• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Deskriptif Mengenai Psychological Well-being Remaja Wanita Yang Melakukan Shotgun Marriage Di Provinsi Bali.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Deskriptif Mengenai Psychological Well-being Remaja Wanita Yang Melakukan Shotgun Marriage Di Provinsi Bali."

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

WANITA YANG MELAKUKAN SHOTGUN MARRIAGE DI PROVINSI BALI

NI MADE SINTA PERTIWI

ABSTRAK

Masa remaja merupakan masa untuk mengeksplorasi diri. Salah satunya dalam hal eksplorasi seksual. Remaja akan melibatkan aktivitas seksual yang kadang tidak bertanggung jawab, hal ini memungkinkan terjadinya kehamilan. Kehamilan tersebut membuat remaja terpaksa memutuskan untuk menikah, yang biasanya disebut shotgun marriage. Di Bali masih banyak remaja yang melakukan shotgun marriage. Perubahan peran sebagai seorang ibu yang dialami dapat menjadi tantangan tersendiri bagi remaja perempuan. Psychological well-being sebagai hasil evaluasi atau penilaian seseorang terhadap kemampuan untuk mengenali potensi unik dari dirinya kemudian mengoptimalkan potensi tersebut dalam berbagai aspek kehidupan, terutama dalam menghadapi berbagai tantangan dan perubahan dalam hidup (Ryff 1989, Ryff & Keyes 1995).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran psychological well-being remaja wanita yang menjalankan shotgun marriage di Bali dalam perannya sebagai seorang ibu. Rancangan penelitian bersifat non eksperimental dengan pendekatan kuantitatif dan metode deskriptif. Terdapat 35 remaja perempuan yang menjadi sampel dengan teknik snowball sampling.

Hasil penelitian menunjukan bahwa psychological well-being remaja perempuan tergolong ke dalam katagori sedang, yaitu sebesar 62,9%. Hal ini berarti responden belum mengoptimalkan potensi dirinya dalam menghadapi tantangan-tantangan sebagai seorang ibu.

(2)

PENDAHULUAN

Remaja merupakan masa transisi atau peralihan dari masa anak-anak menuju masa dewasa. Pada masa ini remaja mengalami banyak sekali perubahan, baik perubahan fisik maupun psikis. Pada masa ini remaja mulai melepaskan diri dari orang tua dalam rangka menjalankan peran sosial yang baru sebagai orang dewasa (Clarke-Stewart & Friedman, 1987; Ingersoll, 1989 dikutip dalam Agustiani, 2006). Menurut Konopka (1973, dalam Agustiani, 2006) masa remaja dibagi kedalam tiga masa yaitu masa remaja awal (12-15

tahun) pada masa ini individu mulai meninggalkan peran sebagai anak-anak, berusaha mengembangkan diri dan tidak tergantung pada orang tua, masa remaja tengah (15-18 tahun) masa ini ditandai dengan berkembangnya kemampuan berpikir yang baru, mengembangkan kematangan tingkah laku, dan penerimaan dari lawan jenis, Yang terakhir masa remaja akhir (19-22 tahun) tahap ini ditandai remaja berusaha menetapkan tujuan yang vokasional dan mengembangkan sense of personal identity serta mulai adanya keinginan yang kuat untuk matang dan diterima oleh kelompok sebaya dan orang dewasa.

Menurut Connolly & McIsaac (2009, dalam Santrock, 2014) pada usia 14-16 tahun remaja berada pada tahap mengeksplorasi hubungan romantis. Pada tahap ini remaja mulai terlibat dalam casual dating dan pacaran dalam kelompok dan pada usia 17-19 tahun pada tahap ini remaja mulai menjalin hubungan yang serius mirip dengan hubungan romantis oreng dewasa. Pacaran pada remaja dapat berlanjut ke tahap berhubungan seksual dimana banyak remaja yang melakukan hubungan seksual yang tidak bertanggngungjawab. Seperti terlihat pada hasil survei tahun 2006, PKBI menyebutkan, 1). kisaran umur pertama kali yakni 13-18 tahun melakukan hubungan seks, 2). 60% tidak menggunakan alat atau obat kontrasepsi, 3). 85% dilakukan di rumah sendiri (http://www.okezone.com). Hubungan seksual yang tidak bertanggung jawab dapat menyebabkan kehamilan yang tidak diingikan oleh remaja. Seperti yang dijabarkan dalam survei tahun 2007 SKKRI menunjukan perilaku seks pranikah remaja cenderung terus meningkat dan kehamilan yang tidak diinginkan (KTD) juga terjadi pada remaja (http://www.okezone.com). Perempuan yang belum menikah hanya dapat melanjutkan kehamilannya yang tidak diinginkan secara sah dengan melaksanakan pernikahan (Bennet, 2001 dalam Fajarwidya, 2013).

(3)

marriage

pernikahan karena perilaku tersebut dapat menyebabkan kehamilan. Remaja cenderung menikah sebelum bayi mereka lahir yang menurut mereka solusi dan tanggungjawab atas kehamilan mereka. Jika shotgun marriage terjadi dan menyebabkan orang yang tidak ingin menikah dan tidak cocok satu sama lain bersama, akan dapat memunculkan ketidakstabilan atau tingkat konflik yang tinggi dalam pernikahaanya, oleh karena itu mungkin tidak akan memberikan keuntungan bagi anak mereka (Musick and Meier, 2010 dalam Su, Sassler, & Dunifon, 2012). Pernikahan yang terjadi karena kehamilan cenderung memiliki tingkat koflik

yang tinggi dengan pasangan dan lebih besar kemungkinan untuk bercerai (Surra et al. 1987; Teachman 2002; Knab 2006 dalam Iwasawa & Kamata, 2014).

Shotgun marriage akan mempercepat tahapan kehidupan pernikahan remaja, remaja dalam waktu beberapa bulan akan segera menjadi ibu muda dimana remaja yang menjadi ibu akan merasa kurang kompeten dalam membesarkan anaknya dan kurang realistis terhadap ekspektasi tumbuh kembang anaknya (Osofsky, 1990 dalam Santrock, 2014). Ibu ini akan memiliki tanggung jawab seperti menerima dan menyesuaikan diri terhadap tekanan dari peran sebagai ibu, belajar bagaimana mengurus bayi, membangun dan mengelola kesehatan keluarga, menyediakan kesempatan penuh untuk perkembangan anak, berbagi tanggungjawab sebagai orang tua dengan suami, mengelola kepuasan hubungan dengan suami, membuat penyesuaian yang baik pada realitas praktis kehidupan seperti membantu suami dalam perencanaan finansial keluarga, dan mandiri (Duval, 1977).

Veroff et al. (1981 dalam Barnett, Baruch, & Rosalind, 1986) menemukan bahwa pasangan muda kurang positif memandang perannya sebagai orang tua dibandingkan dengan pasangan yang berusia lebih tua.Townsend et al (2000), menyatakan bahwa banyaknya peran yang dimiliki seorang wanita dihubungkan dengan semakin baiknya psychological well-being wanita tersebut, namun disisi lain peran yang besar dapat menimbulkan efek-efek negatif yang akan memicu stres seperti berkurangnya kepuasan hidup, munculnya gejala-gejala depresif. Psychological well-being sebagai hasil evaluasi atau penilaian seseorang terhadap

(4)

tujuan dalam hidup yang dipengaruhi oleh fungsi psikologi positif dalam bentuk aktualisasi diri, penguasaan lingkungan sosial, dan pengembangan diri (Ryff, 1989).

Menurut Ryff (1995) fondasi untuk memperoleh kesejahteraan psikologis (psychological well-being) adalah individu yang secara psikologis dapat berfungsi positif

(positive psychological functioning). Komponen individu yang mempunyai fungsi psikologis yang positif (Ryff, 1989) adalah self-acceptence, personal growth, purpose in life,

environmental mastery, autonomy, positive relations with others.

Self-acceptence atau penerimaan diri adalah individu yang mampu menerima dirinya seperti memiliki sikap yang positif terhadap dirinya dan orang lain, mengakui dan menerima berbagai aspek dalam dirinya, memiliki perasaan yang positif terhadap apa yang terjadi di masa yang lalu. Individu yang benar-benar tau kekuatannya dan menerima kekurangannya. Pada masa ini remaja mampu menerima dirinya sebagai individu yang telah menikah serta remaja memandang positif dirinya sebagi wanita yang menikah karena hamil. Selain itu menerima peran barunya sebagai seorang ibu dan menerima kehadiaran anak dalam kehidupannya sebagai sesuatu yang baik.

Personal growth ditunjukkan dengan adanya keinginan untuk terus mengaktualisasikan diri serta keinginan untuk terus mengembangkan potensi dirinya. Remaja yang mau tumbuh dan berkembang, terbuka pada pengalaman baru, mengenali potensi yang mereka miliki, tahu bagaimana cara mengembangkan dirinya setelah menikah serta mau berkontribusi dengan lingkungannya menunjukan personal growth yang baik dan dapat menjadi pemfungsian psikologis yang positif.

Purpose in life atau tujuan dalam hidup diartikan sebagai adanya keyakinan pada diri individu bahwa hidup adalah sesuatu yang bermakna dan memiliki tujuan. Remaja yang memahami tujuan hidup, memiliki arah dan bepegang pada keyakinanya bahwa hidup memiliki makna akan mengindikasikan bahwa remaja tersebut memiliki kesejahteraan psikologis yang positif. Hal ini akan mendorong munculnya rasa kebermaknaan dalam hidup remaja yang telah menikah.

(5)

Remaja merasa mampu mengelola lingkungan sekitarnya sesuai yang ia butuhkan untuk menjalakan perannya sebagai seorang ibu. Remaja secara efektif mampu mencari peluang dan mengelola lingkungannya.

Kemandirian (autonomy) merupakan refleksi dari pencarian self-determitation dan otonomi dalam kehidupan. Remaja yang telah menikah masih mampu membuat keputusan sendiri, mandiri, dan tidak bergantung kepada orang lain hal ini merupakan indikasi dari

fungsi psikologis yang baik. Positive relations with others (relasi positif dengan orang lain) merupakan kemampuan untuk mempererat hubungan dan adanya hubungan yang hangat, intim, dan saling percaya dengan orang lain. Remaja wanita yang mampu menjalin relasi yang hangat, penuh empati dan kasih sayang, menunjukan kemampuan fungsi psikologis yang positif. Hal ini dapat terlihat dari hubungan yang baik antara remaja wanita dengan suami, mertua, orang tua, saudara, teman dan lingkungan tempat tinggalnya.

Dari paparan hasil wawancara tersebut, terlihat setiap responden merasa belum mandiri. Hal itu tergambar dari pernyataan responden yang belum bekerja dan beum bisa membiayai kebutuhan anaknya tanpa bergantung dengan orang tua. Setiap responden juga merasakan dirinya mengalami peningkatan dalam kehidupanya dengan memiliki pengalaman baru dan kewajiban baru. Namun dua dari tiga responden yang tidak memiliki hubungan yang baik dengan orang-orang disekitarnya. Hal ini tergambar dari konflik yang sering terjadi antara responden dengan mertua dan suaminya, selain itu sering terjadi mis komunikasi antara responden dengan mertua, ipar, suaminya. Konflik dan mis komunikasi ini membuat hubungan responden dengan orang disekitarnya menjadi tidak dekat, hangat dan nyaman. Satu responden merasa memiliki hubungan yang baik dengan lingkungannya, ini terlihat dari keterbukaan responden kepada mertua dan suami mengenai masalah-masalah yang dihadapi. Satu dari tiga responden memandang negatif masa lalunya yaitu menikah karena hamil, responden melihat bahwa kehidupan pernikahan bukan suatu yang menyenangkan. Responden juga merasa kehamilannya bukan suatu yang bisa dia terima, hal ini ditunjukkan

(6)

mengatakan bahwa dia tidak berani melakukan apapun dirumah suaminya karena takut salah dan dimarahi, hal ini membuat responden merasa tertekan. Setiap responden memiliki tujuan hidupnya yaitu memiliki pekerjaan dan mampu membiayai kebutuhan anak dan membesarkan anak dengan baik tanpa bergantung pada orang tua.

Dari data awal menunjukan bahwa partisipan memiliki permasalahan dengan

psychological well-being mereka. Mereka merasa belum mandiri, adanya perbedaan pada hubungan yang positif dengan orang lain, perbedaan pada penerimaan diri responden dimana

ada responden yang tidak bisa menerima apa yang terjadi pada hidupnya dan masa lalunya. Responden belum mampu menciptakan dan mengendalikan lingkungan sesuai dengan kebutuhanya. Namun, responden merasakan adanya peningkatan dalam dirinya dan juga memiliki tujuan hidup yaitu membesarkan anak dengan baik.

Individu yang memiliki psychological well-being yang baik akan menilai dirinya sebagai individu yang merasa nyaman, damai, dan serta bahagia serta memandang secara positif pencapaian potensi-potensi mereka sendiri (Ryff, 1989). Orang tua memandang positif akan kehadiran anak dikeluarga. Veroff et al. (1981 dalam Barnett, Baruch, & Rosalind, 1986) juga mengemukakan bahwa ibu yang kurang positif dalam memandang kehadiran anak, melaporkan banyak terjadinya permasalahan dalam perannya sebagai orang tua.

Psychological well-being orang tua dapat dilihat dari keadaan emosi orang tua ketika melakukan kegiatan sehari-hari bersama anaknya. Orang tua yang memiliki emosi positif ketika melakukan kegiatan sehari-hari dengan anak memiliki psychological well-being lebih tinggi (e.g., Kahneman et al., 2004). Psychological well-being ibu akan mempengaruhi

psychological well-being anaknya. Psychological well-being yang dimiliki orang tua dapat mengganggu proses dyadic keluarga (cara mengurus anak, hubungan suami-istri, dan hubungan anak dengan orang tua). Sehingga psychological well-being memiliki peranan penting dalam hubungan ibu dengan anak.

Dari studi awal yang dilakukan peneliti pada 04/04/2015 pada tiga responden di Bali. Peneliti memilih melakukan penelitian ini di Bali. Fenomena ini teramati oleh peneliti karena

(7)

psychological

well-being pada remaja wanita yang menjalankan shotgun marriage di Bali.

METODE PENELITIAN

Rancangan penelitian dalam penelitian ini adalah rancangan non-eksperimental dengan menggunakan model pendekatan deskriptif kuantitatif. Metode penelitian deskriptif adalah suatu metode yang digunakan dalam meneliti sekelompok manusia, suatu objek, suatu set

kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang yang membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, serta hubungan antara fenomena yang diselidiki (Nazir, 2005). Metode kuantitatif menggunakan data penelitian berupa angka-angka dan analisis menggunakan statistik (Sugiyono, 2009).

Partisipan

Subjek penelitian ini adalah remaja yang menikah pada usia 15-22 tahun yang melakukan shotgun marriage dan masih menikah dengan usia pernikahan dibawah 5 tahun di Bali. Teknik sampling yang digunakan adalah snowball sampling. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak 35 orang remaja yang melakukan shotgun marriage.

Pengukuran

Nama alat ukur ini adalah “Scale of Psychological Well-Being” yang disusun berdasarkan teori Psychological Well-Being dari Carol Ryff. Bentuk psychological well-being yang digunakan dalam alat ukur ini adalah psychological well-being pada remaja yang melakukan

shotgun marrige. Alat ukur ini berbentuk kuesioner yang akan mengukur kesejahteraan psikologis remaja yang menjadi ibu muda karena menjalani shotgun marriage. Terdapat enam dimensi yaitu self-acceptence, personal growth, purpose in life, environmental mastery,

(8)

HASIL

Berdasarkan hasil pengolahan data dan analisis pembahasan menenai regulasi emosi, diperoleh simpulan sebagai berikut :

1. Hasil penelitian menunjukan bahwa sebagian besar subjek dalam penelitian ini memiliki

skor psychological well-being yang tergolong sedang. Artinya remaja yang menjalani shotgun marriage, mereka cukup positif terhadap dirinya dan orang lain. Mereka juga cukup mampu memilih atau membentuk lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan mereka serta masih memiliki tujuan hidup yang membuat hidup mereka bermakna. Partisipan belum sepenuhnya merasa sejahtera karena harus menjalani kehidupan yang tidak mereka harapkan sebelumnya. Hal ini terlihat dari dimensi-dimensi psychological well-being yang sedang dan bahkan masih ada yang rendah.

2. Secara umum remaja yang melakukan shotgun marriage memiliki nilai yang tinggi pada dimensi personal growth. Nilai yang tinggi pada dimensi personal growth karena remaja pada tahap perkembangannya memang masih mengeksplorasi diri, apalagi dengan pertambahan peran sebagai seorang ibu. Namun beberapa remaja masih memiliki nilai

personal growth sedang yang berarti remaja ingin berkembang tapi tidak melakukan usaha untuk memiliki pengalaman dengan maksimal. Begitupula dimensi positive

relation with others, self-acceptance, purpose in life, environmental mastery, dan autonomy berada pada kategori sedang.

3. Pada dimensi purpose in life, environmental mastery, dan autonomy masih ada remaja yang berda pada kategori rendah, yang berarti kehidupannya sebagai seorang ibu muda bukan sesutu yang bermakan untuk dijalani karena sebuah keterpaksaan, remaja merasa

tidak berdaya karena tidak mampu menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kebutuhannya, remaja merasa dengan pernikahan yang terpaksa dijalaninya dan perannya sebagai ibu muda membuatnya kesuliatan untuk mandiri secara fianansial dalam membesarkan anaknya.

(9)

Adams, S. M. (1986). Parenthood and Psychological Wellbeing. University of Wisconsin.

Agustiani, D. H. (2006). Psikologi Perkembangan Pendekatan Ekologi Kaitanya dengan Konsep Diri

dan Penyesuaian Diri pada Remaja . Bandung: Refika Aditama.

Astuti, A. W. (2013). Peran Ibu Rumah Tangga Dalam Meningkatkan Kesejahteraan Keluarga . Semarang: Universitas Negeri Semarang .

Barnett, Baruch, G. K., & Rosalind. (1986). Role Quality, Multiple Role Involvement, and Psychological. Journal of Personality and Social Psychology, 578-585.

Barnett, R. C., & Baruch, G. K. (1985). Women's Involvement in Multiple Roles and Psychological Distress. Journal of Personality and Social Psychology, 135-145.

Duval, E. M. (1977). Marriage and Family Development. New York: J.B. Lippincott Company.

Fajarwidya, N. (2013, April 14). Kehamilan Tidak Diinginkan. Retrieved Juli 26, 2015, from academia.edu: https://www.academia.edu

Falci, C. D. (1997, Mei). The Effects of Family Structure and Family Process on the Psychological Well-Being of Children: From the Children’s Point of View. Virginia: Virginia Polytechnic Institute and State University.

Friedenberg, L. (1995). Psychological Testing: Design, Analysis, and Use. University of North Carolina: Allyn & Bacon, Incorporated.

Hidaglo, J. L.-T., Bravo, B. N., Martinez, I. P., Pretel, F. A., Postigo, J. M., & Rabadan, F. E. (2010). Pychological Well-being, Assessment Tools, And Related Factors. In I. E. Wells,

Pychological Well-being (pp. 77-113). New York: Nova Science Publishers, Inc.

Hurlock, E. B. (1898). Adolescent Development. Kogakusha: McGraw-Hill.

Husain Usman, P. S. (2008). Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi Aksara.

Iwasawa, M., & Kamata, K. (2014). Marriage Preceded by Pregnancy and Women's Employment.

Japan Labor Review, Vol 11, no 4.

Kaplan, R. M., & Saccuzo, D. P. (2001). Psychological Testing : Principles, Application, and Issues. Belmont : Wadsworth.

Kieran McKeown, J. P. (2003). Family Well-Being: What Makes A Difference? Dublin: Kieran McKeown Limited.

Lindsay, J. W. (1985). Teen Look At Marriage. California : Morning Glory Press.

Meirosa, T. (2013). Hubungan antara Dukungan Sosial Teman dengan Psychological Well-Being

pada Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran. Jatinangor: Fakultas Psikologi

Universitas Padjadjaran.

Munir, M. (2010, Desember 6). Tiap Tahun, Remaja Seks Pra Nikah Meningkat. Dipetik Juli 26, 2015, dari Okezone: http://news.okezone.com/read/2010/12/04/338/400182/tiap-tahun-remaja-seks-pra-nikah-meningkat

(10)

Pande, S. S. (2013). Correlation Between Difficulty & Discrimination Indices of MCQs in Formative Exam in Physiology. South-East Asian Journal of Medical Education, 45-50.

Rosalinda, L., Latipun, & Nurhamida, Y. (2013). Who Have Higher Psychological Well-Being? A Comparison Between Early Married and Adulthood Married Woman. Journal of Educational,

Health, and Community Psychology, 2088-3129.

Ross, R. D., Marrinan, S., Schattner, S., & Gullone, E. (1999). The Relationship Between Perceived Family Environment and Psychological Wellbeing: Mother, Father, and Adolescent Reports.

Australian Psychologist, 58-63.

Rumini, P. D., & Sundari, D. (2004). Perkembangan Anak & Remaja. Jakarta: Rineka Cipta.

Ryff, C. D. (1989). Happiness Is Everything, or Is It? Explorations on the Meaning of Psychological Well-Being. Journal of Personality and Social Psychology, 1069-1081.

Ryff, C. D., & Essex, M. J. (1992). The Interpretation of Life Experience : The Sample Case of Relocation . Journal of Psychology and Aging, 507-517.

Ryff, C. D., & Keyes, C. L. (1995). The Structure of Psychological Well-Being Revisited. Journal of

Personality and Social Psychology, 719-727.

Ryff, C. D., Keyes, C. L., & Shmotkin, D. (2002). Optimizing Well-Being: The Empirical Encounter of Two Traditions. Journal of Personality and Social Psychology, 1007-1022.

S. Katherine Nelson, K. K. (t.thn.). The Pains and Pleasures of Parenting: When, Why, and How Is Parenthood Associated With More or Less Well-Being? . Psychological Bulletin.

Santrock, J. W. (2003). Adolescence Perkembangan Remaja Edisi Keenam. Jakarta: Erlangga.

Santrock, J. W. (2014). Adolescence Fifteenth Edition. New York: McGraw-Hill Education.

Sarafino, E. P. (2006). Health Psychology : Biopsychosocal Interaction 5th ed. USA: John Wiley & Sons, Inc.

Sarason, B., & Gregory. (1990). Social Support : An Interactional View. New York: John Wiley & Sons.

Seiler, N. (2002). Is Teen Marriage a Solution . Center For Law And Social Policy, 1-10.

Soulsby, L. K., & Bennett, K. M. (2015). Marriage and Psychological Wellbeing: The Role of Social Support. Psychology, 1349-1359.

Sugiyono. (2009). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: CV Alfabeta.

Vaux, A. (1988). Social Support : Theory, Reseach, and Itervention. USA: Praeger Pubishers.

Wardiah, A. (2014). Hentikan Pernikahan Dini dan Kurangi Angka Kematian Ibu. Program Officer Women Research Institute.

Wardoyo, T. (2010). Psychological Well-Being pada Individu Lanjut Usia (LANSIA). Bandung: Unicersitas Padjadjaran.

Referensi

Dokumen terkait

Dari pengamatan yang dilakukan peneliti dapat disimpulkan, bahwa pada saat ini kinerja guru di sekolah dasar negeri kecamatan padang utara tidak sesuai

Berikut ini adalah hasil dari eksperimen yang dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan CLSC pada data uji ketiga dengan menggunakan algoritma Simulated Annealing

Diversi merupakan salah satu bentuk penyelesaian perkara tindak pidana yang dilakukan oleh anak yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Hasil penelitian hubungan tingkat pengetahuan dengan praktik petugas kebersihan dalam pengelolaan sampah medis berdasarkan tabel silang dapat diketahui, bahwa responden

Tujuan penelitian ini adalah untuk menggambarkan lingkungan responden dan menentukan hubungan antara pengetahuan, sikap, dengan perilaku tentang malaria pada masyarakat di

Bersama  ini  kami  sampaikan  bahwa  apabila  Saudara  tidak  dapat  memenuhi  undangan  pembuktian  kualifikasi  ini  maka  perusahaan  Saudara  dinyatakan  gugur 

Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikatakan oleh Greenspoon & Saklofske (2001) yang menyatakan bawa meskipun kesejahteraan dan tekanan psikologis sering

Percobaan ini ditujukan untuk memperkenalkan suatu cara melaksanakan suatu proses pengadukan fluida dengan menggunakan tangki berpengaduk dan menunjukkan