• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tajen dan Desakralisasi Pura di Desa Pakraman Subagan Kecamatan Karangasem, Bali.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tajen dan Desakralisasi Pura di Desa Pakraman Subagan Kecamatan Karangasem, Bali."

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
(12)
(13)
(14)
(15)
(16)
(17)
(18)
(19)
(20)
(21)
(22)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang

Pulau Bali merupakan salah satu pulau yang dikenal dengan beragam tradisi yang

dimilikinya. Hal tersebut menjadikan Bali memiliki daya tarik tersendiri di mata

pariwisata dunia, salah satu tradisi yang menarik untuk dikupas lebih lanjut adalah

tajen

. Namun dewasa ini marak

tajen

yang dilakukan di dalam areal pura yang dapat

mengakibatkan pura mengalami desakralisasi atau penurunan nilai-nilai sakral pada

pura tersebut. Konsep pembangunan pura sebagai tempat suci, pada umumnya di Bali

menggunakan struktur atau bentuk pembagian wilayah berlandaskan atas konsep pura

Tri mandala

, yakni terbagi atas tiga bagian halaman, yaitu

jaba sisi

(Nista mandala)

,

jaba tengah

(Madya mandala)

, dan

jeroan

(utama mandala)

. Pembagian atas tiga

halaman tersebut mempunyai dasar pemikiran filosofis agama Hindu, yaitu pura

dianggap sebagai simbol makrokosmos yang melambangkan tiga tingkatan dunia, yaitu

bhurloka,

dimana jaba pura melambangkan

bhurloka

yaitu dunia bawah tempat

kehidupan manusia.

bhuwarloka

yang menjadi lambang

jaba tengah

yaitu dunia tengah

tempat kehidupan manusia yang sudah disucikan, dan berikutnya adalah

swarloka

yang

melambangkan keadaan

utama mandala

yaitu dunia atas tempat kehidupan para dewa.

Pura merupakan tempat suci bagi agama hindu. Kata pura berasal dari Bahasa

Sansekerta yang artinga kota atau benteng yang berasal dari urat kata “Pur”.

(Sandiarsa.1985:9) menyebutkan bahwa kata pura memiliki pergeseran makna menjadi

tempat suci yang terdiri dari beberapa buah

palinggih

yang dikelilingi tembok

(23)

2

Lalu bagaimana tajen dapat menyebabkan terjadinya desakralisasi pada pura ? Ada baiknya kita mengenal apa itu tajen terlebih dahulu. Tajen merupakan sabung ayam yang disertai dengan atau bertaruh dengan menggunakan uang (Mertha,

2010:7). Biasanya sebelum pertarungan dimulai, dua pakembar (Petugas yang melepaskan ayam) terlebih dahulu memperkenalkan ayam dengan menghadapkan

kedua ayam yang akan bertarung sehingga akan tampak mana ayam yang akan

pantas diunggulkan ataupun tidak. Setelah seekor ayam dinyatakan sebagai

petarung unggulan maka pakembar yang meneriakan cok berarti memegang ayam yang menjadi unggulan yang berarti sistem taruhannya adalah tiga lawan empat

dalam artian jika ayam unggulan menang berarti ayam yang kalah akan membayar

tiga akan tetapi jika ayam unggulan kalah berarti ayam yang tidak diunggulkan akan

mendapatkan bayaran empat. Terkadang pakembar juga akan berteriak pade (seimbang) hal tersebut diartikan ayam yang akan diadukan memiliki kekuatan

yang sebanding sehingga taruhannya harus dalam jumlah yang sama. Teriakan lain

yang juga dilakukan oleh pakembar adalah gasal (sistem taruhan dengan perbandingan lima banding empat), talude (taruhan tiga berbanding dua), apit (taruhannya satu berbanding dua), kadapang (taruhannya sembilan banding sepuluh).

Di setiap tajen ada empat saye (juri) yang bertugas yakni sayekemong, ketek, garis dan lap. Saye kemong biasanya selalu didampingi gong kecil yang disebut kemong, Ia menentukan kapan memulai dan mengakhiri pertarungan, saye ketek adalah juri yang bertugas untuk memberikan hitungan kepada ayam yang sudah

(24)

3

batas maka ayam tersebut akan dinyatakan kalah, dan saye lap adalah juri yang bertugas untuk mengumpulkan uang taruhan serta membagikannya kepada babotoh yang menang.

Dalam persfektif hukum tajen adalah tindakan yang melanggar hukum yang diatur dalam Undang-Undang No 7 Tahun 1974 tentang penertiban perjudian.

Undang-Undang No 7 Tahun 1974 tentu merupakan berita buruk bagi kalangan

babotoh di Bali untuk kali pertamanya, lebih spesifik lagi di kalangan masyarakat Desa Subagan yang merupakan lokasi untuk melakukan penelitian yang dipilih oleh

peneliti karena di Desa Pakraman Subagan intensitas kegiatan tajen disana cukup tinggi, lokasi juga ditetapkan disana mengingat penulis juga tinggal disana sehingga

memudahkan dalam proses pencarian datanya. Tajen kerap dijadikan sebagai alat penggalian dana dalam rangka pembangunan pura maupun bale banjar. Hal inilah yang menyebabkan polisi di Bali kesulitan untuk menanggulangi tajen karena kuatnya kekuatan desa pakraman jika ditentang maka menciptakan permusuhan yang berujung pada bentrok, Pimpinan babotoh biasanya adalah orang yang memiliki posisi tawar yang kuat sehingga disebut dengan cukong.

Tajen dikategorikan sebagai tindak kejahatan dengan ancaman hukuman pidana. Dalam prakteknya para cukong kerap menggunakan tabuh rah sebagai topeng untuk dapat melaksanakan kegiatan tajen. Skema yang diciptakan adalah bermula dari kegiatan tabuh rah yang bersifat legal dan hanya dilakukan di areal pura. Sebuah wawancara yang dimuat dalam sebuah media elektronik, Kabid

Humas polda Bali, Kombes Pol Herry Wiyanto mengatakan pihaknya memberikan

(25)

4

Kombes Pol Herry Wiyanto juga menegaskan, hal yang salah jika ritual tabuh rah dijadikan media perjudian oleh masyarakat, kesempatan menggelar tabuh rah sebagai bagian dari objek wisata dapat diartikan sebagai komitmen pembangunan

Bali berdasarkan kebudayaan yang bersumber dari agama Hindu, Komitmen ini

memiliki implikasi yang luas, termasuk dalam upaya untuk memahami dan

menempatkan persoalan tajen dalam proses pembangunan lainnya.

Fakta yang ada di masyarakat Desa Pakraman Subagan adalah masyarakat memiliki pemikiran bahwa tajen dan tabuh rah adalah hal yang serupa. Pemikiran tersebut muncul akibat keduanya menggunakan ayam sebagai sarana/alat

pelaksanaannya. Padahal tajen dan tabuh rah adalah 2 hal yang sangat berbeda baik dari segi pelaksanaannya, aturannya, filosofi serta tujuan pelaksanaannya.

Berbeda dengan tajen, tabuh rah atau perang sata dalam masyarakat Hindu Bali mensyaratkan adanya darah ayam yang menetes sebagai simbol atau syarat

guna mensucikan umat manusia dari ketamakan, keserakahan terhadap nilai-nilai

materialistis dan duniawi (Mertha, 2010 : 13). Tabuh rah juga memiliki makna sebagai ritual Buthayadnya (pengorbanan suci kepada butha kala) yang mana darah yang menetes ke bumi disimbolkan sebagai permohonan umat manusia kepada

Sang Hyang Widhi Wasa agar terhindar dari marabahayanya. Pelaksanaan tabuh rah dilakukan ditempat upacara pada saat mengakhiri upacara tersebut. Dalam proses pelaksanaan tabuh rah selain menggunakan ayam, tabuh rah juga diiringi dengan adu tingkih, adu pangi, adu taluh, adu kelapa serta upakaranya, tabuh rah juga dilakukan maksimal “tiga sehet” dengan tidak disertai taruhan apapun.

(26)

5

sastra. Dalam Keputusan Seminar Tafsir Aspek-aspek Agama Hindu ke IX,

menyatakan bahwa tidaklah semua jenis upacara yadnya harus disertai dengan tabuh rah, melainkan hanya jenis upacara tertentu saja, seperti Panca kelud, Balik sumpah, Tawur agung, Tawur labuh gentuh, Tawur panca wali krama, dan Tawur eka dasa rudra. Tabuh rah yang semula merupakan bagian dari ritual Dewa yadnya yang bersifat sakral. Dalam pemaparan antara tajen dan tabuh rah diatas dalam pengertian sempitnya tajen memiliki sifat yang profan atau tidak sakral dan tabuh rah memiliki sifat yang sakral.

Masyarakat memiliki pikiran yang menyamakan arti serta makna antara tabuh rah dan tajen, dengan didukung fakta bahwa tabuh rah adalah sesuatu yang bersifat legal, memberikan celah kepada oknum-oknum yang ingin mengadakan tajen. Skema yang diciptakan guna mengakali fakta bahwa tajen merupakan aktivitas yang ilegal adalah dengan mengadakan tajen di areal pura itu berarti tajen yang bersifat profan jika dilakukan didalam areal pura dapat menyebabkan terjadinya

desakralisasi pada pura.

Pemisahan antara dunia yang sakral dan tidak tidak sakraldalam konsep pura

adalah menggunakan batas panyengker. ini dapat diartikan sebagai upaya mencegah sesuatu yang bersifat tidak sakral untuk memasuki areal pura, termasuk

pada upaya pemanfaatan pura pada hal-hal yang bersifat sakral guna

mempertahankan nilai sakral yang terdapat pada pura tersebut. Ketika tajen yang bersifat tidak sakral dilakukan di areal pura walaupun dengan kedok, tajen yang dilakukan disana adalah tabuh rah tentu saja hal tersebut dapat menyebabkan pura mengalami desakralisasiatau hilangnya nilai-nilai sakral dalam sebuah pura. Dari

(27)

6

ketika pura tidak lagi berkaitan dengan agama maupun tujuan keagamaan, tidak

suci lagi karena sifat keduniawian telah masuk kedalamnya. Hal tersebut berarti

mengakibatkan terjadinya pengurangan terhadap nilai-nilai sakral yang terkandung

dalam pura tersebut.

Menurut Durkheim sulit untuk membedakan mana yang murni agama dengan

mana yang merupakan hasil interpretasi agama (Nurdinah.2013:268). Hilangnya

nilai-nilai sakral pada upacara tabuh rah akibat tajen sangat sulit untuk dikemukakan, pemikiran masyarakat hanya terarah pada satu pandangan yaitu

tabuh rah dan tajen sama-sama merupakan sabung ayam, padahal dalam makna filosofinya keduanya memiliki fungsi serta cara yang berbeda dalam

pelaksanaannya. Pada konsep desakralisasi ini yang ditemukan oleh penulis adalah

dimana ketika suatu pura yang secara umum memiliki fungsi untuk menjalankan

ritual keagamaan tapi pelataran pura juga digunakan oleh masyarakat untuk

melakukan tajen, sehingga pura mengalami desakralisasi akibat tajen

Dalam proses hilangnya nilai-nilai sakral pada sebuah pura, indikator utama

yang digunakan peneliti adalah ketika tajen yang bersifat profan atau tidak sakral dilakukan di dalam areal pura. Pemanfaatan pura sebagai arena tajen tetap melibatkan desa pakraman sebagai penyungsung pura ini, sehingga diharapkan dalam penelitian ini penulis dapat mendalami apakah desakralisasi yang terjadi

dikarenakan ketidaktegasan penerapan aturan-aturan adat sehingga nantinya

penulis dapat menyimpulkan hal yang sebenarnya terjadi dan dapat memberikan

(28)

7

1.1 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka terdapat dua permasalahan

yang dijadikan fokus dalam penelitian ini. Kedua permasalahan tersebut yaitu:

1.Bagaimana proses terjadinya desakralisasi pura di Desa Pakraman Subagan ?

2.Apa dampak dan makna desakralisasi pura sebagai arena tajen bagi masyarakat Desa Pakraman Subagan ?

1.2 Tujuan Penelitian

Setiap kegiatan yang dilakukan seseorang sudah tentu mempunyai tujuan

yang hendak dicapai. Tujuan yang ditetapkan dengan jelas akan menjadi landasan

bagi peneliti. Mengingat permasalahan yang penulis angkat dalam penelitian ini

sangat luas, jadi dalam bagian ini penulis mengutarakan tujuan mengapa melakukan

penelitian dengan permasalahan ini. Adapun tujuan dari penelitian ini terdiri atas

dua bagian yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.

1.2.1 Tujuan Umum

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memahami, mendalami, dan

mendeskripsikan bagaimana pura mengalami desakralisasi akibat pemanfaatan

pura sebagai tempat tajen dalam rangka menambah ilmu pengetahuan tentang sosiologi agama.

1.2.2 Tujuan Khusus

Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk :

1. Untuk mendalami bagaimana proses terjadinya desakralisasi akibat

(29)

8

2. Untuk mendalami bagaimana tajen dengan berkedok tabuh rah dapat mengakibatkan terjadinya desakralisasi pada sebuah pura.

3. Untuk menjelaskan ke masyarakat mengenai dampak serta makna

yang ditimbulkan oleh pemanfaatan pura sebagai tempat tajen 1.3 Manfaat Penelitian

Dari suatu penelitian diharapkan dapat memberi manfaat dan kegunaan yang

optimal bagi masyarakat luas. Terkait dengan penelitian ini terdapat dua manfaat

yaitu manfaat teoritis serta manfaat praktis yang diharapkan dapat membantu

memberikan sumbangan pemikiran secara teoritis dan praktis dalam ilmu

pengetahuan. Kedua manfaat itu dapat dipaparkan sebagai berikut :

1.3.1 Manfaat Teoritis

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber referensi dan

informasi bagi peneliti lain yang ingin membahas masalah terkait sehingga

penelitian ini dapat dijadikan bahan pembanding bagi penelitian berikutnya

serta menghasilkan penelitian-penelitian lain yang lebih mendalam.

2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi pengembangan ilmu

pengetahuan Sosiologi, khususnya dibidang Sosiologi Agama karena dalam

penelitian ini akan membahas bagaimana pura mengalami desakralisasi

akibat pemanfaatan pura sebagai tempat tajen akan berpengaruh pada kesakralan nilai sebuah pura tersebut.

1.3.2 Manfaat Praktis

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam

menambah wawasan serta pemahaman masyarakat bukan hanya masyarakat

(30)

9

ini salah mentafsirkan mengenai makna sesungguhnya dari tajen dan tabuh rah

2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna dalam memecahkan

permasalahan yang terkait dan mampu memberikan informasi-informasi

penting kepada pemerintah, diharapkan dalam penelitian ini dapat

membantu menjaga kesakralan dari sebuah pura dengan mempertegas

aturan yang terkait.

3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna dalam memecahkan

permasalahan yang terkait dan mampu memberikan informasi-informasi

penting kepada lembaga terkait sehingga diharapkan dapat memberikan

(31)

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DESKRIPSI TEORI, KERANGKA

PEMIKIRAN.

2.1

TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan pustaka merupakan uraian tentang beberapa penelitian sebelumnya

mengenai permasalahan serupa dengan yang sedang dikaji dalam penelitian ini.

Penelitian memerlukan adanya tinjauan pustaka. Tinjauan pustaka digunakan sebagai

petunjuk, pembanding, serta penunjang dalam penelitian ini. Penelitian ini

menggunakan beberapa tinjauan pustaka sebagai acuan bahan sekunder. Berdasarkan

beberapa tinjauan pustaka tersebut, peneliti dapat memperoleh data, konsepsi, dan teori

yang berkaitan dengan permasalahan ini. Adapun beberapa pustaka yang digunakan

sebagai acuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

Geertz (1980) yang dimuat dalam bukunya yang berjudul “Negara The Theatre

State In Nineteenth Century Bali”

.

Geertz mengkaji dan menginterpetasikan

kebudayaan masyarakat Bali berdasarkan konsep fenomena budayanya. Pada

penelitian ini juga disinggung mengenai tradisi sabung ayam pada masyarakat Bali.

Geertz mengungkapkan bahwa melalui

tajen

diharapkan dapat mengupas karakter

masyarakat Bali. Ketertarikannya dalam meneliti

tajen

juga didasari pada anggapannya

bahwa

tajen

sebagai kegiatan yang popular di masyarakat belum diteliti secara

mendalam.

Di awal abad ke-19, sabung ayam diselenggarakan oleh raja ketika hari

pasah.

Para penguasa ini memungut pajak dari perselenggaraan sabung ayam. Hasil penelitian

(32)

11

menutupi perjudian. Tajen yang sebenarnya dilaksanakan dengan tujuan judi ditutupi dengan mengatakan bahwa tajen yang diadakan tersebut merupakan tabuh rah. Pada buku ini Geertz membagi tajen menjadi dua, yakni pertarungan yang sifatnya biasa (flaches spiel) serta pertarungan yang melibatkan harga diri, serta kehormatan (tiefesbspiel deep play). Dalam flaches spiel yang dipentingkan adalah uang, sedangkan apa yang membuat pertarungan ayam menjadi deep play adalah adanya pengaliran status hierarkis si pemilik ayam ke dalam pertarungan. Geertz

menambahkan, orang-orang Bali dapat mengaktifkan dan mewujudkan rivalitas

dan permusuhan antar pedesaan atau kerabat melalui sebuah bentuk permainan

yang menarik yaitu adu ayam. Berdasarkan beberapa pendapat dan pandangan

Geertz dapatlah diketahui bahwa sabung ayam dalam masyarakat Bali memiliki

makna, simbol, dan fungsi tersendiri dalam kehidupan bermasyarakat pada masa tersebut. Hasil penelitian Geertz juga mengungkapkan bahwa penyelenggaraan

sabung ayam awal abad ke-19 digelar pada suatu tempat yang bernama wantilan. Berdasarkan buku tersebut dapat diketahui bahwa tabuh rah seringkali disalahgunakan untuk menutupi penyelenggaraan tajen, sehingga proses tersebut berkembang hingga kini. Hasil penelitian Geertz ini penulis jadikan sebagai sumber

data dan data pembanding tradisi sabung ayam masa Bali abad ke-19, sehingga

dapat membantu dalam mengungkap beberapa fungsi dan perkembangan

permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini.

Sudina (Tanpa tahun) dalam buku yang berjudul “Tajen ilmu dan Doanya” memaparkan tentang tajen secara umum di Bali. Beberapa istilah serta doa-doa yang biasanya digunakan secara umum di Bali. Beberapa istilah serta doa-doa yang

(33)

12

ayam dibahas dalam buku ini. Buku ini juga menjelaskan perkembangan sabung

ayam yang pada mulanya bernama tabuh rah menjadi tajen. Buku ini memaparkan fungsi sabung ayam pada abad ke-20 dan perkembangannya masa sekarang ini.

Buku ini juga menjelaskan fungsi sabung ayam diawal abad ke-20 yang berfungsi

sebagai tabuh rah, kemudian mengalami pergeseran makna dan nilai menjadi tajen. Istilah-istilah terkait sabung ayam juga dijelaskan dalam buku ini, seperti

wulang, taji, sapih, dan kemong. Terkait pemaparan diatas dapat disimpulkan tentang istilah-istilah yang ada dalam tajen guna menggali lebih jauh tentang tajen. Istilah tersebut tentunya berhubungan erat dengan fungsi yang berbeda pada tajen dan tabuh rah.

Surasmi (2007) dalam buku yang berjudul “Jejak-jejak Tantrayana di Bali”.

Pada buku ini dijelaskan mengenai pemahaman terkait tantrayana. Pemahaman

tersebut disini dipaparkan mulai dari kemunculan tantrayana, perkembangan

diberbagai belahan dunia, kemunculannya di Indonesia, serta jenis-jenis pemujaan

dan karya sastra yang bersumber pada aliran ini. Pada buku ini menjelaskan

bagaimna seorang spiritual melaksanakan kebaktiannya berdasarkan pada aliran

tantrisme. Kebaktian atau cara pemujaan tantra dalam buku ini dikatakan dapat

melalui banyak cara diantaranya mabuk, bercinta sepuasnya, dan makan sepuasnya. Aliran ini juga menekankan penggunaan darah sebagai salah satu bentuk sarana pemujaan bagi spiritual yang beraliran tantrisme untuk mencapai

jalan kebatiannya. Buku ini penulis gunakan untuk membandingkan makna dan

(34)

13

Manteb (2013) dalam buku yang berjudul “Mitologi Tanaman-Binatang dan

Makhluk Halus”. Pada buku ini menyinggung masalah sabung ayam dalam bentuk tabuh rah dan tajen. Dijelaskan juga mengenai asal istilah kata ayam dan beberapa istilah yang digunakan dalam tajen. Seperti misalnya istilah sapih yang disebutkan pada salah satu prasasti, dan istilah tersebut diartikan sebagaiistilah untuk

menyebutkan hasil seri dalam tajen. Pada buku sebelumnya juga menjelaskan mengenai istilah-istilah dalamm tradisi sabung ayam, tetapi buku ini membahas

lebih banyak mengenai istilah daripada buku sebelumnya. Terkait hal tersebut

penulis menjadikan buku ini sebagai pembanding dan pelengkap dalam penelitian

ini, yang membahas permasalahan mengenai aspek fungsi dan perkembangan

tradisi sabung ayam di masa Bali kuno.

Hidayat (2011) dalam penelitian skripsinya dengan judul “Sabung ayam

Tabuh rah dan Tajen diBali”. Penelitian Hidayat ini meneliti tentang sabung ayam dalam persfektif hukum islam dan hukum positif. Pada penelitian ini Hidayat

menjelaskan pemaparan bagaimana tradisi sabung ayam masa sekarang yang

melanggar hukum. Dijelaskan juga kajian dan pandangan para ahli terkait tradisi

sabung ayam, baik ahli dari cendekiawan hukum maupun kalangan budayawan.

Hidayat juga mengkaji tentang sejarah tradisi sabung ayam berdasarkan beberapa

prasasti. Namun sudut pandang penelitian ini berbeda meskipun objek yang diteliti

sama. Penelitian Hidayat mengkaji tentang bagaimana perspektif hukum islam dan

hukum positif dalam mengkaji sabung ayam di Bali, sedangkan penelitian ini akan

mengkaji proses profanisasi pemanfaatan pura sebagai tempat tajen, selain itu perbedaan juga akan terlihat dikarenakan penelitian ini akan membahas juga

(35)

14

Herdani (2014) dalam skripsinya dengan judul “Tradisi Aci Keburan Sebagai

Legitimasi Adat terhadap Sabung Ayam di Desa pakraman Kelusa, Kecamatan Payangan, Kabupaten Gianyar” menjelaskan bahwa aci keburan merupakan suatu tradisi yang harus dilaksanakan karena ada keyakinan apabila tidak dilaksanakan

maka Desa pakraman kelusa akan terserang wabah penyakit (grubug), adapun nilai yang terkandung dalam tradisi aci keburan pada masyarakat desa pakramankelusa berbeda dengan tabuh rah karena tradisi keburan lebih menekankan pada nilai religius dan nilai sosial.

Kairavani (2013) dalam jurnal ilmiahnya dengan judul “Judi Versus Sarana

Pemasukan Bagi Desa pakraman & Masyarakat Di Kabupaten Tabanan” menyebutkan bahwa penyelenggaraan tajen yang dilakukan di lokasi yang sejatinya adalah milik dari suatu Desa pakraman digunakan alat atau sarana pemasukan bagi Desa pakraman dan masyarakat. Desa pakraman akan mendapatkan pemasukan dari sewa tempat, parkir, karcis masuk dll kemudian masyarakat akan mendapatkan

pemasukan dari berjualan serta menawarkan jasanya di sekitar areal tajen.

Winarta (2014) dengan judul “ Tabuh rah Pada Masyarakat Hindu Bali Dalam Implikasinya Pada Kehidupan Masyarakat Hindu (Studi Kasus Di Dusun Gubug

Bali, Kecamatan Lembar, Lombok Barat)”. Dalam Jurnal yang diterbitkan oleh

Fakultas Hukum Universitas Mataram, dia menjelaskan bahwa masyarakat Bali

mempunyai corak yang spesifik dan erat pertaliannya dengan hukum adat, dalam jurnal ini lebih banyak memuat bagaimana hukum adat mengatur tabuh rah dan juga bagaimana undang-undang mengatur tabuh rah yang mengarah ke perjudian.

Sabung ayam yang sering dilaksanakan di dusun Gubug merupakan suatu

(36)

15

memperoleh izin dari pemerintah atau pejabat yang berwenang. Sabung ayam yang

dilaksanakan disana diselenggarakan oleh pihak perorangan sehingga dapat dikatan

itu telah melanggar hukum. Selain itu dalam jurnal ini juga disebutkan upaya yang

telah dilakukan Kepolisian dalam menanggulangi tindak pidana perjudian sabung

ayam ada dalam dua macam yaitu upaya preventif dan upaya represif.

Berbeda dengan penelitian sebelumnya, penelitian yang dilakukan oleh

penulis akan lebih membahas bagaimana proses kenapa tabuh rah bisa menjadi tajen padahal esensi tabuh rah adalah upakara, yang mengakibatkan opini masyarakat mengarah pada opini tajen adalah profanisasi tabuh rah sehingga pemikiran tersebut dapat mengancam kesakralan dari sebuah upacara yadnya, dimana hilangnya nilai-nilai sakral pada upacara tabuh rah sama dengan mereka menodai kepercayaan mereka sendiri sehingga penting untuk menjelaskan arti atau

makna yang sesungguhnya dari pelaksanaan tabuh rah tersebut, selain itu dikarenakan aktifitas tajen di Desa Pakraman Subagan tergolong kronis dan berkelanjutan dari satu generasi ke generasi selanjutnya maka penelitian ini lebih

menarik untuk diteliti dengan melihat bagaimana pola interaksi yang tercipta antar

(37)

16

2.1KONSEP

Konsep adalah suatu istilah yang mengacu pada suatu fenomena tertentu yang

bias bersifat individual dan juga dapat bersifat kompleks. Maksud suatu konsep

adalah untuk menyederhanakan pemikiran dengan jalan memasukan sejumlah

kejadian dalam suatu nama yang umum. Agar mempermudah pemahaman dan

pembahasan dalam penelitian ini, maka diperlukan beberapa konsep atau

pengertian dasar yang terkait dengan judul penelitian ini. Adapun konsep-konsep

yang akan dikemukakan adalah sebagai berikut.

2.1.1 Pura

Tempat suci Agama Hindu di sebut dengan pura. Kata pura berasl dari Bahasa

Sansekerta yang memiliki arti kota atau benteng yang berasal dari urat kata “Pur”.

Kata “Pur” artinya kubu atau benteng. Sandiarsa (1985:9) menyebutkan bahwa kata

pura atau Puri mengalami pergeseran arti menjadi tempat suci yang terdiri dari beberapa buah pelinggih yang dikelilingi dengan tembok penyengker. Menurut

Titib (2001) pura berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya kota atau benteng,

setelah beberapa lama diubah artinya yang sekarang arti pura menjadi tempat Ida

Sang Hyang Widi Wasa. Dari pendapat diatas pura dapat diartikan sebagai tempat

suci untuk mengadakan upacara persembahyangan untuk memuja kebesaran Tuhan.

Konsep bangunan pura di Bali mengacu pada pemahaman umat Hindu Bali

terhadap alam dan ajaran agama Hindu. Konsep pembuatan arsitektur pura yang

didalamnya terdapat suatu pemahaman mengenai alam yang dikaitkan dengan

kepercayaan umat Hindu, seperti keterlibatan Dewa-dewa yang terdapat pada setiap

penjuru mata angina. Selain itu, bangunan pura juga memiliki satuan ukuran

(38)

17

mengacu pada logika manusia sebagai pengguna bangunan. Pada umumnya. Pura

secara umum di Bali di bangun berdasarkan yang disebut dengan Tri Mandala,

yakni terbagi atas tiga bagian halaman, yaitu jaba pura (Nista mandala), jaba tengah (Madya mandala), dan jeroan (utama mandala).

Dalam kaitannya dengan fungsi pura sebagai tempat atau ruang suci, hal ini

berdasarkan pada falsafah ruang dari ajaran Tat Twam Asi dalam Agama Hindu, Tat Twam Asi memiliki pengertian “itu adalah aku”. Inti dari ajaran Tat Twam Asi adalah menjaga keharmonisan dalam kehidupan terhadap segala bentuk ciptaan

tuhan, termasuk dunia ini. Ajaran Tat Twam Asi mengandung makna konsep ruang dalam keseimbangan kosmos, dalam hal ini Bhuwana agung senantiasa harus seimbang dengan Bhuwana alit. Di dalam makrokosmos, terdapat tiga struktur ruang secra vertical yang dianalogikan sebagai tiga dunia (Tri Bhuwana). Struktur ruang Tri Bhuwana atau Tri Loka ini terdiri dari; Bumi dan alam lingkungannya sebagai alam yang paling bawah disebut “Bhur Loka”, kedua adalah alam roh-roh suci yang disebut dengan “Bhuwah Loka” dan yang utama adalah alam para Dewa disebut dengan “Swah Loka”.

2.1.2 Tajen

Tajen merupakan sabung ayam yang disertai dengan judi atau bertaruh dengan menggunakan uang (Mertha, 2010:13). Istilah tajen berasal dari kata “taji” yang berarti susuk pada kaki ayam. Pengertian taji ada hubungannya dengan pengertian

(39)

18

mempertontonkan tarung ayam jago. Ayam-ayam tersebut akan dijadikan bahan

taruhan yang berupa uang.

Sebenarnya jika berpatokan pada ajaran agama Hindu tajen merupakan sesuatu yang dilarang, karena mengandung unsur judi di dalamnya. Dalam sebuah

permainan tajen ada 2 peran utama yang berperan didalamnya, pertama adalah cukong dan yang kedua adalah para babotoh.

Cukong kepada seseorang yang memiliki daya tawar yang kuat sehingga dapat mengendalikan permainan, guna menlancarkan bisnis yang mereka kerjakan.

Dalam kamus besar bahasa Indonesia cukong adalah orang yang mempunyai uang banyak dan yang menyediakan dana atau modal yang diperlukan untuk suatu usaha

atau kegiatan orang lain. Dalam permainan tajen terdapat perputaran uang yang sangat besar, sehingga pantaslah seseorang yang mengadakan tajen disebut cukong karena dia memiliki daya tawar yang kuat untuk mencari perizinan dan juga

menyediakan dana yang besar untuk permainannya.

Sedangkan babotoh merupakan istilah orang Bali kepada seseorang yang melakukan aktivitas tajen setiap harinya, babotoh di dalam bahasa Bali berasal dari dari kata memotoh yang memiliki makna momo kone tohin dimana kata tersebut jika ditermahkan kedalam bahasa Indonesia akan bermakna kita bertaruh untuk

kebiasan jelek dan sikap egois kita. Dalam kamus besar bahasa indonesia babotoh memiliki arti sebagai bajingan, penjahat dan penjudi. Pengertian babotoh terdengar sangat negatif dalam kamus besar bahasa indonesia memang tidak salah karena

(40)

19

Pertarungan dimulai dari dua pakembar (Petugas yang melepaskan ayam) terlebih dahulu memperkenalkan ayam dengan menghadapkan kedua ayam yang

akan bertarung sehingga akan tampak mana ayam yang akan pantas diunggulkan

ataupun tidak. Setelah seekor ayam dinyatakan sebagai petarung unggulan maka

pakembar yang meneriakan cok berarti memegang ayam yang menjadi unggulan yang berarti sistem taruhannya adalah tiga lawan empat dalam artian jika ayam

unggulan menang berarti ayam yang kalah akan membayar tiga akan tetapi jika

ayam unggulan kalah berarti ayam yang tidak diunggulkan akan mendapatkan

bayaran empat. Terkadang pakembar juga akan berteriak pade (sama) hal tersebut diartikan ayam yang akan diadukan memiliki kekuatan yang sebanding sehingga

taruhannya harus dalam jumlah yang sama. Teriakan lain yang juga dilakukan oleh

pakembar adalah gasal (sistem taruhan dengan perbandingan lima banding empat), telude ( taruhan tiga berbanding dua ), apit (taruhannya satu berbanding dua), kedapang (taruhannya sembilan banding sepuluh).

Di setiap tajen ada empat saye (juri) yang bertugas yakni sayekemong, ketek, garis dan lap. Saye kemong biasanya selalu didampingi gong kecil yang disebut kemong, Ia menentukan kapan memulai dan mengakhiri pertarungan, saye ketek adalah juri yang bertugas untuk memberikan hitungan kepada ayam yang sudah

(41)

20

2.1.3 Desakralisasi

Desakralisasi memiliki pengertian bahwa hilangnya nilai-nilai sakral pada

sebuah budaya maupun ritual keagamaan. Menurut Durkheim sulit untuk

membedakan mana yang murni agama dengan mana yang merupakan hasil

interpretasi agama (Nurdinah.2013:268). Hilangnya nilai-nilai sakral pada upacara

tabuh rah akibat tajen sangat sulit untuk dikemukakan, pemikiran masyarakat hanya terarah pada satu pandangan yaitu tabuh rah dan tajen sama-sama merupakan sabung ayam, padahal dalam makna filosofinya keduanya memiliki fungsi serta

cara yang berbeda dalam pelaksanaannya. Pada konsep desakralisasi ini yang

ditemukan oleh penulis adalah dimana ketika suatu pura yang secara umum

memiliki fungsi untuk menjalankan ritual keagamaan tapi pelataran pura juga

digunakan oleh masyarakat untuk melakukan tajen, sehingga pura mengalami desakralisasi akibat tajen

Pandangan tentang makna kesucian pura sebagai tempat suci yang sakral

bermakna sebagai tempat suci yang memiliki unsur-unsur kesucian serta dapat

menggetarkan kesucian Sang Hyang Atman yang bersemayam didalam jiwa setiap

individu. Kesucian pura tidak hanya perlu dijaga pada saat adanya upacara-upacara

keagamaan saja, melainkan setiap hari

Indikator yang kedua adalah ketika desa pakraman tidak menjalakan fungsinya secara utuh, desa pakraman memiliki fungsi serta kewajiban untuk melakukan tiga kerangka dasar kehidupan Agama Hindu yang terdiri dari ajaran

(42)

21

celah untuk masyarakat untuk melakukan kegiatan yang akan menghilangkan

nilai-nilai sakral pada sebuah pura.

2.1.4 Desa pakraman

Di Bali dikenal ada dua bentuk pemerintahan Desa yang masing-masing

memiliki fungsi dan struktur organisasi yang berbeda yaitu Desa dinas atau kelurahan dan Desa pakraman. Desa dinas adalah organisasi pemerintahan di Desa yang menyelenggarakan fungsi administrative, seperti mengurus kartu tanda

penduduk (KTP), kartu keluarga (KK), dan lain-lain yang menyangkut persoalan

pemerintahan. Sedangkan untuk Desa pakraman dalam Perda Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa pakraman menentukan sebagai berikut : Desa pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di provinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat

Hindu secara turun-temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan tersendiri serta berhak

mengurus rumah tangganya sendiri (Pasal 1 No urut 4).

Desa pakraman memiliki tugas untuk membuat awig-awig, mengatur krama Desa, mengatur pengelolaan harta kekayaan Desa, mengayomi krama Desa,

melakukan pembangunan bersama-sama dengan pemerintah, membina dan

mengembangkan nilai-nilai budaya Bali dalam rangka memperkaya, melestarikan,

dan mengembangkan kebudayaan nasional pada umumnya dan kebudayaan daerah

berdasarkan “paras-paros”, sagilik-sagu-luk, salunglung-sabayantaka (musyawarah-mufakat).

(43)

22

A. Menyelesaikan sengketa adat dan agama dalam llingkungan wilayahnya dengan tetap membina kerukunan dan toleransi antar

krama Desa sesuai dengan awig-awig dan adat kebiasaan setempat. B. Turut serta menentukan setiap keputusan dalam pelaksanaan

pembangunan yang ada di wilayahnya, terutama yang berkaitan

dengan tri hita karana.

C. Melakukan perbuatan hukum di dalam dan di luar Desa pakraman. 2.2DESKRIPSI TEORI

Deskripsi teori sangat diperlukan dalam sebuah penelitian, yaitu sebagai alat

analisis dan dasar pembahasan masalah. Teori berdasarkan pengertiannya,

merupakan suatu rumusan masalah yang berisikan prinsip umum terorganisir secara

sistematis yang digunakan dalam menganalisis, membuat asumsi, dan menjelaskan

suatu gejala, suatu masalah, sebagian atau keseluruhan telah terbukti kebenarannya.

Pada penelitian ini teori yang akan digunakan adalah sebagai berikut.

2.2.1TEORI SAKRAL DAN PROFAN (Durkheim)

Dalam penelitian “Tajen dan Desakralisasi Pura di Desa Pakraman Subagan, Kecamatan Karangasem, Bali”, peneliti menggunakan teori Emile Durkheim sebagai kerangka teori, dengan tujuan menjelaskan bagaimana masyarakat di Desa Pakraman Subagan seharusnya tidak melakukan aktivitas tajen di dalam lingkungan pura.

Menurut Durkheim seluruh keyakinan keagamaan manapun memperlihatkan

(44)

23

dalam kondisi normal, sedangkan hal yang bersifat profan merupakan bagian

keseharian dari hidup dan bersifat biasa saja (Kamirudin.2011:164).

Durkheim mengatakan konsentrasi utama agama terletak pada yang sakral

karena memiliki pengaruh yang luas, menentukan kesejahteraan dan kepentingan

seluruh anggota masyarakatnya, sedangkan yang profan tidak memiliki pengaruh

yang besar dan hanya merupakan refleksi keseharian dari setiap individu. Dikotomi

tentang yang sakral dan yang profan hendaknya tidak diartikan sebagai konsep

pembagian moral, artinya kita seharusnya tidak menganggap yang sakral sebagai

Kebaikan dan yang profansebagai “Keburukan”.

Menurut Durkheim, kebaikan dan keburukan sama-sama ada dalam yang

sakral dan yang profan, akan tetapi yang sakral tidak dapat berubah menjadi sesuatu yang profan, begitupun sebaliknya yang profan tidak dapat berubah menjadi yang sakral. Pada konteks kehidupan sehari-hari, terkadang sulit untuk membedakan antara sesuatu yang murni agama dan hasil pemikiran atau

interpretasi dari agama.

Sesuatu yang murni adalah agama, berasal dari tuhan, absolut dan

mengandung nilai sakralitas, sedangkan interpretasi dari agama, berarti berasal dari

manusia dalam menerjemahkan agamanya, bersifat temporal, berubah, dan tidak

sakral. Sesuatu yang sakraltidak dapat berubah menjadi sesuatu yang profan dan

yang profantidak dapat berubah menjadi sesuatu yang bersifat sakral. Namun jika dilihat melalui sudut pandang Agama Hindu, melalui konsep ruwa bineda melihat selalu adanya dua hal yang bertentangan tetapi saling memiliki pengaruh, misalkan

(45)

24

yang bersifat profan, misalkan pura yang mengandung nilai magis dan makna

spiritual dapat mengalami perubahan nilai diakibatkan ketika tajen yang merupakan suatu budaya yang bersifat profan. SehinggaTeori sakral dan profan

Durkheim dalam penelitian ini berguna untuk melihat bagaimana proses terjadinya

desakralisasipada sebuah pura. 2.3Kerangka Pemikiran

Keterangan : = Memiliki Hubungan Saling Mempengaruhi

= Tidak Memiliki Hubungan Langsung

= Memiliki Hubungan Langsung

TAJEN

TAJEN

SEBAGAI

PENYEBAB

DE

SAKRAL

ISASI

PURA

PURA

HASIL

DESA PAKRAMAN

PROSES DESAKRALISAS IPURA AKIBAT

PEMANFAATA N PURA SEBAGAI TEMPAT TAJEN

DAMPAK DAN MAKNA DESAKRALISASI

PURA AKIBAT PEMANFAATAN

(46)

25

Kerangka pemikiran tersebut menjelaskan bahwa adanya hubungan langsung

antara tajen, desa pakraman, dan pura. Ketiganya memiliki suatu rantai yang saling ketergantungan, misalkan hubungan antara tajen dan desa pakraman. Tajen memerlukan Desa pakraman sebagai pemberi ijin untuk dapat melaksanakan tajen di daerah desa pakraman bersangkutan, begitu pula dengan Desa pakraman yang terkadang memerlukan tajen untuk pembangunan balai banjar, pura, dan lain-lain. Berikutnya adalah hubungan langsung antara pura dengan desa pakraman. pura yang didirikan didalam wilayah desa, adalah menjadi tugas dan kewajiban desa pakraman untuk menjaga dan melaksanakan upacaranya.

Hubungan langsung kedua yang tercipta adalah antara tajen dengan desakralisasi, Desa pakraman dengan desakralisasi, dan tajen dengan desakralisasi. Hubungan yang tercipta adalah bagaimana tajen, desa pakraman, dan pura dapat secara langsung mempengaruhi desakralisasi atau hilangnya nilai-nilai sakral yang

terkandung dalam sebuah Pura sehingga akan memunculkan permasalahan yang

menarik untuk diteliti yaitu: dari kegiatan tajen yang dilakukan didalam lingkungan pura akan menimbulkan permasalahann bagaimana proses terjadinya desakralisasi pada pura, serta menarik untuk mengetahui apa dampak serta makna yang

Referensi

Dokumen terkait

Seperti yang dikemukan dalam pembahasan sebelumnya, bahwa sebagian besar dari kekayaan perusahaan adalah dalam bentuk persediaan (selain Aktiva tetap) sehingga penacatatan

Hal itu berarti bahwa di satu sisi ada agen yang melakukan praktik sosial dalam konteks tertentu, dan di sisi lainnya ada aturan dan sumber daya yang memediasi praktik sosial

Dan kepada Yesus Kristus, AnakNya yang tunggal, Tuhan kita, yang dikandung daripada Roh Kudus, lahir dari anakdara Maria, yang menderita di bawah pemerintahan Pontius

Setelah dilakukan pengumpulan data, pengolahan data serta analisis data maka hasil penelitian menunjukkan bahwa proses pembelajaran Pendidikan Agama Islam pada

1. Gaya mengajar guru fisika di MTs. Madani Alauddin Paopao yaitu cenderung gaya mengajar asertif ,dengan persentase 92,09% dan jumlah frekuensi 151 dari 164 responden. Hasil

Jl. Game ini dirancang dengan menggunakan Unity3D dan ditargetkan untuk platform Personal Computer. Perancangan game ini menggunakan Unity sebagai game engine, Adobe

Pondok Pesantren Bahrul Ulum untuk memperbaiki Ahlak dengan dorongan keinginan diri sendiri, orang tua, atau teman sepermaian dengan rutinitas yang dilakukan para

Analisa proksimat dilakukan pada perlakuan terbaik dari tempe kacang koro dengan parameter sensori warna, aroma, tekstur, dan kelebatan miselium yang disukai oleh panelis