• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia (SDM) melalui kegiatan pengajaran. Kegiatan pengajaran

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia (SDM) melalui kegiatan pengajaran. Kegiatan pengajaran"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

I.A. LATAR BELAKANG MASALAH

Pendidikan adalah usaha sadar untuk menumbuhkembangkan potensi sumber daya manusia (SDM) melalui kegiatan pengajaran. Kegiatan pengajaran tersebut diselenggarakan pada semua satuan dan jenjang pendidikan yang meliputi wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi (Suryabrata, 2001).

Seperti yang kita ketahui bahwa ada tiga jalur pendidikan yang dikenal dalam sistem pendidikan di Indonesia yaitu: pertama, jalur formal atau yang sering juga disebut dengan program reguler, seperti: SD, SMP, dan SMA. Kedua, jalur nonformal, seperti: lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar.

Selanjutnya yang terakhir yaitu jalur informal, seperti: pendidikan oleh keluarga dan lingkungan secara mandiri dan salah satunya adalah homeschooling (Sumardiono, 2007). Di Indonesia Proses belajar mengajar di sekolah reguler bersifat sangat kompleks, karena di dalamnya terdapat aspek paedagogis, psikologis, dan didaktis. Aspek paedagogis merujuk pada kenyataan bahwa belajar mengajar di sekolah berlangsung dalam lingkungan pendidikan di mana guru harus mendampingi siswa dalam perkembangannya menuju kedewasaan, melalui proses belajar mengajar di dalam kelas. Aspek psikologis merujuk pada kenyataan bahwa siswa yang belajar di sekolah memiliki kondisi psikologis yang berbeda-beda. Aspek psikologis tersebut merujuk pada kenyataan bahwa proses belajar itu sendiri sangat bervariasi, misalnya: ada belajar materi yang

(2)

mengandung aspek hafalan, ada belajar keterampilan motorik, ada belajar konsep, ada belajar sikap, dan seterusnya. Adanya kemajemukan ini menyebabkan cara siswa belajar harus berbeda-beda pula, sesuai dengan jenis belajar yang sedang berlangsung. Aspek didaktis merujuk pada pengaturan belajar siswa oleh tenaga pengajar, yaitu adanya berbagai prosedur didaktis. Guru harus menentukan metode yang paling efektif untuk proses belajar mengajar tertentu sesuai dengan tujuan instruksional yang harus dicapai. Demikian pula dengan kondisi eksternal belajar yang harus diciptakan oleh pengajar, sangat bervariasi (Suryadi dan Hartilaar, 1993)

Dengan berbagai macam pendidikan yang ada, para orang tua haruslah bijak memilih pendidikan yang tepat untuk anak-anaknya sesuai dengan tugas perkembangan yang akan mereka jalani, karena pada usia remaja terdapat tugas- tugas perkembangan yang harus dipenuhi oleh remaja. Salah satu tugas perkembangan remaja yang menuntut perubahan besar dalam sikap dan pola perilaku adalah penyesuaian sosial (Santrock, 2004). Ditambahkan pula oleh Mu’tadin (2002), bahwa kemampuan penyesuaian sosial dirasakan semakin penting bagi perkembangan remaja. Hal ini disebabkan karena individu sudah memasuki dunia pergaulan yang lebih luas, di mana pengaruh teman-teman dan lingkungan sosial akan sangat menentukan. Suryabrata (2001) mengatakan bahwa remaja memiliki pula kebutuhan akan adanya teman yang dapat memahami dan menolongnya, teman yang dapat turut serta merasakan suka dan dukanya.

Greenberger (dalam Hurlock, 1999) menyatakan untuk mencapai tujuan dari pola sosialisasi dewasa, remaja harus banyak membuat penyesuaian baru.

Penyesuaian tersebut berkaitan dengan pengaruh kelompok sebaya, perubahan

(3)

dalam perilaku dan pengelompokan sosial, nilai-nilai baru dalam dukungan dan penolakan sosial, dan nilai-nilai baru dalam seleksi persahabatan dan pemimpin.

Bertambah luasnya lingkup sosial remaja membawa konsekuensi tertentu pula. Menurut Havighurst (dalam Hurlock, 1999) semakin kompleks lingkup sosialnya, remaja semakin dituntut untuk selalu menyesuaikan diri, dan diharapkan mampu membina hubungan yang baru dan lebih matang dengan teman sebaya, serta mampu bertingkah laku sosial yang bertanggung jawab. Menurut Craig (1996), alasan mengapa para remaja lebih suka mencari dukungan dari teman-teman sebaya adalah karena teman-teman sebayalah yang memiliki pengalaman yang sama dengannya dibandingkan dengan orang-orang lain dalam menghadapi perubahan fisik, emosional, dan perubahan sosial yang terjadi.

Kegagalan remaja dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya menyebabkan rasa rendah diri, dikucilkan dari pergaulan, cenderung berperilaku kurang normatif, dan bahkan dalam perkembangan yang lebih ekstrim bisa menyebabkan terjadinya gangguan jiwa, kenakalan remaja, dan tindakan kriminal (Sarwono, 2000).

Melihat kondisi lingkungan yang semakin luas, remaja dituntut untuk dapat memilih dan memilah hal-hal baik mana yang akan ditiru atau diikuti, serta perilaku buruk mana yang memang seharusnya dihindari. Remaja harus mampu bersikap tegas dan merespon secara tepat segala pengaruh yang seringkali muncul dalam pergaulannya. Salah satu kunci keberhasilan hidup manusia adalah kemampuannya untuk melakukan dan membina hubungan antar pribadi dengan orang lain (Nashori, 2000). Berbagai kisah nyata menunjukkan bahwa keberhasilan pada berbagai bidang kehidupan dipengaruhi oleh kemampuan untuk

(4)

mengelola hubungan pribadi dengan orang lain. Havighurst (dalam Hurlock,1999) menyatakan bahwa untuk melakukan penyesuaian dalam kehidupan sehari-hari, remaja harus mampu mencapai kemampuan sosial. Kemampuan sosial dapat dikuasai dengan baik oleh remaja apabila mereka memiliki keterampilan sosial.

Keterampilan sosial merupakan kemampuan individu untuk berkomunikasi efektif dengan orang lain baik secara verbal maupun nonverbal sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada pada saat itu, dimana keterampilan ini merupakan perilaku yang dipelajari. Remaja dengan keterampilan sosial akan mampu mengungkapkan perasaan baik positif maupun negatif dalam hubungan interpersonal, tanpa harus melukai orang lain (Hargie, Saunders, & Dickson dalam Gimpel & Merrell, 1998).

Keterampilan sosial juga harus dimiliki remaja ketika berhadapan dengan teman sebaya. Remaja lebih banyak menghabiskan waktu dengan sesama remaja daripada dengan orang tua atau anggota keluarga lain. Hal ini dikarenakan remaja selalu berada di sekolah dari pagi sampai siang, belum lagi kalau ada ekstrakurikuler, les, bahkan nonton ke bioskop atau ke mal dilakukan bersama teman. Acara liburan pun seringkali dilewatkan untuk berekreasi bersama teman, seperti pergi camping atau berdarmawisata ke kota lain. Fenomena ini di Indonesia dikenal dengan istilah peer pressure atau tekanan teman sebaya.

Faktanya dapat dilihat dari besarnya pengaruh teman sebaya dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari cara berbicara, berpakaian, sampai bertingkah laku yang cenderung memperhatikan dan mengikuti apa yang dilakukan oleh temannya (http://www.kompas.com/kompas-cetak/0203/08/dikbud/pee33.htm).

(5)

Keterampilan sosial membawa remaja untuk lebih berani berbicara, mengungkapkan setiap perasaan atau permasalahan yang dihadapi dan sekaligus menemukan penyelesaian yang adaptif, sehingga mereka tidak mencari pelarian ke hal-hal yang justru dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain. Remaja akan memiliki tanggung jawab yang cukup tinggi dalam segala hal, penuh pertimbangan sebelum melakukan sesuatu, tahu situasi dengan siapa dan dalam kondisi bagaimana bmereka berbicara, mampu menolak dan menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pengaruh-pengaruh negatif dari lingkungan (Libet &

Lewinsohn dalam Gimpel & Merrell, 1998). Penelitian yang mendukung hal ini dilakukan oleh Buhrmester, dkk (1988) hasilnya menunjukkan bahwa keterampilan sosial bermanfaat dalam hal popularitas dalam peer-group, kesuksesan dalam membina hubungan antar jenis, kepuasan dalam hubungan perkawinan, dan sebagai benteng stres dalam kehidupan sehari-hari.

Selanjutnya, Caldarella & Merrell (dalam Gimpel & Merrell, 1998) mengemukakan bahwa keterampilan sosial mencakup 5 dimensi yang paling umum, yaitu:

1. Hubungan dengan teman sebaya (peer relations,) yaitu ditunjukkan melalui perilaku yang positif terhadap teman sebaya seperti memuji atau menasehati orang lain, menawarkan bantuan kepada orang lain, dan bermain bersama orang lain.

2. Manajemen diri (self-management), yaitu merefleksikan remaja yang memiliki emosional yang baik, yang mampu untuk mengontrol emosinya, mengikuti peraturan dan batasan-batasan yang ada, dapat menerima kritikan dengan baik.

(6)

3. Kemampuan akademis (academic), yaitu kemampuan yang ditunjukkan melalui pemenuhan tugas secara mandiri, menyelesaikan tugas individual, menjalankan arahan dengan baik.

4. Kepatuhan (compliance), yaitu menunjukkan remaja yang dapat mengikuti peraturan dan harapan, menggunakan waktu dengan baik, dan membagikan sesuatu.

5. Perilaku assertive (assertion), adalah kemampuan yang membuat seorang remaja dapat menampilkan perilaku yang tepat dalam situasi yang diharapkan.

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa kesempatan berinteraksi dengan teman sebaya sebagian besar banyak dihabiskan di sekolah reguler, di mana peran remaja dalam hal ini adalah sebagai siswa. Sekolah juga mempersiapkan siswa untuk aktif berpartisipasi pada kegiatan-kegiatan sosial melalui organisasi intrakurikuler maupun ekstrakurikuler-nya. Begitu pentingnya peranan sekolah bagi siswa membuat pemerintah berusaha semaksimal mungkin untuk menciptakan sekolah sebagai lingkungan pendidikan yang bermutu dalam hal teknologi dan informasi. Pemerintah harus peka dalam membentuk strategi penyelenggaraan pendidikan melalui kurikulum yang akan diterapkan di seluruh sekolah di Indonesia.

Pembaharuan pendidikan yang mulai digalakkan beberapa puluh tahun yang lalu menyebabkan timbulnya berbagai usaha pemikiran di berbagai bidang pendidikan, seperti: pembaharuan kurikulum, metode mengajar, administrasi pendidikan, media pendidikan, dan sistem supervisi. Adanya pembaharuan ini

(7)

telah menimbulkan perubahan ukuran baik-buruk perihal kegiatan guru, kegiatan siswa, suasana kelas, dan banyak lagi hal lainnya (Arikunto, 1996).

Namun, sistem kurikulum yang berlaku di Indonesia sekarang dianggap belum sepenuhnya mampu menampung konsepsi dan gagasan baru sejalan dengan tantangan dan kehidupan bangsa saat ini. Banyak orang tua merasa tidak puas pada pendidikan di sekolah reguler. Kurikulum selalu berubah, akibatnya buku pelajaran juga ikut berubah, dan beban muatan pelajaran cukup berat. Alasan lain yang menjadi pertimbangan orang tua adalah pergaulan di sekolah yang memberi dampak buruk. Salah satu fakta itu, penyalahgunaan obat terlarang yang sudah menyusup di kalangan pelajar. Semua itu membuat orangtua mempertimbangkan kembali untuk menyekolahkan anaknya di sekolah reguler (Prasetyawati, 2006).

Widyastono (2001) menambahkan pula bahwa strategi penyelenggaraan pendidikan bersifat klasikal-massal yang selama ini dilakukan di sekolah reguler, memberikan perlakuan yang standar (tidak memperhatikan keberagaman peserta didik) kepada semua siswa, padahal setiap siswa memiliki kebutuhan yang berbeda. Akibatnya, siswa yang memiliki kemampuan dan kecerdasan di bawah rata-rata, karena memiliki kecepatan belajar di bawah kecepatan belajar siswa lainnya, akan selalu tertinggal dalam mengikuti kegiatan belajar-mengajar.

Demikian pula sebaliknya, siswa yang memiliki kemampuan dan kecerdasan di atas rata-rata, karena memiliki kecepatan belajar di atas kecepatan belajar siswa lainnya, akan merasa jenuh, sehingga sering berprestasi di bawah potensinya (under achiever).

Bertolak dari situasi tersebut, akhir-akhir ini telah muncul suatu konsep pendidikan alternatif yang melibatkan orang tua dengan pola pendidikan di dalam

(8)

rumah. Konsep tersebut dikenal dengan homeschooling, karena pada hakikatnya pendidikan adalah berasal dari rumah. Sewaktu anak-anak lahir dan berkembang serta belajar merupakan tanggung jawab dari orang tua sebagai pendidik dan menjadi role model bagi anak (Griffith, 2006). John Locke (dalam Lines, 2000) mengatakan bahwa tujuan dari pendidikan adalah kebaikan, dan rumah merupakan tempat yang terbaik untuk mengajarkannya. Menurut Evy (2006) cara memulai program sekolah rumah (homeschooling) ini, ada beberapa cara berdasarkan pengalaman yang selama ini telah dilakukan, diantaranya pertama, kelas anak disesuaikan dengan usia, kedua tutor dari orangtua atau orang yang ditunjuk, ketiga menggunakan buku panduan Paket A,B,C atau juga pakai buku yang banyak di toko, keempat waktu belajar terserah, yang penting anak belajar minimal 2x 3 jam dalam sehari. Masih banyak aturan lain dari homeschooling ini dan penyelenggaraan sekolah rumah tidak hanya setara SD saja bahkan sampai SMA pun ada programnya.

Menurut Wichers (2001) homeschooling didesain sebagai situasi pembelajaran di mana anak diajarkan pada umumnya oleh orang tua mereka, dalam lingkungan yang non tradisional. Orang tua merasa lebih nyaman bila menerapkan homeschooling bagi anak-anaknya. Selain lebih aman, orang tua akan dapat lebih intensif membantu tumbuh kembang anak. Dalam homeschooling penekanannya lebih kepada partisipasi dari orang tua dalam merancang pendidikan anak-anaknya, karena pada dasarnya orang tua-lah yang lebih mengenal karakter anak-anaknya. Orang tua dapat merancang pola didik yang paling sesuai dengan karakter, minat, dan bakat anaknya. Holt (dalam Griffith, 2006) mengatakan bahwa homeschooling merupakan sebuah pendidikan yang

(9)

dilakukan ’tanpa sekolah’ dan dilakukan di dalam rumah, serta berdasarkan pada pembelajaran yang terpusat pada anak. Menurut Yulfiansyah (2006) homeschooling merupakan sebuah wacana pembelajaran yang menitikberatkan

kepada pemanfaatan potensi anak didik dengan sedikit supervisi. Anak yang homeschooling diberi kesempatan untuk mengembangkan kemampuan berpikir

dan bernalar secara komprehensif, optimal dan mengoptimalkan kreativitasnya.

Pelaksanaan dari program pendidikan homeschooling mulai dari awal hingga sekarang masih menimbulkan pro dan kontra (Yulfiansyah, 2006). Pro dan kontranya terutama dari segi psikologis. Siswa yang homeschooling melaksanakan pendidikan di rumah yang akan lebih fleksibel, sehingga terkesan tidak disiplin dan seenaknya sendiri karena terbiasa bebas. Sebagian orang berpendapat bahwa pendidikan homeschooling membuat anak kurang bersosialisasi dan tidak realistis terhadap dunia. Siswa akan kehilangan waktu senggang dan masa bermainnya, serta menghambat dan membatasi siswa untuk berinteraksi dengan teman sebaya, dan dengan demikian hubungan interpersonal dengan orang lain pun juga akan semakin merenggang. Prasetyawati (2006) menambahkan pula bahwa kelemahan dari homeschooling, yaitu kemungkinan kurangnya sosialisasi anak dengan teman sebaya. Anak hanya bisa bertemu saudara dan orang tuanya yang biasanya juga ada di rumah. Sementara di sekolah reguler, anak bisa bertemu banyak orang dengan karakter dan budaya yang berbeda. Di sekolah reguler anak juga lebih banyak kesempatan untuk belajar tentang rasa toleransi, dan bagaimana bersikap pada teman, guru, lingkungan sekitar, dan lain-lain. Pada umumnya orang lebih menganjurkan pendidikan di sekolah reguler yang konvensional (Griffith, 2006).

(10)

Namun di sisi lain Yulfiansyah (2006) mengatakan bahwa anak yang homeschooling juga bersosialisasi dengan orang lain sehingga memiliki

keterampilan untuk bersosialisasi. Bersosialisasi berarti berinteraksi dengan individu-individu lain dan tidak harus dengan mereka yang sebaya saja. Anak yang homeschooling berinteraksi dengan siapa saja, baik teman sebaya, mereka yang lebih tua maupun yang jauh lebih muda sekali pun. Mereka diajar untuk bisa menempatkan diri di lingkungan mana pun, dengan siapa pun, dan menjalin hubungan atau interaksi bukan karena diharuskan atau dipaksakan tetapi karena kesadaran bahwa hubungan antar manusia itu memiliki makna.

Di Indonesia, yaitu di beberapa kota seperti di Jakarta penerapan program homeschooling sudah banyak dilaksanakan. Kebanyakan orang tua mereka

menyarankan anaknya untuk bersekolah dengan cara homeschooling. Peneliti sendiri sudah menanyakan kepada beberapa orang tua yang anaknya mengikuti program homeschooling, dan para orang tua tersebut mengatakan bahwa alasan mereka adalah bahwa mereka kurang percaya dengan sekolah reguler karena pergaulan di Jakarta yang begitu bebas sehingga ia takut kalau anaknya akan salah pergaulan. Selain itu dengan homeschooling, anak dapat mengatur jadwal belajarnya sendiri tetapi penuh dengan kedisiplinan yang tinggi dan juga dapat memfokuskan pelajaran mana yang paling digemari. Karena itu di Jakarta sudah banyak sekali siswa yang memilih program homeschooling tanpa adanya rasa keraguan. Di Jakarta sendiri sudah banyak terdapat komunitas homeschooling, sehingga jika kita ingin memasukkan anak kita bersekolah melalui program homeschooling sudah dapat melalui sekretariatnya. Itulah sebabnya peneliti tertarik untuk mengambil sampel di Jakarta karena sudah banyak siswa yang

(11)

mengikuti program homeschooling, sedangkan di Medan sendiri peminatnya masih sedikit, yang biasanya diutamakan kepada anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus (special needs).

Setiap siswa pastilah berbeda-beda, begitu juga dengan keterampilan sosial yang dimiliki siswa belum tentu sama antara satu dengan yang lainnya. Bertolak dari perbedaan pandangan di atas, pertanyaan yang muncul dan harus segera dijawab dalam hal ini adalah apakah siswa yang mengikuti program homeschooling berbeda keterampilan sosialnya dengan siswa yang mengikuti

program reguler di sekolah. Untuk itu peneliti merasa tertarik untuk melakukan suatu penelitian mengenai perbedaan keterampilan sosial antara siswa yang mengikuti program homeschooling dengan siswa program reguler.

I.B TUJUAN PENELITIAN

Dari uraian di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan keterampilan sosial antara siswa yang mengikuti program homeschooling dengan siswa program reguler

I.C. MANFAAT PENELITIAN

Dari penelitian ini diharapkan dapat diperoleh manfaat, yaitu manfaat secara teoritis dan manfaat secara praktis.

1. Manfaat teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat yang berguna dalam pengembangan ilmu psikologi, khususnya di bidang Psikologi Pendidikan. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan

(12)

informasi mengenai bagaimana perbedaan keterampilan sosial antara siswa yang mengikuti program homeschooling dengan siswa program reguler.

Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memperluas ruang lingkup dan menambah wacana dalam ilmu psikologi sendiri, khususnya yang berkaitan dengan tema program homeschooling yang sedang marak akhir- akhir ini.

2. Manfaat praktis

Adapun manfaat praktis dari penelitian ini adalah:

a. Memberikan masukan kepada para siswa dalam menjalani sebuah program pendidikan, sehingga mereka dapat mempersiapkan diri sebelum mereka mengecap suatu program pendidikan tertentu.

b. Memberikan informasi kepada pihak keluarga dan masyarakat agar lebih memperhatikan pola pendidikan anak, dan memberikan perlakuan yang tepat bagi pendidikan anak, sehingga para anak tidak merasakan adanya suatu paksaan dalam bersekolah.

c. Memberikan informasi yang telah didapatkan kepada pihak yang berwenang dalam program pendidikan, yaitu pemerintah, sehingga homeschooling semakin mendapat dukungan yang lebih dalam menciptakan pendidikan bagi pengembangan potensi anak.

(13)

I.D. SISTEMATIKA PENULISAN Bab I Pendahuluan

Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penelitian.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan keterampilan sosial antara siswa yang mengikuti program homeschooling dengan siswa program reguler

Bab II Landasan Teori

Bab ini menguraikan landasan teori yang mendasari masalah yang menjadi objek penelitian, meliputi landasan teori dari keterampilan sosial, homeschooling, dan program reguler.

Bab III Metode Penelitian

Bab ini berisikan identifikasi variabel-variabel yang diteliti, definisi operasional, subyek penelitian, alat ukur yang digunakan, metode pengambilan sampel, dan metode analisis data.

Bab IV Analisa dan Interpretasi Data

Bagian ini berisikan uraian singkat hasil utama penelitian, dan interpretasi data, serta hasil tambahan yang dapat memperkaya penelitian ini.

Bab V Kesimpulan, Diskusi, dan Saran

Bagian ini berisikan kesimpulan dari penelitian dan hasil dari penelitian itu sendiri yang dibuat berdasarkan analisa dan interpretasi data, dan berbagai kemungkinan yang terjadi mengenai alasan dari hasil penelitian yang telah diperoleh berdasarkan teori-teori keterampilan sosial, maupun

(14)

teori lain yang mendukung. Selain itu bagian ini juga memberikan saran- saran praktis sesuai dengan hasil penelitian dan interpretasi data penelitian, serta memberikan inspirasi pada peneliti-peneliti lain.

Referensi

Dokumen terkait

6 mg Betametason krim 0,1% Captopril 12,5 tab* Captopril 25 tab* Aspilet tab Atracurium Hameln 25mg Atracurium Hameln 50mg Atropin sulfat inj 0,25mg/ml 1ml* A.T.S inj 20.000 IU/amp

Program ini dirancang untuk memenuhi asupan gizi bayi dan balita yang mengalami kekurangan gizi dan gizi buruk di wilayah Kelurahan Cisaranten Kidul dengan cara mendistribusikan

Hasil penelitian menunjukkan: (a) Kelembagaan pasar input dan pasar output mempunyai peran penting sebagai faktor determinan dalam usaha ternak terutama kaitannya dengan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek yang ditimbulkan oleh residu dari proses fumigasi amonia terutama terhadap mortalitas rayap tanah Coptotermes curvignathus

Menurut (Sylviati, 2008) klasifikasi BB Bayi lahir berdasarkan berat lahir adalah BBLR (<2500gram), BBLN (2500- 4000gram) dan BBLL (>4000gram) sedangkan

”SETIAP ORANG YANG DENGAN TUJUAN MENGUNTUNGKAN DIRI SENDIRI ATAU ORANG LAIN ATAU SUATU KORPORASI, MENYALAHGUNAKAN KEWENANGAN, KESEMPATAN ATAU SARANA YANG ADA PADANYA

Dengan referensi, Anda dapat menggunakan data yang terdapat dalam bagian-bagian berbeda dalam sebuah lembar kerja untuk sebuah formula atau menggunakan nilai dari sebuah sel dalam

Mohd Hussin, Mohd Yahya, Fidlizan Muhammad, Mohd Fauzi Abu Hussin, dan Azila Abdul Razak.. Public Spending on