• Tidak ada hasil yang ditemukan

REPRESENTASI PENCARIAN JATI DIRI DALAM NOVEL “THE LOST BOY” KARYA DAVE PELZER (studi semiologi representasi pencarian jati diri seorang anak dalam novel “the lost boy” karya dave Pelzer).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "REPRESENTASI PENCARIAN JATI DIRI DALAM NOVEL “THE LOST BOY” KARYA DAVE PELZER (studi semiologi representasi pencarian jati diri seorang anak dalam novel “the lost boy” karya dave Pelzer)."

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi sebagai persyaratan memperoleh Gelar

Sarjana pada FISIP UPN : “Veteran” Jawa Timur

Oleh :

RAISSA MATHILDA

0743010322

YAYASAN PENDIDIKAN KESEJAHTERAAN DAN PERUMAHAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”

JAWA TIMUR

(2)

lost boy” karya dave pelzer)

Disusun Oleh :

RAISSA MATHILDA

NPM. 0743010322

Telah disetujui untuk mengikuti Ujian Skripsi

Menyetujui,

PEMBIMBING

Juwito, S.Sos, M.Si

NPT. 3 6704 95 0036 1

Mengetahui

Dekan

(3)

Oleh :

RAISSA MATHILDA

NPM. 0743010322

Telah dipertahankan dihadapkan dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur Pada tanggal 27 Januari 2011

Menyetujui,

Pembimbing Utama Tim Penguji

1. Ketua

Juwito, S.Sos, M.Si Juwito, S.Sos, M.Si

NPT. 3 6704 95 0036 1 NPT. 3 6704 95 00361

2. Sekertaris

Ir. Didiek Tranggono, M.SI NIP. 19581225199001001

3.Anggota

Zainal Abidin Achmad S.Sos, M.Si, M.Ed

NPT. 373059901701 Mengetahui,

Dekan

(4)

karunia serta rahmat-Nya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul : REPRESENTASI PENCARIAN JATI DIRI DALAM NOVEL “THE LOST BOY”

(Studi Semiologi Representasi Pencarian Jati Diri Seorang Anak dalam Novel

“THE LOST BOY” Karya Dave Pelzer

Penulis menyadari bahwa di dalam penyusunan proposal skripsi banyak terdapat kekurangan-kekurangan, hal ini disebabkan sangat terbatasnya ilmu yang penulis miliki serta kekuranganya pengalaman dalam membuat proposal. Penulisan proposal skripsi ini merupakan salah satu syarat mahasiswa dalam menempuh pendidikan di Prorgram Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Pembangunan Nasional ”Jawa Timur.”

Keberhasilan dalam penyelesaian laporan praktek magang ini tidak lepas dari bantuan semua pihak, baik materiil dan sprituil. Atas segala bantuan tersebut penulis sampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Ibu Hj. Suparwati, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

2. Bapak Juwito, S.Sos, M.Si. sebagai dosen pembimbing penulis dan Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

(5)

special for my Sugito Pratama Indra terimakasih banyak telah memberi dukungan dan motivasi dalam pengerjaan proposal skripsi ini.

Dalam penyusunan proposal skripsi ini, penulis menyadari banyak kekurangan baik dari segi teknis maupun dalam segi penyusunannya. Untuk itu, penulis senantiasa bersedia dan terbuka dalam menerima saran dan kritik yang bersifat membangun. Besar harapan penulis agar laporan ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih dan semoga Tuhan senantiasa memberikan petunjuk bagi kita semua, Amin.

Surabaya, Oktober 2010

(6)

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN SKRIPSI ... ii

KATA PENGANTAR... iv

DAFTAR ISI ... vi

ABSTRAKSI ...viii

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Perumusan Masalah………. 8

1.3 Tujuan Penelitian……….. 8

1.4 Manfaat Penelitian……….…….…… 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 10

2.1 Konsep Jati Diri……… 10

2.2 Konsep Pencarian Jati Diri..………. 11

2.3 Novel Sebagai Media Komunikasi Massa……….14

2.4 Representasi………. ... 16

2.5 Konsep Anak dalam Keluarga……….. 18

2.6 Anak Dalam Novel “THE LOST BOY”………20

2.7 Semiotika Komunikasi………..……….21

2.8 Semiologi Roland Barthes……….23

(7)

3.3 Konsep Pencarian Jati Diri ………33

3.4 Subyek Penelitian... 35

3.5 Unit Analisis ... 36

3.6 Corpus…… ... 36

3.7 Teknik Pengumpulan Data... ….42

3.8 Teknik Analisis Data………. 42

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... ….45

4.1 Gambaran Objek Penelitian ... ….45

4.2 Penyajian dan Analisis Data ... ….47

4.2.1 Penyajian Data ... ….47

4.2.2 Hasil Analisis Data ... ….54

4.3 Sistem Mitos ...…87

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ...…90

5.1 Kesimpulan ...…90

5.2 Saran ... … 92

(8)

dave Pelzer)

Penelitian ini menaruh perhatian pada adanya keinginan untuk mencari jati diri seorang anak korban child abuse yang hidup tanpa kedua orang tuanya. Walaupun hanya diasuh oleh dinas sosial, berpindah-pindah dari rumah ke rumah yang mau menampungnya, dan tak pernah ada kepastian bagaimana hidupnya kedepan, namun semangat hidup untuk mencari jati dirinya tak pernah pudar. Didalam novel “The Lost Boy” ini menceritakan secara detail bagaimana kehidupan Dave Pelzer dan perjuangannya mencari jati setelah dia lepas dari keluarganya.

Pencarian jati diri adalah suatu konsep yang menjelaskan bahwa manusia mempunyai tahap-tahap perkembangan dalam hidupnya. Ada tahap dimana seseorang mulai bertanya “siapa aku” dan mulailah pencarian jati diri atau masa mencari identitas diri yang berpengaruh pada peranannya dalam masyarakat.

(9)

representation of a child's search for identity in the novel" The lost boy "by dave Pelzer)

This research is concerned with the desire to seek the identity of a child victim of child abuse who live without both parents. Although only cared for by social services, moving from house to house that would contain it, and never any certainty how her life forward, but the spirit of life to find out who he had never faded. In the novel "The Lost Boy" is told in detail how the life of Dave Pelzer and his struggle to find identity after he separated from his family.

Search for identity is a concept which explains that humans have stages of development in her life. There is a stage where one begins to ask "who am I" and the start of self or the search for identity that affect its role in society.

(10)

1.1. Latar Belakang Masalah

Manusia memiliki perbedaan karakteristik antara yang satu dengan yang lainnya, terutama dalam hal kepribadian. Kepribadian tersebut berubah dan berkembang secara berbeda dalam setiap diri manusia. Perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam hidup setiap manusia tersebut terjadi secara alamiah. Selain mengalami perkembangan secara fisik. Manusia juga mengalami perkembangan dalam kepribadiannya.

Perkembangan kepribadian manusia adalah sebuah proses yang harus dialami oleh setiap individu. Dimulai dari masa kanak-kanak, remaja, dan berlanjut sampai masa dewasa. Dalam setiap fase perkembangan tersebut, kepribadian manusia dibentuk secara berbeda.

Pada dasarnya, tahap yang paling penting diantara tahap perkembangan lainnya terjadi pada masa remaja. Pada bagian ini, manusia dituntut untuk mencapai kestabilan identitas ego yang cukup baik. Sehingga hal tersebut mendorong seseorang untuk mencari jati dirinya.

Manusia hidup tidak lepas dari berbagai macam kebutuhan, terutama kebutuhan identitas yang oleh Formm dimaknai sebagai kebutuhan untuk sadar dengan dirinya sendiri sebagai sesuatu yang terpisah (Alwisol, 2008:124)

(11)

Pencarian jati diri atau identitas ini adalah kebutuhan manusia yang harus dipenuhi oleh setiap individu. Selain kebutuhan fisik, manusia memiliki kebutuhan lain yang sesuai dengan ekstitensinya sebagai manusia. Menurut Fromm, manusia memiliki kebutuhan untuk menjadi sadar dengan dirinya sendiri dan mengetahui dirinya sendiri dan mengetahui jati dirnya. Oleh sebab itu, tak heran jika seorang remaja selalu mencari identitas dirinya baik disadari maupun tidak.

Terdapat dua faktor yamg dapat membentuk kepribadian anak, yaitu faktor internal yang berasal dari lingkungan keluarga sendiri, dan faktor eksternal yang berasal dari lingkungan luar rumah, yaitu masyarakat. Koherensi diantaranya tidak dapat dipisahkan secara absolute karena bersifat alami dimana tidak mungkin seorang anak dapat dipisahkan sama sekali dari pengaruh lingkungan sekitarnya (Hurlock, 1991:22)

Kedua faktor tersebut merupakan tugas orang tua untuk melakukan pembinaan keluarganya dan menyikapi secara hati-hati masukan-masukan dari lingkungan masyarakat agar seorang anak yang masih memerlukan pembinaan dengan baik dari kedua orang tuanya tersebut dapat secara signifikan bertingkah laku sesuai dengan garis-garis keluarga, atau dengan kata lain faktor internal didalam keluarga harus lebih domain daripada faktor eksternal yang berasal dari lingkungan masyarakat.

(12)

anak dapat dipisahkan sama sekali dari pengaruh lingkungan sekitarnya (Hurlock, 1991:22)

Kedua faktor tersebut merupakan tugas orang tua untuk melakukan pembinaan keluarganya dan menyikapi secara hati-hati masukan-masukan dari lingkungan masyarakat agar seorang anak yang masih memerlukan pembinaan dengan baik dari kedua orang tuanya tersebut dapat secara signifikan bertingkah laku sesuai dengan garis-garis keluarga, atau dengan kata lain faktor internal didalam keluarga harus lebih domain daripada faktor eksternal yang berasal dari lingkungan masyarakat.

Keluarga adalah tempat pertama kali anak belajar mengenal aturan yang berlaku di lingkungan keluarga dan masyarakat. Keluarga yang harmonis adalah keluarga dimana mereka dapat menjaga komunikasi interpersonal antara orang tua dan anak. Orang tua adalah orang yang bertanggung jawab dalam mengupayakan kesejakteraan, perlindungan, peningkatan kelangsungan hidup, dan menoptimalkan tumbuh kembang anaknya. Orang tua juga dapat mendidik anak dengan cara wajar dan seimbang agar anak dapat tumbuh dengan baik

(13)

otoritas, kemampuan bernegosiasi, menghargai kebebasan dan privasi antara anggota keluarga. Menurut Rakhmat (2002, 129), tidak benar anggapan orang bahwa semakin sering seseorang melakukan komunikasi interpersonal dengan orang lain, maka makin baik hubungan mereka. Tanpa adanya komunikasi yang baik di dalam suatu keluarga, maka pola komunikasi keluarga tidak akan terbentuk. Sedangkan jika komunikasi keluarga terjalin dengan baik, maka akan terbentuk komunikasi keluarga.

Fenomena masyarakat saat ini seringkali terjadi peristiwa ketidakmampuan orang tua dalam memperlakukan anak bagaimana seharusnya. Para orang tua merasa tidak mampu dalam mengasuh, merawat, dan mendidik. Tempat untuk mereka berteduh dan mengharapkan pelukan kasih sayang dari orang yang dicintainya hanya lah panti asuhan atau rumah yang mampu menampung mereka. Bahkan seringkali terjadi kekerasan pada anak dalam sebuah keluarga, dimana seorang anak disiksa, dibuang dan ditelantarkan begitu saja. Ada juga anak yang dijual oleh keluarga nya sendiri. Kejadian yang memprihatinkan kehidupan anak-anak ini seringkali dimuat di media massa. Ini membuktikan bahwa anak-anak seperti mereka perlu mendapatkan perhatian khusus dari masyarakat dan pemerintah.

(14)

menghibur dan memperngaruhi pembacanya. Faktor yang ingin disampaikan oleh pengarang dalam novel ini adalah faktor ideolgi, dimana ideologi adalah kumpulan ide atau gagasan melalui proses berpikir yang melahirkan aturan-aturan dalam kehidupan.

Konsep pesan dalam novel itu sendiri dapat berupa ungkapan-ungkapan dari perasaan senang, sedih, marah, dan juga dapat berupa kritikan maupun pujian akan suatu hal teks. Teks dalam novel juga kaya akan makna-makna yang tersembunyi di dalamnya, baik makna tersebut secara denotatif maupun konotatif (Widyatmoko, 2005:12).

Novel memiliki keunggulan dibanding dengan media cetak lain. Selain dapat disimpan dalam jangka waktu yang relatif lama, aktualitas novel tidak diukur dalam hitungan hari atau minggu sebagaimana halnya surat kabar atau majalah, sehingga novel dapat dibaca kapan saja. Novel menyajikan pengalaman-pengalaman yang dekat dengan kehidupan sehari-hari. Dengan membaca novel, berarti pembaca telah mendapatkan pengalaman tokoh yang diceritakan oleh penulis tanpa harus mengalaminya sendiri. Pembaca juga diberi kesempatan untuk menvisualisasikan cerita dalam novel sesuai dengan imajinasinya. Sebagai sebuah teks, sangat memungkinkan bagi novel untuk dimaknai secara berbeda oleh pembaca yang berbeda pula.

(15)

ini menceritakan tentang kisah seorang anak berumur 12 tahun yang telah lolos dari kekerasan yang dilakukan oleh ibunya selama 8 tahun. Dia diselamatkan oleh pihak sekolahnya, dibawa kabur menjauh dari rumahnya. Namun setelah itu dia hidup tidak menentu. Hidupnya menjadi tanggungan pengadilan dan diurus oleh dinas sosial yang mencarikan sebuah keluarga untuk mau mengasuhnya. Awalnya dia bahagia dan merasa betah dirumah asuhnya. Namun dengan sifat dan sikapnya yang keras dan cenderung nakal karena cara bertahan hidup saat bersama ibunya dulu, membuat dia banyak mengalami masalah dengan keluarga barunya. Sering kali dia diusir karena keluarga asuh tidak tahan dengannya. Itu membuatnya harus berpindah lagi dan membuat bingung pihak dinas sosial yang harus bisa mencarikan keluarga yang mau menampungnya.

Banyak cobaan yang dialaminya, lingkungan baru yang selalu berganti-ganti harus diterimanya. Dia tidak punya pilihan. Tetapi dia tidak pernah menyerah. Seberapa besar pun cobaan yang dialaminya, dia tetap tegar dan tetap berusaha untuk mendapatkan apa yang dicarinya, apa yang sangat diinginkannya, yaitu sebuah keluarga yang mencintai dia. Dia ingin merasakan hangatnya dicintai dan disayangi.

(16)

menganggap David sebagai anak asuh yang diusir dari rumahnya dengan kenakalan-kenakalannya, dan segala ketidakbergunaanya. Tapi mengasuh David dengan penuh cinta, menyadarkan dia bahwa ada sesuatu diluar sana, kesuksesan yang menunggunya. Bahwa selama ini David adalah seorang anak yang kuat, yang tidak pernah kalah oleh kerasnya hidup disekitarnya dan mampu untuk berjuang menuju kemenangan yang selama ini dicarinya. Dan tidak semua anak asuh yang telah mengalami apa yang dialami David dulu bisa menjadi seperti dia. Pada akhirnya jalan terbuka untuk David bisa menemukan jati dirinya yang selama ini dicarinya.

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan diatas, peneliti sengaja memilih novel “THE LOST BOY” sebagai bahan skripsi karena didalam novel ini mempresentasikan pencarian jati diri seorang anak. Konsep jati diri termasuk dalam studi semiologi karena teks yang terkandung dalam novel “THE LOST BOY” mempu mengilustrasikan tentang sebuah pencarian jati diri seorang anak yang dulu nya adalah korban kekerasan ibunya, yang mampu bertahan hidup hingga sekarang, mendapatkan apa yang selama ini dicari, yaitu jalan untuk menemukan Jati dirinya dan “sebuah keluarga”. Teks-teks didalam novel inilah yang termasuk didalam studi semiologi. Istilah semiologi berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain (Sobur, 2006:95).

(17)

signified = pertanda) ERC. Sistem tanda primer semacam ini dapat menjadi unsur sistem tanda yang lebih komperhensif (Noth, 2006:315).

Peneliti tertarik mengangkat ide tentang pencarian jati diri seorang anak karena Dave telah membuktikan bahwa tidak ada yang tidak mungkin didunia ini. Tekadnya yang bulat dan keteguhan hatinya yang sangat kuat mampu menjadikan dia seperti apa yang diinginkannya. Dave mengajarkan jika kita memiliki keinginan meraih sesuatu, maka kita harus meraihnya dengan sekuat tenaga. Tidak perduli seburuk apa masa lalu dan banyak belajar dari kerasnya hidup dan lingkungan sekitarnya. Semangat hidup seorang Dave Pelzer membuat peneliti tertarik untuk mengkaji lebih lanjut tentang pencarian Jati diri seorang anak yang hidup tanpa keluarganya. Novel “THE LOST BOY” adalah bukti bahwa ia dapat bertahan hidup dan mencari jati dirinya dalam keterasingan sehingga sekarang menjadi seorang penulis novel.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana representasi pencarian jati diri dalam novel “THE LOST BOY” ?

1.3 Tujuan Penelitian

(18)

1.4 Manfaat Penelitian

Ada 2 manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini yaitu : 1. Manfaat Teoritis

Untuk memberikan konstribusi terhadap kajian ilmu komunikasi yang menggunakan pendekatan semiotik.

2. Manfaat Praktis

(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Jati Diri

Jati diri adalah suatu aspek kepribadian berupa penglihatan seseorang terhadap identitas dan ciri-ciri dirinya. Cara melihat diri sendiri ini merupakan hasil proses sosialisasi yang diterima sejak lahir. Tiap individu menerima perlakuan dari individu lain di berbagai lingkungan hidupnya, mulai dari lingkungan keluarga, lingkungan kawan sepermainan, lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat kecil, hingga lingkungan masyarakat luas (Soehardi, 1996:38).

Mnurut Salleh Lebar, jati diri juga berarti pengertian atau kepahaman seseorang pada dirinya sebagai individu asing yang memiliki ciri-ciri unik atau istimewa (Shaffer. 1985). Dan bisa juga berarti pengertian, andaian, dan perasaan individu pada dirinya (Azizi, 2005:59).

(20)

Cara orang lain berperilaku atau bertindak terhadap individu merupakan sumber pedoman yang terus berkembang untuk individu yang bersangkutan dalam melihat dirinya. Pedoman ini makin lama makin teroganisir dengan semakin tersosialisasinya seseorang. Pada masa kanak-kanak, seseorang belum mempunyai pedoman cukup teroganisasi untuk melihat identitas dan ciri-ciri dirinya. Jati diri seseorang berkembang melalui proses interaksi dengan orang lain. Melalui proses interaksi ini ia akan mengetahui tempat dalam kelompok dan masyarakat.

Jati diri terkait dengan status dan peranan yang dimiliki seseorang dan kelompok dan masyarakatnya. Dalam hal ini, terjadi internalisasi dan pendefinisian kembali secara terus-menerus. Perubahan status dan peranan yang dimiliki seseorang akan berpengaruh terhadap cara orang itu melihat identitas ciri-cirinya.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas akan konsep jati diri menurut penulis adalah pemahaman seseorang tentang identitas dan ciri-ciri dirinya. Beberapa aspek yang mempengaruhi, yaitu aspek religi, aspek adat istiadat, aspek bahasa, dan aspek kepribadian berupa penglihatan seseorang terhadap identitas dan ciri-ciri dirinya. Yang berguna melestarikan dan memelihara kebudayaan selaras dengan jati diri masyarakat yang menjadi pendukung suatu kebudayaan. Hal ini juga bermanfaat untuk mengungkap nilai-nilai yang sudah terlupakan oleh masyarakat Indonesia.

2.2 Konsep Pencarian Jati Diri

(21)

proses, cara, atau perbuatan mencari, dan juga bisa berarti pekerjaan yang menjadi pokok penghidupan. Dan arti kata mencari dalam KBBI berarti berusaha mendapatkan (memperoleh, menemukan), dan memilih.

Pencarian jati diri berhubungan dengan tahap perkembangan anak khususnya tahap pencarian identitas dalam Ilmu Psikologi. Dalam teori Psikososial Erikson

(Sharani, 2004:35) perkembangan manusia lebih menjurus kepada perkembangan

identitas yang berlaku secara berterusan sehingga ke akhir hayat. Setiap tahap perkembangan mempunyai krisis, jika bisa menangani krisis tersebut maka orang tersebut bisa membentuk identitas dan personalitas yang baik. Sedangkan jika gagal maka akan berhadapan dengan konflik identitas.

Tahap-tahap perkembangan manusia oleh Erik Erikson biasa disebut dengan Erikson’s Eight Life-span stages (1968). Ada delapan tahapan perkembangan yang diungkapkan oleh Erikson. Menurut Erikson pada usia 1 hingga 30 tahun penghayatan seseorang akan dirinya sangat ditentukan oleh perlakuan-perlakuan yang diterima oleh lingkungan sekitarnya. Faktor akan kebingungan jati diri akibat pemberian identitas secara paksa oleh orang tua, atau kurang terkuatkan sisi industri seperti menjadi kurang produktif dalam pekerjaannya, dan adanya rasa bersalah serta malu terhadap diri sendiri merupakan ancama bagi seseorang dalam menjalin relasi yang intim.

(22)

aktivitas. Usia 12-18 tahun merupakan konflik identitas diri dengan kebingungan peran. Seseorang mulai mampu membentuk individu yang nyaman dan yakin pada keupayaan diri mengatasi perasaan yang berhubungan pada identitas diri. Pada umur ini anak memperoleh kesadaran pada diri mereka sebagai individu. Ini adalah tahap dimana seorang individu bertanya “siapa aku”, dan untuk menjawabnya seseorang perlu mengintegrasikan penyelesaian pada semua konflik sebelumnya, mengembangkan naluri asas kepercayaan, berdikari, kecakapan, dan rasa dapat mengawal diri. Individu yang berhasil menangani konflik sebelumnya sudah siap menghadapi krisis identitas (Azizi dan Jaafar, 2005:32).

Menurut Hurlock (1992) usia tersebut adalah masa mencari identitas diri yang dicari remaja berupa usaha untuk menjelaskan siapa dirinya dan apa peranannya dalam masyarakat. Juga dimana seseorang mengalami kebingungan atau kesulitan didalam usaha meninggalkan kebiasaan pada usia sebelumnya. Sedangkan menurut Havighurts (Gunarsa, 1986) tugas perkembangan anak usia 6-12 tahun adalah menggunakan kemampuan fisiknya, belajar sosial, bergaul, dan termasuk memperoleh kebebasan pribadi. Individu ingin selalu menunjukan identitas diri. Ketika sudah dapat memantapkan identitas dirinya, individu mulai memantapkan tujuan hidupnya dan lebih mandiri.

(23)

ditentukan oleh pembawaannya, sedangkan pengalaman dan pendidikan tidak berpengaruh apa-apa.

Ada juga faktor lingkungan yang mempengaruhi. Menurut John Locke, faktor pembawaan tidak ada pengaruhnya. Saat dilahirkan, anak masih suci bersih. Sehingga karena faktor lingkungan seorang anak tersebut bisa berkembang dan mulai mencari jati dirinya. Faktor lain yang mempengaruhi pencarian jati diri adalah pendidikan seseorang tersebut, peran orang tua dan orang-orang terdekat, faktor pengetahuan, dan terutama faktor yang paling terpenting adalah dari sudut pandang si individu itu sendiri atau keinginan dan niatnya.

2.3 Novel Sebagai Media Komunikasi Massa

Novel merupakan salah satu jenis buku dalam bentuk sastra. Sama seperti media cetak lainnya, novel juga memberikan informasi pada pembacanya. Selain itu novel juga berfungsi menghibur dan mempersuasi pembacanya (keraf, 1993:187-188).

(24)

kehidupan seseorang dengan orang-orang sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap perilaku.

Menurut De Flour dan Dennis Mc Quail dalam Ganarsih (2006: 33), secara garis besar media komunikasi massa dapat digolongkan ke dalam tiga hal, yaitu media cetak atau print (buku, majalah, surat kabar, dan film, khususnya film komersial) serta media broadcasting yaitu radio dan televisi Media cetak sebagai salah satu bentuk media komunikasi umumnya memiliki fungsi sebagai pemberi informasi, artikel majalah lebih bersifat mempengaruhi, dan novel yang mempunyai fungsi utama untuk menghibur. Selain itu novel juga memberi informasi dan memprsuasi pembacanya.

(25)

Novel memiliki keunggulan dibanding media cetak lain. Selain dapat disimpan dalam jangka waktu yang relatif lama, aktualitas novel tidak diukur dalam hitungan hari atau minggu sebagaimana halnya surat kabar atau majalah, sehingga novel dapat dibaca kapan saja. Novel menyajikan pengalaman-pengalaman yang dekat dengan kehidupan sehari-hari. Dengan membaca novel, berarti pembaca telah mendapatkan pengalaman tokoh yang diciptakan oleh penulis tanpa harus mengalaminya sendiri. Pembaca juga diberi kesempatan untuk memvisualisasikan cerita dalam sesuai dengan imajinasinya. Sebagai sebuah teks, sangat memungkinkan bagi novel untuk dimaknai secara berbeda oleh pembaca yang berbeda pula.

2.4 Representasi

Representasi berasal dari kata represent yang bermakna stand for artinya “berarti atau juga “act as delegate for” yang berarti bertindak sebagai perlambang atas sesuatu (Kerbs, 2001:456). Dalam buku Hipersemiotika menyatakan bahwa representasi merupakan tindakan yang menghadirkan sesuatu lewat sesuatu yang lain diluar dirinya, biasanya berupa tanda atau symbol. (Piliang, 2006:24). Representasi adalah proses dan hasil yang memberi makna khusus pada tanda. Selain itu, representasi ini merujuk pada proses yang dengannya realitas disampaikan dalam komunikasi, via kata-kata, bunyi, atau kombinasinya (Fiske, 1990:282).

(26)

kebudayaan yang sama jika manusia-manusia yang ada membagi pengalaman yang sama, membagi kode-kode kebudayaan yang sama, berbicara dalam bahasanya yang sama dan saling berbagi konsep-konsep yang sama.

Bahasa adalah medium yang menjadi perantara kita dalam memahami sesuatu, memproduksi dan mengubah makna. Bahasa mampu melakukan semua ini karena ia beroperasi sebagai sistem representasi lewat bahasa (simbol-simbol dalam tanda tertulis, lisan atau gambar) kita mengungkapkan pikiran, konsep dan ide-ide tentang sesuatu, makna sesuatu hal sangat tergantung dari cara kita merepresentasikannya. Dengan mengamati kata-kata dan image yang kita gunakan dalam mempresentasikan sesuatu atau bisa terlihat jelas nilai-nilai yang kita berikan pada sesuatu tersebut.

Untuk menjelaskan bagaimana representasi makna lewat bahasa bekerja kita bisa menggunakan tiga pendekatan. Pertama adalah pendekatan reflektif. Disini bahasa berfungsi sebagai cermin yang merefleksikan makna yang sebenarnya dari segala sesuatu yang ada didunia. Kedua, pendekatan intensional dimana kita menggunakan bahasa untuk mengkomunikasikan sesuatu sesuai dengan cara pandang kita terhadap sesuatu. Sedangkan yang ketiga adalah pendekatan konstruksionis, pendekatan ini kita percaya bahwa kita mengkonstruksikan makna lewat bahasa yang kita pakai.

(27)

berperan penting pada proses konstruksi makna. Konsep abstrak yang ada dalam kepala kita harus diterjemahkan dalam bahasa yang lazim, supaya kita dapat menghubungkan konsep dan ide-ide kita tentang sesuatu dengan tanda dan simbol-simbol tertentu.

Proses pertama memungkinkan untuk memaknai dini dengan mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara sesuatu dengan sistem peta konseptual kita. Dalam proses kedua kita mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara peta konseptual dengan bahasa atau simbol, yang berfungsi di dalam bahasa atau simbol adalah jantung dari produksi makna lewat bahasa. Proses yang menghubungkan ketiga elemen ini secara bersama-sama itulah yang dinamakan representasi. (Juliastuti, 2000 http://kunci.or.id)

Konsep representasi pada penelitian ini merujuk pada pergantian tentang bagaimana seseorang, sebuah kelompok atau sebuah gagasan ditujukan dalam media massa.

2.5 Konsep Anak dalam Keluarga

(28)

bahwa anak merupakan makhluk yang membutuhkan pemeliharaan, kasih sayang, dan tempat bagi perkembangannya. Selain itu anak merupakan bagian dari keluarga, dan keluarga memberi kesempatan bagi anak untuk belajar tingkah laku yang penting untuk perkembangan yang cukup baik dalam kehidupan bersama.

Keluarga adalah lingkungan pertama dalam kehidupan anak tempat dimana anak belajar dan menyatakan diri sebagai makhluk sosial. Keluarga memberikan dasar pembentukan tingkat laku, watak, moral, dan pendidikan kepada anak. Pendidikan dalam keluarga sangat menentukan sikap seseorang karena orang tua menjadi basis nilai bagi anak. Pola asuh, peran dan tanggung jawab yang dijalankan oleh orang tua dalam menerapkan disiplin pada anak bukan merupakan pekerjaan yang mudah. Sikap, perilaku, dan kebiasaan orang tua selalu dilihat, dinilai, dan ditiru oleh anaknya yang kemudian semua itu secara sadar atau tak sadar diresapinya dan kemudian menjadi kebiasaan pula bagi anak. Hal demikian disebabkan karena anak mengidentifikasi diri pada orang tuanya sebelum mengadakan identifikasi dengan orang lain. Keluarga adalah tempat pertama kali anak belajar mengenal aturan yang berlaku dilingkungan keluarga dan masyarakat.

Menurut John Locke (Gunarsa, 1986) anak adalah pribadi yang masih bersih dan peka terhadap rangsangan yang berasal dari lingkungan. Agustinus (Suryabrata,

1987) mengatakan bahwa anak tidaklah sama dengan orang dewasa. Anak

(29)

yang bersifat memaksa. Sedangkan Kasiram (1994) mengatakan anak adalah makhluk yang sedang dalam tarif perkembangan yang mempunyai perasaan, pikiran, kehendak sendiri, yang kesemuanya itu merupakan totalitas psikis.

Berdasarkan uraian diatas, penulis menyimpulkan bahwa anak merupakan mahkluk sosial, yang melalui pergaulan atau hubungan sosial baik dengan orang tua, orang dewasa lainnya, maupun teman bermainnya mulai mengembangkan bentuk tingkah laku sosial, membutuhkan pemeliharaan, kasih sayang dan tempat bagi perkembangannya. Anak juga mempunyai pikiran, perasaan, dan kehendak sendiri.

2.6 Anak dalam novel “THE LOST BOY”

(30)

orang sekitarnya. Dia benar-benar ingin merasakan bagaimana disayang oleh orang lain. Namun dia seorang anak yang mempunyai tekad yang bulat yang tidak mau kalah oleh kerasnya cobaan hidup, dia tetap memegang teguh bahwa suatu saat dia pasti berhasil mendapatkan dan menjadi apa yang dia inginkan. Dia tetap mencintai keluarganya, tetap menjadikan sang ayah sebagai sosok pahlawan di hidupnya. Dia berusaha dengan sekuat tenaga untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Akhirnya dia mendapatkan keluarga yang selama ini diimpikan dan dicarinya, keluarga normal yang sangat mencintai dia dengan sepenuh hati juga mendukungnya untuk meraih apa yang dia cita-citakan dari kecil. Yang mampu melihatnya dari sisi lain, bukan hanya seorang anak yang nakal dan kurang kasih sayang, namun mempunyai bakat yang besar. Hingga sekarang jalannya untuk menemukan jati dirinya semakin terbuka lebar. Dia mempunyai keluarga, dan dia sukses menjadi apa yang dia inginkan. Meninggalkan segala masa lalu nya yang penuh pertanyaan dan memulai hidup baru.

2.7 Semiotika Komunikasi

(31)

sinyal yang bisa diakses dan bisa diterima oleh seluruh indra yang kita miliki, ketika tanda tersebut membentuk sistem kode yang secara sistematis menyampaikan informasi atau pesan secara tertulis di setiap kegiatan dan perilaku manusia). (Sobur, 2004:30)

Dalam kajian ini, huruf dan kalimat jika diterapkan pada tanda-tanda bahasa tidak memiliki arti pada dirinya sendiri. Tanda-tanda itu hanya memiliki arti

(significant) dalam kaitannya dengan pembacanya. Pembaca itulah yang

menghubungkan tanda denga apa yang ditandakan (signife) sesuai dengan konvensi dalam sistem bahasa yang bersangkutan (Sobur, 2004:17). Sehubungan dengan pandangan tersebut, maka perlu diberikan catatan bahwa bahasa yang digunakan didunia ini ada yang diciptakan sendiri, yaitu bahasa yang tidak berkembang dengan sendirinya, seperti tanda lalu lintas dan sistem kaidah yang berlaku dalam logika. Terdapat juga sistem tanda sekunder yang berfungsi didalam rangka sebuah sistem primer, seperti dalam bahasa alam. Singkatnya bahasa itu tidak hanya biasa kita jumpai secara umum, tetapi juga terdapat bahasa-bahasa diluar itu. Pandangan bahasa seperti inilah yang ada dalam semiotika.

Pada dasarnya semiotika dapat dipandang sebagai suatu proses tanda yang dapat diberikan dalam istilah semiotika sebagai suatu hubungan antara lima istilah, yaitu :

(32)

S adalah untuk semiotic relation (hubungan semiotik); s untuk sign (tanda); i untuk interpreter (penafsir), e untuk effect (pengaruh). Misalnya suatu disposisi pada i akan bereaksi dengan cara tertentu terhadap r pada kondisi-kondisi tertentu c karena s.r untuk reference (rujukan); dan c untuk context (konteks) atau condition (kondisi) (Sobur, 2004:17)

Awal mulanya konsep semiotika diperkenalkan oleh Ferdinand de Saussure melalui dikotomi sistem tanda signified dan signifier atau signified dan significant yang bersifat atomistis. Kajian semiotika sampai sekarang telah membedakan dua jenis semiotika, yakni semiotika komunikasi dan semiotika signifikasi. Yang pertama menekankan pada teori tentang produksi tanda yang salah satu diantaranya mengasumsikan adanya enak faktor dalam komunikasi, yaitu pengirin (komunikator), penerima kode (sistem tanda), pesan, saluran komunikasi dan acuan (hal yang dibicarakan). Yang kedua memberikan tekanan pada teori tanda dan pemahamannya dalam suatu konteks tertentu, lebih mengutamakan segi pemahaman suatu tanda sehingga proses kognisinya pada penerima tanda lebih diperhatikan daripada proses komunikasinya (Sobur, 2004:15).

2.8 Semiologi Roland Barthes

(33)

memainkan peranan sentral dalam strukturalisme tahun 1960 sampai 1970an (Sobur,2001:63).

Barthes mengatakan suatu karya atau teks merupakan sebuah bentuk konstruksi belaka. Maka seseorang harus melakukan rekonstruksi dari bahan-bahan yang tersedia, yang tidak lain adalah teks itu sendiri apabila ingin menemukan makna didalamnya. Yang dilakukan Barthes dalam proyek rekonstruksi, paling awal adalah teks atau wacana naratif yang terdiri atas penanda-penanda tersebut dipilah-pilah terlebih dahulu menjadi serangkaian fragmen ringkas dan beruntun yang disebut dengan leksia, yaitu satuan bacaan dengan panjang pendek bervariasi. Sebuah leksia dapat berupa satu strip dua kata, kelompok kata, beberapa kalimat atau beberapa paragraph (kurniawan, 2001:93).

(34)

serta aneka peristiwa yang dapat memformulasikan persoalan tersebut, atau bahkan yang menyusun semacam teka-teki (enigma) dan sekedar memberi isyarat bagi penyelesaiannya. Kode ini merupakan sebuah kode “penceritaan”, yang dengannya sebuah narasi dapat mempertajampermasalahan, menciptakan ketegangan dan misteri, sebelum memberikan pemecahan atau jawaban (Budiman, 2003:55).

Kode Semik atau kode konotatif menawarkan banyak sisi. Dalam proses pembacaan, pembaca menyusun tema suatu teks. Ia melihat bahwa konotasi atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokkan dengan konotasi, kita menemukan suatu tema didalam cerita. Jika sejumlah konotasi melekat pada suatu nama tertentu, kita dapat mengenali suatu tokoh dengan atribut tertentu. Perlu dicatat bahwa Barthes menganggap denotasi sebagai konotasi yang paling kuat dan paling “akhir” ( Sobur,

2006:65-66). Kode ini memanfaatkan isyarat, petunjuk atau “kiasan makna” yang

ditimbulkan oleh penanda-penanda tertentu (Budiman, 2003:56).

Kode Simbolik merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas bersifat struktural, atau tepatnya menurut konsep Barthes, pasca struktural. Hal ini didasarkan pada gagasan bahwa makna berasal dari beberapa oposisi biner atau pembedaan baik dalam taraf bunyi menjadi fenomena dalam proses produksi wicara, maupun taraf oposisi psikoseksual yang melalui proses. Dalam suatu teks verbal, perlawanan yang bersifat simbolik seperti ini dapat dikodekan melalui istilah-istilah retoris seperti antitesis, yang merupakan hal yang istimewa dalam sistem symbol Barthes ( Sobur,

(35)

kemunculannya yang berulang-ulang secara teratur melalui berbagai macam cara dan saran tekstual (Budiman, 2003:56).

Kode Proaretik atau kode tindakan mengimplikasi suatu logika perilaku manusia seperti tindakan-tindakan yang membuahkan dampak-dampak dimana masing-masing dampak, memiliki nama generic tersendiri, semacam “judul” bagi sekuans yang bersangkutan (Budiman, 2003:56). Kode ini didasarkan atas konsep proairesis yakni kemampuan untuk menentukan hasil atau akibat dari suatu tindakan secara rasional, yang mengimplikasikan suatu logika perilaku manusia. Kode ini dianggap Barthes sebagai perlengkapan utama sebagai teks yang dibaca orang; artinya, antara lain, semua teks yang bersifat naratif. Secara teoritis Barthes melihat semua lakuan dapat di kodifikasi. Pada praktiknya, ia menerapkan beberapa prinsip seleksi (Sobur, 2006:66).

(36)

Barthes secara panjang lebar sering mengulas tentang sistem pemaknaan tataran kedua, yang di bangun di atas sitem lain yang telah ada sebelumnya. Sastra merupakan contoh paling jelas sistem pemaknaan tataran kedua yang di bangun di atas bahasa sebagai sistem yang pertama. Sistem kedua ini oleh Barthes di sebut dengan konotatif, yang di dalam mythologies-nya secara tegas ia bedakan dari denotative atau sistem pemaknaan tataran pertama. Melanjutkan studi Hjeelmslev, Barthes menciptakan peta tentang bagaimana tanda bekerja (cobley dan Jansz dalam Sobur, 2004:69).

Peta Tanda Rolland Barthes (Sobur, 2004:69)

Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotative (3) terdiri dari penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotative adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur material : hanya jika anda mengenal tanda ‘singa’, barulah konotasi seperti harga diri, kegarangan, dan keberanian menjadi mungkin (Sobur, 2004:69).

(37)

Pada dasarnya ada perbedaan antara denotasi dan konotasi dalam pengertian secara umum serta denotasi dan konotasi yang di mengerti oleh Barthes. Dalam pengertian umum, denotasi biasanya di mengerti sebagai makna harfiah, makna yang “sesungguhnya”, bahkan kadang kala juga di rancukan dengan referensi atau acuan. Proses signifikasi yang secara tradisional di sebut sebagai denotasi ini biasanya mengacu kepada penggunaan bahasa dengan arti yang sesuai dengan apa yang terucap. Akan tetapi, di dalam semiologi Rolland Barthes dan pengikutnya, denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara konotasi merupakan tingkat kedua. Dalam hal ini denotasi justru lebih di asosiasikan dengan ketertutupan makna dan dengan demikian sensor atau represi politis. Sebagai reaksi yang paling ekstrim melawan keharfiahan denotasi yang bersifat opresif ini. Barthes mencoba menyingkirkan dan menolaknya. Baginya yang ada hanyalah konotasi semata-mata. Penolakan ini mungkin terasa berlebihan, namun ia tetap berguna sebagai sebuah koreksi atau kepercayaan bahwa makna “harfiah” merupakan sesuatu yang bersifat alamiah (Budiman, 1999:22).

Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideology, yang di sebutnya sebagai “mitos” dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu

(Budiman, 2001:28). Di dalam mitos terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda

(38)

sistem pemaknaan tataran ke-2. Di dalam mitos pola sebuah petanda dapat memiliki beberapa penanda.

Dalam kritik kebudayaan dan sastranya, Barthes menggunakan konsep semiotik konotatif untuk mengungkapkan makna yang tersembunyi dalam teks. Dalam mythologies-nya (1957:131), dia mendefinisikan sistem-sistem makna sekunder semacam ini sebagai mitos, kemudian Barthes mendeskripsikan bidang konotasi ini sebagai ideology. Media masa menciptakan mitologi-mitologi atau ideologi-ideologi sebagai sistem-sistem konotatif sekunder dengan berupaya memberikan landasan kepada pesan-pesan mereka dengan alam, yang dianggap denotative primer. Pada tataran denotative, mereka mengekspresikan makna “alami” primer. Pada tataran konotatif, media massa mengungkapkan makna ideologis sekunder.

Gagasan lapisan denotasi primer yang secara ideologis tidak berdosa ini kemudian ditinggalkan. Dalam s/z, Barthes mendefinisikan denotasi kembali sebagai hasil akhir proses konotatif, efek penutupan semiotik (Noth, 2006:316).

(39)

2.9 Kerangka Berpikir

Novel tidak mengembangkan secara penuh, biasanya berupa aspek personalitas tunggal yang direngkuh melalui kemasan konflik dalam episode yang juga tunggal. Sebuah batasan yang relative memadai untuk di apresiasi.

Novel yang baik di baca untuk penyempurnaan diri. Novel yang baik adalah novel yang isinya dapat menginspirasikan para pembacanya. Sebaliknya novel ibura hanya di baca untuk kepentingan santai belaka. Yang penting memberikan keasyikan pada pembacanya untuk menyelesaikannya.

Banyak novel yang menceritakan tentang kisah seputar anak. Tetapi novel “THE LOST BOY” memiliki perbedaan yang khas bila dibandingkan dengan novel lain.

(40)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Definisi Operasional

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan menggunakan pendekatan semiologi Roland Barthes. Barthes adalah salah satu tokoh semiotik komunikasi yang menganut aliran semiotik komunikasi strukturalisme Ferdinand De Saussure. Semiotika strukturalis Saussure lebih menekankan pada linguistik.

Menurut Kirk dan Miller, penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial secara fundamental bergantung pada pengamatan terhadap manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya (Meleong, 2002:3)

Dasar teoritis penelitian kualitatif biasanya berorientasi pada orientasi teoritis dan teori di batasi pada pengertian suatu pernyataan sistematis yang berkaitan dengan seperangkat prosisi yang berasal dari data dan di uji lagi secara empiris (Moeleong, 2002:8).

Menurut Rakhmat (2004:24) penelitian semiotik di tujukan untuk beberapa hal diantaranya adalah:

(41)

2. Membuat perbandingan atau evaluasi.

3. Mengumpulkan informasi actual secara rinci yang melukiskan gejala yang ada.

4. Menentukan apa yang di lakukan orang lain dalam menghadapi maslah yang sama dan belajar dari pengalaman mereka untuk menetapkan rencana dan keputusan pada waktu yang akan datang.

Barthes bersama Levi-Strauss adalah tokoh awal yang mencetuskan paham structural dan yang meneliti sistem tanda dalam budaya (Putranto, 2005:117). Sastra adalah salah satu bentuk budaya yang ada dalam masyarakat yang dapat diteliti.

Selain itu Barthes juga berpendapat bahwa bahasa adalah sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu (Sobur, 2004:63). Bahsa merupakan suatu sistem tanda yang memuat penanda. Sistem kedua terbangun dengan menjadikan penanda dan petanda tingkat pertama sebagai petanda baru yang kemudian memiliki penanda baru sendiri dalam suatu sistem tanda baru pada taraf yang lebih tinggi. Sistem tanda pertama kadang disebutnya dengan istilah denotasi atau sistem retoris atau mitologi (Kurniawan, 2001:115)

(42)

untuk mencari tahu siapa dia sebenarnya, apa tujuan hidupnya dan bagaimana dia mencapainya.

3.2 Konsep Jati Diri

Jati diri diartikan sebagai suatu aspek kepribadian berupa pemahaman seseorang terhadap identitas dan ciri-ciri dirinya. Apakah yang sudah dan belum ditemukan oleh seseorang dalam hidupnya. Secara jangka panjang, jati diri seseorang berkaitan dengan apa yang selama ini seseorang cari dalam hidupnya, untuk apa sebenarnya dia hidup, dan mengapa dia bisa hidup seperti sekarang.

Kebanyakan seseorang yang mempertanyakan jati diri nya adalah orang yang berpikiran jauh kedepan, yang memikirkan masa depannya, sehingga dia tahu bagaimana harus bersikap dan bertindak untuk mendapatkan jati dirinya nanti. Karena jati diri lah yang membuat orang bagaimana menghargai dirinya sendiri dan orang lain. Jati diri berkaitan dengan status dan peranan yang dimiliki seseorang dengan kelompok dan masyarakat, ini berpengaruh dengan bagaimana seseorang tersebut dalam pergaulannya. Perubahan status dan peranan yang dimiliki seseorang tentu akan berpengaruh terhadap cara seseorang tersebut melihat identitasnya.

3.3 Konsep Pencarian Jati Diri

(43)

Pencarian jati diri berkaitan dengan apa yang menjadi kebutuhan seseorang atau apa yang menjadi keinginan seseorang. Pencarian jati diri adalah sebuah proses yang tidak bisa diperkirakan jangka waktunya, apakah lama atau cepat untuk mendapatkan sesuatu yang dicari itu. Bahkan ada yang memakan waktu hingga seumur hidupnya. Proses pencarian jati diri sangat berhubungan dengan beberapa faktor, yaitu latar belakang atau pengalaman, pengetahuan, lingkungan, dan diri orang tersebut

Faktor latar belakang misalnya bagaimana kehidupan individu, apa yang belum didapatkan selama hidupnya. Apa saja yang sudah dan belum diberikan oleh orang tuanya. Faktor pendidikan contohnya bagaimana seseorang dididik oleh keluarganya. Didikan tersebut bisa mempengaruhi bagaimana cara untuk melakukan pencarian jati diri.

Faktor lingkungan dimana seseorang yang satu mempunyai sesuatu yang belum dimiliki oleh orang lain. Apakah orang-orang terdekatnya sering menunjukan sesuatu yang tidak dia punyai, itu membuat dia ingin memilikinya juga. Tidak lepas dari seberapa besar peran orang-orang terdekat tersebut dan dorongan dari mereka. Juga faktor pengetahuan, yang sangat mempengaruhi, apakah seseorang tersebut mengetahui apa yang dicarinya dan untuk apa.

(44)

mempengaruhi. Apakah seseorang tersebut ingin maju saat dia tertinggal dari orang lain, apakah dia merasa dia perlu untuk memiliki sesuatu tersebut, dan apakah dia berpikir jauh kedepan, mencari apa yang dia butuhkan dalam hidupnya.

3.4 Subjek Penelitian

Subjek dari penelitian itu yaitu leksia dari teks novel “THE LOST BOY” karya Dave Pelzer yang menunjukkan adanya unsur pencarian jati diri seorang anak. Penelitian ini menggunakan objek sebuah novel “THE LOST BOY“ karya Dave Pelzer dan di terbitkan oleh penerbit PT. Gramedia Pustaka Umum pada tahun 2001, yang pada teksnya terhadap leksia. Berdasarkan sifat representatifnya tanda pada teks novel tersebut diterjemahkan ke dalam struktur dasar elemen literature fisik.

Elemen tersebut adalah elemen yang di gunakan mengidentifikasi hal yang akan di cari, sebelum melangkah ke tahap interpretasi. Elemen-elemen dasar itu adalah latar belakang novel ini yaitu fenomena kehidupan seorang anak yang hidup tanpa orang tua maupun keluarga yang menyayanginya. Sedangkan tema dari novel ini adalah perjalanan panjang seorang anak dalam mencari jati dirinya.

(45)

3.5 Unit Analisis

Penelitian ini menggunakan leksia dari Barthes sebagai unit analisis. Leksia merupakan satuian bacaan tertentu dengan panjang pendek bervariasi (Kurniawan, 2001:93). Leksia ini dapat berupa satu dua kata, kelompok kata, beberapa kalimat atau beberapa paragraf dari teks novel “THE LOST BOY” karya Dave Pelzer yang menunjukkan adanya unsur pencarian jati diri, sesuai dengan subyek penelitian. Dengan adanya analisis naratif yang ditawarkan oleh Barthes, maka peneliti memilih untuk menggunakan analisis tersebut agar lebih mudah untuk menganalisis teks dalam novel “THE LOST BOY” karya Dave Pelzer. Sehingga makna dapat lebih mudah ditemukan pula.

3.6 Corpus

Penelitian ini adalah keseluruhan teks dari awal cerita hingga akhir cerita dalam novel “THE LOST BOY” karya Dave Pelzer. Corpus merupakan sekumpulan bahan yang terbatas yang di tentukan pada perkembangannya oleh analisis dengan semacam kesemenaan. Corpus haruslah cukup luas untuk memberi harapan yang beralasan bahwa unsur-unsurnya akan memelihara sebuah system kemiripan dan perbedaan yang lengkap. Corpus juga bersifat sehomogen mungkin (Kurniawan, 2001:70).

(46)

novel “THE LOST BOY” karya Dave Pelzer, terdapat 19 leksia yang menunjukkan adanya unsur pencarian jati diri.

1. Aku berjanji pada diriku sendiri aku tak akan pernah mau pulang lagi. Setelah bertahun-tahun hidup dalam ketakutan, berusaha mati-matian untuk tetap bertahan terhadap berbagai pukulan yang menyiksa, dan mengais-ngais tempat sampah untuk bisa makan, kini aku tahu bagaimanapun aku akan tetap hidup (halaman 12)

2. Kupejamkan mata. Kubayangkan diriku dibawa ibu kembali kerumah itu, tempat dia biasa memukuli aku dan hidup dibasement. Semua itu membuatku berharap suatu hari kelak aku bisa melarikan diri dari keadaan itu dan bisa menjadi anak-anak biasa yang bebas dari rasa takut, bisa bermain sepuas hati diluar rumah. Beberapa detik kutahan napasku, lalu sebelum keberanianku lenyap, aku berkata lantang, “kau, pak hakim! Aku mau tinggal bersamamu!” (halaman 69)

3. Saat mendengar suara anak-anak berlarian dari tempat ayunan, aku memejamkan mata, berharap menemukan jawaban pertanyaan mengapa hubunganku dengan ibu jadi sedemikian buruk. Dua pertanyaan selalu mengganggu pikiranku: apakah ibu pernah mencintai aku dan mengapa ia memperlakukan aku sedemikian rupa (halaman 91)

(47)

Apakah aku ini memang nakal sekali? Aku sudah mencoba menjadi anak baik. Aku sudah mencoba menjadi anak penurut” suaraku semakin keras dan tinggi, penuh rasa marah (halaman 98)

5. Rasanya aku sudah berusaha sekeras mungkin untuk memahami anak-anak asuh yang lain sehingga aku bisa belajar-sehingga aku bisa diterima di dalam lingkungan anak-anak lain yang lebih tua. Aku ingin sekali disukai anak-anak lain, tetapi tetap saja aku tak mampu (halaman 118)

6. “Aku sama sekali tidak mengerti. Bagaimanapun aku ingin tahu: apakah aku ini ikut-ikutan jadi sakit juga seperti ibu? Apakah aku kelak seperti dia? Aku sungguh ingin tahu. Aku sungguh ingin tahu mengapa seperti ini jadinya. Kami keluarga yang tidak kurang suatu apa, mengapa bisa sampai jadi begitu” (halaman 129)

7. Saat pertama masuk sekolah, aku sudah mematikan perasaanku. Bosan aku dengan berbagai macam akibat yang ditimbulkan oleh kehidupanku yang baru. Aku sendiri sepenuhnya bisa merasakan perubahan yang sedang terjadi dalam diriku. Tapi aku tak memperdulikannya. Kuyakinkan diriku sendiri bahwa agar mampu bertahan hidup aku harus bersikap keras agar aku aku tak pernah lagi membiarkan orang lain, siapapun, menyakiti diriku (halaman 147) 8. Tanpa mempertimbangkan apa-apa lagi aku berlari ke kamar,

(48)

jaket, dan bergegas menuruni tangga. Dengan rasa percaya diri kukeluarkan sepedaku, lalu dengan sengaja kubanting pintu lebih keras dari biasanya. Aku memutuskan untuk kabur dari rumah (halaman 155)

9. Aku merasakan kehangatan yang pelan-pelan merambat dari dalam jiwaku. Aku akan melakukannya! Aku bersumpah, akan ku buktikan pada Mrs. C, Mr. Hutchenson, dan kepada ibu bahwa aku anak baik! Aku tahu bahwa sidang pengadilan kasusku tinggal beberapa minggu lagi. Jadi, kataku dalam hati, aku harus berusaha lebih keras lagi (halaman 204)

10.Kurogoh saku celanaku, lalu kukeluarkan selembar kertas yang berisi catatan alamat serta nomor telepon semua keluarga yang menampungku. Dengan pena yang kupinjam dari Gordon, aku membuat garis yang memisahkan Joanne dan Michael Nulls. Tak kurasakan penyesalan. Kuusir semua perasaanku terhadap keluarga Nulls-atau terhadap siapapun (halaman 230)

(49)

12.Aku tak perduli. Aku tak perduli harus tidur di sofa atau di dipan berpaku sekalipun. Aku cuma ingin tinggal di sebuat tempat yang bisa kurasakan sebagai home-rumah (halaman 248)

13.Dalam semua pertemuan berkalaku seminggu sekali dengan Dr. Robertson, aku tidak pernah dipaksa untuk menceritakan apapun, tetapi aku segera menyadari justru akulah yang selalu memulai pembicaraan mengenai pengalaman masa laluku. Akulah yang mengajukan pertanyaan kepada Dr. Robertson mengenai segala hal, termasuk pertanyaan: apakah aku ditakdirkan untuk jadi orang seperti ibuku. Aku selalu berusaha untuk tetap membicarakan berbagai masalah yang kurasakan selama ini dalam upayaku mendapat jawaban-jawabannya (halaman 254)

14.Dalam perjalanan waktu, aku belajar menerima hadiah. Dan bagiku, itulah salah satu pelajaran paling sulit yang dapat kupahami (halaman 256)

15.Aku berusaha keras melakukan hal-hal yang biasa dilakukan anak-anak normal tanpa merasa terancam. Aku sekedar ingin menyesuaikan diri dengan hidup yang wajar. Aku ingin berlaku dan diperlakukan seperti anak-anak pada umumnya (halaman 268)

(50)

berbagai jenis pekerjaan, dan aku yakin tak satupun pelajaran yang aku peroleh disekolah dapat dipakai dalam kehidupan nyata (halaman 279) 17.Aku duduk terus dihadapannya dan menghujaninya dengan berbagai

pertanyaan tentang masa depanku (halaman 280)

18. Mr. Marsh menyarankan aku untuk masuk militer, dan aku langsung mencoba mendaftarkan diri. Tetapi karena usiaku masih setingkat siswa kelas satu sekolah lanjutan atas, aku harus mengikuti aptitude test-tes bakat berdasarkan kecerdasan-dan ternyata aku gagal total. Aku meyakinkan diriku sendiri bahwa aku pasti berhasil melakukannya tanpa harus mengikuti pendidikan formal di sekolah (halaman 290)

(51)

3.7 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data pada penelitian ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu:

1. Data primer

Yaitu teks novel “THE LOST BOY” karya Dave Pelzer dan penelitian-penelitian sebelumnya. Data primer ini yang membantu peneliti dalam menjawab permasalahan penelitian ini.

2. Data sekunder

Yaitu pernyataan maupun sumber dari berbagai pihak mengenai pencarian jati diri anak. Data sekunder tersebut membantu peneliti dalam memahami latar belakang penulis novel “THE LOST BOY” karya Dave Pelzer.

3.8 Teknik Analisis Data

Untuk dapat menganalisis seluruh data yang ada di dalam novel“THE LOST BOY” karya Dave Pelzer ini, maka peneliti akan membagi dalam beberapa langkah teknis dengan tujuan untuk memudahkan penganalisisan secara semiologi. Langkah-langkah ini merupakan pengembangan dari Barthes dalam membaca semiologi teks tertulis. Berikut penjelasan langkah-langkahnya :

(52)

LOST BOY” karya Dave Pelzer yang layak dan sesuai untuk dijadikan subyek penelitian.

2. Peneliti kemudian membagi semua leksia yang terkumpul ke dalam aspek semiologi, yaitu aspek material dan aspek konseptual. Leksia-leksia tersebut dalam semiologi Barthes dianggap sebagai tanda (sign). Yang dimaksud aspek material adalah teks tertulis dalam novel “THE LOST BOY” karya Dave Pelzer, sedangkan aspek konseptual adalah gambaran yang muncul pada peneliti ketika membaca aspek material pada leksia tersebut. 3. Peneliti juga akan menganalisa sesuai semiologi teks Roland Barthes dengan menemukan kode-kode pokok (kode hermeneutic, semiks, simbolik, proaretik dan kultural) di dalam leksia tersebut. Melalui kode-kode pembacaan ini, kita akan menemukan tanda-tanda dan kode yang menghasilkan makna.

(53)

Teks novel anak dalam novel THE LOST BOY adalah perilaku dari lingkungan sekitarnya yang tak pernah menunjukan siapakah dia sebenarnya dalam hidupnya.

Gambaran pencarian jati diri seorang anak dalam novel THE LOST BOY ditonjolkan pada perilaku sang anak yang selalu ingin mendapatkan apa yang belum pernah dia dapatkan.

Dalam novel “THE LOST BOY” anak digambarkan sebagai individu kuat, yang tidak pernah mau

menyerah, pasrah, namun tetap berjuang untuk mendapatkan apa yang dia cari dalam hidupnya.

Pencarian jati diri adalah proses dimana seseorang ingin menemukan identitas siapa dia sebenarnya dan tujuan-tujuan dalam hidupnya, dengan memperhatikan lingkungan sekitarnya untuk bisa melihat dirinya sendiri.

(54)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Obyek Penelitian

Pria kelahiran Daly City, California. Anak kedua dari pasangan suami istri Stephen Pelzer dan Chaterine Roerva. Dia mempunyai seorang kakak dan 3 orang adik, Dave Pelzer adalah seorang anak korban child abuse yang dilakukan oleh ibu kandungnya, Chaterine Roerva, pada umur 5 tahun. Pada umur 12 tahun dia bebas dari kekangan sang ibu yang pemabuk. Dia diterima menjadi anggota U.S Air Force pada umur 18 tahun. Dave Pelzer adalah inspirasi semua orang untuk menciptakan kepribadian yang tegar dan pantang menyerah.

(55)

Setelah berhasil lepas dari kekejaman sang ibu, dia hidup tak menentu. Dia diurus oleh dinas sosial, hidupnya menjadi tanggungan pengadilan. Dia dititipkan di keluarga yang satu ke keluarga yang lain yang mampu menampungnya. Namun tidak selalu dia mendapatkan kasih sayang keluarga yang dicarinya. Masih banyak cobaan hidup yang harus dilaluinya. Seringkali keberadaannya tidak diterima oleh sebuah keluarga. Dan pernah juga dia dimasukan kedalam rehabilitasi remaja akibat kenakalannya. Kebiasannya dari dulu saat tinggal dengan ibunya adalah bagaimana caranya bertahan hidup sebisa mungkin. Dia sering melakukan kejahatan hanya untuk mendapatkan makanan, dan itulah yang tidak bisa dia hindari. Dia bahkan rela melakukan kejahatan apapun hanya demi dicintai oleh orang-orang sekitarnya. Sehingga cara bertahan hidup seperti itulah yang dia gunakan saat tinggal bersama keluarga asuhnya. Ini jelas menjadi masalah bagi kehidupannya, karena kenakalan seperti itu tidak bisa diterima oleh keluarga asuhnya, dan seringkali ia membangkang dikeluarga barunya sehingga harus diusir dan berpindah-pindah lagi.

(56)

sangat menyayanginya. Lingkungan yang mulai mengenalkan dia dengan masa depannya, yang memberi dorongan yang sangat kuat padanya untuk meraih sesuatu didepannya, juga menyadarkan dia akan siapa dirinya. Namun lagi-lagi karena percekcokan yang kerap terjadi dalam keluarga tersebut akibat keberadaannya, membuat dia harus meninggalkan keluarganya, karena dia sangat menyayangi dan tidak mau merusak keluarga tersebut. Tetapi banyak hal yang telah keluarga itu berikan kepadanya. Juga membuat dia menjadi sesosok anak yang secara perlahan menemukan jati dirinya, mulai memantapkan hatinya untuk meraih apa yang diinginkannya. Akhirnya dia kembali ke keluarga yang sebelumnya, dan disitulah dia telah menentukan pilihan untuk hidup kedepannya, bahwa disitulah dia menemukan keluarga terakhirnya, hingga dia bisa menjadi apa yang dia cita-citakan, dan menemukan siapa dirinya sebenarnya.

4.2 Penyajian dan Analisis Data

4.2.1 Penyajian Data

(57)

sendiri. Dia merasa pantas untuk menerima segala kekejaman itu. Dia selalu memaafkan apa pun yang dilakukan ibunya.

Setelah berhasil lepas dari kekejaman sang ibu, dia hidup tak menentu. Dia diurus oleh dinas sosial, hidupnya menjadi tanggungan pengadilan. Dia dititipkan di keluarga yang satu ke keluarga yang lain yang mampu menampungnya. Namun tidak selalu dia mendapatkan kasih sayang keluarga yang dicarinya. Masih banyak cobaan hidup yang harus dilaluinya. Seringkali keberadaannya tidak diterima oleh sebuah keluarga. Dan pernah juga dia dimasukan kedalam rehabilitasi remaja akibat kenakalannya. Kebiasannya dari dulu saat tinggal dengan ibunya adalah bagaimana caranya bertahan hidup sebisa mungkin. Dia sering melakukan kejahatan hanya untuk mendapatkan makanan, dan itulah yang tidak bisa dia hindari. Dia bahkan rela melakukan kejahatan apapun hanya demi dicintai oleh orang-orang sekitarnya. Sehingga cara bertahan hidup seperti itulah yang dia gunakan saat tinggal bersama keluarga asuhnya. Ini jelas menjadi masalah bagi kehidupannya, karena kenakalan seperti itu tidak bisa diterima oleh keluarga asuhnya, dan seringkali ia membangkang dikeluarga barunya sehingga harus diusir dan berpindah-pindah lagi.

(58)

sangat nakal tak ada pembelaan untuk dirinya, dia memutuskan untuk meninggalkan keluarga tersebut. Dan kemudian dia tinggal dengan keluarga dan lingkungan yang sangat menyayanginya. Lingkungan yang mulai mengenalkan dia dengan masa depannya, yang memberi dorongan yang sangat kuat padanya untuk meraih sesuatu didepannya, juga menyadarkan dia akan siapa dirinya. Namun lagi-lagi karena percekcokan yang kerap terjadi dalam keluarga tersebut akibat keberadaannya, membuat dia harus meninggalkan keluarganya, karena dia sangat menyayangi dan tidak mau merusak keluarga tersebut. Tetapi banyak hal yang telah keluarga itu berikan kepadanya. Juga membuat dia menjadi sesosok anak yang secara perlahan menemukan jati dirinya, mulai memantapkan hatinya untuk meraih apa yang diinginkannya. Akhirnya dia kembali ke keluarga yang sebelumnya, dan disitulah dia telah menentukan pilihan untuk hidup kedepannya, bahwa disitulah dia menemukan keluarga terakhirnya, hingga dia bisa menjadi apa yang dia cita-citakan, dan menemukan siapa dirinya sebenarnya.

Penyajian data penelitian ini adalah 19 leksia yang menunjukan unsur pencarian jati diri yang tedapat pada novel “The Lost Boy” karya Dave Pelzer sesuai dengan corpus yang tercantum dalam corpus penelitian dalam bab III. 19 leksia tersebut adalah :

(59)

mengais-ngais tempat sampah untuk bisa makan, kini aku tahu bagaimanapun aku akan tetap hidup (halaman 12)

21.Kupejamkan mata. Kubayangkan diriku dibawa ibu kembali kerumah itu, tempat dia biasa memukuli aku dan hidup dibasement. Semua itu membuatku berharap suatu hari kelak aku bisa melarikan diri dari keadaan itu dan bisa menjadi anak-anak biasa yang bebas dari rasa takut, bisa bermain sepuas hati diluar rumah. Beberapa detik kutahan napasku, lalu sebelum keberanianku lenyap, aku berkata lantang, “kau, pak hakim! Aku mau tinggal bersamamu!” (halaman 69)

22.Saat mendengar suara anak-anak berlarian dari tempat ayunan, aku memejamkan mata, berharap menemukan jawaban pertanyaan mengapa hubunganku dengan ibu jadi sedemikian buruk. Dua pertanyaan selalu mengganggu pikiranku: apakah ibu pernah mencintai aku dan mengapa ia memperlakukan aku sedemikian rupa (halaman 91)

23.“Dia tidak menyayangi aku, bukan? Aku..aku tidak mengerti. Mengapa? Mengapa dia bahkan tidak mau berbicara kepadaku? Apakah aku ini memang nakal sekali? Aku sudah mencoba menjadi anak baik. Aku sudah mencoba menjadi anak penurut” suaraku semakin keras dan tinggi, penuh rasa marah (halaman 98)

(60)

diterima di dalam lingkungan anak-anak lain yang lebih tua (halaman 118)

25.“Aku sama sekali tidak mengerti. Aku merasa begitu bodoh, begitu kecil. Maksudku, aku tahu tentang ibu, dan aku memang salah lalu aku dengan sepenuh hati berusaha untuk melupakan semua itu. Mungkin ibu memang sakit. Aku tahu penyebabnya adalah kegemarannya menenggak minuman keras. Bagaimanapun aku ingin tahu: apakah aku ini ikut-ikutan jadi sakit juga seperti ibu? Apakah aku kelak seperti dia? Aku sungguh ingin tahu. Aku sungguh ingin tahu mengapa seperti ini jadinya. Kami keluarga yang tidak kurang suatu apa, mengapa bisa sampai jadi begitu” (halaman 129)

26.Saat pertama masuk sekolah, aku sudah mematikan perasaanku. Bosan aku dengan berbagai macam akibat yang ditimbulkan oleh kehidupanku yang baru. Aku sendiri sepenuhnya bisa merasakan perubahan yang sedang terjadi dalam diriku. Tapi aku tak memperdulikannya. Kuyakinkan diriku sendiri bahwa agar mampu bertahan hidup aku harus bersikap keras agar aku aku tak pernah lagi membiarkan orang lain, siapapun, menyakiti diriku (halaman 147) 27.Tanpa mempertimbangkan apa-apa lagi aku berlari ke kamar,

(61)

keras dari biasanya. Aku memutuskan untuk kabur dari rumah (halaman 155)

28.Aku merasakan kehangatan yang pelan-pelan merambat dari dalam jiwaku. Aku akan melakukannya! Aku bersumpah, akan ku buktikan pada Mrs. C, Mr. Hutchenson, dan kepada ibu bahwa aku anak baik! Aku tahu bahwa sidang pengadilan kasusku tinggal beberapa minggu lagi. Jadi, kataku dalam hati, aku harus berusaha lebih keras lagi (halaman 204)

29.Kurogoh saku celanaku, lalu kukeluarkan selembar kertas yang berisi catatan alamat serta nomor telepon semua keluarga yang menampungku. Dengan pena yang kupinjam dari Gordon, aku membuat garis yang memisahkan Joanne dan Michael Nulls. Tak kurasakan penyesalan. Kuusir semua perasaanku terhadap keluarga Nulls-atau terhadap siapapun (halaman 230)

30.Setelah kantong kertasku kujejali dengan semua milikku, aku mematikan perasaan iba ku terhadap keluarga Jones. Mereka orang baik-baik dan aku ikut prihatin atas masalah yang menimpa mereka, tetapi aku terpaksa mendahulukan kepentinganku sebab bagiku semua itu menyangkut hidupku yang sebatang kara ini (halaman 246)

(62)

32.Dalam semua pertemuan berkalaku seminggu sekali dengan Dr. Robertson, aku tidak pernah dipaksa untuk menceritakan apapun, tetapi aku segera menyadari justru akulah yang selalu memulai pembicaraan mengenai pengalaman masa laluku. Akulah yang mengajukan pertanyaan kepada Dr. Robertson mengenai segala hal, termasuk pertanyaan: apakah aku ditakdirkan untuk jadi orang seperti ibuku. Aku selalu berusaha untuk tetap membicarakan berbagai masalah yang kurasakan selama ini dalam upayaku mendapat jawaban-jawabannya (halaman 254)

33.Dalam perjalanan waktu, aku belajar menerima hadiah. Dan bagiku, itulah salah satu pelajaran paling sulit yang dapat kupahami (halaman 256)

34.Aku berusaha keras melakukan hal-hal yang biasa dilakukan anak-anak normal tanpa merasa terancam. Aku sekedar ingin menyesuaikan diri dengan hidup yang wajar. Aku ingin berlaku dan diperlakukan seperti anak-anak pada umumnya (halaman 268)

(63)

36.Aku duduk terus dihadapannya dan menghujaninya dengan berbagai pertanyaan tentang masa depanku (halaman 280)

37. Mr. Marsh menyarankan aku untuk masuk militer, dan aku langsung mencoba mendaftarkan diri. Tetapi karena usiaku masih setingkat siswa kelas satu sekolah lanjutan atas, aku harus mengikuti aptitude test-tes bakat berdasarkan kecerdasan-dan ternyata aku gagal total. Aku meyakinkan diriku sendiri bahwa aku pasti berhasil melakukannya tanpa harus mengikuti pendidikan formal di sekolah (halaman 290)

38.Supaya bisa memenuhi niatku untuk tinggal di Russian River, aku tahu bahwa pertama-tama aku harus menemukan diriku sendiri. Tak mungkin aku bisa tinggal di dekat kenangan masa laluku. Aku harus membebaskan diriku. Kurasakan kehangatan di dalam diriku. Aku telah menetapkan keputusanku. Kuhirup napas dalam-dalam, lalu berkata lirih, seakan-akan memperbarui janji seumur hidupku. Aku akan kembali (halaman 292)

4.2.2 Hasil Analisis Data

(64)

Berikut ini adalah kolom yang menjelaskan penggolongan leksia dalam kode pembacaan menurut Roland Barthes beserta kalimat mana dalam leksia tersebut yang menunjukan salah satu kode pembacaan, yaitu :

Kode Pembacaan

Leksia Kalimat Yang Menunjukan Kode Pembacaan Pada Leksia

Kode

Hermeneutik

Leksia 3 Saat mendengar suara anak-anak berlarian dari tempat ayunan, aku memejamkan mata, berharap menemukan jawaban pertanyaan mengapa hubunganku dengan ibu jadi sedemikian buruk. Dua pertanyaan selalu mengganggu pikiranku: apakah ibu pernah mencintai aku dan mengapa ia memperlakukan aku sedemikian rupa

Leksia 4 “Dia tidak menyayangi aku, bukan? Aku..aku tidak mengerti. Mengapa? Mengapa dia bahkan tidak mau berbicara kepadaku? Apakah aku ini memang nakal sekali? Aku sudah mencoba menjadi anak baik. Aku sudah mencoba menjadi anak penurut” suaraku semakin keras dan tinggi, penuh rasa marah

(65)

lingkungan anak-anak lain yang lebih tua. Aku ingin sekali disukai anak-anak lain, tetapi tetap saja aku tak mampu

Leksia 6 “Aku sama sekali tidak mengerti. Bagaimanapun aku ingin tahu: apakah aku ini ikut-ikutan jadi sakit juga seperti ibu? Apakah aku kelak seperti dia? Aku sungguh ingin tahu. Aku sungguh ingin tahu mengapa seperti ini jadinya. Kami keluarga yang tidak kurang suatu apa, mengapa bisa sampai jadi begitu”

Leksia 13 Dalam semua pertemuan berkalaku seminggu sekali dengan Dr. Robertson, aku tidak pernah dipaksa untuk menceritakan apapun, tetapi aku segera menyadari justru akulah yang selalu memulai pembicaraan mengenai pengalaman masa laluku. Akulah yang mengajukan pertanyaan kepada Dr. Robertson mengenai segala hal, termasuk pertanyaan: apakah aku ditakdirkan untuk jadi orang seperti ibuku. Aku selalu berusaha untuk tetap membicarakan berbagai masalah yang kurasakan selama ini dalam upayaku mendapat jawaban-jawabannya

(66)

perasaanku. Bosan aku dengan berbagai macam akibat yang ditimbulkan oleh kehidupanku yang baru. Aku sendiri sepenuhnya bisa merasakan perubahan yang sedang terjadi dalam diriku. Tapi aku tak memperdulikannya. Kuyakinkan diriku sendiri bahwa agar mampu bertahan hidup aku harus bersikap keras agar aku aku tak pernah lagi membiarkan orang lain, siapapun, menyakiti diriku

Leksia 11 Setelah kantong kertasku kujejali dengan semua milikku, aku mematikan perasaan iba ku terhadap keluarga Jones. Mereka orang baik-baik dan aku ikut prihatin atas masalah yang menimpa mereka, tetapi aku terpaksa mendahulukan kepentinganku sebab bagiku semua itu menyangkut hidupku yang sebatang kara ini

Leksia 17 Aku duduk terus dihadapannya dan menghujaninya dengan berbagai pertanyaan tentang masa depanku Leksia 19 Supaya bisa memenuhi niatku untuk tinggal di

(67)

membebaskan diriku. Kurasakan kehangatan di dalam diriku. Aku telah menetapkan keputusanku. Kuhirup napas dalam-dalam, lalu berkata lirih, seakan-akan memperbarui janji seumur hidupku. Aku akan kembali

Simbolik Leksia 2 Kupejamkan mata. Kubayangkan diriku dibawa ibu kembali kerumah itu, tempat dia biasa memukuli aku dan hidup dibasement. Semua itu membuatku berharap suatu hari kelak aku bisa melarikan diri dari keadaan itu dan bisa menjadi anak-anak biasa yang bebas dari rasa takut, bisa bermain sepuas hati diluar rumah. Beberapa detik kutahan napasku, lalu sebelum keberanianku lenyap, aku berkata lantang, “kau, pak hakim! Aku mau tinggal bersamamu!”

(68)

Leksia 10 Kurogoh saku celanaku, lalu kukeluarkan selembar kertas yang berisi catatan alamat serta nomor telepon semua keluarga yang menampungku. Dengan pena yang kupinjam dari Gordon, aku membuat garis yang memisahkan Joanne dan Michael Nulls. Tak kurasakan penyesalan. Kuusir semua perasaanku terhadap keluarga Nulls-atau terhadap siapapun

Leksia 12 Aku tak perduli. Aku tak perduli harus tidur di sofa atau di dipan berpaku sekalipun. Aku cuma ingin tinggal di sebuat tempat yang bisa kurasakan sebagai home-rumah

Leksia 14 Dalam perjalanan waktu, aku belajar menerima hadiah. Dan bagiku, itulah salah satu pelajaran paling sulit yang dapat kupahami

Leksia 15 Aku berusaha keras melakukan hal-hal yang biasa dilakukan anak-anak normal tanpa merasa terancam. Aku sekedar ingin menyesuaikan diri dengan hidup yang wajar. Aku ingin berlaku dan diperlakukan seperti anak-anak pada umumnya

Referensi

Dokumen terkait