• Tidak ada hasil yang ditemukan

EVALUASIKINERJA IRIGASI TETES DITANAH LATOSOL PADAPRENURSERY TANAMAN KELAPASAWIT ( Elaeis guineensis Jacq. ) SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "EVALUASIKINERJA IRIGASI TETES DITANAH LATOSOL PADAPRENURSERY TANAMAN KELAPASAWIT ( Elaeis guineensis Jacq. ) SKRIPSI"

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

EVALUASIKINERJA IRIGASI TETES DITANAH LATOSOL PADAPRENURSERY TANAMAN KELAPASAWIT

( Elaeis guineensis Jacq. )

SKRIPSI

Oleh :

SAHAT MARITO MARBUN 130308011

PROGRAM STUDI KETEKNIKAN PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN

UIVERSITAS SUMATERA UTARA 2018

(2)

EVALUASIKINERJA IRIGASI TETES DITANAH LATOSOL PADAPRENURSERY TANAMAN KELAPA SAWIT

( Elaeis guineensis Jacq. )

SKRIPSI

Oleh :

SAHAT MARITO MARBUN 130308011/KETEKNIKAN PERTANIAN

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Program Studi Keteknikan Pertanian Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

Disetujui Oleh : Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Ir. Sumono, M.S) (Nazif Ichwan, S.TP, M. Si)

Ketua Anggota

PROGRAM STUDI KETEKNIKAN PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN

UIVERSITAS SUMATERA UTARA 2018

(3)

ABSTRAK

SAHAT MARITO MARBUN : Evaluasi Kinerja Irigasi Tetes di Tanah Latosol pada Prenursery Tanaman Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Dibimbing oleh SUMONO dan NAZIF ICHWAN.

Sistem irigasi tetes adalah proses pemberian air di sekitar daerah perakaran tanaman dengan cara meneteskan melalui emitter.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kinerja irigasi tetes pada pembibitan awal tanaman kelapa sawit dan pertumbuhan vegetatif bibit kelapa sawit. Parameter yang dianalisis adalah sifat fisik tanah (tekstur, kerapatan massa, kerapatan partikel, bahan organik, porositas, kadar air kapasitas lapang), evaporasi dan evapotranspirasi, perkolasi, debit air rata-rata keluaran, keseragaman pemakaian air, efisiensi pemakaian air, kecukupan air irigasi, tinggi tanaman dan jumlah daun tanaman, dan bobot bibit kelapa sawit.

Dari penelitian ini diperoleh tekstur tanah lempung liat berpasir, kerapatan massa 0,82 g/cm3, kerapatan partikel 2,71 g/cm3

Kata kunci: Irigasi, Prenursery, Kelapa Sawit (Elaeis guinensis Jacq.), Tanah Latosol, Kinerja Irigasi.

, bahan organik 2,41% termasuk kriteria rendah, porositas 69,45% termasuk kriteria porous, kadar air kapasitas lapang 42,54%, evaporasi 1,21 mm/hari, evapotranspirasi 0,63 mm/hari, tidak ada perkolasi, debit air rata-rata keluaran 0,915 l/jam, keseragaman pemakaian air 95,70 %, efisiensi pemakaian air 99,34%, kecukupan air irigasi 2,093 l/hari, tinggi tanaman 35,81 cm, jumlah daun 7,5 helai/batang, bobot basah 56,97 g, bobot kering 15,62 g, dan kadar air tanaman 72,69%.

ABSTRACT

SAHAT MARITO MARBUN: Evaluation of Drip Irrigation Performance in Latosol Ground on Prenursery of Oil Palm Plant (Elaeis guineensis Jacq.) Supervised by SUMONO and NAZIF ICHWAN.

Drip irrigation system is the process of giving water around the root of the plant by dripping through the emitter.This study aims to determine the performance of drip irrigation in early seeding of oil palm crops and vegetative growth of oil palm seedlings. Parameters analyzed were soil physical properties (texture, mass density, particle density, organic matter, porosity, moisture capacity of the field), evaporation and evapotranspiration, percolation, average water discharge output, water usage uniformity, water use efficiency, water adequacy irrigation, plant height and number of plant leaves, and weight of oil palm seedlings.

From this research is obtained sandy clay sandstorm texture, mass density 0,82 g/cm3, particle density 2,71 g/cm3, organic material 2,41% including low criterion, porosity 69,45% including porous criterion, moisture capacityroom temperature 42,54%, evaporation 1,21 mm/day, evapotranspiration 0,63 mm/day, no percolation, average water discharge output 0,915 l/h, uniform water usage 95,70%, efficiency of water usage 99, 34%, adequacy of irrigation water 2,093 l/day, plant height 35,81 cm, leaf number 7,5 strands/stem, wet weight 56,97 g, dry weight 15,62 g, and water content of plant 72,69%.

Keywords: Irrigation, Prenursery, Oil Palm (Elaeis guinensis Jacq.), Latosol Land, Irrigation Performance.

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan draft penelitian dengan judul “Evaluasi Kinerja Irigasi Tetes diTanah LatosolPadaPrenursery Tanaman Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.)” yang merupakan salah satu syarat untuk dapat memperoleh gelar Sarjana di Program Studi Keteknikan Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada orang tua yang telah mendukung penulis baik secara moril maupun materil. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Sumono, MS selaku ketua pembimbing dan Bapak Nazif Ichwan, STP, M.Si selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan saran dan bantuannya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan draft penelitian ini.

Penulis juga mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan draft penelitian ini. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih, semoga draft penelitian ini bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan.

Medan, April 2018

Penulis

(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Manfaat Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA Irigasi ... 4

Irigasi Tetes ... 5

Tekstur tanah ... 8

Bahan Organik Tanah ... 10

Kerapatan Massa Tanah (Bulk Desity) ... 12

Kerapatan Partikel Tanah (Particle Density) ... 14

Porositas Tanah ... 15

Kapasitas Lapang ... 16

Kehilangan Air... 17

Evapotranpirasi ... 17

Perkolasi ... 19

Kinerja Irigasi ... 19

Efisiensi Pemakaian Air ... 20

Keseragaman Pemakaian Air ... 21

Kecukupan Air Irigasi ... 22

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Irigasi ... 23

Rancangan Irigasi Tetes ... 23

Jaringan Irigasi Tetes ... 23

Kecepatan Aliran ... 24

Debit ... 25

Tanah Latosol ... 25

Tanaman Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) ... 26

Pembibitan Awal (Prenursery) ... 27

Pertumbuhan Vegetatif ... 28

Tinggi Tanaman ... 28

Jumlah Daun ... 28

Berat Kering Tanaman ... 29

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ... 30

Alat dan Bahan Penelitian ... 30

Metode Penelitian ... 30

Prosedur dan Parameter Penelitian ... 31

(6)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tekstur Tanah... 36

Bahan Organik Tanah ... 36

Kerapatan Massa Tanah (Bulk Density) ... 36

Kerapatan Partikel Tanah (Particle Density) ... 36

Porositas Tanah ... 36

Kadar Air Kapasitas Lapang ... 36

Evapotranspirasi dan Evaporasi ... 40

Perkolasi ... 41

Debit Air Rata-rata Keluaran ... 41

Keseragaman Pemakaian Air ... 42

Efisien Pemakaian Air Irigasi ... 43

Kecukupan Air Irigasi ... 44

Tinggi Tanaman dan Jumlah Daun ... 45

Bobot Basah dan KeringTanaman ... 46

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 48

Saran ... 49

DAFTAR PUSTAKA ... 51 LAMPIRAN

(7)

DAFTAR TABEL

No. Hal

1. Klasifikasi ukuran, jumlah dan luas permukaan fraksi-fraksi tanah menurut

sistem USDA dan Sistem Internasional ... 8

2. Klasifikasi kelas tekstur tanah ... 9

3. Kriteriapenilaiansifat-sifattanah ... 10

4. Hasil analisa tekstur tanah, kerapatan massa, kerapatan partikel, porositas, kadar air kapasitas lapang dan bahan organik ... 36

5. Hasil analisa evapotranspirasi dan evaporasi ... 40

6. Debit keluaran emitter ... 41

7. Keseragaman pemakaian air ... 42

8. Efisiensi pemakaian air irigasi ... 43

9. Kecukupan air irigasi ... 44

10. Tinggi tanaman dan jumlah daun ... 45

11. Bobot basah dan kering tanaman ... 46

(8)

DAFTAR GAMBAR

No. Hal

1. Gambar Diagram segitiga tekstur tanah menurut USDA ... 9

(9)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Hal

1.Flowchart penelitian ... 55

2. Gambar jaringan irigasi tetes ... 56

2. Tekstur tanah berdasarkan Segitiga USDA... 61

3. Hasil pengukuran tekstur dan C-Organik di laboratorium ... 62

4. Perhitungan pengukuran tekstur tanah di laboratorium ... 62

5.Perhitungan bahan organik tanah ... 63

6. Kerapatan massa tanah, kerapatan partikel tanah, dan porositas ... 64

7. Kadar air kapasitas lapang ... 65

8. Perhitungannilaievaporasi dan evapotranspirasi ... 66

9. Data suhu harian rumah kaca dan panicevapopan ... 68

10. Data debit air keluaran emitter ... 74

11. Data keseragaman pemakaian air ... 76

12.Data efisiensi pemakaian air irigasi ... 78

13. Perhitungan kebutuhan air irigasi... 80

14. Data tinggi tananamdan jumlahdaun ... 81

15.Bobot basah, bobot kering, dan kadar air bibit sawit ... 82

16. Dokumentasi penelitian ... 84

(10)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Air merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi berlangsungnya kehidupan mahluk hidup. Dalam bidang pertanian, air merupakan kebutuhan utama yang harus dipenuhi, mulai dari pengolahan lahan pertanian hingga pada proses panen hasil pertanian. Secara alami sebenarnya tanaman sudah mendapatkan air saat terjadinya hujan, tetapi sebagian besar air hujan itu hilang melalui penguapan, perkolasi dan aliran permukaan. Sehingga hanya sebagian kecil air tinggal di sekitar perakaran yang menyebabkan tidak tercukupinya kebutuhan air tanaman. Oleh sebab itu dalam membudidayakan tanaman harus di usahakan agar kebutuhan air selama pertumbuhan dapat tercukupi dengan cara memberikan air dalam jumlah, waktu, cara yang efisien dan efektif melalui sistem irigasi (Najiyati dan Danarti, 1993).

Irigasi merupakan penambahan kekurangan kadar air tanah secara buatan yakni dengan memberikan air secara teratur pada tanah yang diolah. Hansen dkk, (1992) menyatakan bahwa irigasi mempunyai ruang lingkup dari pengembangan sumber air, penyediaannya, penyaluran air ke daerah pertanian, pembagian dan penjatahan pada lahan areal yang diolah. Pemberian air irigasi dapat dilakukan dalam lima cara yaitu dengan penggenangan (flooding), menggunakan jalur, dibawah permukaan tanah, penyiraman (sprinkle), dan sistem tetesan (trickle).

Pemilihan jenis sistem irigasi sangat dipengaruhi oleh kondisi hidrologi, klimatologi, topografi, fisik dan kimiawi lahan, teknologi serta hasil yang akan diharapkan (Bustomi, 2000).

(11)

Sistem irigasi tetes adalah proses pemberian air sekitar tanaman dengan cara meneteskan atau menyemprotkan air melalui emiter. Irigasi tetes memberikan air sampai kedalaman 30 – 60 cm pada tanah berpasir. Keuntungan irigasi tetes adalah tidak terjadi kehilangan hara dari pupuk, efisiensi distribusi air tinggi, perataan lahan tidak perlu, hanya daerah perakaran yang terbasahi, tidak terjadi erosi, biaya tenaga kerja rendah, suplai air dapat diatur dengan baik dan pemupukan dapat dilakukan bersamaan dengan irigasi. Sistem irigasi tetes yangdirancang dan dikelola dengan baik mempunyai efisiensi 90 – 95%, berarti hanya 5% air yang hilang (Haman dan Yeager, 2004).

Irigasi tetes biasanya dilakukan pada pembibitan, seperti pembibitan kelapa sawit dan karet yang memerlukan air relatif lebih sedikit namun dengan interval yang lebih sering, setiap pagi dan sore hari. Pembibitan kelapa sawit biasanya menggunakan tanah yang subur dan gembur. Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan salah satu jenis tanaman perkebunan yang menduduki posisi penting dalam sektor pertanian umumnya, dan sektor perkebunan khususnya. Hal ini disebabkan karena dari sekian banyak tanaman yang menghasilkan minyak atau lemak, kelapa sawit yang menghasilkan nilai ekonomi terbesar perhektarnya di dunia (Khaswarina, 2001).

Dalam budidaya kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.), pembibitan dapat dilakukan dengan dua sistem pembibitan yaitu Single Stageartinya kecambah langsung ditanam di dalam polybag besar dan Double Stageyaitu kecambah ditanam terlebih dahulu di dalam polybag kecil (tahap pembibitan awal), kemudian setelah berumur 2 – 3 bulan dipindahkan kedalam polybag besar.

Pembibitan awal (Prenursery) merupakan tempat kecambah kelapa sawit ditanam

(12)

dan dipelihara hingga berumur 3 bulan. Pembibitan prenursery dilakukan selama 2 – 3 bulan, sedangkan pembibitan main nursery selama 10 – 12 bulan. Bibit siap ditanam pada umur 12 – 14 bulan (Sunarko, 2009).

Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui kinerja irigasi tetes di tanah latosol pada pembibitan awal (Prenursery) tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) dan pertumbuhan vegetatif bibit kelapa sawit.

Mamfaat Penelitian

1. Bagi penulis yaitu sebagai bahan untuk menyusun skripsi yang merupakan syarat untuk dapat menyelesaikan pendidikan di Program Studi Keteknikan Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

2. Bagi mahasiswa, sebagai informasi pendukung untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai rancangan saluran irigasi.

3. Bagi masyarakat, untuk membantu petani dalam mengembangkan dan pengelolaan kinerja irigasi tetes pada pembibitan awal (Prenursery) kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.)

(13)

TINJAUAN PUSTAKA

Irigasi

Irigasi pada hakikatnya adalah upaya pemberian air kepada tanaman dalam bentuk lengas tanah sebanyak keperluan untuk tumbuh dan berkembang. Tanaman yang kekurangan air akan stres dan tanaman yang kelebihan air akan terganggu pertumbuhannya bahkan bisa menyebabkan tanaman mati. Pemberian air untuk pertanian ada beberapa cara yaitu dengan cara penggenangan tanah secara terus menerus, penyaluran air di antara bedengan dengan dilewati saluran air, penyaluran air diantara baris-baris tanaman. Irigasi mempunyai peranan penting terhadap pertanian yaitu menyediakan air bagi tanaman yang membantu mengatur kelembapan tanah, membantu menyuburkan tanah melalui zat-zat yang dibawa air, penggunaan pupuk dan obat lebih efektif, menekan pertumbuhan gulma, dan mempermudah pengolahan tanah (Isnaini, 2006).

Ada empat klasifikasi irigasi dari segi kontruksi jaringannya yaitu irigasi sederhana, irigasi setengah teknis, irigasi teknis, dan irigasi teknis maju.

Peningkatan efektivitas dan efisiensi irigasi maka dikenal beberapa istilah dalam irigasi, dimana pada awalnya hanya mengandalkan kemiringan tanah yaitu irigasi gaya berat (grafity irrigation) atau irigasi pompa (pumping irrigation), sekarang telah berkembang menjadi irigasi pancar ( sprinkler irrigation ), irigasi tetes (drip irrigation) dengan semakin mengurangi jumlah air yang diberikan ke sekitar akar tanaman. Dengan prinsip menjaga kondisi lengas sekecil mungkin tetapi sesuai kebutuhan tanaman dan semakin hemat air (Isnaini, 2006).

(14)

Bagi pertanian, untuk menentukan dalam usaha tani atau produksi tanaman, pengairan dengan sistem-sistemnya mempunyai peranan yang sangat besar, dan hal ini akan menguntungkan para petani pemakai air, akan sangat tergantung pada perencanaan rancangan jaringan pengairan yang dibuat untuk keperluan usaha tani. Pengaturan pengairan bagi pertanian tidak hanya tertuju untuk penyediaan air di daerah yang kurang mendapatkan curah hujan, melainkan juga untuk mengurangi berlimpahnya air. Pengaturan irigasi akan menjangkau beberapa tahapan pekerjaan yaitu pengembangan sumber air dan penyediaan air bagi keperluan usaha tani, penyaluran air dari sumbernya, pembagian danpemberian air di lahan pertanian, dan pengaliran dan pembuangan air yang melimpah (Kartasapoetra dkk., 1994).

Pengembangan dan pengaplikasian sistem irigasi dibidang pertanian perlu memiliki sistem pendukung keputusan untuk mengelola irigasi. Ciri utama dari sistem adalah penggunaan tanah secara terus menerus dan memprediksikan kebutuhan air tanaman, berbeda dengan sebelumnya yang didasarkan hanya pada variabel cuaca atau tidak menentukan kuantitas air yang dibutuhkan oleh tanaman.

Kebutuhan air irigasi dihitung dengan mempertimbangkan waktu pemberian air ke lahan pertanian secara terjadwal (Navarro-Hellinat al., 2016).

Irigasi Tetes

Sistem irigasi tetes merupakan salah satu cara penggunaan air yang efisien dan efektif, karena pemberian air dapat diatur secara tepat baik volume maupun arah sasaran. Selain itu penggunaan sistem irigasi tetes dapat meningkatkan produktivitas lahan dan tanaman karena lahan dapat ditanami sepanjang tahun

(15)

sehingga indeks penanaman meningkat dan kegiatan budidaya tidak tergantung pada musim hujan (Kasiran, 2006).

Irigasi cucuran atau irigasi tetesan (drip) terdiri dari jalur pipa yang tetap biasanya dengan diameter yang kecil yang memberikan air langsung ke tanah dekat tanaman. Alat pengeluaran air pada pipa disebut pemancar (emitter) yang mengeluarkan air hanya beberapa liter perjam. Dari pemancaran air menyebar secara menyamping dan tegak oleh gaya kapiler tanah yang diperbesar pada arah gerakan vertikal oleh gravitasi. Daerah yang dibatasi oleh pemancar tergantung pada besarnya aliran, jenis tanah, kelembaban tanah, dan permeabilitas tanahvertikal dan horizontal. Pengaturan tinggi tekanan (control head) biasanya terletak pada sumber air (Hansen dkk., 1992).

Irigasi tetes merupakan cara pemberian air pada tanaman secara langsung, baik pada permukaan tanah maupun di dalam tanah melalui tetesan secara sinambung dan perlahan pada tanah di dekat tumbuhan. Setelah keluar dari penetes (emitter), air menyebar ke dalam tanah secara horinzontal maupun vertikal akibat gaya kapilaritas dan gravitasi. Sistem irigasi tetes memiliki beberapa kelebihan dibanding irigasi lainnya, antara lain :

1. Efisiensi dalam pemakaian air irigasi relatif paling tinggi dibandingkan sistem irigasi lain, karena pemberian air dengan kecepatan lambat dan hanya pada daerah perakaran, sehingga mengurangi penetrasi air yang berlebihan, evaporasi dari permukaan tanah dan aliran permukaan.

2. Pada beberapa jenis tanaman tertentu, kondisi tanaman yang tidak terbasahi akan mencegah penyakit daun terbakar (leaf burn), selain itu

(16)

kegiatan budidaya secara manual maupun mekanis dapat terus berjalan walaupun kegiatan irigasi sedang berlangsung.

3. Dapat menekan aktivitas organisme pengganggu tanaman karena daerah yang terbasahi hanya disekitar daerah perakaran saja.

4. Dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi pemberian pupuk dan pestisida, karena pemberiannya dapat diberikan bersamaan dengan air irigasi dan hanya diberikan di daerah perakaran saja.

5. Pada sistem irigasi tetes dapat menghemat kebutuhan tenaga kerja untuk kegiatan pemberian irigasi maupun kegiatan pemupukan, karena sistem dapat dioperasikan secara otomatis.Pemberian air yang sinambung dapat mengurangi resiko penumpukan garam dan unsur-unsur beracun lainnya di daerah perakaran tanaman.

6. Mampu beradaptasi dengan baik pada kondisi topografi dan sifat media tumbuh tanaman.

7. Dengan dukungan tenaga kerja berkemampuan tinggi, sistem ini mempunyai akurasi yang tinggi dalam menentukan waktu dan jumlah air irigasi yang harus diberikan pada tanaman.

Walaupun memiliki beberapa keuntungan operasional namun sistem irigasi tetes memiliki beberapa kelemahan, terutama jika akan diterapkan secara luas, antara lain :

1. Inventasi yang dikeluarkan cukup tinggi dan dibutuhkan teknik yang relatif tinggi dalam desain, instalansi dan pengoperasian sistem.

2. Penyumbatan emitter yang disebabkan oleh faktor fisik, kimia, dan biologi air yang dapat mengurangi efisiensi dan kerja sistem.

(17)

3. Pada daerah yang tidak terbasahi berpotensi terjadi penumpukan garam.

(Susanto, 2006).

Tekstur Tanah

Pasir, debu dan liat adalah partikel-partikel tanah (mineral) yang dapat digolongkan berdasarkan ukuran, bentuk, kerapatan dan komposisi kimia. Partikel tanah yang dikelompokkan berdasarkan ukuran tertentu disebut fraksi (partikel) tanah yang dapat berupa kasar ataupun halus. Batu dan kerikil tidak termasuk tanah, walaupun dipergunakan sebagai penyifat kelas tekstur tanah, misalnya pasir berkerikil. Klasifikasi fraksi tanah dapat ditentukan ukurannya yaitu pasir denganukuran 2–0,05 mm, debu 0,05 – 0,005 mm, dan liat 0,005 mm

(Sutedjo dan Kartasapoetra, 2002).

Tekstur tanah menunjukkan komposisi partikel penyusun tanah (separate) yang dinyatakan sebagai perbandingan proporsi (%) relatif antara fraksi pasir (sand), debu (silt), dan liat (clay). Klasifikasi ukuran, jumlah dan luas permukaan fraksi-fraksi tanah menurut sistem USDA dan Sistem Internasional tertera pada Tabel 1.

Tabel 1. Klasifikasi ukuran, jumlah dan luas permukaan fraksi-fraksi tanah menurut Sistem USDA dan Sistem Internasional

Separat Tanah Diameter (mm) Jumlah Partikel (g-1)

Luas Permukaan

USDA Internasional (cm2 g-1)

Pasirsangat kasar 2,00 – 1,00 90 11

Pasir kasar 1,00 – 0,50 720 23

Pasir sedang 0,50 – 0,25 5.700 45

Pasir 2,00 – 0,20 4.088 29

Pasir halus 0,25 – 0,10 46.000 91

Pasirsangat halus 0,10 – 0,05 722.000 227

Debu 0,05– 0,002 5.776.000 454

Debu 0,02 – 0,002 2.334.796 271

Liat <0,002 <0,002 90.250.853.000 8.000.000

(Hanafiah,2009).

(18)

Tabel 2. Klasifikasi kelas tekstur tanah

Nomor Nama tekstur Pasir (%) Debu (%) Liat (%)

1 Pasir 85-100 0-15 0-10

2 Lempung liat berpasir 45-80 0-28 20-35

3 Pasir berlempung 70-90 0-39 10-15

4 Lempung berpasir 43-80 0-50 0-25

5 Lempung 23-52 28-50 7-27

6 Lempung berdebu 0-50 50-88 0-27

7 Debu 0-20 88-100 0-12

8 Lempung liat berdebu 0-20 40-73 27-40

9 Lempung berliat 20-45 15-53 27-40

10 Liat berpasir 45-65 0-20 35-45

11 Liat berdebu 0-20 40-60 40-60

12 Liat 0-45 0-40 40-100

(Hasibuan, 2011).

Secara skematis klasifikasi tanah tersebut dapat dilihat melalui klasifikasi segitiga USDA, seperti terlihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Diagram segitiga tekstur tanah menurut USDA (Foth, 1994).

Tekstur tanah sangat mempengaruhi kemampuan tanah dalam memegang air. Tanah bertekstur liat memiliki kemampuan yang lebih besar dalam memegang air dari pada tanah bertekstur pasir hal ini terkait dengan luas permukaan adsorbtifnya. Semakin halus teksturnya akan semakin besar kapasitas menyimpan

(19)

airnya (Haridjajaetal., 2013).

Penamaan tekstur tanah berdasarkan kelas tekstur secara mudah didasarkan pada perbandingan massa dari ketiga farksi yakni fraksi pasir, debu, dan liat. Tanah bertekstur sedang merupakan yang terbaik dalam mengadakan keseimbangan faktor-faktor tumbuh di dalam tanah.Beberapa tanah yang bertekstur halus memegang terlalu banyak air, sehingga udara tanahnya tidak kebagian ruang pori dan akibatnya tanaman mengalami defisiensi air. Tekstur tanah akan menentukan nilai kerapatan massa tanah, kerapatan partikel tanah, dan porositas tanah( Indranada, 1986).

Kriteria penilaian sifat-sifat tanah dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3.Kriteria penilaian sifat-sifat tanah

Sifat Tanah Satuan Sangat Rendah Sedang Tinggi Sangat

Rendah Tinggi

C (Karbon) % <1,00 1,00-2,00 2,01-3,00 3,01-5,00 >5,00 N (Nitrogen) % <0,10 0,10-0,20 0,21-0,50 0,51-0,75 >0,75

C/N - <5 5-10 11-15 16-25 >25

P2O5 Total % <0,03 0,03-0,06 0,06-0,079 0,08-0,10 >0,10 P2O5eks-HCl % <0,021 0,021-0,039 0.040-0.060 0.061-0,10 >0,100

P-avl Bray Ppm <8,0 8,0-15 16-25 26-35 >35

P-avlTruog Ppm <20 20-39 40-60 61-80 >80

P-avl Olsen Ppm <10 10-25 26-45 46-60 >60

K2O eks-HCl % <0,03 0,03-0,06 0,07-0,11 0,12-0,20 >0,20 CaOeks-HCl % <0,05 0,05-0,09 0,10-0,20 0,21-0,30 >0,30 MgOeks-HCl % <0,05 0,05-0,09 0,10-0,20 0,21-0,30 >0,30 MnOeks-HCl % <0,05 0,05-0,09 0,10-0,20 0,21-0,30 >0,30 K-tukar me/100 <0,10 0,10-0,20 0,30-0,50 0,60-1,00 >1,00 Na-tukar me/100 <0,10 0,10-0,30 0,40-0,70 0,80-1,00 >1,00 Ca-tukar me/100 <2,0 2,0-5,0 6,0-10,0 11,0-20,0 >20 Mg-tukar me/100 <0,40 0,40-1,00 1,10-2,0 2,10-8,00 >8,00

KTK (CEC) me/100 <5 5-16 17-24 25-40 >40

KB (BS) % <20 20-35 36-50 51-70 >70

Kej. Al % <10 10-20 21-30 31-60 >60

Ec (Nedeco) mmhos/cm - - 2,5 2,6-10 >10

(Staff Pusat Penelitian Tanah,1993).

Bahan Organik Tanah

Sumber utama bahan organik tanah ialah jaringan tanaman, baik yang berupa sisa-sisa tanaman, yang setiap tahunnya dapat tersedia dalam jumlah yang

(20)

banyak. Batang dan akar tanaman akan terombak oleh jasad-jasad renik dan akhirnya akan menjadi komponen tanah, dengan demikian maka jaringan tanaman tingkat tinggi itu merupakan makanan bagi berbagai jasad tanah. Sumber bahan organik juga berasal dari jasad manusia dan jasad hewan yang mengalami proses perombakan sama seperti tumbuhan yang pada akhirnya menjadi bahan organik tanah. Secara kenyataannya kadar bahan organik dalam tanah pada satu tempat dan tempat lainnya tidak sama, pada tanah gambut bahan keringnya yang umumnya adalah bahan organik, sedangkan pada tanah mineral kadar bahanorganiknya sekitar 3% - 5% dari berat keringnya yang sangat berpengaruh terhadap sifat-sifat tanah (Sutedjo dan Kartasapoetra, 2002).

Bahan organik tanah dapat didefenisikan sebagai sisa-sisa tanaman dan hewan di dalam tanah pada berbagai pelapukan dan terdiri dari baik masih hidup maupun mati. Bahan organik tanah berfungsi memperbaiki sifat kimia, fisik, maupun biologi. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan bahan organik ke dalam tanah lebih kuat pengaruhnya ke arah perbaikan sifat-sifat tanah dan bukan khususnya meningkatkan unsur hara di dalam tanah. Penggunaan bahan organik harus memperhatikan perbandingan kadar unsur C terhadap unsur hara (N, P, K, dsb) karena apabila perbandingannya sangat besar akan menyebabkan terjadinya pengurangan jumlah kadar unsur hara (imobilisasi) yang disebabkan oleh aktivitas mikroba, sehingga dapat mengurangi kadar unsur hara yang akan digunakan tanaman (Winarso, 2005).

Bahan organik tanah dianggap sebagai indikator yang baik dari sistem tanah yang sehat, karena berpenting dalamberbagai sifat tanah dan proses seperti pemeliharaan struktur tanah, kapasitas retensi air, siklus haradan stimulasi

(21)

kegiatan biologis tanah. Peran bahan organik tanah dapat menjadi lebih baikdengan pemberian bahan organik secara teratur dan praktek pertanian organik dengan meminimalkan bahan kimia. Peningkatan bahan organik tanahdapat dilakukan dengan aktivitasdan keragaman makro dan mikroorganisme yang penting untukpengurangan kerentanan tanaman terhadap hama, serta untuk nutrisi tanaman (Sharmaet al., 2016).

Penetapan bahan organik di laboratorium dapat dilakukan dengan metode Pembakaran, metode Walkley & Black, dan metode Colorimetri (Walkley &Black Modifikasi). Prinsip Metode Walkley & Black adalah C-organik dihancurkan oleh oksidasi Kalium bikromat yang berlebih akibat penambahan asam sulfat.

Kelebihan kromat yang tidak direduksi oleh C-organik tanah kemudian ditetapkan dengan jalan titrasi dengan larutan ferro. Rumus yang digunakan adalah:

C organik (%) = 5 x (1-T

S) x 0,003 x 1

0,77 x 100

BCT ... (1) dimana: T = vol.titrasi Fe (NH4)2(SO4

S = vol.titrasi Fe (NH

) 0,5 N dengan tanah

4)2(SO4

0,003 = 1 mL K

) 0,5 N blanko (tanpa) tanah

2Cr2O7 1 N + H2SO4

1

7 = metode ini hanya 77% C-organik yang dapat dioksidasi

mampu mengoksidasi 0,003 g C-organik

BCT = Berat Contoh Tanah

Bahan organik dapat dihitung dengan persamaan:

Bahan organik = % C Organik x 1,724 ... (2) (Mukhlis, 2007).

(22)

Kerapatan Massa Tanah (Bulk Density)

Kerapatan massa tanah merupakan perbandingan antara berat tanah kering dengan volume tanah, termasuk volume pori-pori tanah. Karapatan isi tanah merupakan petunjuk kepadatan tanah, makin tinggi kerapatan isi tanah maka makin sulit meneruskan air atau ditembus akar tanaman. Pada umumnya kerapatan isi tanah berkisar antara 1 – 1,6 g/cm3. Kerapatan isi tanah dipengaruhi oleh struktur tanah dan merupakan sifat fisik tanah yang dapat menunjukkan kegemburan atau tingkat kepadatan tanah (Yunus, 2004).

Secara keseluruhan, perbedaan dalam jumlah besarnilai bulk density antara tanah disebabkan adanya perbedaan nilai particle density.Variasi dalam nilai bulk density dikaitkan dengan faktor-faktor struktural lainnyaseperti bahan organik.

Faktor seperti kedalaman, kandungan bahan organik atau pemadatanmemiliki pengaruh pada nilai-nilai bulk density. Secara keseluruhan, perbedaan dalam jumlah besarnilai bulk density antara tanah disebabkan adanya perbedaan nilai particle density (Martinet al., 2016).

Berat tanah disebut sebagai bulk density tanah, yang merupakan ukuran dari berat (massa) tanah per satuan volume daerahtanah, biasanya diberikan secara oven-kering pada suhu 105-110oC dan dinyatakan dalam g/cm3. Variasi dalam bulk density disebabkan oleh proporsi relatif dan berat jenispartikel organik dan

anorganik padat dan porositas tanah. Sebagian besar tanah mineral memiliki kepadatan massal antara 1,0dan 2,0 g/cm3

Kerapatan massa tanah adalah massa padatan tanah persatuan volume tanah total yang biasanya dinyatakan sebagai g/cm3. Tanah yang tersusun dari partikel yang halus dan tersusun secara tidak beraturan, mempunyai struktur yang

(Hossainet al., 2015).

(23)

baik, ruang porinya tinggi sehingga bobot volumenya rendah sekitar 1,2 g/cm3. Kerapatan massa tanah dapat dihitung menggunakan persamaan:

B𝑑𝑑 =Mp

Vt ... (3) dimana:

B𝑑𝑑 = kerapatan massa (bulk density) (g/cm3) M𝑝𝑝 = massa padatan tanah (g)

V𝑡𝑡 = volume total tanah (cm3) (Foth, 1994).

Kerapatan Partikel Tanah (Particle Density)

Kerapatan partikel tanah adalah berat tanah kering persatuan volume partikel-partikel bagian padat tanah, tidak termasuk volume pori-pori tanah. Untuk menentukan kerapatan partikel tanah, yang diperhatikan adalah partikel-partikel dari bagian padat tanah. Oleh karena itu kerapatan partikel tanah dari setiap jenis tanah adalah konstan, tidak bervariasi dengan jumlah antara partikel-partikel tanah. Pada umumnya tanah-tanah mineral memiliki nilai particle density sebanyak 2,65 g/cm3 (Hasibuan, 2011).

Kepadatan partikel tanah (particle density) adalah kajian dari tanah yang penting untuk menghitung porositas tanah dan angka pori. Banyak studi yang mengasumsikan nilai konstan, biasanya 2,65 Mg/m3 untuk ditanami pada tanah mineral. Nilai particle denisty sebenarnya bervariasi di seluruh jenis tanah danwilayah geografis.Particle density menurun dengan meningkatnya kandungan bahan organik tanah. Nilai particle density juga akan menurun apabila kandungan pasir meningkat (Schjonninget al., 2016).

(24)

Kerapatan partikel tanah adalah massa kering dibagi volume partikel tanah. Volume air dan udara tidak dimasukkan dalam perhitungan. Walupun pengolahan tanah mempengaruhi porositas dan kerapatan massa tanah tetapi tidak mempengaruhi kerapatan partikel tanah. Kerapatan partikel tetap konstan karena pengolahan tanah dan perubahan suhu tidak mempengaruhi jumlah total dan komposisi kimia dari partikel mineral tanah. Kerapatan partikel tanah dapat dihitung dengan persamaan berikut:

P𝑑𝑑 = Mp

Vp ... (4) dimana:

P𝑑𝑑 = kerapatan partikel tanah (perticle density) (g/cm3) M𝑝𝑝 = massa padatan tanah (g)

V𝑝𝑝 = volume partikel tanah (cm3) (Dingus, 1999).

Porositas Tanah

Porositas adalah proporsi ruang pori total (ruang kosong) yang terdapat dalam satuan volume tanah yang dapat ditempati oleh air dan udara, sehingga merupakan indikator kondisi drainase dan aerasi tanah. Tanah yang porous berarti tanah yang cukup mempunyai ruang pori untuk pergerakan air dan udara masuk ataupun keluar tanah, sebaliknya jika tanah yang tidak porous maka air dan udara akan tertahan di dalam tanah yang dapat mengakibatkan terganggunya aktivitas bakteri pengurai sehingga tanah kurang subur (Hanafiah, 2005).

Hubungan antara partikel tanah dan struktur pori dalam perannya meretensi air tanah sangat penting.Pada dasar hukum hidrostatikdan hidrodinamika, klasifikasi rinci pori-pori tanah, yaitu pori-pori submicroscopic,

(25)

pori mikro danpori makro, di mana pori mikro mencakup matriks pori-pori (teksturkomponen) dan pori-pori struktural. Namun, struktur pori-pori tanahdipengaruhi oleh tanah fase padat. Selain itu, pemisahkan tanah (yaitu, tanah liat, lumpur dan pasir) mempengaruhi perbedaan pori-pori.Setiap tingkatpartikel memiliki tingkat yang sesuai dari pori-pori partikel (Dinget al., 2015).

Porositas total atau ruang pori total adalah volume seluruh pori dalam suatu volume tanah yang dinyatakan dalam persen. Porositas total merupakan indikator awal yang mudah untuk mengetahui apakah suatu tanah mempunyaistruktur baik atau buruk. Pengukuran porositas total dilakukan pada kedalaman 0-25 cm dengan menggunakan persamaan :

θ= ( 1 - BdPd) x 100% ... (5) dimana:

θ : porositas (%)

Bd : Kerapatan massa (g/cm3) Pd : Kerapatan partikel (g/cm3) (Yunus, 2004).

Kapasitas Lapang

Kapasitas lapang (field capacity) ialah sesudah tanah jenuh air dan kelebihan air didrainasekan, yang terjadi pada tekanan 50 milibar. Kapasitas lapang tidak dapat ditentukan dengan cepat, karena tidak terputus pada kadar kelembababan versus waktu. Kapasitas lapang dapat diukur dengan menghitung kadar kelembaban tanah sesudah suatu pemberian air yang cukup besar untuk menjamin pembasahan yang merata pada tanah yang akan diperiksa. Konsep

(26)

kapasitas lapang sangat berguna dalam mendapatkan sejumlah air yang tersedia dalam tanah untuk penggunaan tanaman (Hansen dkk., 1992).

Metode gravimetrik adalah metode yang paling sederhana secara konseptual dalam menentukan kadar air tanah. Pada prinsipnya mencakup pengukuran kehilangan air dengan menimbang contoh tanah sebelum dan sesudah dikeringkan pada suhu 105-110o

Kandungan air tanah (%)

=

berat basah-berat kering

berat kering x 100% ... (6) C dalam oven. Hasilnya dinyatakan dalam presentase air dalam tanah, yang dapat diekspresikan dalam presentase terhadap berat kering, berat basah atau terhadap volume.Masing-masing dari presentase berat ini dapat dihitung dengan menggunakan persamaansebagai berikut:

Berat basah tanah dalam pengukuran kadar air kapasitas lapang merupakan kadar air dalam kondisi tanah mencapai kapasitas lapang (Abdurachman et al.,2006).

Kadar air kapasitas lapang pada tekstur liat lebih besar dari pada tekstur lempung liat berpasir dan lempung berpasir. Hal tersebut dapat terlihat dari respon pertumbuhan tanaman dimana pada tanaman yang ditanam di media bertekstur liat dapat tumbuh lebih baik dibanding dengan media bertekstur lempung liat berpasir dan pada lempung berpasir tanaman mengalami kematian. Pada tekstur liat perlakuan penyiraman yang didasarkan pada KAKL tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, jumlah daun, diameter batang, dan biomassa akar kering namun berpengaruh nyata terhadap biomassa akar basar, biomassa tajuk basah dan kering, serta panjang akar (Haridjaja, 2013).

(27)

Kehilangan Air 1. Evapotranspirasi

Penentuan evapotranspirasi secara langsung yang paling banyak digunakan untuk mengetahui besarnya evaporasi dari permukaan air bebas adalah dengan menggunakan panci evapopan. Beberapa percobaan yang telah dilakukan menunjukkan bahwa evaporasi lebih cepat dibandingkan dari permukaan air yang luas.Untuk itu hasil pengukuran dari panci evaporasi harus dikalikan dengan suatu koefisien seperti terlihat pada persamaan berikut :

E = k x Ep ... (7)

Keterangan :

E = evapotranspirasi dari badan air (mm/hari) k = koefisien panci (0,7)

Ep = Evaporasi dari panci (mm/hari) (Triatmodjo, 2009).

Nilai evapotranspirasi di lapangan dapat ditentukan berdasarkan berkurangnya kadar air tanah dari kapasitas lapang dalam jangka waktu tertentu.

Melalui pengukuran kadar air tanah secara gravimetri diperoleh kadar air tanah basis kering, kemudian dirubah menjadi kadar air volumetrik. Untuk menghitung besarnya kehilangan air karena evapotranspirasi digunakan persamaan :

Ө = W x ƿƿb

w ... (8) Dan

ET =ӨxhT

T ... (9) Dimana :

(28)

ET = Evapotranspirasi (cm/hari) Ө = kadar air volumetrik (%) W = kadar air basis kering (%) ρ𝑏𝑏 = kerapatan massa tanah (g/cm3) ρW = berat jenis air (g/cm3)

hT = Kedalaman tanah (cm) T = waktu (hari).

(Limantara, 2010).

Evapotranspirasi tanaman dapat juga ditentukan berdasarkan nilai evaporasi yang di ukur dengan alat evapopan kemudian dikalikan dengan koefisien tanamannya. Besarnya penguapan air pada permukaan air yang luas 0,50 kali hasil yang dicapai dibandingkan alat penguapan air (Sosrodarsono dan Takeda, 2003).

2. Perkolasi

Perkolasi tidak terjadi sebelum zona tanah tidak jenuh atau mencapai kapasitas lapang (field capacity), daya perkolasi adalah laju perkolasi maksimum yang dimungkinkan, yang besarnya dipengaruhi oleh kondisi tanah dalam zona tidakjenuh, yang terletak di antara permukaan air tanah. Besar perkolasi dapat dihitung dengan persamaan di bawah ini :

P= ℎ1−ℎ2

𝑡𝑡2−𝑡𝑡1 ...(10) dimana :

h1 = tinggi air awal (cm) h2 = tinggi air akhir (cm) t1 = waktu awal (s) t2 = waktu akhir (s) (Soemarto, 1995).

(29)

Kinerja Irigasi

Secara umum, kinerja jaringan irigasi yang buruk mengakibatkan meningkatnya water stress yang dialami tanaman (baik akibat kekurangan ataupun kelebihan air) sehingga pertumbuhan vegetatif dan generatif tanaman tidak optimal. Kerugian yang timbul akibat water stresstidak hanya berupa produktivitas tanaman sangat menurun, tetapi mencakup pula mubazirnya masukan usahatani yang telah diaplikasikan (pupuk, tenaga kerja, dan lain-lain).

Secara normatif, monitoring dan evaluasi kinerja jaringan di level primer dan sekunder telah dilakukan oleh instansi terkait dan program rehabilitasnya telah di rumuskan (Sumaryanto dkk., 2006).

Indikator untuk mengetahui kinerja irigasi diantaranya adalah melalui efisiensi irigasi yang meliputi Efisiensi Pemakaian Air, Efisiensi Penyimpanan Air, Keseragaman Pemakaian Air, dan Kecukupan Irigasi.

1.Efisiensi Pemakaian Air

Pemberian air dengan menggunakan sistem irigasi bertujuan untuk memenuhi kebutuhan air yang diperlukan tanaman. Efisiensi pemakaian air pada setiap sistem irigasi memiliki hasil yang berbeda. Perbandingan berbagai jenis teknik irigasi mengungkapkan bahwa metode irigasi tetes lebih efektif dan efisien dari pada metode irigasi permukaan dan irigasi curah, serta dapat meningkatkan produktivitas lahan (Albajiat al., 2013 ).

Efisiensi pemakaian air adalah rasio antara air yang tertampung di dalam daerah perakaran tanaman selama pemberian air dengan air yang disalurkan ke lahan. Efisiensi pemakaian air dapat dihitung dengan persamaan berikut:

Ea = Ws

Wf x 100% ... (11)

(30)

Dimana:

Ea = Efisiensi pemakaian air (%)

Ws =Air yang tersimpan di daerah perakaran selama pemberian air irigasi (l/jam) Wf = Air yang disalurkan (l/jam)

(Basak, 1999).

2.Keseragaman Pemakaian Air

Desain sistem irigasi tetes ideal akan mencapai 100% keseragaman distribusi tetesan emitter, sehingga setiap tanaman dapat menerima jumlah air yang sama untuk pertumbuhan. Namun pada kenyataan di lapangan, keseragaman distribusi tetesan tidak dapat 100% karena banyak faktor yang mempengaruhi keseragaman tetesan pemakaian air (Prabowo dkk., 2004).

Koefisien variasi menggambarkan kualitas dari alat penetes. Koefisien variasi ditentukan dari pengukuran laju aliran untuk beberapa alat penetes yang identik dan dihitung dengan persamaan :

Cv = (𝑞𝑞21+𝑞𝑞

22+⋯+𝑞𝑞2

𝑛𝑛−𝑛𝑛𝑞𝑞�2)1/2

𝑞𝑞� ( 𝑛𝑛−1 )1/2 ... (12) Dimana :

Cv = koefisien variasi pembuatan q1, q2, ..., qn = debit dari alat penetes (l/h, gph)

q� = rata-rata jumlah debit dari alat penetes (l/h, gph) n = total alat penetes

Keseragaman penetes untuk point dan line source dari persamaan berikut : EU = 100 (1,0 - 1,27�𝑁𝑁

𝑒𝑒Cv ) Qmin

Qave ... (13) Dimana :

EU : emission uniformity dalam persen

Ne :banyaknya emitter poin source pertitik penetes; jarak antara tanaman dibagi atas panjang unit lateral digunakan untuk

(31)

menghitung Cv atau l untuk emitter line source.

Cv : koefisien variasi pembuatan untuk emitter point dan line source Qmin : debit minimum laju emitter pada sistem (l/h, gph)

Qave : debit rata-rata atau desain emitter (l/h, gph) (James, 1988).

3.Kecukupan Air Irigasi

Banyaknya pemberian air yang ideal adalah sejumlah air yang dapat membashkan tanah di seluruh daerah perakaran sampai keadaan kapasitas lapang.

Jika air diberikan berlebih mengakibatkan penggenangan di tempat-tempat tertentu yang memperburuk aerasi tanah. Pemakaian air komsumtif adalah jumlah air yang diperlukan untuk evapotranspirasi selama pertumbuhan. Besarnya pemakaian air komsumtif bervariasi menurut jenis tumbuhan dah iklim.

Perbedaan jenis tumbuhan disebabkan oleh perbedaan masa pertumbuhan danpematangan, sedangkan perbedaan tipe iklim disebkan oleh perbedaan unsur- unsur iklim yang berpengaruh terhadap evapotranspirasi (Hakim dkk., 1986).

Klasifikasi kadar air tanah meliputi air tersedia, air tidak tersedia, air higroskopis, air adhesi. Air tersedia terdapat pada kisaran kapasitas lapang dan titik layu permanen (pF 2,54-4,2), air tidak tersedia yaitu air yang berada pada tegangan diatas titik layu permanen (pF > 4,2), air higroskopis yaitu air yang diikat oleh partikel tanah dengan sangat kuat sehingga tidak dapat digunakan oleh tanaman, air adhesi juga air yang terikat kuat antara tanah dan air sehingga tidak dapat digunakan oleh air dan tanaman (Ichsanet al., 2010).

Kebutuhan air tanaman didefenisikan sebagai jumlah air yang dibutuhkan oleh tanaman pada suatu periode untuk dapat tumbuh dan produksi secara normal.

Kebutuhan air nyata untuk areal usaha pertanian meliputi evapotranspirasi (ET), sejumlah air yang dibutuhkan untuk pengoperasian secara khusus seperti

(32)

penyiapan lahan dan penggantian air, serta kehilangan selama pemakaian.

Kecukupan air irigasi dapat dihitung dengan persamaan :

KAI = ET + KA + KK ... (14) Dimana :

KAI = Kebutuhan Air Irigasi (l/jam) ET = Evapotranspirasi (mm/hari) KA = Kehilangan Air (l/jam) KK = Kebutuhan Khusus (l/jam) (Sudjarwadi, 1990).

4.Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Irigasi

Kedalaman air yang digunakan pada setiap pemberian air irigasi adalah faktor yang paling utama mempengaruhi efisiensi irigasi. Meskipun air disebarkan secara seragam ke seluruh permukaan tanah, kedalaman pemakaian air yang berlebihan akan mengakibatkan efisiensi yang rendah. Banyak faktor yang mempengaruhi seperti keseragaman tanah, metoda pemberian air irigasi, besarnya aliran pemberian air irigasi, lamanya pengairan, tekstur tanah, permeabilitas, dan kedalaman mempengaruhi waktu pemberian air irigasi menjaga aliran air dengan demikian juga kedalamannya (Susanto, 2006).

Rancangan Irigasi Tetes 1. Jaringan Irigasi Tetes

Secara toeritis, tingkat efisiensi irigasi tetes lebih tinggi dibanding dengan irigasi permukaan dan irigasi curah, karena pada irigasi tetes selain dapat dihindari kehilangan air berupa perkolasi dan limpasan, sistem ini hanya memberikan air pada daerah perakaran sehingga air yang diberikan pada daerah langsung digunakan oleh tanaman. Pemberian air yang ideal adalah sejumlah air yang dapat membasahkan tanah diseluruh daerah perakaran sampai keadaan

(33)

kapasitas lapang. Jika air berlebihan mengakibatkan penggenangan di tempat- tempat tertentu yang memburukkan aerasi tanah. Pada sistem irigasi tetes kehilangan air lebih kecil karena tidak dipengaruhi oleh vegetasi disekitar tanaman, serta adanya kehilangan air yg disebabkan oleh angin maupun akibat penguapan karena air yang diberikan pada lahan yang di olah akan diikat oleh tanah (Susanto, 2006).

Emitter digunakan pada interval tetap lateral yang berfungsi untuk melewatkan

air yang akan diteteskan pada kecepatan yang rendah. Penetesan (emitter) dapat dibuat dalam tiga tipe yaitu (1) air menetes terus menerus, (2) air menetes dari emitter, (3) air disemprotkan atau menetes dari lubang yang dibuat pada pipa

lateral. Pipa PVC digunakan pada rancangan irigasi tetes dapat dianggap sebagai pipa halus.

2. KecepatanAliran

Secara hidraulik, variasi tekanan sepanjang sebuah pipa lateral akan menyebabkan aliran emitter yang bervariasi sepanjang pipa lateral dan variasi tekanan pada pipa sub utama akan menyebabkan variasi aliran pada pipa lateral (pada setiap pipa lateral) sepanjang pipa sub utama.

Dalam mendesain irigasi tetes perlu dihitung banyaknya tetesan, waktu dan debit air yang diperlukan, sehingga pertumnuhan tanaman optimal. Kecepatan aliran atau laju tetesan emitter dapat dihitung dengan persamaan berikut:

EDR = 𝑞𝑞

s x l ... (15) dimana:

EDR = laju tetesan emitter (m/jam) q = debit emitter (m3/jam) s = jarak lubang emitter (m)

(34)

l = jarak lateral emitter (m) (Prijono, 2013).

3. Debit

Debit air keluar emitter rata-rata adalah volume dari keseluruhan air yang tertampung dari semua emitter per satuan waktu dan jumlah emitter yang ada.

Debit air keluar emitter rata-rata (Qa) dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

Qa = 𝐺𝐺

Ta.Np ... (16) dimana:

Qa = debit rata-rata dari keseluruhan emitter (l/jam) G = volume air irigasi keseluruhan per tanaman (l) Ta = lama pemberian air (jam)

Np = jumlah emitter per tanaman (Sapei, 2003).

Tanah Latosol

Latosol merupakan suatu jenis tanah yang terbentuk pada daerah yang bercurah hujan sekitar 2000 sampai 4000 mm tiap tahun, bulan kering lebih keciltiga bulan dan tipe iklim A, B (Schmidt/Ferguson). Di Indonesia latosol umumnya terdapat pada bahan induk volkan baik berupa tufa volkan maupun batuan beku di daerah tropika basah, tersebar pada daerah-daerah dengan ketinggian antara 10 – 1000 meter dengan curah hujan antara 2000 – 4000 mm pertahun dan bulan kering kurang dari 3 bulan, dijumpai pada topografi berombak hingga bergunung, dengan vegetasi utama adalah hutan tropika lebat. Kemampuan tanah latosol menyimpan dan menyediakan air bagi bibit tanaman kelapa sawit tergantung pada sifat fisika tanahnya, bahan organik, dan metode irigasi tetes yang dapat di evaluasi berdasarkan kinerja irigasi tetes dan pertumbuhan bibit kelapa sawit (Soepardi, 1983).

(35)

Ciri-ciri umum tanah Latosol yaitu bertekstur lempung sampai liat, struktur remah sampai gumpal dan konsistensi gembur. Warna tanah kemerahan tergantung dari susunan mineralogi bahan induknya, drainase, umur dan keadaan iklimnya. Jenis tanah latosol berasal dari bahan induk vulkanik, baik tufa maupun batuan beku. Kandungan unsur hara rendah sampai sedang, sehingga sifat tanahnya secara fisik tergolong baik, namun secara kimia tergolong kurang baik (Nugroho, 2009).

Tanaman Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.)

Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) dapat tumbuh pada pH 4 – 6, dengan pH optimum 5 - 5,5. Tanaman kelapa sawit biasanya ditanam pada jenis tanah latosol, Organosol, dan Alluvial. Pada pembibitan kelapa sawit sebaiknya menggunakan tanah lapisan atas (topsoil) yang dapat berasal dari hasil sorongan alat berat (buldozer) setebal 5 – 10 cm. Tanah yang kurang baik sebaiknya dicampur dengan media lain, misalnya tanah yang terlalu berliat dapat dicampurdengan tanah berpasir maupun bahan organik (pupuk kandang / kompos), sebaliknya tanah dengan kandungan bahan organik sangat tinggi perlu di campur dengan tanah mineral (Darmosarkoro dkk., 2008).

Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan komoditas perkebunan yang bernilai ekonomi tinggi. Produksi buah segar kelapa sawit dapat dimamfaatkan untuk berbagai penggunaan termasuk bahan baku industri diantaranya, minyak goreng, produk makanan, bioetanol, biodiesel, dan bahkan untuk pakan ternak. Dalam pengembangan kelapa sawit, bibit sangat menentukan karena berpengaruh terhadap pencapaian hasil produksi. Bibit kelapa sawit yang

(36)

baik memiliki kekuatan dan penampilan tumbuh yang optimal dan kemampuan dalam menghadapi kondisi cekaman lingkungan (Asmonoet al., 2003).

Pembibitan Awal (Prenursery)

Pembibitan kelapa sawit merupakan langkah permulaan yang menentukan keberhasilan penanaman di lapangan, sedangkan bibit unggul merupakan modal dasar dari perusahaan untuk mencapai produktivitas dan mutu minyak kelapa sawit yang tinggi. Pembibitan awal (prenursery) adalah tahap pembibitan kecambah kelapa sawit yang dilakukan selama 3 – 4 bulan di polibag dengan ukuran diameter 15 cm, tinggi 23 cm, dan tebal 0,07 mm, dengan lubang kurang lebih 20 lubang. Ciri utama pembibitan tahap awal adalah penggunaan kantong plastik berukuran kecil, areal pembibitan yang datar, berdrainase lancar, dan dekat sumber air (Soepadiyo dan Haryono, 2003).

Hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian air adalah kualitas dan jumlah air yang diberikan serta sistem penyiraman yang digunakan. Pada kondisi tanah yang kering, penyerapan air dari tanah sangat terhambat, sehingga tanamankekurangan air. Kekurangan air yang berkelanjutan mengakibatkan tekanan turgol sel menurul, sehingga tekanan kearah luar pada dinding sel minim.

Kondisi tersebut menyebabkan proses pembesaran sel terganggu dan akhirnya menurunkan aktivitas pembelahan sel. Kebutuhan air tanaman kelapa sawit di pembibitan dengan umur bibit 3-6 bulan sebanyak 2 liter/hari (PPKS, 2005).

Pertumbuhan Vegetatif

Kandungan air dalam tanah sangat mempengaruhi pertumbuhan akar, baik secara langsung maupun tidak langsung. Tersedianya air dalam tanah menyebabkan sistem perakaran tanaman lebih baik pada kandungan air tanah

(37)

yang cukup. Ketersediaan air tanah yang cukup bagi kehidupan tanaman akan menyebabkan tersedianya unsur hara bagi tanaman. Ketersediaan air dalam tanah menentukan konsentrasi dan aliran hara ke akar melalui difusi dan aliran massa yang selanjutnya diserap oleh tanaman (Salisbury dan Ross, 1995).

1. Tinggi Tanaman

Kekurangan air secara internal pada tanaman berakibat langsung pada penurunan pembelahan dan pembesaran sel pada tahap pertumbuhan vegetatif. Air digunakan oleh tanaman untuk pembelahan dan pembesaran sel yang terwujud dalam pertambahan tinggi tanaman, pembesaran diameter, perbayakan daun dan pertumbuhan akar. Semakin banyak volume air yang diberikan pada bibit tanaman kelapa sawit maka dapat meningkatkan tinggi bibit kepala sawit

(Nababan dkk,. 2014).

2. Jumlah Daun

Faktor lingkungan berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan daun antara lain suhu, udara, ketersediaan air dan unsur hara. Unsur hara yang sangatberpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan daun adalah N, P, dan K. Jumlah daun sudah merupakan sifat genetik dari tanaman kelapa sawit dan juga tergantung pada umur tanaman. Laju pembentukan daun relatif konstan jika tanaman ditumbuhkan pada kondisi suhu dan intensitas cahaya yang konstan (Pangaribuan, 2001).

Pemberian volume air memberikan pengaruh berbeda tidak nyata pada parameter jumlah daun, akan tetapi pemberian volume air sebanyak 3 liter menunjukkan jumlah daun yang tertinggi yaitu 5,67 helai, sedangkan pemberian volume air 750 ml menunjukkan jumlah daun yang sedikit dengan pertambahan

(38)

daun yaitu 4.33 helai. Hal ini diduga bahwa pemberian volume air yang meningkat tidak memberikan pengaruh terhadap pertambahan jumlah daun bibit kelapa sawit. Pertambahan jumlah daun merupakan faktor genetik dari tiap genotipe tanaman kelapa sawit yang menyebabkan jumlah daun yang hampir sama (Nababan dkk., 2013).

3. Berat Kering Tanaman

Berat kering tanaman mencerminkan akumulasi senyawa organik yang berhasil disintesis tanaman dari senyawa onorganik terutama air air dan CO2. Unsur hara yang telah diserap akar, baik yang digunakan dalam sintesis senyawa organik maupun yang tetap dalam bentuk ion dalam jaringan tanaman akan memberikan kontribusi terhadap pertambahan berat kering tanaman (Lakitan, 2000).

Produksi tanaman bisa diukur dengan menghitung bobot kering tanaman tersebut. Setelah tanaman dicuci (dekontaminasi) selanjutnya dikeringkan pada oven pengering. Pengeringan di oven ini bertujuan untuk mengurangi dan menghentikan proses biokimia tanaman, terutama aktivitas enzim. Aktivitasenzim tanaman dapat dihentikan dengan mengovenkan pada temperatur 600C hingga 800C, tetapi pada temperatur yang lebih tinggi dapat mengubah unsur hara yang akan dianalisis. Oleh sebab itu, disarankan mengovenkan tanaman pada temperatur ± 700C selama 48 jam (Mukhlis, 2007).

(39)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April hingga Agustus 2017 di Rumah Kaca dan pengujian tanah dilakukan di Laboratorium Riset dan Teknologi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Bahan dan Alat Penelitian

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bibit kelapa sawit jenis DxP PPKS 540 sebagai media pengamatan, tanah latosol sebagai media tanam, lem pipa sebagai perekat pipa, selang untuk pengisian air kedalam tong, polybag, bahan organik, air sebagai media pengamatan, kayu sebagai dudukan tong penampug, serta data primer.

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah drum penampung, infuse sebagai emitter, elbow, dob, kran air, pipa PVC berdiameter 0,5” dan 1”, wadah penampung (cup), ring sample, oven, timbangan digital, erlenmeyer, gelas ukur, meteran, gergaji,cangkul, mistar, terpal, ayakan 10 mesh, kalkulator, komputer, stopwatch, dan kamera.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode eksperimen dan observasi lapangan untuk mengetahui efisiensi irigasi tetes (drip irrigation) dengan memakai emitter dari selang infus pada tanaman sawit (Elaeis guineensis Jacq.). Penelitian menggunakan data primer yaitu data yang akan di dapatkan di lapangan.

Selanjutnya dilakukan analisis data secara kuantitatif yaitu melakukan pengkajian berdasarkan data yang dapat diukur dengan angka-angka.

(40)

Prosedur dan Parameter Penelitian A. Perancangan Jaringan Irigasi

1. Menyediakan drum penampung dari tabung biasa yang dihubungkan dengan sumber air. Menyambungkan pipa PVC 1 inci sebagai pipa utama (mainline) secara vertikal dengan drum penampung.

2. Menyambungkan pipa utama dengan pipa pembagi (manifold), dimana manifold memiliki ukuran yang sama dengan mainline.Dihubungkan pipa pembagi dengan pipa lateral sebanyak 2 pipa, dengan jarak antar lateral sama. Pipa lateral merupakan pipa PVC berdiameter 0,5 inci.

3. Membuat 10 lubang pada masing-masing pipa lateral dengan jarak tiap lubang 40 cm.

4. Memasang infus (emitter) pada masing-masing pipa lateral sebagai emitter alternatif.

5. Mengisi air pada drum penampung hingga penuh dan dijaga agar ketinggian air dalam drum tetap konstan.

6. Melakukan pengujian debitsebanyak 3 kali ulangan dan dihitung dengan Persamaan (16).

B. Pengambilan Tanah di Lapangan dan Pelaksanaan Penelitian di Rumah Kaca 1. Menentukan titik pengambilan tanah Latosol di lapangan.

2. Mengambil tanah dan dikeringanginkan, setelah kering tanah dipecah/digerus lalu diayak dengan ayakan 10 mesh.

3. Menyiapkan polybag dengan ukuran 25 cm x 40 cm sebanyak 20 polybag dan diisi tanah Latosoldenganberat 8 kg tanah dan 2 kg kompossetiap polybag.

(41)

4. Meletakkan 10 polybag pada masing-masing lateral.

5. Menyiram tanah dalampolibag hingga jenuh untuk pemantapan tanah.

Dilakukan penyiram terus-menerus sampai tanah pada kondisi mantap.

6. Menanam bibit tanaman sawit (Elaeis guineensis Jacq.) 1 batang setiap polibag.

7. Memberikan air melalui rancangan irigasi tetes yang telah dibuat selama 2 jam/hari yaitu pagi dan sore.

C. Pengujian Kinerja Irigasi Tetes

1. Mengeringkan tanah selama 24 jam agar kondisi awal tanam sama.

2. Meletakkan wadah penampung pada bagian bawah polybag yang telah dilubangi agar perkolasi dapat tertampung.

3. Mengambil sampel tanah dengan ring samplelalu mengukur kadar air awal tanah.

4. Mengalirkan air sesuai waktu yang ditentukan.

5. Mengambil sampel tanah yang telah terbasahi dengan ring sample.

6. Menampung perkolasi dengan wadah (jika ada) lalu mengukur dengan menggunakan gelas ukur.

7. Dihitung efisiensi irigasi yaitu esfisiensi pemakaian airdenganmenggunakan Persamaan (11).

D. Keseragaman Pemakaian Air

1. Menghitung volume air yang disalurkan ke tanah.

2. Menghitung debit rata-rata air keluaran data pengamatan.

3. Menentukan debit minimum dari data pengamatan.

(42)

4. Menghitung keseragaman pemakaian air dengan menggunakan Persamaan (12) dan (13).

E. Kecukupan Air Irigasi

1. Menghitung kecukupan air irigasi dengan Persamaan (14).

2. Kecukupan air irigasi dihitung dari nilai evapotranspirasi, kehilangan air seperti perkolasi, dan kebutuhan khusus seperti penggunaan air pada saat pemantapan tanah.

F. Kehilangan Air

1. Menghitung nilai evapotranspirasi tanaman dengan menggunakan Persamaan (8) dan (9).

2. Mengukur evaporasi dengan menggunakan evapopan Klas A kemudian dikalikan dengan koefisien panci yang tertera pada Persamaan (7).

3. Meletakkan wadah penampung pada bagian bawah polybag yang telah dilubangi bagian bawahnya agar perkolasi tertampung.

4. Menghitung volume perkolasi sesuai dengan Persamaan (10).

G. Analisis Sifat-Sifat Fisik Tanah

1. Mengukur tekstur tanah dengan metode hygrometer dan dianalisis dengan menggunakan segitiga USDA.

2. Menganalisis bahan organik dengan metode Walkley & Black. Bahan organik dihitung dengan Persamaan (1) dan (2).

3. Menganalisis kerapatan massa tanah (bulk density) dengan menggunakan Persamaan (3).

4. Menganalisis kerapatan partikel tanah (particle density) dengan menggunakan Persamaan (4).

(43)

5. Menentukan kadar air kapasitas lapang dengan cara mengambil sampel sebanyak 3 kali ulangan dan dijenuhkan.

6. Mengeringudarakan sampel selama 24 jam agar mencapai kondisi kapasitas lapang kemudian ditentukan kadar airnya dengan menggunakan Persamaan (6).

H. Berat Kering Bibit Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) 1. Mencabutbibit sawit (Elaeis guineensis Jacq.) setelah 90 hari.

2. Mengukur tinggi bibit sawit (Elaeis guineensis Jacq.) menggunakan mistar dengan 16 sampel bibit sawit.

3. Menghitung jumlah daun sampel bibit sawit (Elaeis guineensis Jacq.) yang diukur tingginya.

4. Mengambil seluruh bagian tanaman dari polybag, dibersihkan, dipotong pada bagian akar, kemudian ditimbang untuk mendapatkan berat bibit sawit (Elaeis guineensis Jacq.).

5. Mengovenkan tanaman selama 24 jam dengan suhu 700C.

6. Menimbang kembali tanaman yang telah diovenkan.

(44)

Parameter Penelitian 1. Sifat Fisik Tanah

- Tekstur tanah

- Kerapatan massa (bulk density) - Kerapatan partikel (particle density) - Bahan organik

- Porositas

- Kadar air kapasitas lapang 2. Evaporasi dan Evapotranspirasi 3. Perkolasi

4. Debit air rata-rata keluaran 5. Keseragaman pemakaian air 6. Efisiensi pemakaian air 7. Kecukupan air irigasi

8. Tinggi tanaman dan jumlah daun

9. Bobot basah dan kering bibit kelapa sawit

(45)

HASIL DAN PEMBAHASAN SifatFisika Tanah

Hasil analisa tekstur tanah, kerapatan massa (bulk density), kerapatan partikel (particle density), porositas, dan kadar air kapasitas lapang, bahan organik pada Latosol disajikan pada Tabel 3 dan perhitungan pada Lampiran (2,3,4,5,6,7).

Tabel4.Hasil analisa tekstur tanah, bahan organik, kerapatan massa, kerapatan partikel, porositas, dan kadar air kapasitas lapang

Analisa Tanah Satuan Nilai

Teksturtanah - Lempung berpasir

-Pasir % 64,82

-Debu % 10,42

-Liat % 25,08

Bulk Density g/cm3 0,82

Particle Density g/cm3 2,71

Porositas % 69,45

Kadar air kapasitas lapang % 42,54

C-Organik % 1,40

Bahan Organik % 2,41

Tabel 4 menunjukkan bahwa tanah Latosol memiliki tekstur lempung berpasir. Dengan persentase pasir sebesar 64,82%, debu 10,42%, dan liat 25,08%.

Dari rata-rata perbandingan ketiga fraksinya (pasir, debu, dan liat) dapat dilihat bahwa fraksi pasir lebih dominan sebagai penyusun tanah Latosol. Hal ini sesuai dengan Hasibuan (2011) yang menyatakan bahwa tekstur tanah menunjukkan komposisi partikel penyusun tanah yang dinyatakan sebagai perbandingan proporsi (%) relatif antara fraksi pasir (sand), debu (silt), dan liat (clay).

Perbandingan proporsi fraksi pasir, debu, dan liat di klasifikasikan kedalam tekstur tanah, dimana tekstur lempung berpasir terdiri dari perbandingan proporsi pasir sebesar 43-80%, debu sebesar 0-50%, dan liat sebesar 0-25%.

Menurut Islami dan Utomo (1995) yang menyatakan bahwa tanah berlempung merupakan tanah dengan proporsi pasir, debu, dan liat sedemikian

(46)

rupa sehingga sifatnya berada diantara tanah berpasir dan berliat. Jadi aerasi dantata udara cukup baik, kemampuan menyimpan dan menyediakan air untuk tanaman juga baik.

Berdasarkan hasil pengamatan di laboratorium yaitu tanah Latosol yang bertekstur lempung liat berpasir. Hal ini sesuai dengan Nugroho (2009) yang menyatakan bahwa ciri utama tanah Latosolyaitu bertekstur lempung sampai liat, struktur remah sampai gumpal dan konsistensi gembur.

Tabel 4 menunjukkan bahwa rata-rata kandungan bahan organik yang terdapat pada setiap media tanam tanaman memiliki kriteria rendah. Hal ini disebabkan karena adanya bahan organik yang hilang saat proses pemantapan tanah melalui proses perkolasi. Faktor lain yang mempengaruhi yaitu penggunaan bahan organik oleh sawit yang lebih banyak digunakan dibandingkan dengan tanaman sayuran dan perbandingan kompos dengan tanah yaitu 2 kg kompos banding 8 kg tanah, serta tidak ada penambahan kompos selama penelitian.Hal ini sesuai dengan Sharma etal. (2016) yang menyatakan bahwa peran bahan organik tanah dapat menjadi lebih baik dengan pemberian bahan organik secara teratur dan praktek pertanian organik dengan meminimalkan bahan kimia.

Tanaman kelapa sawit biasanya di tanam pada jenis tanah Latosol, Organosol, dan Alluvial. Pada penelitian ini jenis tanah yang digunakan adalah lapisan permukaan tanah Latosol yang dicangkul pada kedalaman 5 sampai 10 cm. Hal ini sesuai dengan Nugroho (2009) yang menyatakan bahwa jenis tanah Latosolberasal dari bahan induk vulkanik, baik tufa maupun batuan beku.

Kandungan unsur hara rendah sampai sedang, sehingga sifat tanahnya secara fisik tergolong baik.

Referensi

Dokumen terkait