1 BAB I
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Kriteria pemerintahan yang baik mengacu kepada kriteria yang banyak dipergunakan di dunia yaitu kriteria UNDP, kriteria tersebut terkait dengan konsep Good Governance yang menjelaskan salah satu pokok dari kualitas pemerintahan adalah keadilan, termasuk didalamnya keadilan gender (Gender equality). Semua warga baik laki-laki maupun perempuan mempunyai kesempatan untuk memperbaiki dan mempertahankan kehidupan mereka tanpa ada perbedaan. Pembangunan harus dinikmati secara merata oleh semua kelompok sesuai dengan kebutuhan. Pembangunan yang hanya menguntungkan salah satu jenis kelamin tentu tidak menghasilkan keadilan dan konsep good governance. (Nugroho, 2008)
Kesetaraan dan keadilan gender menjadi penting di setiap negara dalam mengupayakan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Indonesia merupakan negara yang berlandaskan norma sebagai keharusan yang disepakati serta budaya yang berkembang tergantung nilai dari masing-masing adat istiadat yang ada, budaya yang berkembang menyebabkan perempuan mendapat diskriminasi dan kekerasan bahkan pelabelan buruk sehingga menempatkan perempuan pada posisi sebagai kelompok yang lemah. Peran yang diberikan sebagai penanggung jawab urusan didalam rumah tangga menyebabkan gerak perempuan terbatas dalam ranah domestik. Ketidaksejajaran ini diperparah pula oleh sistem politik dan sosial yang menjadikan laki-laki lebih dominan dibanding perempuan (Fakih, 2000). Analisa situasi dan permasalahan ketimpangan gender secara nasional di berbagai
2 bidang pembangunan mulai dari bidang Pendidikan, Rata-rata lama sekolah (RLS) tahun 2019 Perempuan berjumlah 7,65% dan laki-laki 8,56%, dalam bidang kesehatan angka kematian Ibu yang masih tinggi 305 per 100.000 kelahiran hidup bahkan jumlah kasus AIDS tertinggi dialami oleh ibu rumah tangga sebesar 12.302 orang, bidang ketenagakerjaan perempuan 51,88% dan laki-laki 82,69% Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja lebih rendah dibandingkan laki-laki, rata-rata upah kerja perempuan 20,40 juta dan laki-laki 3,06 juta per tahun 2018 di bulan Agustus. Masih rendahnya keterwakilan perempuan secara kuantitas dan kualitas di Lembaga legislatif contohnya kursi DPR RI hanya berjumlah 17,32% dari kuota yang telah di sepekati yaitu 30%. (Muhajir Ganie, 2017)
Perbandingan integrasi yang dialami pusat dan daerah atas nama otonomi daerah, perbandingan integrasi ini sangat penting melihat dari perlunya penerapan Anggaran Responsif Gender yang sebelumnya hanya sampai pada perencanaan dan belum ter-integrasi nya kebijakan khususnya pada tingkat daerah, lebih spesifik Analisa situasi dan permasalahan yang berada di Kabupaten Malang, berdasarkan data Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Angka Harapan Hidup (AHH) berjumlah 72,45, Harapan Lama Sekolah (HLS) dengan persentase 13,17, Rata-rata lama sekolah (RLS) tahun 2018 Perempuan berjumlah 48,53% dan laki-laki berjumlah 51,47% yang artinya jumlah rata-rata lama sekolah laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan >3%. Kemudian Angka Partisipasi Kasar (APK) Kabupaten Malang berjumlah 102,92. Sedangkan Angka Partisipasi Murni (APM) 78,51 (“Profil Data Gender,” 2018). Angka kematian ibu yang masih tinggi bahkan mengalami kenaikan tiap tahun berada pada 54 total kematian paling tinggi terdapat pada kecamatan singosari yang setiap tahunnya mengalami kematian ibu sedikitnya 6 dengan usia kehamilan (<20 sd >35 tahun), pada bidang politik dan pengambilan keputusan, anggota
3 Legislatif Kabupaten Malang menurut 10 Partai periode 2019-2022 laki-laki dengan total 41 orang dan perempuan 9 orang dari total keseluruhan tidak memenuhi kuota 30% affirmative action yang diberikan.
Permasalahan lain yang terjadi di daerah adalah kurangnya ketersediaan data terpilah gender (Soeparman, 2015), daerah masih mengandalkan Badan Pusat Statistik untuk menyiapkan data kuantitatif yang seharusnya daerah mempunyai data tersebut dengan tujuan penyelarasaan perencanaan pembangunan daerah. Otonomi daerah memberi peluang yang besar untuk membuka dimensi gender dalam proses pembangunan dengan otonomi daerah yang berbasis kebutuhan masyarakat, maka terbuka juga peluang untuk memasukkan dimensi gender dalam pembangunan daerah, tetapi tidak sepenuhnya dimanfaatkan oleh pemerintah daerah karena kebutuhan gender tidak masuk dalam prioritas perencanaan pembangunan daerah. Penegasan Pengarusutamaan Gender (PUG) terdapat pada Inpres No. 9 Tahun 2000 yang mengatakan bahwa, pelaksanakan Pengarusutamaan Gender (PUG) guna terselenggaranya perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan,dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional yang berperspektif gender sesuai dengan bidang tugas dan fungsi, serta kewenangan masing-masing. (Kemenkeu, 2000). Maka salah satu strategi pembangunan merupakan wujud dari komitmen pemerintah untuk memastikan pembangunan yang adil dan setara..
Kebijakan terkait dengan Perencanaan Penganggaran Responsif Gender (PPRG) dimulai dari UU No. 7 Tahun 1984 tentang pengesahan konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita (Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women), selanjutnya Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional, mengintruksikan kepada seluruh
4 Mentri, Kepala LPND, Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, Gubernur, Bupati/Walikota untuk melaksanakan PUG dalam perencanaan pelaksanaan pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional sesuai dengan bidang tugas dan fungsi, serta kewenangan masing- masing.
UU No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2025, Perpes No. 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2015-2019, Perpes No. 79 tahun 2017 tentang Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2018, Perpes No. 59 Tahun 2017 tentang pelaksanaan pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan/SDG’s, surat edaran bersama Mentri PPN/Kepala Bappenas, Mentri Keuangan, Mentri Dalam Negeri dan Mentri PP dan PA tentang Tahun 2012 tentang strategi nasional percepatan pelaksanaan PUG melalui perencanaan dan penganggaran yang responsif gender (Starnas PPRG 2012-2014), Permendagri Nomor 67 Tahun 2011 tentang perubahan atas Peraturan Mentri Dalam Negeri Nomor 15 tahun 2008 tentang pedoman umum pelaksanaan pengarusutamaan gender di daerah, terakhir PMK No. 94/PMK.02 Tahun 2017 tentang petunjuk penyusunan dan penelaahan RKA-KL dan pengesahan daftar isian pelaksanaan anggaran (yang diperbaharui setiap tahun).
Secara umum, anggaran daerah di Indonesia belum memiliki perspektif gender artinya untuk pemenuhan kebutuhan yang setara antara laki-laki dan perempuan, mengingat setiap kebutuhan yang harus berdasarkan kepada pelayanan publik yang baik dari pemerintah kepada masyarakat, anggaran tersebut lebih merupakan alokasi keuangan atau untuk fasilitas infrastruktur yang bersifat aggregate, sehingga faktor manusia secara sosial dan budaya
5 bahkan dibedakan, hal ini yang kemudian membuat kebijakan yang bias. Dampak yang muncul seringkali tidak mendatangkan manfaat yang setara bagi laki-laki dan perempuan.
Oleh karena itu, pembangunan belum sungguh-sungguh ditujukkan untuk meningkat kesejahteraan dan memperhatikan kesenjangan gender (Mundayat, 2006). Anggapan persoalan ketidakadilan gender dalam anggaran secara umum (Sumbullah, 2008)
“Salah satu potretnya nampak pada konfigurasi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Perempuan membuat banyak pertautan antara perempuan dan retribusi kesehatan. Inilah alasan mengapa retribusi kesehatan sangat “berwajah perempuan”. Sayangnya dalam otonomi daerah, target semakin berat. Hal ini karena banyak daerah yang kemudian menaikkan tarif retribusi ini dengan target meningkatkan PAD. Alokasi untuk memperbaiki posisi perempuan di masyarakat juga hampir tidak terlihat. Perempuan yang telah menjadi bagian faktor dari peningkatan PAD di daerah seharusnya perempuan memperoleh pengadaan fasilitas yang memenuhi kepentingan perempuan.”
Ketimpangan dalam anggaran tersebut dapat disebabkan oleh penyusunan anggaran yang terdapat salah satu pihak belum dapat berpartisipasi secara aktif (perempuan) yang belum berpartisipasi secara aktif, sehingga kepentingan dalam penganggaran masih belum diintegrasikan. Perencanaan dan penyusunan anggaran tahunan menjadi proses yang sangat penting untuk dikembangkan, karena pada tahap inilah sumber daya mulai dibagikan, seberapa banyak serta kepada siapa anggaran ini akan diterima, untuk menghindari adanya bias gender penting untuk mewujudkan Anggaran Responsif Gender (ARG). Advisory Committee (Committee, 2015) mengungkapkan:
“Gender budgeting is a relatively new approach used to ensure mainstream financial and budgetary policy and processes promote gender equality. Gender budgetting is mainly about the general or mainstream budget. Nevertheless, a separate presentation and high-lighting of expenditure directly affecting women in comparison to men may be a tool for awerenessraising and in the longer term restructuring of the budget to better reflect the needs and interest of both women and men”. (Anggaran responsif gender merupakan pendekatan baru digunakan untuk menjamin anggaran mainstream dan kebijakan anggaran dan proses meningkatkan kesetaraan gender. Anggaran responsif gender sebagian besar
6 tentang anggaran umum yang mainstream. Meskipun demikian, pemisahan masing-masing belanja pokok secara langsung berdampak pada perempuan dan laki-laki, menjadi alat untuk kesadaran dan merestrukturisasi budaya dari anggaran mewakili kebutuhan dan kepentingan keduanya baik perempuan dan laki-laki) (http://ec.europa.eu).
Dalam perkembangannya terdapat beberapa kemajuan yang cukup berarti. Salah satunya adalah Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 132 Tahun 2003 menetapkan bahwa seluruh pembiayaan yang diperlukan untuk pelaksanaan pengarusutamaan gender didaerah dibebankan pada dana APBN dan APBD untuk masing-masing provinsi, Kabupaten/Kota 5% dari APBD provinsi. Kemudian diperbarui dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2008 yaitu terdapat pergeseran konsep mengenai pembiayaan pengarusutamaan gender di daerah, tidak lagi terdapat batasan dan menghendaki keseluruhan dari APBD.
Prioritas pembangunan tahun 2019 di Kabupaten Malang tetap berpijak pada tiga program strategis di tahun 2018, yaitu pengentasan kemiskinan, optimalisasi pariwisata dan peningkatan daya dukung lingkungan hidup, dengan total pendapatan dan belanja daerah 2019 sebesar Rp 3,67.000.000.000.000. Dimana pendapatan daerah tersebut terdiri dari sumber pendapatan asli daerah (PAD) sebesar Rp 514.000.000.000, dari total anggaran yang ada dan program strategis yang dicanangkan belum optimalnya kegiatan yang dilaksanakan, khususnya program pengentasan kemiskinan yang masih dianggap tidak strateginya kebutuhan masyarakat dengan anggapan sumber daya manusia yang sudah memadai di Kabupaten Malang sehingga alokasi pada Tahun Anggaran (TA) 2020 Kabupaten Malang dengan total anggaran sebesar Rp. 150.000.000.000, prioritas Pemerintah menjadi 4 proyek fasilitas infrastruktur dan dideskripsikan secara detail dengan jumlah anggarannya. Pertama, Pembangunan Mall pelayanan terpadu di Kepanjen dengan total anggaran
7 Rp.90.000.000.000. Kedua, Alun-alun Kabupaten Malang di Kepanjen dengan total anggaran Rp. 25.000.000.000. Ketiga, Jalan tembus (Jalan menuju jalan Trunojoyo) dengan total anggaran Rp. 15.000.000.000. Keempat, pembangunan Kepanjen Convention Center (KCC) dengan total anggaran Rp. 20.000.000.000.1
Permasalahan yang signifikan dengan Anggaran yang ada di Kabupaten, dari program prioritas Kabupaten Malang dari tahun 2018-2020 pemerintah Kabupaten Malang hanya berfokus pada program fasilitasi infrastruktur yang masih secara umum tanpa memikirkan kebutuhan antara perempuan dan laki-laki contohnya dapat dilihat dari dokumen dalam Perda No. 5 tahun 2019 perihal RPJPD Kabupaten Malang, minim sekali disinggung perihal permasalahan gender. Dalam draft Perda tidak ditemukan analisis dan pengambaran masalah yang spesifik dan masih secara general, terdapat pada poin nomor 9 RPJPD Kabupaten Malang2 sebagai berikut :
9. Pemberdayaan peran perempuan diarahkan dengan :
a. Meningkatkan perempuan di berbagai bidang pembangunan;
b. Menurunkan intensitas tindak kekerasan terhadap perenpuan dan anak;
c. memperkuat kelembagaan dan jaringan pengarusutamaan gender di daerah;
d. Mendorong terbentuknya keluarga yang ideal melalui keluarga berencana.
Secara umum penelitian terkait dengan anggaran responsif gender telah banyak menghasilkan berbagai kesimpulan yang menjelaskan terkait kebijakan yang sudah tidak berdimensi gender/ramah gender (Ghadai, 2019), ketika dianalisis secara rinci terkait dengan
1 Malang Post. (2019) (https://malang-post.com/berita/detail/tahun-proyek-kabupaten-malang (diakses pada tanggal 10 Maret 2020 Pukul 10.28 WIB)
2 Doc. RPJPD Kabupaten Malang. http://malangkab.go.id/uploads/dokumen/malangkab RPJMD%20KABUPATEN%20MALANG%20TAHUN%202016-2021.pdf (diakses pada tanggal 11 Juni 2020 Pukul 12.25)
8 alokasi anggaran yang berada di Kabupaten Malang, ternyata alokasi anggaran tidak cukup responsif dan berpihak kepada rakyat, kurang lebih dari 60% APBD dialokasikan untuk belanja aparat atau belanja pegawai namun belum bisa dipastikan karena data masih bersifat tertutup.
Anggaran responsif gender bukan fokus pada penyediaan anggaran dengan jumlah tertentu, tetapi bagaimana keseluruhan anggaran dapat memberi manfaat yang adil untuk laki-laki dan perempuan dalam artian tidak ada pemilahan anggaran belanja untuk pembangunan menurut jenis kelamin, cukup untuk memberikan manfaat dan memperbaiki kualitas hidup keduanya, secara konkrit contoh dari perbaikan kualitas hidup bidang infrastruktur di ruang publik pemenuhan fasilitas bagi ibu menyusui dan fasilitas khusus untuk difabel baik perempuan maupun laki-laki. Dalam pendekatan whole of government yaitu pendekatan yang mengembangkan pemerintah yang solid dan terintegrasi untuk menjawab permasalahan fragmentasi pada sektor publik dan pelayanan publik dengan urusan yang relevan sudah di penuhi oleh pemerintah pusat maupun daerah, dengan dibentukklah Gender Focal Point3 dengan tujuan mempercepat kebijakan Pengarusutamaan Gender (PUG), masalah lain yang dihadapi ternyata Kabupaten Malang belum melaksanakan Gender Focal Point yang merupakan pilot project Pemerintah Pusat untuk seluruh daerah di Indonesia, sehingga kebijakan ini dianggap tidak wajib untuk dilaksanakan karena faktor kurang pahamnya pemerintah Kabupaten Malang terkait dengan Anggaran Responsif Gender (ARG)
3 Gender Focal Point memfasilitasi penyusunan rencana kerja SKPD yang berperspektif gender, melakukan sosialisasi dan advokasi PUG kepada seluruh pejabat dan staf di lingkungan SKPD, sehingga dapat di sinkron kan dengan program Pemerintah Daerah (Bappenas.go.id) (diakses pada tanggal 17 Maret 2020 Pukul 11.30 WIB)
9 Percepatan tersebut melalui Gender Budget Statement (GBS)4 dengan melakukan pendekatan menggunakan Whole of Government (WoG) sehingga tercipta keselarasaan antara Pemerintah Pusat dan Daerah terkait dengan konsep dan strategi Pengarusutamaan Gender yang di breakdown menjadi Anggaran Responsif Gender (ARG) yang terkesan masih sulit dipahami, seringkali dipahami sebagai program/kegiatan, maka implementasi strateginya pun dianggap memerlukan anggaran khusus pula, tuntutan alokasi untuk kesejahteraan rakyat menjadi sulit terpenuhi, padahal cukup melakukan intervensi pada penyusunan kegiatan yang sudah ada sehingga tidak ada lagi anggapan bahwa anggaran yang dibentuk tersebut terinklusif 50% untuk perempuan dan 50% untuk laki-laki.
Batasan penelitian yang telah dilakukan peneliti terkait dengan penganggaran sampai dengan penerapan anggaran responsif gender, dengan melihat apakah program kegiatan yang ada di Kabupaten Malang telah memasukan fokus gender di dalamnya, tanpa memisahkan alokasi anggaran baru yang ada untuk perempuan dan laki-laki, kemudian batasan lainnya hanya sampai melihat pemenuhan anggaran dari 5% menurut Permendagri sudah terlaksana atau bahkan sudah tetapi belum efektifnya integrasi tersebut dengan berlandas kepada kebutuhan anggaran yang tersedia untuk laki-laki maupun perempuan, melihat bagaimana asumsi masing-masing OPD dan instansi menilai kegiatan yang responsif gender sesuai dengan manfaat dan kontrol sesuai dengan kebutuhan yang adil, membuat peneliti berfokus pada kebutuhan yang paling didominasi masalah melalui analisa situasi gender di Kabupaten Malang yang dimulai dari pertama, alokasi anggaran yang spesifik menjelaskan kegiatan apa saja yang telah responsif dengan memasukkan isu gender didalamnya mulai dari substansi sampai dengan memfasilitasi, kedua alokasi anggaran untuk
4 GBS adalah dokumen yang menginformasikan suatu kegiatan telah responsif terhadap isu gender yang ada, dan apakah telah dialokasikan dan pada kegiatan bersangkutan untuk menangani permasalahan gender tersebut.
Untuk kegiatan yang responsif gender (Soeparman, S. (2015).
10 kesempatan kerja yang setara sesuai dengan upah dan kemampuan yang tidak diskriminasi yang sering dialami oleh perempuan sehingga membuat laki-laki menjadi superior dan perempuan inferior dalam hal kemampuan, ketiga terkait dengan alokasi kebutuhan untuk fasilitasi infrastruktur di ruang publik yang belum dipenuhi pemerintah daerah Kabupaten Malang. Pada batas pembahasan masalah yang diambil peneliti telah sesuai dengan permasalahan rill di lapangan melalui observasi dan wawancara yang telah dilakukan di pemerintah daerah Kabupaten Malang.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka peneliti memiliki rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana Penerapan alokasi Anggaran Responsif Gender (ARG) sebagai upaya pemenuhan kesejahteraan di Kabupaten Malang?
2. Apakah permasalahan yang dihadapi dalam penerapan alokasi Anggaran Responsif Gender (ARG) sebagai upaya pemenuhan kesejahteraan di Kabupaten Malang?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui bagaimana Penerapan alokasi Anggaran Responsif Gender (ARG) sebagai upaya pemenuhan kesejahteraan di Kabupaten Malang.
2. Untuk mengetahui permasalahan yang dihadapi dalam Penerapan alokasi Anggaran Responsif Gender (ARG) sebagai upaya pemenuhan kesejahteraan di Kabupaten Malang.
11 1.4 Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Pengembangan ilmu pengetahuan
Manfaat yang pertama dalam penelitian ini adalah bagaimana penelitian ini berusaha mengembangkan ilmu pengetahuan yang ada dari sisi disiplin ilmu pemerintahan. Peneliti berusaha menganalisis kebijakan-kebijakan yang telah diciptakan oleh pemerintah, selain itu dalam penelitian ini berusaha mengaktualisasi teori-teori yang didapat dikelas dengan kondisi real di lapangan.
b. Pengembangan wawasan
Penelitian ini juga sebagai ajang bagi peneliti untuk menambah wawasan, selain proses pembelajaran di kelas peneliti juga akan menganalisis bagaimana kondisi real di lapangan, sehingga pada akhirnya wawasan mengenai praktik lapangan didapatkan oleh peneliti.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi kritik dan saran bagi pemerintah untuk melaksanakan perbaikan kinerja, terutama untuk memberikan pelayanan prima kepada masyarakat.
1.5 Definisi Konseptual 1. Anggaran
Anggaran kinerja pada prinsipnya mengedepankan 4 E yaitu Economy, Efficient, Effectiveness dan Equity (Sundari, 2006). Economy yaitu menjelaskan seefisien apakah kita menggunakan uang. Efficient artinya bagaimana input manjadi output semaksimal mungkin. Effectiveness membicarakan tentang kualitas dari apa yang telah dilakukan
12 apakah sudah sesuai dengan apa yang diharapkan. Equity yaitu keadilan bagi setiap segmen masyarakat baik laki-laki dan perempuan, lintas kelas, etnis dan agama. Prinsip keadilan sosial yaitu pengalokasian penggunanaan anggaran secara adil sehingga dapat dinikmati seluruh warga masyarakat tanpa ada diskriminasi. Sedangkan prinsip efisiensi dan efektivitas yaitu anggaran yang tersedia harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk peningkatan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat secara maksimal.
Karenanya untuk mengendalikan tingkat efektivitas anggaran, dalam perencanaan perlu ditetapkan secara jelas tujuan, sasaran, hasil dan manfaat yang akan diperoleh masyarakat dari setiap proyek yang diprogramkan.
2. Anggaran Responsif Gender
Secara umum konsep Anggaran responsif gender merupakan anggaran yang responsif terhadap kebutuhan laki-laki dan perempuan dan memberikan dampak yang setara bagi laki-laki dan perempuan. Konsep anggaran responsif gender (gender responsive badget), yang lebih diutamakan adalah adanya keadilan dalam alokasi anggaran. Alokasi anggaran responsif gender adalah belanja pemerintah yang merespon kebutuhan gender sehingga memiliki dampak bagi kesetaraan dan keadilan gender. (Budlender, 2002) ada tiga kategori untuk menilai belanja pemerintah, sebagai berikut:
a. Anggaran untuk kebutuhan spesifik gender
b. Alokasi anggaran kesetaraan kesempatan kerja (Affirmative action)
c. Alokasi umum yang dianalisis dampaknya berdasarkan perspektif gender (Gender mainstreaming)
13 Kerangka Berfikir
N
Kepala Bidang
Pembangunan Manusia, Masyarakat,
Sosial dan Budaya (Bappeda)
Kepala Bidang Kesetaraan Gender (DP3A)
Sekertariat DPRD
Kabupaten Malang Pemerintah Daerah
Kabupaten Malang
Alokasi Anggaran Spesifik Gender
Alokasi Anggaran Affirmative
Action
Alokasi Anggaran Umum Gender mainstreaming
1. kebutuhan prioritas anggaran 2. alokasi anggaran
ekonomi
perempuan miskin
1. Program peningkatan kesetaraan perwakilan perempuan di sektor pekerjaan
2. Kesamaan upah dan pelayanan kerja perempuan dan laki- laki
1. Penguatan kelembagaan PUG (Pengarusutamaan Gender) berbentuk Gender Focal Point 2. pembangunan
fasilitas umum ramah gender
Program Kegiatan Berbasis Pengarusutamaan
Gender
Ya Tidak
Masyarakat Kabupaten Malang (Perempuan & Laki-laki) PPRG
(Perencanaan Penganggaran Reponsif Gender)
14 Komponen pada penelitian ini secara garis besar berasal dari pendekatan integrasi yang dilakukan pemerintah pusat kepada daerah sehingga pendekatan yang diambil menggunakan Whole of Government (WoG) sebagai alat analisis terintegrasinya kebijakan Anggaran Responsif Gender (ARG) yang ada di Kabupaten Malang yang semula dilihat melalui pola integrasi yang berada di tatanan pusat sampai munculah kebijakan yang juga harus dilaksanakan oleh daerah, pola tersebut berada pada Bappenas sebagai wadah pemikir (think thank) terwujudnya Anggaran Responsif Gender (ARG) yang ada di Indonesia sehingga terdapat garis koordinasi putus-putus yang diartikan melalui Direktorat Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda dan Olahraga (KPAPO) PPN/Bappenas, Kepala Bidang Kesetaraan Gender (Kemenppa), Kepala Sekertariat Pengarusutamaan Gender (Kementrian Keuangan) yang kemudian terdapat garis koordinasi utuh hirarki yang dialami oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Malang sebagai unit analisis sehingga muncullah integrasi Whole of Government (WoG).
Dalam melakukan analisis terdapat indikator dan item yang menjadi gambaran keseluruhan penelitian ini, memiliki satu kesatuan yang saling terkait sebagai bahan analisis peneliti.
Pertama, Gender specific (Spesifik Gender) yang terkait dengan kebutuhan prioritas anggaran dan alokasi anggaran ekonomi perempuan miskin, artinya spesifik gender berarti menentukan berapa persentase yang berada pada total alokasi anggaran responsif gender. Kedua, alokasi affirmative action yang menjelaskan terkait dengan kebijakan di semua sektor pekerjaan kesamaan upah dan pelayanan kepada perempuan, dan peningkatan kesetaraan perwakilan perempuan di manajemen pembuat kebijakan. Ketiga, Alokasi Umum gender mainstreaming yang menjelaskan terkait dengan dampak alokasi umum dalam fasilitasi pembangunan yang ramah gender berdasarkan perspektif gender sehingga memiliki tendendsi terhadap kesetaraan dan keadilan.
15 Indikator dan item akan menghasilkan sebuah keputusan, dibentuknya Strategi Nasional (Starnas) yang berisi Perencanaan Penganggaran Responsif Gender (PPRG). STARNAS PPRG menjadi proses yang dapat menghasilkan keputusan jawaban ya atau tidak, jika “Ya” artinya akan menghasilkan pencapaian program kegiatan dan alokasi anggara berbasis pengarusutamaan gender, tetapi jika keputusan menjadi “Tidak” pada alur kerangka berfikir artinya terjadi pada pemerintah Kabupaten Malang yang belum efektif dalam penerapan Anggaran Responsif Gender yang sebenarnya tujuan utama penelitian ini akan berdampak pada pemenuhan kebutuhan fasilitas masyarakat (perempuan dan laki-laki).
1.6 Definisi Operasional
1. Penerapan alokasi Anggaran Responsif Gender (ARG) sebagai upaya pemenuhan kesejahteraan di Kabupaten Malang
a. Anggaran Kebutuhan Alokasi Spesifik Gender di Kabupaten Malang 1) Kebutuhan Prioritas Anggaran
2) Alokasi Anggaran Ekonomi Perempuan Miskin
b. Alokasi Anggaran Kesetaraan Kesempatan Kerja (Affirmative action) di Kabupaten Malang
1) Program peningkatan kesetaraan perwakilan perempuan di sektor pekerjaan 2) Kesamaan upah kerja perempuan dan laki-laki
c. Alokasi Anggaran Umum yang dianalisis dampaknya berdasarkan perspektif gender (Gender mainstreaming) di Kabupaten Malang
1) Penguatan kelembagaan PUG (Pengarusutamaan Gender) di Kabupaten Malang
2) Pembangunan Fasilitas Umum Ramah Gender
16 2. Permasalahan dalam Penerapan alokasi Anggaran Responsif Gender (ARG) sebagai
upaya pemenuhan kesejahteraan di Kabupaten Malang
a. Kebijakan yang tidak berdasarkan dasar hukum yang jelas
b. Komitmen Pemerintah Daerah dalam menjawab Inpres No. 9 Tahun 2000 c. Kendala Struktural
1.7 Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan jenis pendekatan deskriptif, pengumpulan data pada suatu latar ilmiah, dengan menggunakan metode alamiah, dan dilakukan oleh orang yang tertarik dengan objek yang diteliti secara ilmiah (Gumilang, 2016). Jenis penelitian kualitatif bertujuan untuk menjelaskan bagaimana Penerapan alokasi Anggaran Responsif Gender (ARG) sebagai upaya pemenuhan kesejahteraan di Kabupaten Malang
2. Sumber Data
Untuk mengetahui bagaimana Integrasi Penerapan Anggaran Responsif Gender (ARG) Melalui Perspektif Whole Of Government (Wog) Di Kabupaten Malang, maka peneliti memerlukan data penunjang yang bersumber dari pihak terkait dengan klasifikasi yang bersumber pada data (Manzilati, 2017). Menggunakan dua macam data diantaranya:
a. Data Primer
Peneliti akan memperoleh sumber data melalui wawancara dengan subjek yang meliputi berbagai hal mengenai Integrasi Penerapan Anggaran Responsif Gender (ARG) Melalui Perspektif Whole Of Government (Wog) Di Kabupaten Malang.
17 b. Data Sekunder
Data sekunder yang diperoleh berupa dokumen kerjasama antara pemerintah Pusat dan Kabupaten Malang. Dokumen penunjang yang menjelaskan tentang alokasi anggaran yang dilimpahkan pusat ke daerah serta menggunakan jurnal-jurnal sebagai referensi.
3. Subjek Penelitian
Subjek penelitian yang akan memberikan informasi dalam penelitian ini adalah orang-orang yang memiliki informasi mengenai penerapan anggaran responsif gender dalam mengurangi ketimpangan di masyarakat. Berikut adalah subjek dalam penelitian ini :
a. Kepala Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat, Sosial dan Budaya Bappeda Kabupaten Malang
b. Kepala Subbagian penyediaan data gender Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Malang
c. Sekertaris Dewan (DPRD) Kabupaten Malang 4. Teknik Pengumpulan data
a. Wawancara
Metode ini dilakukan melalui tanya jawab langsung dengan subjek penelitian.
Wawancara memudahkan kita untuk mendapatkan informasi langsung dari responden yang bersangkutan untuk mendapatkan informasi yang kejelasannya terjamin, peneliti melakukan face to face interview dengan subjek penelitian.
b. Observasi
18 Peneliti melakukan observasi secara langsung serta menganalisa kebijakan anggaran responsif gender dalam pemenuhan anggaran di Kabupaten Malang.
Observasi yang dilakukan dengan melakukan pengamatan kepada program kegiatan yang ada di beberapa dokumen Kabupaten Malang.
c. Dokumentasi
Dokumentasi menggunakan pengumpulan data-data tertulis. Seperti arsip-arsip atau dokumen dan bahan-bahan yang ada kaitannya dengan objek penelitian untuk mendapatkan dokumen-dokumen atau arsip peneliti melakukan kunjungan ke Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas), Badan Perencanaan Pembangunan daerah (Bappeda) Kabupaten Malang, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Malang,
5. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang prosesnya mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara dan bahan-bahan lainnya yang diperoleh dari hasil wawancara dan bahan-bahan lainnya. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan penelitian deskriptif kualitatif dengan 4 tahapan dalam proses analisis data (Creswell, 2015)
a. Mengolah data dan mempersiapkan data untuk analisis. Langkah ini termasuk transkripsi wawancara, scanning materi, memilih dan menyusun data berdasarkan sumber informasi.
b. Membaca keseluruhan data dengan merefleksikan makna secara keseluruhan dan memberikan catatan pinggir tentang gagasan umum yang diperoleh.
19 c. Menetapkan proses coding untuk mendeskripsikan setting, orang-orang, kategori-
kategori, dan tema yang akan ditulis.
d. Menunjukkan bagaimana deskripsi dan tema ini akan ditulis dalam narasi atau laporan kualitatif dalam penggunaan penelitian memberikan gambaran yang cukup dan peneliti menganalisis data dalam semua sumber misalnya observasi, wawancara, dan dokumentasi
6. Lokasi Penelitian
Penelitian ini betempat di Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda), Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kabupaten Malang, dan Gedung DPRD Kabupaten Malang Jl. Panji No. 119, Penarukan, Kepanjen.