• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODE PENDIDIKAN AKHLAK IMAM AL- GHAZALI (STUDI ANALISIS KITAB IHYA ULUM AD-DIN) TESIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "METODE PENDIDIKAN AKHLAK IMAM AL- GHAZALI (STUDI ANALISIS KITAB IHYA ULUM AD-DIN) TESIS"

Copied!
186
0
0

Teks penuh

(1)

METODE PENDIDIKAN AKHLAK IMAM AL- GHAZALI (STUDI ANALISIS KITAB IHYA

ULUM AD-DIN)

TESIS

Diajukan Sebagai Syarat Kelulusan Untuk Memperoleh Gelar Magister Pendidikan (M.Pd.)

Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Oleh ABDUL HARITS

21180110000018

PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2021 M. / 1443 H.

(2)

METODE PENDIDIKAN AKHLAK IMAM AL- GHAZALI (STUDI ANALISIS KITAB IHYA

ULUM AD-DIN)

TESIS

Diajukan Sebagai Syarat Kelulusan Untuk Memperoleh Gelar Magister Pendidikan (M.Pd.)

Oleh ABDUL HARITS NIM 21180110000018

Pembimbing

Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA.

NIP. 1954080219850310002

PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2021 M. / 1443 H.

i

(3)

ii

(4)

iii

(5)

iv

(6)

v

(7)

PEDOMAN TRANSLITERASI

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

ا Tidak dilambangkan

ب B Be

ت T Te

ث Ts te dan es

ج J Je

ح H h dengan garis bawah

خ Kh ka dan ha

د D De

ذ Dz de dan z

ر R Er

ز Z Zet

س S Es

ش Sy es dan ya

ص S es dengan garis bawah

ض D de dengan garis bawah

ط T te dengan garis bawah

ظ Z zet dengan garis bawah

ع Koma terbalik di atas hadap kanan

غ Gh ge dan ha

ف F Ef

ق Q Ki

ك K Ka

ل L El

م M Em

ن N En

و W We

ه H Ha

ء Apostrof

ي Y Ya

vi

(8)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa metode pendidikan akhlak menurut Imam al-Ghazali terutama dalam kitab Ihya Ulum ad-Din. Masalah yang diteliti adalah tentang macam dan jenis metode pendidikan akhlak beliau; apakah termasuk metode rumpun behaviorisme-empirisme, nativisme atau konvergensi, beserta dasar pemikirannya dan pandangannya tentang akhlak apakah dapat dirubah atau tidak dapat dirubah.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini bersifat kualitatif, yaitu mencari dasar pemikiran metode pendidikan akhlak Imam al-Ghazali, dengan jenis penelitian Library Research dan menggunakan teknik analisis komparatif dalam pengolahan datanya. Sumber primer penelitian ini adalah kitab Ihya Ulum ad-Din terutama pada jilid tiga dan empat yang membahas tentang akhlak tercela dan akhlak terpuji, sedangkan sumber data sekundernya adalah buku atau literatur tentang pendidikan, akhlak dan metode pendidikan.

Imam al-Ghazali berpendapat, ada dua faktor pendukung pendidikan akhlak, pertama faktor internal berupa kemampuan melaksanakan riyadoh dan mujahadah. Ke-dua, faktor eksternal yang meliputi tujuan, materi pelajaran, metode pendidikan, pendidik, dan lingkungan. Menurutnya ada dua macam metode pendidikan akhlak, yaitu; (1) metode pembelajaran yang jenisnya meliputi metode ceramah, tanya jawab, penyajian dalil, hafalan, pemberian hadiah dan hukuman, keteladanan, latihan dan pengulangan, pembiasaan, dan diskusi, (2) metode pendidikan rohani yang meliputi takhalli, tahalli, tajalli, dan pembiasaan melalui keteladanan, riyadoh dan mujahadah, dengan langkah- langkah tertentu. Berdasarkan hal ini maka menurut beliau akhlak dapat dirubah atau dibentuk, dan metode pendidikannya termasuk dari rumpun konvergensi, perpaduan faktor internal dan eksternal.

Persamaan tesis ini dengan penelitian akademisi lain yang telah membahas permasalahn yang hampir sama adalah metode penelitiannya berupa metode kualitatif. Perbedaannya terletak pada hasil penelitiannya, karena berbedanya materi yang disajikan, waktu penelitian, dan sumber data yang digunakan.

Kata Kunci: Metode, Pendidikan Akhlak, Imam al-Ghozali.

vii

(9)

ABSTRACT

This study aims to analyze the method of moral education according to Imam al-Ghazali, especially in the Ihya Ulum ad- Din. The problems studied are about the types and types of his moral education methods; wheteher it includes the behaviorism- empiricism, nativism, or covergence, method along with it rationale and views or morality, whether it can be changed or not.

The research method used in this study is qualitative, namely looking for the rationale of Imam al-Ghazali’s moral education method, with the type of research being “Library Research” and using “Comparative Analysis Techniques” in processing the data.

The primary source of this research is the book Ihya Ulum ad-Din, especially in volumes three and four which discusses despicable and commendable morals, while the secondary data sources are books or literature an aducation, morals, and educational methods.

Imam al-Ghazali argues, there are two factors that support moral education, the first is the internal factor in the form of the ability to carry out riyadoh and mujahadah. Two, external factors inlude goals, subject materials, educational methods, educators, and surrounding environment. According to him, thera are two kinds of methods in educating morals, namely; (1) learning methods whose types include lecture methods, question and answer, presentation of arguments, memorization, giving gift and punishments, exemplary, practice and repetition, habituation, and discussion. (2) the method of spiritual education which includes takhalli, tahalli, tajalli, and habituation through example, practice (riyadoh), and sincerity in controlling lust (mujahadah) with certain steps. Based on these data, according to him, morality can be changed, and the method of education includes the convergence, a combination of internal and external factors.

The similarity of this thesis with other academic studies have discussed almost the same problem is that the research method used a qualitative method. The different is the results of the research, due to the different meteri presented, research time, and data sources used.

Keywords: Method, Moral Educaticon, Imam al-Ghazali.

viii

(10)

ةرصتم ةذبن

باتكف ةصاخو لىازغى ماملى دنع ةيقلخخى ةيبتغى جهنم ليلت لى ةسىردغى هذه فدت ام ةيقلخخى ةيبتغى بغاسأ عىونب قلعتت اهتسىرد ثحبت تغى لكاشلىو .نيدغى مولع ءايحى عم , امهنيب براقتغى جهنم وى , ةينلصخى وى , ةيبيرجتغى - ةيكولسغى ف نمضتت يه ل مأ اهييزت نكي قلخلى ف هرظنو هقطنم جهنم قطنم نع ثحبغى يأ , يغونغى ثحبغى بولسى نم وه ةسىردغى هذه ف جهنلى تاينقت مىدختسى و بتكلى ثحبغى وه ثحبغى عونو , لىازغى ماملغ ةيقلحخى ةيبتغى مولع ءايجى باتكوه ثحبغىىده ف يساسخى ردصلى . تانيبغى ةلاعم ف نراقلى ليلحتغى رداصمو . ةليملىو ةئيسغى قلحخى ةغأسم ف عبىرغىو ثغاثغى نيدللى ف ةصاخ , نيدغى ةيبتغى جهانمو قلخخىو ةيبتغى اب ثحبت بتكيه ةيوناثغى تنايبغى يلخىدغى لماعغى وه لوخى ,نامعدي نلماع ةيقلحخى ةيبتغى ف ىأر وه لىازغى ماملى ننى و ضرزغى ىلع نمضتي يجرالى لماعغى وه ناثغىو . ةدهالىو ةضيرغى ىلع ديرلى هب رندقي لوخى : ناجاهنم ةيقلحخى ةيبتغى ف ننى ىأر هنأو . ةطيلى ةئيبغىو ديشرلىو تاسىردغى دىوم يىددى ءاطعىو ةظفالىو ةنجلى يدقتو بىولى لىؤسغى و ةرضالى اهعىونأ منلعتغى جهنم وه تغى ةيناحورغى ةيبتغى جهنم وه ناثغىو , رىركتغىو ةسراملىو ديشرلى ةوسأو تبوقعغىو ةننيعم قرططب ةدهالىو ةضيرغىو ةودقغب ديوعتغىو يلجتغىو يلحتغىو يلختغى ىلع لمتشت ةعمالى براقتغى ةلئاع ةلج نم هميلعت جهنمو ,ييزتغى لى لنبقت هدنع قلخخى نأ كغىذغو

. ةيجرالىو ةيلخىدغى لمىوعغى يب تلكشمى سفن تشقن تغى ىرخخى تاييداكخى تاسىردغىو ةحورطخى هذه يب هباشتغى ثحبغى جئاتن ف امهنيب قرفغىو . يعون بولسأ وه مدختسمى ثحبغى بولسأ نأ وه ابيرقت تامدختسلى تنايبغىرداصمو ثحبغى تقوو دىولى فلتخب لىازغى مامخى , ةيقلخخى ةيبتغى , جهنلى : تايحاتفلا تاملكلا

ix

(11)

KATA PENGANTAR

Assalamu ‘alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt.

atas semua limpahan rahmat-Nya sehingga dengan izin-Nya pula tesis ini dapat terselesaikan. Sholawat serta salam semoga selalu tercurah kepada junjungan Nabi Besar Muhammad Saw. beserta keluarganya, para sahabatnya, dan semua pengikutnya, termasuk kita semua. Amin Ya Rabbal ‘alamin.

Keberhasilan tersusunnya tesis in tidak terlepas dari bantuan dukungan, motivasi, dan do’a dari berbagai pihak, sehingga dengan penuh rasa penghormatan penulis mengucapkan terima kasih yang tiada terhingga kepada:

1. Orang tua, isteri, adik-adik dan seluruh keluarga selaku sumber inspirasi dan motivasi.

2. Prof. Dr. H. Abuddin Nata, selaku pembimbing dalam tesis ini yang telah memberikan ilmu, waktu, dan keikhlasannya demi sempurnanya tesis ini.

3. Dr. Abdul Ghafur, MA., selaku Kepala Program Studi, dan Ibu Erba Rozalina Yulianti, M.Ag., selaku Sekretaris Prodi Magister Pendidikan Agama Islam (MPAI) Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Dr. Sururin, MA., selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Prof. Dr. Armany Lubis, MA., selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

x

(12)

6. Bapak dan Ibu dosen pengajar serta karyawan Program Studi MPAI-FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membekali ilmu pengetahuan dan menyediakan fasilitas dalam rangka mengumpulkan data penelitian dan proses pesidangan tesis ini kepada penulis.

7. Sahabat-sahabat Mahasiswa satu kelas yang selalu sedia untuk berbagi ilmu, pengalaman, dan motivasi. Serta teman-teman seperjuangan angkatan 2018 semua Jurusan Program Studi Magister FITK UIN jSyarif Hidayatullah Jakarta, semoga kita semua menjadi generasi yang dapat mengamalkan ilmu dalam mengabdi kepada agama, bangsa, dan negara.

Penulis hanya bisa berdo’a semoga semua pihak yang telah membantu terselesainya tesis ini diberikan balasan pahala yang setimpal dari Allah SWT.

Akhirnya penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca pada umumnya, terutama bagi siapapun yang ingin mengetahui cara membentuk akhlak terpuji, karena menurut Imam al-Ghazali akhlak seseorang dapat dibentuk dengan metode dan langkah-langkah yang telah penulis rangkum dalam tersis ini. Amin Ya Rabbal ‘alamin.

Wassalamu ‘alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Jakarta, 17 Januari 2022 Penulis

Abdul Harits

NIM. 21180110000018

xi

(13)

DAFTAR ISI

LEMBAR SAMPUL

LEMBAR JUDUL……… i

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING...……… iii

PERSETUJUAN PENGUJI...……… iv

PENGESAHAN...……… v

PEDOMAN TRANSLITERASI... vi

ABSTRAK ………... vii

KATA PENGANTAR... x

DAFTAR ISI………... xii

BAB I : PENDAHULUAN………..…... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Identifikasi Masalah... 8

C. Batasan Masalah... 8

D. Rumusan Masalah Dan Pertanyaan Penelitian... 8

E. Tujuan Dan Manfaat Penelitian... 10

F. Tinjauan Kajian Terdahulu... 11

G. Metode Penelitian ... 13

H. Sistematika Penulisan... 15

BAB II : KAJIAN PUSTAKA TEORI METODE PENDIDIKAN AKHLAK DAN KERANGKA BERPIKIR... 17

A. Pendidikan Akhlak ... 17

xii

(14)

B. Metode Pendidikan Akhlak... 44

C. Kerangka Berpikir... 62

BAB III : PROFIL IMAM AL-GHAZALI DAN KITAB IHYA ULUM AD-DIN ... 63

A. Imam al-Ghazali... 63

B. Kitab Ihya Ulum ad-Din ... 88

BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 104 A. Pendidikan Akhlak Menurut Imam al-Ghazali... 104

B. Metode Pendidikan Akhlak Menurut Imam al-Ghazali 123 BAB V : PENUTUP... 155

A. Simpulan... 155

B. Implikasi... 156

C. Saran... 158

DAFTAR PUSTAKA... 161

HASIL UJI PLAGIASI………. 172

xiii

(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan suatu usaha yang dilakukan untuk mentransfer ilmu pengetahuan, menanamkan rasa keutamaan, membiasakan perilaku yang dibenarkan oleh aturan agama dan tatanan masyarakat dengan adab kesopanan yang tinggi, serta mempersiapkan anak didik untuk kehidupan yang suci seluruhnya dengan penuh keikhlasan dan kejujuran. (Athiyah, 2003: 13).

Pendidikan agama Islam adalah suatu usaha untuk membina dan mengasuh peserta didik agar senantiasa dapat memahami ajaran Islam secara menyeluruh, lalu menghayati tujuan, yang padal akhirnya dapat mengamalkan serta menjadikan Islam sebagai pandangan hidup. (Sa’diyah, 2018: 134).

Hadrotussyaikh KH. Hasyim Asy’ari dalam Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim (1415 H.: 11) mengatakan:

ئٌيش برتعطي ل ةةيلعف وأ ةةيغوق ةةيندب وأ تناكةيبلق ةينيدغى لامعخى عيج ننأ ةيقللى مراكلىو ةيتافصغىدمالىو ةيبدخى نسالب افوفم ناكنى لى اهنم

“Sesungguhnya seluruh amal-amal keagamaan, baik yang tertanam di dalam hati maupun yang dilakukan oleh tubuh, baik dalam bentuk ucapan maupun perbuatan, maka tidak akan dianggap baik, kecuali jika amal perbuatan itu diiringi dengan bagusnya tatakrama, terpujinya sifat-sifat yang melekat, dan mulianya tingkah laku”.

Dengan demikian maka ruh atau inti dari pendidikan Islam adalah pendidikan akhlak, hal ini dikarenakan semua unsur yang

1

(16)

terkandung dalam ajaran Islam seperti aqidah, ibadah, muamalah dan yang lainnya tidak lepas dari akhlak mulia. Maka wajar jika Imam al-Ghazali menggambarkan keutamaan akhlak yang baik (husnulkhuluq) dalam Ihya ‘Ulum ad-Din (t.th. Jilid III: 53) dengan ungkapan sebagai berikut:

ىلع وهو يقندنصغى لاعفأ لضفأو يلسرلى دنيس ةفص نسلى قللاف نيدنبعتلى ةضيرو يقتلى ةدهام ةرثو نيدغى رطش قيقحتغى

“Budi pekerti yang baik adalah sifatnya penghulu para rasul dan paling utamanya perilaku para shiddiqin. Pada hakikatnya budi pekerti baik itu separuh dari agama, buah dari mujahadahnya orang-orang yang bertaqwa dan riyadohnya para ahli ibadah”.

Sepanjang sejarah kehidupan manusia pendidikan akhlak adalah suatu proses yang pasti dijalani oleh setiap manusia, baik melalui proses pendidikan secara khusus yakni bimbingan yang dilakukan oleh orang dewasa kepada anak yang belum dewasa untuk mencapai kedewasaannya, maupun proses pendidikan secara umum yakni pendidikan yang bertujuan mengembangkan semua aspek kepribadian manusia untuk menjadi individu yang lebih baik (Sadulloh, 2012: 54). Hal ini dikarenakan manusia memiliki dua ansur dalam dirinya, yakni unsur jasad (tubuh) yang memunculkan perilaku (akhlak) yang tampak, dan unsur ruh/jiwa yang merupakan penyebab munculnya perilaku tersebut. Menurut Imam al-Ghozali (t.th. Jilid III: 58) karena hal inilah Allah Swt.

mengagungkan perkara ruh dengan menyandarkan ruh kepada- Nya ketika Allah Swt. berfirman dalam QS. Shod ayat 71-72:

(17)

نيدجاس هغ ىوعقف ىحور نم هيف تخفنو هتيوس ىذإف نىط نم ىرشب قغاخ ننى

Artinya: “...Sesungguhnya Aku menciptakan manusia (Nabi Adam as) dari tanah, kemudian ketika aku telah menyempurnakan bentuk jasadnya dan meniupkan ruh-Ku di dalamnya, maka bersungkurlah kalian (para malaikat) dengan bersujud kepadanya”.

Pada era modern saat ini, paling tidak ada tiga fungsi akhlak dalam kehidupan manusia, yaitu: (1) Sebagai panduan dalam memilih apa yang boleh diubah, dan apa pula yang harus dipertahankan. (2) Sebagai penangkal dalam menghadapi berbagai ideologi kontemporer seperti materalisme, nihilisme, hedonisme, radikalisme, marxisme, sekulerisme dan lain-lain (Suseno, 1987: 15), dan (3) Sebagai filter terhadap arus globalisasi yang telah menyebarkan arus informasi yang begitu banyak dan beragam. Arus informasi tersebut juga bisa berdampak negatif pada masyarakat jika tidak difilter dengan nilai-nilai agama (akhlak).. (Shindhunata, 2000: 107)

Usaha Pemerintah Indonesia untuk mewujudkan peserta didik yang memiliki akhlak mulia sangatlah serius. Ini dapat dilihat melalui Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2025 yang menjadikan pendidikan karakter sebagai landasan visi pembangunan nasional, yaitu “mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila” (Sulistyowati, 2012: v).

Melihat realitas pendidikan yang ada di Indonesia saat ini, jika ditinjau dari sisi tujuan pendidikan, nampaknya usaha pemerintah di atas belumlah maksimal, karena output pendidikan masih belum memberikan hasil yang diharapkan. Hal ini terbukti

(18)

masih banyak masyarakat yang rusak moralnya, seperti anak yang durhaka kepada orang tua, murid melawan guru, hingga kasus kejahatan yang berdampak pada kerusakan dan merugikan orang lain yang menurut Badan Pusat Statistik Indonesia dalam Statistik Kriminal 2020 (hal. 7) menyebutkan bahwa kejahatan di Indonesia pada tahun 2019 saja mencapai angka 269.324 jumlah kejahatan. Itu belum termasuk kejahatan yang terjadi pada tahun- tahun sebelumnya dan tahun-tahun sesudahnya.

Realita di atas sangatlah perlu menjadi perhatian kita bersama, terutama para insan pendidikan, para pendidik dan pemilik atau pengelola lembaga pendidikan, karena sampai dengan saat ini pendidikan dipercaya sebagai media yang sangat ampuh dalam membangun kecerdasan sekaligus kepribadian manusia menjadi lebih baik (Azzet, 2011: 9). Namun untuk membentuk pribadi yang lebih baik dan berakhlak mulia bukanlah terjadi dengan sendirinya, tapi perlu adanya pendidikan khusus tetntang akhlak mulia yang memuat materi dan metode yang tepat dalam proses pembelajarannya.

Setiap disiplin ilmu memiliki karakteristik masing-masing yang dalam penyampaiannya mengunakan cara yang berbeda- beda mengikuti karakteristik masing-masing ilmu tersebut sehingga diperlukan metode dalam menyampaikan pembelajaran.

Disinilah letak pentingnya sebuah metode pendidikan, karena

“metode adalah cara melakukan suatu kegiatan dengan menggunakan fakta dan konsep-konsep secara sistematis yang digunakan untuk mencapai suatu tujuan”. (Syah, 2009: 198)

(19)

Abudin Nata (1997: 92-93) mengatakan bahwa metode pendidikan Islam mempunyai arti antara lain: Pertama jalan untuk menanamkan pengetahuan agama pada diri seseorang sehingga terlihat dalam pribadi objek sasaran , yaitu pribadi yang Islami; Kedua cara untuk memahami, menggali, dan mengembangkan ajaran Islam, sehingga terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman.

Untuk mengatasi masalah kerusakan moral yang terjadi di masyarakat yang seakan tidak ada habisnya, para pemikir Islam baik para ilmuwan modern maupun para ilmuwan klasik mencoba mencari dan menggali lebih dalam serta mengimplementasikan metode apa saja yang sekiranya tepat untuk diterapkan dalam proses pembelajaran akhlak agar pembelajaran tersebut benar- benar berhasil mendidik para peserta didik untuk dapat memiliki akhlak yang sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw., dan diantara para ilmuwan klasik ada seorang yang konsep pendidikan akhlaknya masih menjadi rujukan para ilmuwan muslim hingga saat ini, yaitu seorang pakar pendidikan akhlak yang dikenal dengan sebutan Imam al-Ghazali.

Imam al-Ghazali menawarkan konsep pemecahan masalah moral dengan menggunakan langkah-langkah pensucian batin dan penggunaan metode yang tepat dalam pembentukan akhlak yang sesuai atau akhlak yang Islami sesuai dengan al-Qur’an dan al- Hadits (Abdudin Nata, 2013; 305).

Imam al-Ghozali (t.th. Jilid III: 53) mengatakan:

سوفنغى ماقسأ و بولفغى ضىرمأ ةثيبلى قلخخىو

“Akhlak yang buruk adalah penyakit hati dan racun jiwa”.

(20)

و اهجلع ف يمثت لى ث ابابسأ و اهلأ ةفرعم ف قنت لى دبعغى جاتحيف ادااىو . اهاكز نم خلفأ دق : لاعت هغوقب دىرلى وه اهتلاعمف , اهحلصى

اهانسد نم باخ دقو : لاعت هغوقب دىرلى وه

“Maka seorang hamba butuh ketelitian untuk mengetahui penyakit-penyakit hati dan penyebabnya, kemudian bersungguh-sungguh dalam mengobati dan memperbakinya.

Maka mengobati penyakit hati inilah yang dikehendaki dalam firman Allah Swt: اهاكز نم خلفأ دق (Benar-benar beruntung orang yang membersihkan hatinya). Sedangkan membiarkan penyakit hati tetap ada dan bersarang, adalah yang dikehendaki dalam firman-Nya: اهاسّد نم باخ دقو (Dan benar-benar merugi orang yang mengotori jiwanya).

Berdasarkan pernyatan tersebut, Akhmad Shodiq (2018: 2) menyimpulkan bahwa perubahan akhlak adalah perubahan kondisi bathiniyah dan perubahan perilaku lahiriyah secara kausalitas, yang terjadi sedemikian rupa sehingga perilaku yang timbul tidak lagi dipikirkan dan dipertimbangkan oleh pelakunya.

Perbahan akhlak adalah perubahan rohani sekaligus, maka membicarakan perubahan akhlak mengharuskan terlebih dahulu adalah mengerti tentang eksistensi ruhani, daya-daya ruhani, dan dinamika ruhani, sebelum ia berbicara tentang kaitan keadaan rohaniyah denngan perilaku lahiriyah.

Untuk memperbaiki akhlak buruk dan merubahnya menjadi akhlak yang baik, Imam al-Ghozali menggunakan langkah tazkiyatun-nafs (pensucian jiwa/ruh) dalam konsep pendidikan akhlaknya. Langkah ini merupakan bagian dari usaha perbaikan akhlak melalui sistem yang dinamakan: Takhalli (mengosongkan hati dari sifat tercela), Tahalli (memperindah hati dengan sifat-

(21)

sifat terpuji), dan Tajalli (terangnya hati dengan nur ilahi) yang digunakan oleh para sufi (Zafri, 1991: 67).

Imam Abu Hamid Muhammad al-Ghazali adalah seorang filosof dan sufi yang namanya masih terus dibicarakan hingga detik ini, pengarang kitab Ihyā Ulūm al-Dīn yang hingga sekarang pemikirannya masih terus dikaji terutama di pondok- pondok pesantren dan di kampus-kampus Islam (Faris: 1993: 19).

Penulis beranggapan bahwa pemikiran beliau tentang metode pendidikan akhlak dapat dihidupkan kembali di zaman modern ini, guna memfilter arus globalisasi yang terus berkembang sehingga terciptanya manusia yang cerdas dan berakhlak mulia.

Hal inilah yang menginspirasi penulis untuk menyusun tesis dengan judul: “Metode Pendidikan Akhlak Imam al-Ghozali (Studi Analisis Kitab Ihya Ulum al-Din)”. Judul ini penulis pilih atas pertimbangan sebagai berikut:

1. Pendidikan memiliki tujuan menciptakan generasi bangsa yang cerdas, kreatif, berbudaya dan berakhlakulkarimah.

2. Tujuan pendidikan Islam adalah menanamkan akhlak mulia pada peserta didik dalam segala aktivitas kehidupannya.

3. Terbentuknya akhlak mulia pada diri setiap umat Islam adalah misi utama Rasulullah Saw.

4. Metode pendidikan akhlak marupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi berhasil atau tidaknya suatu proses pembelajaran akhlak terhadap peserta didik.

5. Penulis ingin mengetahui seberapa besar pengaruhnya metode pendidikan akhlak yang ditawarkan oleh Imam al-Ghazali terhadap pendidikan akhlak pada saat sekarang ini.

(22)

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka masalah- masalah yang dapat teridentifikasi adalah sebagai berikut:

1. Dekadensi moral yang terjadi saat ini adalah dampak dari merosotnya pendidikan akhlak.

2. Kurang maksimalnya keberhasilan pendidikan akhlak diantara penyebabnya adalah tidak tepatnya metode pendidikan akhlak yang digunakan

3. Banyak yang mengetahui metode pendidikan akhlak para ilmuwan, namun implementasinya kurang maksimal khususnya metode pendidikan akhlak Imam al-Ghazali

4. Relevansi metode pendidikan akhlak yang dikemukakan oleh Imam al-Ghozali terhadap pendidikan saat ini perlu dikaji kembali secara mendalam

C. Batasan Masalah.

Karena banyaknya masalah seperti yang telah dipaparkan dalam latar belakang masalah di atas, maka penulis memilih satu topik yaitu “Metode pendidikan akhlak Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulum al-Din”. Hal ini dilakukan untuk mempermudah penelitian dalam menemukan pemecahan masalah yang terjadi.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan maka rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:

1. Apa maksud pendidikan akhlak menurut Imam al-Ghazali?

(23)

2. Faktor apa saja yang dapat mendukung keberhasilan pendidikan akhlak menurut Imam al-Ghazali?

3. Bagaimana pandangan Imam al-Ghazali tentang pengertian metode pendidikan akhlak dan macam-macamnya?

4. Faktor apa saja yang dapat mempengaruhi metode pendidikan akhlak menurut Imam al-Ghazali?

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian.

1. Tujuan Penelitian.

Penelitian ini memiliki beberapa tujuan sebagai berikut:

a. Tujuan akademis

1) Untuk menganalisis secara komperhensif, holistik, dan mendalam, tentang maksud pendidikan akhlak menurut Imam al-Ghozali.

2) Untuk menganalisis secara komperhensif, holistik, dan mendalam, tentang faktor pendukung keberhasilan pendidikan akhlak menurut Imam al-Ghazali

3) Untuk menganalisis secara komperhensif, holistik, dan mendalam, tentang jenis metode pendidikan akhlak yang digunakan oleh Imam al-Ghazali?

4) Untuk menganalisis secara komperhensif, holistik, dan mendalam, tentang faktor-faktor yang mempengaruhi metode pendidikan akhlak menurut Imam al-Ghazali b. Tujuan Terapan

Secara umum, penulis melakukan penelitian ini untuk menganalisa dan menjelaskannya tentang metode pendidikan akhlak Imam al-Ghozali.

(24)

2. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah:

a. Manfaat Akademis

Pendalaman dan pengembangan metode pendidikan akhlak dan implementasinya dalam membentuk akhlak mulia peserta didik, sehingga sangat diharapkan dapat mengatasi permasalahannya.

b. Manfaat Terapan

1) Dapat menjadi masukan bagi para pendidik dalam memilih dan menerapkan metode pendidikan akhlak dalam peoses pembelajaran dan pendidiaknnya.

2) Dapat memberikan kontribusi ilmiah dalam memperkaya dan memperluas khazanah dalam bidang pemikiran pendidikan agama islam pada umumnya dan metode pendidikan akhlak pada khususnya.

F. Tinjauan Kajian Terdahulu

Untuk menghindari duplikasi dan plagiasi terhadap hasil karya orang lain, maka diperlukan penjelasan penelitian sebelumnya pada persoalan yang hampir sama. Penelitian yang berkaitan dengan metode pendidikan akhlak Imam al-Ghozali diantaranya:

1. Penelitian yang dilakukan Musyarofah pada tahun 2017 dalam Tesisnya yang berjudul “Metode Pendidikan Akhlak Imam al- Ghazali“. Hasil penelitian ini menyimpulkankan bahwa metode pendidikan akhlak yang digunakan oleh beliau adalah metode suritauladan, nasehat. latihan, pembiasaan, anjuran dan larangan, dan metode pujian (reward). (2017: 123).

(25)

2. Penelitian yang dilakukan oleh Lukman Latif pada tahun 2016 dalam Tesisnya yang berjudul “Pemikiran Imam al-Ghozali Tentang Pendidikan Akhlak”. Penelitian ini membahas tentang tujuan, materi, dan metode pendidikan akhlak yang menurutnya Imam al-Ghozali tidak mengharuskan seorang pendidik untuk menggunakan metode tertentu asalkan metode tersebut tidak bertentangan dengan syari’at Islam.

3. Penelitian yang dilakukan oleh Samsudin mahasiswa program magister Studi Islam Univesitas Muhammadiyah Yogyakarta, 2014 tentang “Konsep Pendidikan Menurut Pemikiran Imam al-Ghazali”. Pada penelitian ini membahas konsep pendidikan Islam menurut Imam al-Ghozali yang ditinjau dari pengertian pendidikan, tujuan pendidikan, subyek pendidikan, kurikulum pendidikan, metode pendidikan Islam dan evaluasi pendidikan Islam serta relevansinya terhadap pendidikan Islam pada saat sekarang ini.

Berdasarkan penelitian terdahulu tersebut di atas, memang terdapat sejumlah penelitian terdahulu yang hampir mirip adalah objek penelitiannya dengan apa yang akan penulis teliti, akan tetapi dengan khazanah keilmuan yang luas tentulah akan mendapatkan hasil analisa dan kesimpulan yang berbeda dari peneliti sebelumnya, karena dalam penelitian penulis ini hanya fokus kepada metode pendidikan akhlak Imam al-Ghozali yang terdapat dalam kitab Ihya Ulum al-Din, yang menurut penulis metode pendidikan akhlak ini merupakan faktor yang sangat penting dalam keberhasilan suatu proses pendidikan akhlak.

(26)

G. Metode Penelitian 1. Sifat Dan Jenis Penelitian

Penelitian dalam tesis ini bersifat kualitatif. Moleong (2015:6) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan prosedur analisis yang tidak menggunakan prosedur analisis yaitu kuantifikasi lainnya.

Sedangkan menurut Creswell (dalam Satori, 2011:24) penilitian kualitatif adalah suatu proses inquiry tentang pemahaman berdasar pada tradisi-tradisi metodologis terpisah;

menjelajah suatu masalah sosial atau manusia. Sementara itu Bogdan dan Taylor (dalam Moelong, 2015:4) mendefinisikan metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskiriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.

Berdasarkan beberapa pengertian ini dapat dipahami bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang tujuannya untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang masalah manusia atau sosial dengan objek yang alamiah. Penelitian kualitatif menghasilkan data deskiriptif yang berupa kata-kata tertulis ataupun lisan dari orang-orang atau perilaku yang diamati. Apabila terdapat angka-angka dalam proses penelitian maka hanya digunakan sebagai pendukung penelitian.

Adapun jenis penelitian yang penulis gunakan ini adalah penelitian kepustakaan atau library research, yaitu penelitian yang dilaksanakan dengan menggunakan literatur kepustakaan, baik berupa buku, catatan, maupun laporan hasil penelitian dari penelitian terdahulu (Hasan, 2002: 11).

(27)

2. Obyek Penelitian

Obyek penelitian ini adalah pemikiran tentang metode pendidikan akhlak dari seorang pakar pendidikan akhlak terkemuka yaitu Muhammad Abu Hamid al-Ghazali.

3. Sumber Data

a. Sumber data primer, kitab Ihya Ulum ad-Din dan karya Imam al-Ghozali yang berkaitan dengan pendidikan akhlak.

b. Sumber data sekunder, buku-buku atau referensi lainnya yang berkaitan dengan akhlak, pendidikan dan konsep pendidikan akhlak, yang dalam hal ini data tersebut merupakan data penunjang dari data primer.

4. Teknik Pengumpulan Data

Inti dari suatu penelitian adalah terkumpulnya data dan informasi yang selanjutnya di lakukan analisis sehingga hasil yang di peroleh itu dapat diterjemahkan atau diinterpretasikan sebagai kesimpulan dalam penelitian. (Agam, 2009: 38).

Pengumpulan data yang penulis lakukan dalam penelitian ini menggunakan metode dokumentasi. Sebagaimana tang dijelaskan Suharsimi dalam bukunya Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (2002: 206) bahwa metode dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen dan lain sebagainya.

Adapun proses pengumpulan datanya adalah penulis berusaha mengumpulkan data-data atau literatur-literatur yang relevan dengan pokok pembahasan dalam penelitian ini yaitu tentang pendidikan dan metode pendidikan akhlak. Data-data

(28)

yang berhasil didapatkan kemudian diklasifikasikan kedalam dua kelompok yaitu data primer dan data sekunder. Hal ini penulis lakukan agar penulisan tesis ini lebih mudah dan lebih tersusun secara sistematis dan teratur.

5. Teknik Analisa Data

Setelah data-data terkumpul, kemudian yang penulis lakukan adalah membaca, mempelajari, meneliti, menyeleksi dan mengelompokkan data-data yang berkaitan dengan pokok pembahasan, kemudian penulis lakukan penganalisaan yang kemudian penulis simpulkan sehingga menjadi suatu pembahasan yang utuh mengenai metode pendidikan akhlak.

Penulis juga menggunakan teknik analisis komparatif, yaitu

“membandingkan dua konsep atau lebih untuk mencari persamaan dan perbedaanya” (Nazir, 2005: 58). Hal ini penulis lakukan untuk mengetahui mana yang merupakan konsep asli dari Imam al-Ghozali dan mana yang bukan, mana yang mirip atau menyerupai bahkan mengikuti, dan mana juga yang bertentangan atau bertolak belakang. Pada tahap yang terakhir, penulis memberikan kesimpulan hasil dari penelitian yang ditemukan berdasarkan data-data yang telah diperoleh.

H. Sistematika Penulisan

Pada tesis ini penulis akan menyajikan lima bab pembahasan yang merupakan hasil dari penelitian yang telah dilakukan.

Masing-masing bab dari lima bab tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, sehingga akan memberikan sinergitas utuh terhadap pembahasan tema penelitian.

(29)

Bab pertama terdiri dari latar belakang masalah, identifikasi masalah, batasan masalah, rumusan masalah dan pertanyaan pelenitian, serta tujuan dan manfaat dari penelitian ini. Kemudian disajikan kajian yang pernah dilakukan oleh peneliti terdahulu beserta hasil yang diperolehnya. Selanjutnya dipaparkan tentang metode yang digunakan dalam penelitian ini sampai dengan cara pengolahan data dan penarikan kesimpulan. Bab ini, diakhiri dengan sistematika pembahasan, yaitu rangkaian pembahasan seluruh bab yang merupakan satu kesatuan secara utuh.

Bab kedua berisikan kajian pustaka yang menyajikan landasan teori berisi kajian tentang pendidikan akhlak, persamaan dan perbedaannya dengan pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan etika, pendidikan sopan santun, dan pendidikan karakter yang dikemukakan para ahli. Selanjutnya dikaji pula tentang macam-macam metode pendidikan akhlak dari para ahli.

Hasil dari kajian bab dua ini akan digunakan untuk menganalisa metode pendidikan akhlak yang terdapat pada bab empat.

Bab ketiga berisikan gambaran profil Imam al-Ghazali dan kitab ‘Ihya Ulum al-Din. Pada bagian ini dikemukakan tentang riwayat hidup Imam al-Ghazali, gambaran politik dan sosial keagamaan pada saat itu, para guru-gurunya, karya-karyanya, pemikiran dan keahliannya, serta pendapat para ulama tentang dirinya. Selanjutnya dikemukakan pula tentang kitab Ihya Ulum al-Din yang meliputi latar belakang penulisannya, materi dan sistematikan pembahasannya pada tiap jilid, serta pendapat para tokoh dan analisa penulis tentang kitab tersebut.

(30)

Bab keempat merupakan data dan temuan penelitian serta analisa dan pembahasannya. Pada bab ini disajikan pemikiran Imam al-Ghazali yang terdapat dalam sumber primer dan sumber sekunder, tentang segala hal yang berkaitan dengan pendidikan akhlak, jenis-jenis metode pendidikannya, dan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi metode pendidikan akhlak. Semua hal tersebut akan disertakan analisa dan pembahasannya dengan hasil kajian teori pada bab dua, untuk dicari persamaan dan perbedaannya dengan para pakar pendidikan akhlak yang lain.

Bab kelima merupakan penutup dari tesis ini yang berisikan simpulan, implikasi, dan saran.

(31)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA TEORI METODE PENDIDIKAN AKHLAK DAN KERANGKA BERPIKIR

A. Pendidikan Akhlak

1. Pengertian Pendidikan Akhlak

Istilah “pendidikan akhlak” terdiri dari dua kata, yaitu pendidikan dan akhlak. Masing-masing memiliki pengertian tertentu yang kemudian digabungkan sehingga mendapatkan kesimpulan yang utuh tentang pendidikan akhlak. Adapun pengertian pendidikan dan akhlak adalah sebagai berikut:

a. Pendidikan

Pendidikan, menurut kamus besar bahasa Indonesia, adalah proses yang dilakukan untuk mengubah sikap dan tingkah laku seseorang atau sekelompok orang dengan tujuan mendewasakannya melalui usaha pengajaran dan pelatihan (Depdiknas, 2005: 263).

Suwarno (2006: 19) mengatakan bahwa istilah pendidikan ini semula berasal dari bahasa yunani, yaitu paedagogy yang mengandung makna seorang anak yang pergi dan pulang sekolah diantar seorang pelayan.

Sedangkan pelayan yang mengantar dan menjemput dinamakan paedagogos. Dalam bahasa Romawi, pendidikan diistilahkan dengan educate yang berarti mengeluarkan sesuatu yang berada didalam. Dalam bahasa inggris, pendidikan diistilahkan to educate yang berarti memperbaiki moral dan melatih intelektual.

17

(32)

Dalam bahasa Arab, pendidikan mempunyai istilah yang berbeda-beda, diantaranya adalah tarbiyah, ta,dib, ta’lim, tahdzib, dan siyasat. Istilah ini digunakan oleh para tokoh Islam saat membahas pendidikan, seperti Syekh all-Zarnuji dalam Ta’lim al-Muta’allim, Ibnu Miskawih dalam Tahzib al-Akhlak, dan Ibnu Shina dalam al-Siyasat. Masing-masing istilah terdapat perbedaan penekanan makna, namun ada keterkaitan satu sama lain yakni mendidik anak. Kata Tarbiyah difokuskan kepada bimbingan anak agar tumbuh kelengkapan dasarnya dan dapat berkembang secara sempurna. Kata Ta’lim penekanannya lebih pada penyampaian ilmu pengetahuan dan pemahaman yang benar serta amanah mengamalkannya. Kata Ta.dib dan Tahzib menekankan pada kemantapan tingkah laku dan amaliyah yang baik. Sedangkan Siyasat penekanannya adalah tentang cara seorang pendidik dalam memberikan pengajaran kepada anak sehingga bisa ditiru dan diikuti.

Dengan demikian istilah Ta’lim lebih luas cakupannya dibandingkan istilah lainnya. (Nasir, 2005: 53-54). Namun pada masa sekarang ini kata Tarbiyah merupakan istilah yang paling berlaku di masyarakat, hal ini dikarenakan, menurut Athiyah al-Abrasyi, term yang menyangkut keseluruhan Tarbiyah merupakan upaya mempersiapkan individu yang sempurna etikanya, sistematis dalam berfikir, giat berkreasi, toleransi dengan yang lain, berkompetensi dalam mengungkap bahasa lisan dan tulisan, serta memiliki beberapa ketrampilan. (Ramayulis, 2008: 15-16).

(33)

Abudin Nata (2012: 19) mengatakan bahwa pendidikan adalah suatu “usaha yang didalamnya ada proses belajar yang tujuannya untuk menumbuhkan segenap potensi dan bakat, yang dimiliki oleh para manusia”. Hal ini senada dengan yang diungkapkan Ki Hajar Dewantara, dalam Suwarno (2006: 20) yang menyatakan bahwa pendidikan merupakan tuntutan bagi pertumbuhan anak-anak. Artinya, pendidikan menuntut segala kekuatan kodrat yang ada pada diri anak, agar mereka tumbuh sebagai manusia sekaligus sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.

Berdasarkan beberapa keterangan di atas maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah usaha yang dilakukan untuk menumbuhkan dan mengembangkan semua potensi yang dimilki peserta didik agar memperoleh kebahagiaan dan bermanfaat bagi masyarakat.

b. Akhlak

Kata قﻼﺧأ adalah jamak taksir dari kata قلخ yang mempunyai arti tabi’at (al sajiyyat), watak (al thab), budi pekerti, kebijaksanaan, agama (al din). (Mujieb, 2009: 38).

Sedangkan Ahmad Warson Munawir dalam Kamus Al- Munawir (1997: 364) mengatakan bahwa akhlaq juga berati al-‘ādah (kebiasaan), al-murū’ah (keperwiraan, kekesatriaan,), ad-dīn (agama) dan al-ghadlab (kemarahan).

Sementara itu Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 205), mengartikan akhlak sebagai budi pekerti dan kelakuan.

(34)

Secara terminologi, beberpa ulama mendefinisikan akhlak dengan ungkapan sebagai berikut:

1) Ibnu Miskawaih mengatakan:

“Akhlak adalah keadaan jiwa yang dapat memunculkan perbuatan, tanpa adanya pemikiran dan pengamatan”.

2) Abu Bakar Jabir al-Jazairy mangatakan:

“Akhlak adalah kekuatan yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan yang dilakukan dengan tanpa adanya paksaan, yang baik maupun yang buruk, terpuji maupun tercela”.

3) Muhammad bin Ilaan as-Shadiqy mengatakan:

“Akhlak adalah kekuatan dalam jiwa yang mampu memunculakan perbuatan-perbuatan baik dengan mudah”. (Mahjuddin, 1999: 2-3)

4) Ibrahim Anis, dalam al-Mu’jam al-Wasith (t.th.: 202):

نم رش وى يخ نم لامعخى اهنع ردصت ئةخسىر سفنلغ لاح ةيؤرو ركف لى ةجاح يغ

“(Akhlak adalah) sifat yang tertanam dalam jiwa yang darinya muncul perbuatan-perbuatan yang baik maupun yang buruk, tanpa membutuhkan pertimbangan pikiran dan penglihatan”.

5) Ali Abdul Halim dalam Tarbiyah al-khuluqiyah (2004:

26) berpendapat bahwa akhlak adalah sistem yang lengkap, terdiri dari karakteristik akal yang membuat seseorang istimewa, membentuk psikologi dan membuat perilaku sesuai dengan dirinya dan nilai yang cocok dengan dirinya dalam kondisi yang berbeda-beda.

(35)

6) Ahmad Bin Mushthafa (Thasy Kubra Zaadah), dalam Mahmud (2004: 33), berpendapat bahwa akhlak adalah ilmu yang darinya dapat diketahui jenis-jenis keutamaan, yaitu terwujudnya keseimbangan antara tiga kekuatan, yaitu kekuatan berfikir, kekuatan marah, dan kekuatan syahwat. Masing-masing kekuatan itu mempunyai posisi pertengahan diantara dua keburukan.

7) Said Aqil Siradj dalam karyanya Tasawuf Sebagai Kritik Sosial (2006: 41-42) memaparkan bahwa kata akhlaq, bentuk plural dari khuluq yang artinya budi pekerti atau moralitas. Al-Quran menyebutkan kata ini sebanyak dua kali, yaitu pada surah al-Syu’ara (26): 137 dan al-Qalam (68): 4. Pada mulanya diproyeksikan sebagai sandingan kata “khalq” yang artinya, “ciptaan”.

Walaupun berasal dari akar kata yang sama, kha-la-qa, kedua istilah tersebut memiliki perbedaan substansi.

Kata al-khuluq bersifat immateri dan permanen.

Sedangkan al-khalq sebagai mitra keberadaan manusia yang bersifat material, kasatmata, dan temporer. Meski demikian, kedua kata tersebut tidak bisa dipisahkan.

Meniadakan salah satunya akan memudarkan jati diri manusia. Karena manusia sejati dan paripurna (al-insan al-kamil) merupakan pengungkapan spiritual dari

“ahsan taqwim”, yaitu bentuk formulasi ciptaan Tuhan yang mempunyai nilai terbaik, dibuktikan dari bertemunya al-khuluq dan al-khalq. Pengertian akhlaq yang esensial itu merujuk pada sifat-sifat substansial

(36)

yang melekat pada diri manusia. Oleh karenanya, dalam proses bertindak, manusia harus selaras dengan penciptaan yang telah dititahkan kepadanya oleh Allah Swt. Maka, berakhlak yang baik berarti kesadaran untuk mewujudkan kesesuaian langkah dengan hakikat penciptaan. Sebaliknya, akhlak yang buruk berarti melanggar penciptaan, menerobos batas hukum Tuhan.

Berdasarkan beberapa keterangan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa akhlak adalah sifat atau kekuatan yang tertanam dalam jiwa/diri seseorang yang dapat melahirkan perbuatan-perbuatan yang timbul secara spontan tanpa memerlukan pertimbangan pikiran dan pengamatan.

Dengan demikian pendidikan akhlak adalah suatu proses pembelajaran yang dilakukan untuk menjadikan seseorang agar memilki akhlak al-karimah yang sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam sehingga menjadi manusia sejati dan paripurna yang dalam bahasa tasawuf dikenal dengan istilah “al-insan al-kamil”.

2. Persamaan dan Perbedaan Pendidikan Akhlak dengan Pendidikan yang Sejenisnya

Setelah mengetahui pendidikan akhlak, maka selanjutnya peneliti mencoba menjabarkan persamaan dan perbedaan pendidikan akhlak dengan pendidikan yang saat ini sering didengungkan dalam dunia pendidikan, yaitu:

(37)

a. Pendidikan Budi Pekerti

Kamus Besar Bahasa Indonesia, mengartikan budi pekerti sebagai tingkah laku, akhlak, dan watak.

Sedangkan Ki Hajar Dewantara berpendapat budi pekerti berkaitan erat dengan adab yang menunjukan sifat batinnya manusia, seperti kemerdekaan, keadilan, keTuhanan, cinta kasih dan kesosialan.

Pendidikan budi pekerti adalah suatu usaha pembelajaran yang dilakukan agar peserta didik memiliki nilai-nilai watak dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan sistem dan hukum-hukum nilai yang berlaku di masyarakat.

Dalam draf Kurikulum Berbasis Kompentensi (2001) nilai-nilai yang merupakan materi dari pendidikan budi pekerti tersebut meliputi: (1) Meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa, (2) Menaati ajaran Agama, (3) Memiliki rasa menghargai orang lain, (4) Memiliki rasa menghargai diri sendir,i (5) Disiplin, (6) Etos kerja dan belajar, (7) Tanggung jawab, (8) Keterbukaan, (9) Mengendalikan diri, (10) Berfikir positif, (11) Mengembangkan potensi diri, (12) Cinta dan kasih sayang, (13) Kebersamaan dan gotong royong, (14) Setia kawan, (15) Saling menghormati, (16) Tatakarama dan sopan santun, (17) Memilki rasa malu, (18) Jujur. (Indrawan, 2020: 96-100)

Menurut Pedoman Umum dan Nilai Budi Pekerti untuk Pendidikan Dasar dan Menengah, tujuan pendidikan budi pekerti adalah “Menumbuhkembangkan individu warga Negara Indonesia yang berakhlak mulia dalam pikiran,

(38)

sikap dan perbuatan sehari-hari, yang secara kurikuler benar-benar menjiwai dan memaknai semua kegiatan yang relevan sehingga dari dalam diri setiap anak terpancar akhlak mulia”. Untuk mewujudkan keberhasilan pendidikan budi pekerti perlu disertai upaya keteladanan, pembiasaan, pengamalan, pengkondisian dan mewujudkan lingkungan pendidikan yang kondusi yang meliputi keluarga, masyarakat dan sekolah. (Indrawan, 2020: 101) . b. Pendidikan Moral

Moral jika dilihat asal muasal kata atau etimologi berasal dari kata “mores” berarti tata cara, kebiasaan, atau istiadat. Moral juga dimaknai sebagai tingkah laku hidup manusia, yang mendasarkan diri pada kesadaran, bahwa ia terikat oleh keharusan untuk mencapai yang baik sesuai dengan nilai yang berlaku dalam lingkungan. Moral juga diartikan pangkal ide tentang tingkah laku hidup dengan warna dasar tertentu yang dipegang oleh sekelompok manusia dalam lingkungan tertentu. Pada sisi yang lain, moral diartikan sebagai ajaran tentang tingkah laku hidup yang baik berdasarkan pandangan hidup atau agama tertentu (Sarbaini, 2017: 1).

Pendidikan moral, berdasarkan pengertian di atas, berarti usaha yang dilakukan dalam proses pembelajaran untuk membentuk peserta didik yang berperilaku sesuai dengan nilai-nilai moral yang berlaku dalam masyarakat.

Nilai-nilai tersebut mencakup:

(39)

1) Nilai moral absolute, yakni moral yang sifatnya tetap, tidak berubah sampai akhir zaman. Nilai moral absolute, biasa juga disebut nilai-nilai moral ideal, misalnya nilai- nilai dalam sila-sila Pancasila.

2) Nilai moral relatife, yaitu nilai moral yang sifatnya selalu berubah sesuai dengan perubahan zaman. Nilai moral relative, disebut juga sebagai nilai-nilai Instrumental. Nilai-nilai ini merupakan wujud implementasi dari nilai-nilai ideal, seperti nilai-nilai yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan atau norma–norma sosial yang berlaku dalam masyarakat, dalam bentuk kebiasaan, adat-istiadat, tradisi dan hukum adat. (Sarbaini, 2017: 6).

Adapun unsur-unsur pendidikan moral, ada beberapa pendapat para ahli, yaitu sebagai berikut:

1)Unsur moralitas menurut Bronowski a) Perhatian (Caring)

Membahas masalah keinginan, kemampuan, kesadaran, perasaan, motivasi dan pengetahuan sosial.

Unsur ini berkaitan dengan model pendidikan moral yang dikembangkan oleh Peter Mephail dari Inggris yang dikenal dengan “Model Kepedulian Moral atau Model Konsiderasi (Consideration Model )”.

b)Pertimbangan (Judging)

Pembahasan tentang kemampuan mengevaluasi beberapa kepentingan yang berbeda berdasarkan kriteria yang diakui oleh umum secara konsisten,

(40)

sehingga menghasilkan kesimpulan tentang moralitas baik atau buruk. Unsur pertimbangan sebagai bagian dari moralitas dalam hubungannya dengan pendidikan moral, diterapkan dalam model pembentukan rasional (Rational Building Model) oleh Shaver dan Strong, perkembangan kognitif (Cognitive Development Model) oleh Kohlberg, analisis nilai (Value Analysis Model) oleh Fraenkel dan klasifikasi nilai (Value Clarification Model) oleh Rath, Hamim, dan Simon.

c) Tindakan (Action)

Unsur moralitas berupa tindakan moral dikembangkan melalui teori belajar sosial dan teori sosialisasi moral.

Teori belajar sosial (Social Learning) merupakan aplikasi dari aliran Behavioristik. Menurut teori ini moral lingkungan amat mempengaruhi pembentukan moralitas seseorang, melalui pola “Stimulus and respon” (SAR) dan “reinforcement”. Sedangkan teori sosialisasi moral (Moral Socialization) dari Durkheim mengemukakan bahwa moral adalah suatu fakta sosial yang terdiri dari serangkaian aturan tingkah laku ataupun aktivitas sosial, yang diciptakan oleh masyarakat dan diabdikan untuk masyarakat. Dalam kegiatan pembelajaran, unsur ini dikembangkan dalam model pembelajaran yang dikenal dengan model tindakan moral warganegara (The Moral Action–Citizenship model) dikenal juga dengan nama Model Aksi Sosial (The Social Action–Citizenship

(41)

model) dikembangkan oleh Fred Newmann. Tujuan adalah membantu siswa mengembangkan

“kompetensi kewarganegaraan” sehingga siswa diharapkan aktif dan produktif dalam kegiatan perbaikan lingkungan hidup, dalam prespektif sosial, moral, budaya dan lingkungan, baik di sekolah, masyarakat dan Negara. (Sarbaini, 2017: 7-10).

2)Unsur moralitas menurut Durkheim

a) Semangat Disiplin (Sense Of Discipline), yang meliputi konsistensi, keteraturan dan wewenang b)Keterkaitan atau identifikasi dengan kelompok (Social

Solidarity)

c) Otonomi diri (Self Autonomy). Keputusan pribadi dengan mengetahui konsekuensi dari berbagai tindakannya. (Sarbaini, 2017: 11)

c. Pendidikan Etika

Etika berasal dari bahasa yunani “ethos” yang berarti adat kebiasaan.

Dalam pelajaran filsafat, etika adalah bagian daripada filsafat, filsafat etika. Etika artinya:

1)Ilmu tentang tingkah laku manusia, prinsip-prinsip yang disistimatir tentang tindakan moral yang betul.

2)Bagian filsafat yang memperkembangkan teori tentang tindakan, alasan-alasan dan tujuan yang diarahkan kepada makna tindakan.

3)Ilmu tentang prinsip-prinsip, kaidah-kaidah moral tentang tindakan dan kelakuan. (Sarbaini, 2017: 3).

(42)

Franz Margin Suseno (1987: 17) berpendapat etika adalah usaha manusia dengan memakai akal dan daya pikirnya untuk memecahkan masalah kehidupannya sehingga ia menjadi lebih baik.

Berdasarkan keterangan di atas, pendidikan etika dapat diartikan sebagai studi tentang cara penerapan hal yang baik bagi hidup manusia. Cakupan materinya adalah mempelajari nilai kebaikan dan alasan pembenarannya, serta mempelajari nilai hidup dan hukum tingkah laku manusia. (Qarib, 2020: 13).

Pendidikan etika bertujuan memperluas pengetahuan peserta didik tentang melakukan yang terbaik untuk diri dan lingkungan, sehingga menjadi manusia berpotensi tinggi yang dapat melaksanakan tugas, kewajiban, dan tanggung jawab dalam bermasyarakat. (Qarib, 2020: 88) d. Pendidikan Sopan Santun

Markhamah (2019: 117) berpendapat bahwa sopan santun terdiri dari dua kata, yaitu sopan yang berarti (1) hormat dan takzim, tertib pada adat yang baik (2) beradab dalam perilaku, tutur bahasa, berpakaian, dan sebagainya (3) baik kelakuannya (tidak lacur, tidak cabul). Sedangkan santun mempunyai arti (1) halus dan baik budi bahasa dan perilakunya (2) penuh kasih dan suka menolong.

Hartono (2007: 11) mendefinisikan sopan santun sebagai kebiasaan yang baik yang disepakati oleh masyarakat lingkunga sekitar. Sopan memiliki arti adat, norma, dan peraturan. Santun meiliki arti bahasa, kelakuan,

(43)

dan tindakan yang sangat hormat. Sedangkan Surya Alam (2004: 11) berpendapat sopan santun adalah tatakrama dalam pergaulan manusia sehingga dalam kesehariannya memilki rasa saling menghormati dan menyayangi.

Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa sopan santun adalah kebiasaan baik yang mencakup perilaku dan ucapan dalam pergaulan bermasyarakat yang bertujuan untuk menghormati atau memuliakan, sesuai dengan adat kebiasaan masyarakat tersebut.

Pendidikan sopan santun adalah suatu usaha yang dilakukan dalam proses pembelajaran agar peserta didik terbiasa melakukan sopan santun kepada siapa saja sesuai dengan tatanan yang berlaku di masyarakat.

Hartono (2007: 3) mengatakan, dasar sopan santun adalah memberikan perhatian terhadap perasaan orang lain (consideration for others). Sedangkan ukuran sopan santun menurut Rusyan (2013: 212) adalah ketidaksombongan, selera baik, kepatuhan, dan menempatkan sesuatu pada tempatnya.

Adapun aspek-aspek sopan santun diungkapkan oleh Supriyanti (2008: 2) terwujud dalam enam hal yaitu (1) tatakrama dengan orang tua (2) tatakrama dengan guru (3) tatakrama dengan orang yang lebih tua (4) tatakrama dengan orang yang lebih muda (5) tatakrama dengan teman sebaya (6) tatakrama bergaul dengan lawan jenis.

(44)

e. Pendidikan karakter

Winnie yang juga dipahami oleh Ratna Megawangi, berpendapat bahwa karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti to mark (menandai). Istilah ini memfokuskan pada bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku (Muslich, 2014: 71).

Ada dua pengertian tentang karakter, yaitu:

1) Karakter adalah sifat yang menunjukkan bagaimana seseorang bertingkah laku. Jika seseorang berperilaku kejam, tamak atau tidak jujur, maka dikatakan berkarakter jelek. Jika seorang meiliki sifat ramah, sopan dan jujur disebut memiliki karakter yang baik.

2) Istilah karakter erat kaitannya dengan “personality”.

Seseorang baru bisa disebut orang yang berkarakter (a person of character) jika perilakunya sesuai kaidah moral. (Muslich, 2014: 71)

Beberapa pengertian di atas adalah makna karakter secara etimologis dan terminologis. Jika karakter ini dihubungkan dengan pendidikan, maka Thomas Lickona, mengartikan pendidikan karakter adalah pendidikan yang bertujuan untuk membentuk kepribadian peserta didik melalui pendidikan budi pekerti, yang hasilnya berupa tingkah laku baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati orang lain, kerja keras dan sebaginya. (Gunawan)2012: 23),

Elkind dan Sweet mengatakan bahwa pendidikan karakter merupakan upaya yang disengaja untuk membantu memahami manusia, peduli atas nilai-nilai etis

(45)

atau susila. Pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru untuk mempengaruhi karakter peserta didik (Gunawan 2012: 23)

Deni Damayanti (2014: 11) berpendapat bahwa karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara.

Pendidikan karakter adalah pendididikan yang mengupayakan peserta didiknya menjadi individu yang berkarakter baik yang bisa membuat keputusan sendiri tanpa intervensi dan siap mempertanggungjawabkan akibat yang terjadi dari keputusan yang ia buat tersebut.

Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter adalah suatu usaha yang dilakukan untuk membentuk peserta didik menjadi pribadi yang baik, dalam hal berpikir, berkata, dan berperilaku.

Pendidikan karakter memuat nilai-nilai yang perlu ditanamkan dan dikembangkan kepada peserta didik.

Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) selaku pemegang sistem pendidikan Nasional di Indonesia melansir bahwa berdasarkan kajian nilai-nilai agama, norma-norma sosial, peraturan atau hukum, etika akademik, dan prinsip HAM, telah teridentifikasi 80 butir nilai karakter yang dikelompokkan menjadi lima, yaitu: (1) nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, (2) nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan diri sendiri, (3) nilai-nilai

(46)

perilaku manusia yang berhubungan dengan sesama (4) nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan lingkungan, (5) nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan kebangsaan. (Gunawan 2012: 32)

Nilai-nilai pendidikan karakter yang harus ditanamkan pada peserta didik di sekolah dipaparkan Kemendiknas dalam buku “Panduan Pendidikan Karakter” adalah sebagai berikut: (Gunawan 2012: 33)

Nilai-Nilai Karakter yang Dikembangkan di Sekolah No. Nilai Karakter yang

Dikembangkan Deskripsi Perilaku

1 Nilai karakter dalam hubungannya dengan Tuhan YME.

Pikiran, perkataan, dan tindakan seseorang yang diupayakan agar selalu berdasarkan pada nilai-nilai ketuhanan dan ajaran agama Nilai karakter dalam

hubungannya dengan diri sendiri, meliputi:

2 Jujur

Upaya selalu dapat

dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan, terhadap diri dan pihak lain.

3 Bertanggungjawab

Sikap dan prilaku melakukan tugas dan kewajiban kepada diri sendiri, masyarakat, lingkungan, negara dan Tuhan Yang Maha Esa

4 Bergaya hidup sehat

Segala upaya menerapkan kebiasaan baik dalam hidup sehat, menghindar kebiasaan yamg mengganggu kesehatan 5 Disiplin Tindakan menunjukkan

perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan

(47)

6 Kerja keras

Perilaku sungguh-sunggguh dalam mengatasi berbagai hambatan guna selesainya tugas (belajar/pekerjaan) dengan sebaik-baiknya 7 Percaya diri Sikap yakin akan keahlian

diri terhadap tercapainya keinginan dan harapan

8 Berjiwa wirausaha

Sikap dan perilaku mandiri, pandai mengenali produk baru, menentukan cara produksi, dan menyusun operasi pengadaan produk.

9 Berfikir logis, kritis, kreatif dan inovatif.

Berfikir dan melakukan sesuatu untuk meghasilkan cara atau hasil termutkhir dari apa yang telah dimiliki 10 Mandiri

Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas

11 Ingin tahu

Sikap dan tindakan selalu berupaya mengetahui lebih dalam dan luas dari yang dipelajari, dilihat/didengar.

12 Cinta ilmu

Cara berfikir, bersikap dan berbuat yang menunjukan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap ilmu pengethuan.

Nilai karakter dalam hubungannya dengan sesama yang meliputi:

13 Sadar akan hak dan kewajiban diri dan orang lain

Sikap tahu dan mengerti serta melaksanakan apa yang menjadi hak dan tugas diri dan orang lain

14 Patuh pada aturan-aturan sosial

Sikap taat pada aturan yang berkenaan dengan masarakat dan kepentingan umum

(48)

15 Menghargai karya dan prestasi orang lain

Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui serta

menghormati keberhasilan orang lain.

16 Santun Sifat halus dan baik dari sudut pandang tata bahasa kepada semua orang

17 Demokratis

Cara berfikir, bersikap dan bertindak yang menilai sama antara hak kewajiban diri dan orang lain

18 Nilai karakter dalam hubungannya dengan lingkungan

Sikap dan tindakan selalu mencegah kerusakan pada lingkungan, dan upaya memperbaiki kerusakan yang sudah terjadi dan memberi bantuan orang lain yang membutuhkan

19 Nilai kebangsaan

Cara berfikir dan bertindak yang menempatkan

kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya

20 Nasionalis

Cara berfikir, bersikap dan berbuat yang menunjukan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsanya

21 Menghargaikeragaman

Sikap respek atau hormat terhadap berbagai macam hal, baik fisik, sifat, adat, suku, dan agama

(49)

Sedangkan menurut Sulistyowati (2012: 28-32), nilai- nilai yang dikembangkan dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa, diidentifikasi dari empat sumber, yakni agama, pancasila, budaya dan tujuan pendidikan nasional.

Berdasarkan keempat sumber nilai itu, teridentifikasi delapan belas nilai yang dapat dikembangkan, yaitu: (1) religius, (2) jujur, (3) toleransi, (4) disiplin, (5) kerja keras, (6) kreatif, (7) mandiri, (8) demokratis, (9) rasa ingin tahu, (10) semangat kebangsaaan, (11) cinta tanah air, (12) menghargai prestasi, (13) bersahabat, (14) cinta damai, (15) gemar membaca, (16) peduli lingkungan, (17) peduli sosial, dan (18) tangguang jawab.

Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek teori pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action).

Menurut Thomas Lickona, tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif. Pelaksanaannya pun harus dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan.

(Muslich, 2014: 29). Sedangkan dari segi pendidikan, pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan yang hasilnya mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu dan seimbang. (Muslich, 2014: 81) f. Persamaan dan Perbedaan antara Pendidikan Akhlak dan

Pendidikan Budi Pekerti, Pendidikan Moral, Pendidikan Etika, Sopan Santun, serta Pendidikan Karakter

(50)

1)Persamaan

a) Materi pembahasannya sama-sama membahas tentang perilaku manusia.

b)Fungsi dan peranannya sama-sama menentukan hukum atau nilai yang ditujukan untuk terwujudnya masyarakat yang damai, dan sejahtera.

2)Perbedaan

a) Sifat dan pembahasannya. Pendidikan akhlak lebih menyeluruh, mencakup pembahasan teoritis (tingkah laku manusia secara universal), dan praktis yang ukurannya adalah bentuk perbuatan. Pendidikan etika lebih bersifat teoritis. Pendidikan moral, budi pekerti, sopan santun dan karakter lebih bersifat praktis.

b)Sumber dasar hukum. Pendidikan akhlak bersumber dari al-qur’an, hadits, dan ra’yu (pendapat ulama).

Pendidikan etika berdasar akal dan pengalaman.

Pendidikan moral, budi pekerti, dan karakter berdasar adat dan kebiasaan yang berlaku pada masyarakat.

c) Masa berlakunya. Pendidikan akhlak sesuai dengan ajaran agama pada setiap manusia, berlaku pada setiap tempat dan waktu. Pendikan etika, moral, budi pekerti, sopan santun dan karakter berlaku sesuai ukuran yang diterima pada lingkungan tertentu.

3. Faktor-Faktor Pendukung Keberhasilan Pendidikan Akhlak Berikut ini beberapa faktor yang mendukung keberhasilan proses pendidikan akhlak yang dapat penulis kutip dari para ahli, yakni sebagai berikut:

(51)

a. Faktor Internal.

Maksudnya adalah faktor yang terdapat pada diri peserta didik. Islam memandang peserta didik sebagai makhluk yang dianugerahkan oleh Allah Swt memiliki fitrah, baik dalam bentuk jasmani maupun rohani. Oleh karenanya peserta didik memiliki potensi dalam dirinya berupa:

1) Potensi fisiologis (kesehatan dan pertumbuhan fisik).

Muhibbin Syah (2009: 114) menjelaskan bahwa faktor intern berupa kesehatan ini terbagi menjadi dua, yaitu kesehatan jasmani dan rohani. Kesehatan ini sangat berpengaruh terhadap kemampuan belajar siswa.

2) Potensi Psikologis.

Al-Syaibany (1979: 586) mengatakan bahwa dalam diri peserta didik terdapat bermacam potensi dalam mencapai keberhasilan pendidikan, yakni potensi intelegensi, motivasi, emosi, minat, bakat dan lainnya.

Zubaedi (2011: 110) mengatakan bahwa “Naluri merupakan tabiat yang dibawa sejak lahir, jika disalurkan pada hal yang baik dan benar maka maka akan dapat mengangkat kepada derajat yang tinggi”.

Syaikh al-Zarnuji dalam karyanya Ta’lim al- Muta’allim (t.th: 5) mengisyaratkan bahwa dengan potensi yang dimilikinya peserta didik dapat memenuhi syarat-syarat yang harus dimilki dalam menuntut ilmu yang tercantum dalam sya’ir Sayyidina Ali bin Abi Thalib Karramallahu Wajhahu, yaitu sebagai berikut:

(52)

نايبب اهعومم نع كيبنأس * ةنتسب نلى ملعغى لانت ل لأ نامز لوطو ذاتسأ داشرىو * ةزلبو رابطصىو صرحو ءاكذ

“Ingatlah, engkau tidak akan mendapatkan ilmu (bermanfa’at) kecuali dengan enam (syarat) yang akan aku sebutkan penjelasannya secara global, (yaitu): cerdas, senang (kepada ilmu), sabar, biaya, petunjuk guru, dan lamanya waktu belajar”.

Dengan termenuhinya syarat ini maka kemanfaatan ilmu yang dipelajari akan dapat dirah.

b. Faktor eksternal

Keberhasilan pendidikan bukan hanya ditentukan oleh faktor internal, namun perlu ditunjang dengan faktor eksternal, hal ini karena potensi seseorang harus diarahkan, dikembangkan. Faktor ini meliputi:

1) Pendidik

Dalam Islam, pendidik adalah spiritual father atau bapak rohani bagi murid. Pendidiklah yang memberi asupan jiwa dengan ilmu, pendidikan akhlak dan membenarkannya (Al-Syaibany, 1979: 136).

Tugas pendidik yang utama adalah menyempurnakan, membersihkan, mensucikan, serta membawa hati manusia untuk taqarrub ila Allah. Sementara dalam batasan lain, tugas pendidik adalah: (1) Sebagai pengajar (instruksional) bertugas merencanakan, melaksanakan dan menilai program pembelajaran, (2) Sebagai pendidik (edukator) yang mengarahkan peserta didik pada tingkat kedewasaan kepribadian sempurna (al-insan al-kamil)

(53)

seiring tujuan penciptaan-Nya, (3) Sebagai pemimpin (managerial) yang mengendalikan, mengarahkan, mengawasi, dan mengorganisir program pembelajaran yang telah disusun (Al-Rasyidin, 2002: 44).

Disamping melaksanakan tugas di atas, pendidik harus memiliki syarat kepribadian agar menjadi contoh anak didiknya. Dalam hal ini KH. Hasyim Asy’ari dalam Adab al-Alim wa al-Muta’allim (tth: 55-70) memaparkan syarat keperibadian tersebut, yaitu:

a) Selalu muraqabah (merasa dalam pengawasan) Allah SWT kapan saja dan dimana saja

b) Selalu takut kepada Allah Swt c) Sakinah (berpembawaan Tenang)

d) Wara’ (menghindari diri dari perbuatan dosa dan perilaku yang menjadikan dirinya tidak berwibawa) e) Tawadlu’ (reandah hati)

f) Khusyu’ (fokus) kepada ridho Allah SWT

g) Memasrahkan semua urusannya hanya kepada Allah Swt (Tawakal)

h) Tidak menjadikan ilmunya untuk meraih harta dan kedudukan

i) Tidak condong kepada orang-orang kaya dan pejabat j) Zuhud

k) Menjauhi pekerjaan yang dinilai rendah oleh masyarakat seperti tukang pijat, dan lainnya.

l) Menjauhi tempat-tempat yang menimbulkan fitnah m) Menjaga lestarinya syi’ar Islam, seperti sholat

berjama’ah, menebarkan salam kepada siapa saja, amar ma’ruf nahi munkar, sabar, dan lainnya.

n) Menampakkan senang melakukan sunah-sunah rasulullah SAW dan peduli dengan kebaiakn-kebaikan umat, dan melakuka yang terbaik, karena mereka akan menjadi contoh dan panutan umat.

o) Selalu mengamalkan ibadah sunah yang dianjurkan seperti baca al-qur,an, dzikir, sholawat, dan lainnya.

p) Berakhlak mulia

(54)

q) Membersihkan diri secara lahir bathin dari akhlak yang rendah

r) Selalu senang menambah ilmu dan mengamalkannya s) Tidak meremehkan apa yang tidak diketahuinya,

namun mencoba mempelajarinya, mengambil faidah dan hikmah dari segala sesuatu

t) Mensibukkan diri untuk mengarang/menyusun buku atau karya tulis, karena hal itu akan menjadikannya selalu belajar dan memperdalam ilmu yang dimiki.

Syarat-syarat pendidik tersebut, disamping agar seorang pendidik dapat menjadi contoh teladan sehingga diikuti oleh para peserta didik, tentunya juga dapat memudahkan seorang pendidik dalam melaksanakan tugas-tugasnya.

Faktor pendidik ini jelas sangat mempengaruhi keberhasilan dari pendidikan akhlak, karena seorang pendidik bukan sekedar memberikan ilmu pengetahuan yang belum diketahui oleh peserta didik, namun harus merubah sikap peserta didik dari yang tidak baik menjadi baik, dari yang sudah baik menjadi lebih baik lagi, dan juga mengembangkan potensi bakat peserta didik sehingga menjadi keterampilan yang bisa bermanfaat untuk dirinya sendiri dan orang lain.

Seorang pendidik yang telah memenuhi syarat-syaratnya dan mengerti akan tugas-tugasnya serta mampu memilih materi dan metode pendidikan yang tepat, maka besar kemungkinan dapat membuahkan hasil yang diharapkan dalam tercapainya tujuan pendidikan.

2) Materi Pembelajaran

Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan materi dengan sesuatu yang menjadi bahan untuk diujikan, dipikirkan, dibicarakan, dan dikarangkan. Sedangkan pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku

Referensi

Dokumen terkait

bahwa masing-masing orang terjadi perbedaan pendapat, diantaranya: 1) Ali ibn Abi Talib, kebaikan adalah menjauhkan diri dari larangan, mencari sesuatu yang halal,

Dan perkara penyucian hati tersebut ini berlaku pada anakanak harus berterusan sehingga ajal membawanya, karenanya penyucian diri bersifat amali dan bertahap, dan

Dapatan kajian mendapati ciri-ciri guru profesional berasaskan ‘ riadhah ruhiyyah ’ yang diekstrak dari kandungan kitab berkenaan adalah merangkumi dimensi