• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN KETERAMPILAN BERBICARA DENGAN PENERIMAAN TEMAN SEBAYA ANAK KELOMPOK B DI ‘TK KKLKMD SIDOMAJU’ PLEBENGAN BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "HUBUNGAN KETERAMPILAN BERBICARA DENGAN PENERIMAAN TEMAN SEBAYA ANAK KELOMPOK B DI ‘TK KKLKMD SIDOMAJU’ PLEBENGAN BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKA."

Copied!
117
0
0

Teks penuh

(1)

i

HUBUNGAN KETERAMPILAN BERBICARA DENGAN PENERIMAAN TEMAN SEBAYA ANAK KELOMPOK B DI ‘TK KKLKMD SIDOMAJU’

PLEBENGAN BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh

Titis Aprilia Dian Pratiwi NIM13111241060

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU PENDIDIKAN ANAK USIA DINI JURUSAN PENDIDIKAN ANAK USIA DINI

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

(2)
(3)

iii

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini benar-benar karya saya sendiri. Sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang ditulis atau diterbitkan orang lain kecuali sebagai acuan atau kutipan dengan mengikuti tata penulisan karya ilmiah yang telah lazim.

Tanda tangan dosen penguji yang tertera dalam halaman pengesahan adalah asli. Jika tidak asli, saya siap menerima sanksi ditunda yudisium pada periode berikutnya.

Yogyakarta, 16 Juni 2017 Yang menyatakan,

(4)
(5)

v MOTTO

Hendaklah jangan malu salah seorang diantara kalian untuk belajar jika ia tidak mengetahui sesuatu. Janganlah orang bodoh merasa malu untuk bertanya atas apa

yang tidak ia ketahui. (Ali bin Abi Thalib)

Kegagalan diperuntukkan bagi mereka yang tidak pernah mau mencoba karena sukses itu merupakan sebuah titik kecil di atas gunung kegagalan. Percaya bahwa

usaha dan do’a tidak akan menghianati hasil.

(6)

vi

PERSEMBAHAN

Dengan mengucap rasa syukur atas segala nikmat yang telah diberikan oleh-Nya dan juga dengan mengharap ridha-Nya, karya ini penulis persembahkan kepada:

1. Kedua orangtua tercinta, terima kasih atas kasih sayang, motivasi, dukungan, dan bimbingan yang selalu diberikan.

2. Adik-adik, saudara, sahabat, serta teman-teman yang senantiasa mendo’akan dan mendukung untuk menyelesaikan skripsi ini.

(7)

vii

HUBUNGAN KETERAMPILAN BERBICARA DENGAN PENERIMAAN TEMAN SEBAYA ANAK KELOMPOK B DI ‘TK KKLKMD SIDOMAJU’

PLEBENGAN BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Oleh

Titis Aprilia Dian Pratiwi NIM 13111241060

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan keterampilan berbicara dengan penerimaan teman sebaya anak. Berdasarkan studi pendahuluan yang peneliti peroleh diketahui bahwa terdapat beberapa anak yang belum dapat mengekspresikan emosi dan keinginannya melalui kata-kata verbal, pendiam, serta pemalu sehingga muncul perbedaan dalam penerimaan teman sebaya, padahal penerimaan teman sebaya berpengaruh terhadap sosioemosional anak.

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian korelasi. Penelitian ini merupakan penelitian populasi dimana seluruh anak menjadi subjek penelitian. Subjek penelitian ini adalah anak kelompok B di TK KKLKMD Sidomaju yang berjumlah 35 anak. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan observasi dan sosiometri. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis statistik korelasi Pearson Product Moment.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara keterampilan berbicara dengan penerimaan teman sebaya anak. Hal tersebut dibuktikan dengan hasil korelasi Pearson Product Moment r = 0,802, p < 0,05 yang berarah positif dalam tingkatan sangat kuat dan signifikan. Artinya semakin tinggi keterampilan berbicara anak, maka semakin tinggi pula penerimaan teman sebaya.

(8)

viii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan karunia-Nya, Tugas Akhir Skripsi dalam rangka untuk memenuhi sebagian persyaratan untuk mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan dengan judul “Hubungan Keterampilan Berbicara Dengan Penerimaan Teman Sebaya Anak Kelompok B Di ‘TK KKLKMD Sidomaju’ Plebengan Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta” dapat disusun sesuai dengan harapan. Tugas Akhir Skripsi ini dapat diselesaikan tidak lepas dari bantuan dan kerjasama dengan pihak lain. Berkenaan dengan hal tersebut, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat: 1. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah

memberikan ijin penelitian.

2. Ketua jurusan Pendidikan Anak Usia Dini yang telah memberikan kemudahan dalam proses perijinan penelitian sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan lancar.

3. Bapak Dr. Suwarjo, M. Si. dan Ibu Muthmainnah, M. Pd. dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk membimbing, mengarahkan dan memberikan dukungan dalam menyelesaikan skripsi.

4. Bapak Dr. Drs. Sugito, MA. dosen penasehat akademik yang telah memberikan bimbingan selama kuliah dan motivasi dalam mengerjakan Tugas Akhir Skripsi. 5. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi S-1 Pendidikan Guru PAUD Fakultas Ilmu

(9)

ix

6. Bapak Sumaryana, S. Pd. kepala TK KKLKMD Sidomaju yang telah memberikan ijin dan bantuan dalam pelaksanaan penelitian Tugas Akhir Skripsi. 7. Guru Kelompok B TK KKLKMD Sidomaju yang telah memberikan dukungan

dan membantu dalam pelaksanaan penelitian.

8. Kedua orang tua dan adik-adik penulis yang telah memberikan dukungan moril dan materil.

9. Teman-teman yang membantu dalam proses pengambilan data penelitian dan para sahabat yang selalu memberikan dukungan dalam penyelesaian Tugas Akhir Skripsi ini.

10. Semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat disebutkan di sini atas bantuan dan perhatiannya selama penyelesaian Tugas Akhir Skripsi ini.

Akhirnya, semoga segala bantuan yang telah diberikan semua pihak di atas menjadi amalan yang bermanfaat dan mendapatkan balasan dari Allah SWT dan Tugas Akhir Skripsi ini menjadi informasi bermanfaat bagi pembaca atau pihak lain yang membutuhkannya.

Yogyakarta, 16 Juni 2017 Penulis,

(10)

x

(11)

xi

4. Penilaian Keterampilan Berbicara ... 26

C. Penerimaan Teman Sebaya ... 28

1. Teori Perkembangan Sosial ... 28

2. Pengertian Penerimaan Teman Sebaya ... 32

3. Perkembangan Penerimaan Teman Sebaya... 34

4. Kategori Penerimaan Teman Sebaya ... 36

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 58

1. Deskripsi Data Hasil Observasi Keterampilan Berbicara ... 58

2. Deskripsi Hasil Sosiometri Penerimaan Teman Sebaya ... 60

3. Deskripsi Data Hasil Observasi Penerimaan Teman Sebaya ... 63

4. Pengujian Persyaratan Analisis ... 65

5. Pengujian Hipotesis ... 66

B. Pembahasan ... 67

(12)

xii BAB V SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan ... 76

B. Implikasi ... 76

C. Saran ... 77

DAFTAR PUSTAKA ... 79

(13)

xiii

DAFTAR TABEL

hal Tabel 1. Kisi-kisi Instrumen Lembar Observasi Keterampilan Berbicara dan

Penerimaan Teman Sebaya ... 54

Tabel 2. Pedoman untuk Memberikan Interpretasi Koefisien Korelasi ... 57

Tabel 3. Data Hasil Observasi Keterampilan Berbicara ... 58

Tabel 4. Rumus Kategori Keterampilan Berbicara ... 59

Tabel 5. Hasil Persentase Variabel Keterampilan Berbicara ... 59

Tabel 6. Data Hasil Sosiometri Penerimaan Teman Sebaya ... 61

Tabel 7. Data Hasil Observasi Penerimaan Teman Sebaya ... 63

Tabel 8. Rumus Kategori Penerimaan Teman Sebaya ... 64

(14)

xiv

DAFTAR GAMBAR

hal

Gambar 1. Skema Kerangka Pikir ... 47

Gambar 2. Pie Chart Persentase Kategori Keterampilan Berbicara ... 60

Gambar 3. Sosiogram Penerimaan Teman Sebaya Kelas B1 ... 62

Gambar 4. Sosiogram Penerimaan Teman Sebaya Kelas B2 ... 62

(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

hal

Lampiran 1. Surat Ijin Penelitian ... 82

Lampiran 2. Surat Keterangan Telah Melaksanakan Penelitian ... 83

Lampiran 3. Rubrik Penilaian Keterampilan Berbicara ... 84

Lampiran 4. Data Hasil Observasi Keterampilan Berbicara Kelas B1 ... 85

Lampiran 5. Data Hasil Observasi Keterampilan Berbicara Kelas B2 ... 87

Lampiran 6. Lembar Sosiometri ... 89

Lampiran 7. Data Hasil Sosiometri Kelas B1 ... 90

Lampiran 8. Data Hasil Sosiometri Kelas B2 ... 92

Lampiran 9. Data Hasil Observasi Penerimaan Teman Sebaya Kelas B1 ... 93

Lampiran 10. Data Hasil Observasi Penerimaan Teman Sebaya Kelas B2 ... 95

Lampiran 11. Data Penerimaan Teman Sebaya Kelompok B ... 97

Lampiran 12. Data Hasil Penelitian Variabel Keterampilan Berbicara dan Variabel Penerimaan Teman Sebaya Anak Kelompok B TK KKLKMD Sidomaju ... 98

Lampiran 13. Hasil Uji Normalitas ... 99

Lampiran 14. Hasil Uji Linieritas ... 100

(16)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Anak usia dini adalah anak yang berada pada rentang usia 0-6 tahun (UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas). Mansur (2005: 88) menambahkan bahwa anak usia dini adalah kelompok anak yang berada dalam proses pertumbuhan dan perkembangan yang bersifat unik. Masa usia dini sering disebut juga dengan masa keemasan atau golden age. Masa keemasan atau golden age ini hanya terjadi satu kali dalam perkembangan kehidupan manusia. Pada masa golden age, anak mudah menyerap berbagai pembelajaran yang diberikan kepadanya. Otak anak berkembang dengan sangat baik. Sebagai analoginya, anak ibarat spons yang mampu menyerap air tanpa peduli apakah air itu bersih atau kotor. Oleh karena itu, masa ini juga disebut dengan masa kritis untuk memperkenalkan dan menanamkan segala hal yang positif dan berguna bagi perkembangan anak dimasa selanjutnya melalui upaya pembinaan untuk anak usia dini.

(17)

2

dini antara lain aspek kognitif, fisik motorik, sosial emosional, bahasa, seni, serta nilai agama dan moral. Keenam aspek perkembangan tersebut harus distimulasi dengan baik agar anak dapat berkembang secara optimal.

Salah satu aspek yang penting untuk dikembangkan adalah aspek bahasa. Bahasa merupakan alat untuk dapat berkomunikasi atau berinteraksi dengan orang lain. Anak usia dini melakukan aktivitas berbahasa berupa mendengarkan dan berbicara (Suhartono, 2005: 7). Dari kedua aktivitas tersebut, berbicara menjadi aktivitas yang berkaitan dengan aspek sosial anak. Berbicara merupakan suatu penyampaian maksud yang berupa ide atau pikiran seseorang kepada orang lain secara lisan sehingga orang lain dapat mengerti apa yang dipikirkan oleh seseorang (Suhartono, 2005: 20).

Menurut Hurlock (2000: 178), bicara dapat mempengaruhi penyesuaian sosial dan pribadi anak. Anak yang berbicara cukup baik dan dengan keyakinan dapat mempengaruhi teman sebayanya untuk berbuat seperti yang dikehendakinya. Kelompok-kelompok anak di Taman Kanak-kanak belum mempunyai aturan-aturan, namun sering terlihat bahwa anak cenderung menirukan anggota kelompok yang paling aktif dan paling berkuasa (Monks, K. & S. R. Haditono, 2006: 184). Salah satu karakteristik anak yang akan menjadi pemimpin adalah kemampuan bicaranya lebih baik daripada anggota kelompok lainnya.

(18)

3

dan keinginannya melalui kata-kata verbal. Misalnya, ketika anak ingin meminta atau meminjam sesuatu milik teman yang lain, anak langsung merebut tanpa meminta atau meminjam sesuatu tersebut dengan cara maupun kata-kata yang baik. Oleh karena itu, anak mendapat perlakuan yang berbeda dari teman-teman yang lain. Anak cenderung ditolak dan terisolir dari teman sebayanya. Penolakannya berupa anak tidak diajak bermain, saat bermain anak disisihkan oleh teman-temannya, tidak dipilih saat kegiatan kelompok, atau teman yang lain tidak mau berbagi dengan anak tersebut.

Hasil observasi lain menunjukkan terdapat anak perempuan yang pendiam dan sering menyendiri. Ketika istirahat anak hanya berdiri di depan pintu kelas dan mengamati teman yang lain bermain tanpa ikut bergabung dengan teman sebayanya. Anak cenderung pasif dalam pertemanan dan tidak mau memulai percakapan dengan teman. Ketika di dalam kelas pun pada saat pembelajaran, anak terlihat tidak pernah berbicara dengan teman-teman di kelasnya. Jika tidak diajak berbicara terlebih dahulu, anak tidak mau berbicara bahkan terkadang ditanya pun hanya menjawab dengan senyuman atau diam saja. Anak tersebut mendapat pengabaian dari teman sebayanya. Dari hasil wawancara dengan guru kelompok B, guru beranggapan bahwa sebenarnya teman yang lain menerima anak tersebut, namun teman yang lain enggan jika harus memulai percakapan terus-menerus dengan anak tersebut.

(19)

4

teman. Berdasarkan hasil observasi anak-anak tersebut terlihat senang berbicara atau bercerita dengan teman sebayanya pada saat istirahat atau sebelum pembelajaran dimulai. Pada saat pembelajaran pun anak aktif bertanya dan menjawab pertanyaan dari guru. Selain itu, pada saat istirahat anak-anak tersebut juga dapat berbaur dan bermain bersama anak-anak kelompok A. Dari hasil wawancara dengan guru kelompok B, anak-anak tersebut memang pandai bercerita dan aktif bertanya atau mengungkapkan pendapatnya pada saat kegiatan pembelajaran berlangsung serta pandai bergaul dengan teman-teman yang lain.

(20)

5

Perkembangan sosial dan kepribadian mulai dari usia prasekolah sampai akhir masa sekolah ditandai dengan meluasnya lingkungan sosial (Monks, K. & S. R. Haditono, 2006: 183). Anak-anak mulai belajar melepaskan diri dari keluarga dan mendekatkan diri pada orang-orang di luar anggota keluarga termasuk teman sebaya. Anak usia dini yang sudah memasuki usia prasekolah mempunyai kontak yang intensif dengan teman-teman sebayanya. Teman sebaya memiliki fungsi penting bagi anak. Salah satu fungsi terpenting teman sebaya adalah memberikan sumber informasi dan perbandingan tentang dunia di luar keluarga (Santrock, 2007: 205). Ketika anak berinteraksi dengan teman sebaya, anak mulai dapat mengenal adanya perbedaan pola pikir dan keinginan dari teman lainnya sehingga sifat egosentris anak semakin berkurang. Interaksi dengan teman sebaya ini dapat memenuhi kebutuhan sosioemosional dalam rangka pengembangan pengalaman sosial awal anak di luar rumah.

(21)

6

membandingkan dirinya (Yudrik Jahja, 2013: 195). Pengalaman sosial awal juga menentukan apakah anak akan menjadi sosial, tidak sosial, atau antisosial, dan apakah anak akan menjadi seorang pemimpin atau seorang pengikut (Hurlock, 2000: 257). Ketika anak memasuki sekolah, teman sebaya biasanya memiliki pengaruh yang lebih kuat dibandingkan dengan pengaruh guru atau orang tua.

Studi tentang perbedaan antara pengaruh teman sebaya dan pengaruh orang tua terhadap keputusan anak pada berbagai tingkat umur menemukan bahwa dengan meningkatnya umur anak, jika nasehat yang diberikan oleh keduanya berbeda, maka anak cenderung lebih terpengaruh oleh teman sebaya (Hurlock, 2000: 252). Hurlock juga mengungkapkan bahwa pengaruh yang kuat dari kelompok teman sebaya pada masa kanak-kanak akhir sebagian berasal dari keinginan anak untuk dapat diterima oleh kelompok dan sebagian lagi dari kenyataan bahwa anak menggunakan waktu lebih banyak dengan teman sebaya. Selain itu, pengaruh penting dari kelompok teman sebaya adalah terhadap konsep diri anak.

(22)

7

konsep dirinya sendiri. Ditolak atau diabaikan oleh teman sebaya membuat beberapa anak merasa kesepian dan dimusuhi (Santrock, 2007: 206). Pada mulanya anak tidak mengerti tingkah laku apa yang dipuji atau dihargai dan tingkah laku apa yang tidak dipuji atau dihargai untuk dapat diterima dalam suatu kelompok teman sebaya.

(23)

8 B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat diidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut.

1. Terdapat anak perempuan yang pendiam, sering menyendiri, dan mendapat pengabaian dari teman sebayanya.

2. Terdapat anak laki-laki yang belum dapat mengekspresikan emosi atau keinginannya melalui kata-kata verbal dan mendapat penolakan dari teman sebayanya.

3. Adanya perbedaan penerimaan teman dalam kelompok teman sebaya di Taman Kanak-kanak.

4. Hubungan keterampilan berbicara dengan penerimaan teman sebaya anak kelompok B di TK KKLKMD Sidomaju belum diketahui.

C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas peneliti lebih memfokuskan pada belum diketahuinya hubungan antara keterampilan berbicara dengan penerimaan teman sebaya anak kelompok B di TK KKLKMD Sidomaju.

D. Rumusan Masalah

(24)

9 E. Tujuan Penlitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan keterampilan berbicara dengan penerimaan teman sebaya anak kelompok B di TK KKLKMD Sidomaju.

F. Manfaat Hasil Penelitian

Hasil yang didapatkan dari penelitian ini dapat memberikan manfaat secara teoritis maupun secara praktis. Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Manfaat Praktis

Bagi pendidik hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan pertimbangan dalam penyusunan kegiatan pembelajaran serta pengembangan metode pembelajaran yang dapat mengembangan keterampilan berbicara dan meningkatkan tingkat penerimaan teman sebaya.

2. Manfaat Teoritis

a. Bagi lingkungan akademik hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan keilmuan terutama mengenai keterampilan berbicara yang berkaitan dengan penerimaan teman sebaya.

(25)

10

untuk mengadakan penelitian lanjutan yang berkaitan dengan masalah dalam penelitian ini.

c. Bagi pendidik hasil dari penelitian ini dapat menjadi dasar untuk memberikan intervensi agar anak dapat diterima terutama dalam pergaulan teman sebaya. Selain itu, hasil penelitian ini dapat dijadikan dasar untuk merancang program yang kaitannya dengan meningkatkan keterampilan berbicara untuk mendukung penerimaan teman sebaya.

(26)

11 BAB II

KAJIAN PUSTAKA A. Perkembangan Bahasa Anak Usia 5-6 Tahun 1. Pengertian Bahasa

Manusia dalam berkomunikasi dengan orang lain menggunakan bahasa. Bahasa adalah alat untuk berpikir, mengekspresikan diri, dan berkomunikasi (Ahmad Susanto, 2011: 74). Menurut Badudu (dalam Nurbiana Dhieni, dkk, 2005: 1.8) bahasa merupakan alat penghubung atau komunikasi antara anggota masyarakat yang terdiri dari individu-individu yang menyatakan pikiran, perasaan, dan keinginannya. Sejalan dengan Badudu, Bromley (dalam Nurbiana Dhieni, dkk, 2005) mendefinisikan bahasa sebagai sistem simbol yang teratur untuk mentransfer berbagai ide maupun informasi yang terdiri dari simbol-simbol visual maupun verbal. Simbol-simbol visual tersebut dapat dilihat, ditulis, dan dibaca sedangkan simbol-simbol verbal dapat diucapkan dan didengar. Anak dapat memanipulasi simbol-simbol tersebut dengan berbagai cara sesuai dengan kemampuannya dalam berpikir.

(27)

12

seseorang. Oleh karena itu, bahasa perlu distimulasi dan dikembangkan sejak usia dini agar kemampuannya dalam berkomunikasi dapat meningkat.

Menurut Nurbiana Dhieni, dkk (2005: 4.3 – 4.4) secara umum terdapat dua aspek pengembangan keterampilan berbahasa, yaitu aktif reseptif (menerima pesan) dan aktif produktif (menyampaikan pesan). Aktif reseptif terdiri dari menyimak/mendengarkan dan membaca sedangkan aktif produktif terdiri dari berbicara dan menulis. Pada usia Taman Kanak-kanak pengembangan bahasa yang penting diperhatikan dan distimulasi salah satunya adalah keterampilan berbahasa aktif produktif yang berupa kemampuan berbicara karena dengan berbicara anak dapat malakukan interaksi dan berkomunikasi dengan temannya. Anak perlu mengenal dan mengerti berbagai macam kosa kata agar dapat berkomunikasi dengan orang lain. Banyaknya kosa kata yang dimiliki anak akan mempengaruhi kemampuan berbicara anak.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa bahasa merupakan suatu alat atau sistem simbol yang teratur untuk menghubungkan pikiran atau ide, mengekspresikan diri, dan berkomunikasi dengan orang lain. Bahasa sangat penting dalam kehidupan sosial karena dengan bahasa orang lain akan mengerti atau dapat memaknai apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh seseorang. Selain itu, terdapat aspek pengembangan keterampilan berbahasa, yaitu aktif reseptif (menerima pesan) dan aktif produktif (menyampaikan pesan).

2. Teori Perkembangan Bahasa

(28)

13

pada temuan teori belajar bahasa Brown yang disebut ‘gudang penyimpanan’

yaitu anak-anak mengimitasi orang lain dan memperoleh sejumlah besar kalimat yang anak simpan dikepalanya. Sebaliknya, Chomsky membuktikan bahwa pandangan tersebut tidak benar. Manusia tidak hanya belajar sejumlah kalimat karena secara rutin seseorang selalu menciptakan kalimat-kalimat baru. Hal tersebut terjadi karena seseorang memiliki aturan-aturan internal yang membuat dirinya mampu menyusun kalimat sesuai aturan gramatika untuk menyatakan makna-makna yang dimaksudkan. Jika seseorang hanya menggunakan kalimat-kalimat yang sudah pernah didengar dan diingat, bahasa yang dimiliki tentunya menjadi terbatas. Seseorang memiliki sistem aturan tertentu sehingga dapat menemukan dan memahami kalimat-kalimat yang tidak pernah didengar sebelumnya (Crain, 2007: 517).

(29)

14

mengembangkan keterampilan bahasa dengan baik. Seorang pengamat menekankan kontribusi dari keduanya antara biologi dan pengalaman dalam perkembangan bahasa. Hal tersebut dapat dilihat ketika anak-anak secara biologis siap untuk belajar bahasa dan berinteraksi dengan pengasuhnya (Santrock, 2008: 57). Menurut Chomsky kemampuan anak belajar bahasa adalah sebuah kemampuan yang tidak bisa disamakan dengan kemampuan belajar sains, musik, dan lain sebagainya. Kemampuan ini sudah memiliki rancangan genetiknya sendiri (Crain, 2007: 522).

Menurut Sachs (dalam Crain, 2007: 528), sejak lahir bayi menggunakan gerakan-gerakan tubuh yang sangat halus sebagai respon kepada ucapan. Gerakan bayi menjadi beragam sesuai dengan ikatan suara dan kata-kata dari ucapan tersebut. Pada usia satu bulan, bayi mulai mendeguk dan menjekut. Pada usia enam bulan bayi biasanya mulai meraba, membuat suara-suara getaran bibir dan lidah seperti ‘ba ba ba’ atau ‘da da da’ (Crain, 2007: 528). Pada usia sekitar satu

(30)

15

Antara usia tiga sampai enam tahun, gramatika anak berubah dengan cepat menjadi cukup kompleks. Anak-anak dapat menguasai operasi-operasi pengubahan kalimat sekaligus. Chomsky (dalam Crain, 2007: 541) menyatakan bahwa jika anak belajar sistem gramatis yang luas dan rumit dengan caranya sendiri yang anak butuhkan hanyalah mendengar bahasa yang diucapkan kemudian anak akan menguasainya tanpa program pelatihan apa pun. Chomsky percaya bahwa anak dapat belajar bahasa secara spontan dan dengan caranya sendiri.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perkembangan bahasa anak dimulai dari menggerakan tubuh hingga dapat membentuk suatu kalimat yang terstruktur. Anak memiliki kemampuan untuk belajar bahasa dan kemampuan ini sudah memiliki rancangan genetiknya sendiri. Kemampuan bahasa anak memiliki dasar biologis sesuai dengan tahapan usianya. Anak dapat belajar bahasa secara spontan hanya dengan mendengar dari orang dewasa disekitarnya. Selain itu, anak juga dapat belajar bahasa dengan caranya sendiri tanpa ada program pelatihan khusus.

3. Indikator Perkembangan Bahasa 5-6 Tahun

(31)

16

belajar kalimat mulai dengan suku kata, seperti ma untuk sebutan ibu atau pa untuk sebutan ayah dan satu kata, seperti maem yang artinya meminta makan. Anak pada umumnya belajar nama-nama benda atau binatang sebelum kata-kata yang lain. Perkembangan bahasa anak akan terus meningkat pada usia dini. Anak usia 3 sampai 5 tahun rata-rata belajar 50 kata baru per bulan. Pada usia 5 tahun anak dapat menguasai 2932 kata dan meningkat pada usia 6 tahun anak memiliki sekitar 8000 sampai 14000 kosa kata (Mansur, 2005: 35).

Perkembangan berbicara dan berbahasa anak usia 5 sampai 6 tahun menurut Allen dan Marotz (2010: 151 dan 166) yaitu sebagai berikut:

a. Menguasai 1500 sampai 14000 kosakata atau lebih.

b. Menceritakan cerita yang dikenal ketika melihat gambar dari buku. c. Menyebutkan kegunaan sesuatu.

d. Mengenali dan menyebutkan 4 sampai 8 warna.

e. Memahami lelucon sederhana, mengarang lelucon, dan teka-teki.

f. Mengucapkan kalimat dengan 5 sampai 7 kata atau dapat juga kalimat yang lebih panjang.

g. Menyebutkan nama kota dimana dia tinggal, tanggal ulang tahun, dan nama orang tua.

h. Menjawab telepon dengan tepat, memanggil orang yang ditelepon, atau menerima pesan singkat.

i. Menggunakan kata “bolehkah saya” dengan tepat. j. Berbicara tanpa henti dan banyak bertanya.

k. Menggunakan bentuk kerja, urutan kata dan struktur kalimat yang tepat. l. Berbicara sendiri sambil menentukan langkah-langkah yang diperlukan. m. Senang menceritakan lelucon dan teka-teki.

n. Senang dibacakan cerita dan mengarang cerita. o. Mampu belajar lebih dari satu bahasa.

(32)

17

2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Anak Usia Dini, tingkat pencapaian perkembangan anak usia 5-6 tahun dibagi menjadi tiga lingkup perkembangan yaitu memahami bahasa, mengungkapkan bahasa, dan keaksaraan.

Lingkup perkembangan memahami bahasa terdiri dari mengerti beberapa perintah secara bersamaan; mengulang kalimat yang lebih kompleks; memahami aturan dalam suatu permainan; serta senang dan menghargai bacaan. Lingkup perkembangan mengungungkapkan bahasa terdiri dari menjawab pertanyaan yang lebih kompleks; menyebutkan kelompok gambar yang memiliki bunyi yang sama; berkomunikasi secara lisan, memiliki perbendaharaan kata, serta mengenal simbol-simbol untuk persiapan membaca, menulis dan berhitung; menyusun kalimat sederhana dalam struktur lengkap (pokok kalimat-predikat-keterangan); memiliki lebih banyak kata-kata untuk mengekspresikan ide pada orang lain; melanjutkan sebagian cerita/dongeng yang telah diperdengarkan; dan menunjukkan pemahaman konsep-konsep dalam buku cerita. Selanjutnya, lingkup perkembangan keaksaraan terdiri dari menyebutkan simbol-simbol huruf yang dikenal; mengenal suara huruf awal dari nama; menyebutkan kelompok gambar yang memiliki bunyi/huruf awal yang sama; memahami hubungan antara bunyi dan bentuk huruf; membaca nama sendiri; menuliskan nama sendiri; dan memahami arti kata dalam cerita.

(33)

18

pencapaian perkembangannya, berarti perkembangan bahasa anak sudah berkembang dengan sangat baik.

4. Komponen Perkembangan Bahasa

Komponen perkembangan bahasa anak meliputi fonologi, sintaksis, semantik, dan pragmatik (Tadkiroatun Musfiroh, 2005: 8). Fonologi merupakan sistem bunyi bahasa yang diucapkan dan bagaimana bunyi tersebut dilafalkan atau kemampuan untuk mengenal dan memproduksi suara. Fonologi mencakup bunyi-bunyi yang digunakan dan kaidah-kaidah tentang bagaimana mengkombinasikannya. Fonem adalah unit bunyi terkecil dalam bahasa, contohnya ‘cat’ memiliki tiga fonem yaitu ‘c’, ‘a’, dan ‘t’ (Upton, 2012: 106). Kemampuan bahasa yang lain yaitu sintaksis. Sintaksis merupakan kemampuan anak dalam menyusun kalimat. Menurut Upton (2012), sintaks adalah cara kata dikombinasikan untuk membentuk frasa-frasa dan kalimat-kalimat yang dapat diterima. Selain itu, terdapat juga semantik yaitu makna dari kata sehingga dalam berbahasa anak juga harus mampu memahami makna dari kata yang digunakan. Komponen perkembangan bahasa berikutnya yaitu pragmatik yang merupakan penggunaan bahasa secara tepat dalam komunikasi. Pada perkembangan pragmatik yang dimiliki anak adalah kemampuan memilih kata yang tepat dalam berkomunikasi agar dapat dimengerti oleh orang lain.

(34)

19

terkecil yang memiliki makna. Oleh karena itu, menurut Upton (2012) terdapat lima komponen perkembangan bahasa. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Bromley (dalam Nurbiana Dhieni, dkk, 2005: 3.4) terdapat lima komponen bahasa yang tidak berubah sekalipun terdapat perbedaan kecepatan dalam berbahasa pada anak. Kelima komponen tersebut sama dengan yang sudah diuraikan sebelumnya.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat lima komponen perkembangan bahasa anak. Kelima komponen perkembangan bahasa tersebut yaitu fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan pragmatik. Komponen-komponen tersebut perlu diperhatikan dalam menstimulasi perkembangan bahasa anak usia dini.

B. Keterampilan Berbicara

1. Pengertian Keterampilan Berbicara

(35)

20

Menurut Depdikbud (dalam Suhartono, 2005: 20), berbicara secara umum dapat diartikan suatu penyampaian maksud (ide, pikiran, gagasan, atau isi hati) seseorang kepada orang lain dengan menggunakan bahasa lisan sehingga maksud tersebut dapat dipahami oleh orang lain. Tarigan (dalam Suhartono (2005: 7) mengemukakan bicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan serta menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan. Bicara yaitu perilaku manusia yang dilandaskan pada pikiran dan perasaan yang diekspresikan melalui sistem bunyi bahasa dengan menggunakan alat-alat artikulasi (Sardjono, 2005: 7). Bicara merupakan salah satu alat komunikasi terpenting yang digunakan dalam hidup berkelompok atau bersosial (Rita Eka Izzaty, dkk, 2013: 107). Anak belajar bagaimana berbicara dengan baik dalam berkomunikasi dengan orang lain. Selanjutnya, menurut Hurlock (2000: 176) bicara adalah bentuk bahasa yang menggunakan artikulasi atau kata-kata yang digunakan untuk menyampaikan maksud. Bicara merupakan bentuk komunikasi yang paling efektif sehingga penggunaanya paling luas.

(36)

21

sarana untuk memperoleh kemandirian. Anak-anak yang tidak dapat mengemukakan keinginan dan kebutuhannya, atau yang tidak dapat berusaha agar dimengerti orang lain cenderung diperlakukan seperti bayi dan tidak berhasil memperoleh kemandirian yang diinginkan.

Bicara juga merupakan keterampilan mental-motorik. Berbicara tidak hanya melibatkan koordinasi kumpulan otot mekanisme suara yang berbeda, tetapi juga mempunyai aspek mental kemampuan mengaitkan arti dengan bunyi yang dihasilkan. Meskipun demikian, tidak semua bunyi yang dibuat anak dapat dipandang sebagai bicara. Sebelum anak dapat mengendalikan mekanisme otot syaraf untuk menimbulkan bunyi yang jelas, berbeda, dan terkendali, ungkapan suaranya merupakan bunyi artikulasi. Lebih lanjut, sebelum anak mampu mengaitkan arti dengan bunyi yang terkendali itu, tidak jadi soal betapa pun betulnya ucapan yang mereka keluarkan, pembicaraan mereka hanya “membeo”

karena kekurangan unsur mental dari makna yang dimaksud oleh anak (Hurlock, 2000: 176).

(37)

22 2. Peran Bicara dalam Komunikasi

Kemampuan berkomunikasi sangat penting untuk diajarkan pada anak sejak dini. Pada bayi, ketika bayi menemukan bahwa upaya awal untuk berkomunikasi dengan menangis atau dengan menggunakan isyarat tidak selalu dipahami, bayi memiliki motivasi yang kuat untuk belajar berbicara (Hurlock, 2000: 177). Anak berusaha belajar bicara karena bayi telah mengetahui bahwa bicara merupakan alat komunikasi yang lebih baik daripada tangisan, isyarat, dan bentuk prabicara lainnya yang telah bayi gunakan sebelumnya. Hurlock (2000) menyatakan bahwa dari banyak cara yang menunjukkan bicara memainkan peran penting dalam kehidupan anak yang paling penting adalah bagaimana bicara mempengaruhi penyesuaian sosial pribadi anak.

(38)

23

Bicara dapat berpengaruh terhadap pikiran dan perasaan orang lain. Anak-anak yang memberikan komentar menghina atau mengatakan hal-hal yang tidak menyenangkan tentang orang lain membuatnya tidak populer bagi temannya bermain dan bagi orang dewasa. Sebaliknya, mengatakan hal-hal yang menyenangkan, mempertinggi kesempatan anak-anak untuk diterima orang lain. Selain itu, bicara juga dapat berpengaruh terhadap perilaku orang lain. Anak yang berbicara cukup baik dan dengan keyakinan dapat mempengaruhi teman sebayanya untuk berbuat seperti yang dikehendakinya, lebih baik daripada anak yang berbicara ragu-ragu dan dengan perbendaharaan kata terbatas atau tata bahasanya jelek. Salah satu karakteristik anak yang akan menjadi pemimpin adalah kemampuan bicaranya lebih baik daripada anggota kelompok yang lainnya (Hurlock, 2000: 178).

Menurut Ridgeway, Waters, & Kuczas (dalam Santrock, 2007: 17) pada masa kanak-kanak awal kemampuan untuk berbicara mengenai emosi diri dan orang lain meningkat. Pada rentang usia 2-4 tahun, terjadi penambahan yang pesat mengenai jumlah istilah yang digunakan untuk menggambarkan emosi. Ketika menginjak usia 4-5 tahun, anak-anak mulai menunjukkan peningkatan dalam merefleksi emosi. Anak juga mulai memahami bahwa kejadian yang sama dapat menimbulkan perasaan yang berbeda terhadap orang yang berbeda. Lebih dari itu, anak juga mulai menunjukkan kesadaran bahwa mereka harus mengatur emosinya untuk memenuhi standar sosial untuk dapat diterima oleh orang lain.

(39)

24

orang lain, peran bicara yang paling penting adalah bagaimana bicara dapat mempengaruhi penyesuaian sosial pribadi anak. Dalam berbicara juga harus memperhatikan keadaan atau emosi orang lain agar tidak tersinggung dengan apa yang diucapkan serta mengatur emosi diri sendiri untuk memenuhi standar sosial. Keterampilan berbicara ini sangat diperlukan ketika anak bersosialisasi dengan orang lain terutama dengan kelompok teman sebaya.

3. Faktor-faktor yang Dijadikan Ukuran Kemampuan Berbicara

Berbicara bukan sekedar pengucapan kata atau bunyi, tetapi berbicara merupakan alat untuk mengekspresikan, menyatakan, menyampaikan, atau mengkomunikasikan pikiran, ide maupun perasaan (Nurbiana Dhieni, dkk, 2005: 3.5). Bicara adalah kegiatan komunikasi dua arah yang bertujuan untuk memberitahukan, melaporkan, menghibur, membujuk dan meyakinkan seseorang. Menurut Loban, Hunt, dan Cazda (dalam Muh. Nur Mustakim, 2005: 129-130) keterampilan berbicara anak usia 5 sampai 6 tahun dapat terlihat ketika anak suka berbicara pada seseorang dan sangat aktif bertanya. Terdapat beberapa faktor yang dapat dijadikan ukuran kemampuan berbicara seseorang yang terdiri dari aspek kebahasaan dan non kebahasaan.

(40)

25

berbicara akan mudah mengetahui maksud yang disampaikan. Penempatan tekanan atau intonasi, nada, sendi dan durasi yang sesuai akan menjadi daya tarik tersendiri dalam berbicara, bahkan hal tersebut merupakan salah satu faktor penentu dalam keefektifan berbicara. Pilihan kata yang digunakan saat berbicara sebaiknya yang memiliki makna dan sesuai dengan konteks kalimat. Ketepatan sasaran pembicaraan juga disesuaikan dengan konteks pembicaraan sehingga apa yang dibicarakan lebih mudah dipahami.

Aspek nonkebahasaan menurut Nurbiana Dhieni, dkk (2005) meliputi faktor-faktor sebagai berikut: (a) sikap tubuh, pandangan, bahasa tubuh, dan mimik yang tepat; (b) kesediaan menghargai pembicaraan maupun gagasan orang lain; (c) kenyaringan suara dan kelancaran dalam berbicara; (d) relevansi, penalaran dan penguasaan terhadap topik tertentu. Dalam berbicara harus bersikap wajar, tenang, dan tidak kaku. Wajar berarti berpenampilan apa adanya dan tidak dibuat-buat. Sikap tenang yang dimaksud adalah sikap dengan perasaan hati yang tidak gelisah, tidak gugup, dan tidak tergesa-gesa. Selain itu, dalam berbicara juga tidak boleh kaku, sebaiknya lebih luwes. Gerak-gerik dan mimik yang tepat juga berfungsi untuk membantu memperjelas atau menghidupkan pembicaraan.

(41)

26

yaitu tidak terlalu nyaring dan tidak terlalu lemah. Kelancaran dalam berbicara akan dapat mempermudah untuk menangkap isi pembicaraan yang disampaikan sedangkan relevansi, penalaran dan penguasaan terhadap topik tertentu yaitu hal yang disampaikan memiliki urutan yang runtut dan memiliki arti yang logis serta adanya saling keterkaitan atau hubungan dari hal yang disampaikan.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa berbicara merupakan alat untuk mengekspresikan, menyatakan, menyampaikan, atau mengkomunikasikan pikiran, ide maupun perasaan kepada orang lain. Terdapat beberapa faktor yang dijadikan ukuran kemampuan berbicara seseorang yang dibagi menjadi dua aspek yaitu aspek kebahasaan dan nonkebahasaan. Aspek kebahasaan terdiri dari empat faktor yaitu ketepatan ucapan, penempatan tekanan nada yang sesuai, pilihan kata (diksi), dan ketepatan sasaran pembicaraan sedangkan aspek nonkebahasaan juga terdiri dari empat faktor yaitu sikap tubuh, menghargai pembicaraan orang lain, kenyaringan suara dan kelancaran dalam berbicara, serta relevansi.

4. Penilaian Keterampilan Berbicara

(42)

Aspek-27

aspek yang dinilai melalui tes berbicara mencakup ketepatan lafal, kejelasan ucapan, kelancaran, dan intonasi.

Tes berbicara dapat dilakukan dengan cara pengulangan, hafalan, percakapan terpimpin, dan percakapan bebas atau wawancara (Sabarti Akhadiah, dkk, 1992/1993: 145-146). Pengulangan dapat dilakukan saat pembelajaran guru membacakan cerita pendek kemudian anak diminta untuk mengulanginya kembali. Hafalan dapat dilakukan dengan meminta anak menghafal do’a atau

sila-sila dalam pancasila. Percakapan terpimpin dapat dilakukan dengan meminta anak berdiskusi secara berkelompok dan membahas tema yang sudah ditentukan oleh guru sedangkan wawancara dapat dilakukan guru dengan melakukan percakapan atau tanya jawab dengan siswa. Selain menggunakan tes untuk dapat mengetahui keterampilan berbicara anak juga dapat menggunakan non tes yaitu dengan melakukan pengamatan atau observasi.

(43)

28 C. Penerimaan Teman Sebaya

1. Teori Perkembangan Sosial

Dalam perkembangan sosial dikenal dengan adanya teori psikososial yang dikembangkan oleh Erik Erikson. Terdapat delapan tahapan psikososial dari anak usia dini sampai dengan usia lanjut (Santrock, 2008: 73). Untuk anak usia dini terdapat empat tahapan sebagai berikut.

a. Trust vs mistrust (rasa percaya vs rasa tidak percaya)

Tahap ini terjadi pada tahun pertama kehidupan anak yaitu pada usia 0-1 tahun. Mengembangkan rasa percaya pada anak memerlukan kehangatan dan memelihara pengasuhan. Bayi harus belajar percaya kepada dirinya sendiri dan orang lain yang memenuhi kebutuhan dasarnya. Jika pengasuh menolak dan tidak konsisten, bayi akan melihat dunia adalah tempat yang berbahaya berisi orang-orang yang tidak dapat dipercaya (Riana Mashar, 2015: 52). Pengasuh utama merupakan agen sosial penting bagi bayi. Pengasuhan yang baik dapat memberikan hasil positif berupa perasaan nyaman dan sedikit ketakutan atau kekhawatiran pada bayi.

(44)

29

Erikson percaya bahwa pada bulan-bulan pertama kehidupannya, bayi memiliki sejenis empati fisik yang khusus dengan figur ibu. Contohnya, secara otomatis bayi dapat merasakan ibu sedang berada dalam kondisi tegang. Jika ibu merasa cemas bayi ikut merasa cemas, jika ibu merasa tenang bayi juga ikut merasa tenang. Interaksi-interaksi awal ini sangat mempengaruhi perilaku anak ke depan. Oleh karena itu, sangat penting untuk menjaga hubungan antarpribadi. Bayi perlu merasa bahwa pada dasarnya hubungan ini baik sehingga bayi merasa aman untuk menjadi dekat dengan orang lain (Crain, 2007: 432).

b. Autonomy vs shame and doubt (otonomi vs rasa malu dan ragu-ragu)

Tahap ini terjadi pada akhir masa bayi dan balita yaitu pada usia 1-3 tahun. Setelah memperoleh rasa percaya dalam pengasuhannya, anak mulai menemukan tingkah lakunya sendiri. Anak akan menegaskan atau menunjukkan kebebasan dan kemauannya sendiri. Jika anak dikendalikan terlalu banyak atau dihukum terlalu kasar, maka anak akan mengembangkan rasa malu dan keraguan. Anak harus belajar mandiri untuk makan dan mengenakan baju sendiri, merawat kesehatan sendiri, dan lain sebagainya. Kegagalan untuk meraih kemandirian dapat menyebabkan anak mengalami keraguan akan kemampuannya dan menimbulkan perasaan malu (Riana Mashar, 2015: 52). Orang tua merupakan agen sosial yang penting dalam tahap ini.

(45)

30

dengan kakinya sendiri dan mulai mengeksplorasi dunia dengan caranya sendiri. Otonomi muncul dari dalam yang berkaitan dengan kematangan biologis yang mempengaruhi kemampuan anak untuk melakukan hal-hal dengan caranya sendiri, misalnya berdiri di atas kaki sendiri, menggunakan tangannya sendiri, dan lain sebagainya. Sebaliknya rasa malu dan ragu-ragu datang dari kesadaran akan ekspektasi dan tekanan sosial (Crain, 2007: 436).

c. Initiative vs guilt (inisiatif vs rasa bersalah)

Tahap ini terjadi pada anak usia 3-6 tahun. Sebagai anak kecil yang pengalaman dunia sosialnya meluas, anak memiliki tantangan lebih daripada saat masih bayi. Untuk mengatasi tantangan ini, anak harus terlibat secara aktif dan berperilaku sesuai tujuan serta norma sosial yang berlaku agar dapat diterima oleh orang lain terutama teman sebayanya. Anak akan belajar berinteraksi dengan lebih banyak orang di luar anggota keluarganya. Oleh karena itu, anak harus dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya terutama teman sebaya sehingga anak dapat diterima dan tidak mengalami penolakan oleh teman sebayanya yang menyebabkan sosialisasi anak menjadi terbatas. Akan tetapi pada tahap ini, anak masih membutuhkan perhatian lebih dari orang tua untuk dapat bersosialisasi dengan orang lain diluar lingkungan keluarga karena anak belajar bersosialisasi dari orang tua dan anggota keluarga terlebih dahulu sebelum dapat bersosialisasi dengan orang lain sehingga pada tahap ini keluarga adalah agen sosial penting bagi anak (Riana Mashar, 2015: 52).

(46)

31

merawat tubuh dan barang-barang miliknya sendiri. Berkembangnya rasa tanggung jawab akan semakin meningkatkan inisiatif. Melalui inisiatif, anak dapat membuat rencana, menetapkan tujuan, dan mempunyai semangat untuk mencapainya (Crain, 2007: 437). Sebaliknya, anak-anak akan mengembangkan perasaan tidak nyaman maupun rasa bersalah jika anak tidak bertanggung jawab atau dibuat merasa cemas. Anak berusaha menerima tanggung jawab dalam kapasitasnya sebagai anak. Terkadang usaha mencapai tujuan atau aktivitas anak menimbulkan konflik dengan orang tua atau anggota keluarga yang lain dan konflik ini dapat menimbulkan rasa bersalah. Pemecahan yang berhasil dari krisis ini adalah keseimbangan. Anak harus mempertahankan kepekaannya berinisiatif dan belajar menghargai hak, keistimewaan, dan tujuan orang lain.

d. Industry vs inferiority (Kegigihan vs rendah diri)

Tahap ini terjadi pada anak usia sekolah dasar sampai pubertas atau awal masa remaja yaitu pada usia 6-12 tahun. Inisiatif anak-anak membawanya ke dalam kontak dengan berbagai macam pengalaman baru. Ketika anak pindah ke sekolah dasar, anak mengarahkan energinya terhadap penguasaan pengetahuan dan keterampilan intelektual. Tidak ada waktu anak-anak lebih antusias tentang belajar daripada masa akhir usia dini yaitu ketika imajinasi anak luas. Bahaya dalam tahun-tahun sekolah dasar adalah berkembangnya rasa rendah diri, tidak produktif, dan ketidakmampuan.

(47)

32

440). Kemampuan untuk industri (kegigihan) membuat anak merasa yakin dengan keterampilan sosial dan akademiknya sendiri, namun kegagalan akan memberi atribut penting yang menimbulkan perasaan inferior (rendah diri) sehingga pada tahap ini guru dan teman sebaya merupakan agen sosial penting (Riana Mashar, 2015: 52).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa teori psikososial yang dikemukakan oleh Erik Erikson terdapat empat tahapan untuk anak usia dini. Empat tahapan tersebut yaitu trust vs mistrust (rasa percaya vs rasa tidak percaya), autonomy vs shame and doubt (otonomi vs rasa malu dan ragu-ragu), initiative vs guilt (inisiatif vs rasa bersalah), dan industry vs inferiority (kegigihan

vs rendah diri). Untuk anak kelompok B yang berada pada rentang usia 5-6 tahun dapat dikatakan berada pada tahap keempat yaitu initiative vs guilt (inisiatif vs rasa bersalah). Pada usia ini, pengalaman sosial anak meluas sehingga anak harus terlibat secara aktif dan berperilaku sesuai tujuan serta norma sosial yang berlaku agar dapat diterima oleh orang lain terutama teman sebayanya. Anak harus dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya terutama teman sebaya sehingga anak dapat diterima dan tidak mengalami penolakan oleh teman sebayanya yang menyebabkan sosialisasi anak menjadi terbatas.

2. Pengertian Penerimaan Teman Sebaya

(48)

33

jenis kelamin yang berbeda (Singgih D. & Y. Singgih, 2006: 97). Teman sebaya pada umumnya adalah teman sekolah dan atau teman bermain di luar sekolah, seperti teman di lingkungan rumah (Rita Eka Izzaty, dkk, 2013: 113). Selanjutnya, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia teman sebaya diartikan sebagai kawan, sahabat, atau orang yang sama-sama bekerja atau berbuat. Jadi, teman sebaya adalah sekelompok anak yang memiliki beberapa kesamaan, baik dari segi usia, pola berfikir, minat, atau hal yang lain sehingga mereka memutuskan untuk membuat sebuah kelompok (peer group).

Sondra Birch dan Gary Ladd (dalam Ati Sumiati, 2010) menyatakan bahwa penerimaan teman sebaya adalah suatu indeks seberapa baik anak-anak masuk ke dalam jaringan sosial kelas. Menurut William M. Bukowski, Andrew F. Newcomb, dan Hartup (dalam Ati Sumiati, 2010), penerimaan kelompok teman sebaya mengacu pada sejauh mana seorang anak disukai atau diterima oleh anggota lain dari kelompok sebaya. Selain itu, Eric Bush, Garry Ladd and Sarah Herald (dalam Ati Sumiati, 2010) juga menyatakan bahwa penerimaan atau penolakan oleh kelompok teman sebaya didefinisikan sebagai sejauh mana individu yang disukai atau tidak disukai oleh rekan-rekan kelas dan diindeks dengan rata-rata peringkat sosiometrik yang diperoleh dari teman sekelas selama tahun pertama anak di Taman Kanak-kanak.

(49)

34

oleh anak-anak terdapat penerimaan teman sebaya yang berbeda-beda antara anggota kelompok. Penerimaan teman sebaya tersebut merupakan derajat seberapa besar anak disukai atau seberapa besar anak dapat diterima dalam suatu kelompok dan dipilih oleh teman sebayanya.

3. Perkembangan Penerimaan Teman Sebaya

Pengaruh teman sebaya sangat besar bagi arah perkembangan sosial anak baik yang bersifat positif maupun negatif. Pengaruh positif dapat terlihat pada pengembangan konsep diri dan pembentukan harga diri anak (Rita Eka Izzaty, dkk, 2013: 113). Pada saat baru lahir, bayi tidak suka bergaul dengan orang lain. Sosialisasi dalam bentuk perilaku yang suka bergaul dimulai pada bulan ketiga ketika bayi dapat membedakan antara manusia dan benda di lingkungan mereka serta menunjukkan reaksi yang berbeda terhadap keduanya (Hurlock, 2000: 259). Sebelum usia 2 tahun, anak terlibat permainan searah atau seorang diri meskipun terdapat beberapa anak lain bermain di ruangan yang sama dengan mainan yang sama interaksi sosial yang terjadi diantara anak sangat sedikit.

(50)

35

sudah dapat menunjukkan tingkat penerimaannya terhadap anak lain. Dari usia 5 tahun ke atas, anak laki-laki cenderung bergabung dengan kelompok yang lebih besar dibandingkan anak perempuan. Anak laki-laki juga cenderung berpartisipasi di dalam berbagai permainan kelompok yang lebih terorganisasi dibandingkan anak perempuan. Selain itu, anak laki-laki lebih suka terlibat permainan fisik, berkompetisi, berkonflik, memperlihatkan ego, berisiko, dan mencari dominasi. Sebaliknya, anak perempuan lebih suka terlibat dalam percakapan kolaboratif, dimana anak-anak berbicara dan bertindak secara timbal balik (Santrock, 2012: 288-289).

Setelah anak melewati hari-hari diantara lingkungan rumah atau lingkungan keluarga yang aman dalam rentang usia balita, selanjutnya anak akan diperkenalkan dengan dunia luar yang begitu menyenangkan bagi anak. Di luar rumah, anak akan menemukan banyak hal baru, aneh, dan menarik. Pada saat seperti itu, kebutuhan anak terhadap keberadaan seorang teman sangatlah besar (Irawati Istadi, 2007: 38). Anak ingin dirinya dapat diterima dengan baik di lingkungan barunya. Salah satu tugas perkembangan sosial pada awal masa kanak-kanak yang penting adalah memperoleh latihan dan pengalaman pendahuluan yang diperlukan untuk menjadi anggota kelompok dalam akhir masa kanak-kanak (Hurlock, 1980: 117). Perkembangan sosialisasi anak dapat dilihat melalui peningkatan hubungan antara anak dengan teman-teman sebayanya dari tahun ke tahun.

(51)

36

mulai belajar bersosialisasi dan keinginan untuk menjadi bagian dari kelompok sosial meningkat sehingga anak sedikit demi sedikit menghilangkan sifat egosentrisnya. Barker dan Wright (dalam Santrock, 2002: 347) menyatakan bahwa dalam suatu investigasi mengetahui anak-anak berinteraksi dengan teman sebaya 10% dari waktu siang pada usia 2 tahun, 20% pada usia 4 tahun, dan lebih dari 40% pada usia 7 dan tahun.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa semakin bertambahnya usia anak maka keinginan berinteraksi dan diterima oleh teman sebaya juga meningkat. Perkembangan sosialisasi anak dapat dilihat melalui peningkatan hubungan antara anak dengan teman-teman sebayanya dari tahun ke tahun. Teman sebaya memiliki pengaruh sangat besar bagi arah perkembangan sosial anak baik yang bersifat positif maupun negatif.

4. Kategori Penerimaan Teman Sebaya

Penerimaan sosial sangat penting bagi anak terutama dalam kaitannya dengan hubungan teman sebaya. Penerimaan sosial berarti dipilih sebagai teman untuk suatu aktivitas dalam kelompok dimana seseorang menjadi anggota kelompok tersebut (Hurlock, 2000: 293). Oleh karena itu, penerimaan sosial menjadi dasar penerimaan anak dalam kelompok teman sebaya. Menurut Hurlock (2000: 294) penerimaan sosial dapat dikategorikan sebagai berikut.

a. Star

(52)

37

menonjol. Akan tetapi hanya sedikit anak yang termasuk dalam kategori ini. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Wentzel & Asher (dalam Santrock, 2007: 211) terdapat pembagian status teman sebaya anak, salah satunya adalah anak populer.

Anak populer sering dinominasikan sebagai sahabat. Menurut Hartup (dalam Santrock, 2007: 211), anak populer memiliki sejumlah kemampuan sosial yang membantunya dapat disukai oleh teman lain. Sebuah penelitian telah menemukan bahwa anak yang populer dapat menguatkan, mendengarkan lebih baik, memelihara jalur komunikasi yang terbuka dengan sebaya, bahagia, dapat mengendalikan emosi negatif, menjadi dirinya sendiri, menunjukkan antusiasme dan kepedulian pada orang lain, serta lebih percaya diri tanpa memuji diri sendiri. Anak-anak yang memberikan banyak bantuan (reinforcement) seringkali lebih populer (Santrock, 2002: 347). Begitu juga dengan anak yang dapat mendengarkan degan baik anak-anak lain dan memelihara jalur-jalur komunikasi yang terbuka. Seperti yang dikemukakan oleh Kenned (dalam Santrock, 2002: 347) hasil dari suatu studi, anak-anak yang populer cenderung berkomunikasi secara lebih jelas, dapat menarik perhatian, dan lebih memelihara percakapan dengan teman-teman sebayanya dibanding dengan anak-anak yang tidak populer. b. Accepted

(53)

38

kategori ini sama dengan anak yang mendapat status sebaya sebagai anak rata-rata. Anak rata-rata ini adalah anak yang menerima nominasi positif dan negatif rata-rata dari sebayanya untuk diterima secara umum. Anak memiliki banyak teman, namun tidak sebanyak anak-anak populer.

c. Isolate

Anak isolate tidak mempunyai sahabat diantara teman sebayanya. Hanya sedikit anak yang termasuk dalam kategori ini. Ada dua jenis anak kategori isolate yaitu voluntary isolate dan involuntary isolate. Voluntary isolate adalah anak yang menarik diri dari kelompok karena kurang memiliki minat untuk menjadi anggota kelompok atau untuk mengikuti aktivitas kelompok. Sebaliknya, anak involuntary isolate adalah anak yang ditolak oleh kelompok meskipun anak ingin menjadi anggota kelompok tersebut. Anak involuntary isolate yang subjektif mungkin beranggapan bahwa dia tidak dibutuhkan dan menjauhkan diri dari kelompok sedangkan anak involuntary isolate yang objektif benar-benar ditolak oleh kelompok. Anak dalam kategori ini sama dengan anak yang mendapat status sebaya sebagai anak yang ditolak.

(54)

39

Buhs & Ladd (dalam Santrock, 2007: 211) suatu studi terbaru menemukan bahwa di TK, anak-anak yang ditolak oleh sebayanya cenderung kurang terlibat dalam partisipasi di kelas, lebih cenderung mengutarakan keinginan untuk menghindari sekolah, dan cenderung lebih sering merasa kesepian dibanding anak-anak yang diterima oleh teman-teman sebayanya.

d. Fringer

Fringer adalah anak yang terletak pada garis batas penerimaan. Anak berada pada posisi genting karena anak dapat kehilangan penerimaan yang diperoleh melalui tindakan atau ucapan tentang sesuatu yang dapat menyebabkan kelompok berbalik menentangnya. Anak dalam kategori ini sama dengan anak yang mendapat status sebaya sebagai anak yang diabaikan. Anak yang diabaikan adalah anak yang jarang dinominasikan sebagai sahabat tetapi tidak dibenci oleh sebayanya. Anak yang diabaikan terlibat dalam tingkat interaksi yang rendah dengan sebayanya dan sering digambarkan sebagai seorang yang pemalu oleh sebaya. Anak-anak yang diabaikan ini menerima sedikit perhatian dari teman-teman sebayanya, tetapi bukan berarti anak tidak disukai oleh teman-teman-teman-teman sebayanya (Santrock, 2002: 347).

e. Climber

(55)

40

bertentangan dengan anggota kedua kelompok tersebut. Anak dalam kategori ini sama dengan anak dalam kategori fringer yang mendapat status sebaya sebagai anak yang diabaikan.

f. Neglected

Neglected adalah anak yang tidak disukai tetapi juga tidak dibenci. Anak neglected diabaikan karena pemalu, pendiam, dan tidak termasuk kategori tertentu. Anak hampir tidak memberikan apa-apa sehingga anggota kelompok mengabaikannya. Anak dalam kategori ini sama dengan anak yang mendapat status sebaya sebagai anak yang kontroversial. Anak kontroversial adalah anak yang sering dinominasikan sebagai teman baik seseorang tetapi juga sebagai orang yang tidak disukai. Anak kontroversial memiliki banyak ciri pada anak populer maupun anak yang ditolak. Oleh karena itu, sebagian teman menyukainya dan sebagian lagi tidak menyukainya.

Pada dasarnya kategori penerimaan sosial menurut Hurlock (2000) dan status sebaya menurut para ahli dalam Santrock (2002) memilliki kesamaan. Kategori penerimaan sosial tersebut memiliki kesamaan ciri pada anak yang disukai maupun yang tidak disukai. Star sama dengan populer, accepted sama dengan rata-rata, isolate sama dengan ditolak, neglected sama dengan diabaikan serta fringer dan climber merupakan bagian dari kontroversi.

(56)

41

komunikasi yang terbuka dengan sebaya, bahagia, dapat mengendalikan emosi negatif, menjadi dirinya sendiri, menunjukkan antusiasme dan kepedulian pada orang lain, lebih percaya diri tanpa memuji diri sendiri, memberikan banyak bantuan, mendengarkan degan baik anak-anak lain berkomunikasi secara lebih jelas, dapat menarik perhatian, dan lebih memelihara percakapan dengan teman-teman sebayanya. Anak yang ditolak adalah anak yang cenderung lebih bersifat mengganggu dan agresif, kurang terlibat dalam partisipasi di kelas atau kurang aktif, terlibat dalam tingkat interaksi yang rendah dengan sebayanya, pemalu, dan pendiam.

5. Pola Perilaku Penerimaan Teman Sebaya

Pola perilaku dalam situasi sosial banyak yang tampak tidak sosial atau bahkan antisosial, tetapi dalam kenyataannya masing-masing tetap penting bagi proses sosialisasi. Jika lingkungan semakin meluas serta anak tidak mempunyai perlindungan dan bimbingan dari orang tua pada masa bayi, landasan yang diletakkan pada masa kanak-kanak awal akan menentukan cara anak menyesuaikan diri dengan orang dan situasi sosial (Hurlock, 2000: 262). Pola perilaku sosial pada masa kanak-kanak awal yaitu antara lain sebagai berikut.

a. Kerjasama

(57)

42 b. Kemurahan hati

Kemurahan hati sebagaimana terlihat pada kesediaan untuk berbagi sesuatu dengan anak lain meningkat dan sikap mementingkan diri sendiri semakin berkurang setelah anak belajar bahwa kemurahan hati menghasilkan penerimaan sosial.

c. Simpati

Anak tidak mampu berperilaku simpati sampai mereka pernah mengalami situasi yang mirip dengan dukacita. Mereka mengekspresikan simpati dengan berusaha menolong atau menghibur seseorang yang sedang bersedih.

d. Empati

Empati kemampuan untuk meletakkan diri sendiri dalam posisi orang lain dan menghayati pengalaman orang tersebut. Hal ini hanya berkembang jika anak dapat memahami ekspresi wajah atau maksud pembicaraan orang lain. e. Sikap ramah

Anak memperlihatkan sikap ramah melalui kesediaan melakukan sesuatu untuk orang lain atau bersama anak lain dan mengekspresikan kasih sayang kepada mereka.

(58)

43

sebayanya tidak menunjukkan pola perilaku sosial pada anak, berarti anak mendapat penolakan dari teman sebayanya. Anak yang memiliki pola perilaku prososial akan mendapatkan pola perilaku prososial juga dari teman yang lain.

D. Penelitian yang Relevan

1. Penelitian yang dilakukan oleh Glynis, dkk (2012) dari University of Bristol, UK pada anak sekolah dasar menunjukkan hasil bahwa kebanyakan

anak-anak dengan kesulitan bahasa dan komunikasi mengalami penolakan pertemanan atau menerima proporsi respon negatif lebih daripada teman sekelas yang umum. Penerimaan teman sebaya dikaitkan dengan tingkat keparahan anak-anak yang mengalami kesulitan bahasa dan komunikasi sosial. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan seseorang dalam berbahasa maupun berbicara sangat penting kaitannya dengan interaksi sosial dan penerimaan teman sebaya.

(59)

44

mempertahankan hubungan dengan wacana yang berlangsung serta ditandai dengan timbal balik, atau berbelok untuk tanggap terhadap lawan bicaranya.

E. Kerangka Pikir

Dalam kehidupan sosial komunikasi antar individu sangatlah penting untuk dapat saling berinteraksi satu sama lain. Agar dapat berkomunikasi dengan orang lain dibutuhkan kemampuan berbahasa yang baik. Kemampuan berbahasa anak dapat dilihat salah satunya dari keterampilan anak dalam berbicara. Berbicara merupakan suatu penyampaian maksud yang berupa ide atau pikiran seseorang kepada orang lain secara lisan sehingga orang lain dapat mengerti apa yang dipikirkan oleh seseorang (Suhartono, 2005: 20). Terdapat beberapa faktor yang dapat dijadikan ukuran kemampuan berbicara seseorang yang terdiri dari aspek kebahasaan dan non kebahasaan. aspek kebahasaan dan non kebahasaan. Menurut Nurbiana Dhieni, dkk (2005) aspek kebahasaan meliputi faktor-faktor sebagai berikut: (a) ketepatan ucapan; (b) penempatan tekanan, nada, sendi, dan durasi yang sesuai; (c) pilihan kata; (d) ketepatan sasaran pembicaraan sedangkan aspek nonkebahasaan meliputi faktor-faktor sebagai berikut: (a) sikap tubuh, pandangan, bahasa tubuh, dan mimik yang tepat; (b) kesediaan menghargai pembicaraan maupun gagasan orang lain; (c) kenyaringan suara dan kelancaran dalam berbicara; (d) relevansi, penalaran dan penguasaan terhadap topik tertentu.

(60)

45

tepat dan jelas. Jika anak mampu mengucapkan bunyi dengan jelas saat berbicara, maka orang lain (teman sebaya) yang diajak berbicara akan mudah mengetahui maksud yang disampaikan. Selanjutnya, penempatan tekanan atau intonasi, nada, sendi dan durasi yang sesuai akan menjadi daya tarik tersendiri dalam berbicara, bahkan merupakan salah satu faktor penentu dalam keefektifan berbicara. Jika anak mampu menyampaikan pesan dengan intonasi yang tepat, maka teman sebaya sebagai penerima pesan dapat memahami maksud yang disampaikan. Selain itu, durasi yang tepat saat menyampaikan pesan juga dapat membuat teman sebaya tidak bosan saat mendengarkan apa yang sedang disampaikan.

(61)

46

perbendaharaan kata terbatas atau tata bahasanya jelek dapat menerima penolakan dari teman sebayanya.

Ketepatan sasaran pembicaraan penting untuk disesuaikan dengan konteks pembicaraan sehingga apa yang dibicarakan lebih mudah dipahami oleh teman sebaya. Selain itu, dalam berbicara harus memperhatikan sikap. Sikap yang dimaksud adalah sikap tenang dengan perasaan hati yang tidak gelisah, tidak gugup, dan tidak tergesa-gesa dalam berbicara sehingga teman yang diajak bicara lebih merasa nyaman melakukan pembicaraan. Sebaliknya, gerak-gerik dan mimik yang tepat juga dapat berfungsi untuk membantu memperjelas atau menghidupkan pembicaraan.

(62)

47

adanya saling keterkaitan atau hubungan dari hal yang disampaikan sehingga teman sebaya akan lebih mudah memahami apa yang dimaksud.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa keterampilan berbicara sangat diperlukan dalam hubungan sosial karena dengan berbicara anak dapat berkomunikasi dan menjalin interaksi dengan orang lain terutama kelompok teman sebaya. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Rita Eka Izzaty, dkk (2013: 107) bahwa bicara merupakan salah satu alat komunikasi terpenting yang digunakan dalam hidup berkelompok atau bersosial. Salah satu karakteristik anak yang akan menjadi pemimpin adalah kemampuan bicaranya lebih baik daripada anggota kelompok lainnya. Oleh karena itu, anak-anak yang kemampuan bicaranya tinggi dan pandai berkomunikasi dengan orang lain akan lebih mudah diterima oleh teman sebayanya. Sebaliknya, anak yang keterampilan bicaranya rendah, pendiam dan tidak pandai berkomunikasi dengan orang lain akan sulit diterima oleh teman sebayanya atau dapat dikatakan penerimaan teman sebayanya rendah, bahkan dapat mengalami penolakan sehingga sosialisasi anak menjadi terbatas.

Berdasarkan paparan di atas dapat dibuat skema kerangka pikir dalam penelitian ini dengan gambaran sebagai berikut:

Gambar 1. Skema Kerangka Pikir

Keterampilan Berbicara (x)

Penerimaan Teman

(63)

48 F. Hipotesis

(64)

49 BAB III

METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian

Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif didasari oleh filsafat positivisme yang menekankan

fenomena-fenomena objektif dan dikaji secara kuantitatif (Nana Syaodih Sukmadinata, 2010: 53). Maksimalisasi objektivitas desain penelitian ini dilakukan dengan menggunakan angka-angka, pengolahan statistik, struktur, dan percobaan terkontrol. Selanjutnya, jenis penelitian pada penelitian ini adalah penelitian korelasi. Penelitian korelasi yaitu suatu penelitian yang melibatkan tindakan pengumpulan data guna menentukan apakah ada hubungan dan tingkat hubungan antara dua variabel atau lebih (Sukardi, 2003: 166). Penelitian korelasional biasanya dilakukan dengan tujuan untuk melihat hubungan antardua gejala atau lebih. Hubungan antara satu dengan beberapa variabel yang lain dinyatakan dengan besarnya koefisien korelasi dan keberartian (signifikansi) secara statistik. Adanya hubungan dan tingkat variabel ini penting karena dengan mengetahui tingkat hubungan yang ada, peneliti akan dapat mengembangkannya sesuai dengan tujuan penelitian.

B. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian

(65)

50

untuk melakukan penelitan di TK KKLKMD Sidomaju dikarenakan peneliti menemukan permasalahan yang berkaitan dengan penerimaan teman sebaya. 2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 7 Maret 2017 sampai dengan 18 Maret 2017 pada semester dua tahun ajaran 2016/2017.

C. Populasi Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian populasi yang berarti subjek penelitian adalah jumlah keseluruhan populasi. Seluruh siswa menjadi subjek penelitian tanpa dipilih secara acak. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anak kelompok B di TK KKLKMD Sidomaju yang berjumlah 35 anak dengan rincian 21 anak di kelas B1 dan 14 anak di kelas B2. Usia anak berada pada rentang 5 tahun 4 bulan sampai 6 tahun 9 bulan dengan rincian 15 anak berjenis kelamin perempuan dan 20 anak berjenis kelamin laki-laki.

D. Variabel Penelitian

Variabel adalah suatu atribut, sifat, atau nilai dari orang, obyek, atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2013: 38). Dalam penelitian ini terdiri dari dua variabel yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Variabel tersebut dijelaskan sebagai berikut:

1. Variabel bebas (independent)

(66)

51

sebab timbulnya variabel dependen atau terikat (Sugiyono, 2013: 39). Variabel bebas pada penelitian ini adalah keterampilan berbicara (X).

2. Variabel terikat (dependent)

Variabel terikat atau yang sering disebut juga sebagai output, kriteria, konsekuen adalah variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat karena adanya variabel bebas atau independen (Sugiyono, 2013: 39). Variabel terikat pada penelitian ini adalah penerimaan teman sebaya (Y).

E. Definisi Operasional 1. Keterampilan Berbicara

(67)

52 2. Penerimaan Teman Sebaya

Penerimaan teman sebaya merupakan derajat seberapa besar anak disukai atau seberapa besar anak dapat diterima dalam suatu kelompok dan dipilih oleh teman sebayanya. Dalam penelitian ini, dengan kata lain penerimaan teman sebaya merupakan banyak sedikitnya teman yang memilih dan atau menerima anak sebagai teman. Jika teman sebayanya menunjukkan pola perilaku sosial pada anak, berarti anak mendapatkan penerimaan dari teman sebayanya. Pola perilaku sosial tersebut antara lain teman mau bekerjasama, kesediaan teman untuk berbagi, mendapat simpati dari teman, mendapat empati dari teman, dan mendapat keramahan dari teman.

F. Teknik Pengumpulan Data 1. Observasi

(68)

53

sosiometri. Observasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah observasi nonpartisipatif, yaitu pengamat tidak ikut serta dalam kegiatan, hanya berperan mengamati kegiatan yang sedang berlangsung.

2. Sosiometri

Sosiometri ini dijadikan teknik pengumpulan data utama untuk mengetahui penerimaan teman sebaya anak kelompok B di TK KKLKMD Sidomaju. Anak-anak kelompok B akan diberi lembar sosiometri dan ditanya satu persatu siapa teman yang paling disukai untuk diajak bermain. Setelah itu, anak mengisi lembar sosiometri dengan cara memberi tanda silang (X) pada kotak yang ada di bawah foto teman yang disukai tersebut.

G. Instrumen Penelitian 1. Lembar Observasi

Gambar

Tabel 1. Kisi-kisi Instrumen Lembar Observasi Keterampilan Berbicara dan
Tabel 2. Pedoman untuk Memberikan Interpretasi Koefisien Korelasi
Tabel 3. Data Hasil Observasi Keterampilan Berbicara
Gambar 2. Pie Chart Persentase Kategori Keterampilan Berbicara
+6

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan keterampilan berbicara anak melalui metode bercerita bergambar pada anak didik Taman Kanak-kanak Gebang I Kecamatan Masaran

Cara meningkatkan keterampilan proses sains dengan metode guided discovery pada anak kelompok B TK Salafiyah Pleret Bantul yaitu guru memberikan kesempatan lebih banyak untuk

N o Nama Anak Indikator Berbicara dengan ucapan yang jelas dan tidak cedal Menggunakan intonasi yang tepat ketika berbicara. Memiliki kosaka kata

kemampuan dasar yang mudah dipahami oleh anak, 2) jika judul tema tidak sesuai dengan indikator, tetapi pembelajaran lebih menarik perhatian dari anak, 3)

Adapun keberhasilan tersebut dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: (1) penjelasan langkah-langkah dalam menganyam lebih diperjelas dengan cara anak- anak

Pembelajaran dengan kelompok dapat mengajarkan kepada anak untuk mampu berprilaku sesuai dengan aturan atau norma yang berlaku pada kelompok tersebut, dimana pembelajaran

Untuk anak yang masih berada dalam kriteria kurang baik (Mulai Berkembang/MB), sebaiknya guru memberi tindakan lebih pada tiga anak tersebut supaya pada siklus

3.2 Pembahasan Berdasarkan hasil observasi bahwa tari kreasi dapat meningkatkan keterampilan sosial anak hal ini terbukti bahwa hasilnya sebagai berikut: Hasil observasi yang telah