• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Cincau

Cincau (Hanzi: 仙草, pinyin: xiancao) adalah gel serupa agar-agar yang diperoleh dari perendaman daun (atau organ lain) tumbuhan tertentu dalam air. Gel terbentuk karena daun tumbuhan tersebut mengandung karbohidrat yang mampu mengikat molekul-molekul air. Kata "cincau" sendiri berasal dari dialek Hokkian sienchau (Hanzi: 仙草, pinyin: xiancao) yang lazim dilafalkan di kalangan Tionghoa di Asia Tenggara. Cincau sendiri di bahasa asalnya sebenarnya adalah nama tumbuhan (Mesona spp.) yang menjadi bahan pembuatan gel ini.

Menurut Pitojo dan Zumiati (2005), cincau bermanfaat sebagai bahan pangan terutama sebagai bahan baku minuman yang telah dikenal sejak lama. Selain itu, cincau juga berkhasiat sebagai obat karena mengandung serat alami yang mudah dicerna oleh tubuh manusia. Serat alami berperan dalam proses percernaan makanan dan mencegah timbulnya penyakit kanker usus. Gelatin cincau diakui bermanfaat untuk mengobati panas dalam dan sakit perut (abdomen discomfort).

Tanaman cincau secara teknis bermanfaat untuk menunjang konservasi lahan karena tanaman ini mampu bertahan hidup pada kondisi lingkungan kering yang relatif kurang menguntungkan. Saat ini, tanaman cincau hitam dan cincau perdu telah dimanfaatkan sebagai komoditas agroindustri dan agrobisnis yang dapat memberikan keuntungan bagi petani yang membudidayakannya. Tanaman cincau perdu telah dimanfaatkan sebagai bahan dagangan walaupun sifatnya sangat terbatas dan musiman. Sedangkan, tanaman cincau hitam telah lama menjadi bahan dagangan lokal dan sebagai komoditas ekspor penghasil devisa negara.

Menurut Pitojo dan Zumiati (2005), tanaman cincau terdiri dari empat jenis yaitu cincau hijau (Cyclea barbata), cincau perdu (Mesona palustris), cincau minyak (Stephania hermandifolia), dan cincau hitam (Premna serratifolia). Perbedaan beberapa jenis cincau dapat dilihat pada Tabel 1.

Cincau Hijau (Cyclea barbata) Cincau Perdu (Premna oblongifolia)

Cincau Minyak (Stephania hermandifolia) Cincau Hitam (Mesona palustris) Gambar 1. Empat jenis tanaman cincau

(2)

18 Tabel 1. Perbedaan beberapa jenis cincau

No. Komponen Perbedaan Cincau

Hijau Minyak Perdu Hitam

1 Bahan Baku Daun Segar Daun segar Daun dilayukan

Brangkas (batang daun) kering Daun asli

lemas Daun asli kaku Daun asli kaku Daun asli lemas Bentuk dan

ukuran asli

Bentuk dan ukuran asli

Bentuk dan ukuran asli

Bentuk dan ukuran telah berubah dan susut Warna hijau

klorofil

Warna hijau klorofil

Warna hijau klorofil

Warna cokelat karena ikatan klorofil rusak Relatif bersih

dari kotoran

Relatif bersih dari kotoran

Relatif bersih dari kotoran

Banyak kotoran, campuran benda lain ketika proses pengeringan Aroma

spesifik, lemah

Aroma spesifik, lemah

Aroma langu, kuat

Aroma spesifik, lemah

2 Proses Tanpa

pemanasan

Tanpa pemanasan

Pelayuan alami dan dengan air hangat

Perebusan dua kali, ditambahkan dye dan disaring

Diremas dengan air matang dingin

Diremas dengan air matang dingin

Diremas dengan air matang dingin atau hangat, lalu ditambah bahan pengental

Direbus dan ditambahkan tepung

Disaring, dicetak dibiarkan dingin, dan mengental

Disaring, dicetak dibiarkan dingin, dan mengental

Disaring, dicetak dibiarkan dingin, dan mengental

Dicetak dan dibiarkan dingin

3 Hasil Produk Sedikit Sedikit Sedikit-

Banyak Sangat banyak Kebutuhan

keluarga

Kebutuhan keluarga

Kebutuhan keluarga dan komersial

Kebutuhan keluarga dan komersial 4 Skala usaha Tanaman

sisipan

Tanaman sisipan

Tanaman sisipan atau khusus

Tanaman sisipan atau khusus Daun tidak

dijual

Daun tidak

dijual Daun dijual Brangkas dijual Sumber : Pitojo dan Zumiati (2005)

B. Cincau Hitam

Tanaman cincau hitam merupakan tanaman perdu dengan ketinggian 30-60 cm dan tumbuh pada ketinggian 150-1800 m diatas permukaan laut (Heyne (1987) dalam Rahmawansyah (2006)).

Batangnya beruas, berbulu halus dengan bentuk menyerupai segiempat, kebanyakan cabang pada bagian dasarnya, dan berwarna agak kemerahan. Daun tanaman cincau hitam berwarna hijau, lonjong,

(3)

19 tipis lemas, ujungnya runcing, pangkal tepi daun bergerigi, dan memiliki bulu halus. Panjang daun sekitar 10 cm dan bertangkai sekitar 2 cm. Letak daun saling berhadapan dan berselang-seling dengan daun berikutnya (Pitojo dan Zumiati, 2005).

Tanaman cincau hitam dapat dibudidayakan dengan cara generatif maupun vegetatif. Cara generatifnya adalah dengan menggunakan biji sedangkan vegetatifnya menggunakan stek batang, tunas akar, dan cara merunduk (Sunanto (1995) dalam Rahmawansyah (1995)). Proses pembibitan secara generatif tingkat keberhasilan kecambahnya hanya 1-2% saja dengan waktu 12 bulan. Hal ini menyebabkan pembibitan cara ini jarang dilakukan (Sunanto (1995) dalam Rahmawansyah (1995)).

Pembudidayaan yang sering dilakukan adalah dengan cara stek batang, tunas akar, dan merunduk.

Pembudidayaan dengan cara vegetatif ini tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama dan tingkat keberhasilan juga tinggi. Selain itu, tanaman yang dihasilkan memiliki sifat yang sama dengan induknya. Tanaman cincau hitam mudah dibudidayakan, terutama di daerah dataran menengah hingga tinggi. Tanaman tersebut umumnya cocok ditanam di tegalan, pekarangan, dan ladang secara monokultur atau tumpang sari dengan tanaman lain. Dalam rangka konservasi lahan, tanaman tersebut dapat ditanam di galengan teras atau ditempat yang berlereng. Hal ini didukung oleh sifat perakaran yang lebat dan kuat mengikat tanah (Pitojo dan Zumiati, 2005).

Proses pemeliharaan tanaman cincau hitam dilakukan dengan melakukan penyiraman pada waktu pagi dan sore hari agar diperoleh kondisi tanah yang tetap lembab dan tidak kekeringan. Pupuk yang digunakan untuk tanaman ini pupuk yang mengandung zat N (nitrogen) seperti pupuk urea. Hal ini bertujuan agar dapat merangsang pertumbuhan daun yang lebih banyak (Sunanto (1995) dalam Rahmawansyah (1995)). Hama yang mungkin tumbuh selama penanaman cincau ini adalah jenis Maenas maculifascia yang akan merusak daun cincau. Untuk mengatasinya dilakukan penyemprotan insektisida. Penyemprotan dilakukan apabila diketahui gejala penyebarannya yaitu dengan banyaknya daun cincau yang berlubang. Insektisida yang digunakan adalah insektisida jenis Azordin 15 WSC atau Dursban 20 EC dengan dosis ringan 1,5 ml per liter air.

Setelah berumur 3-4 bulan setelah tanam, dilakukan pemanenan pertama dengan cara memotong sebagian tanaman menggunakan sabit sehingga bagian yang tertinggal dapat tumbuh kembali. Pada pemanenan yang kedua dilakukan pada bulan ke 7-8, semua tanaman dicabut sampai ke akar-akarnya (Anonim, 2002). Pohon janggelan yang telah di panen selanjutnya dikeringkan dengan cara menghamparkannya di atas permukaan tanah, hingga warnanya berubah dari hijau menjadi cokelat tua. Tanaman cincau yang telah kering inilah yang merupakan bahan baku utama pembuatan cincau hitam. Tanaman cincau yang telah kering tahan untuk disimpan hingga satu tahun, akan tetapi selama penyimpanan harus dilakukan proses pengeringan sebab jika kondisinya lembab maka akan tumbuh jamur pada tanaman kering tersebut. Bagian tanaman yang memiliki komponen polisakarida yang paling banyak ada pada bagian batang dan daunnya, sehingga dalam proses pengolahannya digunakan bagian daun dan batang tanaman cincau hitam (Pitojo dan Zumiati, 2006).

Tanaman cincau ini merupakan tanaman yang memiliki komponen pembentuk gel, sehingga dapat tergolong ke dalam tanaman penghasil hidrokoloid. Untuk memperoleh komponen pembentuk gel dari tanaman cincau dilakukan melalui ekstraksi dalam waktu tertentu. Ekstraksi dilakukan menggunakan bahan baku tanaman cincau hitam yang telah dikeringkan. Komponen pembentuk gel dari tanaman cincau hitam ini jika berdiri sendiri tidak mampu menghasilkan gel yang kokoh. Akan tetapi apabila komponen pembentuk gel cincau dicampurkan dengan pati dan abu qi maka akan dihasilkan gel yang kokoh. Perbandingan antara komponen pembentuk gel, pati, dan abu qi menentukan kekokohan dari gel cincau hitam.

(4)

20 Tabel 2. Komposisi kimiawi daun cincau hitam

Komponen Jumlah per 100 gram

Kalori 122.0 kal

Protein 6.0 gram

Lemak 1.0 gram

Karbohidrat 26.0 gram

Kalsium 100.0 mg

Fosfor 100.0 mg

Besi 3.3 mg

Vitamin A 10,750 SI

Vitamin B1 80.0 mg

Vitamin C 17.0 mg

Air 66.0 gram

Bahan yang dapat dicerna (b.d.d) (%) 40

Sumber: Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan RI, 1992 dalam Widyaningsih (2007)

C. Gel Cincau Hitam

Gel merupakan suatu fenomena yang menunjukkan sifat kekerasan dan kadang-kadang pada konsentrasi zat terlarut sangat rendah, tidak menunjukkan perubahan fungsional dari zat pelarutnya (Meyer, 1973).

Gel mempunyai derajat kekompakan (rigiditas), elastisitas, dan kerapuhan yang tergantung pada jenis dan konsentrasi komponen pembentuk gel, kandungan garam, pH fase cairan, dan suhu.

Komponen pembentuk gel pada tingkat 10% atau kurang dapat berupa polisakarida, protein atau partikel kompleks koloidal seperti misel-misel kaseinat (Powrie dan Tung, 1976).

Cincau hitam merupakan masa gel yang berwarna hitam kecoklatan yang diperoleh dari pengolahan panas dari tiga komponen berupa tanaman janggelan (cincau hitam), pati, dan abu qi.

Masa ini mempunyai konsistensi yang mirip dengan masa gel yang diperoleh dari agar-agar (Balai Penelitian Kimia (1975) dalam Supriharsono (1991)). Gel cincau hitam termasuk jenis gel termoreversibel (Fardiaz dan Wahab (1985) dalam Nuraini (1994)) dimana gel dapat mencair dan dibentuk kembali dengan penambahan dan pengurangan energi panas.

Tekstur gel yang baik mempunyai kekuatan pecah berkisar antara 9 sampai 25 gr/cm2. Gel dengan kekuatan pecah kurang dari 9 gr/cm2 menghasilkan tekstur yang terlalu lunak, sedangkan gel dengan kekuatan pecah lebih besar dari 25 gr/cm2 menghasilkan tekstur yang terlalu keras.

Sineresis menunjukkan kemampuan gel dalam menahan air selama penyimpanan. Sineresis gel cincau hitam cenderung menurun dengan meningkatnya konsentrasi dan perbandingan komponen pembentuk cincau-pati. Tekstur gel yang baik mempunyai nilai sineresis kurang dari 60% setelah penyimpanan selama tiga minggu (Hasbullah dan Fardiaz, 1998).

Berdasarkan Rahmawansah (2006), yang telah melakukan observasi ke pedagang cincau hitam di daerah bogor, pada proses ekstraksi penggunaan bobot tanaman cincau sebanyak 6%. Proses perebusan dilakukan selama 2 jam atau lebih. Hal ini seperti yang dikatakan Asyhar (1988) yaitu waktu yang diperlukan untuk mengekstrak tanaman cincau adalah 2-3 jam. Dalam pembentukan gel cincau hitam perlu diperhatikan perbandingan ekstrak cincau hitam (komponen pembentuk gel) dengan pati (tepung tapioka). Tepung tapioka mengandung 17% amilosa dan 83% amilopektin.

Penggunaan tepung jenis ini disukai oleh pengolah makanan karena tidak mudah menggumpal, memiliki daya perekat yang tinggi sehingga pemakaianya dapat dihemat, tidak mudah pecah atau rusak, dan suhu gelatinisasinya rendah (Zuhri, 2010). Menurut Supriharsono

(5)

21 (1991), kekuatan gel tertinggi diperoleh dari hasil ekstraksi komponen pembentuk gel menggunakan abu qi pada konsentrasi 0.3%.

D. Proses Pengalengan

Pengalengan merupakan cara pengawetan bahan pangan dalam wadah yang tertutup rapat (hermetis) dan disterilisasi dengan panas (Desrosier, 1978). Setelah proses sterilisasi harus segera dilakukan proses pendinginan untuk mencegah terjadinya over cooking pada makanan dan tumbuhnya kembali bakteri termofilik (Winarno dan Fardiaz, 1980).

Pada umumnya proses pengalengan bahan pangan terdiri atas beberapa tahap, diantaranya persiapan bahan, pengisian bahan ke dalam kaleng, pengisian medium, exhausting, sterilisasi, pendinginan, dan penyimpanan (Desrosier, 1978).

Persiapan bahan dilakukan dengan pemilihan bahan-bahan yang akan dikalengkan, pencucian, pemotongan menjadi bagian-bagian tertentu, dan persiapan bahan untuk pengolahan selanjutnya (Luh dan Woodroof (1975) dalam Sylviana (2005)). Pencucian bertujuan untuk memisahkan bahan dari material asing yang tidak diinginkan, seperti kotoran, minyak, tanah, dan sebagainya serta diharapkan dapat mengurangi jumlah mikroba awal yang sangat berguna dalam efektivitas proses sterilisasi (Lopez, 1981).

Pengisian bahan pangan ke dalam wadah harus memperhatikan ruangan pada bagian dalam atas kaleng (head space). Head space adalah ruang kosong antara permukaan produk dengan tutup yang berfungsi sebagai ruang cadangan untuk pengembangan produk selama disterilisasi, agar tidak menekan wadah karena akan menyebabkan kaleng menjadi menggelembung. Besarnya head space bervariasi tergantung jenis produk dan jenis wadah. Umumnya untuk produk cair dalam kaleng, tingginya head space adalah sekitar 0.25 inci, sedangkan bila wadah yang digunakan adalah gelas jar, direkomendasikan head space yang lebih besar. Bila dalam pengalengan tersebut ditambahkan medium pengalengan, tinggi head space tidak boleh kurang dari 0.25 inci, tetapi bila produk dikalengkan tanpa penambahan medium, diperkenankan produk diisikan sampai hampir penuh dengan meninggalkan sedikit ruang head space (Muchtadi, 1994).

Pengisian bahan ke dalam harus seragam dengan tujuan untuk mempertahankan keseragaman rongga udara (head space), memperoleh produk yang konsisten, dan menjaga berat bahan secara tetap.

Menurut Muchtadi (1994), penghampaan udara (exhausting) adalah proses pengeluaran sebagian besar oksigen dan gas-gas lain dari dalam wadah agar tidak bereaksi dengan produk sehingga dapat mempengaruhi mutu, nilai gizi, dan umur simpan produk kalengan. Exhausting juga dilakukan untuk memberikan ruang bagi pengembangan produk selama proses sterilisasi sehingga kerusakan wadah akibat tekanan dapat dihindari dan untuk meningkatkan suhu produk di dalam wadah sampai mencapai suhu awal (initial temperature).

Penutupan wadah dilakukan setelah proses penghampaan udara (exhausting) yang bertujuan untuk mencegah terjadinya pembusukan.

E. Proses Termal

Proses termal merupakan suatu ilmu yang berkembang sejak termokopel digunakan untuk mengukur suhu. Secara industri, teknik pengemasan untuk mengawetkan makanan sudah sangat berkembang, sehingga dapat memperpanjang masa simpan produk pangan hingga waktu beberapa bulan hingga beberapa tahun. Menurut Hariyadi (2000), ada beberapa keuntungan dari proses termal.

Keuntungan dari proses pemanasan atau pemasakan ini adalah : a. terbentuknya tekstur dan cita rasa yang khas dan disukai,

(6)

22 b. rusak atau hilangnya beberapa komponen anti gizi,

c. peningkatan ketersediaan beberapa zat gizi, misalnya peningkatan daya cerna protein dan karbohidrat,

d. terbunuhnya mikroorganisme sehingga meningkatkan keamanan dan keawetan pangan, dan e. menyebabkan inaktifnya enzim-enzim perusak, sehingga mutu produk lebih stabil selama

penyimpanan.

Namun, ada pula kerugian yang diakibatkan oleh proses pemanasan, antara lain adanya kemungkinan rusaknya beberapa zat gizi dan mutu (umumnya yang berkaitan dengan mutu organoleptik, seperti tekstur, warna, dan lain-lain), terutama jika proses pemanasan tidak terkontrol dengan baik. Oleh karena itu, proses pengolahan dengan suhu tinggi perlu dikendalikan dengan baik.

Kontrol terpenting dalam pemanasan adalah kontrol suhu dan waktu.

Selama pemanasan terdapat dua hal penting yang terjadi, yaitu destruksi atau reduksi mikroba dan inaktivasi enzim yang tidak dikehendaki. Proses pemanasan untuk meningkatkan daya simpan, dilakukan dengan cara blansir, pasteurisasi, dan sterilisisasi.

F. Sterilisasi

Menurut Muchtadi (1994), sterilisasi adalah operasi yang paling penting dalam pengalengan makanan. Sterilisasi tidak hanya bertujuan untuk menghancurkan mikroba pembusuk dan patogen, tetapi juga berguna untuk membuat produk menjadi cukup masak, yaitu dilihat dari penampilannya, teksturnya, dan citarasa sesuai yang diinginkan. Oleh karena itu, proses pemanasan ini harus dilakukan pada suhu yang cukup tinggi untuk menghancurkan mikroba, tetapi tidak boleh terlalu tinggi sehingga membuat produk menjadi terlalu masak.

Sterilisasi pada sebagian besar makanan kaleng biasanya dilakukan secara komersial.

Sterilisasi komersial adalah sterilisasi yang biasanya dilakukan terhadap sebagian besar makanan di dalam kaleng, plastik, atau botol. Bahan pangan yang disterilkan secara komersial berarti semua mikroba penyebab penyakit dan pembentuk racun (toksin) dalam makanan tersebut telah dimatikan, demikian juga mikroba pembusuk. Spora bakteri non-patogen yang tahan panas mungkin saja masih ada di dalam makanan setelah proses pemanasan, tetapi bersifat dorman (tidak dalam kondisi aktif berproduksi), sehingga keberadaannya tidak membahayakan jika produk tersebut disimpan dalam kondisi normal (Hariyadi, 2000). Makanan yang telah dilakukan sterilisasi komersial memiliki daya simpan yang tinggi.

Menurut Muchtadi (1994), sterilisasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya: (1) jenis mikroba yang dihancurkan, (2) kecepatan perambatan panas ke dalam titik dingin, (3) suhu awal bahan pangan di dalam wadah, (4) ukuran dan jenis wadah yang digunakan, (5) suhu dan tekanan yang digunakan untuk proses sterilisasi, dan (6) keasaman atau pH produk yang dikalengkan.

Produk pangan yang mengalami sterilisasi dan dikombinasikan dengan kemasan yang kedap udara dapat mencegah terjadinya rekontaminasi. Kondisi pengemasan yang kedap udara ini dapat menyebabkan terbatasnya jumlah udara yang ada, sehingga bakteri yang bersifat aerob tidak akan mampu tumbuh pada produk pangan tersebut. Umumnya, proses pengemasan bagi bahan pangan yang disterilisasi dikombinasikan dengan teknik pengemasan yang akan menyebabkan kondisi anaerobik.

Kondisi ini akan memberikan beberapa keuntungan, antara lain mikroba tidak tahan panas sehingga lebih mudah dimusnahkan pada proses pemanasan dan kondisi anaerobik ini dapat mengurangi reaksi oksidasi yang mungkin terjadi selama proses pemanasan maupun selama proses penyimpanan setelah proses. Untuk mempertahankan kondisi anaerobik ini, bahan pangan perlu dikemas dalam kemasan kedap udara.

(7)

23 Operasi sterilisasi dapat dilakukan dengan menggunakan panas yang dapat berasal dari air panas (mendidih) atau dengan menggunakan uap air panas bertekanan selama waktu yang ditentukan.

Produk dalam kemasan disterilisasi dengan menggunakan ketel uap (retort). Retort yang disebut juga autoclave atau sterilizer, berbentuk bejana tertutup dan tekanan tinggi yang ditimbulkan oleh uap yang berasal dari sumber di luar retort. Sumber uap panas tersebut dapat berbentuk boiler atau steam generator.

Menurut Muchtadi (1994), berdasarkan derajat keasaman atau pH produk pangan, operasi sterilisasi dapat digolongkan menjadi dua kelas, yaitu produk yang disterilisasi pada suhu 212˚F (100˚C) yang merupakan suhu air mendidih pada tekanan atmosfer dan produk yang harus disterilisasi pada suhu lebih tinggi dari 212˚F(100˚C). Bahan pangan yang asam (pH ˂ 4.5) seperti sari buah, buah-buahan, beberapa macam sayuran, umumnya disterilisasi dengan cara memanaskan wadah dalam waktu yang cukup agar suhu pada titik dingin mencapai 200˚F atau lebih. Dengan cara ini, mikroba yang dapat membusukkan bahan pangan asam telah dapat hancur. Golongan bahan pangan lainnya yang memiliki pH ˃ 4.5 seperti sayuran yang tidak asam, sup, daging, dan hasil olahannya, ikan, dan unggas, dilakukan sterilisasi pada suhu tinggi dibawah tekanan, agar diperoleh tingkat sterilitas yang memadai. Ketahanan panas bakteri yang penting dalam sterilisasi komersial disebutkan pada Tabel 3 di bawah ini.

Tabel 3. Ketahanan panas bakteri yang penting pada proses sterilisasi komersial

Golongan Bakteri Ketahanan Panas

D Z

Bahan Pangan Berasam Rendah (pH diatas 4,5) Termofilik (spora)

Golongan Flat-Sour (B. stearothermophilus)

Golongan Pembusuk/Produksi Gas (C. thermosaccharolyticuum)

Golongan Pembentuk Bau Sulfida (C. nigrificans) Mesofilik (Spora)

PA(Putrefactive Anaerob) C. botulinum (tipe A dan B) C. sporogenes (termasuk PA.367a)

4,0-5,0 3,0-4,0 2,0-3,0

0,1- 0,20 0,1- 0,15

14-22 16-22 16-22

14-18 14-18 Bahan Pangan Asam (pH 4,0 – 4,5)

Temofilik (spora) C. coagulans Mesofilik

B. polymiyxa dan B. macerans Anaeron butirat (C. Pasterianum)

0,01-0,07

0,01-0,05 0,01-0,05

14-18

12-16 12-16 Bahan Pangan Berasam Tinggi (pH ˂ 4,0)

Lactobacillus sp, Leuconostoc sp, dan Kapang serta Khamir 0,50-1,00 8-10 Sumber : Muhtadi, Tien R. (2008)

Untuk bahan pangan yang tergolong tidak asam dapat ditambahkan larutan garam atau larutan gula yang diasamkan sebagai mediumnya, sehingga sterilisasi dapat dilakukan pada suhu yang lebih rendah (misalnya hanya pada suhu 100˚C, tekanan atmosfer) sehingga mutu produk dapat lebih dipertahankan.

(8)

24 Menurut Reuter (1993), kerusakan mutu pangan selama proses sterilisasi adalah rendah ketika bahan pangan tersebut diberi perlakuan suhu yang tinggi dalam waktu yang singkat. Penentuan waktu dan suhu sterilisasi dipengaruhi oleh kecepatan perambatan panas, keadaan awal produk (pH, dimensi produk, dan jumlah mikroba awal), wadah yang digunakan, dan ketahanan panas mikroba atau sporanya. Setiap partikel makanan harus menerima panas dalam jumlah yang sama. Kombinasi waktu dan suhu yang diberikan pada produk yang disterilisasi harus cukup untuk mematikan mikroba patogen dan mikroba pembusuk. Untuk itu, guna memastikan tidak aktifnya enzim yang terdapat pada bahan pangan dan tercapainya waktu sterilisasi yang singkat, proses pre-sterilisasi dapat dilakukan dengan proses blansir.

Proses sterilisasi komersial dengan menggunakan panas di desain untuk melindungi kesehatan konsumen dan untuk melindungi produk dari mikroba pembusuk yang dapat menyebabkan kerugian secara ekonomis (Scmitdt, 1957).

G. Perhitungan Proses Termal

Perancangan proses termal bertujuan untuk menghasilkan produk yang steril secara komersial, dengan pemanasan yang cukup, sehingga dapat mempertahankan mutu produk dan meminimalisasi biaya. Perhitungan proses termal dapat diklasifikasikan menjadi dua metode, yaitu metode umum (general method) dan metode formula (formula methods).

1. Metode Umum

Metode umum merupakan metode yang paling teliti dalam menghitung proses sterilisasi yang dikembangkan oleh Bigelow (1920) yang kemudian dilanjutkan oleh Ball dan kawan-kawan.

Ketelitiannya yang tinggi disebabkan oleh suhu bahan pangan yang diukur dalam suatu percobaan, secara langsung digunakan dalam perhitungan tanpa mengasumsikan hubungan antara waktu dengan suhu dari makanan tersebut.

Menurut Kusnandar, et al. (2006), metode umum (trapezoidal) menganggap nilai letalitas yang diukur antara titik satu dengan titik yang lainnya membentuk suatu garis lurus, sehingga nilai letalitas proses setiap selang waktu adalah luas trapesium dengan tinggi (tntn1), panjang sisi atas dan bawah masing-masing Ln dan Ln1. Perhitungan metode umum (trapezoidal) dapat dilakukan dengan bantuan Microsoft Excel Spreadsheet. Dengan nilai F0 merupakan hasil penjumlahan parsial atau luasan di bawah kurva trapesium seperti rumus di bawah ini. Gambar 2 menunjukkan gambar kurva lethal rate penetrasi panas.

    

 

n

i

n n o

n

n t L L L L L L

F t

1

1 3

2 1 1

0 ( 2 2 2 ... 2 2 )

2 (II.1)

(9)

25 Gambar 2. Kurva lethal rate penetrasi panas

2. Metode Formula

Metode formula diawali dengan memplotkan waktu dengan suhu produk pada kertas semilog, dimana waktu sebagai absis dan suhu sebagai ordinat logaritmik. Kemudian dari grafik tersebut dapat keterlambatan sebelum diperoleh nilai karakteristik penetrasi panas dalam pangan yang diproses ( fh,fc,jh,jc). Parameter respon suhu fh dan fc menggambarkan laju penetrasi panas ke dalam produk atau wadah, fh merupakan waktu yang dibutuhkan kurva penetrasi panas untuk melalui 1 siklus log pada fase pemanasan, sedangkan fc pada fase pendinginan. Sedangkan jh dan

jcmenggambarkan waktu keterlambatan sebelum laju penetrasi mencapai fh dan fc. Hubungan suhu produk dengan waktu pemanasan mengikuti persamaan berikut :

) /

10 (

) ( )

(TrTTrTi t fh (II.2)

atau

   

h i r

r f

T t T T

T  log  

log (II.3)

dimana:

t = waktu proses (menit)

T = suhu produk (pada titik terdingin) (˚F) Tr = suhu retort saat proses (˚F)

Ti = suhu awal produk (˚F)

fh = waktu yang diperlukan kurva penetrasi panas melewati satu siklus log (menit)

(10)

26 Ball menggunakan fakta bahwa nilai sterilitas porsi pemanasan dari suatu proses termal merupakan fungsi dari kemiringan kurva pemanasan ( fh) dan perbedaan suhu medium pemanas dengan suhu produk pada akhir pemanasan (TrT) = g. Berdasarkan persamaan suhu produk dengan waktu pemanasan, maka diperoleh persamaan berikut:



 

 

g

I f j

tB ( h)log h h (II.4)

 

r i

pih r

h T T

T j T

log 

log , IhTrTi (II.5)

Dari tabel hubungan fh dan waktu pemanasan pada suhu retort untuk mencapai sterilitas yang diinginkan (UF0Lr) deng an nilai g, dapat ditentukan nilai g, sehingga nilai tB dapat dihitung. Jika nilai tBsudah diketahui, nilai sterilitas proses (F0) dapat dihitung dengan :

 



 

  U f

L F f

h r h

0 (II.6)

 

z T r

r

L

250

10

(II.7)

Dimana:

Lr = letalitas

tB = waktu proses (menit) F0 = nilai sterilitas proses (menit)

Broken heating curves adalah kurva pemanasan pada produk yang pada periode pertama pemanasan mengalami kenaikan suhu yang cepat dan pada periode berikutnya mengalami kenaikan suhu yang lambat.

H. Parameter Kecukupan Proses Termal

Dalam suatu perancangan proses termal, karakteristik ketahanan panas mikroba dan profil pindah panas dari medium pemanas ke dalam bahan pada titik terdinginnya merupakan hal penting yang harus diketahui. Karakteristik ketahanan panas dinyatakan dengan nilai D dan nilai z. Nilai D adalah waktu pemanasan pada suhu tertentu untuk mereduksi mikroorganisme sebanyak 90% atau menjadi 1/10. Sedangkan nilai z adalah derajat kenaikan atau penurunan suhu untuk menurunkan atau menaikkan nilai D menjadi 10 kali dari nilai awalnya. Nilai D dan nilai z suatu mikroorganisme dapat dilihat pada Tabel 3 yang menggambarkan ketahanan panas bakteri yang penting pada proses sterilisasi komersial.

Untuk mencapai level pengurangan jumlah mikroba yang diinginkan dalam suatu perancangan proses termal, maka ditentukan siklus logaritma pengurangan mikroba. Secara matematis penentuan siklus logaritma penurunan mikroba (S) dinyatakan dengan persamaan 1 berikut:

Nt

SlogNo (II.8)

Dimana: Nt = jumlah populasi mikroba setelah proses termal „t‟ menit No = jumlah populasi mikroba sebelum proses termal

Setelah siklus logaritma penurunan mikroba ditentukan, kemudian dihitung nilai sterilitasnya pada suhu tertentu (F0). F0 disebut sebagai nilai sterilisasi jika proses yang berlangsung adalah

(11)

27 sterilisasi, namun jika proses yang berlangsung adalah pasteurisasi, maka F0 adalah nilai pasteurisasi.

F0 adalah ekuivalen letalitas proses termal dengan waktu pemanasan pada suhu 250˚F. Nilai F0 ini ditentukan sebelum proses termal berlangsung. Nilai F0 dapat dihitung pada suhu standar atau pada suhu tertentu, dimana untuk menghitungnya perlu diketahui nilai D dan nilai z. Secara umum, nilai F0

menggambarkan waktu (menit) yang dibutuhkan untuk membunuh mikroba target hingga mencapai level tertentu pada suhu tertentu.

Do

S

F0   (II.9)

Proses pengujian keamanan makanan kaleng yang berasam rendah, maka kriteria sterilitas yang digunakan berdasarkan spora bakteri yang lebih tahan panas daripada spora Clostridium botulinum, yaitu spora Bacillus stearothermophilus atau FS (flat sour) 1518. Disebut sebagai FS 1518 karena pertumbuhan bakteri ini akan mengakibatkan kebusukan akibat diproduksinya asam tetapi tanpa gas sehingga bentuk tutup kaleng tetap normal (flat). Untuk makanan kaleng yang asam, proses sterilisasi dengan menggunakan panas ini biasanya didesain berdasarkan pada ketahanan panas bakteri fakultatif anaerob, seperti Bacillus coagulan (B. thermoacidurans), B. mascerans, dan B. polymyxa.

I. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efektifitas Proses Termal

Menurut Kusnandar, et al. (2006), faktor-faktor kritis yang mempengaruhi proses termal dan sterilisasi yang perlu diidentifikasi pengaruhnya adalah : (a) karakteristik produk yang dikalengkan, yang terdiri dari pH keseimbangan, metode pengasaman, konsistensi/viskositas dari bahan, bentuk/ukuran bahan, aktivitas air, persen padatan, rasio padatan/cairan, perubahan formula, ukuran partikel, syrup strength, jenis pengental, jenis pengawet yang ditambahkan, dan sebagainya, (b) kemasan, yang terdiri dari jenis dan dimensi, metode pengisian bahan ke dalam kemasan, (c) proses dalam retort, yang terdiri dari jenis retort, jenis media pemanas, posisi wadah dalam retort, tumpukan wadah, pengaturan kaleng, kemungkinan terjadinya nesting, dan sebagainya. Beberapa faktor kritis tersebut dijelaskan sebagai berikut:

a) Keasaman (Nilai pH)

Tingkat keasaman (nilai pH) merupakan salah satu karakteristik produk pangan yang menentukan apakah suatu produk harus dilakukan sterilisasi atau pasteurisasi. Pada produk pangan yang diasamkan, maka prosedur pengasaman menjadi sangat penting, yang harus menjamin pH keseimbangan dari bahan harus berada di bawah pH < 4.5. Untuk itu, perlu diketahui metode pengasaman yang digunakan dan jenis acidifying agent yang digunakan (misalnya asam sitrat, asam asetat, asam malat, saus tomat, asam tartarat, dan sebagainya). Bila pengasaman dilakukan secara benar, maka proses termal dapat menerapkan pasteurisasi.

b) Viskositas

Viskositas suatu produk berhubungan dengan cepat atau lambatnya laju pindah panas pada bahan yang dipanaskan yang mempengaruhi efektifitas proses panas. Pada produk yang memiliki viskositas rendah (cair) pindah panas berlangsung secara konveksi yaitu merupakan sirkulasi dari molekul-molekul panas sehingga hasil transfer panas menjadi lebih efektif. Sedangkan pada produk yang memiliki viskositas tinggi (padat), transfer panas berlangsung secara konduksi, yang mengakibatkan terjadinya tumbukan antara yang panas dan yang dingin sehingga efektifitas pindah panas menjadi berkurang. Koefisien pindah panas secara konveksi dinyatakan dengan „h‟, sedangkan koefisien pindah panas secara konduksi dinyatakan dengan „k‟. Koefisien pindah panas tersebut menunjukkan mudah atau tidaknya pindah panas yang terjadi pada suatu produk.

(12)

28 c) Jenis medium pemanas

Jenis medium pemanas pada umumnya menggunakan uap (steam) dengan teknik pemanasan secara langsung (direct heating). Teknik pemanasan dengan menggunakan uap (steam) secara langsung ini terdiri dari dua macam, yaitu : (i) steam injection, yang dilakukan dengan menyuntikkan uap secara langsung ke dalam ruangan (chamber) yang berisi bahan pangan, dan (ii) steam infusion, adalah teknik pemanasan dimana bahan pangan disemprotkan kedalam ruangan yang berisi uap panas.

d) Jenis dan ukuran kaleng

Jenis kemasan yang digunakan berpengaruh pada kecepatan perambatan panas ke dalam bahan.

Sementara ukuran kaleng yang berdiameter lebih besar, efektifitas transfer panas lebih rendah dibandingkan kaleng dengan ukuran diameter yang lebih kecil, karena penetrasi panas lebih cepat.

Gambar

Tabel 3. Ketahanan panas bakteri yang penting pada proses sterilisasi komersial

Referensi

Dokumen terkait

Meskipun perpustakaan bermanfaat sebagai salah satu sumber belajar untuk semua mata pelajaran (termasuk pelajaran sejarah), namun dalam kenyataan ada kecenderungan

Secara singkat dapat dijelaskan bahwa persinggungan antara ajaran agama (Islam) yang dibawa oleh Ki Ageng Gribig, modernitas, dan budaya (Jawa) tergambar dalam ritual dan

Disahkan dalam rapat Pleno PPS tanggal 26 Februari 2013 PANITIA PEMUNGUTAN SUARA. Nama

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: 1) upaya layanan bimbingan konseling Islam yang dilakukan guru konselor untuk menyadarkan perilaku merokok pada siswa di SMP Negeri 5

Oleh karena itu bagi lembaga pendidikan yang mengembangkan pendidikan vokasi tidak perlu minder dan kemudian mengubah menjadi pendidikan akademik, karena akan

masyarakat dalam mencari informasi tempat ibadah yang berada di kecamatan Toboali.tempat ibadah merupakan hal yang penting yang harus ada disetiap daerah. Sarana tempat

Selain dari beberapa karya di atas, Fazlur Rahman pernah menulis artikel yang berjudul “Iqbal in Modern Muslim Thoght” Rahman mencoba melakukan survei terhadap

Dengan mempertimbangkan pilihan-pilihan adaptasi yang dikembangkan PDAM dan pemangku kepentingan, IUWASH juga merekomendasikan untuk mempertimbangkan aksi-aksi adaptasi