• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGEMBANGAN STRATEGI INTERNALISASI NILAI KEBERSAMAAN PADA PESERTA DIDIK SEKOLAH DASAR INKLUSIF.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENGEMBANGAN STRATEGI INTERNALISASI NILAI KEBERSAMAAN PADA PESERTA DIDIK SEKOLAH DASAR INKLUSIF."

Copied!
74
0
0

Teks penuh

(1)

PENGEMBANGAN STRATEGI INTERNALISASI

NILAI KEBERSAMAAN PADA PESERTA DIDIK SEKOLAH

DASAR INKLUSIF

(Studi Kasus di Sekolah Dasar Negeri Puteraco Indah Kota Bandung)

DISERTASI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Untuk Memperoleh Gelar Doktor Ilmu Pendidikan

dalam Bidang Pendidikan Umum

Oleh Hermanyah NIM : 0807961

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN UMUM

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

BANDUNG

(2)

==========================================================

PENGEMBANGAN STRATEGI INTERNALISASI NILAI KEBERSAMAAN PADA PESERTA DIDIK SEKOLAH DASAR INKLUSIF

(Studi Kasus di Sekolah Dasar Negeri Puteraco Indah kota Bandung)

Oleh Hermansyah Drs. IKIP Jakarta, 1987 M.Pd SPs UPI Bandung, 2005

Sebuah disertasi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Doktor Pendidikan (Dr.) pada Program Studi Pendidikan Umum SPs UPI Bandung

© Hermansyah 2014 Universitas Pendidikan Indonesia

Januari 2014

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

(3)
(4)

ABSTRAK

Disertasi ini merupakan hasil penelitian tentang pengembangan strategi internalisasi nilai kebersamaan pada peserta didik sekolah dasar inklusif : studi kasus di Sekolah dasar negeri Puteraco Indah kota Bandung.Penelitian ini melibatkan kepala sekolah, guru, dan peserta didik kelas tinggi di SDN Puteraco Indah sebagai subjek penelitian. Masalah utama dalam penelitian ini adalah pengembangan strategi internalisasi nilai kebersamaan pada peserta didik di SDN inklusif Puteraco Indah kota Bandung, yang dikaji melalui pertanyaan penelitan

“ bagaimana strategi sekolah, pelaksanaan strategi, dan rumusan pengembangan strategi

internalisasi nilai-nilai kebersamaan yang sesuai dengan kebutuhan SDN Inklusif Puteraco

Indah”. Teori yang mendasari penelitian ini adalah teori-teori internalisasi nilai dalam prespektif proses pendidikan, perspektif psikologi, perspektif pendidikan afektif Krathwohl dan pendidikan karakter Thomas Lickona. Teori yang medasari nilai kebersamaan dalam seting pendidikan inklusif mengacu pada teori pendidikan inklusif dan komitmen pembangunan sekolah inklusif yang tertuang dalam L Giorcelli Building Inclusive Schools

Conference, Agustus 2002. Pengumpulan data berkenaan dengan strategi internalisasi

nilai-nilai kebersamaan pada peserta didik dan pelaksanaannya di SDN Puteraco Indah kota Bandung dilakukan melalui observasi, wawancara, dan studi dokumentasi. Proses analisis data hasil penelitian ini dilakukan dengan pendekakatan kualitatif model Mc Millan dan

Schumacher. Analisis SWOT model Pierce digunakan untuk menghasilkan rumusan

pengembangan strategi internalisai nili-nilai kebersamaan pada peserta didik yang sesuai dengan kebutuhan sekolah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, (1) strategi internalisasi nilai-nilai kebersamaan yang dimiliki SDN Puteraco Indah merupakan penjabaran dari visi dan misi sekolah yang tertuang dalam dokumen RKJM (Rencana Kerja Jangka Menengah). Nilai kebersamaan terwadahi dalam salah satu makna visi sekolah yang menyatakan bahwa salah satu wujud dari kualitas kesalehan adalah tidak membedakan perlakuan kepada teman sebaya berdasarkan kondisi fisik, sosial,mental, kemampuan akademik, serta etnis dan agamanya, (2) Pelaksanaan strategi internalisasi nilai-nilai kebersamaan di SDN Puteraco Indah memiliki keunikan karakteristik sehubungan dengan banyaknya jumlah peserta didik ABK dibandingkan dengan peserta didik regular. Pelaksanaan tutor sebaya merupakan strategi pengelolaan pembelajaran, dan kegiatan ektrakurikuler dijadikan wadah internalisasi nilai-nilai kebersamaan, (3) Pengembangan internalisasi nilai-nilai kebersamaan peserta didik yang dilakukan melalui analisis SWOT menghasilkan rumusan pengembangan strtategi internalisasi nilai kebersamaan sebagai nilai inti (core value) untuk tingkatan satuan pendidikan dan pembelajaran yang mengacu pada rambu-rambu, (1) terintegrasi dalam program sekolah, (2) internalisasi diarahkan agar peserta didik regular memiliki kemauan dan kemampuan untuk menerima, berinteraksi dan menjadi pelindung bagi ABK (3) mengembangkan pembelajaran yang berbasis joyful learning dan cooperative learning dalam rangka membangun nilai kebersamaan, (4) Berbasis pada pola kolaborasi multidilipliner. Penulis menyampaikan rekomendasi kepada semua pihak terkait bahwa dalam rangka mewujudkan komitmen education for all, dan pendidikan berbasis keadilan sosial sebagai bagian dari pengamalan nilai-nilai Pancasila, hendaknya dikembangkan sistem pendidikan inklusif yang mengusung nilai-nilai kebersamaan.

(5)

ABSTRACT

This doctoral dissertation presents the results of study on developing a strategy for internalizing the value of togetherness among inclusive elementary school students: A case study in Puteraco Indah Public Elementary School the City of Bandung. The study involved the school principal, teachers, and students as research subjects. The main issue of the study is to develop a strategy of togetherness value internalization for Puteraco Indah Public Elementary School, by referring to research questions: “what is school strategy?; how is it applied, and how is the strategy of togetherness value internalization developed in accordance with the needs of Puteraco Indah Inclusive Elementary School?”. The study is based on internalization value theories in educational process, psychological, and affective education perspectives developed by Krathwohl and character education perspective by Thomas Lickona. Theory of togetherness value in inclusive education setting refers to inclusive education theory and commitment to inclusive school development presented in L. Giorcelli Building Inclusive Schools Conference, August 2002. Observation, interview, and documentary study were adopted to collect data on the strategy for internalizing togetherness value in school children and its application in Puteraco Indah Elementary School. Data were then analyzed by an analytical model of McMillan and Schumacher. A Pierce model SWOT analysis was carried out to formulate the togetherness values strategy in line with the school needs. The findings show that (1) togetherness values strategy applied in Puteraco Indah Elementary School is elaborated from school vision and mission as documented in school’s Mid-Term Work Plan. Togetherness values are described in a statement of the school vision stipulating that one of virtue qualities is not to discriminate school mates or peers against physical condition, social status, mental state, academic ability, ethnicity, and religion; (2) the implementation of togetherness value strategy in Puerco Indah Elementary School has a particular characteristic as special needs students outnumber normal students. Peer tutoring is a learning management strategy, and curricular activities constitute a medium to internalize togetherness values; (3) student togetherness values strategy developed on SWOT analysis has resulted in a multidisciplinary collaboration. All related parties are recommended that in order to realize the commitment to education for all and social justice-based education as a part of Pancasila principles execution, inclusive education system be developed to enhance togetherness values.

(6)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah memberikan dan melimpahkan rahmat, karunia, dan hidayah-Nya sehingga penelitian dan penulisan disertasi ini dapat diselesaikan.

Disertasi ini berjudul pengembangan strategi internalisasi nilai kebersamaan pada peserta didik Sekolah Dasar Inklusif (studi kasus di SDN Puteraco Indah Kota Bandung). Judul ini dipilih sebagai upaya sumbangsih pemikiran dan atas kepedulian penulis dalam masalah kehidupan sosial yang berkembang di masyarakat dan dunia pendidikan. Pancasila sebagai landasan filosofis pengembangan sistem pendidikan di Indonesia mengamanatkan agar sistem pendidikan berlandaskan pada nilai-nilai keuhanan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dalam kondisi kemajemukan , dan memberikan layanan kepada setiap peserta didik sesuai kebutuhan masing-masing yang merupakan cerminan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pendidikan inklusif yang dalam implementasinya diwujudkan melalui pelaksanaan kebijakan sekolah inklusif secara filosofis merupakan bagian dari perwujudan keadilan sosial dalam bidang pendidikan.

Ide penulisan disertasi ini dilatarbelakangi keprihatinan penulis dengan kerap masih terjadinya resistensi terhadap keberadaan ABK (Anak Berkebutuhan Khusus) di sekolah inklusif. Pendidikan inklusif sebenarnya telah memiliki pijakan yuridis yang kuat, baik secara nasional maupun internalisonal.Masih terjadinya resistensi terhadap keberadaan ABK di sekolah inklusif salah satunya disebabkan oleh masih rendahnya pemahaman masyarakat terhadap ABK. Akibat rendahnya pemahaman tersebut, kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap keberadaan ABK juga rendah. Oleh karena itu perlu dicarikan upaya agar mayarakat dapat menerima keberadaan ABK dan berinteraksi secara wajar.

(7)

diharapkan dapat memberikan kontribusi yang berarti bagi terciptanya suasana kebersamaan dalam interaksi sosial diantara peserta didik satu sama lain. Sekolah memiliki peran strategis dalam upaya menciptakan suasana kebersamaan tersebut. Penulisan disertasi ini berangkat dari penelitian yang bertujuan untuk mengembangkan strategi internalisasi nilai-nilai kebersamaan yang sesuai dengan kebutuhan sekolah inklusif. Secara umum, produk penelitian ini berupa rumusan konsep pengembangan strategi sekolah dalam menginternalisasikan nilai-nilai kebersamaan dan stratgi pembelajaran internalisasi nilai-nilai kebersamaan melalui kegiatan kurikuler dan ekstra kurikuler.

Semoga disertasi ini bermanfat bagi pengembangan pendidikan inklusif dan dapat menginspirasi lahirnya penelitian-penelitian lain, khususnya dalam setting pendidikan inklusif.

Bandung, Januari 2014

Penulis

(8)

UCAPAN TERIMA KASIH

Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah sangat berjasa dalam penulisan disertasi ini, karena penulis menyadari sepenuhnya bahwa disertasi ini dapat diselesaikan karena mendapatkan dukungan dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu izinkan penulis menyampaikan ucapan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat bapak Prof. Dr. H. Sofyan Sauri. M.Pd, sebagai promotor dalam penulisan disertasi ini yang telah banyak membantu dengan penuh kesabaran, dengan sikap keterbukaan telah memberikan bimbingan dan arahan penuh keikhlasan kepada penulis, sehingga proses penelitian dan penulisan disertasi ini dapat diselesaikan dengan lancar, yang terhormat bapak Prof. Dr. H. Nursid Sumaatmadja, selaku ko promotor yang telah bekerja keras untuk mendorong dan membimbing dalam penyelesaian disertasi ini, yang terhormat bapak Dr. H. Zaenal Alimin. M.Ed sebagai anggota, yang telah banyak membantu dalam proses penyelesaian disertasi ini.

Dalam kesempatan ini juga penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Bapak Prof. Dr. H. Didi Suryadi, M.Ed., selaku Direktur Program Pascasarjana UPI, yang telah membantu dalam memperlancar penulisan diertasi ini melalui kebijakan yang diberikan.

2. Prof. Dr. H. Dasim Budimansyah M.Si, selaku ketua prodi Pendidikan Umum dan penguji pada sidang tahap 1 yang telah memberikan bantuan teknis, masukan akademik dan memperlancar penulisan disertasi ini melalui kebijakan yang diberikan

3. Prof. Dr. Mulyono Abdurrahman, selaku penguji pada sidang tahap 1 yang telah mengkritisi dan memberikan masukan akademik untuk perbaikan disertasi ini. 4. Ibu Eti Suzane Ernawati, S.Pd, selaku Kepala Sekolah Dasar Negeri Putraco

(9)

5. Bapak/ Ibu Guru Sekolah Dasar Negeri Putraco Indah, yang telah banyak membantu dan memberikan masukan dan informasi dalam pengambilan data. 6. Dosen SPs UPI,khususnya prodi Pendidikan Umum yang telah mendidik dan

membimbing sehingga penulis dapat menyelesaikan studi ini.

7. Para Pegawai Administrasi SPs UPI yang senantiasa membantu segala keperluan administratif demi kelancara penulis dalam menyelesaikan studi ini

8. Istriku tercinta,Siti Saidah S.Pd yang selalu setia mendampingi, menyemangati, mendukung penulis. Berkat doa, kesabarannya, dan perhatiannya, sehingga peroses penulisan disertasi ini dapat terselesaikan.

9. Anaku tersayang, Muhammad Subkhi Fadillah yang senantiasa bersabar, dan selalu mendoa’kan demi kelancaran dalam proses penulisan disertasi ini.

10.Keluarga besar dan semua pihak yang telah banyak membantu dalam kelancaran penyelesaian penulisan disertasi ini.

Atas segala kebaikan dari semua pihak, semoga Allah SWT, melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya serta membalas kebaikan semua pihak dengan balasan yang berlipat ganda, amin.

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN ……… i

LEMBAR PERNYATAAN ………... ii

ABASTRAK ………... iii

ABSTRACT ………... iv

KATA PENGANTAR ……… v

UCAPAN TERIMAKASIH ………... vii

DAFTAR ISI ……….. ix

DAFTAR TABEL ……….. xi

DAFTAR GAMBAR ……….. xiii

DAFTAR LAMPIRAN ……….. xiv

BAB 1 PENDAHULUAN ……… 1

A Latar Belakang Penelitian ……….. 1

B Identifikasi dan Rumusan Masalah ……… 12

C Tujuan Penelitian ………... 13

D Manfaat Penelitian ………. 15

E Pengorganisasian Disertasi ………... 16

BAB II KAJIAN KONSEP STRATEGI INTERNALISASI NILAI KEBERSAMAAN ……… 17

A Strategi Internalisasi Nilai Kebersamaan ………….. 17

B Konstruk Strategi Internalisasi Nilai-Nilai Kebersamaan dalam Setting Sekolah Inklusif ... 61

C Konsep dan Implementasi Pendidikan Inklusif ... 70

D Anak Berkebutuhan Khusus Sebagai Bagian Integral dalam Penyelenggaraan Sekolah Inklusif ... 82

E Pendidikan Inklusif sebagai Perwujudan Keadilan Sosial di Bidang Pendidikan ... 90

F Kaitan Antara Pendidikan Berbasis Keadilan Sosial dengan Pendidikan Inklusif ... 94

G Spektrum Penelitian dalam Kaitannya dengan Pendidikan umum ... 95 H Kajian Penelitian dalam Setting Pendidikan Inklusif

Kaitannya dengan Internalisasi Nilai Kebersamaan ...

(11)

Halaman

BAB III METODE PENELITIAN ………. 108

A Lokasi dan Subjek Penelitian ………. 108

B Desain Penelitian ………... 110

C Metode Penelitian ………. 114

D Instrumen Penelitian ………. 115

E Teknik Pengumpulan Data ………. 116

F Analisis Data ………. 122

G Validasi Data .……….. 130

H Definisi Konseptual ………... 130

BAB IV DESKRIPSI DATA DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN ……….. 134

A Gambaran Umum Lokasi Penelitian ……….... 135

B Deskripsi Data Penelitian ………... 140

C Rumusan Konsep Pengembangan Strategi Internalisasi Nilai-Nilai Kebersamaan pada Peserta Didik yang Sesuai dengan Kebutuhan Sekolah Dasar Inklusif Puteraco Indah Kota Bandung ………. 206

D Pembahasan Hasil Penelitian ……… 246

E Temuan Penelitian ………. 399

F Keterbatasan Penelitian ……….. 316

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ……… 318

A Kesimpulan ………... 318

B Rekomendasi ……… 322

DAFTAR PUSTAKA ………. 324

(12)

DAFTAR TABEL

Tebel Judul Tabel Halaman

2.1 Lima Kategori Afektif Menurut Krathwohl ………… 37 2.2 Jabaran Pendidikan Nilai untuk Perdamaian,

Hak-hak Asasi Manusia, Demokrasi, dan Pembangunan

Berkelanjutan ………... 75

3.1 Kisi-Kisi Alat Pengumpul Data Penelitian ... 121 3.2 Analisis Pembobotan Pentingnya Peluang dan

Ancaman ………. 125

3.3 Analisis Rating Peluang dan Ancaman ……….. 125 3.4 Analisis Penilaian Lingkungan Ekternal ……… 126 3.5 Analisis Pembobotan Pentingnya Kekuatan dan

Kelemahan ………... 126

3.6 Analisis Rating Kekuatan dan Kelemahan ………….. 127 3.7 Analisis Penilaian Lingkungan Internal ……….. 127 3.8 Perumusan Strategi Operasional ………. 129 3.9 Perumusan Tujuan Operasional ……….. 129 4.1 Keadaan Tenaga Pendidik dan Kependidikan di SDN

Puteraco Indah tahun 2010/2011 ... 135 4.2 Keadaan Peserta Didik di SDN Puteraco Indah Kota

Bandung ……….. 136

4.3 Perkembangan Jumlah peserta didik ABK untuk

Setiap Kelas ………. 137

4.4 Penyajian Data Strategi Internalisasi Nilai-Nilai

Kebersamaan Komponen Perencanaan Program ... 142 4.5 Penyajian Data Strategi Internalisasi Nilai-Nilai

Kebersamaan Komponen Ragam/Jenis Program

Kegiatan ………... 153

4.6 Penyajian Data tentang Pelaksanaan Strategi Internalisasi Nilai-Nilai Kebersamaan Komponen

Sumber Daya Manusia 164

4.7 Penyajian Data tentang Pelaksanaan Strategi Internalisasi Nilai-Nilai Kebersamaan Komponen

Peserta Didik ………. 171

4.8 Penyajian Data tentang Pelaksanaan Strategi Internalisasi Nilai-Nilai Kebersamaan Komponen

(13)

Tebel Judul Tabel Halaman

4.9 Penyajian Data tentang Pelaksanaan Strategi Internalisai Nilai-Nilai Kebersamaan Komponen

Manajemen Program ………. 184

4.10 Penyajian Data tentang Pelaksanaan Strategi Internalisasi Nilai-Nilai Kebersamaan Komponen

Metode/Pendekatan ……… 190

4.11 Pengajian Data tentang Internalisasi Nilai-Nilai

Kebersamaan Komponen Setting Pelaksanaan ………. 193 4.12 Penyajian Data tentang Pelaksanaan Strategi

Internalisasi Nilai-Nilai Kebersamaan Komponen

Sarana dan Prasarana ……….. 198 4.13 Penyajian Data tentang Pelaksanaan Strategi

Internalisasi Nilai-Nilai Kebersamaan Komponen

Pembiayaan ………... 202

4.14 Penyajian Data tentang Pelaksanaan Strategi Internalisasi Nilai-Nilai Kebersamaan Komponen

Sistem Evaluasi ……... 204 4.15 Analisis Penilaian Lingkungan Ekternal Sekolah …... 206 4.16 Analisis Penilaian Lingkungan Internal Sekolah …… 208 4.17 Perumusan Strategi Operasional Sekolah ……… 213 4.18 Perumusan Tujuan Operasional Sekolah ………. 221 4.19 Analisis Penilaian Lingkungan Ekternal Pembelajaran 226 4.20 Analisis Penilaian Lingkungan Internal Pembelajaran . 228 4.21 Perumusan Strategi Operasional Pembelajaran ……... 232 4.22 Perumusan Tujuan Operasional Pembelajaran ……… 237 4.23 Tema-tema Pembelajaran Nilai Kebersamaan ……… 308 4.24 Impelemntasi Pembelajaran Nilai Kebersamaan

(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Judul Gambar Halaman

2.1 Kategori Nilai Menurut Lickona ………. 25

2.2 Pembagian Nilai Moral ... 28

2.3 Taksanomi Afektif ………. 36

2.4 Irisan Aspek Kognitif, Afektif, dan Psikomotorik dalam Pembelajaran Sikap ……….. 39

2.5 Components of Good Character ………. 40

2.6 Kerangka Teoritis Penelitian ... 69

2.7 Posisi Spektrum Penelitian dalam Kerangka Dasar Pendidikan Umum ………... 102

3.1 Langkah-Langkah Penelitian ………... 114

3.2 Diagram Manajemen Strategik Suatu Sistem ... 124

3.3 Penentuan Strategi Umum ……….. 128

4.1 Strategi Internalisasi Nilai Kebersamaan Peserta Didik Di SDN Puteraco Indah Kota Bandung ... 163

4.2 Penentuan Strategi Sekolah Dasar Puteraco Indah Kota Bandung ……….. 212

4.3 Penentuan Strategi Pembelajaran di Sekolah Dasar Puteraco Indah Kota Bandung ………. 230

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Judul Lampiran Halaman

A Instrumen Penelitian Untuk Strategi Sekolah ………. 336 B Instrumen Penelitian Untuk Strategi Pembelajaran …. 343 C Data dan Hasil Analisis SWOT Sekolah ………. 345 D Data dan Hasil Analisis SWOT Pembelajaran ……… 378 E Contoh Strategi Pembelajaran Hak dan Kewajiban

Anak ………... 395

F Contoh Strategi Pembelajaran K e r j a s a m a ………. 405 G Catatan Lapangan di Sekolah Dasar Puteraco Indah

Kota Bandung ……….. 411

H Photo Kegiatan Hasil Observasi di Sekolah Dasar

Negeri Putraco Indah ………... 435 I Permohonan Izin Melakukan Studi Lapangan/

Observasi ………. 442

J Perpanjangan Tugas Pembimbing Penulisan Disertasi sekolah Pasca Sarjana Universitas Pendidikan

Indonesia Angkatan 2008 Tahun 2011 ……….. 444 K Perpanjangan Tugas Pembimbing Penulisan Disertasi

sekolah Pasca Sarjana Universitas Pendidikan

Indonesia Angkatan 2008 Tahun 2012 ………. 446 L Perpanjangan Tugas Pembimbing Penulisan Disertasi

sekolah Pasca Sarjana Universitas Pendidikan

Indonesia Angkatan 2008 Tahun 2013 ………... 448 M Surat Keterangan Sudah Melakukan Studi

Lapangan/Observasi ……….. 450

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

A Latar Belakang Penelitian

Secara umum pendidikan dimaknai sebagai proses kegiatan mengubah perilaku individu menuju kedewasaan dan kematangan (Sumaatmadja, 2002: 40). Kematangan atau kedewasaan dimaksud dalam konteks Pendidikan Nasional di Indonesia diarahkan pada terbentuknya sosok manusia yang utuh (Insan Kamil). Upaya untuk mewujudkan insan kamil tersebut bersifat universal dan menjadi hak asasi setiap individu, termasuk bagi anak berkebutuhan khusus, meskipun dalam bentuk dan derajat yang berbeda-beda. Dalam konteks ini, hakikat pendidikan pada dasarnya memberikan kesempatan yang sama bagi setiap individu untuk mengembangkan segenap potensi dirinya, tanpa melihat sisi perbedaan fisik, mental, etnis, agama, sosial, dan ekonomi.

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (pasal 3 UU No. 20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional).

(17)

menjamin kepastian memperoleh layanan pendidikan” (Renstra Kementerian Pendidikan Nasional 2010- 2014). Ketercapaian tujuan, visi, dan misi pendidikan nasional salah satunya ditentukan oleh komitmen pemerintah dalam memberikan hak-hak yang sama kepada setiap anak usia sekolah untuk mendapatkan layanan pendidikan yang bermutu.

Ditinjau dari sisi hak-hak anak, setiap individu warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu, termasuk di dalamnya warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan /atau sosial, berhak memperoleh pendidikian khusus (Pasal. 5 ayat 1 dan 2 UU No. 20 tahun 2003). Hal ini sejalan dengan pandangan filosofis pendidikan berbasis keadilan sosial. Secara konseptual pendidikan yang berkeadilan sosial dapat dirumuskan sebagai pendidikan yang menganut prinsip keseimbangan dan pemerataan hak dan kewajiban pendidikan berdasarkan pada kemajemukan, keyakinan beragama, gender, ekonomi, abilitas pribadi, dan akses informasi dari semua warga negara. Realita sosial yang pruralis dan heterogen dapat benar-benar dijadikan sebagai kekuatan akar rumput (grass root) dalam membangun model pendidikan yang berkeadilan sosial, kepentingan masyarakat benar-benar terayomi (Mulyana, dalam http://pmibandung.woedpress.com /2007/07).

(18)

Muslim dalam, Imam Nawawi, penterjemah Sunarto, Achmad, 1999:7). Maha suci Allah yang Maha Adil. Esensi ayat Al-Qur’an dan Hadist tersebut mengusung nilai-nilai inklusif dan kebersamaan.

Kenyataan dalam kehidupan menunjukkan bahwa implementasi nilai-nilai kebersamaan masih dihadapkan pada berbagai permasalahan. Kasus-kasus ketidakbersamaan dalam kehidupan di masyarakat terjadi dari persoalan umum sampai pada tataran praktek pendidikan. Fenomena tawuran menjadi masalah sosial yang mewarnai perilaku sebagian masyarakat, bahkan terjadi pada siswa sekolah dasar, seperti di Jakarta Timur (Tempo, 16 Mei 2010). Persoalan anak putus sekolah juga menggambarkan adanya masalah dalam hal implementasi nilai-nilai kebersamaan. Data Komnas Perlindungan Anak menyatakan bahwa kasus putus sekolah yang paling menonjol terjadi di tingkat SMP, yaitu 48 %, di tingkat SD tercatat 23 %, di tingkat SMA 29 %. Kalau digabungkan kelompok usia remaja, yaitu anak SMP dan SMA, jumlahnya mencapai 77%. (www.ayomerdeka, 22 Maret 2008).

Akses memperoleh layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus, yang dalam tulisan ini selanjutnya akan digunakan istilah ABK, menunjukkan persoalan serius. Masalah aksesibilitas ini terbentur dengan persoalan pemahaman, persepsi dan perlakuan terhadap layanan pendidikan ABK, misalnya kasus kesulitan mencari sekolah inklusif bagi ABK yang dialami oleh seorang ibu di daerah Tangerang Selatan (Republika, Rabu 24 Februari 2010), sulitnya akses pendidikan bagi masyarakat miskin (Komisi Hukum Nasional, Selasa, 04 September 2007), sulitnya aksesibilitas pendidikan bagi masyarakat terpencil (Suryadi:2006:32), diskriminasi pendidikan yang dialami anak penyandang HIV karena terinfeksi dari orang tuanya (Intisari, Juni 2010). Fenomena buta huruf karena faktor kemiskinan masih kerap dijumpai yang dapat mengakibatkan negeri ini terpuruk karena kualitas sumber daya manusianya tidak mampu bersaing dengan negara -negara yang lain.

(19)

mencerminkan persoalan keadilan dan ketidakbersamaan dalam praktik pendidikan (Shihab, Talkshow 13 November 2008). Masalah ketidakbersamaan di bidang pendidikan antara masyarakat kaya dan miskin juga terungkap dalam acara Talkshow III di Batu TV Malang yang menyatakan bahwa adanya persoalan kesenjangan antara masyarakat kaya dengan masyarakat miskin dalam memperoleh layanan pendidikan.

Persoalan marginalitas dalam pendidikan masih merupakan permasalahan yang mewarnai nilai-nilai kebersamaan, misalnya kasus sebanyak 174 anak usia sekolah dasar di daerah Jonggol, tidak memperoleh kesempatan memperoleh layanan pendidikan ( Republika, 17 Februari 2010).

Dalam konteks layanan pendidikan ABK, kenyataannya masih dihadapkan pada persoalan aksesibilitas dan mutu layanan pendidikan. Data dari Direktorat Pendidikan Luar Biasa Kementerian Pendidikan Nasional menyebutkan ABK di Indonesia mencapai sebanyak 324.000 orang. Dari 324.000 ABK, baru 75.000 anak yang sudah tersentuh pendidikan, sedangkan sisanya sebanyak 249.000 belum tersentuh pendidikan. (www.google.com). Secara kuantitatif hingga saat ini baru sekitar 20 persen dari 346.800 anak lebih yang bisa mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah khusus. (Kompas.com. 14 Desember 2009). ABK usia dini yang mengikuti pendidikan, baru terlayani sekitar 34% (jugaguru.com, 14 April 2007).

Dalam perspektif sosiologis, nilai-nilai kebersamaan salah satunya dapat dikembangkan dalam setting sekolah inklusif, nyatanya masih dihadapkan pada persoalan penolakan sosial (Republika, Rabu 24 Februari 2010). ABK yang sudah masuk sekolahpun, masih banyak yang mengalami putus sekolah. Data di Provinsi Jawa Barat menunjukkan terdapat 12.041 anak usia wajib pendidikan dasar yang tidak bersekolah (Pikiran Rakyat, 13 November, 2008). Khusus untuk ABK, dari 62.320 ABK, hanya 16.750 ABK yang bisa bersekolah (Republika, 4 Mei 2010).

(20)

peserta didik memahami dan mau menerima keberadaan ABK untuk bersekolah di sekolah umum (Republika, 30 September 2009). Masalah persepsi ini tidak hanya ditunjukkan oleh orang tua pesera didik yang secara akademis awam tentang pendidikan, tetapi nyatanya dikalangan praktisi pendidikan juga, tidak jarang menunjukkan sikap dan persepsi yang kurang menguntungkan terhadap ABK. Dari hasil telaah kasus, ditemukan 3 alasan keengganan sekolah umum menerima ABK, yaitu: (1) guru-guru di sekolah umum belum memahami dan belum terbiasa mengajar ABK; (2) sekolah umum belum memiliki kurikulum, program pembelajaran dan metode khusus untuk belajar ABK; dan (3) adanya kekhawatiran dari sebagian orang tua pesrta didik reguler dengan kehadiran ABK di sekolah umum. Kondisi seperti ini memaksa orang tua ABK menyekolahkan anaknya di SLB yang jaraknya cukup jauh dari rumahnya. (Irawan, Agus, S. Laporan Konseling Keluarga, 2009:21). Aspek sosial ekonomi orang tua peserta didik juga merupakan faktor pemicu lainnya yang menyebabkan aksesibilitas ABK terhadap layanan pendidikan mengalami hambatan (Tim Pusat Layanan Informasi dan Konsultasi Anak Autis PPPPTK TK dan PLB, 2010).

(21)

Selama ini pemerintah (Kementerian Pendidikan Nasional) bersama-sama dengan masyarakat telah berusaha melaksanakan prinsip-prinsip pendidikan yang berbasis keadilan sosial melalui penyelenggaraan pendidikan dari TK sampai perguruan tinggi. Bagi anak-anak yang memiliki kelainan, pemerintah menyelenggarakan Pendidikan Khusus untuk semua jenjang, yaitu TKLB, SDLB, SMPLB, dan SMLB. Dalam perkembangannya pemerintah juga mengembangkan pendidikan inklusif. Secara operasional wujud pendidikan inklusif yaitu satuan pendidikan (Sekolah) yang mengakomodasi semua Anak Berkebutuhan Khusus. Secara normatif, sekolah Inklusif adalah sekolah yang terpilih melalui seleksi dan memiliki kesiapan, baik kepala sekolah, guru, orang tua, peserta didik, tenaga administrasi dan lingkungan sekolah/masyarakat).

Pengembangan sekolah inklusif bahkan telah mendapatkan dukungan dan pembenaran dari UNESCO.” ... sekolah harus mengakomodasi anak, terlepas dari kondisi fisik, intelektual, sosial, emosi, bahasa, dan kondisi lainnya (UNESCO: The Salamanca Statement and Framework for Action on Special Needs Education,

Para 1994:3). Kebijakan pendidikan disemua tingkat harus secara jelas

mencantumkan bahwa seorang anak yang menyandang kelainan seharusnya bersekolah di sekolah dekat tempat tinggalnya bersama-sama dengan anak-anak lainnya (UNESCO: Dakar Framework for Action, 2000).

Pendidikan inklusif menekankan perlunya anak-anak yang selama ini termarjinalkan untuk memperoleh pelayanan pendidikan dan berpartisipasi dalam pembelajarannya. Dalam konsep ini terkandung makna yang sangat mendasar tentang pendidikan inklusif yaitu bahwa pendidikan inklusif memberikan akses yang seluas-luasnya bagi semua anak tanpa membedakan kondisi fisik, mental, status sosial ekonomi, etnis, dan agama.

(22)

maupun cara pandang manusia yang menempatkan pada learning live together. Hal tersebut sebagaimana dikemukakan oleh Dresser dan Lorimer (1960:570), Henry (1952:11), tentang pendidikan umum yang esensinya berupaya menyajikan pendidikan yang berorientasi pada praktek pendidikan yang humanistik, peduli pada ide-ide dan manusia, pengembangan seluruh pribadi dalam hubungannya dengan masyarakat, memperhatikan siswa sebagai human being, dan pengembangan individu dalam skala yang lebih luas, emosional, dan moral, juga intelektual secara integral. Dengan demikian, pendidikan umum peduli sekali terhadap pembinaan pribadi manusia dalam konteks kebersamaan.

Dalam perspektif pendidikan sebagai wahana pembelajaran (learning organization), pendidikan inklusif akan mendorong terjadinya interaksi yang sehat

dan wajar antara anak berkebutuhan khusus dengan anak-anak reguler bahkan dengan warga sekolah yang berbasis pada nilai-nilai kebersamaan. Hal tersebut dapat dipahami dari pandangan filosofis tentang pendidikan inklusif, sebagaimana dikemukakan oleh Sunanto dkk. (2004:4), bahwa “kehadiran pendidikan inklusif, bukan hanya sekedar menerima anak berkebutuhan khusus di sekolah umum, namun lebih pada upaya membaurkan kehadiran anak berkebutuhan khusus dalam dimensi psikologis, akademis, sosial, dan kultur serta institusional”.

Dari pandangan filosofis pendidikan inklusif tersebut di atas jelaslah bahwa model pendidikan inklusif memberikan ruang yang seluas-luasnya bagi terjadinya internalisasi nilai-nilai kebersamaan antara anak berkebutuhan khusus dengan peserta didik lainnya. Nilai-nilai kebersamaan yang dapat dikembangkan dalam setting sekolah inklusif, akan memberikan jaminan terwujudnya interaksi sosial

yang sehat dan wajar antara anak berkebutuhan khusus dengan peserta didik lainnya. Berdasarkan pada asumsi tersebut, jelaslah bahwa implementasi pendidikan inklusif memberikan ruang yang seluas-luasnya bagi warga sekolah untuk mewujudkan nilai-nilai kebersamaan, antara anak berkebutuhan khusus dengan anak-anak reguler.

(23)

tetapi jauh lebih bermakna untuk menghasilkan sebuah pengembangan model internalisasi nilai-nilai kebersamaan secara melembaga, bukan hanya kebersamaan dalam konteks interaksi pembelajaran di dalam kelas.

Internalisasi nilai-nilai dalam prakteknya akan terkait erat dengan pemahaman, persepsi, dan sistem nilai yang menyertai aktivitas suatu lembaga atau institusi. Misalnya, upaya internalisasi nilai-nilai kebersamaan dalam setting sekolah inklusif akan terkait dengan sejauhmana warga sekolah inklusif seperti kepala sekolah, guru, peserta didik reguler dan orang tuanya memahami filosofis dan konsep pendidikan inklusif? Pemahaman ini akan memberikan pertimbangan sikap terhadap persepsi dan juga pertimbangan moral dalam memperlakukan kehadiran anak berkebutuhan khusus di sekolah inklusif.

Kenyataan menunjukkan, walaupun secara filosofis dan normatif pendidikan inklusif telah memperoleh pijakan yang kuat, tetapi dalam praktek penyelengaraannya masih dihadapkan kepada kendala-kendala, baik kendala yuridis, birokratis, maupun psikologis. Dari hasil studi pendahuluan dan diskusi ilmiah dalam forum pendidikan, mengemuka beberapa persoalan terkait dengan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Indonesia, sebagai berikut:

1. Pendidikan inklusif sering kali sangat kompleks dan kontroversi, antara lain karena: (a) kompetisi dan orientasi pasar; (b) sikap negatif terhadap anak-anak yang selama ini termarjinalkan; dan (c) kurang adanya informasi tentang bagaimana sekolah dan birokrasi agar lebih inklusif.

(24)

untuk Anak-anak Cacat); dan (c) setelah lebih dari lima tahun proyek pendidikan inklusif, hanya sebagian kecil sekolah umum yang menjadi sekolah inklusif, misalnya: 1) di Provinsi DIY, dari lima ribu sekolah, hanya 123 sekolah inklusif; 2) di Provinsi Jateng, dari 25 ribu sekolah, hanya ada 117 sekolah inklusi. Di Jawa Barat, jumlah sekolah inklusif masih minim, yaitu 186 unit. Jumlah tersebut terdiri dari 139 sekolah dasar, 15 sekolah menengah pertama, 1 madrasah tsanawiah, 24 sekolah menengah atas, dan 3 madrasah aliyah. (Pikiran Rakyat, 13 november 2008). Walaupun di Jawa barat sampai tahun 2013 menunjukkan terdapat 462 sekolah, mulai SD hingga SMA yang sudah mendapat ijin menerapkan program inklusif (Pikiran Rakyat, 7 Oktober 2013), tetapi keberadaan sekolah inklusif yang benar-benar melakukan pengelolaan dan memberikan layanan pembelajaran sesuai dengan standar pengelolaan sekolah inklusif masih minim.

Dari interview awal dengan beberapa sekolah penyelenggara sekolah inklusif, nyatanya belum semua warga sekolah inklusif memahami filosofis, konsep, dan teknis operasional tentang penyelenggaraan sekolah inklusif. Hal ini memberikan dampak terhadap persepsi dan cara perlakuan warga sekolah terhadap kehadiran ABK di sekolah inklusif. Sebuah artikel dalam harian republika yang ditulis oleh Yuningsih (Republika, 30 September 2009), menunjukkan bahwa implementasi pendidikan inklusif dalam wujud sekolah inklusif masih menghadapi adanya resistensi terhadap kehadiran ABK di sekolah inklusif. Resistensi tersebut tidak saja datang dari pihak orang tua dan beberapa unsur pengelola sekolah, tetapi juga berimbas ke peserta didik reguler. Hal ini apabila tidak dicarikan solusinya dari sisi kebijakan akan menghambat program pengembangan pendidikan inklusif di Indonesia dan secara psikologis berdampak buruk bagi pengembangan kemampuan interaksi sosial anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah inklusif.

(25)

mengembangkan strategi internalisasi nilai kebersamaan yang sesuai dengan kebutuhan di sekolah inklusif.

Implementasi internalisasi nilai-nilai kebersamaan dalam setting sekolah inklusif, akan berinterelasi dengan faktor-faktor kontekstual sekolah. Masing-masing sekolah memiliki karakteristik yang berbeda dan dapat dimanfaatkan dalam mengimplementasikan internalisasi nilai-nilai kebersamaan dimaksud. Terkait dengan hal tersebut, dalam penelitian ini peneliti menggunakan unit sekolah sebagai fokus studi kasus dalam mengembangkan strategi internalisasi nilai-nilai kebersamaan dalam setting sekolah inklusif .

Analisis setting pengembangan strategi internalisasi nilai-nilai kebersamaan dalam penelitian ini akan digali dari analisis studi kasus terhadap sekolah penyelenggara pendidikan inklusif. Berdasarkan pada analisis studi awal, studi kasus dalam penelitian ini mengambil setting penelitian disalah satu sekolah dasar inklusif di Kota Bandung, yakni SD Negeri Puteraco Indah.

Penyelenggaraan pendidikan inklusif di SD Negeri Puteraco Indah memiliki keunikan dari sisi jumlah dan jenis anak berkebutuhan khusus yang diterima di sekolah, dan periode penyelenggaraan pendidikan inklusif yang telah dirintis sejak tahun 2004 sebagai bagian dari proyek percontohan model sekolah inklusif dinas pendidikan provinsi Jawa Barat . Data tahun ajaran 2010- 2011 menunjukkan, jumlah keseluruhan peserta didik di SDN inklusif Puteraco Indah sebanyak 134 orang peserta didik, 79 (58,95%) diantaranya adalah ABK.

(26)

dalam kelas yang masih menimbulkan respon rasa kesal dari temannya. Dari hasil pengamatan dan diskusi dengan guru, mengemuka persoalan lain yang menyertai interaksi antara ABK dengan pesertadidik reguler, seperti kecenderungan untuk membiarkan ABK duduk di kelas ketika waktu istirahat, pertemanan yang khusus antara ABK dengan peserta didik reguler tertentu saja. Suasana seperti ini manakala didekati dalam perspektif pendidikan inklusif, akan menghambat terwujudnya nilai-nilai kebersamaan. Kondisi seperti ini merupakan modal alamiah yang dapat dimanfaatkan dalam mengembangkan strategi internalisasi nilai-nilai kebersamaan dalam setting sekolah inklusif.

Sekolah Dasar Negeri Puteraco Indah menarik untuk ditelaah lebih mendalam sebagai setting penelitian dalam upaya merumuskan pengembangan strategi internalisasi nilai-nilai kebersamaan dalam setting sekolah inklusif. Permasalahan-permasalahan yang menjadi penghambat dalam penyelanggaraan pendidikan inklusif secara umum membutuhkan pemecahan yang komprehensif, tetapi dalam pelaksanaannya dilakukan secara bertahap. Salah satu permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini yaitu bagaimana strategi internalisasi nilai moral yang dilakukan untuk mengatasi terhadap kenyataan masih adanya sikap-sikap negatif, terutama yang ditunjukkan oleh peserta didik reguler selama ia bergaul dalam proses pembelajaran terhadap ABK.

Atas dasar latar belakang di atas, penulis tergerak mengembangkan strategi internalisasi nilai moral kersamaan, yang secara bertahap diharapkan mampu mengubah sikap resistensi peserta didik reguler terhadap ABK ke arah tumbuhnya sikap-sikap yang positif, terutama mengenai sikap kebersamaan.

(27)

tahapan perkembangan moral anak berada pada fase memenuhi harapan lingkungan (Peer –Oriented Morality). Berdasarkan kajian Megawangi (133-144) terhadap teori-teori tahapan perkembangan moral anak, pada fase Peer-Oriented Morality anak sudah mengerti moral baik dan buruk (golden rule), sehingga akan

lebih mudah dikondisikan dalam pelaksanaan internalisasi nilai-nilai kebersamaan ( Megawangi: 133-144)

B Identifikasi dan Rumusan Masalah

Penyelenggaraan pendidikan inklusif di SD Negeri Puteraco Indah memiliki keunikan tersendiri dari sisi jumlah dan jenis anak berkebutuhan khusus yang diterima di sekolah, dan periode penyelenggaraan pendidikan inklusif. Pada tahun 2004 SDN Puteraco Indah kota Bandung ditetapkan sebagai salah satu proyek percontohan penyelenggaraan sekolah inklusif dibawah pembinaan sub. Dinas Pendidikan Luar Biasa Dinas Pendidikan provinsi Jawa Barat.Sampai saat ini SDN Puteraco Indah masih menyelenggarakan pendidikan inklusif dengan kondisi keadaan karakteristik kondisi keadaan peserta didik ABK yang lebih banyak dari peserta didik reguler.

Interaksi antara anak berkebutuhan khusus dengan peserta didik reguler secara umum cukup baik, akan tetapi terkadang muncul perilaku dari ABK (anak autis) yang menimbulkan pemahaman keliru dari peserta didik reguler. Kegiatan bermain di waktu istirahat atau dalam kegiatan di dalam kelas yang masih menimbulkan respon rasa kesal dari temannya. Persoalan lain yang menyertai interaksi antara ABK dengan siswa reguler, seperti kecenderungan untuk membiarkan ABK duduk di kelas ketika waktu istirahat, pertemanan yang khusus antara ABK dengan siswa reguler tertentu saja. Suasana seperti ini manakala didekati dalam perspektif pendidikan inklusif, akan menghambat terwujudnya nilai-nilai kebersamaan.

(28)

dimanfaatkan dalam mengembangkan strategi internalisasi nilai-nilai kebersamaan yang sesuai dengan kebutuhan sekolah inklusif SDN Puteraco Indah kota Bandung.

Rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini yaitu Bagaimana mengembangkan strategi internalisasi nilai moral yang mampu dijadikan sebagai sarana pembentukkan sikap kebersamaan pada diri peserta didik, agar mereka memiliki kemampuan dan kemauan untuk dapat menerima dan bergaul dengan ABK dalam seting sekolah inklusif. Dari rumusan masalah di atas, maka pertanyaan penelitian yang diajukan:

1. Bagaimanakah strategi internalisasi nilai-nilai kebersamaan peserta didik di SDN Inklusif Puteraco Indah Kota Bandung?

2. Bagaimanakah pelaksanaan strategi internalisasi nilai-nilai kebersamaan peserta didik di SDN Inklusif Puteraco Indah Kota Bandung?

3. Bagaimanakah rumusan konsep pengembangan strategi internalisasi nilai-nilai kebersamaan yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik di SDN Inklusif Puteraco Indah Kota Bandung?

C Tujuan Penelitian

(29)

kebersamaan pada peserta didik ini disesuaikan dengan kebutuhan sekolah inklusif latar penelitian, yaitu SDN inklusif Puteraco Indah.Penggunaannya untuk sekolah lain membutuhkan penyesuaian-penyesuaian sesuai dengan konteks kebutuhan sekolah bersangkutan.

Makna pengembangan strategi internalisasi nilai kebersamaan dalam penelitian ini, dipahami dalam dua dimensi. Pertama, bahwa penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan strategi internalisasi nilai yang telah ada dalam beberapa kajian literatur, dan dalam penelitian ini difokuskan pada pengembangan strategi internalisasi nilai-nilai kebersamaan. Kedua, dari dimensi unit analisis dan implementasinya, bahwa pengembangan strategi internalisasi nilai-nilai kebersamaan ini digali dalam setting sekolah inklusif, khususnya SD Negeri Putaraco Indah kota Bandung dan diproyeksikan sebagai salah satu strategi internalisasi nilai-nilai kebersamaan dalam setting sekolah inklusif.

Secara spesifik, penelitian ini bertujuan untuk menggali, menganalisis data lapangan dan mengembangkan strategi internalisasi nilai-nilai kebersamaan peserta didik terkait dengan aspek-aspek sebagai berikut:

1. Strategi internalisasi nilai-nilai kebersamaan peserta didik di SDN inklusif Puteraco Indah Kota Bandung.

2. Pelaksanaan strategi internalisasi nilai-nilai kebersamaan peserta didik di SDN inklusif Puteraco Indah Kota Bandung.

(30)

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam memperkaya khasanah konsep dan teknis operasional dalam pengembangan stratgi internalisasi nilai, khususnya nilai-nilai kebersamaan dalam setting pendidikan inklusif. Internalisasi nilai, secara konseptual memang sudah

banyak diteliti, namun kaitannya dengan pengembangan strategi internalisasi nilai-nilai kebersamaan dalam setting sekolah inklusif, masih perlu dirumuskan secara ilmiah.

Dengan demikian, pengembangan strategi internalisasi nilai-nilai kebersamaan dalam penelitian ini akan memperluas dimensi dari konsep internalisasi nilai yang telah ada.

2. Manfaat Praktis

Dalam tataran praktis, hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Bagi kepala sekolah inklusif, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam merumuskan program pembinaan perilaku siswa, khususnya terkait dengan strategi internalisasi nilai-nilai kebersamaan dalam mendukung keberhasilan implementasi pendidikan inklusif.

2. Bagi guru, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu acuan dalam menginternalisasikan nilai-nilai kebersamaan, khususnya antara ABK dengan peserta didik reguler, baik dalam pembelajaran di kelas, maupun kegiatan di luar kelas.

3. Bagi orang tua peserta didik, sebagai bahan masukan dalam membimbing perilaku anak, khususnya terkait dengan strategi internalisasi nilai-nilai kebersamaan dalam setting sekolah inklusif.

(31)

E. Pengorganisasian Disertasi

Bab 1 : Pendahuluan, memaparkan temtang orientasi atau spektrum

penelitian yang akan dilaksanakan, dengan menyajikan paparan mengenai, latar belakang penelitian, identifikasi dan rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, dan manfaat penelitian.

Bab II : Kajian Pustaka, memaparkan analisis konseptual yang berkaitan

dengan strategi internalisasi nilai kebersamaan, konstruk strategi internalisasi nilai-nilai kebersamaan dalam setting sekolah inklusif, konsep dan implementasi pendidikan inklusif, anak berkebutuhan khusus sebagai bagian integral dalam penyelenggaraan sekolah inklusif, pendidikan inklusif sebagai perwujudan keadilan sosial di bidang pendidikan, kaitan antara pendidikan berbasis keadilan sosial dengan pendidikan inklusif, spektrum penelitian dalam kaitannya dengan pendidikan umum, dan hasil penelitian dalam seting pendidikan inklusif.

Bab III : Metode Penelitian, memaparkan langkah-langkah secara operasional penelitian kualitatif, meliputi uraian mengenai, lokasi dan subjek penelitian, desain penelitian, metode penelitian, instrumen penelitian, teknik pengumpulan data, analisis data, dan definisi konseptual.

Bab IV : Hasil Penelitian dan Pembahasan, memaparkan temuan data lapangan sesuai dengan spektrum penelitian yang dilaksanakan, dan diakhiri dengan pembahasan hasil penelitian sebagai upaya pemaknaan atas data hasil penelitian.

Bab V : Kesimpulan dan Rekomendasi, merupakan bab terakir dari laporan

(32)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Lokasi dan Subyek Penelitian

1. Lokasi Penelitian

Mengacu kepada pendapat Nasution (1992:43); “bahwa lokasi penelitian menggambarkan pada kondisi sosial yang ditandai oleh adanya tiga unsur, yaitu: tempat, pelaku dan kegiatan.Lokasi penelitian dalam penelitian ini yaitu di SDN inklusif Puteraco Indah, yang beralamat di Jalan Raja Mantri Kaler No. 25 Kelurahan Turangga, Kec. Lengkong Kota Bandung.

Alasan peneliti memilih SDN inklusif Puteraco Indah kota Bandung adalah sebagai berikut:

(33)

memiliki peluang yang besar untuk dapat meningkatkan kompetensinya dalam pengelolaan sekolah dan pembelajaran dalam seting sekolah inklusif.

Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, penelitia memilih SDN Puteraco Indah Kota Bandung sebagai lokasi penelitian. Karaktersitik yang dimiliki SDN Puteraco Indah dipandang sesuai dengan kebutuhan peneliti terkait data pengembangan strategi internalisasi nilai kebersamaan pada peserta didik sekolah dasar inklusif.

2. Subjek Penelitian

Penelitan kualitatif mensyaratkan penentuan subjek penelitian secara tepat. Ketepatan dalam menentukan subjek penelitian ini sangat berpengaruh terhadap kuantitas dan kualitas data dan informasi yang diperoleh.Penentuan subjek penelitian ini mengacu kepada beberapa kriteria yang harus menjadi perhatian peneliti, yaitu latar (setting), pelaku (actor), peristiwa-peristiwa (event), dn proses (process). (Miless dan Huberman, 2007:57, Alwasilah 2002: 145-146).

Kriteria pertama yang peneliti lakukan dalam menentukan subjek penelitian adalah latar. Lingkup dari latar yaitu situasi dan tempat berlangsungnya pengumpulan data dan informasi. Latar penelitian dalam penelitian ini adalah di dalam dan di luar kelas atau lingkungan sekolah, pelaksanaan pembelajaran, wawancara yang bersifat formal dan informal, pelaksanaan observasi. Kriteria kedua adalah pelaku, yaitu kepala sekolah, guru kelas, guru penjaskes, guru agma, dan para pembina kegiatan pengembangan diri ekstrakurikuler, serta peserta didik kelas tinggi. Kriteria ketiga, peristiwa, terutama yang terkait dengan forum-forum diskusi tentang strtategi internalisasi nilai-nilai kebersamaan di sekolah inklusif dalam wadah forum kajian pendidikan inklusif.Kriteria keempat yaitu proses, dilakukan dalam bentuk wawancara peneliti dengan subjek penelitian mengenai pandangan dan pendapat subjek penelitian dalam lingkup fokus masalah yang diteliti.

(34)

orang guru agama, 1 orang Pembina kegiatan ekstrakurikuler, perwakilan komite sekolah, perwakilan orang tua peserta didik, dan peserta didik regular kelas IV, V, dan VI.

B. Desain Penelitian

Desain penelilitan dalam penelitian ini mengacu pada pendekatan kualitatif dengan metoda studi kasus. Desain penelitian yang digunakan disesuakan dengan kebutuhan peneliti untuk memahami strategi dan pelaksanaan strategi internalisasi nilai-nilai kebersamaan pada peserta didik di SDN Puteraco Indah kota Bandung dan data-data yang dibutuhkan oleh peneliti untuk menyusun rumusan pengembangan strategi internalisasi nilai kebersamaan pada peserta didik yang didasarkan pada proses dan hasil SWOT Analysis model Pierce. Desain penelitian ini diuraikan dalam bentuk lima tahapan yang ditempuh peneliti dalam melaksanakan penelitian.

1. Tahap Orientasi

Tahap ini merupakan tahap pendahuluan (pra survey). Pada tahap ini peneliti mengadakan penjajagan dan mengatur strategi untuk tahap selanjutnya. Tahapan ini berfungsi untuk memahami situasi latar belakang penelitian. Peneliti melakukan pra survey terhadap sekolah, melalui dialog dengan subjek penelitian. Selanjutnya mengadakan wawancara mengenai proses pendidikan nilai kebersamaan. Dari hasil orientasi ini peneliti selanjutnya menentukan key informan yaitu kepala sekolah, guru, dan pembina ektrakurikuler. Dalam

perjalanannya, seiring dengan proses penelitian yang dilakukan, maka key informan ditambah dengan guru pembimbing khusus, hal ini dilakukan

sehubungan dengan adanya temuan pada observasi dan wawancara pertama bahwa pendidikan nilai-nilai kebersamaan dalam setting sekolah inklusif dilakukan melalui kegiatan pembelajaran dan ekstrakurikuler.

(35)

adalah ketika informasi sudah betul-betul utuh dan terjadi pengulangan informasi yang diperoleh dari key informan.

Setelah penentuan key informan, selanjutnya dilakukan observasi permulaan guna memperoleh data tentang proses pendidikan nilai-nilai kebersamaan dalam setting sekolah inklusif. Pada tahap ini juga dilakukan pengurusan surat izin

penelitian untuk keabsahan pelaksanaan penelitian.

2. Tahap Eksplorasi

Tahap ini merupakan tahapan tindak lanjut dari tahapan sebelumnya, jika tahapan orientasi lebih merupakan perencanaan, maka tahap eksplorasi lebih merupakan langkah implementasi dari yang sudah direncanakan. Tujuannya ialah “… to obtain information in depth about those elements determined to be solient” (Guba,1986:233). Artinya, peneliti terjun dalam kancah penelitian dan melakukan penelitian secara intensif.

Pada eksplorasi, peneliti melakukan kunjungan ke lokasi penelitian mengadakan pendekatan dengan key informan. Selanjutnya melakukan pengamatan awal terhadap proses pendidikan nilai di sekolah. Kegiatan eksplorasi selanjutnya ditingkatkan dengan berpartisipasi bersama warga sekolah dan mengadakan wawancara dengan key informan untuk mendukung kelengkapan data.

Proses pengamatan dilakukan dengan membuat janji terlebih dahulu dengan guru bersangkutan sehingga proses pengamatan diketahui oleh guru tersebut, adapun dalam menentukan peserta didik yang akan diwawancara juga atas masukan dari guru bersangkutan, selain didasari oleh hasil pengamatan di kelas.

3. Tahap Triangulasi dan Member Check Data

(36)

diperoleh peneliti dan digunakan dalam penelitian laporan penelitian sesuai dengan apa yang dimaksud oleh key informan.

4. Tahap Analisis dan Interpretasi Data

Tahapan analisis dan interpretasi data ini ada yang dilakukan di lokasi, dan ada yang penafsirannya di luar lokasi. Data yang langsung di analisa dan ditafsirkan di lokasi, yaitu terutama data yang direkam secara manual (non elektronik), baik melalui observasi, wawancara, maupun hasil dokumentasi,

peneliti langsung mengadakan langkah-langkah seperti modifikasi, klasifikasi dan implikasi kasus perkasus terhadap data yang bersifat abstrak dan fenomenologis, sehingga mengandung pesan-pesan tersendiri dan kemudian akan dianalisis dan ditafsirkan kembali secara matang di luar lokasi.

Menurut Bogdan & Biklen (1982:145), analisis data adalah proses pencarian dan penyusunan secara sistematis terhadap transkrip wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain yang terkumpul untuk meningkatkan pemahaman tentang data serta menyajikan apa yang telah ditemukan kepada orang lain. Menurut Bogdan & Biklen dalam Moleong (2007:248). Analisis data kualitatif adalah upaya yang peneliti lakukan untuk mengorganisasikan data, mengklasifikasikannya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.

Merujuk pada hasil wawancara dan observasi yang telah dituangkan kedalam catatan lapangan, berikutnya data diolah dan dianalisa. Kegiatan pengolahan dan analisis data melalui upaya menata informasi secara sistematis dalam rangka meningkatkan pemahaman peneliti terhadap masalah yang sedang diteliti dan upaya memahami maknanya. Langkah pertama dalam pengolahan data yang sudah dituangkan dalam catatan lapangan adalah membuat koding atas fenomena yang ditemukan, selanjutnya membuat kategorisasi dan pengembangan teori.

(37)

a) Inductive analysis, yaitu proses analisis data yang dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah cyclical untuk mengembangkan topik, kategori, dan pola-pola data guna memunculkan sebuah sintesa deskriptif yang lebih abstrak.

b) Interim analysis, yaitu melakukan analisis yang sifatnya sementara selama pengumpulan data. hal ini dilakukan dengan tujuan untuk membuat berbagai keputusan dalam pengumpulan data dan mengidentifikasi topik dan pola-pola yang muncul secara berulang. Dalam analisis ini, teknik yang peneliti gunakan mengadopsi strategi yang disarankan Mc Millan dan Schumacher yaitu: 1) Meninjau semua data yang telah dikumpulkan yang berkaitan dengan topik. Penekanan yang diberikan disini bukanlah pada makna topik, tetapi pada upaya memperoleh sebuah perspektif global mengenai jajaran topik-topik data. 2) Mencermati makna-makna yang berulang dan bisa dijadikan sebagai tema atau pola-pola utama. Tema-tema bisa didapatkan dari bahasan dan percakapan dalam latar sosial, aktivitas yang berulang, perasaan, dan apa-apa yang dikatan orang. Untuk membuat tema, peneliti memberi komentar terhadap temuan dalam catatan pengamatan, mengelaborasi hasil wawancara, dan mereflesikan rekaman rekaman data. 3) Berfokus kepada masalah utama yang menjadi fokus penelitian. Karena kebanyakan data kualitatif bersifat terlalu luas dan bisa memunculkan beberapa studi, maka penelitian harus mempersempit fokus untuk analisis datanya secara intensif.

Langkah terakhir setelah data dianalisis dan diinterpretasikan adalah memadukan data dengan teori-teori yang relevan dalam penelitian dan konsepsi peneliti tentang permasalahan yang menjadi fokus penelitian.

5. Analisis SWOT Pengembangan Strategi Internaslisasi Nilai Kebersamaan

Langkah terakhir penelitian diarahkan kepada proses pengembangan strategi internalisasi nilai-nilai kebersamaan dalam setting sekolah inklusif. Model ini didasarkan pada analisis empirik-kontekstual pembelajaran setting sekolah inklusif dan analisis konseptual pendidikan inklusif.

(38)

STUDI PENDAHULUAN

Model Mc Millan dam Schumacher (inductive analysis dan interim analysis) –interpretasi data

•Teori perkembangan moral (Lickona, Kohlberg, William Damon, Robert Salon

•Pendekatan pendidikan nilai (penanaman nilai, pembelajaran berbuat, Cooperative learning, pengkondisian (Conditional theory)

(39)

digunkan dalam penelitian ini lebih menekankan pada kajian interpretatif untuk analisis data. Penelitian kualitatif seringkali disebut naturalistik, sebab peneliti tertarik menyelidiki peristiwa-peristiwa sebagaimana yang terjadi secara natural atau alamiah (Bogdan, 1982:3).

Sesuai dengan fokus masalah yang diteliti,yaitu pengembangan starategi internalisi nilai kebersamaan pada peserta didik sekolahdasar inklusif, pendekatan kualitatif digunakan dalam penelitian ini. Sedangkan untuk kebutuhan melalukan pengembangan strategi internalisasi nilai kebersamaan pada peserta didik digunakan analisis SWOT.

2. Metoda Penelitian

Penelitian ini menggunakan metoda studi kasus. Penggunan metode studi kasus ini penelitia gunakan untuk mendeskripsikan berbagai temuan lapangan yang terkait dengan rumusan masalah penelitian, yaitu pengembangan strategi internalisasi nilai kebersamaan pada peserta didik sekolah dasar inklusif. Studi kasus adalah “ … a detail examination of one setting or one single subject, or esingle depository of document, or one particular event” (Bogdan dan Biklen, 1982:58). Metoda studi kasus pada dasarnya sebagai suatu pendekatan dengan memusatkan perhatian pada suatu kasus secara intensif dan rinci (Surachmad, 1982: 140).

Penggunakaan metoda studis kasus dalam penelitian ini didasarkan pada alasan keinginan peneliti untuk memahami lebih mendalam terhadap suatu kasus yang unik di SDN Puteraco Indah kota Bandung sebagai latar penelitian. Peneliti perlu menggali bagaimana strategi dan pelaksanaan strategi internalisasi nilai-nilai kebersamaan yang dilakukan sekolah secara apa adanya. Data-data yang terkumpul digunakan untuk menyusun rumusan pengembangan internalisasi nilai kebersamaan pada peserta didik dengan menggunakan analisis SWOT.

D. Instrumen Penelitian

(40)

itu sendiri. Oleh karena itu peneliti sebagai instrumen juga harus divalidasi seberapa jauh peneliti kualitatif siap melakukan penelitian yang selanjutnya terjun ke lapangan.

Dalam hal instrumen penelitian kualitatif menurut Lincoln and Guba (1986) yang dikutif Sugiyono (2011:306):

The instrument of choice in naturalistic inquiry is the human, we shall see that other forms of instrumentation may be used in later phases of the inquiry, but the human is the initial and continuing mainstay. But if the human instrument has been used extensively in earlier stages of inquiry, so that an instrument can be constructed that is grounded in the data that the human instrument has product.

Peneliti pada penelitian kualitatif berkedudukan sebagi human instrument. Oleh karena itu peneliti berfungsi menetapkan fokus penelitian, memilih key informan sebagi sumber data, melakukan pengumpulan data, menilai kualitas

data, analisi data, menafsirkan data dan membuat kesimpulan atas temuannya yang telah didapat dari hasil penlitian. Peneliti langsung terjun ke SDN Puteraco Indah Kota Bandung dalam rangka mengumpulkan sejumlah data dan informasi yang diperlukan berkaitan dengan permasalahan yang menjadi fokus penelelitian ini sesuai konteks.

E. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian kualitatif-naturalistik menempatkan peneliti sebagai instrumen utama. Oleh karena itu, alat pengumpul data utama dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri, melalui kegiatan observasi langsung di sekolah inklusif wawancara, dan telaah dokumentasi pada kepala sekolah dan guru-guru di SDN Puteraco Indah Kota Bandung.

Sebelum peneliti terjun ke lokasi penelitian, dirumuskan dahulu pedoman observasi, wawancara dan telaah dokumentasi. Terkait dengan judul penelitian, maka fokus dari kegiatan pengumpulan data dimaksud, dijelaskan sebagai berikut:

1. Teknik Observasi

(41)

yang kemudian dianalisis dalam konteks internalisasi nilai-nilai kebersamaan dalam setting sekolah inklusif.

Observasi merupakan kegiatan pengamatan sistematis dan terencana. Observasi bertujuan untuk memperoleh sejumlah data yang dikontrol validitas dan reliabilitasnya melalui triangulasi. Dalam konteks penelitian ini, observasi dilakukan melalui partisipasi yang disebut pengamatan berperanserta. Selain teknik partisipasi, observasi dilakukan secara terbuka, diketahui oleh key informan karena sebelumnya telah mengadakan survey terhadap key informan dan kehadiran peneliti ditengah-tengah key informan. Untuk menjaga etika dan tatakrama yang berlaku di tempat penelitian, peneliti meminta ijin kepada key informan serta membuat janji waktu yang tepat untuk melakukan pengamatan dan

pengambilan data lainnya.

Prosedur observasi yang peneliti lakukan di atas, sejalan dengan pendapat Moleong (2007:163) yang menyatakan bahwa ciri khas penelitian kualitatif tidak bisa dipisahkan dari pengamatan berperanserta, namun peran penelitilah yang menentukan keseluruhan skenarionya. Dalam pelaksanaan observasi peneliti juga memperhatikan pendapat Alwasilah (2006:215-216) yang menyatakan bahwa pelaksanaan observasi harus memperhatikan lima unsur penting sebagai berikut: (a) latar (setting); (b) pelibat (participant); (c) kegiatan dan interaksi (activity and interaction); (d) frekuensi dan durasi (frequency and duration); dan (e) faktor

substil (subtle factors).

Dalam penelitian kualitatif, teknik observasi dimanfaatkan dalam porsi yang besar. Moleong (2007:174-175) sejalan dengan pendapat Guba dan Lincoln terkait dengan teknik observasi menyatakan sebagai berikut:

a. Teknik pengamatan ini didasarkan atas pengalaman secara langsung. Pengalaman langsung merupakan alat yang ampuh untuk mengetes suatu kebenaran. Jika suatu data yang diperoleh kurang meyakinkan, biasanya peneliti ingin menanyakannya kepada subjek, tetapi karena ia hendak memperoleh keyakinan tentang keabsahan data tersebut; jalan yang ditempuhnya adalah mengamati sendiri yang berarti mengalami langsung peristiwanya.

(42)

c. Pengamatan memungkinkan peneliti mencatat peristiwa dalam situasi yang berkaitan dengan pengetahuan proporsional maupun pengetahuan yang langsung diperoleh dari data.

d. Sering terjadi ada keraguan pada peneliti, jangan-jangan pada data yang dijaringnya ada yang keliru atau bias. Kemungkinan keliru itu terjadi karena kurang dapat mengingat peristiwa atau hasil wawancara, adanya jarak antara peneliti dan yang diwawancarai, ataupun karena reaksi peneliti yang emosional pada suatu saat. Jalan yang terbaik untuk mengecek kepercayaan data tersebut ialah dengan jalan memanfaatkan pengamatan.

e. Teknik pengamatan memungkinkan peneliti mampu memahami situasi-situasi yang rumit. Situasi yang rumit mungkin terjadi jika peneliti ingin memperhatikan beberapa tingkah laku sekaligus. Jadi, pengamatan dapat menjadi alat yang ampuh untuk situasi-situasi yang rumit dan untuk perilaku yang kompleks.

f. Dalam kasus-kasus tertentu ketika teknik komunikasi lainnya tidak dimungkinkan, pengamatan dapat menjadi alat yang sangat bermanfaat. Observasi dilakukan terhadap kegiatan anak waktu pembelajaran di kelas, kegiatan olah raga, kegiatan ektrakulikuler pramuka, kesenian, keagamaan, upacara bendra, dan situasi bermain anak. Begitu juga observasi dilakukan terhadap guru pembimbing dalam melaksanakan tugasnya.

Selama melakukan pengamatan, peneliti mencatat setiap fenomena yang ditemukan. Selanjutnya dilakukan transkrif catatan ke dalam catatan lapangan yang dibagi menjadi dua bagian, yakni catatan deskriptif dan catatan reflektif. Untuk mengkonfirmasi dan menindaklanjuti temuan observasi yang sudah dituangkan ke dalam catatan lapangan, peneliti selanjutnya melakukan proses wawancara terhadap key informan. Sebagai upaya untuk menjaga keotentikan hasil observasi, pada bagian-bagian tertentu dilakukan juga perekaman melalui video dan dokumentasi photo.

2. Teknik Wawancara

(43)

pengambilan data dalam penelitian kualitatif. Dengan demikian hasil wawancara memiliki keterhubungan dengan hasil observasi dan hasil studi dokumen.

Teknik wawancara diharapkan dapat menjaring sejumlah data verbal mengenai persepsi informan maupun key informan tentang dunia empirik yang mereka hadapi. Pemikiran, tanggapan, maupun pandangan yang diverbalisasikan akan lebih mudah dipahami oleh peneliti dibandingkan dengan bahasa (ekspresi) tubuh. Oleh karena itu menurut Nasution (1996:69) teknik pengamatan saja tidak cukup memadai dalam melakukan suatu penelitian. Wawancara dilakukan secara mendalam (in-depth interview) dan tetap berpegang pada pedoman wawancara yang telah dipersiapkan. Hal ini dilakukan agar arah percakapan tidak terlalu menyimpang dari data yang digali, juga untuk menghidari terjadinya bias penelitian. Untuk mendapatkan validitas informasi maka pada saat wawancara berlangsung, peneliti berusaha membina hubungan baik dengan cara menciptakan iklim saling menghargai, saling mempercayai, saling memberi dan menerima.

Menurut Alwasilah (2006:195) yang sejalan dengan pendapat Lincoln dan Guba bahwa terdapat lima tahapan penting untuk melakukan wawancara, yaitu: menentukan siapa yang akan diinterview, menyiapkan bahan-bahan interview, langkah-langkah pendahuluan, mengatur kecepatan menginterview dan mengupayakan agar tetap produktif, dan mengakhiri interview.

Berdasarkan tahapan di atas, langkah awal yang dilakukan oleh peneliti melakukan wawan cara terhadap kepala sekolah, dan guru kelas, hal ini dilakukan setelah observasi awal.

Selanjutnya peneliti menyusun pedoman wawancara sebagai pedoman dalam pelaksanaan wawancara agar terarah kepada fokus penelitian. Dalam pelaksanaanya, pertanyaan disampaiakan secara sitematis sesuai dengan pedoman. Pedoman wawancara secara substansial mengacu kepada rumusan masalah, hasil observasi dan hasil wawancara sebelumnya. Ruang lingkup pedoman wawancara berbeda setiap sasaran kepada key informan yang diwawancarai.

Gambar

Gambar
Gambar 3.1 .Langkah-Langkah Penelitian
Tabel 3.1 Kisi-Kisi  Alat Pengumpul Data Penelitian
Gambar 3.2.Diagram Managemen Strategik Suatu Sistem
+6

Referensi

Dokumen terkait

metodologis, terikat dengan suatu norma tata tulis tertentu.Fokus penelitian merupakan garis besar dari pengamatan yang dilakukan peneliti, sehingga observasi peneliti

Bedasarkan hasil analisa menggunakan software ms.project 2007 memberikan hasil lebih efisien dari rencana pekerjaan sebelumnya, waktu dan biaya pelaksanaan 180

Meskipun rerata hasil belajar menulis bahasa Inggris kelompok siswa yang diberi metode pembelajaran kooperatif tipe STAD dan teknik penilaian rubrik holistik lebih

mempertinggi ketakwaan kepada Allah Yang Maha Esa, keterampilan, budi pekerti yang luhur, kepribadian dan semangat kebangsaan, sehingga dapat melahirkan

Tentunya acara ini tidak hanya sekedar jalan2 dan mencari teman baru saja, tp jg beberapa hal yang bisa para pengurus ambil dr acara ini, karena acara kemudian dilanjutkan

Ada pula alasan karyawan merasa cukup puas dengan kepuasan kerja terhadap pekerjaan, rekan kerja, pengembangan karir, upah dan supervise dikarenakan karyawan yang

Metode kualitatif digunakan untuk memperoleh data yang mendalam mengenai kemampuan berpikir kritis siswa pada pelajaran fisika materi suhu dan kalor.. Desain penelitian

Dari berbagai pengertian media sosial menurut para ahli dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan media sosial adalah sebuah platform seperti Facebook, Twitter,