MARKUS OLEH MANTAN KABARESKRIM SUSNO DUADJI DI MEDIA TELEVISI
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi sebagai persyaratan memperoleh Gelar Sarjana pada FISIP UPN ”Veteran” Jawa Timur
Oleh:
EVIAN NUR UTAMI
0643210046
YAYASAN KEJUANGAN PANGLIMA BESAR SUDIRMAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI SURABAYA
MARKUS OLEH MANTAN KABARESKRIM SUSNO DUADJI DI MEDIA TELEVISI
Oleh:
EVIAN NUR UTAMI 0643210046
Telah Dipertahankan dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Jawa Timur Pada Tanggal 11 Juni 2010
Menyetujui,
Tim Penguji: Pembimbing Utama 1. Ketua
Dra. Dyva Claretta, M.Si Dra. Sumardjiati, M.Si NPT. 3 6601 94 0025 1 NIP. 19620323 199309 2001
2. Sekretaris
Drs. Kusnarto, M.Si
NIP. 19580801 198402 1001 3. Anggota
Dra. Dyva Claretta, M.Si NPT. 3 6601 94 0025 1 Mengetahui,
DEKAN
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil’allamin ...
Segala puji syukur kepada Allah Subhanahu Wata’ala atas segala rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi. Peneliti menyadari bahwa tanpa bantuan-Nya, maka Skripsi dengan judul ”Analisis Resepsi Pengguna Hukum Terhadap Citra Kepolisian Tentang Kasus Suap Pasca Pemberitaan Mantan Kabareskrim Susno Duadji di Media Televisi” ini tidak dapat terselesaikan.
Skripsi ini disusun dengan maksud sebagai salah satu syarat kelulusan untuk menempuh studi Strata 1 (S1), di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dengan Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Jawa Timur. Sejak awal hingga terselesainya skripsi ini, peneliti mengakui banyak sekali menerima bantuan dari berbagai pihak.
Pada kesempatan ini peneliti ingin mengucapkan terima kasih atas segala bantuan yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Disadari bahwa penulis tidak dapat melakukan sendiri tanpa bantuan beberapa pihak lain, ucapan terima kasih ini penulis tujukan kepada
1. Bpk. Juwito S.Sos, Msi., Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
4. Bapak dan Ibu Dosen, Program Diklat Ilmu Komunikasi, yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan yang bermanfaat bagi peneliti
5. Untuk orang tua dan keluarga peneliti, terimakasih buat kepercayaan yang diberikan dan selalu memberikan doa-doa yang suci untuk mendukung segala aktifitas kegiatan peneliti.
6. Teman-teman d’BaseCamp: Farida, Dini, Tuffah, Rosi, Feta, Rina, Dion, Rere dan Farhan. Juga teman sejawat peneliti, Atika, Teddy dan kawan-kawan lainnya, Keep Fight Guys .. God Always with us!!
7. Untuk Gischa Restiana, yang telah memberi semangat dan membuat peneliti berfikir untuk tidak mudah menyerah dengan keadaan.
8. Specialy for PsikopatLife, yang sudah memancing peneliti untuk menemukan
ide permasalahan yang diambil untuk skripsi.
9. Untuk para informan, yang bersedia untuk meluangkan waktu buat wawancara.
10.Serta semua pihak yang telah ikut serta untuk membantu hingga Proposal Skripsi ini dapat diselesaikan dengan segera.
Dalam kehidupan di dunia tidak ada yang sempurna, seperti halnya manusia yang selalu melakukan kesalahan. Oleh karena itu dalam kerendahan hati, dengan seluruh kemampuan dan kekurangan, peneliti berharap skripsi ini dapat bermanfaat dan berguna bagi siapa saja serta memperluas wawasan untuk selalu kritis dalam setiap kehidupan yang dilalui. Amin.
DAFTAR ISI
Hal
HALAMAN JUDUL ……….. i
HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN .………. ii
KATA PENGANTAR ……… iii
DAFTAR ISI ………... v
DAFTAR LAMPIRAN ………. vii
ABSTRAKSI ……….. viii
BAB I PENDAHULUAN ………. 1
1.1 Latar Belakang Masalah ………. 1
1.2 Perumusan Masalah ………. 10
1.3 Tujuan Penelitian ………. 10
1.4 Kegunaan Penelitian ……… 10
BAB II KAJIAN PUSTAKA ………. 11
2.1 Landasan Teori ………... 11
2.1.1 Reception Analysis ………... 11
2.1.2 Pengertian Suap ……… 16
2.1.3 Pengertian Markus ……… 18
2.1.4 Komunikasi Massa ………... 20
2.1.5 Televisi Sebagai Media Komunikasi Massa ……… 23
2.1.6 Pengertian Berita ……….. 25
2.1.8 Pengguna Hukum di Surabaya Sebagai Pemirsa Televisi 32
2.1.9 Cultural Studies ……… 34
2.1.9.1 Pengaruh Budaya dalam Proses Pemaknaan Teks 34 2.2 Kerangka Berpikir ………... 36
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ……..……… 38
3.1 Metode Penelitian …….……… 38
3.2 Subjek Penelitian ……….. 39
3.3 Unit Analisis ………. 39
3.4 Sasaran penelitian ………. 40
3.5 Teknik Pengumpulan Data ……… 40
3.5.1 Wawancara Mendalam (Dept Interview) ………. 40
3.6 Teknik Analisis Data ………. 43
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ……… 45
4.1 Gambaran Objek Penelitian ………. 45
4.1.1 Pengguna Hukum ……….. 45
4.2 Analisis Data ……… 46
4.2.1 Analisis Data ………. 46
4.2.2 Analisis Data Wawancara……….. 48
4.3 Interpretasi ……… 64
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ………. 68
5.1 Kesimpulan ……….. 68
5.2 Saran ………. 70
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Daftar Pertanyaan Wawancara ……… 73
Lampiran 2. Hasil Wawancara ……… 75
Informan 1 ………... 75
Informan 2 ………. 89
Informan 3 ………. 95
Informan 4 ……….. 99
Informan 5 ……….. 103
EVIAN NUR UTAMI. ANALISIS RESEPSI PENGGUNA HUKUM TERHADAP CITRA KEPOLISIAN MENGENAI KASUS SUAP PASCA PEMBERITAAN MARKUS OLEH MANTAN KABARESKRIM SUSNO DUADJI DI MEDIA TELEVISI
Penelitian ini didasarkan pada fenomena yang terjadi pada citra yang dimiliki oleh kepolisian. Citra merupakan suatu hal yang mendasar yang harus dimiliki oleh suatu institusi atau organisasi, untuk mendapatkan perhatian dan kepercayaan dari publik atau khalayaknya.
Penelitian ini menaruh pada perhatian pada masalah suap yang terjadi dalam tubuh kepolisian, terlebih setelah terbongkarnya kasus Makelar Kasus (Markus) dalam tubuh kepolisian pasca pemberitaan yang dilakukan oleh Mantan salah satu pejabat tinggi di Polri, yaitu Kepala Badan Reserse dan Kriminal Susno Duadji. Pada pemberitaan tersebut, Mantan Kabareskrim Susno Duadji menyatakan bahwa dalam tubuh Polri terdapat Makelar Kasus. Dalam pengungkapan yang dilakukan, mantan Kabareskrim tersebut, juga menunjuk tiga jendral kepolisian yang terlibat didalam Markus. Selain itu juga membuka kebenaran bahwa salah satu staff dari Dirjen Pajak Gayus Tambunan sebagai penerima aliran dana suap Rp. 24,6 Milyar. Ramainya pemberitaan tersebut di televisi, dapat mempengaruhi pandangan masyarakat pengguna hukum terhadap citra kepolisian saat ini.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis resepsi yang termasuk dalam penelitian kualitatif.
Data yang dianalisis adalah hasil wawancara mendalam yang dilakukan terhadap pengguna hukum di Surabaya. Hal ini dikarenakan selain Surabaya, adalah salah satu kota dengan penduduk terbesar kedua, di Surabaya terdapat Markas Kepolisian terbesar setelah Jakarta yaitu POLDA Jatim. yang memiliki pengalaman dalam berurusan hukum dan melakukan suap dan juga memiliki usia 21 tahun sampai 45 tahun. Wawancara tersebut dilakukan untuk semua golongan, tidak memandang jenis kelamin dan golongan tertentu.
Dalam penelitian ini menggunakan cultural studies dalam membentuk pemikiran individunya. Cultural studies terkait dengan semua praktek, institusi dan system klasifikasi yang tertanam dalam nilai-nilai, kepercayaan, kompetensi, rutinitas kehidupan dan bentuk-bentuk kebiasaan perilaku masyarakat. Sehingga menciptakan suatu pemikiran-pemikiran sendiri dalam satu individu, dalam mengartikan sebuah informasi yang didapatnya melalui media.
Dari data yang dianalisis, menyimpulkan bahwa citra kepolisian saat ini tidak pernah berubah dari dulu, yaitu tetap buruk di mata masyarakatnya. Terlebih dengan adanya kasus Markus yang terbongkar, hal membuktikan bahwa kepolisian belum mampu dalam meningkatkan citranya meskipun telah melakukan berbagai perbaikan di segala bidang yang ada didalamnya.
1.1 Latar Belakang Masalah
Citra perusahaan atau sebuah instansi merupakan suatu hal yang sangat sensitive untuk dibicarakan, karena dengan citra yang dimiliki,
perusahaan atau instansi tersebut dapat merangkul maupun menjauhkan publiknya.
Pengertian citra saat ini masih sangat abstrak, akan tetapi wujudnya dapat dirasakan melalui penilaian baik atau buruk. Seperti penerimaan dan tanggapan baik atau positif maupun negatif yang khususnya datang dari
publik (khalayak sasaran) dan masyarakat luas pada umumnya (Ruslan, 2002:74).
Apabila citra yang dimiliki perusahaan ataupun instansi baik
dimata khalayak publiknya, baik internal public maupun eksternal public, maka perusahaan atau instansi tersebut dapat dengan mudah merangkul
dan mengajak khalayaknya untuk mengembangkan peusahaan ataupun instansi tersebut. Dengan citra yang baik itulah maka khalayak memberikan tanggapan atau opini positif untuk perusahaan atau instansi
terkait.
Namun apabila citra yang dimiliki buruk di mata khalayaknya,
maka perusahaan atau instansi tersebut tidak mendapatkan dukungan yang positif dari khalayaknya. Dukungan yang tidak positif tersebut bisa
dilakukan dengan berbagai cara. Salah satunya adalah terjadinya demo
atau mogok kerja yang dilakukan oleh para pekerja maupun masyarakat sekitar karena tidak setuju dengan satu atau lebih dengan kebijakan yang
dimiliki oleh perusahaan atau instansi untuk diterapkan.
Dalam hal ini, membina hubungan baik dengan khalayak public sangat diperlukan. Ini juga berkaitan dengan tanggung jawab social kepada
publiknya, demi mewujudkan visi perusahaan. Berbagai macam cara membina hubungan baik tidak lah terlalu sulit untuk saat ini, karena
banyak media yang mampu menyediakan fasilitas tersebut.
Namun membina hubungan baik dengan khalayak, tidak dapat dengan mudah dipraktekkan. Ini dikarenakan khalayak sasaran yang kita
tuju adalah masyarakat luas. Yaitu yang terdiri dari sekelompok manusia yang selalu ber-evolusi dalam pemikiran setiap waktunya berdasarkan pengalaman-pengalaman yang diketahuinya. Bahkan dapat di bilang
bahwa masyarakat saat ini tidak dapat dibodohi lagi oleh informasi-informasi yang di berikan melalui media.
Saat ini, pertumbuhan media semakin mencolok di negara-negara berkembang, seperti yang terjadi di Indonesia. Diawali pada saat era reformasi, media semakin gencar dalam memberikan informasi untuk
sebuah berita dan tergolong bebas.
Hal ini menimbulkan banyak pihak ingin membuka lahan
menjangkau khalayak sasarannya. Terlebih lagi saat ini masyarakat
mampu memilih medianya sendiri untuk kebutuhan wawasannya.
Sebagai manusia yang berevolusi, masyarakat harus mampu
mengikuti suatu perkembangan tertentu untuk dapat mengembangkan potensi diri. Perkembangan media di Indonesia telah membuat banyak terbentuk stasiun-stasiun televisi baru. Dapat dicontohkan di Surabaya,
masyarakat dapat menemui kurang lebih 15 (lima belas) stasiun televisi di Surabaya
Perkembangan media yang bisa di bilang pesat, merupakan salah satu usaha yang dapat diterapkan untuk membina hubungan tersebut. Sehingga khalayak masyarakat dapat mengetahui segala perkembangan
informasi yang terjadi melalui media. Baik melalui media cetak maupun media elektronik.
Dengan berkembangnya stasiun televisi di Indonesia, hal ini
dijadikan suatu ajang kesempatan juga bagi Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Polri melakukan pemberitaan informasi mengenai dirinya di media
televisi. Media elektronik seperti televisi adalah media yang paling update dalam penyampaian informasi. Dengan media Televisi, Kepolisian mampu menyampaikan informasi-informasi yang ada dalam instansinya untuk
diberitakan atau diberitahukan kepada masyarakatnya. Antara lain dapat ditemui salah satu program yang dimiliki oleh Kepolisian, untuk melayani
Selain itu kepolisian juga sering melakukan sosialisasi programnya
dalam media televisi, seperti adanya sosialisi tentang kebijakan baru dari Kepolisian yang bekerja sama dengan Dinas Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan (DLLAJ). yaitu sosialisasi Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 yang pernah disiarkan di Trans 7 dan JTV salah satu TV Local di Jawa Timur.
Citra yang melekat di mata masyarakat mengenai Instansi
Kepolisian di nilai buruk. Baik dari segi perorangan (anggota Polisi), pelayanan kepada masyarakat bahkan sampai ke birokrasi hukumnya yang
rumit.
Namun sejak 1 April 1999, yang secara kelembagaan Polri keluar dari Tentara Nasional Indonesia (TNI), pihak kepolisian-pun mulai
merubah fungsinya sebagai alat Negara untuk menegakkan hukum, melindungi dan mengayomi masyarakat. Dengan semangat itulah, instansi kepolisian melakukan berbagai perubahan dalam meningkatkan
kepercayaan publiknya.
Secara perlahan kepolisian berupaya meningkatkan citranya,
dengan kegiatan-kegiatan yang mengarah kepada kesejahteraan masyarakat. Dalam peningkatan citra inilah, upaya-upaya peningkatan citra kepolisian digalakkan. Dengan memanfaatkan perkembangan media,
pihak kepolisian sering melakukan pemberitaan mengenai kegiatan-kegiatanya melalui media elektronik maupun media cetak.
pertama yang paling dikeluhkan oleh masyarakat.
(http://www.ombudsman-asahan.org/index.php?option=com_content&task=view&id=845&Itemid
=1). Meskipun hal ini merupakan salah satu bukti bahwa citra kepolisian dinilai buruk oleh masyarakat Indonesia, Reformasi yang dilakukan oleh polisi dalam tubuh Instansi Kepolisian, masih terus menerus dilakukan.
Dengan semakin meyakinkan publiknya, salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan memuat statement kepolisian. Pada saat itu statement yang
di utarakan oleh Kapolwiltabes Surabaya dimuat oleh salah satu media cetak di Surabaya. Pada 28 April 2008, Kapowiltabes Surabaya menyatakan bahwa kepolisian menerapkan gerakan anti suap. Sejak saat
itu pula kegiatan-kegiatan polisi sering di beritakan di media cetak tersebut.
Begitu banyak pemberitaan yang muncul mengenai kepolisian,
adalah salah satu terpaan bagi masyarakat pengguna hukum untuk dapat mengubah pandangannya mengenai kepolisian yang lebih baik. Sebagai
pandangan masyarakat awam, mengenai pemberitaan Polri, saat ini polisi benar-benar sudah melakukan reformasi yang dapat di bilang bagus.
Namun kenyataan yang ditemui dilapangan, tidak sepenuhnya
gerakan anti suap itu dilaksanakan. Masih banyak masyarakat yang menganggap Polisi masih mudah untuk disuap dalam pelayanannya,
Selain itu juga, pada beberapa waktu lalu telah terjadi beberapa
kasus yang dapat dikatakan melibatkan pihak Polri, yaitu kasus Bank Century. Kasus tersebut melibatkan Kabareskrim Komisaris Jenderal (Pol)
Susno Duadji sebagai salah satu yang terlibat dalam penyelewengan dana Century. Hal ini memaksa Kabareskrim Susno Duadji untuk mundur dari jabatannya sementara dan pada 24 November 2009, Kapolri resmi
memberhentikan Komjen Susno Duadji dari jabatan Kapala Badan Reserse
dan Kriminal (Kabareskrim).
(http://news.okezone.com/read/2010/03/25/339/315877/susno-jadi-tersangka-polri-dinilai-kontraproduktif)
Namun ketika kasus Bank Century belum selesai secara
keseluruhan, muncul satu kasus yang merupakan pernyataan dari Mantan Kepala Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Polri, Komisaris Jenderal Susno Duadji sendiri.
Kepada media, Mantan Kabareskrim Susno Duadji menyatakan bahwa dalam tubuh Polri terdapat Makelar Kasus atau yang lebih dikenal
dengan sebutan Markus. Dalam pengungkapan yang dilakukan, mantan Kabareskrim tersebut, juga menunjuk tiga jendral yang terlibat didalam Markus. Selain itu juga membuka kebenaran bahwa salah satu staff dari
Setelah melakukan pengakuan tersebut, Mantan kabareskrim
tersebut, mendapatkan perlawanan dari pihak Polri. Yang menyatakan bahwa dalam tubuh Polri tidak ada praktek Markus atau Jenderal markus.
Dengan pertentangan itu, mantan salah satu petinggi Polri tersebut tidak diam. Namun seiring kasus tersebut diungkap oleh beliau ke media, Mantan kabareskrim tersebut merasa terancam dengan seringnya mendapat
pesan ancaman terhadap dirinya melalui handphone. Mantan Kepala Badan Reserse dan Kriminal, Komisaris Jenderal Susno Duadji,
mendatangi Komisi III (Komisi Hukum) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ditemani empat pengacaranya untuk meminta perlindungan hukum ke Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat.
Hal ini juga dikarenakan pada Jumat 26 Maret yang lalu Susno menolak untuk diperiksa Propam. Susno beralasan Propam menggunakan Peraturan Kapolri Nomor 7 tahun 2006 dan Peraturan Kapolri Nomor 8
tahun 2006. Menurut Susno, kedua Peraturan Kapolri itu tidak sah digunakan untuk memeriksa dugaan pelanggaran kode etik profesi dan
disiplin kepada dirinya
.
http://nasional.tvone.co.id/berita/view/35510/2010/03/30/susno_datangi_k
omisi_iii_dpr_minta_perlindungan_hukum/
Sampai saat ini, kasus yang bermula dari pernyataan Mantan Kabareskrim tersebut masih terus ditindak lanjuti. Dalam kasus ini
Apa yang dilakukan oleh Mantan Kabareskrim tersebut, dapat
menimbulkan berbagai dugaan mengenai kepolisian dari masyarakat. Padahal seperti yang diketahui, bahwa Susno Duadji adalah salah seorang
yang pernah menjadi pejabat tinggi di Polri sebagai Kabareskrim.
Ramainya pemberitaan mengenai markus tersebut di televisi, membuat masyarakat sebagai pengguna hukum yang berkaitan dengan
pelayanan polisi setiap saatnya, dapat mengubah pandangannya kembali tentang kepolisian. Sehingga membuat pembangunan citra yang dilakukan
oleh kepolisian yang telah dilaksanakan secara bertahap selama ini, bisa mendapatkan tanggapan negatif.
Dengan adanya pemberitaan ini pula, sikap masyarakat sebagai
pengguna hukum pastilah bermacam-macam. Apalagi setelah pengakuan yang dilakukan oleh Susno Duadji, Instansi Kepolisian tidak fokus dalam mengusut kasus Markus yang terjadi didalamnya. Malah memutuskan
Susno Duadji sebagai tersangka pencemaran nama baik Instansi Polri. Keputusan yang dilakukan oleh pihak Kepolisian ini, pastilah juga
mendapatkan sikap yang berbeda-beda dari masyarakatnya. Karena menganggap polisi tidak mampu dalam memisahkan antara permasalahan intern dari anggotanya dengan masalah yang telah di ungkap dalam tubuh
Dengan alasan tersebut, maka penulis membuat penelitian ini
dengan judul “Analisis Resepsi Pengguna Hukum Terhadap Citra Kepolisian Tentang Kasus Markus Pasca Pemberitaan Mantan Kabareskrim Susno Duadji di media Televisi”.
Penelitian ini melibatkan pengguna hukum di Surabaya. Selain karena Surabaya adalah salah satu kota dengan penduduk terbesar kedua
setelah Jakarta, di Surabaya terdapat pusat dari hukum kepolisian di Jawa Timur yaitu POLDA Jatim.
Peneliti juga menggunakan pengguna hukum yang hanya dibatasi oleh usia 21 – 45 tahun. Dalam undang-undang menentukan bahwa untuk
dapat bertindak dalam hukum adalah seseorang yang telah dewasa.
Menurut pasal 330 KUH. Perdata seorang dikatakan dewasa apabila telah berusia 21 tahun keatas atau telah kawin sebelum mencapai umur tersebut dan jika terjadi pembubaranperwakilan sebelum mereka berusia 21 tahun
mereka tepat diakui dewasa.
Dalam psikologi pada usia 21 – 24 tahun sekarang sering disebut
sebagai masa dewasa muda atau masa dewasa awal. Dalam dewasa awal ini individu mendapatkan hak dan tanggung jawabnya terhadap perbuatan-perbuatan yang dilakukannya.
Dalam penelitian ini penulis akan melakukan wawancara mendalam mengenai pemberitaan makelar kasus yang berkaitan kepolisian
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: “Bagaimanakah Analisis
Resepsi Pengguna Hukum Terhadap Citra Kepolisian Tentang Kasus
Markus Pasca Pemberitaan Mantan Kabareskrim Susno Duadji di Media
Televisi?”
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui analisis resepsi pengguna hukum di Surabaya, mengenai citra Kepolisian setelah adanya pengakuan dari Mantan Kabareskrim Susni Duadji, megenai makelar
kasus yang sudah lama terjadi dalam tubuh Polri di Media Massa Televisi.
1.4 Kegunaan Penelitian a. Teoritis
Menjadikan bahan informasi untuk dimanfaatkan dan
dipertimbangkan dalam penelitian lebih lanjut b. Praktisi
- Menambah khasanah referensi bagi mahasiswa Ilmu Komunikasi
Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Jawa Timur.
- Menambah wawasan bagi masyarakat pengguna hukum di
2.1 Landasan Teori 2.1.1 Reception Analysis
Reception Analysis merupakan pendekatan baru dalam meneliti
khalayak media (New Audience Research). Menurut Fiske dan de Certeu, dalam reception analysis khalayak merupakan pihak yang berupaya mencari makna pesan teks media. Khalayak tidak pasif dan berdiam diri
saat menerima terpaan media dari segala penjuru.
Para perintis studi resepsi atau studi konsumsi menyatakan bahwa
apapun yang dilakukan analisis makna tekstual sebagai kritik masih jauh dari kepastian tentang makna yang teridentifikasi yang akan diaktifkan oleh audience. Yang dimaksudkan adalah bahwa audience merupakan
pencipta aktif makna dalam kaitannya tentang teks. Sebelumnya mereka membawa kompetensi budaya yang telah mereka dapatkan untuk
dikemukakan dalam teks sehingga audience yang terbentuk dengan cara yang berbeda akan mengerjakan makna yang berlainan (Barker, 2006:34).
Pada dataran teoritis dua wilayah studi terbukti memiliki pengaruh
tertentu: model encoding-decoding yang di kemukakan Hall (1981) dan studi resepsi literer.hall menyatakan bahwa produksi makna tidak menjamin konsumsi makna sebagaimana yang dimaksudkan pengode
karena pesan-pesan (dalam televisi), yang dikonstruksi sebagai sistem
tanda dengan komponen multi-accentuated, bersifat polisemis, jadi mereka
memiliki lebih dari sekedar serangkaian makna potensial. Ketika audience berpartisipasi dalam kerangka kerja kultural dengan produser, maka
decoding audience dan encoding tekstual akan serupa. Namun, ketika
anggota audience ditempatkan pada posisi sosial yang berbeda dari pengode yang memiliki sumber daya kultural yang sama sekali berbeda,
mereka akan mampu menkode program secara alternative. (Barker, 2006:34)
Reception analysis merupakan studi modern dari cultural studies.
Karakteristiknya adalah :
- The media has to be ”read” through the perception of its
audience, which construct meaning and pleasure from the media text (and these are never fixel or predictable)
- The very process of media use and the way in which it unfold in
a particular context are central objects of interest
- Media use a tipycalli situation-specific and oriented to social
takes that evolve out of participation in ”interpretatives communities”
- Audience for particural media genres often comprise separate
”interpretative communities” that share much the same form of discourse and framework for making sense of media
- Audience are never passive, not are all their member aquel,
since some will be more experienced or more active fans than other
- Method have to be ”qualitative and deep, even etnographic,
taking account of content, act of reception and the context together ”
(Lindlof dalam Mc Quail, 1991:19)
Dalam hal ini karakteristik dari Reception Analisis adalah :
- Media yang ”dibaca” melalui persepsi/ pengertian dari audiens, dimana
telah membangun arti dan sebuah kesenangan dari teks media (dan ini
- Setiap proses media yang digunakan dan cara yang ditempuh dengan
membentangkan konteks tertentu dengan pusat objek yang menarik. - Media menggunakan situasi yang pasti dan diorientasikan ke sosial
untuk menarik partisipan ke dalam ”pernyataan masyarakat”
- Audiens untuk gaya media particural sering terpisah yang meliputi
"interpretative masyarakat" dengan berbagi format kerangka dan
ungkapan yang hampir sama untuk membuat pengertian media.
- Audiens tidak pernah pasif, tidak semua dari mereka mampu
memandang semenjak beberapa dari mereka menemukan pengalaman lebih atau lebih dari mereka.
- Memiliki metode ”kualitatif dan mendalam, termasuk gaya penulisan,
memperhatikan isi, rindakan dari resepsi dan konteks bersama” (Lindlof dalam Mc Quail, 1991:19)
Reception Analysis menekankan pada penggunaan media sebagai
refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai proses dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan produksi (Mc
Quail, 1997:21)
Jensen (2003) mengatakan salah satu pikiran utama dalam reception analysis adalah para informan dari penelitian itu sendiri, untuk
membangun sebuah laporan penelitian yang valid dari resepsi tersebut, penggunaan, dan pengaruh kuat dari media, harus menjadi analisa yang
adalah elemen pelengkap dari satu wilayah penyelidikan yang ditujukan
untuk aspek-aspek yang saling tidak berhubungan maupun aspek-aspek komunikasi sosial. Pada intinya,”Reception analysis berpendapat bahwa
tidak akan pernah ada pengaruh tanpa makna.”(Jensen, 2003:135)
”Reception analysis adalah metode yang merujuk pada sebuah
komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak,
yang hasil interpretasinya merujuk pada konteks, seperti cultural setting dan context atas isi media lain”. ”Khalayak dilihat sebagai bagian dari
interpretive communitive yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan
memproduksi makna, tidak hanya sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi oleh media massa”
(McQuail, 1997:19, dalam Priyana Hadi, 2007:16).
Sejarah dari munculnya Reception analysis ini menurut Achmad (2008) berakar pada tradisi studi media yang berbeda dari premis yang
mendasari pendekatan Uses and Gratification. Analisis Resepsi khususnya dikembangkan dari teori kritis, semiologi, dan analisis diskursus. Analisis
resepsi mempertanyakan metodologi penelitian sosial ilmiah empiris dan juga studi humanistik isi media karena keduanya tidak mampu atau tidak mengindahkan kemampuan khalayak dalam memberikan makna pada
pesan pesan media. Inti dari pendekatan resepsi ini terletak pada atribusi dan konstruksi makna (yang didapat dari media) oleh khalayak. Pesan
Tradisi study khalayak dalam komunikasi massa mempunya dua
pandangan arus besar (mainstream), pertama khalayak sebagai audience yang pasif. Sebagai audience yang pasif orang hanya bereaksi pada apa
yang mereka lihat dan dengar dalam media. Khlayak tidak diambil bagian dalam diskusi-diskusi public. Khalaak merupakan sasaran media masa. Sementara pandangan kedua khalayak merupakan partisipan aktif dalam
public. Public merupakan kelompok orang yang terbentuk atas isu tertentu dan aktif mengambil bagian dalam diskusi atas isu-isu yang mengenuka
(Mc Quail, 1997:33)
Model ini menjelmakan beberapa prinsip yaitu keragaman beberapa prinsip yaitu keragaman pemaknaan, keberadaan interpretive
community (komunitas penafsir), keutamaan penerima dalam menentukan
makna. Analisis resepsi terutama dikembangkan untuk memberikan suatu pesan dan menyuarakan kepentingan ” receiver ” untuk menyatakan
pendapatnya (Morley, 1980 dalam Achmad, 2008)
Jensen (2003) mengatakan munculnya Reception analysis
dikelompokkan sesuai dengan konteks bentuk lain dari para informan penelitian tersebut, dan beberapa permulaan biasanya dimulai dengan mencoba untuk menemukan solusi dari masalah yang diajukan , untuk
Disamping beberapa paparan peneliti tentang reception analysis,
ternyata model ini juga memiliki beberapa kelemahan seperti yang disampaikan Achmad (2008), antara lain :
1. Teori resepsi seringkali didasarkan pada interpretasi subjektif dari laporan khalayak atau individu. Teori resepsi terlalu berorientasi pada level mikro.
2. Tidak dapat memberikan arahan tentang kehadiran atau ketidakhadiranefek media
3. Metode riset kualitatif mencegah atau tidak memungkinkan (preclude) penjelasan sebab akibat.
4. Analisis resepsi menghasilkan temuan-temuan yang kaya secara
kualitatif, tetapi temuan-temuan tersebut tidak terlalu mudah untuk diteliti ulang (replicable) dan jarang dapat digeneralisir diluar kelompok kecil individu individu yang secara khusus diteliti.
5. Analisis resepsi juga dikatakan tidak jelas baik relevan secara sosial, socially relevan atau banyak berguna bagi praktisioner, or much use to
practitioners.
(Jensen and Rosengren, 1990 dalam Achmad, 2008:46)
2.1.2 Pengertian Suap
Akhir-akhir ini masalah suap semakin sering diperbincangkan
kehidupan. Suap-menyuap tidak hanya dilakukan rakyat kepada pejabat
negara (pegawai negeri) dan para penegak hukum, tetapi juga terjadi sebaliknya. Pihak penguasa atau calon penguasa tidak jarang melakukan
sedekah politik (suap) kepada tokoh-tokoh masyarakat dan rakyat agar memilihnya, mendukung keputusan politik, dan kebijakan-kebijakannya.
Suap, disebut juga dengan sogok atau memberi uang pelicin.
Adapun dalam bahasa syariat disebut dengan risywah. Secara istilah adalah memberi uang dan sebagainya kepada petugas (pegawai), dengan
harapan mendapatkan kemudahan dalam suatu urusan.
Dalam buku saku memahami tindak pidana korupsi “Memahami untuk Membasmi” yang dikeluarkan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) dijelaskan bahwa cakupan suap adalah (1) setiap orang, (2) memberi sesuatu, (3) kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara, (4) karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan
kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
Dalam Undang-Undang No. 11 Th. 1980 tentang tindak pidana
suap dijelaskan bahwa tindak pidana suap memiliki dua pengertian, yaitu: 1. Memberi atau menjanjikan sesuatu dengan maksud membujuk agar
seseorang berlawanan dengan kewenangan/kewajibannya yang
menyangkut kepentingan umum.
2. Menerima sesuatu atau janji yang diketahui dimaksudkan agar si
Adapun pemberian suap ini dilakukan melalui tiga cara, yaitu : 1. Uang dibayar setelah selesai keperluan dengan sempurna, dengan hati
senang, tanpa penundaan pemalsuan, penambahan atau pengurangan,
atau pengutamaan seseorang atas yang lainnya.
2. Uang dibayar melalui permintaan, baik langsung maupun dengan
isyarat atau dengan berbagai macam cara lainnya yang dapat dipahami
bahwa si pemberi menginginkan sesuatu.
3. Uang dibayar sebagai hasil dari selesainya pekerjaan resmi yang
ditentukan si pemberi uang.
2.1.3 Pengertian Markus
Makelar, seperti halnya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, berarti: "perantara perdagangan (antara pembeli dan
penjual). Orang yang menjualkan barang dan mencarikan pembeli;
pialang". Sedangkan, menurut Kamus Bahasa Indonesia, susunan WJS
Poerwadarminta, makelar adalah: "pengantara perdagangan (orang yang
menjualkan barang atau mencarikan pembeli)"
Makelar kasus (markus) merupakan sebuah istilah yang berasal dari dua kata yang digabungkan menjadi satu, yaitu kata makelar dan
kasus. Dari pengertian kata makelar sendiri berarti merupakan perantara antara penjual dan pembeli. Makelar yang sudah mengenal baik si penjual
(http://www.infogue.com/viewstory/2009/11/22/pengertian_makelar_kasu
s_atau_markus/?url=http://karodalnet.blogspot.com/2009/11/makelar-kasus-atau-markus.html)
Bagi masyarakat umum, perantara lebih dikenal dengan istilah calo. Calo, dalam beberapa kamus bahasa Indonesia diartikan sebagai "orang yang menjadi perantara dan memberikan jasanya berdasarkan upah", tidak
ada bedanya dengan makelar. Calo lebih dikenal dalam pekerjaan yang lebih sederhana, seperti calo tiket pesawat terbang, kapal laut, dan bus.
Calo juga berkeliaran di tempat pelayanan publik, dengan birokrasinya yang dikenal berbelit, seperti urusan di pemda, kepolisian, imigrasi dan yang lainnya. Untuk mempermudah dan memperlancar berbagai urusan di
kantor publik banyak warga menggunakan jasa calo. Sebab itu muncul istilah uang sogok, uang pelicin, sampai uang pengertian. Baik makelar maupun calo, selain mendapatkan komisi dan upah, sering berusaha untuk
mendapatkan keuntungan lebih banyak dengan cara menaikkan harga atau melakukan mark up.
(http://www.suarapembaruan.com/News/2009/12/04/Editor/edit01.htm)
Dengan pengertian diatas, dalam praktek yang dapat dijumpai di lapangan, salah satunya adalah kepengurusan surat-surat kendaraan
dikenal dengan praktek pencaloan juga. Markus juga dapat diartikan sebagai kegiatan pencaloan untuk memperlancar suatu urusan yang tidak
pencaloan suatu kasus dalam taraf besar. Yang mampu melibatkan pejabat
hukum yang ada di tubuh kepolisian.
2.1.4 Komunikasi Massa
Mulyana menyatakan bahwa, komunikasi massa adalah komunikasi yang menggunakan media massa, baik cetak (surat kabar, majalah) atau
elektronik (radio, televisi) yang dikelola suatu lembaga atau orang yang dilembagakan yang ditujukan kepada sejumlah besar orang yang tersebar
di banyak tempat, anonim, dan heterogen. (2001; 75)
Menurut Tan and Wright dalam Liliweri 1991, komunikasi massa merupakan komunikasi yang menggunakan saluran (media) dalam
menghubungkan komunikator dan komunikas secara massal, berjumlah banyak, bertempat tingal yang jauh (terpercaya) sangat heterogen dan menimbulkan efek tertentu. (2004:3)
Sedangkan menurut Garbner (1967),
“Mass Communication is the technologically and institutionally based production and distribution of the most boodly shared continuous how of message in industrial societies”.
(Komunikasi massa adalah produksi dan distribusi yang berlandaskan
teknologi dan lembaga dari arus pesan yang continue serta paling luas
dimiliki orang dalam masyaralat industry).
Menurut Wright, dalam Severin dan Tankard, bahwa komunikasi
1. Komunikasi massa diarahkan kepada audiens yang relatif besar,
heterogen, dan anonim.
2. Pesan-pesan yang disebarkan secara umum sering dijadualkan untuk
bisa mencapai sebanyak mungkin anggota audiens secara serempak dan sifatnya sementara.
3. Komunikator cenderung berada atau beroperasi dalam sebuah
organisasi yang kompleks yang mungkin membutuhkan biaya yang besar
(2005: 4)
Pada dasarnya media massa merupakan suatu alat untuk menyampaikan informasi kepada khalayak. Berikut adalah beberapa ciri
komunikasi massa menurut Effendy :
1. Sifat komunikatornya yang melembaga dan terorganisasi
2. Sifat media massanya yang serempak cepat, maksudnya pesan yang
disampaikan kepada masyarakat dapat dilakukan dalam waktu yang cepat dan bersamaan
3. Sifat pesannya yang umum (public), maksudnya pesan yang disampaikan oleh media massa dapat diakses oleh siapapun.
4. Sifat komunikannya, ditujukan kepada khalayak yang jumlahnya
relatif besar, heterogen dan anonim.
5. Sifat efek dari komunikasi massa yang timbul pada komunikan
Apakah tujuannya agar komunikan hanya tahu saja, atau agar
komunikan berubah sikapnya dan pandangannya (2002; 51)
Komunikasi memiliki fungsi dan menurut Dominick fungsi komunikasi massa adalah
1. Surveillace (Pengawasan)
Sebagai salah satu media untuk mengawasi bentuk pemberitaan yang di beritakan.
2. Interpretation (Penafsiran)
Penafsiran media ingin mengajak para pembaca atau pemirsa untuk memperluas wawasan dan membahasnya lebih lanjut dalam
komunikasi antar pesona atau kelompok. Sehingga dapat memberikan komentar atau opini yang ditujukan kepada khalayak pembaca serta dilengkapi perspektif (sudut pandang) terhadap berita yang disajikan. 3. Linkage (Pertalian)
Media massa dapat menyatukan masyarakat yang beragam sehingga
membentuk literage berdasarkan kepentingan dan minat yang sama tentang sesuatu.
4. Transmission of Values (Penyebaran Nilai-Nilai)
5. Entertainment (Hiburan)
Selain itu fungsi dari media massa adalah memberikan hiburan kepada masyarakat, sehingga tidak terlalu jenuh dengan informasi-informasi
yang telah diberitakan secara berat. (2001:15)
2.1.5 Televisi Sebagai Media Komunikasi Massa
Kehadiran teknologi televisi serta merta tidak lepas dari dampak
yang ditimbulkannya terhadap pandangan yang terbentuk oleh manusia atau masyarakat sebagai khalayaknya. Dengan televisi semata-mata tidak ada batasan dalam pemberian suatu informasi dan tidak ada batas terhadap
satu negara dengan negara yang lain, yang dapat menimbulkan globalisasi dibidang informasi. Segala peristiwa yang terjadi dibelahan dunia pada saat yang sama dapat diketahui melalui televisi.
Televisi berasal dari bahasa Yunani, terdiri dari kata tele yang berarti jauh dan visi yang berarti penglihatan. Jadi televisi diartikan
”melihat jauh” atau dipahami sebagai melihat gambar dan mendengar suara yang diproduksi di suatu tempat yang jauh (studio televisi) melalui sebuah perangkat penerima (televisi set). (Wahyudi, 1986:149)
Menurut Sastro (1992:23), bahwa dari beberapa media massa yang ada, televisi merupakan media massa elektronik yang paling akhir
masyarakat luas karena perkembangan teknologinya begitu cepat. Hal ini
disebabkan oleh sifat audio visual-nya yang tidak lain penayangannya mempunyai jangkauan yang relatif tidak terbatas.
Menurut Effendy, televisi adalah perpaduan antara unsur radio (broadcast) dan unsur-unsur film (moving picture). Televisi mempunyai daya tarik yang disebabkan adanya unsur-unsur kata, musik, sound effect
dan juga unsur visual berupa gambar. (2000:177)
Sedangkan siaran televisi adalah siaran-siaran dalam bentuk suara
dan gambar yang dapat ditangkap oleh umum baik dengan sistem pemancaran dalam elektromagnetik maupun kabel-kabel (Kuswandi, 1996:13)
Televisi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah siaran (Televisi Broadcast) yang merupakan media elektronik dan memiliki ciri-ciri yang
berlangsung satu arah, komunikatornya melembaga, pesannya bersifat
umum, sasarannya menimbulkan keserempakan dan komunikannya heterogen (Effendy, 1993:17)
Dari berbagai macam media massa yang ada, televisi mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. Televisi bersifat audio visual, yakni dapat didengar dan dilihat
sekaligus melalui panca indera. Televisi memberikan pengalaman yang langsung dan konkrit serta merangsang tumbuhnya minat-minat
2. Menonton televisi sifatnya kolektif, sehingga tayangan televisi dapat
mempersatukan suatu pikiran dan perbuatan. Lagi pula menangkap pesan dalam televisi menimbulkan keserempakan.
3. Televisi mampu menembus batas-batas geografis, ruang dan waktu
sehingga dapat menjadikan informasi mudah menyebar dan sampai kepada khalayaknya.
4. Televisi dapat menimbulkan keinginan-keinginan masyarakat, dan
mempercepat proses mencari perhatian terhadap berbagai keinginan
(Wahyudi, 1986:7)
2.1.6 Pengertian Berita
Berita berasal dari bahasa sansekerta, ”Vrit”, yang dalam bahasa inggris disebut ”Vrite”. Arti sebenarnya adalah ”ada” atau ”terjadi”. Ada juga yang menyebut dengan ”Vritta”, artinya ”kejadian atau yang telah
terjadi”. Vritta dalam bahasa Indonesia kemudian menjadi ”berita atau warta”. Dalam kamus bahasa Indonesia karya W. J. S Poerdaminata, berita
berarti kabar atau warta. (1984 : 128)
Dean M. Lyle Spencer dalam bukunya yang berjuddul News Writings, yang kemudian dikutip oleh Georgr Fox Mott (News Survey
Journalism), menyatakan bahwa, berita dapat didefinisikan sebagai setiap
fakta yang akurat atau suatu ide yang dapat menarik perhatian bagi
Dja’far H. Assegaff dalam bukunya Jurnalistik Massa Kini,
mendefinisaikan berita dalam arti jurnalistik sebagai berikut:
”Berita adalah sebagai laporan tentang fakta atau ide yang termasa
dan terpilih oleh staf redaksi suatu harian untuk disiarkan, yang kemudian dapat menarik pembaca. Entah karena uar biasa; karena penting atau akibatnya; karena mencakup segi-segi human interest seperti humor, emosi
dan ketegangan” (1982:24)
Namun pengertian berita bisa diperjelas menjadi ”laporan
mengenai kejadian atau peristiwa yang hangat”. Jadi berita dapat dikaitkan dengan kejadian atau peristiwa yang terjadi. (Djuroto, 2000 : 46)
DeFleur dan Dennis menyatakan bahwa definisi berita sebagai
laporan yang menyajikan rincian data tentang isu, peristiwa atau proses yang dapat menarik minat khalayak dan informasi. Yang disajikan dalam berita harus memiliki nilai yang lebih (signifikan, aktual, luar biasa dan
seterusnya) yang dapat menambah dan mempertegas pengetahuan khalayak (1989 : 604).
Kemudian menurut Mitchel V. Charnley dalam Effendy, definisi berita adalah laporan yang tepat waktu mengenai fakta atau opini yang memiliki daya tarik atau hal penting atau kedua-duanya bagi masyarakat
luas (Muda, 2003:22).
Sedangkan menurut Fred Wibowo, berita adalah suatu sajian
Cakupan tersebut dapat dicatat bahwa kata-kata seperti fakta,
akurat, ide, tepat waktu, menarik, penting, opini dan sejumlah pembaca merupakan hal-hal yang peru mendapatkan perhatian. Dengan demikian
disimpulkan bahwa berita adalah suatu fakta, ide atau opini aktual yang menarik dan akurat serta dianggap penting bagi sejumlah besar pembaca, pendengar, penonton. (Muda, 2003:22)
Lain dari pada itu, Paul de Massenner dalam buku Here’s Thee News : Unesco Associated menyatakan, news atau berita adalah sebuah
informasi yang penting dan menarik serta menarik minat khalayak.
Sedangkan Charnley & James M. Neal menuturkan berita adalah laporan tentang suatu peristiwa, opini, kecenderungan, situasi, kondisi,
interpretasi yang penting, mnarik, masih baru dan harus secepatnya disampaikan kepada khalayak (Errol jonathans dalam Mirza, 2000 : 68-69).
Doug Newsom & James A. Wallert, mengemukakan dalam definisi sederhana, berita adalah apa saja yang ingin dan perlu diketahui orang atau
lebih luas lagi oleh masyarakat. Dengan melaporkan berita, media massa memberikan informasi kepada masyarakat mengenai apa saja yang mereka butuhkan (1985 : 11).
Definisi lain yang dikumpulkan Assegaff, diharapkan bisa memberikan pengertian dan pemahaman yang lebih luas lagi mengenai
Sebuah berita menjadi menarik untuk dibaca, didengar atau
ditonton, jika berita tersebutmemilikini nilai atau bobot yangberbeda antarasatu dan yang lainnya. Nilai berita tersebut sangat tergantung pada
pertimbangan seperti berikut:
a. Timeliness
Berarti waktu yang tepa. Artinya emiliki berita yang akan disajikan
harus sesuai dengan waktu yang dibutuhkan oleh masyarakat pemirsa atau pembaca.
b. Proximity
Proximity artinya kedekatan. Kedekatan disini yakni dapat berarti
dekat dilihat dari segi lokasi, pertalian, ras, profesi, kepercayaan,
kebudayaan maupun kepentingan terkait yang lainnya.
c. Prominence
Prominence artinya adalah orang yang terkemuka. Semakin orang itu
terkenal maka akan semakin menadi bahan yang menarik pula.
d. Consequence
Consequence artinya konsekuensi atau akibat. Pengertiannya yaitu
segala tindakan atau kebijakan, peraturan, perundangan dan lain-lain yang dapat berakibat merugikan atau menyenangkan orang banyak
e. Conflict
Conflict (konflik) memiliki nilai berita yang sangat tinggi karena
konflik adalah bagian dalam kehdupan. Di sisi lain berita adalah
sangat berhubungan dengan peristiwa kehidupan.
f. Development
Development (pembangunan) merupakan materi berita yang cukup
menarik apabila reporter yang bersangkutan mampu mengulasnya dengan baik.
g. Weather
Weather (cuaca) di Indonesia atau di negara-negara yang beradadi
sepanjang garis khatulistiwa memang tidak banyak terganggu.
h. Sport
Berita olah raga sudah lama jadi daya tariknya
i. Human Interest
Kisah-kisah yang dapat membangkitkan emosi manusia seperti lucu, sedih,dramatis, aneh dan ironis merupakan peristiwa dari segi human
interest.
2.1.7 Jenis Berita
Berita pada umumnya dapat dikategorikan menjadi tiga bagian, yaitu hard news (berita berat), soft news (berita ringan) dan investigative
report (laporan penyelidikan). Ketiga kategori tersebut akan dapat
berita. Pembedaan terhadap tiga kategori tersebut didasarkan pada jenis
peristiwa dan cara penggalian data. (Muda, 2005:40-42)
1. Hard News
Hard news adalah berita tentang peristiwa yang dianggap penting
masyarakat baik sebagai individu, kelompok maupun organisasi. Berita tersebut misalknya tentang diberlakukanya suatu kebijakan baru
pemerintah. Ini tentu saja akan menyangkut hajat orang banyak sehingga orang ingin mengetahuinya, karena itu harus segera
diberitakan.
Reporter yang pandai seringkali menginformasikan berita tersebut lebih awal sebelum kebijakan diturunkan. Tentu dengan
mengetengahkan sumber-sumber yang dapat meyakinkan pemirsa. Misalnya tentang adanya isu pergantian pejabat atau adanya kenaikan harga. Hard news juga termasuk kejadian interasional, keadaan
masyarakat, masalah ekonomi, kriminal, kerusakan lingkungan, maupn berita tentang ilmu pengetahuan.
2. Soft News
Soft news juga sering disebut sebagai feature yaitu berita yang
tidak terikat dengan aktualitas, namun memiliki daya tarik bagi
pemirsanya. Berita-berita semacam ini sering kali lebih menitik beratkan pada hal-hal yang dapat menakjubkan atau mengherankan
hewan, benda, tempat atau apa saja yang dapat menarik perhatian
pemirsa. Misalnya tentang lahirnya hewan langka di kebun binatang, anjing menggigit majikannya, atau masyarakat kecil mendapatkan
lotere milyaran rupiah.
Bagi televisi, berita ringan ini sangat diperlukan dalam setiap penyajian buletin berita. Hal ini karena berita ringan juga dapat
berfungsi sebagai selingan antara berita-berita berat yang disiarkan pada awal sajian. Secara psikologis, pemirsa yang mendapat sajian
berita berat dari awal sampai akhir akan merasa tegang terus karena itu perlu interval. Iklan di dalam berita sesungguhnya juga punya fungsi yang sama selain fungsi promosi produk.
3. Investigative News
Investigative report disebut juga laporan penyelidikan investigasi
adalah jenis berita yang eksklusif. Datanya tidak bisa diperoleh di
permukaan, tetapi harus dilakukan berdasarkan penyelidikan. Sehingga penyajian berita seperti ini membutuhkan waktu yang lama dan tentu
akan menghabiskan energi reporternya.
Berita penyelidikan ini sangat menarik, karena cara mengungkapkannya pun tidak mudah. Seseorang reporter untuk dapat
melakukan tugas ini harus memiliki banyak sumber orang-orang dalam mendapatkan jaminan untuk tidak terekspos karena keselamatan diri
Berita penyelidikan untuk media televisi akan lebih sulit dilakukan
dibandingkan dengan berita yang sama untuk media cetak. Televisi membutuhkan gambar, bahkan wajah orang yang diwawancarai.
Namun teknologi elektronika kini memungkinkan untuk dapat mengaburkan wajah orang yang akan diwawancarai, agar dapat terhindar dari kemungkinan bahaya atas apa yang ia sampaikan dalam
wawancara televisi.
2.1.8 Pengguna Hukum di Surabaya Sebagai Pemirsa Televisi
Sasaran peneliti sebagai koresponden adalah usia 21 – 45 tahun, yang berada dalam lingkungan masyarakat di Surabaya. Dalam
undang-undang menentukan bahwa untuk dapat bertindak dalam hukum seseorang telah dewasa, arti dewasa dalam hukum berbeda-beda. Menurut pasal 330 KUH Perdata, seorang dikatakan dewasa apabila telah berusia 21 tahun
keatas atau telah kawin sebelum mencapai umur tersebut dan jika terjadi pembubaran perwakilan sebelum mereka berusia 21 tahun mereka tepat
diakui dewasa.
Pemirsa merupakan sasaran komunikasi massa melalui media televisi. Komunikasi dapat efektif, bila pemirsa terpikat perhatiannya,
tertarik minatnya, mengerti dan melakukan kegiatan yang diinginkan komunikator.
1. Heterogen (aneka ragam)
Yaitu pemirsa televisi adalah massa, sejumlah orang yang sangat banyak, yang sifatnya heterogen/ beraneka ragam, terpencar-pencar di
berbagai tempat. Selain itum pemirsa televisi dapat dibedakan pula menurut jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan dan taraf kehidupan dan kebudayaan.
2. Pribadi
Yaitu untuk diterima dan dimengerti oleh pemirsa, maka isi pesan
yang disampaikan melalui televisi bersifat peribadi dalam arti sesuai dengan situasi pemirsa saat itu.
3. Aktif
Yaitu pemirsa bersifat aktif, seperti apabila mereka menjumpai sesuatu yang menarik dari sebuah stasiun televisi, mereka aktif berfikir untuk melakukan interpretasi. Mereka bertanya pada dirinya, apakah yang
diucapkan oleh seorang penyiar televisi benar atau tidak. 4. Selektif
Yaitu pemirsa bersifat selektif dalam memilih program televisi yang disukainya.
2.1.9 Culural Studies
2.1.9.1 Pengaruh Budaya dalam Proses Pemaknaan Teks
Cultural Studies lahir sebagai alternatif baru dalam kajian terhadap
khalayak. Pada tahun 1960-an dibentuknya Centre for Contemporary Cultural Syudies di Universitas Brimingham Inggris sebagai bentuk
praktisi cultural studies dan telah memperluas basis intelektual dan
cakupan geografisnya.
Beberapa definisi cultural studies menurut Barnett (1998):
1. Cultural Studies adalah suatu arena interdisipliner dimana perspektif
dari disiplin yang berlainan secara selektif dapat diambil dalam rangka menguji hubungan antara kebudayaan dan kekuasaan.
2. Cultural studies terkait dengan semua praktik, institusi dan system
klasifikasi yang tertanam dalam nilai-nilai, kepercayaan, kompetensi, rutinitas kehidupan dan bentuk-bentuk kebiasaan perilaku suatu
masyarakat.
3. Bentuk-bentuk kekuasaan yang dieksplorasi oleh cultural studies
beragam, termasuk gender, ras, kelas, kolonialisme, dll. Cultural studies berusaha mengeksplorasi hubungan antara bentuk-bentuk kekuasaan ini dan kekuasaan yang dapat dimanfaatkan oleh sejumlah
agen dalam upayanya melakukan perubahan. (Barnett dalam Barker, 2006:7)
berbicara, bentuk-bentuk pengetahuan dan tindakan yang terkait
dengannya, tentang topik, aktivitas sosial tertentu atau arena institusional dalam masyarakat. (Hall, dalam Barker, 2006:6)
Jika dihubungkan dengan media, pengertian khalayak dibedakan menjadi dua yaitu mass society dan community. Di sini pengertian khalayak diartikan sebagai suatu comunityi. Lebih lanjut Littlejohn
membahas bahwa khalayak terdiri dari ragam komunitas yang berbeda-beda. Dimana masing-masing memiliki gagasan, nilai dan kepentingan
sendiri-sendiri. Kemudian isi media diinterpretasikan oleh anggota komunitas yang ada sesuai makna sosial yang berlaku didalamnya. Individu-individu yang ada dalam komunitas tersebut lebih dipengaruhi
oleh peers daripada oleh media. (Littlejohn, 1999:335)
Menurut Litllejohn (1999), ketika memahami makna isi media, komunitas-khalayak lebih mengacu pada makna sosial yang berlaku
disekitarnya dari pada makna teks meida itu sendiri. Dengan demikian, makna terhadap isi media berbeda pada tiap individu dan erat kaitannya
dengan budaya yang melingkupinya. Gerard Schoening dan James Anderson mengemukakan bahwa khalayak akan memahami dan menginterpretasikan apa yang ada dalam isi media dengan cara yang
berbeda satu sama lain. Khalayak mencari media sesuai dengan kebutuhannya sehingga ia akan memaknai isi media yang dipilihnya sesuai
interaksinya dengan lingkungan sosial. Memaknai isi media pun menjadi
suatu hal uang kompleks. Khalayak hidup dan berinteraksi dalam dunia sosial mereka sehingga makna diperoleh dari budaya. Budaya timbul dari
hasil interaksi antar individu yang terlibat didalamnya. Selanjutnya terbentuklah makna komunal atau makna bersama. Isi media pada akhirnya akan dimaknai bedasarkan makna individual khalayak dan makna
bersama sebagai hasil dari komunikasi dan interaksi. (Littlejohn, 1999:336)
Thompson bersama Williams, mengonsepsikan kebudayaan sebagai sesuatu yang biasa dan dijalani, meskipun dia juga menaruh perhatian pada apa yang dilihatnya sebagai sesuatu yang kultural namun
sosio-ekonomis. Bagi Thompson, kelas adalah fenomena ahistoris yang dibentik dan diciptakan oleh masyarakat: ia bukan ’benda’, melainkan serangkaian relasi sosial dan pengalaman. (Barker, 2006: 41)
2.2 Kerangka Berpikir
Kepuasan diperoleh individu setelah kebutuhan dapat tercapai. Hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa setiap individu pasti memiliki kebutuhan dan kebutuhan itu harus dipenuhi agar individu dapat meraih kepuasan
dalam hidupnya.
Kebutuhan individu tersebut beraneka ragam, mulai dari kebutuhan
fenomena yang terjadi disekelilingnya. Kebutuhan akan informasi dapat
dipenuhi dengan mengkonsumsi media cetak ataupun elektronik.
Televisi sebagai salah satu komunikasi massa adalah media massa
yang penyampaian isi pesannya seolah-olah langsung antara komunikator dan komunikan. Informasi yang disampaikan lewat televisi akan muda dimengerti karena jelas terdengar secara audio dan terlihat secara visual.
(Suwandi, 1997:7).
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan reception
analysis. Pendekatan ini memandang khalayak sebagai active producer of
meaning dan bukan hanya sebagai konsumen media. Penerimaan tersebut
tidak dapat diprediksi sebelumnya, karena masing-masing individu
memaknainya berdasarkan field of experience dan frame of reference yang dipunyai oleh masing-masing individu.
Untuk mendukung data penelitian, peneliti akan melakukan
wawancara mendalam (Dept Interview). Dengan mengajukan pertanyaan – pertanyaan terbuka mengenai citra kepolisian pasca pemberitaan markus
3.1 Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif adalah metode
yang digunakan untuk memilih kondisi suatu objek yang alamiah dimana peneliti merupakan instrument kunci. Selain itu metode kualitatif juga berupaya memahami tingkah laku manusia yang tidak cukup hanya dengan
surfance behavioral semata, tetapi juga melihat prospektif dalam diri manusia untuk mempunyai gambaran yang utuh tentang manusia dan
dunianya. (Mulyana; 2003:32)
Study yang digunakan dalam penelitian ini adalah Reception Analysis, yang merupakan sebuah studi yang menekankan pada khalayak
sebagai “interpretative communities”. Dimana khalayak dianggap aktif bukan hanya dalam penelitian media, tetapi juga aktif dalam memberikan
makna (meaning making) terhadap isi pesan media sesuai konteks dimana dia berada.
Dalam penelitian ini, peneliti berfungsi sebagai fasilitator yang
menjembatani keragaman subjektifitas pelaku social. Peneliti harus berempati dengan masyarakat yang akan diteliti, mengerti bagaimana mereka memahami realitas dan peristiwa yang beraneka ragam tersebut.
3.2 Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah hasil dari wawancara mendalam yang dilakukan, yaitu berupa informasi interpretasi, hasil pemikiran dan
pendapat masyarakat pengguna hukum sebagai informan. Lokasi penelitian dilakukan di Kotamadya Surabaya, dengan pertimbangan sebagai salah satu pusat kota dengan heterogenitas penduduk yang cukup
tinggi sehingga reliabilitas data dapat diperoleh. Selain itu Markas kepolisian terbesar kedua berada di POLDA Jatim, yang berlokasi di
Surabaya.
Pengguna hukum yang menjadi informan adalah yang tidak saling kenal, sehingga agar terhindar dari diskusi kecil, yang dapat merubah
pemikiran satu sama lain. Dalam hal ini, peneliti mengambil pengguna hukum yang berusia 21 tahun sampai dengan 45 tahun dari seluruh kalangan pengguna hukum di Surabaya, yang mengetahui mengenai
pemberitaan Susno Duadji dan pernah berkaitan dengan kasus suap dengan pihak kepolisian.
3.3 Unit Analisis
Unit analisis dari penelitian ini adalah narasi-narasi kualitatif yang
3.4 Sasaran Penelitian
Sasaran dalam penelitian ini adalah pengguna hukum yang sering berkaitan dengan kepolisian, yang berlokasi di Surabaya dan menonton
pemberitaan mengenai mantan Kabareskrim Susno Djuaji, tentang Makelar Kasus (markus) yang terjadi dalam tubuh Kepolisian. Pengguna hukum tersebut antara lain adalah ibu rumah tangga, karyawan atau
karyawati dan mahasiswa. Namun dalam hal ini tidak memungkinkan pula informan berantai, dari satu informan ke informan lain yang saling kenal
karena adanya pengalaman berurusan dengan kepolisian.
Yang membatasi penelitian ini adalah pada faktor usia 21 - 45 tahun. Hal ini dikarenakan, menurut pasal 330 KUHPerdata, seorang
dikatakan dewasa apabila telah berusia 21 tahun keatas atau telah kawin sebelum mencapai umur tersebut dan jika terjadi pembubaran perwakilan sebelum mereka berusia 21 tahun mereka tepat diakui dewasa.
3.5 Teknik Pengumpulan Data
3.5.1 Wawancara Mendalam (Dept Interview)
Wawancara mendalam adalah suatu cara mengumpulkan data atau informasi dengan cara langsung tatap muka dengan informan agar
mendapatkan data lengkap dan lebih mendalam. Wawancara ini dilakukan dengan frekuensi tinggi (berulang-ulang) secara intensif. Selanjutnya
diwawancarai beberapa kali), karena itu juga disebut dengan wawancara
intensif (intensive interview). Biasanya menjadi alat utama pada riset kualitatif yang dikombinasikan dengan observasi partisipan.
Wawancara mendalam memiliki karakteristik yang unik:
1. Digunakan untuk subjek yang sedikit atau bahkan satu atau dua orang
saja. Mengenai banyaknya subjek, tidak ada ukuran pasti. Berbeda
dengan riset kuantitatif yang mensyaratkan sampel harus dapat mewakili populasi. Pada wawancara mendalam periset berhenti
mewawancarai hingga periset bertindak dan berfikir sebagai anggota-anggota kelompok yang sedang di riset (Frei, 1992:288). Atau jika periset merasa data yang terkumpul sudah jenuh (tidak ada sesuatu
yang baru) maka ia bisa mengakhiri wawancara.
2. Menyediakan latar belakang secara detail (detailed background) mengenai alasan informan memberikan jawaban tertentu. Dari
wawancara ini terelaborasi beberapa elemn jawaban, yaitu opini, nilai-nilai (values), motivas, pengalaman-pengalaman, maupun perasaan
informan.
3. Wawancara mendalam memperhatikan bukan hanya jawaban verbal
informan, tapi juga observasi yang panjang mengenai respon-respon
nonverbal informan.
4. Wawancara mendalam ini biasanya dilakukan dalam waktu lama dan
bisa menghabiskan waktu berjam-jam. Bahkan bila perlu
pewawancara sampai harus melibatkan diri secara dekat dengan hidup bersama informan guna mengetahui pola keseharian informan.
5. Memungkinkan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang berbeda atas
informan yang satu dengan yang lain. Susunan katandan urutannya disesuaikan dengan ciri-ciri setiap informan (Denzin, 1989:105). Jadi,
pertanyaannya tergantung pada informasi yang ingin anda peroleh dan berdasarkan jawaban informasi yang dikembangkan oleh periset.
6. Wawancara mendalam sangat dipengaruhi oleh iklim wawancara.
Semakin kondusif iklim wawancara (keakraban) antara periset (pewawancara) dengan informan, maka wawancara dapat berlangsung
terus.
(Rakhmat, 2006:99)
Wawancara mendalam (Depth Interview) dipakai untuk
mendapatkan dan mengumpulkan data. Wawancara mendalam akan dilakukan secara per partisipan, sehingga antara individu partisipan satu
dengan yang lain tidak ada hubungan untuk saling memperngaruhi dan diambil dari nernagai kalangan yang ada di masyarakat. Peneliti akan mengambil antara 10 sampai 20 partisipan sebagai informan untuk di
wawancarai.
Penggunaan wawancara mendalam, menuntut peneliti untuk
sikap masyarakat pengguna hukum di Surabaya setelah adanya
pemberitaan mengenai Makelar kasus (Markus), yang diungkap oleh salah satu Mantan Petinggi Kepolisian, Kabareskrim Susno Duadji.
3.6 Teknik Analisis Data
Pada tahap analisis data ada beberapa hal yang harus diperhatikan,
yaitu:
1. Kata-kata
Kata-kata aktual dan maknanya sebaiknya ditentukan dengan mengelompokkan konsep yang sama.
2. Konteks
Mencari stimulus pencetus, enterpretasi dan komentar yang terkandung dalam konteks setiap kata.
3. Konsisten Internal
Membuat alur percakapan dan maencatat setiap perubahan dan pergantian posisi ketika berinteraksi.
4. Kekhususan Respon
Respon berdasarkan pengalaman dipandang lebih berbobot dari pada respon yang tidak jelas dan impersonal.
5. Gagasan Umum
Mencari gagasan umum yang menjadi benang merah dari keseluruhan
hasil diskusi.
Analisis data haruslah mengikuti aturan tertentu agar diperoleh
suatu kesimpulan yang sama oleh pihak lain melalui pengolahan dokumen atau data mentah yang ada.
Selain itu, untuk mendapatkan pemahaman dan pemaksaan saat melihat situasi tertentudalam partisipan, data yang dilaporkan bias dilihat dalam tiga level berikut:
1. Data Mentah. Berupa pernyataan responden yang disusun berdasarkan tingkat alamiah atau tema yang diangkat dalam diskusi. 2. Pernyataan Deskriptif. Merupakan kesimpulan komentar responden
yang didukung contoh ilustrasi dengan menggunakan data mentah. 3. Interpretasi. Mengacu pada proses pemaknaan data pernytaan
deskriptif dengan memperhatikan bias-bias dalam interpretasi. (Marczak, 2002: http://ag.arizona.adu/fcr/fs/cyfar/focus.html)
Dari data yang tersedia tersebut, peneliti dapat mengambil
4.1 Gambaran Objek Penelitian 4.1.1 Pengguna Hukum
Pengguna hukum adalah masyarakat yang dikenai peraturan yang
telah diberlakukan oleh penegak hukum dan negara. Pengguna hukum dalam penelitian ini adalah masyarakat yang Dewasa.
Dalam undang-undang menentukan bahwa untuk dapat bertindak
dalam hukum adalah seseorang yang telah dewasa. Menurut pasal 330 KUH. Perdata seorang dikatakan dewasa apabila telah berusia 21 tahun
keatas atau telah kawin sebelum mencapai umur tersebut dan jika terjadi pembubaran perwakilan sebelum mereka berusia 21 tahun mereka tepat diakui dewasa.
Dalam psikologi pada usia 21 – 24 tahun sekarang sering disebut sebagai masa dewasa muda atau masa dewasa awal. Dalam dewasa awal
ini individu mendapatkan hak dan tanggung jawabnya terhadap perbuatan-perbuatan yang dilakukannya. (Moenks/Knoers/Haditono, 2006: 262)
Penelitian ini melibatkan pengguna hukum di Surabaya yang
berusia 21 tahun sampai 45 tahun. Selain karena Surabaya adalah salah satu kota dengan penduduk terbesar kedua setelah Jakarta, di Surabaya terdapat pusat dari hukum kepolisian di Jawa Timur yaitu POLDA Jatim.
Pengguna hukum dalam penelitian ini tidak membedakan jenis kelamin,
baik laki-laki atau perempuan dimintai pendapatnya mengenai citra
kepolisian.
Pengguna hukum yang terdiri dari profesi apa saja, seperti ibu
rumah tangga, karyawan atau karyawati, pengusaha, mahasiswa, dan lain-lainnya, pernah memiliki pengalaman yang berkaitan dan berurusan dengan pihak polisi. Baik secara langsung maupun tidak langsung yang
menggunakan perantara dalam kepengurusannya.
4.2 Analisis Data 4.2.1 Analisis Data
Penulis telah melakukan wawancara kepada pengguna hukum dari berbagai golongan. Terdapat ibu rumah tangga, mahasiswa, karyawan serta coordinator supir bemo di Surabaya.
Informan dimana semuanya adalah orang dewasa, pernah
melakukan kegiatan suap dan berusia 21 tahun sampai 45 tahun saling memberikan argumennya mengenai citra kepolisian, dengan berdasarkan
pengalaman yang dimiliki atau didapat dari orang lain.
Berikut adalah demografi informan yang telah diwawancarai: 1. Informan 1
Seorang koordinator supir angkutan umum yang sudah memiliki keluarga, berusia 44 tahun dan memiliki banyak pengalaman dengan
2. Informan 2
Seorang karyawan warnet dan berusia 25 tahun. Menggunakan calo dalam pembuatan SIM, padahal usia pada waktu iru 15 tahun. Dalam
hal ini dapat diartikan juga memaksakan pembuatan KTP pada usia 15 tahun yang harusnya, KTP bisa didapatkan pada usia 17 tahun. KTP merupakan salah satu syarat yang harus ditunjukkan dalam pembuatan
SIM. 3. Informan 3
Lulusan salah satu perguruan tinggi swasta, sedang mencari kerja dan berusia 24 tahun. Memberikan sejumlah uang untuk membebaskan diri dari kesalahan melanggar marka jalan kepada anggota polisi.
4. Informan 4
Mahasiswa perguruan tinggi swasta, berusia 25 tahun. Memberikan sejumlah uang terhadap angota administrasi di Samsat, saat mengambil
STNK yang di ambil oleh pihak kepolisian, saat ada pemeriksaan rutin dijalan.
5. Informan 5
Seorang ibu rumah tangga berusia 43 tahun dan sudah memiliki dua orang anak. Memberikan sejumlah uang terhadap polisi, saat
4.2.2 Analisis Data Wawancara
Suap merupakan salah satu tindak kriminal yang melanggar hukum. Namun dalam kepolisian hal tersebut merupakan suatu hal yang
sering dilakukan, padahal kepolisian adalah salah satu lembaga hukum di Indonesia. Beberapa tahun ini polisi menggalakkan Gerakan Anti Suap dalam institusinya, dengan berbekal semboyannya sebagai pengayom
masyarakat.
Tapi dalam kenyataan yang ada dilapangan, penggunaan suap
dalam kepolisian masih ada. Baik di jalan maupun dalam institusi kepolisian, yang berurusan dengan administrasi atau hukum. Masih adanya tindakan suap menyuap yang dilakukan masyarakat pengguna hukum
banyak diakui oleh masyarakat.
“ Aku pernah gitu!! Kasus itu Waktu itu tahun itukan, saya punya SIM kan udah lama ya. Saya pernah itu …wah iku sek isine sek top-top ‘e “mosok ngene ae gak isok!”, trus tak cobak … Ternyata Gagal. Ternyata gagal, saya pikir saya mampu, saya masih ini wes .. lek saiki lak wes teler wes males mikir mungkin, dulu masih top-top ‘e stre-stresnya akhirnya saya gagal Akhirnya lewat calo ” . (Informan 1, 44 tahun, 19 Mei 2010)
“ Oh pernah, dulu pas belum tau bikin SIM pas SMP, aku dulu berumur 15 tahun”
Dalam statement diatas baik informan 1 dan informan 2,
sama-sama menggunakan Calo dalam mencapai tujuan untuk mendapatkan SIM. Calo yang dimaksud disini adalah merupakan salah satu kegiatan perantara
untuk mempermudah pihak lain dalam mengurus administrasi ataupun kelulusan untuk mendapatkan Surat Ijin Mengemudi (SIM). Calo memiliki kenalan atau hubungan kerjasama dengan pihak di dalam administrasi
kepengurusan SIM atau surat lainnya di kepolisian.
Berdasarkan statement pertama yang telah diutarakan oleh
informan 1, istri dari informan 1 menanyakan tentang persamaan antara calo dengan markus.
“Calo Vi, duduk anu, calo yek opo ngunu iku?” (Istri dari Informan 1, 39 tahun, 19 Mei 2010) “Yo lewat tangan, yo sama juga”
(Informan 1, 44 tahun, 19 Mei 2010)
Pada statement kedua, informan 1 menyatakan adanya kesamaan antara calo dengan makelar kasus. Dalam hal ini layaknya makelar kasus,
seorang calo menerima kasus-kasus yang berkaitan dengan kesulitan dalam kepengurusan mendapatkan SIM atau surat-surat yang lainnya.
Bukan hanya calo yang bisa dijadikan jalan untuk mencapai kemudahan, bahkan pihak kepolisianpun menawarkan jasanya untuk mempermudah dalam kepengurusan administrasi dalam mengeluarkan