• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Kesadaran Moral Warga Binaan Di Lapas Wanita Kelas II A Bandung : studi deskriftif tentang perilaku moral perempuan di lembaga pemasyarakatan wanita kelas IIA Bandung.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Kesadaran Moral Warga Binaan Di Lapas Wanita Kelas II A Bandung : studi deskriftif tentang perilaku moral perempuan di lembaga pemasyarakatan wanita kelas IIA Bandung."

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

Syofiyatul Lusiana, 2015

PERANAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM PEMBINAAN

KESADARAN MORAL WARGA BINAAN DI LAPAS WANITA KELAS

IIA BANDUNG

(Studi Deskriptif Tentang Perilaku Moral Perempuan di Lembaga

Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Bandung)

SKRIPSI

diajukan untuk memenuhi sebagian dari syarat untuk memperoleh gelar sarjana

pendidikan Program Studi Departemen Pendidikan Kewarganegaraan

Oleh

Syofiyatul Lusiana

NIM 1104700

DEPARTEMEN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHAUAN SOSIAL

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

2015

(2)

Syofiyatul Lusiana, 2015

PERANAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM PEMBINAAN

KESADARAN MORAL WARGA BINAAN DI LAPAS WANITA KELAS

IIA BANDUNG

(Studi Deskriftif Tentang Perilaku Moral Perempuan di Lembaga

Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Bandung)

Oleh

Syofiyatul Lusiana

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar

Sarjana Pendidikan pada Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

© Syofiyatul Lusiana

Universitas Pendidikan Indonesia

April 2015

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhya atau sebagian,

(3)

Syofiyatul Lusiana, 2015

SYOFIYATUL LUSIANA

PERANAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM PEMBINAAN KESADARAN MORAL WARGA BINAAN DI LAPAS WANITA KELAS

IIA BANDUNG

(Studi Deskriftif Tentang Perilaku Moral Perempuan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Bandung)

DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH PEMBIMBING:

Pembimbing I

Prof. Dr. H. Endang Danial AR., M.Pd., M.Si. NIP. 19500502 197603 1 002

Pembimbing II

Drs. Djaenudin Harun., S.H. M.S. NIP. 13025664400

Mengetahui

Ketua Departemen Pendidikan Kewarganegaraan

(4)

Syofiyatul Lusiana, 2015

Skripsi ini diuji pada hari/tanggal Rabu, 13 Mei 2015

Panitia Ujian Sidang Terdiri Atas:

1. Ketua :

Prof. Dr. H. Karim Suryadi, M.Si. NIP. 19700814 199402 1 001

2. Sekretaris :

Prof. Dr. H. Sapriya, M.Ed. NIP. 19630820198803 1 001

3. Penguji :

3.1. Prof. Dr. H. Suwarma Al Muchtar, SH., M.Pd.

NIP. 19530211 197803 1 002

3.2. Dr. H. Dadang Sundawa, M.Pd. NIP. 19600515 198803 1 002

(5)

Syofiyatul Lusiana, 2015

ABSTRAK

SYOFIYATUL LUSIANA (1104700). Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Kesadaran Moral Warga Binaan Di Lapas Wanita Kelas II A Bandung (Studi Deskriftif Tentang Perilaku Moral Perempuan Di Lembaga Pemasyarakatan

Wanita Kelas IIA Bandung)

Pergeseran nilai-nilai sosial dan moralitas yang berujung pada tindakan kriminal dipengaruhi oleh banyak faktor.Konsekuensi dari tindakan kriminal adalah penjatuhan pidana yang ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan.Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Bandung adalah sebagai ujung tombak pelaksanaan asas pengayoman melalui pendidikan, rehabilitasi, dan reintegrasi.Diharapkan dapat mensinergikan kembali warga binaan ke dalam lingkungan kehidupan masyarakat guna menjalankan fungsi dan peran sosialnya. Pembinaan warga binaan yang diwujudkan melalui proses pendidikan harus memperhatikan aspek-aspek diantaranya: pembinaan aspek moral, aspek yuridis, dan pembinaan aspek kemandirian. Adapun tujuan dari pembinaan tersebut adalah untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, keterampilan dan kesadaran moral.Sehubungan dengan hal tersebut, permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimana program pembinaan kesadaran moral warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Bandung? (2) Bagaimana proses pembinaan kesadaran moral warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Bandung?Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif (mixed methods) dengan pendekatan kualitatif. Adapun teknik yang digunakan diantaranya yakni, observasi, wawancara terstruktur, studi dokumentasi, dan studi literatur.Subjek penelitian yang dipakai adalah petugas, pemberi materi kerohanian, dan warga binaan sebagai responden.Hasil penelitian menunjukkan: Program pembinaan yang diberikan untuk menumbuhkan kesadaran moral warga binaan yaitu pembinaan kepribadian, yang meliputi pembinaan kesadaran beragama, pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara, pembinaan kemampuan intelektual dan pembinaan kesadaran hukum, program pembinaan kemandirian. Proses pelaksanaan pembinaan kesadaran moral yang diberikan oleh pihak Lapas sudah berjalan dengan baik, dilaksanakan setiap hari dalam jadwal yang bersifat rutinan. Waktu pelaksanaan dilaksanakan setiap hari pada pagi dan siang hari.Hasil dari proses pembinaan kesadaran moral berupa perubahan perilaku, sikap dan kepribadian warga binaan akan dikembalikan lagi kepada warga binaannya itu sendiri.Faktor pendukung untuk perubahan kesadaran moral yaitu kemauan dari diri pribadi warga binaan itu sendiri, motivasi dari sesama warga binaan, dan dorongan dari keluarga.Faktor penghambat untuk perubahan kesadaran moral yaitu tergantung pada mood dari warga binaan sendiri, faktor lingkungan, sarana dan prasarana, kualitas dan kuantitas petugas, pembina serta anggaran yang kurang memadai. Kesimpulannya, program pembinaan kesadaran moral yang diberikan oleh pihak Lapas berupa program pembinaan kepribadian,pembinaan kesadaran beragama, pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara, pembinaan kesadaran hukum, dan program pembinaan kemandirian, program pembinaan dilaksanakan sesuai dengan jadwal setiap hari rutinan dan insidental. Dari proses pembinaan kesadaran moral warga binaan sudah menunjukkan perubahan kearah yang lebih baik. Maka seyogyanya bagi para warga binaan diharapkan untuk berusaha merubah perilaku atas dasar kemauan sendiri dari pada penekanan Lapas dan bagi pihak Lapas diharapkan dapat lebih meningkatkan kualitas pembinaan terhadap warga binaan.

(6)

Syofiyatul Lusiana, 2015

ABSTRACT

SYOFIYATUL LUSIANA (1104700). Role Penitentiary In Development of Moral Consciousness Inmates Women in Women Correctional Institution Class IIA Bandung (Descriptive Study About the Moral Behavior Woman in Women Correctional Institution

Class IIA Bandung)

The shift in social values and morality which led to in criminal acts influenced by many factors. The consequences of criminal acts is the criminal punishment were placed in Penitentiary. Women Correctional Institution Class IIA Bandung is the as a spearhead implementation of the principle aegis through education, rehabilitation, and reintegration. Expected to synergize back convict environment into people's lives in order to carry out the functions and role of social. Development of convict which is realized through the process of education should pay attention to aspects such as: fostering the moral aspect, juridical, and coaching aspects of independence. The purpose of the guidance is to improve the quality of devotion to God Almighty, intellectual, skills, and moral consciousness. In connection with that matter, issues examined in this study are: (1) How moral awareness training program inmates in prison Women’s Correctional Institution Class IIA Bandung? (2) How does the coaching process of moral consciousness of inmates in prison Women’s Correctional Institution Class IIA Bandung? The method used in this research is descriptive method (mix methode), with a qualitative approach. The techniques used among which observation, structured interviews, study documentation, and the study of literature. Research subjects used is, prison officers, giver of spiritual material, and inmates as respondents. The results showed: Given that the coaching program to cultivate the moral consciousness of inmates is a personality development, which includes the development of religious consciousness, fostering awareness of state and nation, development of intellectual abilities, and fostering awareness of the law. The process of implementation guidance moral consciousness provided by the Prison already well underway, held every day in the routine schedule. The timing of the executed every day in the morning and afternoon. The results of the process of formation of moral consciousness form of behavior change, attitudes and personality of inmates will be returned to the citizens of surrogate it self. Supporting factor for the change of moral consciousness that willingness of self inmates themselves, motivation of fellow inmates, and encouragement of the family. Limiting factor for the change of moral consciousness that depending on the mood of the prisoners themselves, environmental factors, facilities and infrastructure, quality and quantity of prison officers, builder and inadequate budgets. In Conclusion, moral awareness training program provided by the Penitentiary in the form of program personality development, development of religious awareness, fostering awareness of national and state, development of legal consciousness, and independence coaching program, coaching program is implemented in accordance with the schedule every day routine and incidental. Of the process of the coaching process of moral consciousness of inmates has shown a change towards the better.

(7)

Syofiyatul Lusiana, 2015

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Perkembangan global telah menyisakan banyak problem dalam berbagai

aspek kehidupan. Hal ini yang paling nyata adalah semakin kuatnya kompetisi

terbuka dalam masyarakat yang semakin pluralistik, juga dalam bidang moralitas.

Dalam kondisi demikianlah dampak adanya penurunan nilai-nilai sosial secara

drastis, terhadap pelaksanaan nilai-nilai moral yang ada. Dapat dikatakan bahwa

keberanian orang untuk mengatakan yang benar, agak kurang. Bahkan

kadang-kadang kita melihat adanya keberanian yang berlebih-lebihan dalam membela

tindakan atau perbuatan yang tidak dibenarkan oleh ajaran agama yang dianutnya

sendiri.

Pada kenyataannya yang terjadi sekarang ini adalah banyaknya ketakutan

(ketidak beranian) mengemukakan yang benar dan menegur yang salah. Semua

fakta yang ada, adalah bukti dari sebuah kemerosotan moral orang pada waktu ini,

dimana dengan tegas dapat dikatakan bahwa mereka menjadi pengecut dan

kehilangan kemampuan untuk bersikap berani. Seperti yang dikemukakan oleh

Daradjat (1997, hlm. 48) sebagai berikut:

Sebab-sebab kemerosotan moral. Diantara faktor penting yang mempunyai pengaruh dalam terjadinya dekadensi moral di tanah air kita pada tahun-tahun terakhir ini antara lain:

1. Kurangnya pembinaan mental

2. Kurangnya pengenalan terhadap nilai moral Pancasila 3. Kegoncangan suasana dalam masyarakat

4. Kurang jelasnya hari depan di mata anak muda 5. Pengaruh kebudayaan asing

Disamping itu dari fakta-fakta yang telah ada, kecanggihan teknologi di satu

sisi cukup memberikan kemajuan dan efisiensi dalam memenuhi kebutuhan hidup.

Namun di sisi lain telah muncul efek negatif yang berkepanjangan bagi

masyarakat. Dampak ini sangat menggelisahkan, yaitu maraknya tindak

kriminalitas dengan keragaman bentuk aksi kekerasan didalamnya, baik dilakukan

(8)

2

Syofiyatul Lusiana, 2015

perampokan, pembunuhan, narkoba, korupsi, penculikan, pemerkosaan atau

pelecehan seksual.

Pergeseran nilai-nilai budaya dan moralitas yang berujung tindakan kriminal

ini tentu dipengaruhi oleh banyak faktor. Hal ini sesuai dengan pendapat yang

dikemukakan oleh Ulwan, (1990, hlm. 172):

Kemajuan-kemajuan pada aspek kehidupan, memposisikan anggota masyarakat untuk bersaing secara keras yang sering tidak mengindahkan tata aturan sosial. Persaingan ini terjadi karena masyarakat ingin memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup yang banyak seperti misalnya sandang, papan, dan pangan maupun kebutuhan sekunder lainnya.

Untuk menerapkan norma moralitas pada kejadian yang konkret, kita harus

menemukan apa yang terdapat dalam perbuatan yang dapat menyebabkan suatu

perbuatan itu sesuai atau tidak sesuai dengan norma. Seperti yang dikemukakan

oleh W. Poespoprodjo (1999, hlm. 162) yakni:

Ada tiga macam faktor penentu dalam moralitas: 1. Perbuatannya sendiri

2. Motif, dan 3. Keadaan

Biasanya orang sulit membedakan mana pelanggaran atau konvensi sosial

dan pelanggaran moral. Di Indonesia sanksi sosial tidak lagi dirisaukan oleh si

pelnggar sehingga perlu diadaknnya pembinaan tentang kesadaran moral.

Terdapat suatu kecenderungan bahwa terdapat tiga macam perbuatan, seperti yang

dikemukakan oleh W. Poespoprodjo (1999, hlm. 20-21) sebagai berikut:

1. Perbuatan-Perbuatan yang manusia sepantasnya/seharusnya seyogyanya dikerjakan manusia.

2. Perbuatan-perbuatan yang tidak sepantasnya/seharusnya seyogyanya dikerjakan manusia.

3. Perbuatan-perbuatan yang manusia boleh mengerjakannya atau boleh tidak mengerjaknnya.

Dari penjelasan diatas dapat di simpulkan bahwa apabila manusia salah dalam

membedakan yang benar dari yang salah, kita juga mau tau mengapa dan

bagaimana kesesatan secara besar-besaran itu dapat dijelaskan. Tanpa terlebih

dahulu menentukan masing-masing pihak, sudah jelas bahwa tingkah laku

manusia dipengaruhi oleh lingkungan sekitar. Selain pengaruh lingkungan sekitar,

(9)

3

Syofiyatul Lusiana, 2015

Pemerataan pembangunan di Indonesia yang dinilai gagal, ternyata banyak berpengaruh terhadap kesenjangan dalam strata ekonomi ataupun di sisi kesetaraan gender. Hal ini ditunjukan oleh diskriminasi-diskriminasi pada ranah aplikatif masih sering terjadi. Maka banyaknya tindakan kejahatan akhir-akhir ini tidak lagi terbatas hanya oleh perbedaan jenis kelamin laki-laki atau perempuan. Banyaknya kalangan perempuan yang terlibat tindakan kriminal atau kejahatan, baik pada taraf kecil maupun taraf besar. Kondisi ini sangat berbeda dengan keadaan atau perilaku kejahatan yang sebelumnya relatif sedikit dilakukan oleh para kaum perempuan. Banyaknya para perempuan yang melakukan tindakan kriminal tersebut mereka menghuni penjara atau Lembaga Pemasyarakatan.

Sehingga pada kenyataanya tindak kejahatan yang terjadi sekarang ini

semakin merajalela, dikarenakan masyarakat Indonesia masih kurang kesadaran

moral dan kesadaran hukumnya, yang ditimbulkan dengan berbagai faktor,

sehingga banyak orang yang telah dibutakan matanya kemudian nekad untuk

melakukan tindak kejahatan yang diluar akal pikirannya. Melalui perbuatan

kejahatan itulah mengakibatkan seseorang diberikan hukuman atau sanksi atas

perbuatannya tersebut dan harus mempertanggung jawabkannya. Biasanya para

pelanggar hukum mempertanggung jawabkan perbuatannya di dalam Lembaga

Pemasyarakatan. Setelah si pelanggar dinyatakan bersalah dalam penjatuhan

ponis, maka si pelanggar itu statusnya berubah menjadi narapidana atau warga

binaan pemsayarakatan.

Warga binaan pemasyarakatan sebagai orang-orang yang dinyatakan bersalah

merupakan orang-orang yang mengalami kegagalan dalam menjalani hidup

bermasyarakat. Mereka gagal memenuhi norma-norma yang ada dalam

masyarakat, sehingga pada akhirnya gagal menaati aturan-aturan dan hukum yang

berlaku dalam masyarakat.

Kegagalan seseorang dalam bidang hukum disebabkan oleh banyak hal,

antara lain karena tidak terpenuhinya kebutuhan biologis atau sosial

psikologisnya. Akibat tidak terpenuhinya kebutuhan tersebut dapat

mengakibatkan seseoarang menjadi nekad lalu melakukan perbuatan yang

melanggar hukum. Untuk mempertanggungjawabkan kesalahannya mereka

dimasukkan kedalam lembaga pemasyarakatan. Hidup dengan peraturan tata tertib

yang ketat dan harus dipatuhi. Kebebasaan bergeraknya dibatasi, bergabung

(10)

4

Syofiyatul Lusiana, 2015

menginginkan hidup demikian. Seperti yang dikemukakan oleh Jackson (dalam

Soeroso, 2006, hlm. 83-84) menyatakan bahwa:

Aspek pencegahan khusus untuk efektivitas pidana penjara terletak pada masalah seberapa jauh pidana itu mempunyai pengaruh terhadap si pelaku/ terpidana. Ada dua aspek pengaruh pidana terhadap terpidana, yaitu aspek pencegahan awal, dan aspek perbaikan. Aspek pertama, biasanya diukur dengan menggunakan indikator residivis. Yang menyatakan dalam suatu periode tertentu. Selanjutnya ditegaskan bahwa efektivitas adalah suatu pengukuran dari perbandingan antara jumlah pelnggar yang dipidana kembali dan yang tidak dipidana kembali. Aspek kedua, yaitu aspek perbaikan, berhubungan dengan masalah perbuatan, perubahan sikap dari terpidana. Seberapa jauh pidana penjara dapat mengubah sikap terpidana, masih merupakan malah yang belum dapat dijawab.

Seorang pelanggar hukum yang menginjakkan kaki kedalam tembok lembaga

pemasyarakatan akan mengalami masa krisis diri dan perasaan menolak. Keadaan

seperti itulah yang dapat meruntuhkan kekuatan mental seseorang yang nampak

pada pernyataan jiwa dalam bentuk tingkah laku dan perbuatan. Hal inilah yang

perlu diperbaiki dalam pembinaan di lembaga pemasyarakatan agar warga binaan

memiliki sikap, mental, dan perilaku kesadaran moral yang baik.

Lembaga pemasyarakatan pada awalnya merupakan sistem kepenjaraan,

sebagai pelaksana pidana hilangnya kemerdekaan. Sistem kepenjaraan berasal dari

pandangan individualisme yang memandang dan memperlakukan orang terpidana

tidak sebagai anggota masyarakat dan merupakan suatu pembalasan dendam

masyarakat semata. Hal tersebut tidak sesuai dengan tingkat peradaban serta

martabat bangsa Indonesia yang berfalsafah Pancasila, tegasnya pada sila kedua

yakni kemanusian yang adil dan beradab. Menyadari hal tersebut, sejak 1964

sistem kepenjaraan ditinggalkan dan diganti dengan sistem pemasyarakatan yang

ide dan konsepsi dasarnya dicetuskan oleh Soehardjo:

Sistem pemasyarakatan timbul karena adanya suatu gagasan bahwa pemasyarakatan dijadikan tujuan daripada pidana penjara. Maka sistem pemasyarakatan merupakan suatu cara pembinaan terhadap para pelanggar hukum yang melibatkan semua potensi dalam masyarakat, petugas, dan individu pelanggar hukum yang bersangkutan semata.

Gagasan pemasyarakatan dijadikan sebuah tujuan dari sebuah pidana penjara

adalah suatau konsep yang sangat relevan dan sesuai. Karena sistem

(11)

5

Syofiyatul Lusiana, 2015

terhadap para pelanggar hukum. Supaya para pelanggar hukum tersebut dapat

memperbaiki diri terutama dalam hal kesadaran moralnya. Sistem pemasyarakatan

yang dianut oleh Negara Indonesia, diatur dalam Undang-Undang No. 15 Tahun

1995 yakni:

Hal ini merupakan pelaksanan dari pidana penjara yang merupakan perubahan ide secara yuridis filisofis dari sistem kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan. Sistem pemenjaraan sangat menekankan pada unsur balas dendam dan penjaraan yang disertai dengan lembaga “rumah penjara” secara berangsur-angsur dipandang sebagai suatu sistem dan sarana yang tidak sejalan dengan konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial, agar warga binaan menyadari kesalahannya, tidak lagi berkehendak untuk melakukan tindak pidana dan kembali menjadi warga masyarakat yang bertanggung jawab bagi diri, keluarga, dan lingkungannya.

Lembaga Pemasyarakatan bukan hanya sekedar tempat untuk memenjarakan

orang yang melakukan tindak pidana kejahatan saja, namun didalamnya terdapat

pembinaan agar orang tersebut tidak melakukan tindak pidana lagi serta Lembaga

Pemasyarakatan juga sebagai wadah untuk menjembatani seseorang yang telah

melanggar hukum untuk dapat diterima kembali di masyarakat, di bina moralnya,

akhlaknya, nilai-nilai kepatuhan, ketaatan hukum, agama dan sosial. Sementara

itu terdapat akibat negatif yang ditimbulkan dan sering dilontarkan bahwa pidana

penjara tidak hanya mengakibatkan perampasan kemerdekaan seseorang saja,

tetapi ada stigma atau cap jahat yang melekat pada diri terpidana sekalipun dia

tidak melakukan tindak pidana lagi. Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun

1995 tentang Lembaga Pemasayarakatan dijelaskan bahwa:

(12)

6

Syofiyatul Lusiana, 2015

diri dan tidak melakukan tindak pidana lagi. Satu hal yang sangat penting dalam melakukan pembinaan adalah pembinaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan, dan terpidana tetap diakui hak-hak asasinya sebagai manusia.

Efektifitas pidana penjara dapat dilihat dari beberapa aspek, aspek

perlindungan masyarakat, dan aspek perlindungan atau kepentingan masyarakat,

maka suatu pidana dikatakan efektif apabila pidana itu sejauh mungkin dapat

mencegah atau mengurangi pidana. Dengan kata lain kriterianya terletak pada

seberapa jauh efektifitas pencegahan umum dari pidana penjara dalam mencegah

warga masyarakat pada umumnya untuk tidak melakukan kejahatan. Efektifitas

pidana penjara dilihat dari aspek perbaikan si pelaku, maka ukuran efektifitas

terletak pada aspek pencegahan khusus dari pidana. Menurut pendapat yang

dikemukakan oleh Atmasasmita (1984, hlm. 84) yakni:

Pembinaan terhadap warga binaan bukanlah proses yang mudah, karena seseorang menjadi warga binaan tidak hanya disebabkan faktor-faktor penyebab kejahatan yang datang dari luar yang bersifat material, tetapi faktor mental spiritual yang sudah rusak akibat kesalahan dan kegagalan sosialisasi yang membentuk pribadinya. Dalam kata lain Lembaga Pemasyarakatan dituntut untuk dapat mengembalikan seorang warga binaan ke masyarakat dalam keadaan siap bermasyarakat.

Dalam wawancara pada tanggal 8 Maret 2014, telah dilakukan studi

pendahuluan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Sukamiskin Bandung,

ada yang mengatakan bahwa pada dasarnya setiap warga binaan yang masuk

kejurang lembah hitam ini banyak dilatar belakngi oleh berbagai faktor, terutama

moralitasnya yang sangat lemah, karena kurangnya keimanan yang tertanam

didalam dirinya, sehingga dorongan untuk melakukan tindakan yang melanggar

aturan atau hukum dilakukannya. Di tempat ini lah mereka diberikan pengarahan

dan pembinaan dengan menjalani masa hukumannya sesuai dengan putusan

hukum yang berlaku di negara Indonesia. Dengan sistem pemasyarakatan mereka

diberikan pengarahan, supaya mengikuti kegiatan yang ada di dalam Lapas.

Pengarahan tersebut diberikan kepada seluruh warga binaan, terutama warga

binaan berupa siraman rohani dan kegiatan keagamaan lainnya. Selain itu juga

mereka di beri keahlian, keterampilan khusus, dan lebih diarahkan untuk bekal

keterampilan pelatihan berbagai pekerjaan yang bekerja sama dengan pihak-pihak

(13)

7

Syofiyatul Lusiana, 2015

Lembaga Pemasyarakatan mengemban tugas yang cukup berat:

1. Mengembalikan warga binaan ke masyarakat dengan dibekali kesiapan hidup

di masyarakat, yang tentunya banyak faktor yang harus diperoleh di Lembaga

Pemasyarakatan diantaranya faktor keterampilan atau keahlian yang dapat

dipergunakan untuk berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya di dalam

masyarakat, dan

2. Menyembuhkan mental atau kejiwaan yang sudah parah, baik karena terbakar

oleh proses penegakan hukum maupun oleh proses sosialisasi lain

dilingkungan sebelumnya.

Seiring dengan arus transformasi nilai moral yang tidak dapat ditolak oleh

masyarakat maupun akibat pengaruh lingkungan lembaga pemasyarakatan yang

kebanyakan memiliki moral tidak baik. Sehingga perlu diadakannya peranan

Lembaga Pemasyarakatan dalam membina para warga binaan agar memiliki

kepribadian yang baik, memiliki kecerdasan moral yang baik, dan dapat diterima

kembali oleh masyarakat setelah menjalankan proses masa hukuman dan

pembinaan kesadaran moral di dalam Lembaga Pemasyarakatan.

Berangkat dari latar belakang sebagaimana diuraikan diatas, maka peneliti

mengangkat judul penelitian “PERANAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN

DALAM PEMBINAAN KESADARAN MORAL WARGA BINAAN DI

LAPAS WANITA KELAS II A BANDUNG (Studi Deskriftif Tentang

Perilaku Moral Perempuan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A

Bandung)”.

B. Identifikasi Masalah Penelitian

Agar penelitian ini mencapai sasaran sesuai dengan tujuan yang diharapkan,

maka penulis merasa perlu untuk mengidentifikasi apa yang menjadi fokus

permasalahan secara umum. Masalah yang menjadi inti pembahasan dalam

penelitian ini diidentifikasikan sebagai berikut:

1. Lembaga pemasyarakatan dianggap sebagai tempat pembinaan bagi warga

(14)

8

Syofiyatul Lusiana, 2015

2. Lembaga pemsayarakatan adalah tempat tinggal bagi warga binaan

pemasyarakatan yang sedang menajalani proses masa hukuman dan sebagai

tempat pembinaan kesadaran moral.

3. Peran lembaga pemasyarakatan dalam membina warga binaan menyangkut

nilai moral warga binaan, membantu memberikan terapi untuk diterima

kembali di masyarakat.

4. Proses pembinaan berfariasi tergantung pada warga binaan dan pembina,

materi, pendekatan, dan tempat binaan.

5. Hasil pembinaan kesadaran moral memerlukan waktu dan kematangan setiap

warga binaan.

6. Hasil binaan kesadaran moral dapat diidentifikasi dari perilaku warga binaan

khusus wanita Kelas II A Bandung melalui perilakunya yang muncul

sehari-hari.

C. Rumusan Masalah Penelitian

Menyadari masih begitu luasnya rumusan masalah tersebut, maka perlu

adanya perumusan masalah. Untuk memperjelas rumusan masalah umum, maka

dirumuskan beberapa rumusan maslah khusus, yaitu:

1. Bagaimana program pembinaan kesadaran moral para warga binaan di

Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Bandung?

2. Bagaimana proses pembinaan kesadaran moral warga binaan di Lembaga

Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Bandung?

3. Bagaimana hasil dari proses pembinaan kesadaran moral di Lembaga

Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Bandung?

4. Faktor-faktor determinan apa saja dalam proses pembinaan kesadaran moral

di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Bandung?

D. Pembatasan Masalah

Masalah penelitian ini agar lebih terfokus, maka penulis membatasi

(15)

9

Syofiyatul Lusiana, 2015

1. Penelitian ini hanya dibatasi kepada petugas Lembaga Pemasyarakatan

Wanita Kelas II A Bandung dan warga binaan pemasyrakatan Wanita Kelas II

A Bandung.

2. Peniliti hanya meneliti kesadaran moral wanita sebagai warga binaan

pemasyarakatan supaya dapat kembali dan diterima oleh lingkungan

masayarakatnya.

3. Peneliti hanya melihat tingkat keberhasilan dari proses pembinaan kesadaran

moral para warga binaan.

4. Peneliti hanya melihat, faktor determinan dari pembinaan kesadaran moral

wanita di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Bandung.

E. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Tujuan umum dilakukannya penelitian ini adalah mengetahui Pembinaan

kesadaran moral warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A

Bandung.

2. Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui program pembinaan kesadaran moral di Lembaga

Pemasyarakata Wanita Kelas II A Bandung.

2. Untuk mengetahui proses pembinaan kesadaran moral para warga binaan di

Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Bandung.

3. Untuk mengetahui hasil proses pembinaan kesadaran moral para warga

binaan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Bandung.

4. Untuk mengetahui faktor-faktor determinan dari proses pembinaan kesadaran

moral para warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A

Bandung.

F. Manfaat Penelitian

Dalam pelaksanaan penelitian ini, penulis berharap agar setelah penelitian ini

(16)

10

Syofiyatul Lusiana, 2015

1. Manfaat dari Segi Teori

Secara teoritis, hasil penelitian ini dalam pengembangan keilmuan PKn,

khususnya penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman tentang

wawasan keilmuan bagi peneliti dan juga dapat memberikan sumbangan

konsep-konsep baru bagi ilmu pengetahuan terutama bagi pengembangan pembinaan

moral di Lembaga Pemasyarakatan dalam merehabilitasi para warga binaan.

2. Manfaat dari Segi Kebijakan

Secara kebijakan, hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi atau

masukan kepada pemerintah, khususnya kepada kantor wilayah pusat Hukum dan

HAM untuk lebih meningkatkan pembinaan kesadaran moral dan

peraturan-peraturan yang lebih baik lagi, supaya para warga binaan kelak akan dapat

diterima kembali di lingkungan masyarakat, dan menjadi warga negara yang baik.

3. Manfaat dari Segi Praktis

a. Bagi warga binaan Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Bandung,

hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan motivasi bagi warga

binaan, untuk mengikuti seluruh program pembinaan dan pembimbingan

yang menyangkut aspek moral dan kemandirian yang dapat memberikan

bekal hidup bagi warga binaan setelah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan.

b. Bagi para instruktur yang memberikan materi pembinaan kesadaran moral,

diharapkan dapat menyampaikan materinya yang mengarahkan para warga

binaan kearah yang lebih baik lagi, dan terus mengingatkan keimanan dan

ketaqwaannya supaya tidak terjerembab lagi ke dalam jurang hitam, yaitu

untuk tidak melakukan kembali kesalahan atau tindak kejahatan kembali di

masa yang akan datang, terutama menjadikan warga binaan menjadi manusia

yang seutuhnya kembali dan lebih dekat lagi kepada sang maha pencipta-Nya

yaitu Tuhan Yang Maha Esa.

c. Bagi petugas Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Bandung,

diharapkan untuk membimbing para warga binaan dengan baik dan benar,

supaya para warga binaan dapat dikuatkan lagi mental, akal, dan pikirannya,

(17)

11

Syofiyatul Lusiana, 2015

masyarakat, serta dapat menjadi warga negara yang baik dan menaati

peraturan hukum yang berlaku di Indonesia.

d. Bagi Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Bandung, diharapkan

menjadi masukan bagi pihak terkait untuk mengkaji dan melakukan

perbaikan pembinaan moral terhadap warga binaan.

4. Manfaat dari Segi Isu/ Aksi Sosial

Secara Isu/ aksi sosial, hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi

dalam meningkatkan pembinaan kesadaran moral di Lembaga Pemasyarakatan

yang harus lebih ditingkatkan, dengan melakukan pembinaan kesadaran moral

yang tidak hanya itu-itu saja, harus lebih berfariatif.

G. Struktur Organisasi Skripsi

Adapun untuk memudahkan dalam penulisan skripsi dapat berjalan dengan

sistematis. Maka peneliti akan membuat sistematika penulisan/ struktur

organisasi. Struktur organisasi akan disusun sebagai berikut:

BAB I : Pendahuluan. Dalam bab ini diuraikan mengenai latar

belakang masalah, Identifikasi masalah, Tujuan penelitian,

Metode penelitian, Manfaat penelitian, struktur organisasi

skripsi.

BAB II : Kajian pustaka. Pada bab ini diuraikan dokumen-dokumen

atau data-data yang berkaitan dengan fokus penelitian serta

teori-teori yang mendukung penelitian peulis.

BAB III : Metode penelitian. Pada bab ini penulis menjelaskan

metodologi penelitian, teknik pengumpulan data, serta

tahapan penelitian yang digunakan dalam penelitian

mengenai peranan lembaga pemasyarakatan dalam

pembinaan kesadaran moral terhadap warga binaan

pemasyarakatan di lembaga pemasyarakatan wanita Kelas II

A Bandung.

BAB IV : Hasil penelitian dan Pembahasan. Dalam bab ini penulis

(18)

12

Syofiyatul Lusiana, 2015

pemasyarakatan dalam pembinaan kesadaran moral warga

binaan di lapas wanita Sukamiskin.

BAB V : Kesimpulan dan saran. Dalam bab ini penulis berusaha

mencoba memberikan kesimpulan dan saran sebagai penutup

dari hasil penelitian dan permasalahan yang telah

(19)

Syofiyatul Lusiana, 2015

Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Kesadaran Moral Warga Binaan Di Lapas BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan temuan dan pembahasan hasil penelitian yang telah dipaparkan

dalam bab IV, maka pada bab V ini peneliti akan merumuskan beberapa simpulan

sebagai intisari dari hasil kajian penelitian ini. Selanjutnya, pada bagian akhir

peneliti mengajukan saran atau rekomendasi kepada pihak yang terkait. Simpulan

dari hasil kajian peneilitan adalah sebagai berikut:

A. Simpulan

1. Simpulan Umum

Peran Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Bandung dalam membina

warga binaan telah memberikan perubahan sikap yang sangat baik dan juga positif

terhadap kesadaran moral warga binaan. Hal ini dibuktikan dari program yang

sudah dirumuskan secara sistematis/ secara periodik. Program pembinaan

kepribadian meliputi, program pembinaan kerohanian/ keagamaan, pembinaan

kesadaran berbangsa dan bernegara, pembinaan kesadaran hukum, pembinaan

dalam meningkatkan kualitas ketaqwaan, sikap dan perilaku dan pembinaan

intelektual, dan program pembinaan kemandirian. Pelaksanaan program

pembinaan kesadaran moral sudah berjalan dengan baik dan respon para warga

binaan pun sangat antusias dan sungguh-sungguh dalam mengikuti program

pembinaan yang diberikan oleh pihal Lapas. Hasil dari program pembinaan yang

telah diberikan dan diterima oleh para warga binaan menunjukkan perilaku yang

lebih baik lagi dari perilaku sebelumnya. Dengan pengetahuan keimanan, sikap

dan perilaku sopan santun yang lebih kuat lagi, maka selanjutnya akan

diaplikasikan tidak hanya sebatas pada aspek pengetahuan dan pemahaman

kesadaran moralnya saja akan tetapi ditampilkan dalam bentuk kesadaran moral

yang tingkatannya lebih tinggi yaitu memiliki sikap dan perilaku sadar akan

moral. Dalam pelaksanaan program pembinaan terhadap warga binaan tidak

terlepas dari beberapa faktor determinan, faktor pendukung dalam perubahan

(20)

149

Syofiyatul Lusiana, 2015

binaan itu sendiri, kemudian faktor penghambat yaitu dari keadaan mood, atau

suasana hati warga binaan itu sendiri,faktor sesama warga binaan, faktor

lingkungan di dalam Lapas, dan fasilitas seperti sarana dan prasarana di dalam

Lapas yang masih kurang memadai dalam pelaksanaan proses pembinaan

kesadaran moral warga binaan.

2. Simpulan Khusus

a. Program pembinaan kesadaran moral yang diberikan di Lembaga

Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Bandung, meliputi pembinaan kesadaran

beragama/ kerohanian, pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara,

pembinaan kesadaran hukum, pembinaan kemandirian, pembinaan

kepribadian, pembinaan dalam meningkatkan kualitas ketaqwaan, sikap dan

perilaku dan pembinaan intelektual. Program yang dikembangkan dalam

bentuk Kejar Paket A, B, C, dan KF, kegiatan pramuka, kegiatan

keterampilan, kegiatan olahraga, dan kesenian. Dalam pembinaan kerohanian/

keagamaan diberikan pemahaman dan penanaman nilai dan norma yang

berlaku di masyarakat agar dapat menjadi pegangan hidup ketika keluar dari

Lembaga Pemasyarakatan sehingga dapat menerapkannya dalam kehidupan

sehari-hari.

b. Proses pelaksanaan pembinaan kesadaran moral yang diberikan oleh pihak

Lapas sudah berjalan dengan baik, pelaksanaan pembinaan biasanya

dilaksanakan setiap hari dalam jadwal yang bersifat rutinan dengan jadwal

yang telah ditentukan oleh pihak Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II

A Bandung. Waktu pelaksanaan dilaksanakan setiap hari pada pagi dan siang

hari.

c. Hasil dari proses pembinaan kesadaran moral berupa perubahan perilaku,

sikap dan kepribadian warga binaan akan dikembalikan lagi kepada warga

binaannya itu sendiri. Pihak lapas tidak dapat memberikan jaminan

pembinaan yang telah diberikan kepada para warga binaan akan dipergunakan

dalam kehidupannya di luar Lapas. Pihak Lapas hanya sudah berusaha sebaik

(21)

150

Syofiyatul Lusiana, 2015

binaan dengan harapan mereka dapat merubah para warga binaan ke arah

yang lebih baik lagi.

d. Faktor-faktor determinan dalam proses pembinaan kesadaran moral lebih

banyak berasal dari diri warga binaan itu sendiri yakni latar belakang warga

binaan yang berbeda-beda. Faktor pendukung untuk perubahan kesadaran

moral yaitu dari kemauan diri pribadi warga binaan itu sendiri, motivasi dari

sesama warga binaan, dan dorongan dari keluarga untuk adanya perubahan itu

lah yang diinginkan para warga binaan. Faktor penghambat untuk perubahan

kesadaran moral yaitu tergantung pada situasi hati atau mood dari warga

binaan itu sendiri, faktor lingkungan yang terkadang menghambat dalam

perbuhan kesadaran moral, sarana dan prasarana yang kurang memadai dalam

pelaksanaan pembinaan, kualitas dan kuantitas petugas pembina serta

anggaran yang kurang memadai. Berbagai hambatan itu telah diupayakan

jalan keluarnya dengan cara menjalin kerjasama dengan berbagai pihak dari

luar.

B. Saran

Dari hasil penelitian ini, sebagai saran atau rekomendasi dengan

mempertimbangkan hasil temuan maka beberapa hal yang dapat menjadi bahan

saran atau rekomendasi adalah sebagai berikut:

1. Bagi Lembaga Pemasayarakatan Wanita Kelas II A Bandung

a. Lapas Wanita Kelas II A Bandung sebagai tempat untuk membina para warga

binaan juga diharapkan mampu meningkatkan mutu serta kualitas pembinaan

terhadap para warga binaan agar bisa dijadikan bekal bagi para warga binaan

untuk menyongsong kehidupan yang baru setelah keluar dari Lapas.

b. Lapas Wanita Kelas II A Bandung hendaknya lebih memperhatikan sarana

dan prasarana yang telah dimiliki supaya proses pembinaan dapat berjalan

dengan lebih baik lagi.

c. Lapas Wanita Kelas II A Bandung hendaknya bisa menjalin kerjasama

dengan pihak-pihak lain supaya anggaran dana untuk terselenggaranya proses

(22)

151

Syofiyatul Lusiana, 2015

d. Lapas Wanita Kelas II A Bandung hendaknya mendatangkan pemateri atau

pembina yang memiliki kemampuan yang lebih berkualitas dan memiliki

metode yang lebih berpariatif, supaya tidak menimbulkan kejenuhan kepada

para warga binaan sebagai penerima materi.

2. Bagi Petugas Lembaga Pemasayarakatan Wanita Kelas II A Bandung

a. Petugas Lapas hendaknya terus meningkatkan strategi pembinaan yang

dilakukan agar dapat menciptakan pembinaan yang menarik dan

menyenangkan.

b. Petugas Lapas hendaknya lebih memahami arah dan keinginan para warga

binaan dalam proses pembinaan agar warga binaan mampu melaksanakan dan

menjalani proses pembinaan yang lebih aktif dan mandiri.

c. Petugas Lapas hendaknya selalu melaksanakan monitoring atau lebih

mengintensifkan lagi terhadap proses pembinaan kesadaran moral kepada

warga binaan, supaya dapat melihat dan mengukur seberapa jauh perubahan

yang telah di alami oleh para warga binaan.

d. Petugas Lapas hendaknya mempunyai kualitas pendidikan yang lebih baik,

supaya ketika memberikan materi pembinaan dapat tersampaikan dengan

baik, dan tepat sasaran sesuai dengan kemampuan pendidikan dan

pengetahuan mengenai hukum dan kesadaran moral yang tinggi.

3. Bagi Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A

Bandung

a. Warga binaan yang merupakan obyek sekaligus subyek pembinaan

diharapkan berusaha sekuat tenaga untuk mengubah perilaku mereka atas

dasar kemauan sendiri dan berusaha mengikuti pembinaan yang diberikan

dengan sebaik-baiknya. Bagaimanapun juga pribadi mereka sendirilah yang

dapat mengubah perilaku negatif yang telah dilakukannya. Lapas hanya

berfungsi sebagai sarana dalam proses perubahan pribadi warga binaan

(23)

152

Syofiyatul Lusiana, 2015

b. Dengan bekal pembinaan yang berkualitas, para warga binaan diharapkan

menjadi pribadi yang baik lagi dari sebelumnya, menjadi wanita yang

sholehah, jangan mengulangi perbuatan yang tidak baik lagi, jangan terbawa

oleh arus, harus lebih memiliki pendirian yang teguh, dan dapat diterima

kembali di masyarakat serta mampu bersaing secara sehat di dalam kehidupan

(24)

Syofiyatul Lusiana, 2015

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku:

Arikunto, Suharsimi. (2010). Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik.

Jakarta: Rineka Cipta.

Atmasasmita, Romli. (1983a). Strategi Pembinaan Pelanggaran Hukum Dalam

Konteks Penegakan Hukum Di Indonesia. Bandung: Alumni.

Atmasasmita, Romli. (1982b). Strategi Pembinaan Pelanggaran Hukum dalam

Konteks Penegakan Hukum di Indonesia. Bandung: Alumni.

Atmasasmita, Romli. (1975c). Dari Pemenjaraan ke Pembinaan Narapidana.

Bandung: Alumni.

Atmasasmita, Romli. (1984d). Dari PenjaraKePembinaanNarapidana. Bandung:

Alumni.

Bertens, K. (2007). Etika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Budiningsih, Asri Dr. C. (2008). Pembelajaran Moral (Berpijak Pada

Karakteristik dan Budayanya). Jakarta: Rineka Cipta.

Creswell, John W. (2010). Research Design: Pendekatan Kualitatif dan Mixed.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Danial, Endang dan Wasriah, Nanan. (2009). Metode Penulisan Karya Ilmiah.

Laboratorium PKn Universitas Pendidikan Indonesia.

Daradjat, Zakiah. (1997). Membina Nilai-Nilai Moral di Indonesia. Jakarta: Bulan

Bintang.

Djahiri, A. Kosasih. (1985). Strategi Pengajaran Afektif-Nilai Moral VCT dan

Games. Bandung: Jurusan PMPKN IKIP Bandung.

(25)

154

Syofiyatul Lusiana, 2015

Hamzah, Andi. (1985). Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia dari Retribusi

ke Reformasi. Jakarta: PT. Pradnya Paramita.

Kartono, Kartini. (1986). Patologi Sosial 3. Jakarta: CV. Rajawali.

Moleong, L.J. (2000). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Tarsito.

Nasution. (2003). Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito.

Nata, Abuddin. (2003). Akhlak Tasawuf. Jakarta: Rajawali Perss.

Nazir, Mohammad. (2003). Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Nurulaen, Yuyun. (2012). Lembaga Pemasyarakatan Masalah dan Solusi.

Bandung: Marja.

Poernomo, Bambang. (1986). Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem

Pemasyarakatan. Yogyakarta: Liberty.

Poerwadarminta. (1984). Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: PN Balai

Pustaka.

Poespoprojo. (1999). Filsafat Moral. Bandung: Pustaka Grafika.

Priyatno, Dwidja. (2006). Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia.

Bandung: Refika Aditama.

Salam, Burhanuddin. (2000). Etika Individual Pola Dasar Filsafat Moral. Jakarta:

Rineka.

Samosir, Djisman. (2012). Sekelumit Tentang Penologi Dan Pemasyarakatan.

Bandung: Nuansa Aulia.

Singarimbun, Masri dan Effendi, Sofian. (1989). Metode Penelitian Survai (Edisi

Revisi). Jakarta: LP3ES.

Soeroso, R. (2006). Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.

Somantri, Nu’man. (2001). Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung:

(26)

155

Syofiyatul Lusiana, 2015

Sudjana, Djuju. (1992). Pengantar Manajemen Pendidikan Luar Sekolah.

Bandung: Nusantara Perss.

Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif,

Kualitatif, dan R&D). Bandung: Alfabeta.

Suseno, Franz Magnis. (1993). Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat

Moral. Yogyakarta: Kanisius.

Syaodih, N dan Moh Surya. (1978). Pengantar Psikologi Publikasi Perumusan

Bimbingan dan Penyuluhan. Bandung: IKIP Bandung.

Ulwan, Abdulla Nashih. (1990). Pendidikan Anak Menurut Islam Pemeliharaan

Kesehatan Jiwa Anak. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Widjaya. (1984). Kesadaran Hukum Manusia dan Manusia Pancasila. Jakarta:

Era Swasta.

Wuryan, S. Dan Syaifullah. (2008). Ilmu Kewarganegaraan (Civics). Bandung:

Laboratorium Universitas Pendidikan Indonesia.

Dokumen dan Undang-Undang:

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 Tentang

Pemasyarakatan.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 27 tentang warga negara

dan penduduk dan Pasal 29 ayat (2) tentang kebebasan memeluk agama.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pebinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat

(27)

156

Syofiyatul Lusiana, 2015

Skripsi:

Gustianingrum, Pratiwi Wulan. (2013). Kajian Tingkat Kesadaran Hukum

Pedagang Kaki Lima Untuk Menjadi Warga Negara yang Baik (Studi

Deskriftif pada PKL di Kab.Sumedang). Skripsi UPI: Tidak diterbitkan.

Jayanti, Yuche. (2014). Studi Tentang Tingkat Penguasaan Kompetensi Guru PKn

dalam Meningkatkan Hail Belajar Siswa di SMPN 2 Jamblang. Skripsi UPI:

Tidak diterbitkan.

Melisa. (2011). Model Pembinaan Moral Narapidana Narkoba (Studi Kasus Di

Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Banceuy Kota Bandung). Skripsi UPI:

Tidak diterbitkan.

Melyawaty, Melly. (2012). Pembinaan Perilaku Narapidana Wanita Untuk

Meningkatkan Kesadaran Hukum (Studi Kasus di Lembaga

Pemasyarakatan Kelas II B Sukabumi). Skripsi UPI: Tidak diterbitkan.

Rismiyanti, Titin. (2007). Peran Lembaga Pemasyarakatan Anak Dalam

Membina Moral (Studi Kasus Pembinaan Moral Anak di Lembaga

Referensi

Dokumen terkait

Penulis bersyukur karena telah menyelesaikan laporan skripsi dengan judul: “ Pembinaan Moral dan Spiritual pada Warga Binaan Pemasyarakatan (Studi Kasus di Rumah

Kemudian As - Sunnah (Hadis) merupakan sumber kedua dalam Islam. Hadis merupakan penjelasan - penjelasan dari Nabi dalam merealisasikan kehidupan berdasar Al -

Puji syukur ke hadirat TUHAN Yang Maha Esa, yang telah memberikan anugrah dan penyertaan-Nya sehingga Landasan Program Perencanaan dan Perancangan Arsitektur

Pembinaan adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, profesional, kesehatan jasmani dan rohani narapidana

Secara umum dimensi hubungan positif dengan orang lain pada warga binaan menjelang masa pembebasan di Lapas Wanita Klas IIA Sukamiskin Bandung dalam kategori tinggi

Dalam hal ini masih terdapat permasalahan yang timbul terkait dengan pemberdayaan yang terjadi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Bandung, sumber daya manusia yang masih kurang,

Faktor Penghambat yang dihadapi Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA Bandung dalam Pelaksanaan Strategi Pemberdayaan Bagi Warga Binaan Pemasyarakatan WBP

Penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi- tingginya sekaligus permintaan maaf yang terdalam kepada yang terhormat, yaitu Bapak Regan Vaughan S.Ikom., M.AP