• Tidak ada hasil yang ditemukan

M. Rizky Ashary Suryopranoto (Mahasiswa Program S1 Fakultas Hukum Universitas Trisakti) (

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "M. Rizky Ashary Suryopranoto (Mahasiswa Program S1 Fakultas Hukum Universitas Trisakti) ("

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERDAMAIAN INDUSTRI JAMU TRADISIONAL (STUDI KASUS PUTUSAN MA NOMOR 1397 K/PDT.SUS-PAILIT/2017 TENTANG

KEPAILITAN PT NJONJA MENEER)

M. Rizky Ashary Suryopranoto

(Mahasiswa Program S1 Fakultas Hukum Universitas Trisakti) (Email: [email protected])

Anna Maria Tri Anggraini (Dosen Fakultas Hukum Trisakti)

(Email: [email protected])

ABSTRAK

PT Njonja Meneer merupakan Debitor yang diputus pailit, sebelumnya PT Nata Meridian Investara dan PT Citra Sastra Grafika yang merupakan salah satu kreditor dari PT Njonja Meneer mengajukan PKPU dan terjadilah perdamaian, tetapi PT Njonja Meneer tidak melakukan kewajibannya, sehingga Hendrianto Bambang Santoso salah satu kreditor mengajukan pembatalan perdamaian terhadap PT Njonja Meneer. Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana peraturan yang mendasari prosedur perdamaian dalam PKPU menurut UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang terhadap kasus PT Njonja Meneer dan Bagaimana pendapat hukum terhadap putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung dalam perkara Kepailitan PT Njonja Meneer. Untuk menjawab permasalahan tersebut maka tipe penelitian yang digunakan adalah normatif, menggunakan data sekunder dan dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian tersebut menunjukkan kesimpulan bahwa prosedur perdamaian tersebut sudah sesuai dengan UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan pendapat hukum atas putusan PN dan MA sudah sesuai dengan aturan yang berlaku. Adapun mengenai saran adalah sebaiknya jangka waktu dalam PKPU dan perdamaian diberikan waktu yang lebih lama bagi debitor dalam melunasi atau membayar utangnya.

Kata Kunci: Kepailitan, Rencana Perdamaian PKPU

(2)

A. Pendahuluan

Di zaman perekonomian yang semakin berkembang, serta pengaruh globalisasi yang pesat mempengaruhi seluruh pelaku usaha untuk meningkatkan kegiatan usahanya. Krisis moneter pada tahun 1998 yang melanda Indonesia merubah Indonesia menjadi krisis ekonomi nasional dan memberikan efek masalah-masalah utang-piutang pada masa itu timbul secara masif, serta mengakibatkan lumpuhnya ekonomi seperti kesulitannya perusahaan-perusahaan baik besar maupun kecil yang ada di Indonesia. Masalahnya, banyak perusahaan Indonesia melakukan pinjaman, baik kepada kreditor dalam negeri maupun luar negeri, dalam bentuk mata uang asing khususnya dollar AS, karena pada masa itu nilai tukar mata uang rupiah anjlok secara tajam terhadap mata uang dollar dan mata uang negara asing, jumlah utang debitur melonjak secara tajam sehingga banyak yang tidak sanggup membayar hutangnya ketika jatuh tempo.1 Dimana hal tersebut mengakibatkan bangkrutnya suatu perusahaan yang dikenal sebagai istilah pailit.

Ketidakmampuan debitor untuk membayar utangnya kepada kreditor, yang biasanya karena telah terjadi wanprestasi yang dilakukan oleh pihak debitor sehingga pihak kreditor merasa dirugikan atas perbuatan debitor yang tidak memenuhi prestasi yang menjadi kewajibannya, dengan begitu menimbulkan sengketa antara kedua pihak tersebut yang mana hal tersebut merupakan suatu masalah bagi kedua perusahaan baik debitor maupun kreditor. Salah satu alternatif hukum untuk melakukan penyelesaian permasalahan utang-piutang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Dalam kondisi ekonomi global seperti sekarang, para pelaku usaha menginginkan dirinya atau perusahaannya mampu untuk bersaing dalam pasar global sehingga membutuhkan suatu tambahan modal untuk meningkatkan kinerja perusahaannya, dimana modal tersebut merupakan modal yang tidak sedikit, berkaitan dengan hal ini sangat diwajarkan suatu perusahaan mempunyai utang kepada perusahaan lain ataupun perorangan, utang tersebut merupakan hal yang wajar terhadap perusahaan selama perusahaan tersebut dapat melunasinya. Perusahaan yang dapat melunasi utang-utangnya merupakan perusahaan yang solvable, yang artinya yaitu perusahaan yang mampu membayar utang-utangnya, dan sebaliknya jika suatu perusahaan yang

1Bernard Nainggolan, Peranan Kurator Dalam Pemberesan Boedel Pailit (Bandung: Alumni, 2014), hal. ix

(3)

sudah tidak mampu membayar utang-utangnya disebut insolvable yang artinya tidak mampu membayar.2

Pada awalnya hukum kepailitan di Indonesia memakai Undang-undang tentang kepailitan ( Faillissements-verordening Staatsblad 1905:217 juncto Staatsblad 1906:348 ) sebagian besar materinya sudah tidak sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan hukum kepailitan di masyarakat oleh karena itu telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Kepailitan dan kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang nomor 4 tahun 1998. Namun perubahannya tersebut belum juga memenuhi perkembangan dan kebutuhan hukum pailit masyarakat, sehingga masih harus diubah kembali dan menjadi Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepalitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.3

Kepailitan berasal dari kata dasar “pailit”. Pailit adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan peristiwa keadaan berhenti membayar utang-utang debitor yang telah jatuh tempo.4 Dengan demikian, yang dimaksud dengan kepailitan adalah suatu sitaan umum yang dijatuhkan oleh pengadilan khusus, dengan permohonan khusus, atas seluruh aset debitor (badan hukum atau orang pribadi) yang mempunyai lebih dari 1 (satu) hutang/kreditor di mana debitor dalam keadaan berhenti membayar hutang-hutangnya, sehingga debitur segera membayar hutang-hutangnya tersebut.5 Henry Campbell dalam Black’s Law Dictionarynya menyatakan “bankrupt is the state or condition of one who is unable to pay his debts as they are, or become, due”.6

Setelah diketahui pengertian dari kepailitan tersebut, selanjutnya akan dibahas mengenai putusan kepailitan secara langsung terhadap PT Njonja Meneer. Berdasarkan Putusan Nomor 1397 K/Pdt.Sus-Pailit/2017 tanggal 4 desember 2017 Perusahaan tersebut dinyatakan pailit.

Dimana sebelum putusan kasasi tersebut, pihak kreditor telah mengajukan permohonan PKPU terhadap pihak debitor,setelah itu pihak debitor dalam hal ini PT Njonja Meneer yang diwakili oleh Direktur Utama telah mengajukan Proposal Perdamaian dengan pihak kreditor dalam proses

2Zaeni Asyhdie, Hukum Bisnis Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), h. 1.

3Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

4Zaeni Asyhadie, Budi Sutrisno, Hukum Perusahaan dan Kepailitan(Mataram: PT. Gelora Aksara Pratama, 2012), h . 213.

5Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, Cetakan Keempat (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2012), h. 75.

6Henry Campbell Black (1979), Black’s Law Dictionary, West Publishing Co.,St. Paul Minnesota, H. 134.

(4)

PKPU PT Njonja Meneer pada tanggal 5 maret 2015 dan telah disahkan oleh Majelis Hakim Pemeriksa Perkara Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang yang disebut Perjanjian Perdamaianatau dinamakan Putusan Homologasi pada tanggal 1 juni 2015, namun ternyata PT Njonja Meneer tidak melaksanakan kewajibannya untuk mencicil utangnya kepada kreditor sesuai Perjanjian Perdamaian, sehingga kreditor mengajukan permohonan kepailitan pembatalan perdamaian di depan persidangan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang memberikan Putusan Nomor 11/Pdt.Sus-Pailit/2017/PN Niaga Smg, juncto Nomor 1/Pdt.Sus- PKPU/2015/PN Niaga Smg pada tanggal 3 Agustus 2017 dengan beberapa amar sebagai berikut yaitu Menyatakan batal perjanjian perdamaian yang telah disahkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Niaga Pada Pengadilan Negeri Semarang yang dituangkan dalam Putusan Pengesahan Perdamaian (Homologasi) Nomor 01/Pdt.Sus-PKPU/2015/PN Niaga Smg tanggal 8 juni 2015 dan Menyatakan Termohon PT Perindustrian Njonja Meneer atau disingkat dengan PT Njonja Meneer, berkedudukan di Semarang, Jalan Raden Patah Nomor 191-199, dalam keadaan pailit dengan segala akibat hukumnya.

Permasalahan

1. Bagaimana peraturan yang mendasari prosedur Perdamaian dalam PKPU menurut UU No.

37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU terhadap kasus PT Njonja Meneer ?

2. Apakah putusan Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung sudah sesuai dengan UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU dalam perkara Kepailitan PT Njonja Meneer?

B. Metode Penelitian 1. Tipe Penelitian

Penelitian tentang “Tinjauan Yuridis” merupakan suatu penelitian normatif, dimana analisis penelitian atau pendekatan dilakukan secara normatif, yaitu tipe penelitian dimana yang diteliti adalah bahan pustaka atau data sekunder yang mencakup bahan hukum primer dan sekunder.7 Karena yang dikaji adalah proses putusan pailit PT Njonja Meneer, dengan demikian obyek yang dianalisis berdasarkan ketentuan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

2. Data dan Sumber Data

7Ibid,. h. 52.

(5)

Berdasarkan jenis dan bentuknya, data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder tersebut adalah data yang diperoleh dari sumber data yang sudah dikumpulkan oleh pihak lain, yaitu melalui studi kepustakaan.8 Data sekunder terdiri dari:

a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat.9 Dengan menggunakan bahan hukum yang terdiri dari peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tema penelitian, yang terdiri dari:

1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

2) Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2005 tentang Penghitungan Jumlah Hak Suara Kreditor

3) Putusan Mahkamah Agung Nomor 1397 K/Pdt.Sus-Pailit/2017

4) Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang Nomor 11/Pdt.Sus- Pailit/2017/PN.Niaga.Smg jo. Nomor 01/Pdt.Sus-PKPU/2015/PN.Niaga.Smg

5) Putusan Nomor 01/Pdt.Sus-PKPU/2015/PN.Niaga.Smg

b. Bahan Hukum Sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.10 Seperti misalnya buku-buku yang berkaitan dengan hukum kepailitan, dan hasil penelitian yang berkaitan dengan skripsi ini.

3. Cara Pengumpulan Data

Pengumpulan data dapat dilakukan dengan metode dan pendekatan studi kepustakaan.11 Studi kepustakaan dilakukan di beberapa tempat, seperti perpustakaan umum Universitas Trisakti, Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Trisakti, maupun pengumpulan data melalui internet atau media cetak.

4. Analisis Data

Dalam analisis data terdapat dua macam metode yaitu secara kuantitatif dan secara kualitatif. Dalam penelitian ini data sekunder yang diperoleh akan dianalisis secara kualitatif.

Pendekatan kualitatif merupakan tata cara penelitian untuk menghasilkan data deskriptif.12 Penulis dalam menganalisis data diperoleh dari peraturan perundang-undangan yaitu antara

8 Ibid., h. 12

9 Ibid., h 52.

10 Ibid.

11 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: PT. Sinar Grafika, 2002), h.50.

12 Soerjono Soekanto, op.cit., h.50.

(6)

lain Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Hasil penelitian menggunakan metode analisis secara kualitatif, artinya data yang diperoleh disusun secara sistematis dalam bentuk uraian atau penjelasan untuk menggambarkan hasil penelitian sehingga mudah diinformasikan kepada orang lain.

5. Penarikan Kesimpulan

Pengambilan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan logika deduktif, artinya yaitu sebuah metode menarik kesimpulan yang bersifat khusus dari pernyataan-pernyataan yang bersifat umum.13 Dalam logika deduktif ini, gagasan utamanya ditempatkan di awal alinea, serta pengkhususan atau perincian-perinciannya terdapat dalam kalimat-kalimat berikutnya.14 C. Analisa

1. Peraturan Perundang-Undangan Tentang Prosedur Perdamaian Dalam PKPU a. UU Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan PKPU

1) Rencana Perdamaian

Perdamaian dalam PKPU berbeda dengan perdamaian dalam Kepailitan, dimana Perdamaian dalam PKPU diatur pada Bab III tentang PKPU Bagian Kedua Pasal 265-294.

PKPU dan Perdamaian tidak dapat dipisahkan, itu merupakan satu kesatuan dalam hukum formil PKPU. Dimana pada saat proses PKPU di dalamnya terhadap aturan adanya rencana perdamaian.

Dalam PKPU, Debitur berhak pada waktu mengajukan permohonan atau setelah itu menawarkan suatu perdamaian kepada Kreditor. Menurut Pasal 266 ayat 1 dan 2 yaitu;

“Apabila rencana tersebut tidak disediakan di Kepaniteraan Pengadilan, maka rencana tersebut diajukan sebelum hari sidang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 226 atau pada tanggal kemudian dengan tetap memperhatikan ketentuan dimaksud dalam Pasal 228 ayat 4 dan Salinan rencana harus segera disampaikan kepada Hakim Pengawas, pengurus, dan ahli, bila ada”.15

Setelah rencana perdamaian telah diajukan kepada panitera maka Hakim Pengawas harus menentukan:

13 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Sinar Grafindo, 2007), h. 11.

14Gorys Keraf, Komposisi Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa, Cetakan Keenam, (Jakarta: Nusa Indah, 1979), h.96.

15 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Pasal 266 ayat 1 dan 2.

(7)

1) hari terakhir tagihan harus disampaikan kepada pengurus;

2) tanggal dan waktu rencana perdamaian yang diusulkan itu akan dibicarakan dan diputuskan dalam rapat Kreditor yang dipimpin oleh Hakim Pengawas.

Tenggang waktu sebagaimana dimaksud pada poin (a) dan poin (b) di atas paling singkat 14 (empat belas) hari. “Pengurus wajib mengumumkan penentuan waktu tersebut bersama-sama dengan dimasukkannya rencana perdamaian, kecuali jika hal ini sudah diumumkan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 226”. Pengurus juga wajib memberitahukan hal-hal mengenai penentuan waktu dan rencana perdamaian tersebut dengan surat tercatat atau melalui kurir kepada semua Kreditor yang dikenal, dan pemberitahuan ini harus menyebutkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 270 ayat 2. Kreditor dapat menghadap sendiri atau diwakili oleh seorang kuasa berdasarkan surat kuasa. “Pengurus dapat mensyaratkan agar Debitor memberikan kepada mereka uang muka dalam jumlah yang ditetapkan oleh pengurus guna menutup biaya untuk pengumuman dan pemberitahuan tersebut”.

Piutang yang dimasukkan kepada pengurus sesudah lewat tenggang waktu di atas, dengan syarat dimasukkan paling lama 2 (dua) hari sebelum diadakan rapat, harus dimuat dalam daftar piutang atas permintaan yang diajukan pada rapat tersebut , jika pengurus maupun Kreditor yang hadir tidak mengajukan keberatan. “Piutang yang dimasukkan sesudah tenggang waktu di atas, tidak dimasukkan dalam daftar tersebut”. Ketentuan mengenai jangka waktu tersebut tidak berlaku apabila Kreditor berdomisili di luar wilayah Negara Republik Indonesia yang merupakan halangan untuk melaporkan diri lebih dahulu.

Dengan tetap memperhatikan ketentuan mengenai jangka waktu PKPU, atas permintaan pengurus atau karena jabatannya, Hakim Pengawas dapat menunda pembicaraan dan pemungutan suara tentang rencana perdamaian tersebut.

Dalam rapat rencana perdamaian, baik pengurus maupun ahli, apabila telah diangkat, harus secara tertulis memberikan laporan tentang rencana perdamaian yang ditawarkan itu. Debitur berhak memberikan keterangan mengenai rencana perdamaian dan membelanya serta berhak mengubah rencana perdamaian tersebut selama berlangsungnya perundingan.

Pengurus berhak dalam rapat tersebut menarik kembali setiap pengakuan atau bantahan yang pernah dilakukan. Kreditor yang hadir dapat membantah piutang yang oleh

(8)

pengurus seluruhnya atau sebagian diakuinya. Pengakuan atau bantahan yang dilakukan dalam rapat harus dicatat dalam daftar piutang. Hakim pengawas menentukan Kreditor yang tagihannya dibantah, untuk dapat ikut serta dalam pemungutan suara dan menentukan batasan jumlah suara yang dapat dikeluarkan oleh Kreditor tersebut.

“Perdamaian hanya dapat diterima apabila memenuhi ketentuan sebagai berikut:

1) Persetujuan lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah kreditor konkuren yang haknya diakui atau sementara diakui yang hadir pada rapat Kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 268 termasuk Kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280, yang bersama- sama mewakili paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari seluruh tagihan yang diakui atau sementara diakui dari kreditor konkuren atau kuasanya yang hadir dalam rapat tersebut; dan

2) Persetujuan lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah Kreditor yang piutangnya dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya yang hadir dan mewakili paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari seluruh tagihan dari Kreditor tersebut atau kuasanya yang hadir dalam rapat tersebut”.

Berita acara rapat yang dipimpin oleh Hakim Pengawas harus mencantumkan isi rencana perdamaian, nama Kreditor yang hadir dan berhak mengeluarkan suara, catatan tentang suara yang dikeluarkan Kreditor, hasil pemungutan suara, dan catatan tentang semua kejadian lain dalam rapat. Daftar Kreditor yang dibuat oleh pengurus yang telah ditambah atau diubah dalam rapat, harus ditandatangani oleh Hakim Pengawas dan panitera pengganti serta harus dilampirkan pada berita acara rapat yang bersangkutan.

Salinan berita acara rapat tersebut harus disediakan di Kepaniteraan Pengadilan paling lambat 3 (tiga) hari setelah putusan rapat agar dapat dilihat oleh setiap orang dengan cuma-cuma selama 8 (delapan) hari setelah tanggal disediakan.

Debitor dan Kreditor yang memberi suara mendukung rencana perdamaian dalam waktu 8 (delapan) hari setelah tanggal pemungutan suara dalam rapat, dapat meminta kepada Pengadilan agar berita acara rapat diperbaiki apabila berdasarkan dokumen yang ada ternyata bahwa perdamaian oleh Hakim Pengawas keliru telah dianggap sebagai ditolak. Jika Pengadilan membuat perbaikan berita acara rapat maka dalam putusan yang sama Pengadilan harus menentukan tanggal pengesahan perdamaian yang harus

(9)

dilaksanakan paling singkat 8 (delapan) hari dan paling lambat 14 (empat belas) hari setelah putusan Pengadilan yang memperbaiki berita acara rapat tersebut diucapkan.

b. Pengesahan Rencana Perdamaian

Apabila rencana perdamaian diterima, Hakim Pengawas wajib menyampaikan laporan tertulis kepada Pengadilan pada tanggal yang telah ditentukan untuk keperluan pengesahan perdamaian, dan pada tanggal yang ditentukan tersebut pengurus serta Kreditor dapat menyampaikan alasan yang menyebabkan ia menghendaki pengesahan atau penolakan perdamaian. Pengadilan dapat mengundurkan dan menetapkan tanggal sidang untuk pengesahan perdamaian yang harus diselenggarakan paling lambat 14 (empat belas) hari setelah tanggal sidang tersebut dilaksanakan.

Pengadilan wajib memberikan putusan mengenai pengesahan perdamaian disertai alasan-alasannya pada sidang mengenai rencana perdamaian. Pengadilan wajib menolak untuk mengesahkan perdamaian, apabila:

1) “harta debitor, termasuk benda untuk mana dilaksanakan hak untuk menahan benda (hak retensi), jauh lebih besar daripada jumlah yang disetujui dalam perdamaian;

2) pelaksanaan perdamaian tidak cukup terjamin;

3) perdamaian itu dicapai karena penipuan, atau persekongkolan dengan satu atau lebih kreditor, atau karena pemakaian upaya lain yang tidak jujur dan tanpa menghiraukam apakah debitor atau pihak lain bekerja sama untuk mencapai hal itu; dan/atau

4) imbalan jasa dan biaya yang dikeluarkan oleh ahli dan pengurus belum dibayar atau tidak diberikan jaminan untuk pembayarannya”.16

Apabila Pengadilan menolak mengesahkan perdamaian maka dalam putusan yang sama Pengadilan wajib menyatakan Debitor pailit dan putusan tersebut harus diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia dan paling sedikit 2 (dua) surat kabar harian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 226 dengan jangka waktu paling lambat 5 (lima) hari setelah putusan diterima oleh Hakim Pengawas dan Kurator.

16 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Pasal 285 ayat 2.

(10)

Dengan pailitnya si Debitor maka Pasal 11, Pasal 12, dan Pasal 13 berlaku mutatis mutandis terhadap pengesahan perdamaian, namum tidak berlaku terhadap penolakan perdamaian.

Perdamaian yang telah disahkan mengikat semua Kreditor, kecuali Kreditor yang tidak menyetujui rencana perdamaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 281 ayat 2 (dua). Putusan pengesahan perdamaian yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dalam hubungannya dengan dengan berita acara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282, bagi semua Kreditor yang tidak dibantah oleh Debitor, merupakan alas hak yang dapat dijalankan terhadap Debitor dan semua orang yang telah mengikatkan diri sebagai penanggung untuk perdamaian tersebut.

Pada saat putusan pengesahan perdamaian memperoleh kekuatan hukum tetap maka PKPU berakhir demi hukum dan pengurus wajib mengumumkan pengakhiran ini dalam Berita Negara Republik Indonesia dan paling sedikit 2 (dua) surat kabar harian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 227. Dalam hal sebelum putusan pengesahan perdamaian memperoleh kekuatan hukum tetap, ada putusan Pengadilan yang menyatakan bahwa PKPU berakhir, gugurlah rencana perdamaian tersebut.

c. Pembatalan Perdamaian

Kreditor dapat menuntut pembatalan suatu perdamaian yang telah disahkan oleh Pengadilan. Apabila debitor lalai dalam memenuhi isi perdamaian tersebut dan debitor wajib membuktikan bahwa perdamaian telah dipenuhi. Pengadilan berwenang memberikan kelonggaran kepada Debitor untuk memenuhi kewajibannya paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah putusan pemberian kelonggaran tersebut diucapkan, dengan adanya pembatalan perdamaian, maka Pasal 170 dan Pasal 171 berlaku mutatis mutandis.

Dalam putusan Pengadilan yang membatalkan perdamaian, Debitor juga harus dinyatakan pailit. Putusan pernyataan pailit yang diputus berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 285, Pasal 286, atau Pasal 291, tidak dapat ditawarkan suatu perdamaian.

b. PP Nomor 10 Tahun 2005 Tentang Penghitungan Jumlah Hak Suara Kreditor

Penghitungan jumlah hak suara Kreditor sangat penting dalam rapat Kreditor Perdamaian dalam Kepailitan maupun PKPU, jumlah hak suara Kreditor diatur lebih lanjut dalam

(11)

Peraturan Pemerintah atau PP Nomor 10 Tahun 2005, dimana setiap Kreditor berhak mengeluarkan paling sedikit 1 (satu) suara dalam rapat Kreditor.

Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 3 ayat 1, 2, dan 3. “Setiap Kreditor yang mempunyai jumlah piutang sampai dengan Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) berhak atas 1 (satu) suara. Dalam hal Kreditor mempunyai piutang lebih dari Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) maka untuk setiap kelipatan Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah), Kreditor berhak atas 1 (satu) suara tambahan. Dalam hal sisa piutang tidak mencapai Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah), penghitungan suara tambahan ditentukan sebagai berikut:

a. Kurang dari Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) Kreditor tidak berhak atas suara tambahan;

b. Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) atau lebih, Kreditor berhak atas 1 (satu) suara tambahan”.

Berdasarkan uraian di atas tentang peraturan yang mendasari prosedur Perdamaian dalam PKPU adalah UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan PKPU dan juga PP No. 10 Tahun 2005 Tentang Penghitungan Jumlah Hak Suara Kreditor. Peraturan tersebut belum lengkap dan belum cukup terutama dalam pelaksana perdamaian.

2. Kesesuaian Putusan PN Dan MA Dengan UU No. 37 Tahun 2004 Dalam Perkara Kepailitan PT. Njonja Meneer

1. Putusan Homologasi

Sebelum kita membahas lebih lanjut, Putusan Homologasi dalam perkara Kepailitan PT Njonja Meneer dilakukan melalui proses PKPU. Putusan Homologasi berasal dari perdamaian yang diputus dan disahkan oleh Pengadilan dalam proses PKPU, dimana sebelumnya, PT Citra Sastra Grafika disingkat PT CSG dan PT Nata Meridian Investara disingkat PT NMI yang merupakan beberapa dari banyak Kreditor dalam kasus Kepailitan PT Njonja Meneer telah memilih prosedur PKPU dalam mengamankan piutangnya atas PT Njonja Meneer disingkat PT NM, langkah mereka dalam melakukan prosedur permohonan PKPU di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang terhadap PT NM sesuai dengan ketentuan Pasal 222 ayat 1 UUK-PKPU yang menyatakan “Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang diajukan oleh Debitor yang mempunyai lebih dari 1 (satu) Kreditor atau oleh Kreditor”, dimana PT CSG dan PT NMI merupakan Kreditor. Dalam mengajukan permohonan PKPU sesuai dengan syarat materil menurut Pasal 222 ayat 2 dan 3 UUK-PKPU

(12)

yaitu “Kreditor yang memperkirakan Debitor tidak dapat melanjutkan pembayaran utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih”.

Di dalam proses PKPU dikenal dengan adanya rencana perdamaian yang diatur dalam Pasal 265 UUK-PKPU, yaitu “Debitor berhak pada waktu mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang atau setelah itu menawarkan suatu perdamaian kepada Kreditor”, di mana dalam kasus ini PT NM selaku Debitor telah mengajukan rencana perdamaian setelah permohonan PKPU diajukan, dengan membuat Proposal Perdamaian dengan para Kreditornya termasuk PT CSG dan PT NMI dan juga Hendrianto Bambang Santoso kepada Majelis Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang. Majelis Hakim akan memeriksa Proposal Perdamaian tersebut, dalam Proposal Perdamaian tersebut berisi tentang restrukturisasi utang-utang Debitor terhadap Kreditor dan ada sekitar 35 Kreditor yang menyetujuinya, yang mana hal tersebut menjadikan pertimbangan Majelis Hakim agar menerima rencana perdamaian tersebut karena sesuai dengan Pasal 281 ayat 1 UUK-PKPU mengenai ketentuan jumlah kreditor dalam rapat kreditor yaitu;

“Rancangan perdamaian dapat diterima berdasarkan:

a. Persetujuan lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah kreditor konkuren yang haknya diakui atau sementara diakui yang hadir pada rapat Kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 268 termasuk Kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280, yang bersama- sama mewakili paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari seluruh tagihan yang diakui atau sementara diakui dari Kreditor konkuren atau kuasanya yang hadir dalam rapat tersebut; dan

b. Persetujuan lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah Kreditor yang piutangnya dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya yang hadir dan mewakili paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari seluruh tagihan dari Kreditor tersebut atau kuasanya yang hadir dalam rapat tersebut”.17

Setelah mempertimbangkan ketentuan-ketentuan di atas dan sesuai dengan prinsip pari passu prorata parte dan prinsip structured creditors, Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang mengesahkan rencana perdamaian tersebut dan menjadi Putusan Homologasi. Dengan adanya Putusan Homologasi yang berkekuatan hukum tetap tersebut, maka masa PKPU PT NM telah berakhir.

2. Putusan Pailit Jo PKPU PN.Smg

17 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Pasal 281 ayat 1.

(13)

Salah satu amar putusan ini adalah “menyatakan batal perjanjian perdamaian yang disahkan oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang” atau Putusan Homologasi, kita akan membahas sebab batalnya perjanjian perdamaian tersebut yang merupakan akar daripada amar putusan yang lain.

Hendrianto Bambang Santoso yang merupakan salah satu Kreditor yang juga ikut dalam perjanjian perdamaian tersebut, telah melakukan permohonan pembatalan perjanjian perdamaian atau Putusan Homologasi terhadap PT NM, dikarenakan beberapa sebab antara lain adalah PT NM tidak membayar cicilan sesuai dengan yang ditetapkan dalam Putusan Homologasi sebesar Rp. 7.040.970.500,- (tujuh milyar empat puluh juta sembilan ratus tujuh puluh ribu lima ratus rupiah), bahwa PT NM telah menyerahkan 10 (sepuluh) lembar cek yang kesemuanya tidak dapat dicairkan karena rekening ditutup, bahwa sebagian bilyet giro tersebut ditolak oleh Bank Penerbit dengan alasan saldo tidak cukup. Berdasarkan alasan- alasan tersebut Hendrianto Bambang Santoso menilai PT NM telah lalai memenuhi isi Putusan Homologasi dan meminta kepada Pengadilan Niaga Semarang untuk membatalkan Putusan Perdamaian atau Homologasi tersebut.

Dilihat dari alasan-alasan di atas, sudah memenuhi syarat untuk pembatalan perdamaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170 UUK-PKPU dan Pasal 171 UUK-PKPU yang berlaku mutatis mutandis terhadap pembatalan perdamaian. Menurut Pasal 170 ayat 1-3 UUK-PKPU. Sehingga dalam putusan Pengadilan yang membatalkan perdamaian, Debitor juga harus dinyatakan pailit, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 291 ayat 2. Tetapi ada kewenangan yang tidak dipakai oleh majelis hakim disini yaitu menurut Pasal 170 ayat 3 di atas yang berbunyi “Pengadilan berwenang memberikan kelonggaran kepada Debitor untuk memenuhi kewajibannya paling lama 30 hari”, dimana hakim mengabaikan hal tersebut dengan alasan bukti lalai debitor sudah cukup mewakili. Pengadilan Niaga Semarang lalu menyatakan pembatalan perdamaian tersebut maka Pengadilan Niaga Semarang juga harus menyatakan PT NM dalam keadaan pailit segala akibat hukum, dalam hal ini dapat diterapkan prinsip Debt Collection, dimana para Kreditor dapat meminta PT NM untuk meminta pembayaran piutangnya. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa Putusan tersebut telah sesuai dengan aturan UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan PKPU (UUK-PKPU).

3. Putusan Kasasi

(14)

Setelah dijatuhi putusan Pailit jo PKPU akibat batalnya perdamaian, PT NM melakukan upaya hukum kasasi terhadap Hendrianto Bambang Santoso dengan mengajukan permohonan kasasi. Dalam hukum acara Kepailitan dan PKPU tidak dikenal adanya banding melainkan hanya ada kasasi dan peninjauan kembali. Dengan keberatan-kebaratan yang diajukan oleh PT NM, salah satu memori kasasinya adalah bahwa Judex Facti dalam hal ini Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang telah salah menerapkan hukum, dengan kata lain Pengadilan Negeri Semarang telah salah dalam penjatuhan putusan tersebut dan tidak sesuai dengan apa yang seharusnya dalam menerapkan hukumnya.

Melihat alasan-alasan keberatan yang diajukan PT NM, Mahkamah Agung memutuskan untuk menolak permohonan kasasi PT. NM. Dimana PT NM telah melakukan wanprestasi karena tidak memenuhi isi putusan Homologasi sehingga PT NM terbukti lalai memenuhi isi perdamaian dan PT NM harus dinyatakan pailit. Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 291 ayat 2 bahwa Dalam putusan Pengadilan yang membatalkan perdamaian, Debitor juga harus dinyatakan pailit. Berdasarkan alasan dan ketentuan hukum tersebut Mahkamah Agung berpendapat bahwa Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang tidak salah menerapkan hukum dan tidak bertentangan dengan UU, sehingga putusan Pengadilan tersebut telah sesuai dengan UUK-PKPU.

D. Penutup

1. Kesimpulan

a. Peraturan yang mendasari prosedur perdamaian dalam PKPU diatur dalam UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan PKPU dan PP No. 10 Tahun 2005 Tentang Penghitungan Jumlah Hak Suara Kreditor, kedua peraturan tersebut sudah cukup lengkap dan tegas, namun jangka waktu dalam pemberian kelonggaran untuk memenuhi pembayaran dalam perdamaian yang cenderung singkat dan mengenai standarisasi yang menjadi acuan dalam membatalkan suatu perdamaian belum terlalu jelas.

b. Putusan Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung telah sesuai dengan UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan PKPU dan PP No. 10 Tahun 2005 Tentang Penghitungan Jumlah Hak Suara Kreditor yaitu Pengadilan Niaga telah memutuskan PKPU dan Perdamaian sesuai dengan peraturan tersebut dimana syarat kreditor dan debitor serta syarat pemberian PKPU dan perdamaian telah sesuai, Pengadilan Negeri dalam memutuskan pembatalan perdamaian dan memutuskan pailit belum sesuai dengan syarat

(15)

dan ketentuan dalam peraturan tersebut karena majelis hakim mengabaikan kewenangannya yaitu dengan tidak memberi debitor kelonggaran hari memenuhi kewajibannya, dan Mahkamah Agung telah memutus kasasi dengan menolak dan membenarkan putusan-putusan sebelumnya belum sesuai dimana Mahkamah Agung sebagai Judex Juris tidak cermat dalam memeriksa penerapan hukum dari putusan pembatalan perdamaian.

2. Saran

a. Jangka waktu dalam pemberian kelonggaran bagi debitor dalam perdamaian lebih ditambah dan standarisasi yang menjadi acuan dalam pembatalan perdamaian harus diperjelas.

b. Lebih ditingkatkan kecermatan dan ketelitian kewenangan Pengadilan Negeri sesuai dengan UU Kepailitan dan PKPU dalam memutus perkara dan Mahkamah Agung sebagai Judex Juris lebih cermat dan teliti dalam memeriksa penerapan hukum terhadap putusan- putusan sebelumnya.

E. Daftar Pustaka Buku :

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Sinar Grafindo, 2007.

Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta: PT. Sinar Grafika, 2002.

Bernard Nainggolan, Peranan Kurator Dalam Pemberesan Boedel Pailit Bandung: Alumni, 2014.

Gorys Keraf, Komposisi Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa, Cetakan Keenam, Jakarta: Nusa Indah, 1979.

Henry Campbell Black (1979), Black’s Law Dictionary, West Publishing Co.,St. Paul Minnesota.

Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, Cetakan Keempat, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2012.

Zaeni Asyhadie, Budi Sutrisno, Hukum Perusahaan dan Kepailitan, Mataram: PT. Gelora Aksara Pratama, 2012.

(16)

Zaeni Asyhdie, Hukum Bisnis Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005.

Peraturan Perundang-undangan :

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Referensi

Dokumen terkait

Jika indeks bias adalah kecepatan cahaya di ruang hampa dibagi kecepatan dalam suatu medium, maka dapat didefinisikan indeks bias efektif (neff) yaitu perbandingan antara

Berdasarkan analisis dan pembahasan, maka penelitian ini dapat diambil simpulan bahwa tingkat berpikir kreatif siswa laki-laki yang mempunyai motivasi tinggi dalam

Berdasarkan hal tersebut diatas perlu kiranya dibahas tentang: pengaturan tentang organisasi ke masyarakat di Indonesia, kedudukan Organisasi Kemasyarakatan asing di

Tujuan penelitian ini untuk (1) Mengevaluasi debit air sungai bawah tanah Gua Bendo terhadap kebutuhan air masyarakat di Kelurahan Bayemharjo, (2) Mengetahui pola

48 Laki-Laki UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR ILMU EKONOMI = STUDI PEMBANGUNAN 49 Perempuan UNIVERSITAS HASANUDDIN MANAJEMEN 50 Laki-Laki UNIVERSITAS HASANUDDIN AKUNTANSI. 51

Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil pengujian geser, secara grafik perbandingan antara jumlah pengelasan terhadap tegangan geser berbanding terbalik, karena jumlah

C 10 Desember 2012 14:00 wib YOSEPH BAMBANG - YOSEPH F ANITA Dhyah Ayu Retno Elsa Wahyu

o Patogen yang biasanya menyebabkan penyakit yang cukup serius pada manusia atau hewan tetapi tidak menyebar dengan mudah dari individu yang terinfeksi ke individu lain1.