• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

6 BAB II LANDASAN TEORI

2.1 Geologi Regional

Cekungan Sumatera Selatan terletak diantara Provinsi Sumatera Selatan, Jambi, dan Lampung. Cekungan Sumatera Selatan bertempat di sebelah Timur Pegunungan Barisan yang kemudian menyebar hingga daerah lepas pantai. Keseluruhan cekungan Sumatra Selatan mempunyai luas mencapai 12.000.000 hektar, dengan kedalaman cekungan lebih dari 4.500 m (Hutchison, 1996). Cekungan Sumatera Selatan dan cekungan Sumatera Tengah adalah cekungan besar dibatasi oleh Pegunungan Tigapuluh (Tarsis, 2001). Cekungan Sumatera Selatan berbatasan dengan Pegunungan Barisan, Jambi dan Cekungan Bangka di sebelah Barat, Pegunungan Tigapuluh dan Pegunungan Duabelas di sebelah Utara, Paparan Sunda di bagian Timur dan Tinggian Lampung di bagian Selatan. Peta cekungan Sumatera Selatan dengan kenampakan tektonik dapat dilihat pada (Gambar 2.1).

Perkembangan cekungan Sumatera Selatan dimulai pada masa Mesozoik (Pulunggono, 1992). Pembentukan cekungan Sumatera Selatan disebabkan oleh subduksi Lempeng Hindia-Australia dengan Lempeng Paparan Sunda (Heidrick, 1993). Daerah subduksi lempeng meliputi bagian Barat Pulau Sumatera dan bagian selatan Pulau Jawa. Aktivitas subduksi umumnya berdampak pada keadaan batuan, morfologi, tektonik dan struktur geologi yang terdapat di daerah penunjaman tersebut. Keterdapatan beberapa struktur di cekungan Sumatera Selatan dan Jambi dihasilkan dari aktivitas tektonik Tersier Pulau Sumatera yang mencakup beberapa periode tektonik.

Cekungan Sumatera Selatan adalah cekungan polyhistory berumur Tersier yang dibuktikan dengan keterdapatan beberapa satuan tektonostratigrafi. Berdasarkan tektoniknya, cekungan ini dikasifikasikan sebagai cekungan rift – busur belakang (Badan Geologi, 2009) yang mencakup cekungan rift pada Paleogen, dan

(2)

7

cekungan busur belakang pada Neogen. Keterdapatan perbedaan relief berupa peninggian batuan dasar Pra-Tersier dan depresi diduga terjadi karena terjadi pematahan blok/bongkah batuan dasar. Hal ini didukung oleh keterdapatan depresi Lematang di sub cekungan Palembang yang disekat oleh jalur patahan dari pendopo antiklinorium dan patahan Lahat di bagian Baratlaut dari Paparan Kikim (Tarsis, 2001).

Gambar 2.1 Peta cekungan Sumatera Selatan dengan kenampakan struktur utama (Hutchison, 1996; Williams, 1995; Moulds, 1989; Bemmelen, 1949)

(3)

8

Terbentuknya sesar-sesar bongkah (block fault) disertai dengan peristiwa pengangkatan Pegunungan Barisan pada era Kapur Akhir. Pegunungan Barisan diklasifikasikan sebagai pegunungan bongkah (block mountain). Selain hal tersebut, terdapat beberapa peninggian batuan dasar yang tersibak ke permukaan seperti Pegunungan Tigapuluh, Pegunungan Duabelas, Pulau Lingga dan Pulau Bangka hasil residual tinggian “Sunda Landmass”, yang sekarang berwujud Paparan Sunda (Badan Geologi, 2007).

Berdasarkan tatanan geologi struktur dan tektonik, maka Cekungan Sumatera Selatan diklafisikasikan menjadi empat sub-cekungan (Gambar 2.2), yakni:

1. Sub-cekungan Jambi, dengan arah NE-SW

2. Sub-cekungan Palembang Utara, Palembang Tengah dan Palembang Selatan), dengan arah NNW-SSE.

Sesar-sesar utama yang berkaitan dengan batuan dasar antara lain sesar Lematang dengan arah Baratlaut-Tenggara dan sesar Kikim dengan arah Utara-Selatan memisahkan cekungan ini menjadi dua sub cekungan utama yakni sub cekungan Jambi dan Palembang. Keterdapatan tinggian dan dalaman (depression) juga turut serta memisahkan cekungan ini.

Gambar 2.2 Peta sub cekungan Sumatera Selatan. Lokasi Penelitian ditandai kotak hitam (Panggabean & Santy, 2012)

(4)

9 2.2 Geologi Daerah Penelitian

Cekungan Sumatera Selatan adalah cekungan busur belakang yang terletak di Pulau Sumatera (Panggabean & Santy, 2012). Daerah penelitian berlokasi di wilayah Tulungselapan yang secara administratif terletak diantara empat kecamatan, yaitu Kota Kayu Agung, Kecamatan Pedamaran, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan dan Sirah Pulau Padang dan Pampangan. Secara geografis, lokasi penelitian terletak pada koordinat 3˚00’0” - 4˚00’0” Lintang Selatan dan 105˚00’0” - 106˚30’0” Bujur Timur. Luas daerah penelitian adalah 13.200 km2 dengan panjang 120 km dan lebar 110 km. Bagian Barat lembar geologi Tulungselapan berbatasan dengan Lembar Lahat, sebelah Utara dengan Lembar Pangkalpinang, sebelah Timur dengan Lembar Membalong dan sebelah Selatan dengan Lembar Menggala. Daerah Tulungselapan terletak diantara dua sub cekungan yaitu sub cekungan Palembang yaitu Palembang Utara dan Selatan. Daerah Tulungselapan dimuat dalam peta Geologi Lembar Tulungselapan yang dipublikasikan oleh P3G Bandung dengan skala 1 : 250.000 (Mangga, dkk., 1993) (Gambar 2.3).

Berdasarkan kolom stratigrafi, Tulungselapan masih berada dalam wilayah Cekungan Sumatera Selatan, dimana batuan dasar adalah sedimen berumur Pra-Tersier; diikuti oleh pengendapan sedimen Tersier secara tidak simetris di atasnya. Siklus pengendapan sedimen Tersier di Cekungan Sumatera Selatan diawali dengan siklus transgresi dan diakhiri dengan siklus regresi. Hasil dari siklus transgresi adalah Formasi Lahat, Talang Akar, Baturaja dan Gumai. Sedangkan hasil dari siklus regresi adalah Formasi Air Benakat, Muaraenim dan Kasai. Endapan sedimen ini kemudian ditutupi secara tidak simteris oleh endapan berumur Kuarter (Wahyudin & Subekti, 1999).

Mengacu kepada Peta Geologi Lembar Tulungselapan, Sumatera Selatan, stratigrafi daerah penelitian terdiri dari: Aluvium (Qa), Endapan Rawa (Qs), Endapan Pantai (Qc) dan batuan terobosan Granit (Jgr/Gr) yang terbentuk pada masa Kuarter. Formasi Muaraenim (Tmpm), Formasi Kasai (QTk), Formasi

(5)

10

Gumai (Tmg), Formasi Air Benakat (Tma) dan Formasi Baturaja (Tmb) terbentuk pada masa Tersier.

(6)

11

Batuan tertua adalah Formasi Baturaja (Tmb) yang terbentuk di masa Miosen Awal dan menumpang secara simetris bagian atas Formasi Talang Akar. Formasi Gumai tersusun atas serpih, batupasir, batulanau dan batugamping. Formasi Air Benakat tersusun atas selingan batulempung/batulanau gampingan, serpih dengan sisipan gampingan dan beberapa sisipan batugamping dan batupasir yang menindih secara simetris Formasi Gumai lalu dintindih tidak simetris oleh Formasi Kasai. Formasi Muaraenim tersusun oleh batulempung tufaan dan batupasir lempungan yang disisipi oleh batulanau karbonan dan lignit di bagian atasnya, formasi ini menindih secara simetris Formasi Air Benakat. Formasi Kasai terdiri atas tuff dan batupasir tufaan dan batupasir kelabu dengan kerikil besi oksida, formasi ini menindih tidak simetris Formasi Muaraenim (PPPG, 2000).

2.3 Fisiografi Regional

Secara fisiografi cekungan Sumatera Selatan adalah cekungan sedimen berumur Tersier yang terdapat di sebelah Selatan Pulau Sumatera dan memanjang dengan arah NW-SE. Luas cekungan ini sekitar 12.000.000 hektar dengan kedalaman cekungan lebih dari 4.500 m (Hutchison, 1996). Fisiografi cekungan Sumatera Selatan terdiri dari dalaman (depression) yang dikitari oleh tinggian-tinggian batuan dasar berumur Pra-Tersier (Badan Geologi, 2007). Fisiografi cekungan Sumatera Selatan tersusun oleh daerah tinggian dan dalaman dengan kecenderungan arah Selatan-Utara, yakni:

1. Tinggian Meraksa, tersusun oleh Kuang, Tinggian Tamiang, Tinggian Palembang, Tinggian Sembilang dan Tinggian Palembang bagian Utara. 2. Depresi Lematang (Depresi Muaraenim).

3. Antiklinorium Palembang bagian Utara dan Antiklinorium Pendopo Limau.

Keberadaan ketiga fisiografi tersebut memisahkan cekungan Sumatera Selatan menjadi empat sub cekungan, yaitu sub cekungan Palembang Utara, Palembang Tengah dan Palembang Selatan serta sub cekungan Jambi (Panggabean & Santy, 2012). Sejarah cekungan Sumatera Selatan diklasifikasikan menjadi tiga megasekensi tektonik yang dijelaskan di bawah ini. Diskusi tentang peristiwa

(7)

12

tektonik lempeng mengendalikan sejarah struktural cekungan Sumatera Selatan (Longley, 1997).

a. Syn-Rift Megasekuen (sekitar 40 – 29 juta tahun yang lalu)

Kerak benua di daerah Sumatera Selatan merupakan target peristiwa ekstensi utama dari waktu Eosen ke Oligosen Awal, sebagai akibat subduksi di sepanjang palung Sumatera bagian Barat. Ekstensi ini dihasilkan dari pembukaan banyak half-graben yang mana orientasi dan geometrinya dikontrol oleh heterogenitas batuan alas/dasar. Pada mulanya, peristiwa ekstensi muncul dengan dengan orientasi Timur-Barat menghasilkan rangkaian horst -graben dengan orientasi Utara-Selatan. Sumatera Selatan sudah dirotasi sekitar 15˚ searah dengan jarum jam dari Miosen dan menghasilkan graben dengan orientasi Utara-Timurlaut dan Selatan-Baratdaya pada saat ini (Hall, 1995) dalam (Ginger, 2005).

b. Pasca Rift Megasekuen (sekitar 29 – 5 juta tahun yang lalu)

Keretakan berhenti sekitar 29 juta tahun yang lalu, namun kerak benua yang tipis di bagian bawah Sumatera Selatan terus menerus menunjam untuk penyeimbangan termal litosfer yang terjadi. Di bagian sub cekungan, yaitu sub cekungan Palembang Tengah, ketebalan megasekuen ini melebihi 13.000 kaki. Tingkat penunjaman yang tinggi dan muka laut yang relatif tinggi mengakibatkan transgresi jangka panjang pada cekungan dan mencapai tingkat maksimumnya pada 16 juta tahun yang lalu, terjadi banjir yang hampir memenuhi seluruh cekungan. Regresi seperti yang telah diberitahu, terjadi karena adanya perlambatan tingkat penunjaman dan/atau peningkatan pemasukan sedimen ke dalam cekungan sejak 16 juta tahun yang lalu ke 5 juta tahun yang lalu.Tidak ada bukti bahwa aktivitas tektonik lokal adalah pengaruh signifikan regresi ini (Ginger, 2005).

c. Syn-Orogenesa/Inversi Megasekuen (sekitar 5 juta tahun yang lalu – saat ini) Sebuah peristiwa orogenesa yang tersebar luas, orogenesa Barisan terjadi di seluruh Sumatera Selatan sejak 5 juta tahun yang lalu hingga saat ini, meskipun ada fakta terkait pengangkatan lokal sebagai permulaan 10 juta

(8)

13

tahun yang lalu (Chalik, dkk., 2004). Lipatan transgresi mengalami perpanjangan yang berorientasi Baratlaut-Tenggara dengan variasi besaran terbentuk di seluruh cekungan dan memotong banyak sepanjang syn-rift yang mendasarinya. Banyak perangkap struktural pembawa hidrokarbon di pusat cekungan dibentuk saat ini, meskipun di beberapa area yang ada akumulasi minyak bumi terpapar. Di luar perpanjangan lipatan transgresi, penunjaman cekungan berlanjut sebagai masuknya sedimen ke cekungan yang ditingkatkan oleh erosi Pegunungan Barisan yang baru dibentuk ke Selatan dan Barat (Ginger, 2005). Tektonik dan struktur geologi daerah Cekungan Sumatera Selatan dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu: zona sesar Semangko, zona perlipatan yang berarah Baratlaut-Tenggara dan zona sesar-sesar yang berhubungan erat dengan perlipatan serta sesar-sesar-sesar-sesar Pra-Tersier yang mengalami peremajaan (Badan Geologi, 2007).

2.4 Stratigrafi Regional

Stratigrafi cekungan Sumatera Selatan pada dasarnya terdiri dari satu siklus besar sedimentasi yang diklasifikasikan menjadi dua fase pengendapan, yaitu fase transgresi pada awal siklus dan fase regresi pada akhir siklus. Transgresi terjadi pada Oligosen-Miosen Tengah meliputi Kelompok Telisa yang terdiri dari Formasi Lahat (Fluviatile-Lacustrine), Formasi Talang Akar (Transisi), Formasi Baturaja (Shallow Marine) dan Formasi Telisa/Gumai (Deep Marine). Regresi terjadi pada Miosen Tengah-Pliosen mengakibatkan pergantian pada formasi meliputi Kelompok Palembang yang terdiri dari Formasi Air Benakat (Shallow Marine), Formasi Muaraenim (Transisi), dan Formasi Kasai (Fluviatile-Terrestrial) (Lelono, 2009) (Gambar 2.4).

Secara rinci siklus ini dimulai oleh siklus non-marin yaitu dengan diendapkannya Formasi Lahat pada Oligosen Awal dan kemudian diikuti oleh Formasi Talang Akar yang diendapkan secara tidak selaras di atasnya. Formasi Talang Akar merupakan suatu endapan kipas aluvial dan endapan sungai teranyam (braided stream deposit) yang mengisi suatu cekungan (Coster, 1974). Fase transgresi terus berlangsung hingga Miosen Awal dimana pada kala ini berkembang batuan

(9)

14

karbonat yang diendapkan pada lingkungan back reef, fore reef, dan intertidal (Formasi Baturaja) pada bagian atas Formasi Talang Akar. Fase Transgresi maksimum ditunjukkan dengan diendapkannya Formasi Gumai bagian bawah secara selaras di atas Formasi Baturaja yang terdiri dari batuserpih laut dalam.

Gambar 2.4 Kolom stratigrafi Cekungan Sumatera Selatan (Courteney, dkk., 1990; de Coster, 1974; Sudarmono, dkk., 1997; Hutchinson, 1996; Sosrowidjojo, dkk., 1994)

(10)

15

Fase regresi dimulai dengan diendapkannya Formasi Gumai bagian atas dan diikuti oleh pengendapan Formasi Air Benakat yang didominasi oleh litologi batupasir pada lingkungan pantai dan delta. Formasi Air Benakat diendapkan secara selaras di atas Formasi Gumai. Pada Pliosen Awal, laut menjadi semakin dangkal dimana lingkungan pengendapan berubah menjadi laut dangkal, paludal, dataran delta dan non-marin yang dicirikan oleh perselingan antara batupasir dan batulempung dengan sisipan batubara (Formasi Muaraenim). Tipe pengendapan ini berlangsung hingga Pliosen Akhir dimana diendapkannya lapisan batupasir tufaan, pumis dan konglomerat.

2.4.1 Batuan Dasar (Pra-Awal Tersier)

Batuan dasar tersusun oleh kuarsit, filit, meta-greywacke, batugamping dan granitoid yang membentuk batuan alas/dasar cekungan Sumatera Selatan telah disederhanakan menjadi beberapa nomor dari alas NW-SE yang memotong masing-masing variabel komposisi dan umur. Yang tertua, setidaknya mendeformasi alas, dianggap sebagai bagian dari lempeng mikro Malaka, mendasari bagian Utara dan Timur dari cekungan. Lebih jauh ke Selatan berbaring sisa lempeng mikro Mergui yang telah terdeformasi dengan berat, mungkin mewakili fragmen benua yang lebih lemah. Mikro lempeng Malaka dan Mergui dipisahkan oleh kumpulan Mutus, deformasi fragmen dari material yang diperoleh selama transportasi dan kolisi Utara. Deformasi berat batuan granit, vulkanik dan metamorfik (dari umur Akhir Kapur ke Tersier) tetap mendasari cekungan Sumatera Selatan. Morfologi alas ini diyakini telah mempengaruhi morfologi retakan Eosen- Oligosen, lokasi dan luas inversi/strike-slip Plio-Pleistosen, kandungan tinggi karbon dioksida lokal dalam gas hidrokarbon, dan sejauh mana rekahan di alas (Ginger, 2005).

2.4.2 Formasi Lahat/ Lemat (Akhir Eosen -Oligosen Tengah)

Pengendapan di cekungan Sumatera Selatan dimulai selama Eosen ke Oligosen Awal (Coster, 1974). Bagian yang dibor terdiri dari tuff, rangkaian klastika kasar atau granit wash (Anggota Kikim) yang secara selaras ditindih oleh serpihan,

(11)

16

batulanau, batupasir, batubara yang diendapkan di lingkungan lakustrin dan batas lakustrin (Anggota Benakat). Bagian ini tipis atau tidak ada di batas graben dan di atas tinggian intra-graben dan ketebalannya hingga 1000 m di sub cekungan Palembang Selatan dan Tengah (Ginger, 2005).

2.4.3 Formasi Talang Akar (Akhir Oligosen-Miosen Awal)

Selama fasa pelengkungan termal pada syn-rift akhir-post-rift awal dari evolusi tektonik di Cekungan Sumatera Selatan, pengendapan deltaik dan fluviatil tersebar luas membentangi cekungan. Kecenderungan dari “proksimal” braid-plain kaya pasir ke “distal” meander-belt miskin pasir dan sedimen overbank bersamaan dengan semakin lebihnya batas laut dan pengaruh laut pada pengendapan sebagai kelanjutan subsidens. Bagian ini sering sangat tebal di pusat cekungan dan mengalami pinch-out ke tinggian intra-basin dan pada batas cekungan. Pada Awal Miosen, kondisi fluviatil diganti dengan deltaik, kondisi batas laut dan laut dangkal-dalam mengalami kelebihan di Cekungan Sumatera Selatan oleh sebuah peristiwa yang diucapkan transgresif (Ginger, 2005).

2.4.4 Formasi Baturaja (Awal Miosen)

Transgresi laut berlangsung menerus hingga Miosen Awal dengan pengendapan serpih di sekitar graben sedangkan kondisi laut dangkal di sekitar tinggian masuk ke cekungan atau intrabasinal dan sebagian besar menuju ke bagian Timur cekungan. Produksi karbonat yang pesat terjadi pada saat ini dan menghasilkan pengendapan batugamping baik di bagian platform dari tepi cekungan maupun di bagian tinggian sebagai terumbu masuk cekungan atau intrabasinal. Reservoir karbonat berkualitas tinggi umum dijumpai di bagian Selatan cekungan, namun lebih sedikit di sub cekungan Jambi di Utara Cekungan. Porositas sekunder berkembang ke arah Selatan dan Timur (Ginger, 2005).

2.4.5 Formasi Gumai (Awal-Miosen Tengah)

Melanjutkan transgresi laut selama bagian terakhir dari Miosen Awal berakibat pada pengendapan serpih laut, batulanau dan batupasir dengan pengendapan batugamping yang jarang melebihi puncak dari tinggian batuan dasar. Selama

(12)

17

puncak transgresi, pengendapan dari laut terbuka, glaukonitik serpih Gumai mendominasi keseluruhan cekungan menciptakan penutup regional yang hampir tersebar luas. Kemudian, progradasi dari sedimen deltaik terjadi membentangi cekungan dan transisional dan lalu laut dangkal menggantikan serpih laut terbuka secara bertahap. Daerah platform ke Timur-Timurlaut didominasi sedimen masukan, meskipun pada saat ini bebearapa sedimen vulkanoklastik sedang dihasilkan dari Pulau Vulkanik tersolasi yang terpapar di Barat (Ginger, 2005).

2.4.6 Formasi Lower Palembang (Miosen Tengah)

Kondisi laut dalam merata pada Akhir-Awal Miosen secara bertahap digantikan oleh laut yang lebih dangkal dan kemudian kondisi batas batas laut sebagai hasil dari kelanjutan sedimen masukan dari batas cekungan. Dengan sedikit pengecualian pada tengah cekungan, reservoir batupasir dengan kualitas tinggi di laut dangkal pada Miosen Tengah tersebar luas melebihi Cekungan Sumatera Selatan. Pada batas cekungan, kondisi batas laut ke dataran pantai berlaku. Sebagai hasil dari aktivitas beku di Pengunungan Barisan, banyak batupasir yang memiliki kandungan vulkanoklastik penting. Hal ini benar di bagian Barat, dimana kualitas reservoir sangat terdegradasi (Ginger, 2005). Formasi Air Benakat disusun oleh perselingan batulempung/batulanau gampingan dan batupasir dengan lensa-lensa batupasir tufaan dan lapisan serpih dengan sisipan gampingan serta sisipan batugamping. Ketebalan dari formasi ini pada daerah Tulungselapan berkisar antara 400 - 450 m. Distribusi formasi ini terluas terdapat di daerah Rawa Sibumbung di bagian tengah Baratlaut Lembar antara Talangelumbang dan Pampangan. Singkapan dari formasi ini sangat buruk (PPPG, 2000).

2.4.7 Formasi Middle Palembang (Miosen Akhir)

Formasi Muaraenim atau middle Palembang mewakili tahap akhir dari fase regresi Tersier. Formasi Muaraenim berumur Miosen Akhir-Pliosen. Formasi ini diendapkan secara selaras Formasi Air Benakat pada lingkungan pengendapan transisi lau dangkal ke daratan. Formasi ini terdiri dari Batulempung tufaan, batupasir kuarsa, batupasir lepas dan batupasir lempungan dengan sisipan

(13)

18

batulanau karbonan dan lignit di bagian atas; setempat mengandung lapisan tipis besi oksida. Ketebalan dari formasi ini pada daerah Tulungselapan tidak kurang dari 400 m. Distribusi formasi ini terluas terdapat di bagian tengah dan Selatan Lembar Tulungselapan (PPPG, 2000).

2.4.8 Formasi Upper Palembang (Pliosen-Pleistosen)

Formasi Kasai menindih secara tidak selaras Formasi Muaraenim, sentuhan ditandai oleh lapisan tipis kerikil oksida besi. Formasi Kasai berumur Plistosen Akhir. Lingkungan pengendapan daratan, antar gunung. Litologi formasi ini tersusun atas tuf dan batupasir tufaan dengan sisipan batulanau karbonan dan batupasir kelabu. Ketebalan dari formasi ini pada daerah Tulungselapan sekitar 100 m. Distribusi formasi ini terluas terdapat di bagian Baratlaut Lembar Tulungselapan (PPPG, 2000).

2.5 Sistem Hidrokarbon

Sistem dirokarbon merupakan suatu konsep yang mempersatukan semua elemen berbeda dan proses geologi hidrokarbon, meliputi elemen penting (batuan sumber, reservoir, penutup dan beban) dan proses (formasi jebakan, generasi-migrasi-akumulasi) dan semua secara genetik yang berkaitan dengan hdirokarbon yang berasal dari satu perut batuan induk aktif dan kejadian muncul, rembesan atau akumulasi (Magoon & Dow, 1994). Resapan minyak dan gas banyak terdapat di kaki Gunung Gumai dan Pegunungan Barisan dan berasosiasi dengan antiklin. Keberadaan resapan mendorong ketertarikan dan awal mula kegiatan eksplorasi hidrokarbon di seluruh Sumatera (Macgregor, 1995; Zeliff, dkk., 1985). Eksplorasi hidrokarbon terutama di Sumatera Selatan dipandu oleh keterdapatan antiklin di permukaan yang terkadang ditemukan dari hasil penggalian palung (saat tidak adanya singkapan) untuk memetakan kemiringan (Ford, 1985). Sehingga distribusi awal lapangan mengikuti kecenderungan antiklin. Oleh karena itu distribusi awal bidang mengikuti kecenderungan antiklin. Kompresi yang sama yang membentuk antiklin rift- basin membalikkan pergerakan banyak sesar normal sehingga menghasilkan monoklin dan antiklin di atas keystone jenis blok patahan (Moulds, 1989). Struktur ini, serta pinchout stratigrafi dan onlap

(14)

19

menjebak hidrokarbon yang bermigrasi dari batu induk matang di rendahan yang berdekatan. Bidang paling awal ditemukan di reservoir Air Benakat dangkal dan Muarae nim, dan terletak di dekat Gumai dan depan Pegunungan Barisan. Penemuan selanjutnya terjadi lebih jauh dari pegunungan di reservoir yang lebih tua dan lebih dalam (Ford, 1985).

Lapangan di reservoir karbonat Oligosen ke Miosen batugamping Batur aja juga selaras umumnya Baratlaut - Tenggara karena penumpukan ini terletak batuan dasar tinggian atau relief blok patahan yang berasosiasi dengan rifted basin (Zeliff, dkk., 1985. Sebagian besar minyak di cekungan adalah parafinik dengan kandungan rendah Belerang (Petroconsultants, 1996; Ten & Schiefelbein, 1995). Baik lakustrin maupun fasies terrigen pada batas lingkungan lakustrin telah ditafsirkan sebagai sumber minyak di Cekungan Sumatera Selatan. Migrasi hidrokarbon terjadi di sepanjang carrier beds updip dari deep-rift cekungan, dimana batuan induk matang, dan kemudian patah di atasnya antiklin, yang membentuk mayoritas perangkap. Migrasi mungkin telah dimulai di akhir Miosen tengah di sub cekungan Palembang Selatan. Patahan regional breache di penutup Formasi Gumai, mengizinkan hidrokarbon untuk bermigrasi ke reservoir Miosen Tengah dan Akhir (Sarjono & Sardjito, 1989).

2.5.1 Batuan Induk

Batuan induk adalah suatu batuan yang mampu menghasilkan atau telah menghasilkan sejumlah hidrokarbon yang dapat bergerak. Untuk menjadi batuan induk, suatu batuan harus memiliki tiga aspek yaitu jumlah material organik, kualitas kemampuan menghasilkan hidrokarbon yang dapat bergerak dan kematangan temperatur. Dua faktor pertama merupakan hasil dari tektonik setting sementara faktor ketiga merupakan fungsi sejarah tektonik dan strukturan dari suatu daerah penelitian. Minyak bumi umumnya bersumber dari batuan induk sedimen yang telah mencapai derajat kematangan tertentu dan kaya akan material organik dan berpotensi menghasilkan hidrokarbon (Soppanata, 1996). Berikut ini adalah formasi yang berperan sebagai batuan induk di cekungan Sumatera Selatan:

(15)

20

Formasi Talang Akar dipercaya menjadi sumber hidrokarbon komersial dominan di cekungan Sumatera Selatan. Batuan sumber pada Talang Akar yang dibor pada batas graben hanya mengandung gas dengan kualitas yang cenderung buruk, sementara baik serpih paralic dan lapisan batubara memiliki kualitas batuan sumber yang berbeda di bagian yang lebih tebal di dalam sub cekungan Palembang Tengah, Palung Benakat (Sarjono & Sarjito, 1989; Kamal, 1999; Argakoesoemah dan Kamal, 2004) dan sumur dari sub cekungan Jambi. Sebagai contoh, di bagian Utara cekungan, nilai TOC di dalam bagian paling atas Talang Akar bervariasi, namun dapat setinggi 36% dengan nilai indeks hidrogen (HI) berkisar antara 200 dan 350 mgHC/g. Di daerah palung Benakat, telah diberitahu serpih dengan nilai TOC 5% dan kisaran nilai HI dari 110 – 400 mgHC/g, sementara telah diberitahu batubara dengan nilai HI 400 – 470 mgHC/g.

2. Formasi Lahat/Lemat

Formasi Lemat berumur Eosen-Oligosen dideskripsikan oleh Todd, dkk., (1997) sebagai batuan sumber lakustrin ke paralic. Beberapa sumur di lapangan Bentayan telah menembus serpih dengan nilai TOC berkisar antara 1 – 3% dan diinterpretasi menjadi batuan sumber minyak Alga kelas C (Pepper & Corvi, 1995) yang diendapkan di lingkungan lakustrin dangkal.

3. Formasi Baturaja

Batugamping berumur Oligosen-Miosen Baturaja dengan kondisi telah matang hingga awal matang dan telah menghasilkan hidrokarbon di area lokal (Sarjono & Sardjito, 1989). Batugamping ini telah menghasilkan gas termal di beberapa cekungan yang dalam, sehingga dapat berkontribusi gas pada sistem hidrokarbon (Sarjono & Sardjito, 1989).

4. Formasi Gumai

Sumber potensial secara lokal telah ditemukan di serpih laut formasi Gumai, umumnya menuju bagian dasar dekat dengan permukaan banjir

(16)

21

maksimal dari keseluruhan cekungan. Di beberapa sumur di bagian Utara cekungan, telah diberitahu nilai TOC mencapai 8% dan nilai HI mencapai 350 mgHC/g. Batuan sumber ini, meskipun belum matang, akan membentuk dapur batuan sumber yang efektif jika terdapat di bagian paling dalam Depresi Palembang Tengah dan Dalaman Lematang. Terdapat bukti kecil terkait migrasi signifikan hidrokabon dari batuan sumber ini, meskipun studi karakterisasi minyak menyarankan bahwa batuan sumber serpih laut telah menjadi sumber pada empat minyak pada daerah terbatas di bagian Selatan cekungan.

2.5.2 Batuan Reservoir

Batuan reservoir adalah batuan yang memiliki kemampuan untuk menyimpan fluida di dalam pori batuannya, sehingga fluida tersebut (air, minyak dan gas) dapat diakumulasi. Batuan reservoir harus memiliki porositas dan permeabilitas untuk mengakumulasikan dan mengalirkan minyak dalam jumlah ekonomis. Semua jenis batuan (sedimen, beku dan metamorf) dapat berperan sebagai batuan reservoir jika dapat memuat dan mengalirkan hidrokarbon. Batuan reservoir di dunia didominasi oleh batuan sedimen karena umumnya memiliki porositas primer. Batuan beku dan metamorf dapat menjadi batuan reservoir jika dalam keadaan retak (porositas sekunder).

1. Basemen Pra-Tersier

Reservoir pada basemen terdiri dari retakan granit, karbonat, konglomerat dan batupair dengan porositas rendah (<10%) dan permeabilitas matriks minimum. Aktivitas hidrotermal dan karstifikasi karbonat basemen tersedia secara lokal dikembangkan dengan porositas sekunder (Chalik, dkk., 2004).

2. Formasi Lahat/Lemat

Anggota Benakat pasiran dari Formasi Lahat terbukti merupakan reservoir komersial di Lapangan Benakat. Sedimen Lahat juga telah diberitahu sebagai reservoir di Puyuh dan Lapangan Ibul. Porositas di batupasir dan konglomerat sangat bervariasi dan memiliki porositas dan permeabilitas yang baik. Lebih dari

(17)

22

sebagian besar sedimen cekungan Lahat yang ada, berada di luar capaian mata bor.

3. Formasi Talang Akar

Bagian bawah reservoir Formasi Talang Akar terutama terdiri dari isian aliran, celah-celah, batupasir point-bar fluvio-deltaik yang berasal dari bagian Utara dan lingkungan aliran dataran-delta, muka-delta, batang-mulut sungai dan batang-batas laut di Selatan. Namun, variasi regional berhubungan dengan proksimisitas menunjjukkan bukaan laut yang telah dimodifikasi oleh pengaruh lokal yang berhubungan dengan tingkat subsidens dan proksimisitas ke sumber sedimen. Suksesi non-laut (kipas aluvial, dataran-braid dan sistem berliku) menunjukkan proksimal vertikal menuju progresi distal dengan waktu yang menyamakan dengan transgresi laut dilihat lebih lanjut di Selatan Raja.

Kualitas pasir reservoir dikonsetrasikan dalam dataran-braid dan aliran berliku. Terdapat hubungan spasial antara fasies fluvial tentang waktu baik dari topografi bukaan insepsi dan jarak dari sumber sedimen. Kualitas reservoir buruk dengan pemilahan buruk, sedimen aluvial proksimal dan deltaik distal, dengan porositas 10 – 15% (bergantung pada kedalaman) dan permeabilitas berkisar 1 – 50 mD. Secara kontras, kualitas reservoir baik di dalam sedimen yang diendapkan jauh dari daerah sumber pengendapan untuk memiliki tekstur sedang-tinggi dan kematangan mineralogis, namun tetap di dalam lingkungan energi tinggi. Disini, porositas dikonsentrasi pada kisaran 15 – 29% dengan permeabilitas dari 100 – 300 mD. Di bagian Barat cekungan terjadi peningkatan kandungan vulkanik menghasilkan penurunan terbatas pada porositas dan degradasi permeabilitas jelas karena pematahan leher pori oleh lempung autigenik. Batupasir dengan kualitas terbaik berbaring di bagian Timur, jauh dari pulau busur vulkanik sejaman, dimana telah diberitahu bahwa kisaran aliran ≤ 3000 bopd.

4. Formasi Baturaja

Singkapan Baturaja terdiri dari campuran suksesi batuan-wacke, batuan-pack, batuan butir dan susuan batuan batukarang (Hadi dan Simbolon, 1976). Data

(18)

23

sumur menunjukkan bahwa porositas Formasi Baturaja umumnya adalah sekunder di asalnya, hasil dari paparan freatik setelah pengendapan dan sebelum penguburan (Clure dan Fiptiani, 2001). Namun, lapisan dengan porositas tinggi di dalaman Formasi Baturaja berkaitan dengan pengendapan seperti proses diagenesis dan peningkatan potensial pori karbonat yang dipengaruhi oleh fasies pengendapan asal.

Porositas rata-rata lapangan produksi adalah 21%. Di bawah kedalaman 8000 kaki tidak ada hubungan antara porositas dan kedalaman, dan kisaran aliran gas telah dicapai dari kedalaman 11.700 kaki di Lapangan Singa (Crawley dan Ginger, 1998) mmscfd dan 630 bcpd telah dicapai dari reservoir Baturaja dengan porositas rata-rata 11%. Permeabilitas reservoir pada lapangan produksi berkisar dari 25 mD hingga 3.8 Darcy, meskipun aliran komersial secara normal terjadi setelah proses pengasaman (Lapangan Musi dikecualikan) dan kisaran aliran mencapai 4300 bopd dan 33 mmscfd telah dicapai.

5. Formasi Air Benakat/Gumai

Reservoir batupasir terbaik umumnya berada pada kedalaman diantara 5 – 40 m dan ditemukan di dalam laut dangkal atau lingkungan pesisir delta. Reservoir tersebut memiliki porositas tinggi (umumnya > 20%) namun permeabilitasnya bervariasi (10 mD hingga 3 Darcy), dengan 16 – 18% merepresentasikan reservoir cut-off efektif di hampir seluruh lapangan (k < 5 mD). Cut-off tinggi ini dianggap berasal dari komponen vulkanoklastik pada batupasir, dan kandungan lempung tinggi karena energi lingkungan pengendapan yang rendah hingga sedang. Rentang aliran umumnya hanya sedang (< 3000 bopd) meskipun secara relatif tebal net pay di banyak sumur karena kombinasi energi reservoir yang rendah dan permeabilitas yang secara relatif buruk.

2.5.3 Batuan Penutup

Penutup adalah suatu lapisan batuan yang membentuk pembatas atau tudung yang berada di atas dan sekeliling batuan reservoir. Biasanya terssun atas serpih, kapur, lempung, anhidrit atau garam. Suatu penutup membantu mencegah fluida dari

(19)

24

proses migrasi kekuar dari batuan reservoir. Kadang-kadang batuan penutup juga disebut sebagai batuan tudung. Umumnya batuan penutup bersifat impermeabel atau tidak memungkinkan fluida atau gas apapun melewatinya. Penutup dekat ata berasosiasi dengan jebakan di sekitarnya.

1. Penutup Regional

Serpih laut terbuka pada masa Awal-Tengah Miosen menyediakan penutup dengan kualitas terbaik dalam skala regional (Talang Akar paling atas, setara Formasi Baturaja dan Gumai). Batas pengendapan dari fasies penutup selama sejarah transgresi pada Awal Miosen (setara terhadap setiap umur formasi). Penutup Formasi Talang Akar paling atas adalah yang paling efektif pada bagian pusat cekungan dimana membungkus hampir seluruh tinggian basemen dan telah terbukti menutupi kolom gas lebih dari 500 m. Satu-satunya area dimana Formasi Gumai bukan merupakan penutup efektif adalah di bagian Barat dekat dengan atau di dalam Pegunungan Barisan dimana sedimen tuff kuarsa diendapkan selama jangka waktu Gumai, dan di lima sumur di paling Timur dekat dengan masukan klastik dari Perisai Sunda.

2. Penutup Intraformasional dan Lateral

Dataran karbonat non-karang Formasi Baturaja, walaupun tidak seefektif penutup pada skala regional, memang muncul untuk menjebak hidrokarbon pada skala lapangan yang luas. Sebagai contoh jebakan ini dapat dilihat di Lapangan Kaji, Semoga dan Sungai Kenawang (Hutapea, 1998; Clure dan Fiptiani, 2001). Kapasitas penutup lokal biasanya di dalam siklus sedimentasi di Formasi Talang Akar, Gumai dan Air Benakat dan telah menghasilkan banyak sekali contoh stacked pay di dalam lapangan di cekungan.

2.5.4 Jebakan

Jebakan terdiri dari susunan geometris batuan reservoir yang permeabel dan batuan penutup yang kurang permeabel yang bila dikombinasikan dengan properti fisika dan kimia fluida bawah permukaan yang dapat memungkinkan terjadi akumulasi hidrokarbon. Tiga jebakan utama meliputi setiap akumulasi hidrokarbon di bawah permukaan yaitu:

(20)

25 1. Jebakan struktural

Jebakan hidrokarbon yang terbentuk dari proses deformasi lapisan hasil aktivitas gaya tektonik, meliputi struktur patahan. Jebakan struktural yang umumnya ditemui dalam sistem hidrokarbon adalah antiklin, kubah atau cekungan. Keberadaan jebakan struktural mengindikasikan adanya hidrokarbon yang terperangkap.

2. Jebakan Stratigrafi

Jebakan hidrokarbon yang terbentuk karena adanya batuan impermeabel yang mengelilingi suatu reservoir. Umumnya jebakan stratigrafi berhubungan dengan peristiwa ketidakselarasan (unconformity).

3. Jebakan Kombinasi

Jebakan hidrokarbon yang terdiri dari jebakan struktural dan stratigrafi yang ditemukan secara bersamaan.

Antiklin dengan kecenderungan Baratlaut-Tenggara adalah perangkap pertama yang dieksplorasi dan tetap menjadi perangkap terpenting di cekungan Sumatera Selatan (van Bemmelen, 1949). Cadangan minyak dan gas yang ditemukan dalam antiklin memiliki total 3,1 BBOE cadangan utama yang dapat dipulihkan (Petroconsultants, 1996). Antiklin ini terbentuk sebagai hasil dari kompresi yang dimulai sejak awal Miosen namun paling ditonjolkan antara 2-3 juta tahun yang lalu (Courteney, dkk., 1990). Pinch-out stratigrafi dan build-up karbonat secara lokal dikombinasikan dengan lipatan dan antiklin untuk meningkatkan efektifitas jenis perangkap utama.

2.5.5 Migrasi

Migrasi merupakan proses perpindahan hidrokarbon dari batuan induk menuju batuan reservoir. Migrasi umumnya terjadi dari zona yang secara struktural lebih rendah (tekanan tinggi) menuju zona yang secara struktural lebih tinggi (tekanan rendah). Hal ini dikarenakan oleh adanya pengaruh relatif bouyancy hidrokarbon dibanding daerah di sekitarnya. Migrasi hidrokarbon terjadi di sepanjang kemiringan carrier-beds dari retakan atau celah cekungan yang dalam, dimana batuan sumber (source rock) telah matang, dan kemudian di sepanjang sesar untuk menindih antiklin yang membentuk mayoritas jebakan. Migrasi sudah dimulai

(21)

26

sejak Akhir-Tengah Miosen di sub cekungan Sumatera Selatan. Sesar menerobos penutup regional Formasi Gumai, membiarkan hidrokarbon bermigrasi ke reservoir Tengah-Akhir Miosen (Sarjono & Sardjito, 1989).

2.6 Pengertian Metode Gayaberat

Metode gayaberat merupakan salah satu metode geofisika yang bersifat pasif. Metode gayaberat memanfaatkan variasi medan gravitasi bumi sebagai akibat dari adanya kontras rapat massa (densitas) batuan di bawah permukaan secara lateral (Rosid & Siregar, 2017). Keberadaan struktur di bawah permukaan suatu daerah dapat diketahui berdasarkan kontras dan variasi densitas ini. Salah satu kelebihan metode gayaberat adalah kemampuannya dalam membedakan densitas suatu sumber anomali terhadap lingkungan sekitarnya. Adanya struktur geologi di bawah permukaan menyebabkan distribusi densitas yang tidak seragam (Setiadi, dkk., 2014).

Pada metode gayaberat, hal yang dianalisis adalah variasi medan gravitasi bumi yang timbul karena adanya variasi rapat massa (densitas) batuan di bawah permukaan. Dalam pelaksanaanya yang diulas adalah perbedaan medan gravitasi dari titik observasi tertentu terhadap titik observasi lainnya. Akuisisi metode gayaberat umumnya dilakukan secara looping. Prinsip dasar metode gayaberat yaitu Hukum Newton tentang gravitasi universal. Pemanfaatan metode gayaberat adalah pada survei pendahuluan eksplorasi jebakan minyak (oil trap). Selain itu, metode ini juga banyak digunakan pada eksplorasi mineral dan lainnya.

(22)

27 2.7 Prinsip Dasar Gayaberat

2.7.1 Hukum Newton

Gambar 2.5 Gaya tarik menarik antara dua benda

Prinsip dasar metode gayaberat adalah hukum Newton Gravitasi. Hukum Newton Gravitasi menyatakan bahwa gaya tarik menarik F antara dua buah benda berbanding lurus dengan massa kedua benda tersebut m1 dan m2 dan berbanding

terbalik dengan jarak r antara kedua titik pusat benda tersebut (Kearey, dkk., 2002) (Gambar 2.5), diberikan sebagai:

⃗ ̂ (2.1)

dimana:

= Gaya gravitasi (Newton)

= Konstanta gravitasi (6,67 x 10-11 m3kg-1s-2) = Massa benda 1 (kg)

= Massa benda 2 (kg)

= Jarak antar pusat massa (m)

̂ = Vektor satuan diarahkan dari m2 terhadap m1

Menganggap gaya tarik menarik gravitasi dari sferis, tidak berotasi dan bumi homogen dengan jari-jari R dan massa M terhadap sebuah massa kecil m di permukaannya. Secara relatif, sederhana untuk membuktikan bahwa massa sferis bereaksi meskipun dikonsentrasikan pada pusat sferis dan disubstitusikan pada persamaan:

(23)

28

Gaya berhubungan dengan massa akibat percepatan dan istilah ̂ dikenal sebagai percepatan gravitasi atau secara sederhana gravitasi. Berat dari massa diberikan sebagai mg. Pada bumi, gravitasi akan bernilai konstan. Bagaimanapun juga, bentuk bumi elips, berotasi, bentuk permukaan tidak beraturan dan distribusi massa internal diakibatkan oleh gravitasi untuk bervariasi melebihi permukaannya (Kearey, dkk., 2002).

2.7.2 Percepatan Gravitasi

Parameter yang diukur dalam gayaberat adalah bukan gaya gravitasi (F) melainkan percepatan gravitasi (g). Hubungan keduanya dinyatakan dalam hukum Newton II yang mengemukakan bahwa gaya total yang bekerja pada suatu benda berbanding lurus dengan percepatan sebuah benda dan berbanding terbalik dengan massanya. Hukum II Newton dinyatakan sebagai berikut:

⃗ , maka ⃗ (2.3)

⃗ ̂ ̂ (2.4)

Besarnya percepatan yang diakibatkan oleh pengaruh gravitasi di bumi (g) berbanding lurus dengan massa bumi (M) serta berbanding terbalik dengan kuadrat jari-jari bumi (R) (Telford, dkk., 1990). Pada pengukuran metode gayaberat, jari-jari bumi dipengaruhi oleh bentuk bumi mengakibatkan variasi nilai percepatan gravitasi pada masing-masing tempat. Beberapa faktor yang mempengaruhi nilai gravitasi adalah perbedaan derajat garis lintang, perbedaan ketinggian (elevasi), kedudukan bumi dalam tata surya, variasi rapat massa batuan di bawah permukaan bumi, perbedaan elevasi tempat pengukuran dan bentuk topografi bumi.

2.7.3 Potensial Gravitasi

Potensial gravitasi merupakan energi yang digunakan untuk memindahkan suatu massa dari suatu titik ke titik tertentu. Suatu benda dengan massa tertentu pada sistem ruang akan menyebabkan timbulnya medan potensial di sekitarnya. Medan potensial bersifat konservatif, artinya usaha yang dilakukan dalam suatu medan gayaberat tidak bergantung pada lintasan yang ditempuh tetapi hanya tergantung

(24)

29

pada posisi awal dan akhir (Rosid, 2005). Medan potensial dapat dinyatakan sebagai gradien atau potensial skalar (Blakely, 1996), melalui persamaan:

(2.5)

Fungsi U pada persamaan di atas adalah potensial gravitasi, sedangkan percepatan gravitasi g adalah medan potensial. Tanda negatif menyatakan bahwa arah gayaberat menuju ke titik yang dituju. Mengasumsikan bumi dengan massa M bersifat homogen dan berbentuk bola dengan jari-jari R, potensial gravitasi pada permukaan dapat didefinisikan melalui persamaan berikut:

̅ ̅ (2.6)

̅ ∫ ∫ (2.7)

∫ (2.8)

2.8 Koreksi Dalam Metode Gayaberat

Sebelum hasil dari pengukuran gayaberat dapat diinterpretasi, penting untuk melakukan koreksi untuk semua variasi dari medan gravitasi bumi yang mana tidak dihasilkan dari perbedaan densitas batuan yang mendasari. Proses ini disebut sebagai reduksi gayaberat (Lafehr, 1991). Kenyataannya, bentuk bumi tidak bulat sempurna melainkan berundulasi dan cenderung mendekati bentuk sferis, memiliki relief permukaan yang tidak rata, berotasi, berevolusi dan heterogen. Hal ini mengakibatkan variasi gayaberat di setiap titik di permukaan bumi akan bernilai tidak konstan karena dipengaruhi beberapa faktor lain yaitu lintang, elevasi, topografi, pasang surut bumi, dan variasi densitas di bawah permukaan (Telford, dkk., 1976).

Eksplorasi gayaberat cenderung menganalisis perubahan nilai gravitasi karena variasi densitas di bawah permukaan. Sedangkan nilai gayaberat yang terukur pada alat gravimeter tidak hanya dipengaruhi oleh faktor densitas, terdapat lima faktor lainnya yang juga mengakibatkan perubahan nilai gravitasi. Oleh sebab itu, pengaruh enam faktor ini harus dikoreksi dari nilai gravitasi yang terbaca pada gravitimeter. Dilakukan koreksi gayaberat untuk menghilangkan faktor-faktor lain yang mempengaruhi nilai gayaberat observasi, sehingga diperoleh nilai gayaberat

(25)

30

yang hanya dipengaruhi oleh pengaruh variasi densitas di bawah permukaan. Berikut adalah koreksi-koreksi yang dilakukan dalam metode gayaberat:

1. Koreksi Pasang Surut (Tidal Correction) 2. Koreksi Apungan (Drift Correction) 3. Koreksi Lintang (Latitude Correction) 4. Koreksi Udara Bebas (Free Air Correction) 5. Koreksi Bouguer (Bouguer Correction) 6. Koreksi Medan (Terrain Correction)

2.8.1 Koreksi Pasang Surut

Gambar 2.6 Komponen interaksi Bulan dan Bumi yang ditinjau dari titik P (Longman, 1959)

Pasang surut mengakibatkan terjadinya perubahan percepatan gravitasi hasil observasi yang disebabkan oleh gravitasi bulan. Sehingga muka air laut dan mantel/inti bumi cenderung lebih bergeser mengikuti dimana posisi bulan berada. Untuk menghilangkan pengaruh gravitasi benda-benda di luar bumi seperti bulan dan matahari maka dilakukan koreksi pasang surut. Bulan dan Matahari berubah terhadap lintang dan waktu sehingga mempengaruhi pembacaan anomali gayaberat di permukaan (Gambar 2.6).

Pada tahun 1959, Longman telah memperkenalkan persamaan yang digunakan untuk menghitung percepatan pasang surut yang terjadi karena pengaruh bulan dan matahari, sebagaimana keduanya berinteraksi pada setiap titik di bumi sebagai fungsi waktu. Pengaruh gravitasi bulan di permukaan bumi dapat diselesaikan melalui persamaan (Longman, 1959):

(26)

31 dimana:

= Potensial gravitasi di titik P akibat pengaruh Bulan = Posisi lintang

= Bulan = Bumi

= Jarak rata-rata ke Bulan = Jari-jari bumi

= Jarak dari pusat Bumi ke pusat Bulan

Dalam pelaksanaannya, koreksi tidal dilakukan melalui pengukuran gayaberat di stasiun yang sama (base) pada rentang waktu tertentu. Selanjutnya nilai gayaberat observasi tersebut diplot terhadap waktu supaya menghasilkan suatu persamaan. Persamaan ini digunakan untuk menghitung koreksi tidal. Nilai gayaberat yang telah mengalami koreksi tidal dihitung dengan persamaan berikut:

(2.10) dimana:

= gayaberat terkoreksi tidal

= gayaberat bacaan

= koreksi tidal

2.8.2 Koreksi Apungan

Adanya perbedaan nilai gayaberat observasi di stasiun yang sama pada waktu yang berbeda oleh alat gravitimeter (Kearey, dkk., 2002). Pada saat akomodasi dari stasiun tertentu ke stasiun berikutnya terjadi guncangan pada pegas dan perubahan temperatur pada alat gravimeter, sehingga terjadi perbedaan pembacaan nilai gayaberat (Gambar 2.7). Pengaruh ini dapat dihilangkan dengan melakukan pengukuran dalam suatu lintasan tertutup dan secara looping sehingga besarnya perbedaan dapat diketahui. Koreksi apungan diperoleh dengan persamaan:

(2.11)

(27)

32

(2.13)

(2.14)

dimana:

driftn = Koreksi apungan pada titik ke-n

= Waktu pembacaan pada stasiun ke-n = Waktu pembacaan pada base awal = Waktu pembacaan pada stasiun akhir = Bacaan gravitimeter pada base awal = Bacaan gravitimeter pada base akhir

= Gayaberat terkoreksi tidal dan drift

Gambar 2.7 Koreksi apungan (Reynolds, 1997)

2.8.3 Koreksi Lintang

Bentuk bumi tidak bulat sempurn, oleh sebab itu perlu dilakukan koreksi lintang. Terdapat perbedaan jari-jari bumi di kutub maupun di katulistiwa sebesar 21 km. Hal ini mempengaruhi nilai gayaberat yang terukur di permukaan. Nilai gayaberat di kutub akan lebih besar jika dibandingkan dengan nilai gayaberat di khatulistiwa. Sehingga, digunakan spheroid referensi sebagai pendekatan untuk mean sea level (geoid) dengan asumsi mengabaikan pengaruh benda di atasnya. Secara umum gravitasi terkoreksi lintang dihitung dengan persamaan GRS80 (Geodetic Reference System 1980):

(28)

33 2.8.4 Koreksi Udara Bebas

Ketinggian (elevasi) mempengaruhi medan gravitas bumi (spheroid referensi), oleh sebab itu perlu dilakukan koreksi udara bebas (Gambar 2.8). Koreksi udara bebas dilakukan karena adanya perbedaan nilai gayaberat yang diukur pada mean sea level (geoid) dengan nilai gayaberat yang diukur pada elevasi h meter dimana tidak ada batuan diantaranya. Pada mean sea level diasumsikan bentuk bumi ideal, spheroid, tidak berotasi, dan massa terkonsentrasi pada pusatnya, yang diberikan dengan persamaan berikut:

(2.16)

Nilai gayaberat di stasiun pengukuran yang terletak di elevasi h meter dari bidang referensi adalah:

(2.17)

dengan gu adalah gravity unit dan 1 gu = 0.1 mGal

Gambar 2.8 Koreksi udara bebas pada gayaberat (Zhou, dkk., 1990)

Koreksi udara bebas (FAC) adalah perbedaan nilai gayaberat observasi yang terletak pada bidang referensi (mean sea level) dengan suatu titik yang terletak pada elevasi h meter. Koreksi udara bebas dihitung dengan persamaan sebagai berikut (Telford, dkk., 1990): ( ) ( ) (2.18)

dimana = 981785 mGal dan R = 6371000 meter. Maka besar anomali pada posisi tersebut menjadi:

(29)

34 2.8.5 Koreksi Bouguer

Koreksi Bouguer dilakukan karena adanya suatu benda dengan densitas tertentu diantara bidang referensi dan titik observasi (Gambar 2.9). Koreksi ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan benda berupa slab tak berhingga. Perhitungan koreksi Bouguer diberikan oleh persamaan:

(2.20)

dimana:

= Densitas rata-rata (gr/cm3) = Elevasi stasiun dari datum (m)

Anomali gaya berat setelah diaplikasikan koreksi udara bebas dan koreksi Bouguer yaitu:

(2.21)

Gambar 2.9 Koreksi Bouguer (Zhou, dkk., 1990)

2.8.6 Koreksi Medan

Koreksi ini dilakukan sebagai akibat dari adanya pendekatan berupa slab tak berhingga pada koreksi Bouguer. Pada asumsi slab tak berhingga, topografi bumidiasumsikan datar. Namun, pada kenyataannya topografi bumi tidaklah datar tetapi berundulasi. Topografi sekitar mempengaruhi nilai gravitasi pada saat pengukuran baik bukit maupun lembah. Dengan demikian anomali gayaberat menjadi:

(2.22)

(30)

35 = Complete Bouguer Anomaly = Terrain Correction

Hammer chart (Gambar 2.10) digunakan untuk melakukan perhitungan TC (Terrain Correction). Berdasarkan besar radius dari titik observasi gayaberat, Hammer Chart tersebut dapat diklasifikasikan menjadi:

Gambar 2.10 Hammer Chart yang digunakan dalam koreksi medan

a. Inner Zone

Memiliki radius yang kecil, sehingga dapat diamati langsung di lapangan. Terdiri dari beberapa zona:

a. Zona B : Radius 6,56 ft dibagi menjadi 4 sektor b. Zona C : Radius 54,6 ft dibagi menjadi 6 sektor

b. Outer Zone

Memiliki radius yang besar. Pengukuran dilakukan dengan analisis peta kontur. Terdiri dari beberapa zona:

a. Zona D : Radius 175 ft dibagi 6 sektor b. Zona E : Radius 558 ft dibagi 8 sektor c. Zona F : Radius 1280 ft dibagi 8 sektor d. Zona G : Radius 2936 ft dibagi 12 sektor e. Zona H : Radius 5018 ft dibagi 12 sektor f. Zona I : Radius 8575 ft dibagi 12 sektor

(31)

36 g. Zona J : Radius 14612 ft dibagi 12 sektor

h. Zona K sampai M : masing-masing dibagi 16 sektor

2.9 Anomali Bouguer Lengkap

Keberadaan benda anomali di bawah permukaan baik pada kedalaman dangkal (anomali residual) maupun pada kedalaman dalam (anaomali regional) menyebabkan timbulnya gangguan pada medan gravitasi bum. Hal ini disebut sebagai anomali Bouguer atau Bouguer Anomaly. Anomali Bouguer umumnya sudah mengalami koreksi gayaberat. Koreksi gayaberat dilakukan untuk memperoleh CBA atau ABL. Selisih antara nilai gayaberat observasi (Gobs)

dengan nilai gayaberat teoritis (Gn) yang diukur pada titik pengamatan bukan pada

bidang referensi, baik elipsoid maupun muka laut rata-rata (mean sea level) menghasilkan ABL. Berdasarkan hasil selisih ini maka diketahui variasi densitas yang terukur pada suatu daerah secara vertikal dan lateral. Nilai anomali Bouguer dapat bernilai positif dan negatif. Keberadaan kontras densitas yang besar di bawah permukaan akan menghasilkan anomali Bouguer positif, dan sebaliknya keberadaan kontras densitas yang kecil akan menghasilkan anomali Bouguer negatif. Setelah melakukan koreksi pada data gayaberat hasil observasi, maka nilai ABL dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (Blakely, 1996), yaitu:

a. Anomali Bouguer Sederhana (ABS)

(2.23) b. Anomali Bouguer Lengkap (ABL)

(2.24) dimana:

ABS/ABL = Anomali Bouguer

Gobs = Percepatan gayaberat observasi

Gn = Percepatan gayaberat setelah terkoreksi lintang

FAC = Free Air Correction BC = Bouguer Correction TC = Terrain Correction

(32)

37 2.10 Densitas Batuan

Besaran utama yang digunakan dalam menentukan nilai percepatan gayaberat adalah rapat massa (densitas) batuan. Tekanan gaya tektonik menyebabkan terjadinya variasi densitas pada batuan sedimen (Untung, 2001). Anomali gayaberat dihasilkan dari perbedaan densitas atau kontras densitas antara sebuah bodi batuan dengan sekitarnya. Untuk bodi dengan densitas ρ1 menempel pada

material dengan densitas ρ2, kontras densitasnya adalah Δρ (Kearey, dkk., 2002)

dirumuskan sebagai:

(2.25)

Besaran densitas batuan setidaknya berada diantara semua parameter geofisika. Umumnya, jenis batuan memiliki rentang densitas antara 1.60 dan 3.20 Mg/m-3 (Tabel 2.1). Komposisi mineral dan porositas mempengaruhi densitas suatu batuan. Penyebab utama adanya variasi densitas pada batuan sedimen adalah variasi porositas. Sehingga, densitas batuan sedimen semakin meningkat seiring bertambahnya kedalaman, dikarenakan kompaksi dan umur yang dikarenakan sementasi progresif. Umumnya batuan beku dan metamorf memiliki porositas yang sangat kecil, komposisinya merupakan penyebab utama variasi densitas. Densitas umumnya meningkat seiring penurunan kadar asam, sehingga terdapat peningkatan densitas yang progresif dari jenis batuan asam hingga basik ke ultrabasik.

Pengetahuan tentang densitas batuan penting untuk penerapan pada koreksi Bouguer dan medan dan juga untuk interpretasi anomali gayaberat. Densitas umumnya ditentukan dari pengukuran langsung sampel batuan. Perbedaan berat menyatakan volume sampel sehingga densitas kering dapat diperoleh. Jika batuan tersebut bersifat poros maka densitas jenuhnya dapat dihitung dengan mengikuti prosedur diatas setelah menjenuhkan batuan tersebut dengan air. Nilai densitas digunakan dalam interpretasi yang kemudian tergantung pada bagian atas dan bawah lokasi batuan dari permukaan air.

(33)

38

Tabel 2.1 Nilai rapat massa (densitas) batuan (Telford, dkk., 1990)

2.11 Analisis Spektral

Analisis spektral dilakukan untuk mengestimasi kedalaman bidang diskontinuitas penyebab timbulnya anomali gayaberat dan lebar jendela optimum yang akan digunakan saat memisahkan anomali regional-residual suatu daerah penelitian. Prinsip dasar tahap analisis spektral adalah melakukan transformasi fourier pada

Density range Approximate average (Mg/m3) (Mg/m3) Alluvium 1.96-2.00 1.98 Clay 1.63-2.60 2.21 Gravel 1.70-2.40 2.00 Loess 1.40-1.93 1.64 Silt 1.8-2.20 1.93 Soil 1.20-2.40 1.92 Sand 1.70-2.30 2.00 Sandstone 1.61-2.76 2.35 Shale 1.77-3.20 2.40 Limestone 1.93-2.90 2.55 Dolomite 2.28-2.90 2.70 Chalk 1.53-2.60 2.01 Halite 2.10-2.60 2.22 Glacier ice 0.88-0.92 0.90 Rhyolite 2.35-2.70 2.52 Granite 2.50-2.81 2.64 Andesite 2.40-2.80 2.61 Syenite 2.60-2.95 2.77 Basalt 2.70-3.30 2.99 Gabbro 2.70-3.50 3.03 Schist 2.39-2.90 2.64 Gneiss 2.59-3.00 2.80 Phylite 2.68-2.80 2.74 Slate 2.70-2.90 2.79 Granulite 2.52-2.73 2.65 Amphibolite 2.90-3.04 2.96 Eclogite 3.20-3.54 3.37 Sedimentary rock Igneous rocks Metamorphic rocks Material type

(34)

39

lintasan-lintasan yang telah dilakukan gridding pada peta ABL. Transformasi fourier digunakan untuk mengubah domain waktu menjadi domain frekuensi.

Pengolahan data transformasi fourier dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Numeri dengan menginput data jarak pengukuran dan anomali Bouguer hasil gridding pada lintasan tertentu. Melalui transformasi fourier dapat diestimasi kedalaman dan lebar jendela (window) filter. Proses transformasi fourier akan menghasilkan keluaran berupa nilai real dan imaginer dari setiap lintasan. Nilai real dan imaginer ini kemudian diolah untuk memperoleh nilai A (amplitudo) dan k (bilangan gelombang), yang kemudian akan digunakan dalam proses pemisahan anomali regional dan residual. Menurut Blakely (1996), penurunan spektrum dari potensial gayaberat yang diamati pada suatu bidang horizontal didefinisikan sebagai:

( ) dan ( ) | |( )

| | (2.26)

Sehingga berdasarkan persamaan diperoleh:

| ( )|

| | (2.27)

Proses tranformasi fourier pada anomali gayaberat di lintasan tertentu menjadi: (

) ( )

| |( ) (2.28)

dimana:

= Anomali gayaberat

= Bilangan gelombang, dengan = Elevasi titik pengamatan

= Kedalaman benda anomal

Apabila sebaran densitas dengan karakter acak dan tidak ditemukan hubungan antara setiap nilai anomali gayaberat maka = 1. Hasil proses transformasi fourier pada anomali gayaberat akan menjadi:

| |( ) (2.29)

dimana:

(35)

40 = Konstanta

Setelah nilai amplitudo (A) diperoleh maka selanjutnya nilai amplitudo (A) dilogaritmakan.

𝑛 | | (2.30)

Berdasarkan nilai logaritma natural A, diketahui bahwa hubungan antara gradien anomali pada tahapan analisis spektral berbanding terbalik dengan kedalaman rata-rata bidang dikontinuitas. Kedalaman anomali regional dan residual dapat diestimasi menggunakan metode kuadrat terkecil (least-square method) yang diterapkan pada gradien masing-masing grafik yang telah diplot nilai k dan ln A pada setaip lintasan. Nilai gradien yang ditampilkan pada setiap tren anomali merefleksikan kedalaman anomali regional dan residual. Pada tren yang cukup curam dihasilkan gradien bernilai besar yang merefleksikan kedalaman bidang diskontinuitas dalam sedangkan pada tren yang cukup landai dihasilkan gradien bernilai kecil yang merefleksikan kedalaman bidang diskontinuitas dangkal (Gambar 2.11). Bilangan gelombang cut off (kc) merupakan batas pertemuan

antara bidang diskontinuitas regional dan residual.

Gambar 2.11 Kurva Ln A terhadap K(Blakely, 1996)

2.12 Filter Moving Average

Anomali gayaberat yang terukur di permukaan adalah gabungandari anomali regional, residual dan noise. Filter moving average adalah teknik pemisahan anomali regional dan residual yang memiliki karakter low pass filter yaitu filter yang meloloskan sinyal dengan frekuensi rendah. Frekuensi rendah cenderung

(36)

41

memiliki penetrasi yang lebih dalam. Keluaran yang dihasilkan dari filter ini adalah anomali regional, umumnya anomali regional memiliki frekuensi rendah. Anomali regional merefleksikan bidang diskontinuitas yang berada pada kedalaman dalam. Anomali residual memiliki frekuensi tinggi. Anomali residual merefleksikan bidang diskontinuitas yang berada pada kedalaman dangkal. Untuk memisahkan anomali regional dari residual dibutuhkan informasi mengenai lebar jendela. Parameter penting yang dibutuhkan pada tahapan moving average adalah lebar jendela yang optimum. Nilai lebar jendela merupakan dasar pemisahan anomali regional dan residual. Untuk lebar jendela N*N diberikan dalam persamaan berikut:

(

) ∑ (2.31)

sedangkan anomali residualnya:

(2.32) dimana: = Anomali regional = Anomali residual = Nomor stasiun = Lebar jendela 𝑛 =

Sedangkan untuk kasus 2D dengan lebar window 5x5, diberikan dalam persamaan sebagai berikut:

(2.33)

Keluaran yang dihasilkan dari pemisahan anomali dengan menggunakan filter moving average adalah anomali regional. Anomali residual dihasilkan melalui selisih antara anomali Bouguer lengkap (ABL) dan anomali regional. Pada tahapan analisis spektral dihasilkan bilangan gelombang cut off (kc) yang

digunakan untuk masukan dalam perhitungan lebar jendela (Setiadi, Setyanta, & Widijono, 2010).

(37)

42 dimana:

= Lebar jendela

= Bilangan gelombang cut off = Spasi pengukuran

Gambar 2.12 Penerapan filter moving average dengan lebar 5x5

2.13 Pemisahan Anomali Regional-Residual

Anomali gayaberat yang terukur di permukaan merupakan penjumlahan dari semua kemungkinan sumber anomali yang berada di bawah permukaan dimana salah satunya merupakan target yang dicari. Efek yang disebabkan oleh bidang diskontinuitas pada daerah dalam disebut anomali regional sementara efek yang disebabkan oleh bidang diskontinuitas pada daerah dangkal disebut anomali residual. Apabila target yang dicari adalah anomali residual, maka perlu dilakukan permisahan antara anomali regional dengan anomali residual dan noise.

Pemisahan anomali regional dan residual didasarkan pada frekuensi. Frekuensi berkaitan erat dengan kedalaman bidang diskontinuitas yang menjadi sumber anomali. Anomali regional memiliki frekuensi yang rendah sedangkan anomali residual memiliki frekuensi yang tinggi. Tujuan dilakukan pemisahan anomali ini untuk mengetahui nilai anomali regional dan residual yang menggambarkan keadaan bawah permukaan sebenarnya.

(38)

43 2.14 Second Vertical Derivative

Second Vertical Derivative (SVD) digunakan untuk menampilkan bidang diskontinuitas dangkal (residual) dari efek regional serta mengidentifikasi batas-batas struktur yang terdapat di suatu lokasi penelitian. Pentingnya SVD pada interpretasi gayaberat diangkat dari fakta bahwa diferensial gandasehubungan dengan kedalaman cenderung menekankan anomali geologi yang lebih kecil dan dangkal (Elkins, 1951). Berdasarkan studi teknik interpretasi gradien terintegrasi untuk data gayaberat 2D dan 3D dihasilkan, SVD meningkatkan efek dekat permukaan pada anomali yang lebih dalam (Saibi, dkk., 2006).

Analisis Second Vertical Derivative telah digunakan sebagai alat untuk delineasi anomali sejak awal 1950an. Hal ini dikarenakan keefektifannya dalam meningkatkan data gayaberat yang muncul sangat halus. Di Indonesia, analisis SVD dari data gayaberat banyak digunakan untuk mendelineasi cekungan sedimen pada eksplorasi hidrokarbon (Widianto, 2008), untuk memetakan struktur sesar pada eksplorasi panas bumi (Sarkowi, 2010) dan dalam studi geologi pada umumnya (Ali, dkk., 2015).

Kalkulasi dari gradien ditujukan untuk meningkatkan tanpilan halus dari data gayaberat yang dinyatakan tidak terlihat secara visual dari data aslinya. Gradien tinggi dapat berasosiasi dengan kontras tinggi dari suatu properti fisis di bawah permukaan dan sebaliknya. Gradien dan besarannya, umumnya digunakan untuk mendelineasi batas dari sumber anomali. SVD dari komponen vertikal data gayaberat , dapat dihitung pada domain spasial dari gradien horizontal dengan menggunakan persamaan Laplace’s:

dimana (2.35)

Maka persamaannya menjadi:

(2.36) * + (2.37)

Pada penampang 1D, variabel y memiliki nilai konstan maka persamaannya adalah:

(39)

44

*

+ (2.38)

Pada penampang 1D, anomali SVD (

) diperoleh dari turunan satu kali

terhadap data FHD (

(

)). Negatif turunan orde kedua dari komponen

horizontal bernilai sama dengan Second Vertical Derivative dari suatu anomali gayaberat. Hal ini berarti bahwa SVD dapat diperoleh melalui turunan orde kedua, sehingga: (2.39) Sehingga, (2.40)

SVD dapat diturunkan melalui konvolusi antara filter SVD dengan anomali gayaberat. Anomali SVD dapat diperoleh melalui proses filtering dengan persamaan konvolusinya. Hal ini hanya berlaku untuk data anomali gayaberat yang memiliki grid teratur. Dihitung dengan persamaan berikut:

(2.41) dimana:

F = Filter SVD

Δg = Anomali gayaberat

Dalam metode SVD terdapat beberapa operator filter yaitu Henderson & Zeitz (1949), Elkins (1951) dan Rosenbach (1952) (Tabel 2.2).

Tabel 2.2 Operator filter SVD 2D

Operator Filter SVD Menurut Henderson & Zeitz (1949)

0.0000 0.0000 -0.0838 0.0000 0.0000

0.0000 +1.0000 -2.6667 +1.0000 0.0000

-0.0838 -2.6667 17.0000 -2.6667 -0.0838

0.0000 +1.0000 -2.6667 +1.0000 0.0000

0.0000 0.0000 -0.0838 0.0000 0.0000

(40)

45 0.0000 -0.0833 0.0000 -0.0833 0.0000 -0.0833 -0.0667 -0.0334 -0.0667 -0.0833 0.0000 -0.0334 +1.0668 -0.0334 0.0000 -0.0833 0.0667 -0.0334 -0.0667 -0.0833 0.0000 -0.0833 0.0000 -0.0833 0.0000

Operator Filter SVD Menurut Rosenbach (1952)

0.0000 +0.0416 0.0000 +0.0416 0.0000

+0.0416 -0.3332 -0.7500 -0.3332 +0.0416

0.0000 -0.7500 +4.0000 -0.7500 0.0000

+0.0416 -0.3332 -0.7500 -0.3332 +0.0416

0.0000 +0.0416 0.0000 +0.0416 0.0000

2.15 Kriteria Bott untuk Interpretasi SVD

Secara historis, kemampuan SVD dalam delineasi batas sumber anomali telah ditarik oleh praktisi sejak awal tahun 1950an menggunakan prosedur manual secara virtual (Elkins, 1951; Baranov, 1975). Dalam perspektif dari pendekatan 1D, Bott (1962) mengusulkan kriteria sederhana untuk menginterpretasi anomali gayaberat negatif berdasarkan besaran relatif dari SVD di sepanjang profil. Jika SVDmax lebih besar daripada SVDmin maka anomali berhubungan dengan

cekungan sedimen dengan tepi miring ke dalam, sementara jika SVDmax lebih

kecil daripada SVDmin maka sumber anomali adalah granit pluton dengan tepi

miring ke luar.

Adopsi kriteria Bott oleh banyak praktisi Indonesia dan akademis (dosen dan mahasiswa) untuk menentukan jenis patahan dari SVD adalah sesat. Dengan mempertimbangkan satu sisi dari tampilan/kenampakan (contoh: setengah cekungan dan setengah pluton) dan menggunakan besaran relatif dari SVDmax dan

SVDmin untuk menentukan jenis patahan yang memisalkan kontras densitas. Lebih

khusus lagi, jika SVDmax lebih besar dari SVDmin maka anomali gayaberat

disebabkan oleh sesar turun dengan kemiringan ke arah bagian anomali rendah, seolah merupakan half-graben. Sebaliknya, jika SVDmax lebih kecil dari SVDmin

(41)

46

maka anomali gayaberat berasosiasi dengan sesar naik naik ke atas ke bagian anomali rendah, seolah merupakan half-horst (Sumintadireja, dkk., 2018).

2.16 Pemodelan ke Depan

Informasi geologi berupa keberadaan struktur sesar pada Lembar Geologi Tulungselapan kemudian dimodelkan dengan pemodelan ke depan (forward modeling). Proses perhitungan data yang teoritis akan teramati di permukaan bumi jika diketahui harga parameter model bawah permukaan tertentu disebut sebagai pemodelan ke depan (Grandis, 2009). Menurut Talwani (1959), pemodelan ke depan untuk menghitung efek gayaberat pada suatu model bawah permukaan dapat dilakukan dengan membuat penampang berbentuk sembarang berbentuk poligon bersisi n yang dinyatakan sebagai integral garis sepanjang sisi poligon (Talwani, 1959). Berdasarkan metode yang mirip dengan Hubbert (1948), komponen vertikal dan horizontal dari tarikan gravitasi diberikan:

∮ (2.42)

∮ (2.43)

dimana:

G = Konstanta gravitasi universal ρ = Densitas volume bodi

∮ = Intergral garis

Pertama, hitung BC yang bertemu di sumbu X pada titik Q dengan sudut i.

Asumsikan jarak PQ = ai, maka:

(2.44)

Untuk titik R yang terletak secara bebas di sepanjang BC, dihitung dengan:

(2.45)

Dari persamaan (2.44) dan (2.45) diperoleh:

(2.46) atau: ∫ (2.47) ∫ ∫ (2.48)

(42)

47

Komponen vertikal ( dan horizontal dari tarikan gravitasi karena keseluruhan poligon:

dan ∑ (2.49) Penjumlahan dilakukan pada n sisi poligon. Untuk menyelesaikan integral pada persamaan dengan Zi dan Xi:

* , -+(2.50) * , -+ (2.51) dimana: ( ) ( )

Gambar 2.13 Efek gayaberat poligon (Talwani, 1959)

Perangkat lunak Geosoft Oasis Montaj digunakan untuk melakukan tahap pemodelan tersebut. Beberapa parameter yang dibutuhkan dalam pembuatan model adalah anomali residual, anomali SVD, data topografi, estimasi kedalaman, informasi struktur sesar dan densitas batuan penyusun daerah penelitian. Setelah memasukkan parameter tersebut, maka dapat dibuat model yang

Gambar

Gambar 2.1 Peta cekungan Sumatera Selatan dengan kenampakan struktur utama  (Hutchison, 1996; Williams, 1995; Moulds, 1989; Bemmelen, 1949)
Gambar 2.2 Peta sub cekungan Sumatera Selatan. Lokasi Penelitian ditandai kotak hitam  (Panggabean &amp; Santy, 2012)
Gambar 2.3 Peta Geologi Lembar Tulungselapan  (PPPG, 1993)
Gambar 2.4 Kolom stratigrafi Cekungan Sumatera Selatan  (Courteney, dkk., 1990; de  Coster, 1974; Sudarmono, dkk., 1997; Hutchinson, 1996; Sosrowidjojo, dkk., 1994)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Bibit eboni yang dipupuk dengan urea dosis 2 gt&amp;mlpolybag menghasilkan bibit tanaman yang paling baik, kemudian disusul dengan penambahan pupuk Urea dosis 1 gram/ polybag,

Mineral yang terkandung pada tonasi tidak mencukupi maka diperlukan subsidi dari material lain untuk memperkaya tonasi dari buah kakao yang mengandung mineral yang dapat diubah

Kendala penerbitan Izin Mendirikan Bangunan Pasar Terpadu Dinoyo berupa ketidaksinkronan Keputusan Walikota Nomor 188.45/469/35.73.112/2012 tentang Izin Mendirikan Bangunan Pasar

- Kadaluarsa minimal 2 tahun setelah diproduksi (sampai dengan 2017) - Telah terdaftar/teregistrasi di Kementerian Kesehatan RI. - Setiap box kemasan diberi label tipis

berkesan seperti pertemuan yang lalu.. Suasana agak ramai karena kebetulan hari itu hari minggu. Kulihat banyak juga rombongan dari sekolah lain. Memang danau ini sangat

Gambaran mengenai perilaku interactive petani bawang merah dalam mereduksi risiko mencerminkan kepatuhan mereka dalam menggunakan teknologi sesuai anjuran, diantaranya :

Informasi publik dan pelayanan publik tahun 2019 sudah berjalan lancar dan baik, namun masih perlu meningkatkan mutu, fasilitas serta koordinasi yang baik antar pegawai

Pekerjaan itu mulainya dalam Pondok Tebuireng dengan Hasrat ingin merevolusi dalam dunia pendidikan pesantren, cara kuno yang hanya terdiri dari mendengar dan