SKILL QUESTIONING DALAM INVOLUSI LITERASI
Heri Susanto
SMP Negeri 2 Sambungmacan
Plumbon, Sambungmacan, Sragen 57253 Jawa Tengah e-mail: time.heri@gmail.com
Abstrak
Makalah ini bertujuan memberikan sumbang pemikiran dalam menangkal involusi literasi dengan keterampilan bertanya. Simptom involusi literasi merupakan dampak pembelajaran yang belum mengarahkan kemampuan pembelajar untuk memahami dan menganalisis makna dan fungsi sosial teks dengan parameter pikiran kritis. Pembelajaran dengan perspektif kritis dapat ditumbuhkan melalui skill questioning dalam kelas. Skill questioning ditekankan untuk menangkal involusi literasi agar siswa terbiasa menyerap informasi yang esensial dan relevan. Melalui pembelajaran yang berkelanjutan dan kolaboratif lintas mata pelajaran, siswa akan terlatih sehingga questioning akan membudaya pada siswa.
Kata kunci: taksonomi Bloom, bertanya, involusi, literasi
A. Pendahuluan
Perpustakaan sekolah sejatinya telah diberi perhatian pemerintah dengan kuota anggaran
bantuan operasional sekolah untuk perpustakaan dengan harapan sekolah berupaya memperbaiki
dan menstandarkan perpustakaan agar memiliki fasilitas yang cukup. Akan tetapi, menurut
Saryono (2015: 10) dalam skala makro perpustakaan telah ditinggalkan penggunanya. Salah satu
penyebabnya adalah laju informasi dari internet sangat gencar. Kemudahan akses internet
menjadikannya kebutuhan referensi instan informasi. Akses informasi dapat dengan leluasa
dilakukan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi (gadget). Kemudahan tersebut
berdampak pada generasi yang dibesarkan dalam masyarakat dengan penggunaan teknologi
informasi yang mendominasi berbagai bidang. Akibatnya, para siswa sekarang jarang untuk
membuka apalagi membaca buku konvensional.
Fenomena yang demikian perlu disikapi yang menurut Prajarto (2015: 9) dengan
“pendidikan berbasis literasi”. Pendidikan berbasis literasi dapat diimplementasikan guru untuk
mendidik siswa supaya mahir bertanya dan menjawab pertanyaan tentang teks yang dihadapi.
mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa. Bagi siswa, bertanya
merupakan berguna untuk menggali informasi, menginformasikan yang belum diketahui, dan
mengarahkan fokus pada minat. Bertanya merupakan metode klasik tetapi masih kekinian
diaplikasikan dengan berbagai modifikasi dalam pembelajaran.
Oleh karena itu, makalah ini bermaksud memberikan sumbang pemikiran menangkal
involusi literasi dalam kelas melalui keterampilan bertanya. Makalah ini secara konseptual
membahas skill questioning yang dapat diimplementasikan dalam pembelajaran untuk
meningkatkan produktivitas berbahasa siswa dengan mendasarkan pada beberapa teori dengan
elaborasi konseptual berbasis kasus-kasus sederhana. Sebagaimana dikatakan Barringer et.al.
(2010: 141) bahwa aktivitas belajar (termasuk menulis dan membaca) siswa lebih banyak
dilakukan untuk menjawab pertanyaan berhubungan dengan tugas. Banyaknya tugas menjawab
pertanyaan, perlu disikapi dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan menuju tingkat berpikir
yang tinggi.
B. Involusi Literasi Generasi Native Gadget
Generasi yang lahir 1994 sampai dengan sekarang dibesarkan dalam hegemoni
penggunaan teknologi informasi dikenal dengan “generasi internet, platinum atau the native
gadget yang merepresentasikan pertumbuhan world wide web”. Generasi internet berbeda
dengan generasi-generasi sebelumnya pada aspek kemampuan memanfaatkan komputer/laptop,
smartphone, dan sejenisnya. Mereka sangat paham berinteraksi dengan peralatan teknologi
informasi dan komunikasi dalam pencarian informasi secara instan sesuai kebutuhan. Perbedaan
native gadget dengan generasi sebelumnya adalah dalam hal menelusuri sumber informasi
(Wulandari, 2012: 1). Native gadget menjadikan gadget sebagai kebutuhan sehingga tanpa perlu
diajari pun dapat memanfaatkan semua fiturnya dengan baik.
Informasi apapun dapat diakses melalui internet yang dapat dikatakan masyarakat sedang
dalam kepungan banjir informasi. Informasi bukan lagi menjadi sesuatu yang eksklusif yang
mengakibatkan pada dependensi internet. Meskipun internet telah menjadi kebutuhan,
persoalannya adalah untuk apa para native gadget menggunakannya? Berdasarkan survei yang
dilakukan Frontier (dalam Sudibyo, 2015: 4) dinyatakan bahwa media sosial menduduki
peringkat pertama dalam pemanfaatan internet yakni sebesar 97,5%. Akibatnya, sebagian besar
politik, ekonomi, hukum, dan isu-isu global lainnya. Informasi tersebut diserap begitu saja tanpa
parameter pikir yang kuat.
Di sisi lain, jumlah buku yang terbit di Indonesia meningkat, para guru pun sekarang aktif
dalam penerbitan buku, ditambah lagi dengan produktivitas civitas kampus, dan munculnya
penulis-penulis muda yang berandil besar dalam kuantitas jumlah orbit buku. Ironisnya,
melimpahnya sumber belajar, banyaknya buku yang terbit tidak memberikan kenaikan yang
signifikan terhadap kebiasaan membaca dan menulis. Melimpahnya informasi tersebut tidak
dibarengi dengan pembinaan mental dan keterampilan berpikir kritis karena di sisi lain informasi
internet lebih cepat dan murah didapatkan. Dalam konteks ini juga interaksi di kelas, lebih
seperti pembelajaran bergaya media sosial yang tidak bersubstansi ilmiah dan membina
keterampilan berpikir. Jadi, meskipun di berbagai lembaga diberikan pelatihan metode mengajar,
sejatinya belum mengena pada akar permasalahan pembelajaran yang menurut Saryono (2015:
5-9) disebut “involusi literasi atau lemahnya kemampuan berpikir kritis yang disangga kemampuan
membaca dan menulis”.
C. Skill Questioning dalam Pembelajaran
Bertanya dan menjawab dalam pembelajaran seyogyanya mengikuti alur-alur interaksi
atau dialog yang alamiah. Pelaksanaan prinsip alamiah itu akan membantu para guru profesional
dan pemula menghindari disinteraksi atau petaka komunikasi siswa dan guru. Berikut disajikan
contoh skenario bertanya dalam pembelajaran bahasa Indonesia SMP kelas VIII pada materi teks
cerita moral/fabel Kancil dan Buaya (Susanto et.al., 2015: 8-11).
Guru Siswa
1. Cerita rakyat apa yang pernah kalian baca? 2. Apa alasan kalian membaca cerita rakyat itu?
3. Jika kalian pernah membaca cerita rakyat, menurut kalian apa cerita rakyat itu?
Menjawab pertanyaan guru secara lisan bergiliran
Mengajukan pertanyaan tentang dongeng dan menunggu beberapa saat untuk memberi kesempatan siswa berpikir.
4. Siapa saja tokoh di dalam cerita tersebut?
5. Menurut kalian mengapa kancil melakukan perbuatan yang demikian?
Menjawab pertanyaan guru secara lisan bergiliran
6. Bila jawaban dianggap belum lengkap, guru mengajukan pertanyaan pelacak.
Guru Siswa
b. Kalau begitu, apa bisa kancil menyeberang tanpa bantuan buaya?
jawaban
7. Jika dihubungkan dengan kehidupan manusia, tokoh manusia, kancil itu sosok manusia yang seperti apa?
Menjawab pertanyaan
9. Menanyakan kepada siswa lain “mengapa kamu setuju dengan pendapat temanmu tadi? atau Mengapa kamu tidak setuju?”
Menjawab pertanyaan (lisan atau tulis).
10.Menanyakan siswa yang belum mengerti dengan materi pelajaran. Jadi, pelajaran apa yang dapat kita petik dari cerita tersebut?
Bertanya tentang materi yang tidak dimengerti atau kurang dipahami
Pertanyaan (1) sampai dengan (4) merupakan pertanyaan untuk membuka skemata siswa
di awal pembelajaran atau apersepsi. Ini juga merupakan pertanyaan pra-baca, sebelum membaca
teks. Pertanyaan (5) dan (6) merupakan pertanyaan untuk melibatkan siswa dalam pengumpulan
data setelah membaca teks. Pertanyaan (7) dan seterusnya disebut pertanyaan pelacak (lanjut)
agar jawaban siswa tepat dan mengarahkan pada tingkat berpikir yang lebih tinggi.
Pertanyaan dapat merujuk pada dunia di luar siswa, isu sosial, dan teks-teks otentik. Para
siswa, sebenarnya sedang berupaya untuk membentuk jati diri menghadapi kehidupannya.
Bertanya perlu dilakukan senyaman mungkin agar siswa tidak merasa di-investigasi. Satu kelas
harus mendapatkan pertanyaan yang proporsional sehingga tidak menjadi hak satu atau beberapa
siswa yang pintar saja. Waktu tunggu menjawab pertanyaan dapat diberikan untuk
menghindarkan guru menjawab sendiri pertanyaannya. Pada pertanyaan yang hanya satu
jawaban benar, tidak selayaknya semua jawaban siswa dianggap benar, misalnya:
Guru : “Apa tema cerpen yang telah kalian baca tadi?” Siswa : “Tolong menolong”
Guru : “Bagus sekali, ada yang lain” Siswa : “Sahabat harus saling membantu”
Guru : “Itu lebih lengkap. Mungkin ada lagi yang menambahkan?” Siswa : “Menghargai teman”
Guru : “Ya, itu juga bisa”, dan seterusnya.
Berdasarkan contoh interaksi guru dan siswa di atas, tampak betapa lemah positioning guru
merujuk satu jawaban benar. Bukan berarti guru menyalahkan jawaban siswa, namun reasoning
atas satu jawaban yang benar perlu dilakukan agar tidak menimbulkan chaos pada siswa yang
dipajankan beragam jawaban yang menurut guru benar.
Bertanya tidak hanya merupakan keterampilan dasar mengajar, bertanya adalah
keterampilan dalam membelajarkan. Pertanyaan yang baik tidak datang secara tiba-tiba dalam
setiap interaksi kelas. Pertanyaan yang baik perlu dipikirkan, direncanakan, dan dilakukan
berelaborasi dengan strategi tertentu. Para guru seringnya hanya bertanya tentang fakta dan
re-informasi dan jarang yang bertanya untuk mengarahkan kepada derajat keterampilan berpikir
lebih tinggi. Pada tataran cognitive pertama (C1), jawaban pertanyaan berkisar pada fakta literal,
identifikasi fakta atau mengurutkan. Cognitive kedua (C2) merujuk pada hal-hal yang eksplisit
dalam teks, dan seterusnya sampai tahap evaluasi dan mencipta yang menyentuh aspek afektif
sehingga pertanyaan terjawab berbasis data. Akar dari skill questioning adalah siswa terlibat
dalam pengumpulan data.
Bertanya dilakukan untuk mendapatkan informasi utama dan informasi tambahan dimulai
pertanyaan faktual menuju pertanyaan yang hipotetif, evaluatif atau kreatif. Buoncristiani dan
Buoncristiani (2012: 139) menyatakan bahwa pertanyaan guru yang baik dan benar
menginspirasi siswa untuk memberikan jawaban yang baik dan benar pula.
Pertanyaan-pertanyaan dalam kelas akan menggambarkan tingkatan kognitif dari yang lebih rendah hingga
yang lebih tinggi. Karakter yang dikembangkan adalah produktivitas melalui tingkat berpikir ke
arah yang lebih tinggi. Berikut disajikan contoh pertanyaan berdasarkan revisi taksonomi Bloom
(Anderson dan Krathwohl, 2010: 99-102; 403, Kemdikbud, 2013: 15-16, dan Bloom’s
Kata-Kata Kunci Pertanyaan Karya siswa
t Apa...Siapa...Kapan...Di mana... Sebutkan...
Jodohkan atau pasangkan...
n Gunakanlah... Tunjukkanlah...
Buatlah...
Alternatif mana yang lebih baik…
Setujukah anda…
Bagaimana kita dapat memecahkan…
Apa yang terjadi seaindainya…
Bagaimana kita dapat memperbaiki…
Kembangkan…
Pertanyaan adalah (1) metode siap pakai untuk mengukur hasil belajar siswa, (2) metode
untuk mengetahui tingkat pemahaman siswa atau mengukur keefektifan proses pembelajaran,
dan (3) metode untuk menentukan standar keamanan untuk melanjutkan ke kompetensi
selanjutnya atau menentukan tindak lanjut pembelajaran. Bertanya tingkat dasar bertujuan untuk
Hughes dan Hughes (2012: 442-443) menyatakan bahwa bertanya menjadi bagian penting dalam
teknik mengajar. Teknik dari zaman dahulu yang masih berguna yaitu mengajukan pertanyaan
secara langsung kepada inti, misalnya siapakah tokoh cerita moral atau fabel tersebut?
Pertanyaan yang dilontarkan akan memberikan stimulus kepada siswa untuk berpikir ke
arah yang diharapkan. Pertanyaan lanjut dikembangkan untuk mendapatkan data bahwa siswa
telah menguasai kompetensi tertentu secara utuh. Pertanyaan lanjut digunakan untuk
mengembangkan runtutan argumen sehingga pertanyaan yang digunakan adalah pertanyaan
mampu memecah argumen-argumen berdasarkan hierarkhinya. Dengan demikian, pertanyaan
dapat melayani beragam tujuan dalam pembelajaran.
D. Posisi Kurikulum
Bahasa yang sehari-hari selalu hadir dalam bentuk teks lisan maupun tulis (Anderson dan
Anderson, 1997: 1), misalnya di kantor, pasar, media cetak, audio, maupun video (Santosa, 2013:
3). Arah pembelajaran pada kurikulum yang berlaku adalah literasi atau kemahirwacanaan
khususnya pelajaran Bahasa Indonesia. Mohandas (2013: 1) menyatakan bahwa kemampuan
berbahasa dituntut melalui pembelajaran dimulai dari peningkatan pengetahuan tentang struktur
dan ciri kebahasaan suatu teks, kemudian dirangkai dengan pembimbingan keterampilan
penyajian suatu teks lisan dan tulis baik terencana maupun spontan menuju pada pembentukan
sikap kesantunan dan ketepatan berbahasa serta sikap penghargaan terhadap Bahasa Indonesia
sebagai warisan budaya bangsa.
Pembelajaran teks mengarahkan siswa pada pencapaian jenjang tingkat berpikir tinggi.
Peran guru menurut Widyastono (2013: 194) adalah mengembangkan aktivitas belajar
akomodatif agar siswa menemukan, menerapkan ide-ide orisinil, dan membina kesadaran
menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar. Hal itu penting seperti dijelaskan Hasri dan
Harahap (2009: 1-2) bahwa teks yang bergenre argumentatif, eksploratif, naratif, deskriptif, atau
persuasif menuntut tingkat perhatian yang berbeda. Agar tidak menyimpang, dibutuhkan
pembelajaran yang disukmai upaya meningkatkan daya pikir kritis. Dengan demikian, seperti
yang diutarakan Derewianka (2003: 143), pembelajaran berbasis teks bersifat praktis pada
tataran reseptif dan produktif yang mengarah pada pengembangan bahasa.
Kemahiran teks bukan semata-mata tanggung jawab guru bahasa Indonesia meskipun
65-66) yang menyatakan bahwa teks adalah proses sosial yang berorientasi pada tujuan sosial
yang berada dalam situasi tertentu. Metode pembelajaran yang diimplementasikan harus secara
kolaboratif lintas mata pelajaran adalah untuk menumbuhkan minat baca dan tulis yang berakar
pada keterampilan bertanya sehingga budaya baca dan tulis hadir dalam kelas. Nurhadi (1989:
vii) menyatakan bahwa membaca perlu dilatihkan dan dikembangkan terus menerus. Oleh karena
itu, minat baca perlu ditumbuhkan dari pembelajaran di kelas yang menurut Jacobsen et. al.
(2009: i) memerlukan komitmen profesional karena hal-hal yang menakjubkan atau
mencengangkan dapat terjadi selama pembelajaran secara spontan dan tak terduga karena siswa
sangat dinamis.
E. Simpulan
Simptom involusi literasi merupakan dampak pembelajaran yang belum mengarahkan
pada upaya membangun kemampuan pembelajar untuk memahami dan menganalisis pesan,
wacana, dan fungsi sosial teks secara kritis. Pembelajaran yang mengedepankan perspektif kritis
dapat ditumbuhkan melalui skill questioning dalam kelas. Aktivitas belajar yang mampu
menangkal involusi literasi dalam kelas perlu ditekankan agar siswa terbiasa menyerap informasi
yang penting dan dibutuhkan di tengah kepungan informasi. Dengan penerapan skill questioning
memberikan peluang meningkatkan kesadaran dini kepada para siswa tentang pengaruh
informasi yang pesat. Guru berperan dalam melatih dan mengembangkan naluri kritis melalui
metode yang tepat. Bagi sekolah yang budaya literasinya belum terbentuk atau mapan, skill
questioning menjadi monopoli guru sebagai pusat interaksi. Namun, melalui pembelajaran yang
berkelanjutan dan kolaboratif lintas mata pelajaran, siswa akan terlatih sehingga kelak
Daftar Pustaka
Anderson, Lorin W. & Krathwohl, David R. (2010). Kerangka Landasan untuk Pembelajaran,
Pengajaran, dan Asesmen: Revisi Taksonomi Pendidikan Bloom (Terjemahan Agung Prihantoro). Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Anderson, Mark & Anderson, Katy. (1997). Text Type in English 1. Australia: MacMillan Education
Barringer, Mary-Dean, Pohlman, Craig, & Robinson, Michele. (2010). Schools for All Kinds of
Minds: Boosting Student Success by Embracing Learning Variation. San Fransisco:
Josey-Bass (An Imprint of Wiley)
Bloom’s Taxonomy Teacher Planning Kit. (2011). Diakses pada 10 September 2015 melalui
http://www.cantcol.ac.uk/files/8914/0247/1827/Blooms_-Taxonomy_Teacher_Planning_Kit.pdf
Buoncristiani, Martin & Buoncristiani, Patricia. (2012). Developing Mindful Students, Skillful
Thinkers, Thoughtful Schools. London: Sage Publication.
Derewianka, Beverly. (2003). Trends and Issues in Genre-Based Approaches, RELC Journal Vol. 34: 133. Diakses pada 10 September 2015 melalui http://rel.sagepub.com/content/3-4/2/133
Hasri, M. & Harahap, Eddy Pahar. (2009). Kajian Kritis. Jakarta: Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PPPPTK) Bahasa
Hughes, A.G. & Hughes, E. H. (2012). Learning and Teaching: Pengantar Psikologi
Pembelajaran Modern (Terjemahan SPA Teamwork). Bandung: Nuansa
Jacobsen, David A., Eggen, Paul, & Kauchak, Donald. (2009). Methods for Teaching: Promoting
Student Learning in K-12 Classroom (Terjemahan Achmad Fawaid dan Khoirul Anam).
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kemdikbud. (2013). Hand Out 1.3: Pendekatan Scientific Pada Kurikulum 2013. Disampaikan dalam Diklat Kurikulum 2013 Kabupaten Sragen
Mohandas, Ramon. (2013). Bahasa Indonesia dalam Buku Ajar. Diakses pada 10 September 2015 melalui http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbaha-sa/sites/default/files/Kumpulan%20Makalah%20KBI%20X_subtema%201_0.pdf
Nurhadi. (1989). Bagaimana Meningkatkan Kemampuan Membaca: Suatu Teknik Memahami
Literatur yang Efisien. Bandung: Sinar Baru Algesindo
Prajarto, Nunung. (2015). Aktivasi Aktor dalam Pendidikan Literasi Media: Model Pendidikan
Berbasis Literasi Media. Makalah disampaikan dalam “Seminar Nasional Literasi Media
Priyatni, Endah Tri. (2014). Desain Pembelajaran Bahasa Indonesia dalam Kurikulum 2013. Jakarta: Bumi Aksara
Santosa, Riyadi. (2013). Konsep Bahasa dan Implikasi Metodologi Pengajarannya dalam
Kurikulum 2013. Diakses pada 10 September 2015 melalui
http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/sites/default/fil-es/Kumpulan%20Makalah%20KBI%20X_subtema%201_0.pdf
Saryono, Djoko. (2015). Literasi sebagai Episentrum Kemajuan dan Kebudayaan dan
Peradapan. Makalah disampaikan dalam “Seminar Nasional Literasi Media Untuk
Pendidikan Karakter dan Budaya Bangsa” pada 21 September 2015 di Universitas Negeri Malang
Sudibyo, Agus. (2015). Literasi Media untuk Generasi Digital. Makalah disampaikan dalam “Seminar Nasional Literasi Media Untuk Pendidikan Karakter dan Budaya Bangsa” pada 21 September 2015 di Universitas Negeri Malang
Susanto, Heri, Sari, Henika Ratna, Noorhana, & Hanggoro, Wahyu Puji. (2015). Bertanya Dasar
dan Bertanya Lanjut. Makalah (Tidak Dipublikasikan)
Widyastono, Heri. (2014). Pengembangan Kurikulum di Era Otonomi Daerah. Jakarta: Bumi Aksara
Wulandari, Dian. (2012). Mengembangkan Perpustakaan Sejalan dengan Kebutuhan Net
Generation. Diakses 22 September 2015 melalui http://www.pnri.go.id/iFileDownload.aspx?ID=Attachment\MajalahOnline\DIAN_WUL ANDARI_Mengembangkan_Net_Generation.pdf
Biografi Penulis:
Heri Susanto, lahir di Ngawi pada 27 November 1984. Tahun 2007, menyelesaikan S1