• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengantar. Kalender Tanam Terpadu: Generasi Baru Perencanaan Tanam Menghadapi Perubahan Iklim

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Pengantar. Kalender Tanam Terpadu: Generasi Baru Perencanaan Tanam Menghadapi Perubahan Iklim"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

1

Pengantar

Kalender Tanam Terpadu: Generasi Baru Perencanaan Tanam Menghadapi Perubahan Iklim

Dr. Ir. Haryono, M.Sc.

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

Sudah sering kita dengar, rasakan, alami, dan pahami bahwa sesungguhnya perubahan iklim baik secara global, regional, maupun lokal sudah terjadi dan selalu menyertai kehidupan kita.

Dinamika proses dalam suatu ekosistem yang besar maupun kecil, juga terintervensi dengan pola dan dinamika perubahan iklim.

Demikian pula dalam proses produksi sektor pertanian, mulai dari budidaya hingga pascapanen, dengan skala dan magnitude yang juga berbeda-beda. Belum hilang dari ingatan kita, pada musim kemarau tahun 2013, di bulan Juli sampai Agustus, hampir sebagian besar wilayah Indonesia atau sekitar 87% dari 324 ZOM (zona musim) masih mengalami peningkatan intensitas curah hujan. Seperti yang terjadi di sebagian kecil Sumatera, sebagian besar Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Musim kemarau yang diikuti oleh peningkatan curah hujan lazim disebut dengan kemarau basah. Peristiwa tersebut seperti mengulang kejadian tahun 2010. Pada tahun 2010, sepanjang musim kemarau tetap ada hujan, sehingga disebut ekstrem kemarau basah atau disebut tahun tanpa musim kemarau. Padahal pada tahun-tahun tanpa anomali, bulan Juli dan Agustus sifat hujan sebagian besar wilayah Indonesia di bawah normal dengan intensitas curah hujan lebih rendah dari pada curah hujan yang biasa terjadi pada musim kemarau.

(2)

anomali curah hujan juga pernah terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia. Akumulasi pusat tekanan rendah di ekuator, memprovokasi konvergensi massa uap air dan membentuk siklon tropis, yang menyebabkan curah hujan merata di atas wilayah Indonesia. Di atas daerah aliran Sungai Ciliwung, curah hujan pernah terpantau mencapai 105 mm dalam sehari pada tanggal 15 Januari 2013, dan terakumulasi hingga tanggal 17 Januari 2013 sebesar 225 mm. Intensitas curah hujan pada saat itu merupakan curah hujan tertinggi selama 40 tahun terakhir.

Meskipun terjadi dalam waktu yang singkat, anomali curah hujan tersebut menyebabkan hampir 70% wilayah Jakarta terendam banjir, demikian pula sepanjang pantai utara Jawa Barat, khususnya lahan persawahan. Kerugian yang ditimbulkan oleh bencana banjir seperti itu dapat mencapai ratusan milyar rupiah.

Belum lagi dampak terhadap penurunan produksi dan pemunduran waktu tanam pada musim berikutnya. Fakta menunjukkan peristiwa banjir dapat menyebabkan lahan sawah yang semula ditanami tiga kali dalam setahun hanya dapat ditanami dua kali setahun. Seperti yang pernah dialami oleh sebagian besar petani di Kabupaten Pati dan sekitarnya di Jawa Tengah. Karakteristik banjir pun mengalami perubahan, yang semula terjadi sekali dalam satu periode, dapat menjadi dua hingga tiga kali dalam satu periode musim hujan.

Bahkan di Kabupaten Pati, banjir masih kembali terjadi pada April 2013.

Tidak berbeda dengan kejadian banjir di atas, kejadian iklim ekstrem kering, atau yang populer disebut El-Nino, juga merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari siklus iklim dalam periode 3-5 tahun sekali dengan La-Nina. Para ahli iklim menyatakan sekitar 65% El-Nino berpeluang diikuti oleh La-Nina. Sejarah mencatat, peristiwa kekeringan tahun 1997 merupakan peristiwa kekeringan terpanjang dan mampu menghilangkan satu periode musim tanam.

Pada saat itu luas lahan sawah yang terkena kekeringan mencapai lebih dari 500.000 ha, melampaui luas lahan sawah yang terkena kekeringan pada tahun 1998 sekitar 160.000 ha, dan tahun 2006 sekitar 260.000 ha. Kejadian ini bila tidak diantisipasi dengan baik, dapat menimbulkan gejolak sosial dan ekonomi serta konflik horizontal dan politik yang berkepanjangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

(3)

Kalender Tanam Terpadu: Generasi Baru Perencanaan Tanam Menghadapi Perubahan Iklim

3 Perubahan iklim selain yang dicirikan oleh dua kejadian iklim ekstrem di atas, juga dicirikan dengan perubahan pola curah hujan, distribusi, dan intensitas. Secara klimatologis, kedua faktor inti di atas bersifat unpredictable dan paling berpengaruh terhadap waktu dan pola tanam tanaman pangan, yang pada tahap selanjutnya berpengaruh terhadap produktivitas dan produksi. Secara geografis, perubahan iklim memiliki risiko dampak yang berbeda- beda antara satu pulau dengan pulau lainnya, seperti terlihat pada Tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1. Keragaman risiko dampak perubahan iklim antar pulau

Risiko Suma- tera

Jawa- Bali

Kaliman- tan

Sula- wesi

Nusa Teng-

gara

Maluku Pa- pua

Penurunan ketersediaan air

S, T, ST

T, ST R, S T, ST T, ST R, S R

Banjir T, ST T, ST R, S, T R, S, T R R R,S

Kekeringan T, ST T, ST S, T, ST R, S R, S, ST R R

Penggenangan air laut di pesisir

S, T S, T S, T, ST S, T S, T S, T S,T

Penurunan produksi padi

T, ST T, ST R, S, T R, S, T T, ST R, S R

Keterangan: R = rendah, S = sedang, T = tinggi, dan ST = sangat tinggi (Sumber: Bappenas 2013, diolah)

Karena sifat kedua faktor perubahan iklim tersebut sangat dinamis dan berdampak tidak sama antar wilayah, maka langkah antisipasi dan penanggulangannya tidak dapat dilakukan dengan cara yang sama dan bersifat ad-hoc. Keduanya tidak boleh lagi ditunda dan harus direncanakan dengan baik, berkesinambungan, dan terukur.

Dengan demikian risiko dampak perubahan iklim dapat diminimalisir dan dilakukan sedini mungkin berdasarkan karakteristik spesifik antar wilayah.

Kerumitan di atas merupakan cerminan karakteristik sumberdaya iklim tropis wilayah Indonesia yang beragam serta kian menambah bobot tantangan antisipasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim.

Rekam jejak kejadian iklim serta dokumentasi alam seperti banjir, kekeringan, puso, gagal panen, dan lain-lain, mengajarkan kepada kita untuk menjadikannya sebagai pelajaran, untuk kemudian menyusun langkah-langkah implementasi, sambil berpikir holistic,

(4)

perubahan iklim di masa yang akan datang.

Bagi sektor pertanian, khususnya subsektor tanaman pangan sebagai subsektor yang paling terguncang oleh dinamika dan perubahan iklim, memandang tanah, iklim, air, dan tanaman masing-masing sebagai suatu subsistem yang saling berinteraksi dan harus diperhitungkan dalam satu sistem produksi dan produktivitas tanaman. Pengaturan pola tanam, dalam bentuk pengaturan waktu tanam, intensitas tanam, dan rotasi tanaman melalui pemahaman terhadap karakteristik keempat subsistem tersebut, sehingga terjamin keberhasilan sistem produksi dan produktivitas tanaman. Oleh karena itu, menggunakan pendekatan sistem atau system approach merupakan pilihan yang bijak untuk pembangunan sektor pertanian yang kompleks.

Mengapa Kalender Tanam Dibutuhkan?

Keinginan untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lahan pertanian dalam mendukung produktivitas tanaman sudah ada sejak berabad-abad yang lalu. Keinginan tersebut tercermin dari adanya kearifan lokal, seperti: pranata mangsa di Jawa, palontara di Sulawesi Selatan, bulan berladang di Kalimantan, dan warige di Nusa Tenggara dalam kaitannya dengan penetapan waku tanam yang tepat. Intuisi penciptaan kearifan lokal tersebut sesungguhnya lahir dalam merespon berbagai tanda alam dengan menyesuaikan waktu tanam dan pilihan jenis tanaman tertentu (padi dan palawija).

Seiring dengan laju pertumbuhan penduduk dan kebutuhan pangan, terjadi pula penurunan daya dukung tanah, kelangkaan air, dan peningkatan gangguan OPT. Untuk itu, dibuatlah berbagai jenis varietas tanaman pangan yang toleran terhadap cekaman lingkungan tersebut, berumur lebih pendek, efisien dalam memanfaatkan air, dan tingkat produktivitas yang lebih tinggi.

Untuk meningkatkan dan menjaga stabilitas produktivitas tanaman, dihasilkan teknologi pupuk dan pemupukan berdasarkan ketersediaan hara tanah dan kebutuhan hara tanaman. Untuk meningkatkan efisiensi waktu, kualitas hasil tanaman, dan nilai tambah, dibuat berbagai alat mesin pertanian untuk pengolahan tanah, perawatan tanaman, panen, serta pascapanen. Sedangkan

(5)

Kalender Tanam Terpadu: Generasi Baru Perencanaan Tanam Menghadapi Perubahan Iklim

5 untuk menjaga tanaman tetap tumbuh dan berkembang dalam lingkungan abiotik yang optimal, diaplikasikan teknologi prediksi curah hujan dan pengelolaan air irigasi untuk penetapan waktu dan luas tanam potensial serta sekaligus untuk penghematan penggunaan air. Teknologi inovasi prediksi curah hujan dan pengelolaan air menjadi input utama dalam penyusunan model pola tanam untuk berbagai tipe agroekosistem, baik lahan sawah irigasi, lahan sawah tadah hujan, lahan kering, pola tanam sistem surjan, pola tanam di lahan pasang surut, maupun pola tanam di sekitar daerah aliran sungai.

Kedua teknologi terakhir di atas, pada dua dasawarsa terakhir menjadi isu utama yang terus dipelajari dan diimplementasikan, terlebih lagi fenomena perubahan iklim telah menjadi keniscayaan dalam berbagai kehidupan dan sangat berdampak pada sektor pertanian. Perubahan iklim yang ditandai juga dengan kenaikan suhu udara, telah menyebabkan konsumsi dan kehilangan air menjadi lebih tinggi sekitar 11,9% untuk setiap peningkatan 1oC.

Selain itu, perubahan iklim juga menyebabkan periode kering dan basah menjadi lebih panjang dengan peluang kejadian yang lebih rapat. Prediksi intensitas dan sifat hujan yang menggambarkan kedatangan waktu musim tanam (onset) dengan tingkat akurasi yang baik, dan terinformasikan near real time kepada end user akan banyak membantu dalam perencanaan budidaya tanaman pangan di setiap musim. Onset pada musim tanam tertentu menjadi panduan dalam menyiapkan logistik dan distribusi sarana produksi pertanian. Pada tahun kering (El-Nino), onset secara umum mengalami penurunan, sedang pada tahun basah (La- Nina) onset secara umum akan datang lebih cepat.

Atlas Kalender Tanam yang telah disusun sejak tahun 2007, yang kemudian berkembang menjadi Sistem Informasi Kalender Tanam Terpadu (SI Katam Terpadu) pada tahun 2010, menjadi alat bantu (tool) bagi pengambil kebijakan di pusat dan di daerah, penyuluh, dan petani dalam perencanaan tanam. Di dalam teknologi inovasi SI Katam Terpadu telah memuat informasi teknologi, seperti prediksi iklim, prediksi waktu dan luas tanam potensial, informasi bencana, rekomendasi varietas dan kebutuhan benih, rekomendasi pupuk dan pemupukan, serta informasi alat mesin pertanian.

Keputusan menetapkan waktu dan luas tanam serta penyiapan

(6)

hujan setiap awal musim tanam. Untuk mempermudah akses informasi di atas, teknologi informatika pun digunakan untuk mengemasnya dalam bentuk SI Katam Terpadu. Uraian lengkap seluruh komponen teknologi yang ada di dalam SI Katam Terpadu disajikan dalam setiap bagian (section) dan bab (chapter) dalam buku ini.

Koneksitas Antar Bagian

Buku yang menguraikan secara khusus tentang kalender tanam tidaklah banyak. Pada tahun 1981 pernah diterbitkan satu prosiding lokakarya pola tanam. Di dalam buku tersebut tidak ada satu bab pun yang menguraikan tentang perubahan iklim dan dampaknya terhadap pergeseran waktu tanam, dinamika serangan OPT, rekomendasi varietas, pupuk, dan mekanisasi pertanian. Setelah 31 tahun kemudian, berhasil disusun Buku Kalender Tanam Terpadu generasi baru yang menguraikan secara spesifik tentang pola tanam, termasuk di dalamnya tentang kalender tanam, intensitas tanam, dan pergiliran tanaman serta seluruh aspek terkait budidaya pertanian. Selain itu, buku generasi baru ini menjelaskan dengan detail dampak perubahan iklim terhadap pola tanam, dan memberikan solusi terhadap tantangan tersebut. Hal ini dibuktikan dengan sistematika buku, yang terbagi atas lima bagian yang saling terhubung dan terintegrasi.

Bagian I menjelaskan tentang sistem usaha tani beras dari zaman ke zaman dan dukungan produksi padi terhadap ketahanan pangan nasional. Pada bagian ini dijelaskan perkembangan usaha tani beras sejak zaman kolonial hingga orde reformasi, agar menjadi pembelajaran terkait dengan pengembangan model, teknologi, dan kelembagaan yang pernah dilakukan di Indonesia, hingga tercapainya swasembada beras. Selain itu diungkapkan pula kondisi yang kontradiktif antara pencapaian swasembada beras dengan kondisi dan status sarana dan prasarana irigasi, sebagai komponen utama meningkatkan produksi. Sekaligus pada bagian ini juga diuraikan penerapan pola tanam yang disesuaikan dengan dinamika iklim yang terjadi selama lebih dari 50 tahun belakangan ini.

(7)

Kalender Tanam Terpadu: Generasi Baru Perencanaan Tanam Menghadapi Perubahan Iklim

7 Selaras dengan bagian pertama, pada Bagian II secara khusus memotret dan fokus pada isu perubahan iklim skala global dan skala regional yang kemudian mempengaruhi dinamika iklim Indonesia.

Pada Bagian III, yang menarik untuk diperhatikan adalah jawaban akan pentingnya memahami dan memanfaatkan SI Katam Terpadu sebagai panduan dalam bercocok tanam untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim. Pada bagian ini ditegaskan penetapan kalender tanam pada musim yang akan datang berdasarkan pada prediksi sifat musim sebagai akibat dari dinamika perubahan iklim.

Penyiapan basis data dalam kaitannya dengan konsep pengembangan SI Katam Terpadu juga menarik untuk dicermati, sebagai pembelajaran dalam pengembangan sistem informasi yang bermanfaat bagi pembangunan pertanian.

Bagian IV merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari bagian ketiga tentang peranan pengelolaan air irigasi sawah dengan mempertimbangkan neraca air sebagai acuan utama dalam menetapkan volume irigasi dan pola tanam. Dalam bagian ini dijelaskan dengan cermat peran pemahaman terhadap neraca air dalam pengaturan waktu dan pola tanam. Selain itu juga diuraikan kiat-kiat pengelolaan air agar tercapai pengaturan pola tanam yang potensial.

Bagian V adalah bagian yang juga menarik untuk dibaca, sebab pada bagian ini diuraikan komponen lain yang juga sangat berpengaruh terhadap produksi dan produktivitas tanaman. Pada suatu daerah yang rawan bencana pilihan varietas rekomendasi dan adaptif terhadap perubahan iklim menjadi objek yang paling menentukan. Kesalahan menentukan varietas maka pola dan waktu tanam yang sudah dipilih menjadi sia-sia. Pada bagian ini juga diuraikan pentingnya menyesuaikan kebutuhan pupuk dengan kebutuhan tanaman, serta pola penyediaan alat mesin pertanian (alsintan) dan benih. Khusus untuk penyediaan benih, pada bagian lima ini juga diuraikan peran dan fungsi Unit Pengelola Benih Sumber Tanaman (UPBS) yang dikembangkan Balitbangtan untuk merespon kurangnya ketersediaan benih bermutu, adaptif terhadap perubahan iklim, sekaligus sesuai dengan preferensi konsumen.

(8)

remaining issue yang dikaitkan dengan kebijakan maupun operasional, sehingga akan terbentuk kalender tanam yang ideal di masa yang akan datang. Pada bagian akhir tulisan buku ini, dikemukakan rencana pengembangan SI Katam Terpadu menjadi AgroMap-Info, sebagai pilar ketiga sistem informasi untuk melengkapi Sistem Informasi Manajemen serta ilmu pengetahuan dan inovasi pertanian, yang sudah dimiliki Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Kelima bagian tersebut di atas merupakan bagian yang utuh dan menjadi satu kesatuan utama buku ini. Alur yang runut, sinkron, dan sistematis diharapkan dapat memberikan pemahaman utuh terhadap kalender tanam beserta sistem informasinya. Kepada seluruh penulis dan kontributor yang telah menyumbangkan pemikiran, ide, solusi, teknologi, serta model diseminasi, saya ucapkan terima kasih dan apresiasi setinggi-tingginya.

Jakarta, Desember 2013 Kepala Badan,

Haryono

Referensi

Dokumen terkait

Cara pemupukan yang dilakukan oleh Dinas Perkebunan adalah dengan cara ditugal atau membuat pocket sebanyak 8 titik disekeliling tanaman kelapa sawit, cara ini diterapkan oleh

Penanaman  bibit  tanaman  karet  harus  tepat  waktu  untuk  menghindari  tingginya  angka  kematian  di  lapang.  Waktu  tanam yang  sesuai  adalah  pada 

Perlakuan pertama adalah perlakuan kontrol, perlakuan kedua adalah pemberian jerami padi (5 ton/ha), perlakuan ketiga adalah pupuk kandang kambing (2,5 ton/ha),

Pada awal pengukuran (bulan Januari) kondisi vegetasi penutup lahan pada plot pengukuran adalah tanaman jagung dengan masa tanam 1 bulan. Pada kondisi ini limpasan

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa pengaruh interaksi antara faktor pupuk mutiara dengan faktor pupuk kandang sapi berbeda sangat nyata sampai beda nyata

Pengkajian dilaksanakan di Desa Sebapo, Kecamatan Mestong Kabupaten Muaro Jambi, lokasi ini termasuk zona Lahan Kering Dataran Rendah Iklim Basah (LKDRIB) yang merupakan

Pemberian pupuk organik hakiki pada setiap taraf perlakuan dapat meningkatkan pertumbuhan vegetative bibit tanaman kakao seperti tinggi tanaman, diameter batang,

Pendapatan maksimal usahatani karet merupakan tujuan utama petani dalam melakukan kegiatan produksi, oleh karena itu dalam menyelenggarakan usahatani setiap petani berusaha agar