itu akan ada dan muncul di tengah-tengah masyarakat, walaupun cara pencegahannya selalu dilaksanakan, bahkan negara telah mempunyai lembaga-lembaga yang diperuntukkan khusus untuk menangani kejahatan tersebut salah satunya adalah Lembaga Pemasyarakatan, yaitu tempat dimana narapidana menjalani pembinaan atas tindak pidana yang telah dilakukan, namun seiring berkembangnya zaman, kejahatan tetap saja muncul dengan gaya baru dan modus operandi yang baru.

(7)

akhir Januari lalu. Diawali dengan ditangkapnya Windarto seorang sopir taksi rekan Mulyadi di luar penjara, oleh anggota Reserse dan Kriminal (Reskrim) Kepolisian Daerah Lampung. Windarto, tertangkap petugas saat melakukan penarikan uang tunai hasil penipuan di sebuah ATM yang terdapat di Rumah Sakit Immanuel Bandar Lampung. Warga Bandar Lampung ini bertugas sebagai eksekutor yang menarik uang dari ATM. Atas informasi tersebut, sehari kemudian petugas dari Reskrim Polda Lampung meringkus Mulyadi di dalam selnya. Selain itu, dari sel Mulyadi polisi berhasil menyita barang bukti berupa uang Rp2,5 juta, 2 unit telepon seluler, 6 chip kartu identitas ponsel, komputer tablet, dan 20 kartu

ATM.”1

Melihat dari kejadian tersebut, Lapas yang seharusnya merupakan tempat isolasi bagi para pelaku kriminal dengan sistem birokrasi yang tertutup dan tidak bisa secara bebas berkomunikasi dengan orang luar, serta dirampas kebebasannya karena memang demikian pembinaan yang diterapkan dengan tujuan untuk memberikan unsur jera dan memperbaiki kelakuan agar menjadi baik, namun dalam prakteknya tidak mencapai tujuan yang diharapkan. Sering terjadi penyimpangan-penyimpangan dalam implementasi pembinaan di dalam Lapas, sehingga tujuan yang diharapkan tidaklah tercapai.

Penipuan merupakan salah satu kejahatan yang mempunyai obyek Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tindak pidana ini di atur dalam bab XXV BUKU II dan terbentang dari Pasal 378 s/d 395.

Dalam Pasal 378 yang berbunyi:

“Barangsiapa dengan maksud untuk

menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberikan hutang maupun menghapus piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat

tahun.”2

Pasal 378 terkandung unsur-unsur penipuan, dalam ketentuan Pasal 378, penipuan terdiri dari unsur-unsur obyektif yang meliputi perbuatan (menggerakkan), yang digerakkan (orang), perbuatan itu ditujukan pada orang lain (menyerahkan benda, memberi hutang, dan menghapuskan piutang), dan cara menggerakkan dengan memakai nama palsu, memakai martabat palsu, memakai tipu muslihat, dan memakai serangkaian kebohongan. Selanjutnya adalah unsur-unsur subyektif yang meliputi meksud untuk menguntungkan diri seniri dan orang lain dan maksud melawan hukum.

Lapas merupakan salah satu penyelenggara peradilan pidana yang bekerja untuk mencapai tujuan peradilan pidana berdasarkan wewenangnya. Peradilan Pidana adalah suatu proses yang bekerja

2Lihat Pasal 378 Kitab Undang-Undang

(8)

dalam suatu jaringan yang melibatkan lembaga penegak hukum. Pencapaian tujuan pemidanaan berupa perbaikan terpidana sehingga ia tidak lagi mengulangi perbuatannya lagi.3 Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan menyatakan bahwa sistem pemasyarakatan ini diselenggarakan dalam rangka narapidana menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi lagi tindak pidana yang pernah dilakukan. Hal tersebut adalah untuk menyiapkan narapidana agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat. Oleh sebab itu, untuk melaksanakan sistem pemasyarakatan dibutuhkan keikutsertaan masyarakat baik dengan mengadakan kerja sama dalam pembinaan maupun dengan sikap bersedia menerima kembali narapidana yang telah selesai menjalani pidananya.4

Tujuan pembinaan di dalam Lapas, yaitu agar seorang Narapidana yang dimasukan ke dalam Lapas dapat dididik dan dibina supaya menjadi baik, namun dalam kenyataannya, seorang narapidana yang dimasukan ke dalam Lapas lebih profesional dalam melakukan tindakan kriminal dibanding dengan perilakunya sebelum dimasukan ke dalam Lapas. Hal ini telah membuktikan adanya penyimpangan dalam implementasi pembinaan di dalam Lapas, sehingga tujuan pembinaan dalam

3Kadri Husin dan Budi Rizki..Sistem Peradilan Pidana di Indonesia. Lembaga Penelitian Universitas Lampung. Bandar Lampung, 2012, hlm. 67.

4Adi Sujatno, “Sistem Pemasyarakatan Indonesia Membangun Manusia Mandiri”, Jakarta : Direktorat Jenderal

Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Ham RI, 2004, hlm.22-23.

implementasinya tidak tercapai seratus persen. Lapas seharusnya menjadi tempat pembinaan dan penyadaran bagi para pelaku tindak pidana sehingga nantinya tidak akan kembali melakukan tindak pidana lainnya dan kembali diterima di masyarakat begitu keluar dari Lapas, tapi kenyataannya tidak sedikit para Narapidana yang masuk Lapas mendapatkan ilmu kejahatan yang baru, salah satunya adalah menjadi penipu melalui teknologi telepon genggam dengan bermodus dunia maya yang berdampak pada kerugian yang dialami korban yang berada diluar Lapas.

Bertolak dari uraian di atas, penulis tertarik mengangkat permasalahan tersebut dan membahasnya dengan mengambil judul Skripsi mengenai

“Upaya Penanggulangan Kejahatan Penipuan melalui Telepon Genggam yang Dilakukan oleh Narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan”.

Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan ini adalah: a. Apakah faktor-faktor yang

menyebabkan terjadinya kejahatan penipuan melalui telepon genggam yang dilakukan oleh narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan ? b. Bagaimanakah upaya

penanggulangan terhadap penipuan yang dilakukan oleh narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan ?

(9)

lapangan. Analisis data yang digunakan yaitu analisis kualitatif dan penarikan kesimpulan dilakukan dengan metode induktif.

II. PEMBAHASAN

A. Faktor-Faktor yang

Menyebabkan Terjadinya Kejahatan Penipuan Melalui Telepon Genggam yang Dilakukan oleh Narapidana di

dalam Lembaga

Pemasyarakatan Kelas IA Bandar Lampung

Kejahatan penipuan sering sekali terjadi di masyarakat dan menimbulkan kerugian bagi para korban. Kejahatan penipuan terjadi tidak pandang bulu dalam mencari korban, dari korban dengan tingkat ekonomi menengah keatas bahkan menengah kebawah. Tindak pidana penipuan sangatlah sering terjadi di lingkungan masyarakat, untuk memenuhi kebutuhan atau keuntungan seseorang dapat melakukan suatu kejahatan penipuan.

Unsur-unsur penipuan yang meliputi perbuatan (menggerakkan), yang digerakkan (orang), perbuatan itu ditujukan pada orang lain (menyerahkan benda, memberi hutang, dan menghapuskan piutang), dan cara melakukan perbuatan menggerakkan dengan memakai nama palsu, memakai tipu muslihat, memakai martabat palsu, dan memakai rangkaian kebohongan. Dan selain daripada unsur-unsur objektif, maka dalam sebuah penipuan juga terdapat unsur-unsur subjektif dalam sebuah kejahatan penipuan meliputi maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau

orang lain dan maksud melawan hukum.

Di Indonesia seringnya terjadi tindak pidana penipuan dikarenakan banyak faktor-faktor yang mendukung terjadinya suatu tindakan penipuan, misalnya karena kemajuan teknologi sehingga dengan mudah melakukan tindakan penipuan, keadaan ekonomi yang kurang sehingga memaksa seseorang untuk melakukan penipuan, terlibat suatu utang dan lain sebagainya. Kejahatan penipuan dapat dilakukan dimanapun dan tidak menutup kemungkinan terjadi di tempat yang memiliki birokrasi tertutup dan sangat terjaga keamanannya yaitu Lembaga Pemasyarakatan.

Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya kejahatan penipuan di dalam lapas, salah satu penyebabnya adalah faktor ekonomi. Menurut pendapat Bonger dalam buku Kartini Kartono yang berjudul patologi

sosial, kejahatan yang terjadi

disebabkan oleh kondisi ekonomi dan kemiskinan sehingga menimbulkan demoralisasi pada individu serta membelenggu naluri sosialnya sehingga pada akhirnya membuat individu melakukan tindak pidana.5 Faktor ekonomi yang timbul disebabkan oleh desakan kebutuhan hidup yang tinggi namun keadaan ekonomi yang rendah, dengan demikian pelaku kejahatan dituntut untuk memenuhi kebutuhan yang tinggi itu dengan berbagai cara walaupun pelaku kejahatan tersebut sedang berada di tempat dengan tingkat keamanan yang tinggi seperti Lembaga Pemasyarakatan. Faktor ekonomi yang menyebabkan narapidana melakukan kejahatan

(10)

baru di dalam lapas, yaitu kejahatan penipuan.

Faktor ekonomi merupakan faktor penting yang menyebabkan narapidana melakukan kejahatan penipuan. Hal ini dikarenakan meningkatnya biaya kebutuhan hidup yang semakin melonjak tinggi, sedangkan penghasilan yang harusnya bisa didapat oleh narapidana terhenti dikarenakan narapidana harus menjalani hukuman yang di putuskan oleh pengadilan di dalam Lembaga Pemasyarakatan. Sehingga narapidana tidak dapat membiayai kebutuhan sehari-hari dirinya sendiri dan keluarganya. Maka dari itu, beberapa narapidana memutuskan untuk melawan hukum dengan melakukan tindak kejahatan di dalam Lembaga Pemasyarakatan yang dapat menghasilkan uang untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Sugiyono, narapidana melakukan tindak kejahatan penipuan didasari atas status kemiskinan narapidana, dimana narapidana merupakan seorang laki-laki berusia 35 tahun dan memiliki seorang istri dan anak serta pelaku juga merupakan tulang punggung bagi keluarganya. Sebelum narapidana menjalani hukuman di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IA Bandar Lampung, Ia bekerja sebagai petani, namun saat Pelaku telah menjalani hukuman di Lapas, Pelaku tidak memiliki pekerjaan yang mampu menopang hidupnya beserta keluarganya.6

6Berdasarkan hasil wawancara penulis

dengan Sugiyono, A.Md. IP,S.H.,M.H. pada 29 November 2016

Menurut pernyataan Sugiyono, dapat disimpulkan bahwa, setelah pelaku menjalani hukuman di dalam Lembaga Pemasyarakatan, pelaku tidak memiliki sumber penghasilan sehingga pelaku melakukan tindak kejahatan penipuan atau dapat dikatakan faktor ekonomi yang mendasari pelaku melakukan tindakan tersebut.

Kejahatan penipuan di dalam Lapas tidak hanya disebabkan oleh faktor ekonomi saja, melainkan disebabkan juga oleh faktor lingkungan dan faktor peniruan (teori asosiasi diferensial). Teori Lingkungan sebagai penyebab kejahatan dipelopori A. Lacassagne dalam teori sebab-sebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor yang mempengaruhi tersebut adalah :

1. Lingkungan yang memberi kesempatan untuk melakukan kejahatan

2. Lingkungan pergaulan yang memberi contoh dan teladan 3. Lingkungan ekonomi,

kemiskinan dan kesengsaraan

(11)

yang dilakukan seseorang adalah hasil peniruan terhadap tindakan kejahatan yang ada dalam masyarakat. Orang menjadi jahat disebabkan karena pengaruh imitation, yaitu seseorang melakukan kejahatan karena orang tersebut meniru keadaan sekelilingnya.

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Rizal Effendi, tidak dapat dipungkiri bahwa terjadinya penipuan di dalam Lapas salah satunya disebabkan oleh faktor lingkungan dan peniruan yang berasal dari tindakan serupa yang dilakukan oleh narapidana pelaku kejahatan penipuan yang ada di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IA Bandar Lampung. Faktor utama yang menyebabkan terjadinya kejahatan penipuan melalui telepon genggam adalah masuknya telepon genggam (smartphone) ke dalam Lembaga Pemasyarakatan. Menurut Rizal Effendi, hal itu disebabkan karena tata tertib kunjungan ke dalam Lapas dan profesionalitas Petugas Lapas belum efektif untuk mencegah masuknya barang-barang yang dilarang untuk masuk ke dalam Lapas. Sehingga smartphone dapat masuk ke dalam lapas melalui perantara keluarga atau kerabat narapidana. Selain itu Rizal Effendi menjelaskan bahwa masuknya smartphone ke dalam Lapas tidak menutup kemungkinan disebabkan oleh Petugas Lembaga Pemasyarakatan yang tidak professional dalam menjalankan tugasnya. Sedangkan faktor yang mendorong narapidana melakukan kejahatan penipuan melalui telepon genggam adalah sering terjadinya kejahatan serupa di dalam Lapas sehingga hal tersebut menjadi contoh bagi narapidana lainnya untuk

melakukan hal serupa mengingat besarnya keuntungan yang didapatkan dari melakukan kejahatan penipuan tersebut.7

Melihat pernyataan yang dikemukakan oleh Rizal Effendi, dapat diketahui bahwa tata tertib kunjungan dan tidak profesionalnya Petugas Lapas dan kurangnya kontrol yang dilakukan oleh Petugas Lapas adalah faktor utama masuknya

smartphone ke dalam Lapas yang

merupakan penyebab dari timbulnya kejahatan penipuan melalui telepon genggam. Sedangkan faktor pendorong narapidana melakukan hal tersebut adalah sering terjadinya kejahatan serupa di dalam Lapas sehingga hal tersebut menjadi contoh bagi narapidana lainnya. Menurut analisa penulis, kejahatan penipuan di dalam Lapas terjadi tidak terlepas dari tempat dimana narapidana tersebut berada yaitu Lembaga Pemasyarakatan yang memiliki sistem birokrasi yang tertutup sehingga penegak hukum dibatasi kewenangannya untuk melakukan penindakan terhadap penghuni Lembaga Pemasyarakatan.

Melihat dari faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kejahatan penipuan di atas, ada pula faktor pendukung yang menyebabkan narapidana untuk melakukan kejahatan tersebut yaitu faktor kesempatan. Teori kesempatan (opportunity theory) dari Richard A. Cloward dan Lloyd E. Ohlin, menyatakan bahwa munculnya kejahatan dan bentuk-bentuk perilakunya bergantung pada kesempatan, baik kesempatan patuh norma, maupun kesempatan

7Berdasarkan hasil wawancara dengan Rizal

(12)

penyimpangan norma. Kesempatan merupakan faktor yang menentukan bagi narapidana pelaku kejahatan untuk melakukan kejahatan penipuan, ada orang-orang yang bisa berubah menjadi seorang penjahat jika muncul suatu peluang besar dalam melakukan tindak kejahatan. Serta perhitungan terhadap resiko tertangkap tangan ketika melakukan aksi kejahatan kecil, serta kecilnya peluang untuk tertangkap setelah dilakukan penyidikan dapat memperbesar dorongan seseorang untuk berbuat kejahatan penipuan.

Berdasarkan uraian di atas, penulis memilih contoh seperti yang terjadi dengan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IA Bandar Lampung bernama Moch. Mansur alias Mansur bin Dastro. Ia melakukan kejahatan penipuan melalui telepon genggam yang salah satunya dilatarbelakangi oleh kesempatan yang ada di dalam Lembaga Pemasyarakatan Kelas IA Bandar Lampung. Hasil wawancara yang penulis lakukan kepada Mansur pada 30 November 2016 menerangkan bahwa kejahatan penipuan yang ia lakukan terjadi saat malam hari atau kejahatan penipuan terjadi diluar jam kerja Lembaga Pemasyarakatan Kelas IA Bandar Lampung yaitu diluar jam 08.00 – 14.30 WIB, sehingga pengawasan terhadap narapidana menjadi berkurang atau dengan kata lain pengawasan terhadap narapidana tidak seketat pengawasan yang dilakukan di jam kerja. Dan dari penjelasan yang diterangkan oleh para petugas Lembaga Pemasyarakatan Kelas IA Bandar Lampung diatas, dibenarkan oleh Mansur sebagai narapidana pelaku penipuan di dalam Lapas bahwa

faktor utama yang melatarbelakangi ia melakukan kejahatan penipuan adalah faktor lingkungan yaitu dapat masuknya smartphone ke dalam kamarnya dan faktor ekonomi dikarenakan sebelum ia dijatuhi hukuman oleh pengadilan, ia adalah tulang punggung keluarganya. 8

Lembaga Pemasyarakatan yang seharusnya menjadi tempat pembinaan bagi narapidana, namun pada kenyataannya menjadi tempat oleh narapidana untuk melakukan kejahatan penipuan. Menurut analisis penulis, berdasarkan wawancara yang dilakukan penulis dengan para responden diatas dan dari sekian banyak faktor penyebab terjadinya kejahatan penipuan melalui telepon genggam yang dilakukan oleh narapidana di dalam Lapas bahwa kesempatan adalah faktor utama penyebab teradinya kejahatan penipuan di dalam Lapas. Faktor ini yang pada mulanya terjadi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IA Bandar Lampung dan kemudian diikuti oleh faktor lainnya yang menjadi faktor pendukung terjadinya kejahatan penipuan tersebut. Faktor-faktor itulah yang menyebabkan narapidana mengendalikan penipuan dari dalam Lapas dan kurang maksimalnya kontrol yang dilakukan oleh petugas Lapas diluar jam kerja sehingga merugikan korban hingga miliaran rupiah dengan cara mengelabuhi korban melalui smartphone yang dimilikinya dari dalam Lembaga Pemasyarakatan.

8Berdasarkan hasil wawancara dengan

(13)

B. Upaya Penanggulangan Terhadap Penipuan yang Dilakukan oleh Narapidana di

dalam Lembaga

Pemasyarakatan Kelas IA Bandar Lampung

Upaya penanggulangan kejahatan seperti dijelaskan oleh Barda Nawawi Arief yang mengutip dari G. P Hoefnagel9, yang pertama yaitu

penerapan hukum pidana atau

criminal law application.

Penanggulangan dengan penerapan hukum pidana yang dimaksud adalah dengan cara represif setelah terjadinya kejahatan tersebut. Penanggulangan kejahatan juga dapat dilakukan dengan cara preventif, yaitu dengan cara penegahan tanpa pidana atau yang juga dikenal dengan prevention

without punishment. Selain itu

penanggulangan kejahatan juga dapat dilakukan dengan cara mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan juga pembinaan media massa.

Barnest dan Teeters dalam buku Ramli Atmasasmita yang berjudul

Bunga Rampai Kriminologi

menunjukkan beberapa cara untuk menanggulangi kejahatan yaitu: 1. Menyadari bahwa akan adanya

kebutuhan-kebutuhan untuk mengembangkan dorongan-dorongan sosial atau tekanan-tekanan sosial dan tekanan ekonomi yang dapat mempengaruhi tingkah laku seseorang ke arah perbuatan jahat.

2. Memusatkan perhatian kepada individu-individu yang

9Barda Nawawi Arief, Berbagai Aspek Kebijakan Penegakan Pembangunan Hukum Pidana. hlm. 59

menunjukkan potensialitas kriminal atau sosial, sekalipun potensialitas tersebut disebabkan gangguan-gangguan biologis dan psikologis atau kurang mendapat kesempatan sosial ekonomis yang cukup baik sehingga dapat merupakan suatu kesatuan yang harmonis.10

Upaya penanggulangan kejahatan mencakup aktivitas preventif dan sekaligus berupaya untuk memperbaiki perilaku seseorang yang telah dinyatakan bersalah (sebagai seorang narapidana) di lembaga pemasyarakatan. Dengan kata lain upaya penanggulangan kejahatan dapat dilakukan secara preventif dan represif. Melihat pada kejahatan penipuan yang dilakukan oleh narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan, upaya penanggulangan dengan cara preventif merupakan cara utama dalam penanggulangan kejahatan penipuan di dalam Lapas. Penanggulangan kejahatan secara preventif dilakukan untuk mencegah terjadinya atau timbulnya kejahatan yang pertama kali . Mencegah kejahatan lebih baik daripada mencoba untuk mendidik kembali narapidana yang harusnya menjadi lebih baik ketika ia pertama kali dibina di Lembaga Pemasyarakatan, usaha-usaha memperbaiki narapidana yang melakukan kejahatan di dalam Lapas perlu diperhatikan dan diarahkan agar tidak terjadi lagi kejahatan ulangan. Sangat beralasan bila upaya preventif diutamakan karena upaya preventif dilakukan tanpa adanya kejahatan yang telah terjadi.

(14)

Barda Nawawi Arief juga menjelaskan mengenai upaya penanggulangan kejahatan melalui sarana non-penal dan penal.

1. Sarana Non-Penal

Sarana non penal atau upaya preventif yang dilakukan sebelum terjadinya kejahatan, erat sekali hubungannya dengan kebijakan sosial. Upaya ini bertujuan untuk mencegah sebelum terjadinya kejahatan dan memperbaiki kondisi menjadi lebih baik. Secara tidak langsung upaya non penal meminimalisasi kuantitas dari suatu kejahatan yang ada.11 Contohnya yaitu penyuluhan hukum atau konseling kepada narapidana yang sedang menjalani hukuman pembinaan di dalam Lembaga Pemasyarakatan mengenai tindak pidana umum maupun khusus. Upaya ini juga dapat diterapkan dalam kegiatan-kegiatan pembinaan yang dilakukan Lembaga Pemasyarakatan dalam rangka perbaikan diri narapidana sebelum kembali ke masyarakat.

Narapidana seharusnya mengetahui dan memahami upaya yang dilakukan Lembaga Pemasyarakatan dalam penanggulangan kejahatan penipuan di dalam Lapas. Penulis telah melakukan penelitian di Lembaga pemasyarakatan Kelas IA Bandar Lampung, menurut Sugiyono, dalam hal ini Lapas telah melakukan upaya non penal. Sebelum terjadinya kejahatan penipuan di dalam Lapas, Lembaga Pemasyarakatan Kelas IA Bandar Lampung telah melakukan upaya non penal melalui Bidang Pembinaan Narapidana dengan melakukan

11 Barda Nawawi Arief, Op,Cit,. hlm. 59

peyuluhan hukum kepada narapidana, hal tersebut dilakukan rutin untuk memberikan pengetahuan hukum kepada narapidana agar tidak mengulangi lagi tindak pidananya. Selain itu Bidang Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyaakatan Kelas IA Bandar Lampung telah melakukan peningkatan kualitas dan kuantitas kegiatan di dalam Lapas dalam rangka pembinaan terhadap narapidana yang menghuni Lembaga Pemasyarakatan Kelas IA Bandar Lampung. Kegiatan tersebut meliputi peningkatan terhadap pembinaan yang bersifat keagamaan yaitu pengajian bagi narapidana yang beragama Islam dan kebaktian bagi narapidana yang beragama Kristen. Setelah itu melakukan pembinaan yang bersifat meningkatkan produktifitas narapidana sehingga waktu yang dimiliki narapidana di dalam Lapas dapat diisi dengan kegiatan positif dan mengurangi kemungkinan terjadinya kejahatan di dalam Lapas.12

Pembinaan dan bimbingan yang dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IA Bandar Lampung dibagi menjadi dua bidang yaitu:

1. Pembinaan kepribadian yang melliputi:

a. Pembinaan kesadaran beragama.

b. Pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara, dengan mengadakan upacara kesadaran nasional setiap tanggal 17

12 Berdasarkan hasil wawancara dengan

(15)

c. Pembinaan kemampuan intelektual (kecerdasan) d. Pembinaan kesadaran hukum,

menyelenggarakan kegiatan: temu wicara dan ceramah, dan penyuluhan hukum e. Pembinaan mengintegrasikan

diri dengan masyarakat menyelenggarakan kegiatan: 2. Pembinaan kemandirian yang

meliputi:

Penyelenggaraan pembinaan meliputi program-program dan usaha-usaha:

a. Kerja Produktif yaitu meliputi: rotan, tapis, perajin ban, menjahit pertukangan kayu, bingkai dan keset, pot kembang, cukur, pertanian, sangkar burung, paving blok,

bengkel mobil, majelis ta’lim,

budidaya lele, pijat refleksi, pembuatan sandal hotel, pembuatan batu akik, pembuatan miniatur kapal dari bambu, aquarium, laundry, cucian motor dan mobil.

b. Kegiatan kerja rumah tangga yaitu meliputi: pramuka, juru masak, pembantu kantor, kebersihan, pertamanan, pondok.

Berdasarkan beberapa hasil wawancara diatas, penulis sependapat dengan Sugiyono, upaya non penal yang efektif dalam penanggulangan kejahatan penipuan di dalam Lembaga Pemasyarakatan yaitu dengan diadakannya penyuluhan hukum atau konseling. Penyuluhan hukum ini bertujuan untuk mensosialisasikan hukuman yang akan didapat seorang narapidana yang melakukan kejahatan penipuan di dalam Lapas, sehingga terciptalah kesadaran

hukum bagi narapidana. Selain itu Lembaga Pemasyarakatan Kelas IA Bandar Lampung juga melakukan razia rutin delapan kali dalam sebulan, dengan kata lain razia tersebut dilakukan dua kali dalam seminggu. Serta lebih meningkatkan pengawasan terhadap narapidana disaat narapidana tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang telah ditentukan oleh Lapas. Upaya tersebut dilakukan untuk mencegah masuknya telepon genggam dan barang-barang yang dilarang ke dalam kamar narapidana. Hal itu dilakukan agar tidak ada lagi kerugian yang dialami masyarakat yang menjadi korban penipuan tersebut. Sedangkan peningkatan kualitas dan kuantitas kegiatan pun harus dilakukan, hal tersebut bertujuan untuk mengisi waktu narapidana yang ada di Lembaga Pemasyarakatan dengan kegiatan yang positif sehingga meminimalisasi kejahatan penipuan yang terjadi di dalam Lapas.

2. Sarana Penal

(16)

melanggar hukum dan merugikan masyarakat, sehingga tidak mengulanginya dan orang lain juga tidak akan melakukannya mengingat sanksi yang ditanggungnya sangat berat. Dalam penanggulangan secara represif cara-cara yang ditempuh bukan lagi pada tahap bagaimana mencegah terjadinya suatu kejahatan tetapi bagaimana menanggulangi atau mencari solusi atas kejahatan yang sudah terjadi. Atas dasar itu kemudian, langkah-langkah yang biasa ditempuh cenderung bagaimana menindak tegas pelaku kejahatan atau bagaimana memberikan efek jera terhadap pelaku kejahatan.

Rizal Effendi yang penulis wawancarai ketika melakukan penelitian di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IA Bandar Lampung menyatakan bahwa adanya pelaksanaan penanggulangan penal yang dilakukan oleh Lembaga Pemasyarakatan mengacu pada Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2013 Tentang Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara. Upaya non penal yang dilakukan Bidang Keamanan dan Ketertiban Lembaga Pemasyarakatan Kelas IA Bandar Lampung berupa razia rutin yang dilakukan oleh Keamanan Lapas dalam jangka waktu 8 kali razia selama satu bulan. Razia tersebut bertujuan untuk mencegah masuknya barang-barang yang dilarang di dalam Lapas.13 Apabila upaya non

penal telah dilakukan namun tetap terjadi kejahatan penipuan di dalam

13 Berdasarkan hasil wawancara

dengan Rizal Effendi, S.H.,M.H. pada 29 November 2016

Lapas, maka upaya penal yang harus dijalankan secara tegas sebagai cara terakhir untuk menanggulangi kejahatan penipuan di dalam Lapas. Narapidana atau Tahanan yang melanggar tata tertib dapat dijatuhi hukuman disiplin tingkat ringan, hukuman disiplin tingkat sedang atau hukuman disiplin tingkat berat. Dalam Pasal 10 ayat (3) huruf f dan n Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2013 Tentang Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara, dijelaskan bahwa narapidana dan tahanan yang jika melakukan pelanggaran memiliki, membawa, atau menggunakan alat komunikasi atau alat elektronik, dan atau melakukan pencurian, pemerasan, perjudian, atau penipuan dijatuhi Hukuman Disiplin tingkat berat.14 Rizal Effendi menjelaskan bahwa Hukuman Disiplin tingkat berat berupa memasukkan dalam sel pengasingan selama 6 (enam) hari dan dapat diperpanjang selama 2 (dua) kali 6 (enam) hari dan tidak mendapatkan hak remisi, cuti mengunjungi keluarga, cuti bersyarat, asimilasi, cuti menjelang bebas, dan pembebasan bersyarat dalam tahun berjalan dan untuk alasan kepentingan keamanan, seorang narapidana dapat dimasukkan dalam pengasingan. Dan apabila dalam hal pelanggaran yang dilakukan oleh narapidana diduga tindak pidana, Kepala Lapas meneruskan kepada

14 Lihat Pasal 10 ayat (3) huruf f dan

(17)

instansi yang berwenang dalam hal ini adalah Kepolisian.

Upaya mendidik dan membina untuk memasyarakatkan kembali, pada hakekatnya bermaksud untuk pencegahan. Secara lebih umum, upaya penanggulangan kriminalitas dilakukan dengan metode moralistik yaitu dengan membina mental spiritual yang dapat dilakukan oleh para ulama , para pendidik, dan lain sebagainya, dan dengan metode abolisionistik yaitu dengan cara penanggulangan yang bersifat konsepsional yang harus direncanakan.

Berdasarkan hasil wawancara tersebut, penulis sependapat dengan Rizal Effendi bahwa apabila upaya non penal telah dilakukan namun tetap terjadi suatu tindakan kejahatan penipuan maka upaya penal yang harus dijalankan. Namun upaya penal disini tidak hanya bertujuan untuk memberi hukuman semata kepada narapidana pelaku kejahatan penipuan di dalam Lapas namun juga menambahkan bekal yang didapat seseorang narapidana selepas menjalankan masa hukumannya tersebut. Narapidana pelaku kejahatan penipuan di dalam Lapas harus menunjukan perubahan positif setelah melaksanakan hukumannya. sedangkan tujuan dari upaya penanggulangan itu sendiri yaitu sebagai upaya pencegahan dan penyadaran terhadap pelaku kejahatan agar tidak melakukan hal-hal yang lebih buruk lagi dimaksudkan agar narapidana pelaku kejahatan ini di kemudian hari tidak lagi melakukan pelanggaran hukum, baik dari pelanggaran-pelanggaran yang mungkin lebih besar merugikan masyarakat dan pemerintah.

III. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan dari hasil penelitian dan pembahasan maka kesimpulan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

(18)

Pemasyarakatan. Faktor yang terakhir yaitu faktor kesempatan yang dapat dilihat dari waktu narapidana melakukan kejahatan penipuan yang terjadi saat diluar jam kerja Lembaga Pemasyarakatan Kelas IA Bandar Lampung sehingga pengawasan terhadap narapidana menjadi berkurang.

2. Upaya penanggulangan terhadap kejahatan penipuan yang dilakukan narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan dilakukan dengan cara preventif dan represif. Upaya preventif yang dilakukan dengan melakukan pembinaan yaitu penyuluhan hukum kepada narapidana, hal tersebut dilakukan rutin untuk memberikan pengetahuan hukum kepada narapidana dan melakukan peningkatan kualitas dan kuantitas kegiatan di dalam Lapas. hal tersebut bertujuan untuk mengisi waktu narapidana yang ada di Lembaga Pemasyarakatan dengan kegiatan yang positif sehingga meminimalisasi kejahatan penipuan yang terjadi di dalam Lapas. Selain itu Lembaga Pemasyarakatan Kelas IA Bandar Lampung juga melakukan razia rutin delapan kali dalam sebulan, dengan kata lain razia tersebut dilakukan dua kali dalam seminggu. Serta lebih meningkatkan pengawasan terhadap narapidana disaat narapidana tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang telah ditentukan oleh Lapas. Upaya tersebut dilakukan untuk mencegah masuknya telepon genggam dan barang-barang

yang dilarang ke dalam kamar narapidana. Tidak hanya secara preventif, upaya penanggulangan kejahatan penipuan di dalam Lapas juga dilakukan secara represif dengan sanksi hukuman disiplin yang dilakukan Lembaga Pemasyarakatan yaitu jika narapidana melakukan pelanggaran memiliki, membawa, atau menggunakan alat komunikasi atau alat elektronik, dan atau penipuan dijatuhi hukuman disiplin tingkat berat ataupun oleh instansi terkait yang berwenang menanangani dugaan adanya tindak pidana.

B. Saran

Melalui skripsi ini penulis menyampaikan beberapa saran yang terkait dengan penelitian penulis antara lain :

1. Perlunya keterlibatan keluarga dan kerabat narapidana, karena keluarga an kerabat narapidana berperan penting dalam keberhasilan pembinaan narapidana di dalam Lapas, karena keluarga dan kerabat narapidanalah yang memiliki kedekatan emosional dengan narapidana sehingga diharapkan dapat mengarahkan narapidana untuk melakukan kegiatan positif di dalam Lapas demi terciptanya keamanan dan ketertiban di dalam ataupun diluar Lembaga Pemasyarakatan.

(19)

dilakukan hanya dua kali dalam seminggu. Hal ini dirasa tidak cukup mengingat sering terjadinya kejahatan penipuan melalui telepon genggam yang dilakukan narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan Kelas IA Bandar Lampung. Upaya penal juga harus ditegakan dengan tegas dan baik sesaui dengan prosedur yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Sanksi hukum harus dilaksanakan secara tegas dengan harapan agar narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan menyadari kesalahannya dan tidak mengulangi kejahatannya lagi.

DAFTAR PUSTAKA

Arief, Barda Nawawi.1998. Berbagai Aspek Kebijakan Penegakan Pembangunan Hukum Pidana, Bandung: PT Citra Aditia Bakti.

Atmasasmita, Romli. 1984, Bunga Rampai Kriminologi, Jakarta: Rajawali Press.

Husin, Kadri & Budi Rizki. 2012. Sistem Peradilan Pidana di Indonesia. Bandar Lampung: Lembaga Penelitian

Universitas Lampung. Kartono, Kartini. 2005. Patologi

Sosial. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Sujatno, Aji. 2004. Sistem

Pemasyarakatan Indonesia Membangun Manusia Mandiri, Jakarta :Direktorat Jenderal Pemasyarakatan

Departemen Hukum dan Ham RI.

Sumber lain

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2013 Tentang Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara

http://www.jejakkasus.com/berita/di-balik- lapas-lampung-muliadi-napi-di-tangkap- polisi-gunakan-facebook-sebagai-m-ali-yusuf/

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Soon enough, Quenthel would have Matron Mother Zeerith begging her to keep the city of Q’Xorlarrin as a Baenre satellite, and now, with the constant demonic

The unity and prosperity orientation in the public policy making particularly the economic policies is commendable for developing countries to provide basic needs to

2 Jumlah insentif yang diberikan kepada karyawan disesuaikan dengan target penjualan yang dicapai karyawan.. 3 Perhitungan / penentuan

Hasil uji reliabilitas menunjukan koefisien korelasi di antara item secara berurut pada variabel penggunaan media internet dengan motif kreatif (X1), diperoleh

Alasan orang tua dan siswa memilih homeschooling sebagai pendidikannya antara lain kesibukan siswa di bidang non akademis, kendala fisik, penyakit tertentu, pembelajaran

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa besar pengaruh efisiensi modal kerja, likuiditas, solvabilitas terhadap profitabilitas pada PT Telekomunikasi

Dengan adanya program – program yang dilakukan Museum Sonobudoyo Yogyakarta seperti pada Tabel 1.6 merupakan salah satu teknik yang digunakan dalam kegiatan pemasaran