• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN A. KOMPOSISI EMPULUR SAGU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN A. KOMPOSISI EMPULUR SAGU"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. KOMPOSISI EMPULUR SAGU

Bahan baku empulur sagu yang didapat dari industri rakyat di daerah Cimahpar masih dalam keadaan berkadar air cukup tinggi yaitu 17.9%. Untuk itu, empulur sagu harus dikeringkan terlebih dahulu pada oven pengering dengan suhu 50°C selama 24 jam. Parutan sagu yang telah kering kemudian dihancurkan menggunakan hammer mill hingga lolos ayakan 35 mesh dan dilakukan analisis untuk mengetahui komposisinya.

Warna tepung empulur sagu yang berwarna coklat berasal dari empulur sagu basah yang sudah mengalami proses browning. Reaksi pencoklatan ini terjadi karena rentang waktu yang lama antara panen sagu dengan pengolahan pati sagu. Warna coklat ini akan terikat kuat dengan pati, sehingga mempengaruhi kualitas pati. Reaksi pencoklatan itu terjadi karena adanya kandungan fenol dan oksidasi fenol (Ozawa dan Arai 1986).

Karakteristik kimiawi empulur sagu (basis kering) meliputi komponen proksimat dan kandungan pati disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Komposisi Proksimat Empulur Sagu

Komponen Nilai

Air (% basis basah) 3.60

Abu (% basis kering) 4.49

Lemak (% basis kering) 4.26

Serat (% basis kering) 7.84

Protein (% basis kering) 2.36 Karbohidrat (by difference) (% basis kering) 78.12

Pati (% basis kering) 73.00

Kandungan air dalam suatu bahan akan mempengaruhi lama simpannya suatu bahan. Setelah mengalami proses pengeringan, kadar air empulur sagu mengalami penurunan menjadi 3.6%. Kadar air empulur sagu yang dianalisis oleh Fuji et al. (1986) adalah berkadar air 9-12%.

Abu merupakan bahan anorganik yang tidak ikut terbakar disaat bahan organik dibakar.

Adanya abu menunjukkan kandungan mineral pada empulur sagu. Kandungan abu empulur sagu sebesar 4.49% sebagaimana dilaporkan oleh Fuji et al. (1986) sebesar 3.2% - 4%.

Karbohidrat merupakan sumber kalori utama yang dihasilkan oleh tanaman lewat reaksi CO2

dan H2O dengan bantuan sinar matahari melalui proses fotosintesis. Kandungan karbohidrat pada empulur sagu sebesar 78.12 % merupakan gabungan dari beberapa komponen empulur sagu khususnya pati.

Empulur sagu memiliki serat (3.20-4.20%) yang lebih tinggi dari serat pada pati sagu kriteria SNI 01-3729-1995 0.11%. Hal ini dikarenakan pati sagu telah mengalami proses ekstraksi dan terpisah dari ampas, sedangkan pada empulur sagu, bagian pati dan serat ampas belum dipisah sehingga kandungan serat masih tinggi. Serat kasar merupakan komponen yang terdiri atas dinding sel, pektin, selulosa, hemiselulosa, dengan sedikit lignin dan pentosan (Sudharmaji 1996)

Dari hasil analisis proksimat diketahui bahwa bahan empulur sagu yang digunakan dalam penelitian kali ini mengandung banyak pati yaitu 73% (bobot kering). Kandungan pati yang tinggi ini juga dilaporkan oleh Fuji et al. (1986) bahwa empulur sagu kering didominasi pati (81.51-84.72%).

Pati merupakan karbohidrat yang akan dikonversi menjadi glukosa sebagai bahan baku dalam fermentasi. Semakin tinggi kandungan pati pada empulur sagu, semakin banyak glukosa yang digunakan dalam fermentasi.

Selain analisis proksimat, analisis komponen serat NDF (Neutral Detergent Fiber) dan ADF (Acid Detergent Fiber) juga dilakukan. Analisis ini diperlukan untuk mengetahui komponen serat lebih khusus pada bagian selulosa, lignin, dan hemiselulosa. Selulosa merupakan serat-serat yang panjang yang bersama hemiselulosa membentuk struktur jaringan yang memperkuat dinding sel tanaman sedangkan hemiselulosa terdiri atas d-xilosa, pentosa, dan heksosa lain (Winarno 1998).

NDF terdiri atas lignin, selulosa, dan hemiselulosa, sedangkan ADF sebagian besar terdiri atas

(2)

selulosa dan lignin dan sebagian kecil hemiselulosa dan substansi pekat sehingga dianggap hanya terdiri atas lignin dan selulosa. Hasil analisis komposisi serat disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Komposisi Serat Empulur Sagu Komponen Nilai

NDF (%) 14.00

ADF (%) 11.76

Selulosa (%) 10.36 Hemiselulosa (%) 2.24

Lignin (%) 1.40

Berdasarkan komposisi serat hasil analisis, sagu mengandung bagian selulosa yang lebih besar (10.36%) dibandingkan dengan hemiselulosa (2.24%) yang mengandung monomer xilosa.

Xilosa merupakan sumber karbohidrat terbanyak di alam dan berpotensi menjadi energi alternatif (Jeffries 2006).

Selain selulosa dan hemiselulosa, empulur sagu juga mengandung lignin. Kandungan lignin empulur sebesar 1.4% termasuk rendah, sehingga tidak diperlukan proses penghilangan lignin. Bagian serat yang lebih banyak mengandung selulosa berarti serat berpotensi dihidrolisis menjadi gula sederhana, sehingga jumlah gula sederhana yang dihasilkan dari empulur sagu meningkat.

B. KARAKTERISTIK ENZIM

Karakterisasi enzim dilakukan untuk mengetahui suhu dan pH optimum, sehingga didapatkan titik optimum aktivitas untuk kondisi kerja konsorsium enzim. Karakterisasi enzim dilakukan untuk mengetahui aktivitas enzim yang harus ditambahkan dalam proses hidrolisis empulur sagu. Hasil karakterisasi enzim yang digunakan disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Karakteristik Enzim Amilolitik dan Selulolitik yang Digunakan

Jenis Enzim pH

Optimum Suhu Optimum

(°C) Aktivitas (U/ml)

α-amilase a 5.2 95° C 1327.52

Dextrozyme (AMG dan Pullulanase)b 4.5 60° C 145

Selulase (CMC-ase) 5 60° C 1.83 x 105

Xilanase 6 50 °C 2.45 x 107

Sumber: aWibisono (2004), bAkyuni (2004)

Berdasarkan karakter tiap enzim yang digunakan, tahapan likuifikasi terdiri atas satu enzim yaitu α-amilase. Likuifikasi berlangsung pada suhu optimum α-amilase yaitu suhu 95°C dan penggunaan konsorsium enzim terjadi pada proses sakarifikasi yaitu terdiri atas dextrozyme (AMG dan pullulanase), selulase, dan xilanase dengan kondisi proses pada suhu 50°C selama 48 jam.

Pemilihan suhu 50°C didasarkan pada titik optimum aktivitas selulase dan xilanase relatif pada suhu 50°C seperti pada Gambar 6, sedangkan pH optimum digunakan untuk menentukan pH bufer tertentu saat pengenceran. Suhu mempengaruhi kinerja enzim, saat suhu optimum diturunkan kinerja enzim tidak akan turun sedrastis saat suhu proses dinaikkan. Selain itu, kemungkinan yang terjadi jika suhu dinaikkan adalah denaturasi enzim dan penurunan sifat katalitik enzim.

(3)

Gambar 6. Aktivitas Relatif Xilanase dan Selulase Relatif pada Berbagai Suhu

C. PENGARUH PERLAKUAN GELOMBANG MIKRO TERHADAP GELATINISASI PATI

Agar enzim dapat menghidrolisis substrat dengan baik, substrat harus dilarutkan dalam air.

Namun, bagian pati dan serat empulur tidak larut dengan mudah dalam air dingin. Untuk itu diperlukan perlakuan awal berupa pemanasan salah satunya dengan menggunakan gelombang pendek.

Perlakuan awal ini menghasilkan pasta campuran yang hampir homogen berupa gel. Campuran berbentuk gel menandai terjadinya pengembangan struktur pati dan perusakan struktur serat. Bentuk pati yang telah mengembang saat dikenai proses pemanasan lebih rentan terhadap bahan kimia, tenaga mekanis, dan kerja enzim dalam perombakan struktur menjadi gula sederhana.

Penggunaan gelombang mikro pada power level berbeda berlangsung pada waktu yang bervariasi sehingga dipilih tiga waktu pada setiap power level. Pemilihan waktu proses didasarkan pada pengamatan gelatinisasi substrat empulur sagu di dalam air, ketersediaan air setelah slurry dipanaskan, dan tidak terjadinya browning pada slurry. Gelatinisasi menandakan rusaknya struktur pati dan larutnya pati pada air sehingga memudahkan enzim masuk dan menghidrolisis. Masih adanya air pada slurry setelah pemanasan juga terkait dengan memudahkan kinerja enzim. Ketersediaan air pada campuran yang telah tergelatinisasi menunjukkan pemanasan berlangsung di bawah suhu 120°C.

Di atas suhu tersebut, pasta mengalami kehilangan air hingga terjadi pemekatan (Safitri et al. 2009).

Browning atau reaksi pencoklatan berpengaruh negatif terhadap enzim. Menurut Azuma et al. (1984) warna sampel mulai gelap pada suhu 150°C dan intensitas warna coklat gelap meningkat dengan meningkatnya suhu. Reaksi pencoklatan menghasilkan furfural terjadi pada suhu di atas 200°C. Adanya furfural berkaitan dengan naiknya pH (keasaman).

Gel hasil perlakuan awal dengan DP terkecil tiap power level dilihat struktur serat dan patinya pada mikroskop cahaya terpolarisasi. Nilai DP yang lebih rendah mengindikasikan gula sederhana yang lebih banyak. Hal ini terlihat dari tingkat kerusakan pati dan serat pada pengamatan mikroskop. Hasil pengamatan terhadap struktur serat dan pati disajikan pada Gambar 7.

0 20 40 60 80 100

30 40 50 60 70 80

Aktivitas Relatif (%)

Suhu (°C)

Xilanase Selulase

(4)

(a) Empulur Sagu Awal (b)

A1P1 A2P1

A1P2 A2P2

A1P3 A2P3

A1P4 A2P4

Keterangan: Konsentrasi Slurry (A) : A1(10%), A2 (8%)

Power Level (P) : P1 (30%), P2 (50%), P3 (70%), P4 (100%)

Gambar 7. Penampakan Empulur Sagu Sebelum Pemanasan (a) dan Setelah Pemanasan Gelombang Mikro Menggunakan Mikroskop Cahaya Terpolarisasi Perbesaran 100x (b)

(5)

Pada Gambar 7 terlihat bagian pati pada konsentrasi slurry 8% dan 10% pada berbagai power level, yang telah mengembang ditandai dengan warna biru keunguan yang semakin memudar.

Walaupun masih banyak bagian pati yang belum mengalami pembengkakan, namun beberapa bulatan pati pada slurry yang dikenai pretreatment lebih besar ukurannya dibandingkan pati pada empulur sagu awal.

Demikian halnya dengan serat, pada slurry 8% dan 10% pada power level 30%, 50%, dan 70%, yang telah mengalami pembengkakan ukuran sehingga warna bagian serat dan pati menjadi lebih transparan. Pembengkakan ukuran yang merupakan perbesaran pori akibat iradiasi gelombang pendek dilaporkan oleh Magara dan Koshijima (1990) pada bahan buna (Fagus crenata Bl).

Perbesaran ukuran pori serat dan pati memungkinkan masuknya enzim seperti β-selulase dan memungkinkan air masuk. Masuknya air ke bagian lebih dalam dari serat memberikan kesempatan enzim untuk infiltrasi dan menghidrolisis serat menjadi komponen gula sederhana (Magara dan Koshijima 1990).

Namun pada pati 8% dan 10% power level 100%, bagian serat masih berikatan kompak dan memberikan warna biru keunguan. Warna biru keunguan mengindikasikan bahwa bagian serat serta sebagian pati belum mengalami kerusakan terutama pada fraksi kristalinnya. Hal ini dikarenakan waktu kontak slurry dengan gelombang mikro pada power level 100% berlangsung lebih singkat dibandingkan dengan power level 30%, 50%, dan 70% sehingga pemanasan yang terjadi belum mengenai semua bahan.

D. HIDROLISIS EMPULUR SAGU 1. Likuifikasi

Slurry yang dikenai perlakuan awal gelombang mikro digunakan dalam proses hidrolisis ini.

Proses hidrolisis dimulai dengan tahapan likuifikasi yang melibatkan α-amilase. Penambahan α- amilase terhadap substrat adalah sebanyak 1.75 u/g substrat dan diinkubasi pada suhu 95°C selama 3 jam sesuai waktu dan suhu optimum kerja α-amilase pada waterbath shaker dengan kecepatan 120 rpm.

Pada akhir likuifikasi, sampel pasta diambil untuk dianalisis total gula dan gula pereduksinya yang hasilnya disajikan pada Tabel 6 untuk konsentrasi slurry 8% dan Tabel 7 untuk konsentrasi slurry 10%. Analisis ini bertujuan untuk mengetahui derajat polimerisasi tiap perlakuan dengan perbedaan konsentrasi slurry, power level dan waktu. Nilai total gula dari sampel pasta hasil likuifikasi diuji homogenitasnya menggunakan SAS. Hasil uji menunjukkan bahwa perbedaan waktu pada perlakuan adalah homogen dan tidak berbeda nyata yang disajikan pada Lampiran 7.

Nilai derajat polimerisasi yang mendekati 1 menunjukkan semakin banyaknya monomer- monomer gula sederhana yang terdapat pada bahan tersebut. Total gula terdiri atas monomer, oligomer, dan polimer gula. Gula pereduksi merupakan hasil pemecahan poliglukosa menjadi maltosa dan maltotriosa secara acak yang dilanjutkan dengan pembentukan glukosa dan maltosa. Pemecahan amilopektin pati oleh α-amilase menghasilkan glukosa, maltosa dan berbagai jenis α-limit dekstrin (Winarno 1983). Dari tiap power level, lamanya pemanasan menggunakan gelombang pendek berbeda-beda. Perbedaan lama pemanasan mempengaruhi bentuk substrat dan pati sehingga berpengaruh juga terhadap kerja enzim dalam memecah ikatan α-1,4 glikosida. Derajat polimerisasi dapat mengindikasikan kerja pemecahan substrat oleh enzim setelah dipengaruhi perlakuan awal gelombang mikro.

Dari hasil uji total gula dan gula pereduksi diketahui nilai DP tiap perlakuan perbedaan power level dan waktu seperti yang terlihat pada Tabel 6 dan Tabel 7. Slurry 8% memiliki nilai DP yang lebih kecil daripada DP slurry 10%. Hal ini disebabkan oleh substrat pada slurry 8% lebih sedikit sehingga energi pemanasan lebih tinggi dan jumlah air bebas yang terkena pemanasan banyak dan merata. Secara umum, nilai DP tiap perlakuan dibandingkan dengan kontrol pada umumnya bernilai lebih kecil kecuali pada power level 70% dengan waktu 2 menit pada slurry 8%. Namun pada slurry 10%, hanya perlakuan pada power level 30% dengan waktu 4 dan 3 menit, power level 50%

pada waktu 3 dan 2 menit, power level 70% pada waktu 55 dan 50 detik, serta power level 100% pada waktu 40 detik yang menghasilkan DP lebih kecil dibandingkan dengan kontrol.

Pada slurry 10% dapat diketahui perlakuan pretreatment yang menghasilkan nilai DP terkecil seperti tersaji pada Gambar 8. Perlakuan power level 70% dengan waktu 55 detik dibandingkan dengan semua perlakuan power level pada berbagai waktu.

(6)

Pada power level 100%, dari 3 waktu yang terpilih, lamanya waktu pemanasan yang menghasilkan DP terbaik adalah 40 detik. Pertambahan waktu pada power level 100% dan 70%

menyebabkan naiknya nilai DP yang kemungkinan disebabkan oleh terjadinya pencoklatan yang menghambat kerja enzim. Untuk power level 50%, semakin lama waktu perlakuan gelombang mikro, menghasilkan DP yang rendah, namun setelah 120 detik (2 menit), DP yang dihasilkan tidak banyak berubah dan cenderung naik kembali. Pada power level 30%, DP turun seiring dengan semakin lamanya waktu kontak bahan dengan gelombang mikro. Pemanasan yang berlebihan menyebabkan penguapan air yang terlalu banyak sehingga menyebabkan kegosongan. Namun, waktu yang terlalu singkat juga menyebabkan kurangnya absorbsi air sehingga proses gelatinisasi berlangsung tidak sempurna.

Gambar 8. DP Hasil Likuifikasi Slurry 10% dan Slurry 8% pada Berbagai Power Level dan Waktu dengan α-amilase pada 95°C, pH 5.2

Perlakuan gelombang mikro untuk slurry 8% disajikan pada Gambar 8. Pada perlakuan power level 30% dengan waktu 180 detik (3 menit) merupakan nilai DP terbaik yaitu nilai DP terkecil dibandingkan dengan semua perlakuan power level pada berbagai waktu. Pada power level 30% ini, semakin lama waktu kontak menyebabkan nilai DP hasil likuifikasi oleh enzim α-amilase semakin tinggi. Pada power level 50%, tidak optimalnya kerja enzim α-amilase terjadi pada waktu kontak bahan yang terlalu singkat dengan gelombang mikro. Kemungkinan yang terjadi adalah masih banyaknya pati yang belum tergelatinisasi. Waktu kontak yang mengoptimumkan kerja α-amilase

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18

0 50 100 150 200 250 300

DP

Waktu (s) Slurry 8 %

30%

50%

70%

100%

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18

0 50 100 150 200 250 300

DP

Waktu (s) Slurry 10%

30%

50%

70%

100%

(7)

pada perlakuan power level adalah pada 120 detik (2 menit), namun setelah waktu tersebut, DP kembali naik yang mengindikasikan adanya pencoklatan yang menghambat kerja α-amilase.

Kerja enzim α-amilase terhadap power level 70% optimum pada waktu 55 detik, waktu kontak yang lebih singkat ataupun lebih lama berpengaruh negatif terhadap kinerja α-amilase dalam penguraian pati menjadi glukosa. Untuk power level 100%, pertambahan waktu memberikan pati yang lebih mudah diurai oleh α-amilase sehingga DP yang dihasilkan lebih kecil.

2. Sakarifikasi

Proses sakarifikasi merupakan lanjutan tahapan likuifikasi pada proses hidrolisis dalam pembuatan sirup gula-gula sederhana. Proses sakarifikasi dimulai dengan penambahan konsorsium enzim yang terdiri atas dextrozyme (AMG dan pullulanase) yang berfungsi untuk melanjutkan kerja α-amilase dalam pemecahan rantai amilosa, selulase untuk menghidrolisis bagian serat berupa selulosa, dan xilanase untuk menghidrolisis xilosa. Konsorsium enzim ini bekerja pada suhu 50°C selama 48 jam dalam shaker waterbath pada 120 rpm.

Bagian kristalin dan serat yang telah dirusak oleh pemanasan dengan gelombang mikro memudahkan kerja konsorsium enzim. Oleh xilanase, bagian yang masih berstruktur kristalin dihidrolisis oleh eksoglukanase yang merupakan bagian dari komplek enzim xilanase. Hasil akhir berupa sirup gula-gula sederhana diuji total gula dan gula pereduksi untuk mengetahui derajat polimerisasinya seperti yang disajikan pada Tabel 6 dan Tabel 7. Nilai total gula dari sampel pasta hasil likuifikasi diuji homogenitasnya menggunakan SAS. Hasil uji menunjukkan bahwa perbedaan waktu pada perlakuan adalah homogen dan tidak berbeda nyata yang disajikan pada Lampiran 7.

Efektivitas kerja konsorsium enzim dalam menghidrolisis substrat dapat dilihat pada total gula yang dihasilkan semakin naik setelah sakarifikasi dan turunnya nilai DP dari tiap perlakuan.

Pada slurry 10%, pengamatan perlakuan terbaik dari sirup hasil saksrifikasi dapat dilihat pada Gambar 10. Perlakuan terbaik berdasarkan penerimaan enzim yaitu DP terkecil setelah sakarifikasi adalah pada power level 100% waktu 30 detik. Pertambahan waktu pada power level 100% menyebabkan naiknya nilai DP yang kemungkinan disebabkan oleh terjadinya pencoklatan yang menghambat kerja enzim. Untuk power level 70%, tidak optimalnya kerja enzim terjadi karena waktu kontak substrat yang pendek dengan gelombang mikro dan optimum pada 50 detik.

Pada power level 50%, waktu kontak yang terlalu singkat ataupun terlalu lama juga mempengaruhi penerimaan enzim. Waktu kontak optimum untuk power level 50% ini adalah 120 detik (2 menit). Pada power level 30%, lama atau singkatnya waktu kontak tidak terlalu mempengaruhi penerimaan enzim sehingga DP yang dihasilkan pun tidak berbeda jauh.

Nilai DP yang tidak mencapai satu atau masih terdapat oligosakarida juga ditemui pada slurry 10%. Bahkan semua perlakuan memiliki DP yang lebih tinggi dari DP kontrol. Tidak adanya perlakuan power level dan waktu yang menghasilkan sirup lebih baik daripada kontrol menunjukkan tidak optimalnya penggunaan gelombang mikro untuk memanaskan slurry 10%. Proses pemanasan yang singkat tidak berhasil merusak struktur pati dan serat sehingga sulit untuk dihidrolisis oleh enzim.

Dari hasil analisis total gula dan gula pereduksi dari tiap perlakuan diketahui DP dari sirup hasil sakarifikasi. Pada slurry 8%, berdasarkan nilai derajat polimerisasi, perlakuan pemanasan menggunakan gelombang mikro menghasilkan sirup dengan gula sederhana lebih banyak dibanding dengan kontrol (DP 3.3) kecuali pada power level 30% dengan lama waktu 5 menit bernilai sama dengan kontrol (DP 3.3) dan power level 50% pada waktu 3 menit (DP 3.4). Namun tidak ada perlakuan yang menghasilkan sirup dengan gula sederhana secara keseluruhan.

Masih adanya komponen gula kompleks ditandai dengan nilai DP yang tidak mencapai nilai 1 dimana seluruh bagian menjadi gula-gula yang lebih sederhana. Hal ini dapat disebabkan terjadinya repolimerisasi sehingga tidak mampu terhidrolisis oleh enzim ditandai dengan adanya gumpalan pada residu sirup. Selain itu, reaksi pencoklatan juga telah terjadi sebelum substrat masuk ke dalam proses sakarifikasi. Proses pencoklatan atau browning terjadi saat likuifikasi akibat suhu optimum enzim α- amilase yang tinggi (95°C). Hal ini juga menghambat kinerja enzim dalam menghidrolisis substrat.

Perlakuan yang menghasilkan DP terkecil adalah power level 50% dengan waktu pemanasan 2 menit.

Hal ini terlihat pada Gambar 9.

Untuk perlakuan dengan power level lainnya, pertambahan waktu menyebabkan tidak optimalnya kerja enzim yaitu pada power level 30%, 70% dan 100%. Hal ini dapat disebabkan munculnya reaksi pencoklatan yang menghasilkan komponen fenol yang mengganggu kerja enzim untuk menghidrolisis substrat.

(8)

Gambar 9. DP Hasil Sakarifikasi Slurry 10% dan Slurry 8% pada Berbagai Power Level dan Waktu Menggunakan Konsorsium Enzim pada Suhu 50°C

2 3 4 5 6

0 50 100 150 200 250 300

DP

Waktu (s) Slurry 10%

30%

50%

70%

100%

2 3 4 5 6

0 50 100 150 200 250 300

DP

Waktu (s) Slurry 8%

30%

50%

70%

100%

(9)

6. Nilai Total Gula, Gula Pereduksi, DP, DE Likzifikasi, Kejernihan, Volume Filtrat dan Bobot Ampas Hasil Sakarifikasi Slurry

rlakuan

Likuifikasi Sakarifikasi Filtrat (Sirup) Kejernihan

(%T)

Volume Filtrat (ml)

Bob Resid

(% TG

(g/l)

GP (g/l)

DP DE TG (g/l) GP (g/l)

DP DE

P0 34.2 ab 4.7 7.3 13.7 134.18b 4.1 3.0 32.8 10.8 75 28 P1T1 36.2 a 6.7 5.4 18.4 149.7ab 47 3.2 31.4 14.6 66.5 30 P1T2 67.3 b 6.6 10.2 9.8 143 a 38.6 3.7 27 7.4 70.5 30 P1T3 68.7 a 6.5 10.5 9.5 144.5a 39 3.7 27 6.5 71 31 P2T4 36.2 ab 6.4 5.6 17.7 149.5a 39.1 3.8 26.1 7.9 67.5 28 P2T5 38.4 ab 6.2 6.2 16.2 138.5ab 41.8 3.3 30.2 11.3 70 28 P2T6 86.1 b 6.5 13.3 7.5 131.9a 35 3.8 26.5 13.4 74 29 P3T7 42.5 b 5.5 7.7 13.0 140.4ab 36.7 3.8 26.2 4.8 70 27 P3T8 21.5 b 5.6 3.8 26.0 174.6b 55.1 3.2 31.6 12.3 68.5 28 P3T9 26 b 5.8 4.5 22.3 137.3b 48.9 2.8 17.2 9.0 73 29 P4T10 72.1 ab 6.2 11.6 8.6 146.2bc 32.9 4.4 22.5 5.7 69.5 28 P4T11 40.9 ab 7.1 5.8 17.2 145.5b 37 3.9 25.4 12.2 70.5 26 P4T12 67.2 a 6.1 11.0 9.1 134.2ab 43.5 3.1 32.4 20.7 73.5 27

(10)

7. Nilai Total Gula, Gula Pereduksi, DP, DE Likuifikasi, Kejernihan, Volume Filtrat dan Bobot Ampas Hasil Sakarifikasi Slurry

lakuan Likuifikasi Sakarifikasi

Filtrat (Sirup) Kejernihan

(%T)

Volume Filtrat (ml)

Bob Resid

(% TG (g/l) GP (g/l) DP DE TG (g/l) GP (g/l) DP DE

P0 63.9bc 5.0 12.8 7.8 113.9ab 34.5 3.3 30.3 14.9 79 26.2 P1T13 31.5 bc 7.2 4.4 23 107 b 32.1 3.3 30 12.4 74.5 28.7 P1T14 58.8 b 12.5 4.7 21.3 108 b 38.4 2.8 35.6 10.9 76.1 23.7 P1T15 42.8 ab 7.8 5.5 18.3 100 a 34 2.9 34 29.4 82.1 25.0 P2T16 50.1 a 8.4 6.0 16.7 110.5b 32.6 3.4 29.5 9.20 70.6 28.7 P2T17 34.5 a 8.8 3.9 25.3 83.74ab 37.3 2.2 44.6 11.3 77.1 25.0 P2T18 52.8 b 8.0 6.6 15.1 106.6b 37.4 2.8 35.5 30.0 81.6 23.7 P3T19 112.8 b 6.6 17.2 5.8 107.3a 38.1 2.8 35.5 7.80 76.6 25.0 P3T20 35.2 c 7.0 5.0 19.9 111.3ab 37.9 2.9 34.1 19.7 79.1 21.2 P3T21 44.1 c 8.5 5.2 19.2 101.7b 38.8 2.6 38.1 27.3 77.6 28.7 P4T22 36.7 c 15.4 2.4 42.1 127.6bc 41.5 3.1 32.5 11.3 72.6 36.2 P4T23 43.2 c 7.6 5.7 17.6 114.8b 39.4 2.9 34.3 20.9 73.6 27.5 P4T24 46.5 ab 6.9 6.7 14.8 104.3a 41.9 2.5 40.1 36.6 78.1 26.2

(11)

3. Karakteristik Filtrat (Sirup)

Selain uji kadar gula, pengamatan dilakukan terhadap kejernihan, volume sirup, bobot residu substrat, dan pengamatan struktur serat ampas. Hal ini perlu dilakukan karena uji kadar gula hanya dapat menghitung bagian gula yang terlarut sedangkan substrat sagu merupakan substrat kompleks dimana ada bagian pati yang terjebak dalam serat kristalin sehingga tidak larut dan tidak terhitung pada uji kadar gula. Jika pretreatment yang terjadi tidak sampai merusak stuktur kristalin serat, maka pati yang terjebak dalam serat tersebut tidak dapat dihidrolisis oleh enzim. Akibatnya, nilai uji kadar gula menjadi rendah walaupun berasal dari substrat yang sama dengan konsentrasi yang sama.

Kejernihan dapat mengindikasikan total padatan gula terlarut yang dihasilkan selama proses hidrolisis. Semakin jernih sirup yang ditandai dengan besarnya nilai transmitan (%T), berarti semakin sedikit gula terlarut yang terkandung. Volume sirup menunjukkan jumlah sirup yang dihasilkan dari proses hidrolisis. Residu menunjukkan substrat yang tidak terhidrolisis oleh enzim akibat kurang optimalnya pretreatment gelombang mikro sehingga masih terdapat pati dan bagian serat yang masih berstruktur kristalin. Untuk itu pengamatan terhadap struktur ampas juga dilakukan untuk mengetahui struktur serat dan pati setelah hidrolisis.

Kejernihan pada slurry 10% seperti terlihat pada Gambar 10, filtrat sirup yang mengandung banyak gula ditandai dengan nilai transmitan (%T) terkecil terdapat pada perlakuan power level 70%

dengan waktu pemanasan 1 menit (60 detik). Lamanya waktu pemanasan pada tiap power level memberikan pengaruh yang berbeda terhadap kejernihan sirup akibat timbulnya komponen berwarna (HMF) atau furfural yang terbentuk akibat pemanasan berlebih.

Gambar 10. Kejernihan (%T) Filtrat Sirup Slurry 10% dan Slurry 8% pada Berbagai Power Level dan Waktu

0 5 10 15 20 25 30 35 40

0 50 100 150 200 250 300

Kejernihan (% Transmitan)

Waktu (s) Slurry 10%

30%

50%

70%

100%

0 5 10 15 20 25 30 35 40

0 50 100 150 200 250 300

Kejernihan (% Transmitan)

Waktu (s) Slurry 8%

30%

50%

70%

100%

(12)

Untuk kejernihan sirup pada power level 30% pada slurry 10%, semakin lama waktu pemanasan semakin tinggi nilai transmitan filtrat sirup yang dihasilkan yang berarti semakin sedikit gula yang terkandung dalam sirup tersebut. Hal ini menunjukkan kinerja enzim yang tidak optimal akibat hasil samping pretreatment awal yang terlalu lama.

Pada power level 50%, 70%, dan 100% pada slurry 10% lama waktu pemanasan berpengaruh positif terhadap gula yang dihasilkan pada filtrat sirup. Semakin lama waktu pemanasan pada power level 50%, 70%, dan 100% menghasilkan filtrat yang mengandung gula lebih banyak sehingga transmitan yang dihasilkan lebih kecil. Namun, pengukuran kejernihan ini tidak sesuai dengan pengaruh perlakuan awal pemanasan terhadap nilai DP yang dihasilkan oleh filtrat sirup seperti pada Gambar 10. Pengukuran nilai transmitans hanya mewakili total gula filtrat sirup tetapi tidak memberikan informasi gula sederhana yang dihasilkan.

Filtrat sirup dari slurry 8% yang menghasilkan nilai transmitans terkecil terdapat pada power level 70% dengan waktu pemanasan 120 detik (2 menit) yang berarti memiliki total gula lebih banyak.

Lamanya waktu pemanasan memberikan pengaruh positif terhadap gula yang dihasilkan pada filtrat sirup power level 100% dan 70% yang ditandai dengan semakin rendahnya nilai transmitan yang dihasilkan. Namun untuk power level 50% dan 30%, bertambahnya waktu pemanasan menurunkan total gula yang ada ditandai dengan naiknya nilai transmitan seperti yang terlihat pada Gambar 10.

Volume sirup yang dihasilkan dari slurry 8% lebih besar daripada volume sirup yang dihasilkan oleh slurry 10%. Hal ini disebabkan dari awal proses, air yang terdapat pada slurry 8%

lebih banyak daripada slurry 10%. Selain itu, tidak optimalnya kinerja enzim akibat lebih banyak substrat namun lebih sedikit air bebas pada bahan menyebabkan sirup yang dihasilkan lebih sedikit.

Pertambahan waktu pretreatment dengan gelombang mikro pada slurry 10% pada tiap power level menyebabkan turunnya volume filtrat sirup yang dihasilkan seperti yang terlihat pada Gambar 11.

Gambar 11. Volume (ml) Filtrat Sirup Slurry 10% dan Slurry 8% pada Berbagai Power Level dan Waktu

66 68 70 72 74 76 78 80 82 84

0 50 100 150 200 250 300

Volume (ml)

Waktu (s) Slurry 10%

30%

50%

70%

100%

66 68 70 72 74 76 78 80 82 84

0 50 100 150 200 250 300

Volume (ml)

Waktu (s) Slurry 8%

30%

50%

70%

100%

(13)

Demikian halnya dengan slurry 8% seperti yang terlihat pada Gambar 11, pertambahan waktu pada proses pretreatment dengan gelombang mikro menyebabkan naiknya suhu dan menguapnya air pada bahan tanpa sempat melarutkan substrat. Dengan jumlah air bebas yang sedikit, filtrasi enzim untuk menghidrolisis substrat menjadi berkurang.

Bobot sisa substrat, yang disajikan pada Gambar 12, mengindikasikan terjadinya hidrolisis substrat oleh enzim menjadi gula sederhana. Susut bobot juga mengindikasikan terlarutnya hemiselulosa ke dalam air dengan sendirinya, semakin meningkat seiring kenaikan suhu (Magara dan Azuma 1989). Semakin banyak bagian substrat yang mampu dikonversi menjadi gula sederhana, bobot sisa semakin sedikit. Bobot sisa substrat menandakan masih adanya bagian substrat yang tidak larut. Bagian yang tidak larut tersebut merupakan bagian yang dapat diubah menjadi gula sederhana.

Untuk bobot sisa substrat yang merupakan bagian yang tidak terhidrolisis, slurry 10% memiliki bobot sisa yang lebih tinggi daripada slurry 8%. Hal ini dapat dikaitkan dengan lebih sedikitnya air bebas pada slurry 10% daripada slurry 8% dan DP yang dihasilkan lebih besar karena tidak optimalnya kerja enzim.

Pada bobot residu slurry 10%, pertambahan waktu pretreatment dengan gelombang mikro pada power level 30% dan 50% menurunkan % bobot residu, namun setelah 210 detik (power level 30%) dan 120 detik (power level 50%), tidak terjadi perubahan berarti pada % bobot residu seperti yang terlihat pada Gambar 12. Demikian halnya dengan bobot bubuk kristalin selulosa yang tidak terlalu dipengaruhi oleh pretreatment dengan gelombang mikro pada suhu di bawah 180°C (Azuma et al. 1985).

Gambar 12. Bobot Residu (%) Filtrat Sirup Slurry 10% dan 8% pada Berbagai Power Level dan Waktu

20 25 30 35 40

0 50 100 150 200 250 300

Bobot Residu (%)

Waktu (s) Slurry 10%

30%

50%

70%

100%

20 25 30 35 40

0 50 100 150 200 250 300

Bobot Residu (%)

Waktu (s) Slurry 8%

30%

50%

70%

100%

(14)

Persentase bobot residu mengalami penurunan seiring bertambahnya waktu pretreatment gelombang mikro pada power level 70%. Penurunan bobot residu seiring pertambahan waktu pretreatment mengindikasikan proses pretreatment yang lebih merata. Pretreatment dengan gelombang mikro dapat terus dilanjutkan sehingga bobot residu semakin sedikit, namun hal ini dapat menyulitkan filtrasi enzim ke dalam bahan akibat penguapan air pada slurry. Pada power level 100%, bobot residu terkecil dihasilkan pada pretreatment selama 40 detik. Pretreatment dengan gelombang mikro dengan waktu yang terlalu singkat atau terlalu lama pada power level 100% ini menyebabkan tidak optimalnya hidrolisis bahan oleh enzim.

Dengan waktu kontak yang singkat, pretreatment gelombang mikro dengan suhu tinggi seperti pada power level 70% dan 100% tidak memberikan pretreatment secara menyeluruh terhadap substrat. Waktu yang singkat tidak merusak bagian substrat secara menyeluruh terutama struktur kristalin. Struktur kristalin tidak dapat dihidrolisis oleh enzim sehingga bobot residu meningkat.

Selain itu, suhu yang tinggi menguapkan air lebih cepat sebelum sempat masuk ke dalam bahan dan melarutkan bagian tidak larut bahan. Banyaknya air yang menguap menyebabkan susahnya enzim masuk dan menghidrolisis bahan.

Berdasarkan Gambar 12, persentase bobot residu terendah untuk slurry 8% terdapat pada power level 70% dengan lama waktu pemanasan 60 detik. Setelah mencapai persentase bobot residu terendah, persentase bobot meningkat seiring dengan pertambahan waktu pemanasan. Keadaan ini mengurangi kinerja enzim untuk menghidrolisis bahan pada setiap power level seperti terlihat pada Gambar 12 sehingga persentase bobot residu lebih besar.

Perbedaan persentase bobot residu menunjukkan perbedaan penerimaan enzim terhadap substrat. Residu yang merupakan bagian tidak terhidrolisis oleh enzim mengindikasikan kurang optimalnya pretreatment gelombang mikro sehingga masih terdapat pati dan bagian serat yang masih berstruktur kristalin. Untuk itu pengamatan terhadap struktur ampas juga dilakukan untuk mengetahui struktur serat dan pati setelah hidrolisis. Pengamatan dilakukan menggunakan mikroskop elektron cahaya dan cahaya terpolarisasi dengan perbesaran 100 kali. Hasil pengamatan terhadap residu hidrolisis disajikan pada Gambar 13.

Dari hasil pengamatan terhadap struktur serat ampas sirup pada Gambar 13, slurry 8%, bulatan-bulatan pati sudah habis terhidrolisis oleh enzim ditandai dengan semakin pudarnya warna bulatan-bulatan pati dan bahkan bulatannya sudah tidak tampak, namun pada power level 100% dan kontrol struktur serat terlihat masih kompak. Bagian ujung serat masih tampak jelas berupa susunan lurus yang kompak dan padat. Warna seratnya pun masih menunjukkan warna biru yang lebih dominan dibanding warna merah. Dominasi warna biru menunjukkan kristalin sedangkan warna merah menunjukkan bagian amorf dan fraksi terlarut serat.

Untuk power level 30%, 50%, dan 70% dari slurry 8%, pati terhidrolisis sempurna oleh enzim ditandai dengan tidak adanya lagi bulatan-bulatan pati, sehingga yang tersisa adalah bagian serat yang telah mengembang rusak akibat pemanasan dan perombakan oleh enzim. Bagian serat yang rusak terlihat pada ujungnya yang telah tidak beraturan berwarna merah dan biru. Bagian serat yang berwarna merah menunjukkan masih adanya struktur amorf selulosa dan fraksi terlarut yang belum dikonversi oleh enzim. Warna biru menandai struktur kristalin dari selulosa (Susetyaningsih 2010), yang berarti masih ada bagian selulosa dan xilosa yang belum rusak oleh pemanasan gelombang mikro dan belum terkonversi menjadi gula sederhana. Untuk itu, pada tahapan fermentasi, konsorsium enzim tidak diinaktivasikan sehingga enzim dapat terus bekerja menghasilkan gula-gula sederhana yang langsung digunakan oleh S. elippsoides menjadi etanol.

Pengamatan pada sirup hasil sakarifikasi slurry 10% pada semua power level 30%, 50%, 70%, dan 100% serta kontrol menunjukkan struktur kristalin yang masih banyak ditandai dengan warna serat yang didominasi warna biru. Hal ini menunjukkan perlakuan awal berupa pemanasan dengan gelombang mikro tidak banyak menghancurkan bagian kristalin dari serat sehingga enzim kesulitan untuk memecah bagian serat menjadi gula-gula sederhana.

Dari hasil DP terkecil yang menandakan banyaknya gula sederhana serta pengamatan terhadap struktur ampas dari sirup hasil hidrolisis, maka dipilihlah perlakuan terbaik yang akan digunakan dalam tahap fermentasi. Untuk nilai DP, slurry 10% tidak ada yang lebih baik dari kontrol.

Selain itu, struktur serat pada perlakuan dengan slurry 10% masih banyak mengandung serat yang tidak dapat dirusak oleh pemanasan sehingga enzim pun tidak mampu menghidrolisisnya. Maka, slurry yang digunakan adalah 8% dengan DP terkecil didapat dari perlakuan power level 50% dengan waktu 2 menit adalah perlakuan terbaik yang digunakan dalam fermentasi pembuatan etanol.

(15)

Berikut hasil pengamatan struktur serat dari residu filtrat pada perlakuan terbaik tiap power level:

A1P0 A2P0

A1P1 A2P1

A1P2 A2P2

A1P3 A2P3

A1P4 A2P4

Keterangan: Konsentrasi Slurry (A) : A1(10%), A2 (8%)

Power Level (P) : P0 (kontrol pemanasan dengan otoklaf), P1 (30%), P2 (50%), P3 (70%), P4 (100%)

Gambar 13. Penampakan Residu Filtrat Setelah Proses Sakarifikasi Pada Kontrol dan Perlakuan Menggunakan Mikroskop Cahaya Terpolarisasi, Perbesaran 100 x

(16)

E. PRODUKSI ETANOL 1. Proses Fermentasi

Proses fermentasi untuk memproduksi bioetanol menggunakan khamir harus menggunakan substrat gula sederhana seperti glukosa. Reaksi fermentasi adalah sebagai berikut:

Berdasarkan reaksi fermentasi tersebut, pengukuran volume CO2 dapat digunakan sebagai pendekatan untuk mengetahui kadar etanol hasil proses fermentasi secara tidak langsung.

Pengamatan terhadap adanya CO2 pada proses fermentasi dilakukan selama 72 jam dengan melakukan pengukuran setiap 6 jam seperti yang disajikan pada Gambar 14. Namun, setelah mencapai titik tertinggi, CO2 yang dihasilkan terlalu sedikit dan tidak mampu menekan air yang ada pada gelas ukur mengakibatkan pembacaan pembentukan CO2 menjadi terhenti.

Secara umum, laju pembentukan CO2 dari sirup hasil perlakuan gelombang mikro dan perlakuan otoklaf lebih tinggi dibanding laju pembentukan CO2 glukosa. Hal ini sesuai dengan hasil etanol pada Tabel 8 dimana kadar etanol dari glukosa lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan otoklaf dan perlakuan gelombang mikro. Rendahnya laju pembentukan CO2 pada glukosa teknis dibanding perlakuan otoklaf dan perlakuan panjang gelombang diduga karena empulur sagu memiliki komponen organik lebih lengkap (Tabel 3) dibanding glukosa teknis walaupun pada awal fermentasi diberikan sumber NPK dan ZA dengan jumlah yang sama. Komponen organik seperti protein dan mineral pada empulur sagu memicu pertumbuhan khamir pada kontrol dan perlakuan terpilih gelombang mikro yang berdampak positif pada tingginya laju pembentukan CO2 dan etanol yang dihasilkan.

Untuk glukosa teknis, kenaikan CO2 tertinggi adalah pada jam ke-24. Pada 12 jam awal, kenaikan CO2 bertahap naik dikarenakan pada fase awal ini, khamir menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Pertumbuhan khamir berada pada fase eksponensial ditandai dengan laju pertambahan CO2 yang tinggi.

Untuk pembentukan CO2 pada etanol dengan substrat empulur sagu perlakuan otoklaf, didapati kenaikan CO2 tertinggi adalah pada jam ke-18 demikian halnya sirup hasil perlakuan terbaik, kenaikan CO2 tertinggi adalah pada jam ke-18. Berdasarkan pembentukan CO2 yang dihasilkan oleh etanol dengan perlakuan gelombang mikro dan perlakuan otoklaf, jika dibandingkan dengan glukosa standar fase lag glukosa teknis lebih panjang daripada kontrol dan perlakuan.

Gambar 14. Volume Pembentukan CO2 selama Fermentasi

Setelah mencapai titik tertinggi, CO2 yang dihasilkan tidak dapat diamati melalui gelas ukur sehingga bernilai nol pada jam ke-24. Hal ini dapat terjadi saat khamir mencapai fase kematiannya.

Selain itu, diduga adanya senyawa inhibitor akibat iradiasi gelombang mikro dan kecenderungan khamir menghasilkan asam organik sebagai hasil metabolit primer.

C6H12O6  2 C2H5OH + 2 CO2

0 200 400 600 800 1000 1200

0 6 12 18 24 30 36 42 48 54 60 66 72 Volume CO2(ml)

Waktu (jam)

Gelombang Mikro

Glukosa Teknis Otoklaf

(17)

2. Karakteristik Kaldu Hasil Fermentasi

Sirup gula sederhana dari perlakuan terbaik yaitu power level 50% selama 2 menit digunakan sebagai substrat dalam proses fermentasi pembuatan etanol. Sirup yang didapat telah diketahui pHnya kemudian ditambahkan sumber N dan K dari NPK dan ZA serta khamir S.

elippsoides yang telah disegarkan pada media PDB ditambahkan sebanyak 1 ml untuk tiap 10 ml.

Substrat yang telah diperkaya nutrisi kemudian disambungkan dengan labu leher angsa dan selang menuju gelas ukur untuk menghitung CO2 yang dihasilkan oleh aktivitas fermentasi. Proses fermentasi berlangsung pada suhu 30°C di shaker waterbath pada 80 rpm. Selain substrat sirup yang berasal dari perlakuan terbaik power level dan waktu, sirup dari glukosa teknis serta sirup dari perlakuan pemanasan dengan otoklaf sebagai kontrol juga disertakan sebagai bahan perbandingan.

Fermentasi berlangsung selama 72 jam secara tertutup. Karakteristik produk fermentasi terdiri atas total gula awal dan akhir, pH awal dan akhir, total asam, dan kadar etanol disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Karakteristik Kaldu Hasil Fermentasi

Komponen Glukosa Teknis Hidrolisat dari Perlakuan Pemanasan

Otoklaf Gelombang Mikro

Gula Awal (g/l) 85.20 41.00 36.90

Gula akhir (g/l) 62.25 1.14 0.97

pH awal 5.00 5.00 5.00

pH akhir 3.24 2.25 2.50

Total Asam (g/l) 3.60 4.35 5.10

Kadar Etanol (g/l) 1.58 3.16 3.33

Analisis total gula dilakukan untuk mengetahui kandungan total gula dalam substrat hasil hidrolisis sebagai total gula awal yang akan digunakan dalam fermentasi. Analisis total gula dilakukan karena masih terdapat oligosakarida selain gula sederhana yang telah dihidrolisis oleh konsorsium enzim. Total gula juga dianalisis pada akhir fermentasi untuk mengetahui total gula yang digunakan oleh Sacharomyces elippsoides. Adanya oligosakarida mengindikasikan belum optimalnya proses sakarifikasi, bahkan kontak enzim dengan substrat masih berlanjut pada proses fermentasi.

Total asam dihitung pada akhir proses fermentasi untuk mengetahui kadar asam yang terbentuk. Komponen asam merupakan hasil samping dari proses fermentasi yang melewati jalur Embden Mayerhoff-Parnas. Hasil samping tersebut dapat berupa asam piruvat, asetaldehid dan asam organik seperti asam laktat, asam asetat, dan gliserol (Basuki 1995 diacu dalam Susetyaningsih 2010).

Total asam yang terbentuk adalah 3.6 g/l untuk glukosa teknis, 4.35 % untuk perlakuan otoklaf sedangkan dari perlakuan gelombang mikro total asamnya adalah 5.1%.

Pengujian kadar etanol menggunakan Gas Chromatography (GC) dari hasil fermentasi didapat bahwa etanol hasil dari perlakuan gelombang mikro memiliki kandungan etanol sebanyak 3.33 g/l sedangkan kandungan etanol dari perlakuan otoklaf adalah 3.16 g/l dan etanol dari glukosa teknis bernilai 1.58 g/l. Rendahnya kadar etanol dari perlakuan, pembanding bahkan glukosa teknis serta tingginya total asam (g/l) menunjukkan bahwa khamir yang ditambahkan cenderung mengubah gula sederhana yang ada menjadi asam organik walaupun konsentrasi gula dikonsumsi banyak.

3. Kinetika Fermentasi

Kinetika fermentasi menggambarkan proses konversi substrat menjadi biomassa dan produk. Parameter kinetika fermentasi yang dihitung antara lain pemanfaatan substrat Δs/s dan rendemen produk terhadap biomassa Y p/s. Adapun Δx/x tidak dilakukan perhitungan terkait dengan proses yang kontinu dari tahapan hidrolisis sehingga sirup gula sederhana masih tercampur dengan substrat empulur dan nutrient (NPK dan ZA) yang tidak larut. Hasil perhitungan kinetika fermentasi disajikan pada Tabel 9.

(18)

Tabel 9. Kinetika Fermentasi Parameter

Kinetika

Glukosa Teknis Hidrolisat dari Perlakuan Pemanasan

Otoklaf Gelombang Mikro

Δs/s 0.275 0.97 0.975

Y p/s 0.07 0.104 0.123

Nilai Δs/s menunjukkan pemanfaatan substrat menjadi etanol. Dari Tabel 9, pemanfaatan substrat glukosa menjadi etanol rendah dibanding pemanfaatan substrat dari perlakuan otoklaf dan perlakuan terbaik gelombang mikro. Pada perlakuan otoklaf dan perlakuan gelombang mikro terbaik, total gula hampir seluruhnya dikonversi menjadi etanol sehingga nilai Δs/s perlakuan otoklaf 0.97 dan 0.975 untuk Δs/s dari perlakuan panjang gelombang terbaik.

Rendemen produk yang terbentuk setiap gram substrat yang terpakai oleh mikroorganisme atau Y p/s juga dihitung. Nilai Y p/s dari substrat yang mengalami perlakuan gelombang mikro adalah sebesar 0.123 menunjukkan laju pembentukan produk lebih sedikit dibandingkan dengan penggunaan substrat oleh khamir. Demikian halnya dengan substrat dari glukosa dengan nilai Y p/s 0.07 dan nilai Y p/s 0.104 untuk perlakuan otoklaf. Hal ini diduga karena perlakuan gelombang mikro diduga menghasilkan senyawa inhibitor akibat iradiasi gelombang mikro dan penggunaan khamir yang cenderung mengubah substrat menjadi asam organik melalui reaksi pada metabolit primer sehingga kadar etanol yang dihasilkan menjadi rendah walaupun gula yang dikonsumsi khamir tinggi. Untuk itu diperlukan pengaturan kondisi proses agar ketersediaan oksigen dibatasi sehingga reaksi yang terjadi adalah reaksi metabolit sekunder yang menghasilkan bioetanol.

Referensi

Dokumen terkait

kondisi tersebut, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan mendapatkan kemampuan pertumbuhan dan biomassa perakaran stek pucuk tanaman Stevia yang

Jelaskan tentang transfer logam pada pengelasan GMAW (MIG) dan jenis transfer mana yang saudara pilih bila digunakan untuk mengelas pelat

9 Di sini merupakan teknik atau pengumpulan data dengan jalan tanya jawab langsung yang terdiri dari dua orang yang berhadap-hadapan, tetapi dalam kedudukan

Manfaat secara teoritis Dari penelitian ini bisa dibuat sebagai pengembangan ilmu pengetahuan yang di harapkan mampu memberikan kontribusi akademik yang ada kaitannya dengan upaya

 Guru memberikan instruksi kepada peserta didik untuk melakukan eksperimen mengamati gaya antar-kutub magnet batang dan medan magnet?.  Peserta didik secara berkelompok

 &. pa%a Kesehatan I&u $an Anak serta Ke)uar'a Beren*ana. $. pe)a%anan

Diperlukan persiapan yang matang dalam melaksanakan pembelajaran terutama dalam materi, dan penggunaan strategi pembelajaran sehingga pembelajaran yang diberikan oleh

Pengembangan Karir Pegawai Pada Kantor Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah dilihat dari faktor Perlakuan yang adil belum maksimal, terlihat dari