• Tidak ada hasil yang ditemukan

AGI para korban tsunami, bisa mendapatkan rumah bantuan dari BRR atau NGO adalah suatu anugrah. Begitu juga yang dirasakan oleh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "AGI para korban tsunami, bisa mendapatkan rumah bantuan dari BRR atau NGO adalah suatu anugrah. Begitu juga yang dirasakan oleh"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

>TERBIT

16

HALAMAN >

EDISI. 09 >15 - 28 FEBRUARI 2007

GRATIS

JR H

MEDIA MONITORING REKONSTRUKSI ACEH

Email: fadjarpra@gmail.com

website: www.ti.or.id

PANTON

salam redaksi

K

Yusrizal/Paska Pidie

AGI para korban tsunami, bisa

mendapatkan rumah bantuan dari BRR atau NGO adalah suatu anu-grah. Begitu juga yang dirasakan oleh warga di Kecamatan Panteraja, Pidie khususnya di Desa Keude, Tu, Mesjid, Peurade, dan Reudeup. Tapi kebahagiaan itu terasa berat karena harus mengeluarkan biaya untuk penyambungan listrik di rumah barunya itu. Lebih tragis lagi belakangan mereka mengetahui bahwa pemasangan listrik itu sebe-narnya gratis.

Dalam surat edaran PLN NAD tertanggal 23 Juni 2006 disebutkan, “Bahwa permintaan pen-yambungan baru tenaga listrik untuk rumah yang digunakan bagi masyarakat korban tsu-nami baik yang dibangun oleh BRR maupun LSM akan dibebaskan dari Biaya Penyambungan (BP) dan Uang Jaminan Langganan(UJL)”. Warga hanya dibebani biaya sebesar Rp.6.000,oleh PLN, yang akan digunakan untuk menandatan-gani surat pernyataan.

Hasil investigasi Paska Pidie terhadap ka-sus yang masuk melalui FPM (Form Pengadu-an Masyarakat) bulPengadu-an Nopember 2006, menun-jukkan bahwa program sambungan listrik oleh PLN Cabang Sigli kepada masyarakat korban tsunami di wilayah Kecamatan Panteraja benar-benar jauh dari harapan. Temuan di lapangan menunjukkan bahwa masih terjadi pungutan-pungutan terhadap pemasangan meteran ke rumah-rumah korban tsunami. Pungutan yang dilakukan oleh instalator untuk biaya pemasan-gan sangat beragam, berkisar antara Rp.250.-000,sampai Rp.400.000,-, bahkan ada yang ter-paksa membayar Rp.900.000,-.

“Saya pertama sekali disuruh bayar satu juta rupiah namun saya menolak, akhirnya melalui pro-ses tawar menawar saya dikenai biaya Rp. 900.000”, ngaku seorang penerima bantuan. “Ka-lau memang biaya ini ketetapan, kenapa besa-rannya bisa minta kurang” ungkap salah seorang warga Keude Panteraja dengan heran.

“Pengutipan tersebut sudah di luar batas kewajaran, kalau jumlahnya kecil untuk seke-dar uang kopi, kami ikhlas”, ungkap warga den-gan nada jengkel. Yang sangat menyakitkan lagi bagi yang tidak mau membayar, maka listrik tidak akan masuk ke rumahnya. Istilahnya; ada uang listrik nyala, tidak ada uang listrik tidak nyala. “Kalau bapak tidak sanggup bayar berar-ti listrik berar-tidak akan dipasang, begitu katanya”, ujar salah seorang warga. ■

KUTIPAN

MEMBAWA

TERANG

Sikula Lon Sayang

Nasruddin (Ketua Komite Trienggadeng) Assalamualaikum keu mandum kawom Yang na di barak atawa di tenda Meu’ah lon lake yoeh dilee phon- phon Kadang sit dilon na salah haba Jinoe tsunami katroh dua thon Pakon nasib lon mantong bak tenda Di jak aneuk miet ditanyong bak lon Pakeun bubong oen tan soe peutaba Lon seu ot dilon wahe e adoe Keun han lon pokoe nasib gata Menyo bit meunan wahe adoe e Rugoe na Cupo ngen Ibu Laila Rumoh sikula yoeh phon diyue lheh Lheuh nyan meuteu oh ka dibi tenda Jinoe tenda pih ka brat that reuloh Soe yang na meuteu oh jak gantoe teuma Wahe aduen lon han ek le lon theun ‘Oh uroe su um manoe ie ru oh Kamoe ngen guru meupeuthen-peuthen Wate uroe su um lagee geuruboh Walau pih meunan beurayek saba Kadang Ibu Laila buet geuputroh Kamoe Komite ngen Mitra Paska Kaleuh jak bak gata jak kaloen beudeuh Wahe adoe lon kamoe peuduli

Peu lom Di Sigli na Cupo Reda Dua ngen Ida Lhee ngen Pak Yusri Agus TI-I ideh di Banda

Di Banda Aceh sabe geu ungki Geujak lobi le Pak Winoto Dari lua Nanggroe pih na waki Yang nan jih dibri Mister Flo Jinoe Tsunami di jalan lhee thoen Bek le nasib sabe bak tenda

Semoga bagah lheuh rumoh ngen geudong Tempat meulindong dari cuaca

Meumada ‘oh noe haba lon rika Kadang sit campli jeut keu peunawa Lon lakee meu’ah meugilhe aki Semoga tsunami bek le troh teuka

Desa Meue Trienggadeng, Pidie Januari 2006

Pentingnya

Mediasi

ALAU Anda membaca tabloid ini,

baik yang edisi sebelumnya maupun yang sekarang, dise-butkan adanya mediasi dalam sejum-lah kasus yang diberitakan. Mediasi ini bernama Pertemuan Konsultasi Pub-lik, atau biasa disebut Public Consul-tation Meeting (PCM). Sebuah upaya untuk mencari solusi atas berbagai masalah yang muncul dalam proses rehab rekons Aceh, khususnya yang terjadi di Kota Banda Aceh, Pidie, Bi-reuen, Nagan Raya, Aceh Barat dan Aceh Jaya.

Upaya mediasi memang tidak selalu berjalan mulus seperti yang diharapkan masyarakat. Bisa saja butuh beberapa kali mediasi baru bisa ditemukan ben-tuk penyelesaiannya. Kadang ham-batannya justru pada kengganan pihak-pihak yang dipersoalkan oleh warga un-tuk duduk bersama mencari penyelesa-ian atas masalah yang muncul dalam pembangunan kembali Aceh. Kalau sudah begini, biasanya masalah itu akan terkatung-katung. Warga merasa dirugi-kan, image pemberi dana atau pelaksa-na proyek pun tidak baik dimata mereka. Untuk itulah dalam edisi kali ini, Jroh mencoba menurunkan laporan utama tentang kasus pengutipan liar dalam pemasangan sambungan listrik yang terjadi di sejumlah desa di Kecamatan Panteraja, Pidie. Setelah melewati pros-es mediasi beberapa kali, masalah yang cukup pelik ini akhirnya bisa dis-elesaikan. Minimal ada upaya yang akan ditempuh, baik oleh warga mau-pun PLN dan rekanannya—AKLI un-tuk memastikan supaya bantuan sam-bungan listrik gratis itu benar-benar tepat sasaran, sehingga korban tsuna-mi tidak merasa dirugikan.

Saluem Jroh sebenar Jroh

Program listrik gratis

bagi para korban

bencana tsunami di

Pidie ternyata

dimanfaatkan oleh

oknum AKLI untuk

melakukan kutipan.

Setelah dimediasi,

kasus pungli ini akan

diselesaikan PLN

B

FOTO/IST

(2)

HALAMAN 2

SUSUNAN TIM MEDIA: Penanggung Jawab/Pimpinan Umum: Rizal Malik Pimpinan Redaksi: Mochamad B Winoto Redaktur Pelaksana: Tony

Alexander, Wakil Redaktur: Fadjar Pratikto Reporter: M Istijar, Aceh Jaya: Muhammad, Banda Aceh: Muhammad Purna. Nagan Raya/Meulaboh: Jaka Rasyid. Distribusi: Vera Deniza; Amir Yunus Sirkulasi: Masyarakat Partisipatif (Aceh Jaya) Paska Pidie (Pidie) Paska Bireuen (Bireuen) GeRAK (Banda Aceh) GeRAK (Aceh Barat), Papan - Meulaboh.

REDAKSI: Menerima Artikel Opini dari luar yang berkaitan dengan proses Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh atau tentang upaya pencegahan dan

pemberantasan korupsi di Aceh. Panjang tulisan maksimal 8.500 karakter. Tulisan yang dimuat akan mendapat honor yang memadai. Artikel bisa dikiram ke Alamat Redaksi Jroh: Transparency International (TI) Indonesia Jln T Iskandar Jl. T Iskandar Km.5 (M Nuri) Lam Ujong, Meunasah Baet, Aceh Besar Phone/Fax: +62(0) 651-22 780, atau email: fadjarpra@gmail.com

SURAT PEMBACA

Anak-anak di desa Reudeup, Kecamatan Panteraja, Pidie sedang serius

memperha-tikan isi berita tabloid Jroh edisi 08, terkait dengan berita foto tentang kondisi sekolah

SD Negeri Keub, Arongan Lambalek, Aceh Barat.

Masih Tetap Tinggal

di Shelter

 

SUDAH hampir dua tahun kami ting-gal di shelter, rumah semi permanen. Rumah itu dibangun oleh Canadian Red Cross. Entah sampai kapan kami ting-gal shelter. Kami pernah mendapatkan informasi bahwa pihak Canadian Red Cross akan membangun rumah per-manen untuk kami. Tetapi kami juga tidak tahu kapan realisasinya. Soal pen-dataan, sudah setahun lebih mereka melakukannya. Tetapi hingga saat ini, belum ada tanda-tanda untuk diban-gun. Kami juga tidak mengerti menga-pa demikian. Kami minta kemenga-pastiam ka-pan rumah kami dibangun.

 

Sriwati Sampoinet, Aceh Jaya  

Jalan Calang-Banda

Aceh Rusak Parah

 

SAYA warga Calang, Aceh Jaya. Wilayah Calang, khususnya, Aceh Jaya umumnya, merupakan wilayah yang paling parah dilanda tsunami. Hingga saat ini proses rehab-rekon masih ber-jalan lambat. Saya sempat ke beberapa wilayah yang terkena tsunami. Tetapi kondisinya sudah agak membaik. Yang

saya prihatinkan adalah, jalan raya yang ada di Calang menuju Banda Aceh. Hingga saat ini masih rusak parah. Se-tiap saya mau ke Banda Aceh harus me-lewati jalan yang rusak. Jalannya masih tanah dan berbatuan. Sampai kapan jalan ini dibangun? Saya sempat men-dengar bahwa jalan ini akan dibangun oleh NGO internasional. Tetapi hingga kini belum juga dibangun.

Maulana Calang, Aceh Jaya   

 

Persyaratan CRC

Macam-Macam

 

BERMACAM syarat diminta pihak Canadian Red Cross untuk membuat ru-mah. Seperti sekarang mereka meminta surat nikah warga di Lhok Buya, untuk syarat membuat rumah. Kita pikir, pihak Canada Red Cross seperti WH yang me-minta surat nikah segala. Padahal, surat keterangan keucik dan data jumlah pen-duduk, sudah diberikan. Tapi kalau kami membuat surat nikah, diperlukan waktu sekarang. Sepertinya pihak Canada sen-gaja memperlambat waktu pembuatan rumah. Dengan indikasi meminta per-syaratan yang bermacam-macam.

 

Dulah Lhok Buya, Aceh Jaya

(3)

HALAMAN 3

Yusrizal/ Paska Pidie

“YA, saya senang sekali, PLN Ranting Meureudu akan siap hadir, dan tolong juga konfir-masi tentang waktu dan tempat pelaksanaannya kepada kami,” jawab Safrizal, Kepala Ranting PLN Meureudu, Senin (5/2). Jawaban itu muncul saat Pas-ka Pidie via telpon menawarPas-kan daiadakannya mediasi untuk menyelesaikan masalah biaya pemasangan meteran listrik bagi para korban bencana tsunami di Desa Reudeup, Panteraja, Pi-die.

Sebuah awalan yang sejuk ketika pihak yang selama ini di-tuding oleh masyarakat sebagai instansi yang paling bertang-gungjawab dalam kasus pung-gutan liar pemasangan listrik yang muncul dalam beberapa bulan ini, mau menerima aja-kan untuk menyelesaiaja-kannya secara terbuka.

Seperti diketahui, sebagian besar warga Desa Keude, Tu, Mesjid, Peurade, dan Reudeup, Panteraja mengeluhkan adanya pengutipan dalam pemasangan sambungan listrik baru bagi korban tsunami. Besarnya ber-variasi dari mulai Rp. 250.000-900.000. Padahal pemasangan listrik merupakan program PLN yang dilakukan secara cuma-cuma untuk membantu korban tsunami.

“Kami sangat menyesalkan tindakan yang dilakukan oleh oknum tidak bertanggungjawab di lapangan, inikan sangat merugikan masyarakat”, ujar Bapak Lukman, Manager SDM PLN Sigli, saat menerima tim dari Paska Pidie di ruang ker-janya Belem lama ini. Namun PLN juga akan mengecek kebe-narannya, apakah yang dikena-kan kutipan itu korban tsuna-mi atau bukan, apakah sudah termasuk kriteria yang dimak-sud dalam surat edaran PLN atau tidak?

Pengratisan biaya pemasan-gan meteran listrik sesuai den-gan surat edaran PLN Wilayah NAD memang hanya berlaku bagi yang memeohon pemasan-gan di atas tanggal 23 Juni 2006, sedangkan pemasangan di bawah tanggal tersebut akan berlaku ketentuan seperti bi-asa.

Asisten Manager Komersil PLN Sigli, Bapak Idrus juga mengaku prihatin terhadap apa yang dialami oleh masyarakat Panteraja, karena pada dasarn-ya PLN sudah mengeluarkan aturan yang jelas tentang prose-dur yang harus ditempuh oleh calon pelanggan PLN. Apa yang dialami oleh masyarakat saat ini harus diakui adalah akibat kurang gencarnya kegiatan so-sialisasi yang dilakukan oleh PLN sendiri. Sehingga ketidak-tahuan masyarakat ini

diman-Kasus Listrik Di Panteraja:

Sejuknya sebuah Mediasi

Masalah pengutipan pemasangan listrik di Desa Reudeup, Panteraja, Pidie

yang sempat mencuat beberapa bulan ini, akhirnya bisa diselesaikan melalui

forum mediasi dengan semua pihak.

faatkan oleh segelintir oknum (calo) untuk mengibuli para ca-lon pelanggan PLN.

Mencari Solusi Inisiatif pelaksanaan media-si kasus ini mulanya muncul dari masyarakat sendiri yang di-suarakan melalui komite pe-mantau yang ada di Desa Reu-deup. Menindaklanjuti keingi-nan warga, dilakukanlah tawa-ran ke PLN sebagai pemilik pro-gram bantuan dan AKLI (Asos-iasi Kontraktor Listrik Indone-sia) sebagai pelaksana di lapan-gan. Mereka akhirnya setuju untuk dilaksanakan mediasi pada Rabu (7/2) di Balai Save The Children, Desa Reudeup.

Kenapa hanya Reudeup? Ha-sil rapat Komite Panteraja den-gan Paska Pidie dan TI Indone-sia serta masukan dari Abdul-lah (Koordinator AKLI Ranting Meureudu), memang mereko-mendasikan acara mediasi han-ya khusus untuk warga Reude-up. Kesepakatan ini diambil dengan alasan, lingkup yang kecil akan lebih mudah dalam memfasilitasinya. Setelah Reu-deup baru nanti akan disepakati apakah akan diselesaikan per desa atau sekaligus untuk desa-desa lain yang juga mengalami masalah serupa seperti Desa Mesjid, Peurade, Keude Panter-aja, dan Tu.

“Dengan jumlah penerima bantuan listrik yang lebih sedi-kit dibandingkan desa lain, Re-udeup sangat cocok sebagai con-toh dalam mencari solusi penye-lesaian kasus ini,” kata anggo-ta Komite Panteraja. Disamping itu, dengan peserta yang tidak terlalu banyak juga mudah dalam prosesnya.

Acara mediasi tersebut di-awali dengan pemaparan Sek-des Desa Reudeup, M. Yasin AR, yang mewakili warga. Menurut-nya, pada intinya penerima ban-tuan di Desa Reudeup meng-inginkan penjelasan dari pihak PLN maupun AKLI Ranting Meureudu menyangkut kutipan biaya pemasangan meteran lis-trik kepada rumah-rumah ban-tuan untuk korban tsunami.

Pihak AKLI Ranting Meu-reudu pada acara ini memang menjadi sasaran pertanyaan masyarakat. Bisa dimaklumi, karena selama ini yang men-gutip biaya pemasangan meter-an adalah para instalator ymeter-ang bernaung di bawah AKLI Rant-ing Meureudu. Apalagi pada saat pelaksanaan Konsultasi Publik Nopember 2006 lalu, pihak PLN telah menyatakan bahwa tang-gung jawab pemasangan di lapangan menjadi tugas AKLI bukan lagi PLN.

“Kami ingin tahu kenapa saat masuk ke desa, para instalator ini menawarkan meteran murah kepada kami, padahal ken-yataannya untuk rumah bantu-an, gratis,” tanya seorang war-ga Reudeup. Persoalan ini sebe-narnya berpangkal pada keku-rangtahuan masyarakat ter-hadap program listrik gratis. Padahal dalam Surat Edaran yang dikeluarkan PLN NAD sudah jelas disebutkan.

Setelah hal itu dijelaskan pi-hak PLN, titik terang mulai ke-lihatan, dan ternyata tidak se-mua pemasangan instalasi lis-trik gratis. “Tidak semua rumah bantuan dapat biaya penyam-bungan gratis, ini dikarenakan instruksi PLN baru ada sejak tanggal 28 Juni 2006,” jelas Zulkifli, Supervisor Pelayanan PLN Ranting Meureudu. Jadi pemasangan listrik yang dilaku-kan sebelum tanggal itu tidak gratis. Kalau pun ada yang meterannya dipasang pada bu-lan Agustus 2006, masih belum bisa digratiskan biaya pemasan-gannya kalau pengurusan untuk pemasangannya sudah diajukan sejak sebelum surat edaran itu berlaku. “Karena segala pengu-rusannya masih dengan aturan lama, maka meskipun meteran-nya dipasang pada masa gratis, biayanya tetap mengacu aturan lama,” tambah Zulkifli.

Penyelesaian masalah kesim-pangsiuran pengutipan biaya pemasangan listrik ini akhirn-ya menemukan solusi. Semua setuju untuk mengumpulkan

bukti-bukti masa pemasangan meteran di seluruh rumah ban-tuan untuk warga Reudeup. Kuncinya pada waktu pemasan-gan itu diajukan. “PLN bersedia untuk memberikan rekap pe-masangan untuk rumah bantu-an di Desa Reudeup. Syaratnya warga cukup hanya dengan memberikan nomor NK nya saja,” kata Zulkifli, yang hadir mewakili Kepala PLN Ranting Meureudu.

“Saya juga berani memper-tanggungjawabkan, bahwa se-mua meteran yang saya tangani saat itu bukan termasuk dalam program gratis,” jawab Ramli, salah seorang instalator yang menangani di Desa Reudeup. Menurutnya, selama ini memang ada pungutan tetapi itu tak leb-ih untuk jerleb-ih dan keringat yang dikeluarkannya. Bahkan ada yang ikhlas memberikan karena dia telah membantu sejak dari awal pengurusan hingga listrik menyala di rumah warga.

“Banyak warga yang memin-ta jasa saya untuk mengurusn-ya. Saat saya suruh untuk men-gurus sendiri ke PLN, mereka ada yang ngotot agar saya saja yang menyelesaikannya,” jelas Ramli. “Wajar dong, kalau saya dapat uang lebih untuk kerja yang juga lebih.”

Ramli juga menyarankan, se-baiknya TI Indonesia dan Paska Pidie sebagai mediator, juga tu-rut mengawasi jalannya pe-masangan instalator yang di-lakukan oleh BRR maupun NGO-NGO pada rumah-rumah

bantuan. Menurutnya, kalau insatalasi listrik yang dipasang tidak memenuhi standarisasi PLN, maka yang rugi juga ma-syarakat sendiri. Penerima ru-mah harus mengeluarkan biaya lagi untuk kabel instalasi berikut biaya pemasangannya.

Pelaksanaan mediasi yang berlangsung hampir dua jam tersebut akhirnya menghasilkan kesepakatan: PLN akan merekap semua nomor langganan untuk rumah bantuan, sehingga dike-tahui milik siapa saja yang gratis sesuai dengan Surat Eda-ran PLN. Untuk mempercepat prosesnya, masyarakat akan membantu memberikan Nomor NK-nya masing-masing.

Forum mediasi ini juga men-geluarkan beberapa rekomenda-si kepada PLN dan AKLI Rant-ing Meureudu. Untuk PLN, seg-ala bentuk biaya, instruksi, ataupun program yang menyen-tuh kepentingan rakyat agar sesegera mungkin disosialisasi-kan ke masyarakat. Sedangdisosialisasi-kan kepada AKLI diharapkan segala bentuk penanganan berikut bi-aya yang harus dikeluarkan oleh pelanggan kepada instalator, harus diberitahukan kepada publik. Sehingga tidak ada ke-curigaan di saat pelanggan harus mengeluarkan lebih ban-yak biaya dibandingkan pelang-gan lain. Sebelumnya PLN juga mengharapkan agar AKLI lebih proaktif dalam mengawasi kin-erja anggotanya, sehingga tidak muncul kutipan liar seperti se-belumnya. ■

(4)

HALAMAN 4

Muhammad Purna/ Gerak Aceh ENTARI baru saja menampa-kkan wajahnya di ufuk Timur. Angin bertiup perlahan. Pagi itu cuaca sangat cerah. Di-antara kepulan asap kenderan dan debu jalanan, terlihat beberapa deret rumah yang sedang dibangun. Beberapa pekerja tampak sedang mengaduk semen den-gan menggunakan cangkul dan skop, be-berapa pekerja lain sibuk memasang kusen jendela pada bahagian rumah yang menghadap kejalan.

Kebanyakan dari rumah yang sedang dibangun itu, bertempelkan kertas putih ukuran volio yang bertuliskan nama orang. Kertas-kertas itu tertempel pada didinding depan masing-masing rumah, ada juga yang tertempel pada selembar papan yang dipajang khusus menyeru-pai pamflet. Dibeberapa tempat, selain rumah yang sedang dibangun, juga ter-lihat sejumlah rumah yang sudah sele-sai dikerjakan.

Entah apa yang membuatnya kesal, tiba-tiba seorang pemuda menyandung sebuah batu kecil yang ada didekat kak-inya, matanya melotot kearah tiga unit rumah yang berdekatan. ”Mentang-men-tang punya jabatan, dapat seenaknya mengatur jatah rumah,” katanya den-gan nada marah. Setelah dibujuk dan diajak bicara baik-baik oleh wartawan jroh terungkap bahwa, pemuda itu ke-sal gara-gara di desa itu sangat banyak masyarakat yang mendapatkan lebih dari satu rumah.

Menurut keterangan dia, ada ma-syarakat yang sudah mendapat rumah bantuan yang dibangun oleh pemerin-tah Turki, juga mendapat rumah ban-tuan Badan Rehabilitasi dan Rekon-struksi (BRR NAD-Nias). Pengakuan yang serupa juga diungkapkan oleh Hadi (39). ”Yang dapat rumah lebih dari satu rata-rata keluarga orang yang punya jabatan di desa, kepala lorong, tuha peut, pokoknya perangkat-perangkat desalah,” tukasnya.

Dari beberapa sumber lain yang dite-mui Jroh mengakui adanya penerima

ru-Misteri Rumah Ganda Di Lampoh Daya

Sejumlah warga desa Lampoh Daya, Jayabaru

diduga mendaptkan bantuan rumah ganda dari

BRR dan Turki. Tapi, mereka menyalahkan

verifikasi yang telah dilakukan oleh BRR.

mah ganda di daerah ini. Mereka adalah warga Desa Lampoh Daya, Kecamatan Jaya Baru, Kota Banda Aceh. ”Yang pal-ing aneh adalah, seorang kepala desa da-pat rumah, tapi istrinya juga dada-pat dan yang lebih parah lagi anaknya yang masih terdaftar dalam KK juga mendapatkan satu unit rumah, sebenarnya ada apa ini,” seorang wanita yang bernama Wati mem-pertanyakan.

Penuturan yang sama juga disampai-kan oleh seorang laki-laki yang men-gakui bernama Jon (40). ”Kebanyakan warga dari desa lain yang mendapatkan rumah disini, karena mereka ada hubungan famili dengan perangkat Desa Lampoh Daya, disamping itu mereka juga punya tanah disini, sehingga den-gan mudah mereka mendapatkan ban-tuan rumah.”

Dari data yang berhasil dikumpulkan, diketahui ada sekitar 5 warga setempat yang diduga mendapat rumah double dari BRR dan Turki (Bulan Sabit Mer-ah). Tidak kalah serunya, 4 istri juga mendaptkan rumah meskipun suamin-ya masing-masing sudah menerima ban-tuan rumah. Ada juga tiga anak yang kartu keluarga (KK)-nya masih menyatu dengan orang tuanya dan belum berke-luarga juga mendapatkan bantuan ru-mah. Sedangkan warga dari luar desa yang mendapatkan rumah bantuan ber-jumlah sekitar 4 orang. Semuanya ban-tuan dari BRR.

Anehnya, sekretaris Desa Lampoh Daya, Agus yang dikonfirmasi Jroh men-gakui tidak tahu menahu tentang masalah bantuan double itu, bahkan dia membantahnya, dan malah men-yalahkan BRR. ”Setahu saya tidak ada warga yang mendapatkan rumah lebih dari satu, kalaupun ada berarti kesala-han BRR, karena ini hasil verivikasi dari mereka. Mengenai adanya warga lain yang mendapatkan rumah di Lampoh Daya, itu hanya pengalihan dari tem-patnya, karena ditempatnya tidak pun-ya tanah, sehingga dialihkan kesini, disini mereka punya tanah. Kalau dou-ble saya rasa tidak mungkin,” tuturnya. Menurut Sekdes, dalam hal ini BRR

DATA SEMENTARA PENERIMA BANTUAN RUMAH BERMASALAH

NO NAMA STATUS BENTUK BANTUAN

1 MA Kepala Keluarga Rumah Turki & BRR 2 AK Anak (masih terdaftar dalam KK) Rumah BRR 3 M.A Penduduk desa lain Rumah BRR 4 M.N Penduduk Desa Lain

(bukan Korban tsunami) Rumah BRR 5 SD Kepala Keluarga Rumah Turki & BRR 6 HL Istri Rumah BRR 7 MD Kepala Keluarga Rumah Turki & BRR 8 DR Istri Rumah BRR 9 AU Kepala Keluarga Rumah Turki & BRR 10 SY Anak (masih terdaftar dalam KK) Rumah BRR 11 SF Anak (masih terdaftar dalam KK) Rumah BRR 12 WS Kepala Keluarga Rumah Turki & BRR 13 ZK Penduduk Desa Lain Rumah BRR 14 UA Kepala Keluarga Rumah BRR 15 HN Istri Rumah BRR 16 NM Penduduk Desa Lain Rumah BRR 17 MY Kepala Keluarga Rumah BRR 18 FH Istri Rumah BRR

M

Lempar Batu Sembunyi Tangan

SEORANG pengamat rekonstruk-si Aceh Ir, Tarmizi Adnan, MM ber-pendapat. ”Sebenarnya kalau kita lebih jeli dan teliti, ada dua kesala-han disini. Yang pertama kesalakesala-han sistem, dan ini penekanannya lebih kepada BRR. Seharusnya sebelum verifakasi dilakukan, BRR juga harus menginvestigasi data yang di-ajukan oleh kepala desa atau peja-bat yang berwewenang, bila perlu juga disertai dengan Kartu Keluar-ga (KK) aKeluar-gar tidak terjadi tumpang tindih, disamping itu harus ada kri-teria yang baku, dan ini pula yang sangat jarang dilakukan oleh BRR,” katanya.

Menurutnya, yang kedua adalah kesalahan sector dimana penekanan-nya lebih kepada perangkat desa

set-empat. Kelemahan ditingkat desa yang selama ini terjadi adalah, pejabat di desa kurang melakukan berkordinasi dengan warga dalam setiap kebijakan diambil, sehingga wajar saja, kalau ada warga yang komplain. Kalau sudah be-gini, kan susah, mereka mudah saja menjawab, ini kesalahan BRR. Akhirn-ya Akhirn-yang terjadi apa, lanjutnAkhirn-ya, lempar batu sembunyi tangan.

Juru Bicara BRR Tuanku Mirza Keumala yang dikonfirmasi melalui telepon selularnya tidak menampik ada indikasi tersebut. ”Lagi-lagi saya tegaskan, BRR tidak pernah mentol-erir hal-hal yang demikian, men-genai penerimaan rumah ganda, sedang dalam pengusutan, kalau terbukti kami akan mengambil tin-dakan,” tegasnya. ■

sudah melakukan verifikasi terhadap warga yang berhak mendapatkan ru-mah. Untuk tahap awal BRR memban-gun 208 unit rumah untuk tahun 2005, kemudian tahun 2006 ditambah lagi 48 unit, sehingga keseluruhan rumah yang dibangun oleh BRR di Desa Lampoh Daya berjumlah 256 unit. ”Yang berhak mendapatkan rumah sudah melewati uji kelayakan oleh BRR,” tandasnya. Tapi Agus tidak merinci lebih lanjut bentuk uji kelayakan yang dimaksudnya.

Pernyataan Sekdes itu, juga

diduku-ng oleh salah seoradiduku-ng warga yadiduku-ng diduga mendapat rumah ganda tersebut.” Itu hanya tuduhan, saya hanya mendapat-kan satu rumah, memang disamping ru-mah saya ada satu ruru-mah satu lagi, tapi itu punya orang lain. Kalau juga nantin-ya ada nantin-yang memperoleh rumah melibihi dari satu, itu karena BRR tidak pernah memberikan kriteria penerimaan rumah, dalam hal ini warga tidak boleh disalah-kan,” ungkapnya. Dia juga membantah dirinya punya jabatan dalam struktur pe-merintahan desa. ■

Rumah Bantuan BRR di desa Lampoh Daya. FOTO/MUHAMMADA PURNA

(5)

HALAMAN 5

Rumah Ideal Versi Up-Link

Model pembangunan rumah partisipatif yang dijalankan oleh Up-Link di

Meuraxa, Banda Aceh, ternyata masih mengalami beberapa kendala sehingga

tidak bisa diselesaikan sesuai target. Lemahnya pengawasan dari warga dianggap

sebagai salah satu faktornya.

Oleh : Firman Hadi/Gerak Aceh

DA pemandangan yang menarik di sejumlah wilayah yang terkena dam-pak bencana tsunami. Di bekas re-runtuhan bangunan yang rata dis-apu oleh gelombang tsunami, muncul deret-an rumah-rumah baru yderet-ang dibderet-angun oleh BRR serta lembaga donor dan NGO. Ibarat cendawan di musim hujan, mereka memban-gun rumah-rumah bantuan secara bertahap. Pemandangan semacam itu juga bisa dili-hat di Desa Asoe Nanggroe, Meuraxa, kota Banda Aceh. Diantara bangunan-bangunan baru itu terdapat rumah-rumah berbentuk panggung, dengan tinggi hampir mencapai 4 meter. Kontruksi rumah tersebut adalah ru-mah permanen.

Sebagian rumah panggung yang sudah se-lesai dibangun mulai dihuni oleh warga. “Se-bagian sudah ditempati oleh masyarakat” ujar Zulfahmi, Keuchik Asoe Nanggroe. Dan Se-cara resmi aSe-cara serah terima tersebut akan dilakukan Up-Link pada tanggal 25 Februari nanti.

Ada juga rumah yang sudah selesai diban-gun, namun belum ditempati. Dan sebagian lagi, terlihat masih dalam tahap pengerjaan, belum beratap dan masih belum diplester. Tampak disisi bangunan yang belum selesai itu, tempat adukan semen, bahan material dan lain-lain.

Rumah panggung tersebut adalah salah satu bantuan dari UP Link Indonesia yang ter-tunda. Sampai batas serah terima pada 25 Februari nanti, sebagian bantuan rumah itu

masih ada yang belum selesai 100%. Padahal Up Link sudah mulai bekerja di desa ini ham-pir dua tahun. Tepatnya sejak Juni 2005, dan akan berakhir kontrakya pada 31 Februari 2007 ini.

Dri total 132 rumah bantuan Up-Link di desa itu, 20 rumah masih dalam proses pengerjaan, dan batas kontraknya akan be-rakhir 31 Februari ini. Menurut Zulfahmi, Proses selanjutnya akan diserahkan kepada masyarakat setempat. Namun pihak Up-Link tetap akan memberikan material dan ongkos tukang untuk pembangunan rumah tersebut. Menurut warga desa setempat, Taufik(47), penyebab keterlambatan pembangunan rumah di Asoe Nanggroe karena molornya jadwal penyuplaian bahan material dari Up-link. Keadaan itu membuat para tukang terpaksa mengundurkan jadwal kerja mereka sampai diterimanya bahan material tersebut. Sehing-ga otomatis jadwal rencana pembangunan ru-mah menjadi bertambah panjang. Namun Taufik mengakui bahwa kualitas bangunan rumah bantuan dari Up-Link tersebut sangat bagus dan kuat.

Hal senada juga disampaikan oleh salah seorang warga lainnya, Nasrullah, bahwa ke-terlambatan pembangunan rumah tersebut karena faktor tukang yang terlambat bekerja. Karena tersendatnya pasokan bahan materi-al utama, seperti kayu, semen dan lain-lain. Faktor lainnya yang menyebabakan pem-bangunan rumah di Asoe Naggroe agak ter-lambat adalah dari bentuk rumah. Berupa panggung, yang pengerjaannya tentu saja berbeda dengan rumah biasa, dan tentu saja

juga akan memakan waktu yang sedikit leb-ih lama.

Mengenai keterlambatan pasokan bahan utama material. Hal ini dibenarkan oleh Dod-dy Sudrajat, Projeck Manager Up-Link Indo-nesia. Karena faktor transportasi dan ket-ersedian bahan material yang dibutuhkan. Namun hal bukanlah faktor utama, berkaitan dengan masih adanya sisa rumah bantuan yang belum selesai dibangun tersebut.

Doddy menyebutkan, bahwa konflik Intern sesama warga mengenai pembangunan ru-mah tersebut, sangat berpengaruh terhadap laju proses pembangunan rumah bantuan di Asoe Naggroe khususnya dan Meuraxa pada umumnya, di dalam wilayah kerja Up-Link. Tim pembangunan rumah yang berasal dari masyarakat setempat dianggap tidak bekerja dengan baik.

“Jika pemiliknya aktif mengawasi maka rata-rata bangunan rumah akan selesai dalam jangka waktu sebulan” jelas Doddy. Up-Link menurutnya, hanya melakukan pen-dampinggan saja dalam melakukan penga-wasan. Karena itu, masyarakat dianggap kurang berpartisipasi dalam proses pemban-gunan rumah bantuan tersebut. Rata-rata masyarakat hanya menginginkan terima kun-ci saja, atau langsung jadi. Namun dia juga mengakui bahwa ada factor keterlambatan dari Up-Link dalam penyaluran bahan mate-rial.

Sedangkan upaya penanganan bagi rumah bantuan yang belum selesai dikerjakan, Up-Link berjanji akan menyerahkan budget pem-bangunan rumah yang tersisa tersebut ke masyarakat. Sudah pasti setelah habis masa kontraknya pada 31 Februari 2007 nanti.

Meski dari segi waktu, pembangunan ban-tuan rumah dari Up-Link terlambat, tapi dari segi kualitas, bantuan itu dianggap cukup bermutu. Mengenai kualitas rumah, menu-rut cerita Doddy berdasarkan hasil peneli-tian tim dari Usyiah, UN Habitat dan Dinas Pekerjaan Umum, mutu rumah yang diban-gun oleh Up-Link dianggap nomer satu.

Diantara sekian banyak NGO yang beker-ja dalam kegiatan rekonstruksi Aceh, Up-Link adalah salah satu lembaga yang mencoba menerapkan model bantuan yang partisipa-tif. Warga didorong untuk terlibat aktif dalam proses pengawasan dalam pelaksanaan ban-tuan, khususnya bantuan rumah untuk para korban tsunami di sejumlah desa.

Doddy menjelaskan bahwa, dalam proyek pembangunan rumah di Asoe Naggroe oleh Up-Link tidak melalui jasa Kontraktor. Kon-trak langsung dilakukan dengan masyarakat pemilik rumah. Masyarakat yang mencari para tukang untuk membanguan rumah mereka masing-masing. Lamanya kontrak untuk pembangunan rumah tersebut ad-alah 45 hari. Dengan model dan tipe yang sudah disiapkan oleh team teknis dari Up-Link.

Doddy menjelaskan, Up-Link hanya mem-fasilitasi jalannya proses pembangunan ru-mah bantuan itu. Namun kebutuhan dasar material utama bangunan, seperti besi dan semen, disediakan oleh lembaga itu. Dan Standard bangunan juga disusun oleh tim teknis Up-Link. Sedangkan budget rumah panggung tersebut per unitnya sebesar Rp52 Juta.

Syarat untuk mendapatkan bantuan ru-mah di wilayah kerja Up-Link, lanjut Doddy bahwa orangnya ada dan harus berada di ka-mpong atau desa itu. “Untuk kecamatan Meuraxa sisa rumah yang belum selesai se-banyak 40 rumah, dari total 113 unit rumah bantuan yang belum selesai dibangun dari seluruh wilayah kerja Up-Link” ujar Doddy.■

A

(6)

HALAMAN 6

Dani-Jaka Tingkir/ GeRAk Aceh

yarifuddin (45) terlihat sangat gelisah. Tak hen-ti-hentinya, matanya tertuju pada beberapa tamu asing yang datang ke ka-mpungnya. Apalagi orang asing itu memperhatikan beberapa rumah bantuan dari sebuah lembaga yang dianggap warga kurang layak.

Pria setengah baya tersebut adalah salah satu pemilik ru-mah bantuan dari NGO Jeng-gala. Kabarnya NGO ini meru-pakan sebuah lembaga bentu-kan dari mantan presiden RI yaitu Megawati Sukarno Putri, untuk membantu para korban Tsunami di Aceh.

Warga desa Blang Oi, Meuraxa, Banda Aceh ini men-geluhkan rumah bantuan yang diterimanya dari Jenggala. “Bantuan yang diberikan terse-but untuk saat ini sudah sangat tidak cocok lagi untuk digunakan, karena semua ban-tuan yang berjumlah 30 unit jika hujan turun rumah-rumah tersebut merembes air hujan dan masuk kedalam rumah dan kami sekeluarga terpaksa me-mindahkan semua barang agar tidak basah,” ungkap Syarifud-din kepada Jroh dengan nada jengkel. Warga yang lain juga mengeluh.

Dari pantuan Jroh, terdap-at 30 unit bantuan rumah semi-permanen dari Jenggala, dimana itu merupakan rumah

Bantuan Jenggala Yang

Jauh Dari Harapan

S

menerima rumah bantuan tersebut. Kenyataannya rumah itu memang dibangun bukan untuk jangka panjang. “Apa-kah kami tidak boleh menun-tut yang sama seperti yang lain sebab jika dilihat kami-kami yang 30 orang ini adalah pen-duduk asli yang terkena damp-ak tsunami. Masa buat ahli waris anggota keluarga korban yang bukan penduduk asli dan

tidak kena tsunami saja bisa mendapat rumah yang layak,” ujar Wakdin, warga setempat. Ia menggambarkan dengan pe-patah aceh “Buya krueng tahe teudong dong, buya tamong meuraseuki” (Buaya Asli tercen-gang-cengang, buaya masuk dapat banyak rezeki).

Salah seorang anggota ko-mite pemantau di Meuraxa, Rasyidah (25) juga

mengeluh-kan hal yang sama. Meskipun semi-permanen, menurutnya, jika rumah itu dibangun gan bagus mungkin warga den-gan iklas akan menerimanya. Namun karena rumah tersebut makin hari makin parah teru-tama pada musim hujan ini, warga jadi menderita. “Rumah saya kemasukan air dari celah dinding dan bagian dapur seh-ingga menyebabkan semua pa-kaian dan alat perabot basah kuyup,” ujarnya sambil terisak. Selama ini pemilik rumah bantuan dari Jenggala hanya bisa memamfaatkan beberapa kardus dan seng bekas untuk menutupi beberapa lobang air yang masuk di beberapa sudut rumah. Bagi mereka yang pent-ing, sewaktu hujan turun, air tidak memasuki ke dalam ru-mah. Kondisi itu diperparah dengan keadaan permukaan tanah di desa itu yang sagat rendah, dan belum adanya sa-luran air yang memadai.

Jika dilihat dari temuan lapangan, rumah bantuan yang dibangun sejak Mei 2005 lalu, memang kurang layak. Sebagi-an kayu ySebagi-ang digunakSebagi-an berk-walitas rendah dan jika hujan semua dinding kayu basah kuyup. Hal ini disebabkan ru-mah bantuan tersebut diban-gun dengan tidak mengikuti prosedur dan standar rumah yang baik.

Menurut Syarifuddin, sebe-lum bantuan rumah tersebut dibangun memang pihak Jeng-gala pernah mengatakan bah-wa rumah yang dibangunnya hanya bersifat sementara, ma-kanya dibuat semi-permanen. Karena itu jika ada NGO/LSM yang akan merehap rumah itu dipersilakan. Hal yang sama disampaikan oleh Afrizal, Sekdes desa Blang Oi.

Menurut Afrizal, pihak desa telah berupaya untuk segera melakukan perbaikan terhadap 30 unit rumah bantuan terse-but. Masalahnya, hingga saat ini belum ada kepastian kare-na belum ada donor yang ber-sedia memperbaiki rumah itu. Mereka juga sudah meminta bantuan BRR untuk perbaikan rumah itu, namun belum ada tanggapan hingga sekarang.

“Kami berharap BRR segera memperbaikinya atau mengan-tikan dengan rumah permanen” tandas Rasyidah yang juga menjadi ketua kelompok ad-vokasi rumah Jenggala di Desa Blang Oi. Sampai sekarang, warga masih terus menanti ul-uran tangan dari BRR atau NGO yang sudi membantu atau merehap kembali rumah mere-ka supaya layak. ■

pertama yang diterima warga Blang Oi setelah terjadinya tsu-nami yang menghancurkan ru-mah mereka. Sayangnya, ban-tuan tersebut kurang memuas-kan warga. Apalagi kalau di-bandingkan dengan bantuan rumah dari lembaga lain di desa itu, seperti rumah yang diban-gun oleh P2KP, YKPI dan Pras-wil.

Bukanya warga tidak mau

Rumah bantuan Semi-Permanen jenggala di desa Blang Oi. FOTO/IJAR FOTO/IJAR

(7)

HALAMAN 7

S

Teka-Teki Jalan Desa Bitai:

Hotmix Dijanji Beton Diberi

Bantuan jalan dari BRR di Desa Bitai, ternyata tidak

sesuai dengan kesepakatan awal. Jalan yang seharusnya

diaspal hotmik, malah jalan itu dilapisi dengan beton.

Wargapun kecewa berat.

Oleh: Muhammad Purna/Gerak Aceh iang itu cuaca sangat cerah, beberapa warga tampak hilir mudik di ruas jalan seluas 3,5 meter. Badan jalan tersebut terbuat dari beton yang dicor setebal kira-kira 10 centimeter. Beberapa pe-kerja terlihat sibuk dengan peralatan-nya masing-masing. Beberapa pekerja lainnya tampak sedang membuat sa-luran air di kiri-kanan jalan. Disepan-jang jalan itu, terlihat beberapa pagar rumah warga, sudah dirobohkan aki-bat terkena badan jalan yang sedang dibangun.

Keceriaan anak-anak bermain sepe-da, membuat suasana jalan tampak semakin hidup. Sepertinya mereka sa-ngat menikmati jalan yang sedang dibangun itu. Tetapi keceriaan itu tidak terlihat pada kebanyakan warga disana. Malah ada diantara warga yang mencibirkan bibirnya ketika ber-jalan di atas ber-jalan yang baru diban-gun itu, entah mengapa mereka begi-tu sinis. Padahal jalan ibegi-tu adalah jalan desa mereka sendiri, yang dila-luinya setiap hari.

Jalan itu terletak di desa Bitai, Jaya Baru, Banda Aceh. Desa ini merupa-kan salah satu kawasan yang sangat parah disapu gelombang tsunami dua tahun silam. Siapa pernah menyang-ka, jalan yang tampak bagus dan rapi itu, ternyata dipermasalahkan oleh warga setempat. Pasalnya, warga masih mempertanyakan status jalan tersebut. ”Sebelumnya jalan ini terbuat dari aspal, tapi sekarang sudah diganti

den-gan beton, BRR menjanjikan akan membuat jalan aspal, tapi kok bergan-ti jadi semen,” tanya Safrial salah satu warga Bitai.

Pernyataan senada juga dilontarkan oleh Yoeswardi M, warga setempat. ”Jalan ini dasarnya aspal, tapi sudah diganti dengan semen, padahal BRR pernah berjanji kepada masyarakat bah-wa, jalan ini dibangun hotmix, tapi ken-yataanya dicor. Sampai sekarang kami belum tahu, kenapa BRR melanggar perjanjian,” katanya dengan nada ke-sal.

Bila diamati dengan teliti, ada be-narnya juga pernyataan warga tersebut. Di ujung jalan yang belum siap dicor, memang terlihat bekas jalan lama yang terbuat dari aspal. Tapi jalan itu sudah tertimpa dengan jalan baru yang ter-buat dari beton. Sehingga bila dilihat sekilas, jalan lama itu nyaris tak keli-hatan.

Kepala desa Bitai Darwis A. Madjid yang ditemuai Jroh membenarkan pern-yataan beberapa warganya.”Semua yang dikatakan warga benar, hal ini sudah kami sampaikan kepada pihak-pihak yang terkait, kami sudah mengirimkan surat kepada BRR dan beberapa pihak lain seperti Walikota, Camat, Polsek termasuk PT. Derap Laju yang menger-jakan pekerjaan ini,” jelas Darwis.

Menurut kepala desa, sampai saat ini dirinya bersama warga, masih bin-gung dan bertanya-tanya. ”Mengapa BRR begitu tega mempermainkan kami,” tanya Darwis dengan nada keras. Berdasarkan kronologis yang dis-ampaikan Darwis, wajar saja kalau

ma-syarakat di Desa Bitai merasa sinis menerima bantuan jalan tersebut, dan cukup beralasan juga.

Menurut pengakuan kepala Desa, dalam perjanjiannya BRR akan mem-bangun jalan ini dengan aspal hotmix. Bukan hanya jalan, BRR juga berjanji akan membangun saluran jalan dan flat beton di depan rumah warga yang ada disepanjang jalan. Setelah perjan-jian itu disepakati, BRR mengutuskan PT. Derap Laju untuk membangun jalan. Anehnya, ketika jalan itu mulai dibangun, masyarakat tidak melihat jalan itu diaspal sesuai dengan perjan-jian.

Tidak puas dengan pekerjaan itu, masyarakat bersama perangkat desa melakukan protes kepada PT Derap Laju selaku pelaksana proyek. Pada saat dite-gur, kontraktor itu mengatakan bahwa jalan itu tidak bisa diaspal, karena tidak cukup standar pengaspalan. ”Standarnya adalah, jalan yang diaspal harus mempunyai lebar 3,5 meter, se-dangkan jalan ini hanya seluas 3 meter, jadi tidak mungkin diaspal,” kata ke-pala desa mengutip pernyataan pihak PT.DerapLaju.

Mendengar pernyataan itu, kepala Desa dan seluruh perangkat desa, ber-sama seluruh warga, segera melakukan rapat untuk mencari solusi. Dalam per-temuan itu ditemukan satu jalan kelu-ar yang cukup menggembirakan, ”wkelu-ar- ”war-ga yang ada disepanjang jalan, berse-dia menyerahkan tanah miliknya un-tuk pelebaran jalan, malah ada diant-ara warga yang bersedia membongkar pagar depan rumahnya demi untuk pelebaran jalan,” kata Darwis.

Ironisnya. Setelah pemilik tanah merelakan tanahnya, dan beberapa warga sudah membongkar pagarnya, jalan aspal yang dijanjikan tidak per-nah terwujud. Kontraktor tetap saja

melanjutkan pembangunan jalan beton. Sehingga warga bersama perangkat desa melakukan pertemuan kembali. Pada 9 Februari 2007 lalu, mereka mendapatkan satu keputusan bersama yaitu, akan memberikan limit waktu ke-pada BRR ntuk mengevaluasi jalan tersebut. ”Jika tidak dipenuhi kami akan menempuh jalur hokum,”ancam Darwis. Bukan hanya jalan yang mereka tun-tut, dalam surat yang ditandatangani oleh Kepala Desa dan Tuha Peut Gam-pong Bitai tertanggal 9 Pebruari 2007, mereka juga menolak saluran jalan yang dibangun asal jadi. Menurut warga, pengecoran saluran air tidak diperhati-kan sudut kemiringan, sehingga kerap sekali terjadi genangan air, jika musim hujan tiba.

Dalam surat itu pula mereka mem-berikan limit waktu 3 hari kepada BRR untuk menjelaskan persoalan tersebut kepada masyarakat. Tidak dijelaskan dalam surat itu ancaman apa yang akan diberikan masyarakat jika dalam waktu tersebut pihak BRR tidak memenuhinya.

Yang membuat masyarakat semakin kesal, kata Darwis, pengerjaan jalan ini terkesan tidak transparan. Sampai saat ini mereka tidak pernah tahu spek pengerjaan jalan tersebut. “Jangankan spek bangunan, fanplet pengerjaan saja tidak pernah dipasang, siapa yang tidak kesal coba,” kata Darwis geram.

Juru bicara BRR Tuanku Mirza Keu-mala yang dikonfirmasi melalui tele-pon selularnya, terdengar sangat terkejut mendengar masalah tersebut. “Mungkin speknya seperti itu, saya baru mendengarnya, kalau ini benar-benar terbukti, BRR tidak segan-seg-an menindak tegas terhadap penger-jaan itu, siapapun dia, apapun peru-sahaannya, tetap akan ditindak,”tegas Mirza. ■

Jalan di Desa Bitai yang dipersoalkan warga setempat. FOTO/MUHAMMAD PURNA

(8)

HALAMAN 8

Oleh: Fadjar Pratikto

AGASAN perlunya transparan-si dalam penyelengaraan pe-merintahan di Aceh mengemu-ka dalam seminar “Transpar-ansi Pemerintahan Baru Aceh: Urgensi, Peluang dan Tantan-gan”. Acara ini diselenggarakan oleh Transparency International (TI) Indonesia bekerjasama dengan GeRAK dan Sorak di Anjungan Mon Mata, Banda Aceh, Rabu, 31 Januari 2007 kemarin.

Dalam sambutan tertulis pembukaan seminar yang dihadiri sekitar 100 peser-ta ini, Pejabat Gubernur NAD Dr. Ir. Mustafa Abubakar, M.Si menyambut baik gagasan untuk diadakannya qanun tentang transparansi. “Untuk meletakan dasar-dasar transparansi penyelengga-raan pemerintahan daerah ke depan, kami sependapat perlu dipersiapkan pa-yung hukum di daerah,” jelasnya. Pem-da juga saat ini suPem-dah merancang Draf Qanun tentang Pembinaan dan Penga-wasan Penyelenggaraan Pemerintahan daerah. Seminar yang diikuti berbagai kalangan ini dianggapnya, sebagai salah satu sisi pengawasan untuk setiap saat mencermati gejala yang berkembang, sekaligus memberi masukan kepada Pemda.

Ada beberapa alasan yang membuat para narasumber dalam seminar ini men-ganggap penting qanun transparansi. Ketua DPR Aceh, Drs. Sayed Fuad Zakaria mengatakan selama ini Aceh dikenal sebagai salah satu daerah terko-rup di Indonesia, khususnya yang ter-kait dengan pengadaan barang dan jasa. Karena itu, dibutuhkan adanya

transpar-Qanun Transparansi

Diusulkan Menjadi Prioritas

Sejumlah kalangan mendukung dirancangnya sebuah qanun tentang

transparansi pemerintah Aceh. Bahkan diharapkan rancangan ini

menjadi qanun prioritas dalam pembahasandi DPRD.

ansi dan akuntabilitas dalam kebijakan pembangunan. “Dewan mendukung qa-nun itu (transparansi) harus dimiliki, dan perlu didukung oleh pemerintah, LSM-LSM dan masyarakat,” tandasnya.

Sayed Fuad berharap rancangan qa-nun transparansi ini dalam waktu de-kat bisa masuk menjadi bahan pem-bahasan di DPRA. Ia juga meminta LSM untuk menyusun draf qanun ini, seh-ingga bisa diperjuangkan menjadi qanun prioritas. Namun ia mengingatkan agar

komitmen transparansi itu tidak hanya datang dari tingkat propinsi, tapi juga sampai ke bawah.

Senada dengan itu, Mawardi Ismail SH. M. Hum yang juga menjadi nara sumber dalam seminar itu juga sepakat perlunya mewujudkan Aceh baru. Menu-rutnya, kata kunci perdamaian di Aceh itu adalah kesejahteraan dan keadilan. Semua itu bisa diwujudkan karena Aceh memiliki potensi. Apalagi selain memil-iki kewenangan yang besar pasca

Pilka-da, pemerintahan baru ini juga akan mendapat dana otonomi khusus sebe-sar hampir Rp 4 triliun, mulai tahun depan. Bahkan kalau ditambah dengan dana lain-lain besarnya bisa mencapai Rp 13 triliun.

“Mestinya Aceh baru bisa diwujud-kan kalau potensi itu dikelola oleh pe-merintah Aceh secara benar, yakni se-suai dengan Good Governance, dima-na salah satu poin pentingnya adalah transparansi,” jelas akademisi dari Unsyiah ini.

Namun menurut Mawardi, transpar-ansi tidak tergantung pada adanya qa-nun transparansi, karena ada bebera-pa peraturan yang mengatur hal itu, seperti dalam Undang-Undang Pemer-intahan Aceh (UUPA) No. 11 tahun 2006. “Tapi ternyata pengaturan secara tersebar tidak efefktif, karena itu perlu dikumpulkan dalam satu qanun ten-tang transparansi,” jelasnya.

Senada dengan itu, Rasidah dari Jaringan Perempuan untuk Kebijakan (JPUK) mengatakan selama ini dengan tidak adanya qanun transparansi te-lah membuat “nyaman” banyak pihak. Jika qanun tansparansi ini diterapkan akan membuat mereka tidak bisa “menikmati” itu lagi. Sekarang, menu-rutnya, momentum untuk membuat qanun ini sangat tepat mengingat Aceh pasca tsunami telah dicapai kesepakatan damai dan hasil Pilkada sudah ada.

Lebih jauh, Rasidah mengingatkan kalau komitmen diadakannya qanun tranparansi ini hanya dimiliki oleh kel-ompok masyarakat, akan sulit diwujud-kan. Lain halnya kalau itu merupakan komitmen bersama dengan pemerintah dan dewan. “Qanun Tranparansi ini jan-gan hanya sebagai wacana, tapi harus diwujudkan demi terselenggaranya pe-merintahan daerah Aceh yang bersih, dengan belajar dari apa yang sudah di-capai (Pemda) Solok,” tandasnya.

Diawal seminar ini, para narasum-ber dan peserta seminar memang dibuat terkesima atas apa yang sudah dicapai oleh Pemda Solok dalam mewujudkan pemerintahan daerah yang transpar-ans. Di seminar itu, Bustamar, Asis-ten I Sekdakab Solok menceritakan pen-galaman daerahnya dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik melalui penerapan Pakta Integritas dan Perda No. 5/ 2004 tentang Transparan-si Penyelenggaraan Pemerintahan dan Partisipasi Masyarakat. Kedua kebija-kan daerah ini saling mendukung satu sama lain.

Dampak penerapan transparansi ini yang sudah dirasakan antara lain: dis-iplin PNS meningkat; memperketat ru-ang gerak bagi aparat, dunia usaha dan masyarakat untuk KKN; serta men-ingkatnya harkat, martabat, citra, wibawa dan kepercayaan terhadap pe-merintah. “Sekarang sudah tidak ada lagi orang yang berani ketemu langsung dengan pelaksana proyek atau pejabat dalam urusan proyek, sebab kalau ket-ahuan akan malu sekali,” ujarnya. Mes-ki belum sepenuhnya berhasil dalam mewujudkan Good Governance, bara-ngkali Aceh dan daerah lain di Tanah Air, perlu belajar dari pengalaman So-lok. ■

G

FOTO/AGUS SASWONO

SEBUAH TALKSHOW dengan tema “Urgensi Transparansi dalam Pemerintahan Baru Aceh”

digelar di Aceh TV Kota Banda Aceh pada malam 7 Februari 2007. Acara yang difasilitasi oleh Transparency International (TI) Indonesia ini menghadirkan dua narasumber yakni Dr. Todung Mulya Lubis selaku Ketua Dewan Pengurus TI Indonesia dan Mawardi Ismail SH, M. Hum, Dekan Fakultas Hukum Universitas Syah Kuala. Dalam dialog interaktif yang dipandu oleh seorang presenter ini, digagas pentingnya transparansi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagai upaya pencegahan korupsi.

Kegiatan Seminar di Anjungan Monmata, Banda Aceh pada 31 Januari 2007. FOTO/AGUS SASWONO

C

M

Y

K

(9)

HALAMAN 9

Transparency International (TI) Indonesia

EMERINTAHAN baru Aceh pasca bencana tsu-nami dan perjanjian damai di Helsinki sudah terbentuk. Gubernur NAD ter-pilih hasil Pilkada Langsung telah dilantik secara resmi pada 8 Februari 2007 lalu. Banyak kalangan yang berharap adan-ya perubahan dalam pemerin-tahan baru di bawah kepimpi-nanan Irwandi Yusuf-Mocham-mad Nassar setelah sekian lama

Komitmen Pemerintahan Baru Aceh:

Pejabat Korupsi, Saya Sikat Habis

P

Aceh terpuruk dalam konflik bersenjata, dan bencana alam. Potensi pemerintahan baru Aceh untuk melakukan peruba-han sebenarnya sudah ada. Se-cara sosial-politik, pemerintah-an Irwpemerintah-andi-Nassar didukung penuh oleh rakyat Aceh, terbuk-ti mereka berhasil memenang-kan Pilkada langsung secara mutlak pada Desember lalu. Secara legal, sudah ada UU No. 11/ 2006 tentang

Pemerintah-an Aceh (UUPA) yPemerintah-ang memba-wa semangat perubahan pada penyelenggaraan daerah ke arah yang lebih baik. Sedikit banyak prinsip-prinsip tata kel-ola pemerintahan yang baik atau Good Governance juga sudah digariskan dalam un-dang-undang itu.

Lantas apa saja yang akan dilakukan oleh duet Irwandi-Nassar untuk mewujudkan Good Governance? “Langkah

pertama yang akan saya laku-kan adalah memanggil semua kepala dinas, kepala badan dan kepala kantor dalam lingkun-gan Pemerintahan Aceh. Ini saya lakukan untuk menge-tahui apa yang sudah mereka kerjakan, apa rencana ke depan dan apa kendala yang mereka hadapi,’’ ujar Gubernur NAD terpilih drh.Irwandi Yusuf, M.Sc dalam wawancara khusus dengan Waspada Rabu (7/2) malam.

Setelah itu, Irwandi baru akan melakukan evaluasi ter-hadap pekerjaan mereka. Dalam waktu beberapa bulan, akan diketahui mana yang kreatif, mana yang punya keberhasilan dan mana yang tidak. “Saya berharap semua jago dan semua kreatif, sehingga saya tidak per-lu mengganti pejabat,’’ tam-bahnya di Swiss-bel-hotel

Ban-da Aceh.

Irwandi menyebutkan, ‘bong-kar pasang’ kepala dinas atau pejabat bukanlah sesuatu per-buatan yang menyenangkan, terutama bagi mereka yang di-ganti.

“Bagi saya tidak ada hal yang menyenangkan dengan peng-gantian pejabat, dan tidak ada istilah ini orang saya dan itu orang mereka. Yang ada semua orang kita,” tegasnya.

Meskipun masalah upaya pencegahan korupsi juga akan menjadi perhatian utama dalam pemerintahannya, Gubernur NAD terpilih ini berjanji tidak akan mengambil tindakan tegas (pemecatan) terhadap para peja-bat atau siapapun yang melaku-kannya. “Tapi, kalau ada peja-bat yang melakukan korupsi, tidak ada ampun, saya sikat habis,” tandasnya.

Ditegaskan juga bahwa da-lam tahun masa tugasnya se-bagai Kepala Pemerintahan NAD, akan ada sesuatu yang sangat urgent yang akan dilaku-kan, di antaranya penyusunan

sejumlah qanun berlandaskan UUPA. “Saya mentargetkan, dalam tiga bulan akan ada qa-nun yang selesai, terutama menyangkut masalah ekonomi dan investasi.”

Menurut Irwandi, tahun 2007 adalah tahun untuk mem-buat landasan yang kuat dari Tahun 2006, baik landasan hu-kum dan sebagainya. Selain itu, dia juga akan melakukan landreform atau memberikan tanah kepada orang miskin yang tidak mempunyai tanah. “Tapi tentunya ini akan kita lakukan setelah dilakukan pen-dataan tanah mana yang akan kita berikan, jangan sampai tanah yang akan kita berikan itu termasuk dalam kawasan hutan lindung. Saya kira, kita butuh waktu satu tahun untuk hal ini,” cetusnya.

Dalam kesempatan terpisah,

Irwandi juga mengungkapkan gagasannya tentang upaya pem-bangunan untuk mensejahter-akan rakyatnya. “Pemban-gunan yang dimulai dari elite kerap tidak membawa pengaruh dan manfaat yang berarti bagi rakyat kecil, yang umumnya ting-gal di wilayah-wilayah pedesaan. Karena itu, pembangunan Aceh ke depan harus dimulai dari pedesaan. Upaya ini dimaksud-kan agar pembangunan yang kita laksanakan itu, bisa menyentuh “akar rumput”, lapisan ma-syarakat paling bawah yang se-bagian besar berdomisili di wilayah-wilayah pedesaan itu.”

Gagasan tersebut disampai-kannya dalam acara haul per-ingatan ke-108 Tahun Wafat-nya Teuku Umur Johan Pahla-wan di kompleks makan pahl-awan nasional asal Aceh itu di desa Meugo, Kaway 16, Aceh Barat, 12 Februari 2007 lalu. Teuku Umar adalah salah satu pejuang yang sangat dihormati karena keberaniannya menen-tang kolonialisme.

■ fadjar

Mengucapkan Selamat Atas Pelantikan

Drh. Irwandi Yusuf, M. Sc

Sebagai Gubernur Prov NAD Periode 2007-2012

Muhammad Nazar, S. Ag

Sebagai Wakil Gubernur Prov NAD Periode 2007-2012

Oleh Menteri Dalam Negeri RI

Mohammad Ma’ruf

Tanggal 8 Februari 2007 di Banda Aceh

Semoga Pemerintahan Baru Aceh yang transparans, akuntabel dan bebas

korupsi bisa diwujudkan demi kesejahteraan rakyat dan kejayaan Aceh.

MENTERI DALAM NEGERI, M Ma'ruf menyematkan tandapangkat kepada Irwandi Yusuf, Gubernur Aceh yang baru

dilantik di Gedung DPRD Aceh, Kamis (8/2)lalu. FOTO/IST

FOTO/AGUS

C

M

Y

K

(10)

HALAMAN 10

Oleh: M Istijar/Masyarakat Partisipatif

FRIZAL (25) hanya bisa duduk termenung di depan bakal ru-mah permanennya. Dia mem-bayangkan hingga kapan ru-mah bantuan dari Habitat for Humani-ty (HFF) yang akan ditempatinya sele-sai dibangun. Pasalnya sudah cukup lama bangunan yang belum selesai itu terbengkalai.

Atapnya, jangan ditanya. Meski sudah terdapat seng penutup, tetapi masih terdapat bolong di sana-sini. Air hujan atau sinar matahari dengan mudah masuk ke dalam ruangan. Kondisi diper-parah dengan balok penyanggah atap yang sudah berlubang dan kropos serta menjadi sarang tawon. Tipe bangunan juga tidak jelas. Tidak ada pembatas antara ruang tamu, kamar tidur dan dapur. Semuanya los, bak kotakan ber-dinding batako.

Afrizal termasuk satu dari sekitar 60 warga yang terdaftar sebagai penerima bantuan dari HFH tahap pertama. Wak-tunya sekitar awal tahun 2005 lalu. Bukan tanpa usaha untuk menanyakan kejelasan rumah bantuan kepada si pem-beri bantuan. Beberapa kali Afrizal me-minta kejelasan kepada pihak HFH. Namun tanggapan dingin yang selalu diperoleh. “Saya sudah hampir bosan menanyakan kejelasan ini,” ujarnya. Padahal, sifat bantuan ini adalah teri-ma jadi, diteri-mana si peneriteri-ma bantuan hanya tinggal menempati saja. Karena kondisi belum layak ini, maka hingga

Rumah ‘Habitat’ Dibiarkan Terbengkalai

Sejumlah bangunan rumah bantuan tahap pertama

Habi-tat for Humanity di Desa Gampong Baru, Setia Bakti,

Aceh Jaya, dibiarkan terbengkalai tidak selesai. Padahal,

proses tahap kedua telah selesai. Alhasil, warga masih

terus tinggal di barak dan shelter.

saat ini Afrizal masih menumpang di rumah temannya.

Di desa Gampong Baru, Setia Bakti, Aceh Jaya ini, HFH memberikan ban-tuan sekitar 225 rumah. Proses pembe-rian ini dibagi beberapa tahap. Tahap pertama sebanyak 60 rumah, tahap ked-ua 100 rumah. Sehingga totalnya 160 rumah. Sisanya, 65 rumah tahap keti-ga. Tahap awal dikerjakan sekitar awal tahun 2005 lalu. Tiga bulan kemudian dikerjakan tahap kedua. Rencana awal, tahap ini HFH hanya membangun se-banyak 60 rumah. Tetapi entah menga-pa, beberapa bulan, HFH kembali me-nambah rumah yang dibangun, yakni 40 rumah. Sedangkan sisanya dikerjakan dalam tahap ketiga. Anehnya, menurut pengakuan warga setempat, tidak ada sosialisasi sebelumnya dalam proses pemberian rumah bantuan.

Yang diketahui warga, mereka lang-sung diberitahukan Keucik (kepala desa) setempat, bahwa terdapat 225 KK ter-daftar sebagai si penerima bantuan dari HFH. “Kami hanya dikasih tahu bahwa akan ada bantuan rumah dari Habitat,” ungkap Afrizal, yang kini hidup seba-tang kara. Anehnya, sejumlah warga mengungkapkan, HFH mempercayakan keucik setempat sebagai pelaksana lapangan. Sehingga keucik merupakan kepanjangan tangan HFH di desa itu. Tidak heran jika semua perlengkapan untuk membangun rumah diadakan oleh keucik setempat.

Karena tidak adanya akses informasi dari pemberi bantuan, masyarakat menuding keucik turut bermain dalam

penentuan pemberian bantuan. Ma-syarakat juga menuding, orang-orang yang memiliki hubungan dekat dengan keuciklah yang berpeluang besar menda-pat rumah bantuan. Sedangkan yang tidak, jangan harap dapat rumah. Aki-batnya, terjadi kecemburuan sosial ses-ama warga. Namun jika mempersoalkan, sebagian besar warga merasa takut. Pasalnya, jika menuntut, maka bantu-an ybantu-ang telah diterima mereka akbantu-an di-tarik kembali. Ini yang membuat sebagi-an warga penerima bsebagi-antusebagi-an menerima apa adanya. Tanpa mengetahui jenis, tipe, dan spesifikasi rumah bantuan yang bakal mereka terima.

Saat dikonfirmasikan kepada keucik setempat, Hadini A. Menurutnya, sejak proses pembangunan rumah bantuan dimulai hingga saat ini berjalan lancar, tanpa ada permasalahan. “Lancar-lan-car aja,” jelas Keucik Gampong Baru ini kepada JROH. Ia mengatakan hingga awal Januari ini, bangunan rumah ban-tuan HFH telah mencapai 160 unit. Dimana jumlah tersebut dibangun pada

tahap pertama dan kedua. Karena itu menurutnya, cukup mustahil, jika pada tahap pertama masih terdapat rumah yang belum rampung dibangun. “Sedan-gkan sisanya akan dan sedang dalam proses pembangunan,” ujarnya.

Sebelum proses pembangunan tahap pertama dimulai, memang telah terjadi pertemuan antara warga desa dengan pemberi bantuan. Namun itu hanya sekedar pemberitahuan semata bahwa mereka akan mendapatkan rumah ban-tuan. Selebihnya, pertemuan dilakukan secara tertutup, dimana keucik dan aparat desa dengan pihak HFH saja. Warga, tidak diikutsertakan. Tetapi hal itu dibantah oleh Hadini. Dia men-gungkapkan, setiap pertemuan selalu di-sosialisasikan warga. “Aparat desa itu sudah perwakilan masyarakat,” imbuh-nya.

Sayangnya, beberapa kali pihak HFH kantor Aceh Jaya tidak bisa dikonfir-masi. Telepon selularnya ketika di-hubungi JROH selalu bernada mailbox. ***

Bangunan rumah bantuan For Humanity yang belum selesai. FOTO/ISTIJAR

A

(11)

HALAMAN 11

Oleh: M. Istijar-Ikhwan N/ Masyarakat Partisipatif

ARA nelayan dari Desa Calang, Patek, dan Lhok Kruet, Aceh Jaya merasa gembira mendengar kabar akan dibagikannya bantu-an berupa 12 palong dari BRR. Kegembiraan itu wajar mengingat sejak tsunami menghancurkan infrastruktur dan sebagian besar peralatan perikan-an, praktis nelayan di wilayah ini tidak memiliki pekerjaan. Sebagai nelayan bahkan sudah tak lagi melaut dan me-milih bekerja serabutan untuk memenu-hi kebutuhan memenu-hidup.

Itulah sebabnya, kabar tentang ban-tuan palong sungguh diharapkan mere-ka. Palong merupakan jaring yang ber-bentuk persegi panjang yang digerakan dengan katrol dan ditopang oleh kerang-ka yang terbuat dari kerang-kayu. Dua buah perahu menjadi penyangga ketika pal-ong dioperasikan di tengah laut. Menu-rut Abdullah (35), nelayan Desa Lhok Kruet, jika sedang musim, palong bisa menghasilkan tangkapan ikan hingga 500 kg. Ikan teri dan gembung merupa-kan jenis imerupa-kan yang sering terperangkap palong nelayan ini di perairan Aceh Jaya.

Namun, harapan nelayan untuk memperoleh bantuan palong tersebut tinggal kenangan. Pada saat serah teri-ma, palong yang harga per unitnya men-capai Rp 180 juta itu ternyata tidak lay-ak dipergunlay-akan. Panglima laut dan nelayan yang berasal dari tiga desa sep-akat menolaknya. ”Bantuan itu mu-badzir karena tidak dapat dipergunakan sama sekali sejak serah terima” kata Usman Umar, Panglima Laot Lhok Kru-et, SampoinKru-et, Aceh Jaya. Jika ditotal nilai bantuan yang dianggap sia-sia karena tidak bisa didayagunakan itu mencapai Rp 4.140 miliar.

Menurut lelaki berbadan kekar dan berkumis tebal ini, palong bantuan itu dibuat asal-asalan. Ia dan nelayan lain-nya juga merasa tidak pernah diajak bicara tentang rencana pembuatan pal-ong ini. Akibatnya, begitu palpal-ong ban-tuan itu tiba di lokasi serah terima tam-pak dengan jelas berbagai kekurangan-nya. Bagian yang segera terlihat adalah konstruksi palong yang terlalu rendah untuk menghadapi gelombang laut Aceh

Menghambur Uang di Laut Aceh Jaya

Proyek BRR bidang kelautan di Aceh Jaya dinilai

mubazir. Bantuan bernilai milyaran rupiah itu tidak

dapat dimanfaatkan karena ketiadaan koordinasi dengan

nelayan dan pengerjaannya yang asal jadi.

Jaya. Bagian lain ialah tidak adanya winci atau katrol yang berfungsi sebagai pemutar jaring. Tanpa katrol, jaring yang membentang pada kerangka kayu tidak akan bisa bergerak turun naik di dalam laut.

Selain itu, jenis kayu yang di-gunakan juga berkualitas rendah. Padahal, kayu-kayu itu menjadi peng-hubung antara palong dengan boat pen-yangganya. Yang lebih parah, penyera-han palong tidak disertai dengan boat penarik. Palong yang diletakkan di ant-ara dua buah boat tak bermesin hanya dapat dibawa ke tengah laut dengan cara ditarik oleh boat berkekuatan minimal 20 GT. Tanpa boat penarik, palong-palong itu tidak akan bergeser dari lokasi semula.

Setelah ditelusuri, proses pembuatan palong tersebut ternyata dilakukan di kemukiman nelayan Lam Besau, Jaya, Aceh Jaya. Lantaran dibuat asal-asalan, maka para nelayan di Desa Calang, Patek, dan Lhok Kruet, Aceh Jaya me-nolak palong tersebut. Karena itu, se-banyak 12 palong itu hingga kini masih teronggok di bantaran sungai Desa Kua-la, Kemukiman Lam Besau, Jaya. Alat tangkap bernilai ratusan juta rupiah itu mulai rusak dan tenggelam. Lokasi Ke-camatan ini terpencil, dimana dihapit dua perbukitan. Jarak dari pusat Kabu-paten Aceh Jaya, Calang, ke lokasi ini hampir mencapai 50 KM arah Banda Aceh.

Ternyata bukan hanya palong yang mengisi cerita muram bantuan BRR di sektor kelautan. Sebanyak 23 boat je-nis 3,5 GT kondisinya juga sama; tidak dapat digunakan nelayan untuk melaut. Kurang dari 2 bulan setelah serah teri-ma, boat ini juga telah tenggelam di bi-bir pantai desa Lhok Kruet. “Kami menyebutnya bukan boat tetapi keran-jang air” kata Abdullah menunjukan kekecewannya.

Menurut nelayan Lhok Kruet yang menyaksikan langsung proses pembua-tannya, boat-boat itu dikerjakan asal jadi. Bahan baku kayu yang baru di-angkut dari hutan langsung dibelah dan digunakan menyusun body boat meski kayu-kayu itu masih dalam keadaan basah. Padahal, mestinya kayu diker-ingkan terlebih dahulu sebelum di-gunakan untuk membuat boat.

Akibat-nya, boat yang dibuat tersebut kualitas-nya sangat buruk dan tidak bisa di-gunakan.

Kalau dihitung, harga setiap unit boat jenis 3,5 GT ini sekitar Rp 75 juta. Ka-lau dikali 23 boat, maka nilai boat je-nis 3,5 GT yang belum sempat di-gunakan nelayan ke laut mencapai Rp 1.725 miliar. Uang sebesar ini terbuang sia-sia. Kini boat tersebut kondisinya seperti barang rongsokan. Sebagian boat jenis ini masih mangkrak setengah tenggelam di sungai Lhok Kruet.

Anehnya, bantuan alat pruduksi ne-layan tidak hanya dua jenis itu. Seban-yak 10 unit boat berjenis 8 GT juga mengalami nasib serupa: ditolak nelay-an dnelay-an lembaga adat pnelay-anglima laot se-Aceh Jaya. Boat ini senilai Rp 175 juta, atau total nilainya mencapai Rp 1,75 miliar. Alasannya pun serupa: boat tidak layak digunakan. Dimana tidak ada alat tangkap ikan, dan kayunya mudah rapuh.

“Jika dibawa ke laut akan tenggelam. Kami tidak ingin mengambil resiko,” ujar Hassan, salah satu nelayan Lhok Kruet. Tidak jauh berbeda dengan dua bantuan lainnya. Kini boat tersebut kondisinya telah menjadi tempat ‘plesiran’ nelayan diwaktu sore hari. Letaknya di bibir pan-tai Lhok Kruet. “Jika sore dijadikan tem-pat duduk sambil menunggu matahari tenggelam,” ujar Abdullah.

Lantas berapa nilai total bantuan

sektor kelautan yang terbuang sia-sia. Ya tinggal di kalkulasikan saja; nilai total palong mencapai Rp 4.140 miliar, boat jenis 3,5 GT mencapai Rp 1.725 miliar, boat berjenis 8 GT Rp 1,75 mil-iar. Jadi totalnya Rp 7,615 milmil-iar. Wow! Angka yang cukup fantastis. Nilai yang besar ini tidak akan terbuang mubazir jika si pemberi bantuan, terlebih dahu-lu berkonsultasi dengan para calon si penerima bantuan, nelayan dan pangli-ma laot.

Penolakan lembaga adat panglima laot terhadap bantuan palong ini mem-peroleh dukungan dari Dinas KP3 (Ke-lautan, Perikanan, Peternakan dan Per-tanian) Aceh Jaya. “Kami hanya tim yang membantu BRR mendistribusikan bantuan boat dan alat tangkapnya den-gan syarat sesuai denden-gan spek yang te-lah disepakati. Jika tidak memenuhi syarat, maka itu menjadi tanggung jawab BRR”, kata Ismail Sp, Kepala Di-nas KP3 Aceh Jaya.

Sayangnya, dalam Pertemuan Kon-sultasi Publik yang digelar Transparen-cy International (TI) Indonesia kantor Meulaboh, beberapa waktu lalu, pihak BRR tidak bisa memberikan penjelasan mengenai masalah ini. Namun demiki-an pertemudemiki-an itu merekomendasikdemiki-an agar seluruh bantuan selanjutnya di-lakukan secara transparan, dan meli-batkan komunitas nelayan sebagai pen-erima bantuan. ■

P

Perlengkapannya pun tak Layak Pakai

Entah disengaja atau tidak, tetapi

sep-ertinya lengkap sudah nasib bantuan dari BRR Aceh-Nias di Sektor Kelautan untuk wilayah Aceh Jaya. Pukat (purse) mini, alat jaring ikan yang diberikan ke-pada nelayan dan lembaga adat pangli-ma laot di Aceh Jaya pun ditolak.

Di Aceh Jaya, BRR memberikan ban-tuan pukat sebanyak 10 buah. Rincian-nya Kecamatan Lamno 2, Lhok Kruet 1, Patek 1, Rigaih 1, Pangah 1, Calang 2, dan Teunom 2. Para nelayan dan lemba-ga panglima laot sepakat menolak ban-tuan pukat. Ya alasannya sama: tidak lay-ak play-akai.

“Bagaimana tidak kami tolak, kami tidak bisa gunakan untuk menangkap ikan,” ujar Abdullah, salah seorang ne-layan Lhok Kruet. Cukup beralasan yang diungkapkan Abdullah. Pasalnya, alat pukat tidak dilengkapi alat penangkap ikan. Jadi untuk apa jika fungsinya menangkap ikan, tetapi tidak ada alat

penangkap ikan. Padahal harga pem-buatan pukat ini mencapai Rp 120 juta/ unit. Jika ditotal, nilai bantuan yang dito-lak mencapai Rp 1.2 miliar.

Bagaimana kondisi bantuan pukat itu. JROH sempat melihat kondisi bantuan pukat. Kondisinya cukup memprihatinkan: hampir menjadi barang rongsokan. Di Lhok Kruet sendiri, sejak dua bulan lalu, bantuan pukat itu dibiarkan terbengkalai di sisi bangunan lokasi pembuatan boat. Seperti bangkai; terbungkus kain terpal berwarna biru. Entah sampai kapan ban-tuan pukat itu tidak bisa digunakan.

Sudah beberapa kali nelayan dan lem-baga panglima laot meminta perbaikan kepada Satker Kelautan BRR. Tetapi tang-gapannya: dingin. “Kami berharap agar pukat ini diperbaiki kembali sesuai den-gan standar pukat yang biasa kami pakai mencari ikan,” pinta Abdullah. Jika tidak, bantuan pukat itu tentu akan menjadi rongsokan tak berguna.***

Sarana perikanan BRR yang dianggap warga kurang memadai. FOTO/ISTIJAR

(12)

HALAMAN 12

Sulitnya Kalau MCK Terbatas

Pembangunan fasilitas MCK untuk warga Gampong Paya Peunaga baru

sebagian dikerjakan. Dari 12 MCK yang dijanjikan, Oxfam hanya baru

merampungkan empat MCK saja. Akibatnya penghuni barak harus antri

untuk urusan membersihkan badan dan buang air.

Oleh: M Istijar/ Gerak Aceh Barat. EBAGIAN besar warga Gampong Paya Peunaga, Meurebo, Aceh Barat terlihat gembira setelah mendengar bahwa di desa mere-ka amere-kan dibangun fasilitas MCK (man-di, cuci, kakus). Apalagi setelah setahun lebih, mereka tinggal dibarak pengung-sian tanpa dilengkapi fasilitas MCK yang memadai. Rencananya pembangunan fasilitas MCK sebanyak 12 unit itu akan dibantu oleh Oxfam, sebuah NGO yang sudah lama bekerja di Aceh.

Proses pembangunannya dimulai se-jak awal tahun lalu. Namun, hampir satu tahun, pembangunan fasilitas umum itu baru rampung sebanyak em-pat MCK, dari 12 yang dijanjikan. Ten-tu, jumlah tersebut tidak mencukupi jika melihat kebutuhan warga di Gam-pong Paya Peunaga. Tak heran jika set-iap menggunakan MCK, mereka harus antre, bergantian satu sama lain. “Kadang sesama warga sering adu mu-lut karena berebutan menggunakan MCK,” ujar Hassan (30), salah satu war-ga setempat. Karena merasa prihatin, beberapa warga mendatangi kantor Ox-fam di Meulaboh untuk meminta kejela-san.

Hasil pengamatan tim Jroh menun-jukan, memang empat MCK telah sele-sai dibangun di Gampong Paya. Fasili-tas itu telah digunakan oleh warga set-empat. Selain empat MCK itu, juga ter-dapat empat MCK yang masih dalam proses pembangunan, dimana belum tersedia kloset dan spiteng. Sedangkan empat MCK lagi, belum terlihat tanda-tanda dikerjakan.

“Bagaimana kita mau gunakan, ka-lau belum ada spiteng-nya,” tambah Hassan. Yang menyedihkan, sanitasi di sekitar MCK tersebut kurang bagus. Air yang mengalir dari dalam MCK terlihat mengembang dan air terlihat hitam dan mengeluarkan udara tak sedap.

Pemberian fasilitas MCK memang salah satu penunjang bagi kesehatan lingkungan para penghuni barak. Tan-pa adanya fasilitas ini, akan mudah tim-bul masalah kesehatan. Terlebih anak-anak, dimana mereka sangat rentan terserang berbagai penyakit. Karena itu, fasilitas MCK merupakan sarana yang sangat penting dalam meningkatkan kesehatan masyarakat.

Permasalahan belum selesainya

pem-bangunan fasilitas MCK di Gampong Paya Peunaga diakui oleh pihak Oxfam. Team Leader Engineering, Mulyadi men-gungkapkan, pihaknya meminta maaf karena terjadinya kelambanan proses pengerjaan fasilitas MCK itu. Dia menye-butkan, lambannya pengerjaan fasiltas MCK dikarenakan sebelumnya di inter-nal organisasi terjadi pergantian team leader. “Karena itu terdapat beberapa rencana yang perlu dibuat perencanaan ulang,” ujarnya ketika acara Pertemuan Konsultasi Publik yang digelar Trans-parency International (TI) Indonesia ber-sama Gerak Aceh Barat beberapa waktu lalu. Di samping itu, menurutnya, Ox-fam juga sedang memenuhi kebutuhan air bersih di beberapa titik daerah ter-pencil di Aceh Barat. Sehingga pihak Oxfam mengalami kekurangan tenaga

untuk merespon secara cepat keluhan masyarakat di Kecamatan Meurebo.

Menurut Mulyadi, sistem pengerjaan fasilitas MCK yang selama ini di-kembangkan lembaganya menggunakan prinsip-prinsip partisipasi masyarakat. Oxfam menyebutnya Community Partisi-patory atau Gotong Royong. Karena itu, sebelum program pemberian fasilitas MCK dijalankan, Oxfam terlebih dahu-lu mengadakan pertemuan dengan war-ga setempat. “Kami ingin awar-gar kesada-ran masyarakat ada. Sehingga masya-rakat yang sebelumnya merasa trauma dalam menghadapi hidup bisa bangkit dalam menjalankan hidup,” ujarnya.

Pertemuan digelar sekitar awal tahun ini. Saat itu dihasilkan satu kesepaka-tan bersama dengan masyarakat tenkesepaka-tang rencana kegiatan rehab rekons di Gam-pong Paya Peunaga. “Karena sifatnya

partisipatif, proses pengerjaannya di-lakukan bersama, dan masyarakat Gam-pong memiliki kewajiban untuk mera-wat fasilitas tersebut,” ujarnya. Namun dalam pengerjaan dilapangan, lanjut Mulyadi, tetap pihak Oxfam yang ber-tanggungjawab penuh.

Karena sifatnya gotong royong, Oxfam menyediakan “uang air”. Nilianya Rp 500 ribu setiap unit. Jadi total “uang air” tersebut Rp 6 juta, untuk 12 MCK. Un-tuk tindaklanjut hal itu, lembaga itu ber-sama masyarakat setempat menandatan-gani nota kesepahaman (MoU). “Setelah itu, maka baru proses pengerjaan pem-bangunan dilakukan,” ujarnya. Agar fa-silitas MCK bisa digunakan oleh ma-syarakat, maka pihak Oxfam berjanji un-tuk segera merampungkan fasilitas MCK yang sebelumnya sempat tertunda. Mak-lum, namanya juga manusia. ***

S

Salah satu Barak di pesisir barat Aceh.

MCK yang dibangun Oxfam di Gampong Peunaga. FOTO/ISTIJAR

DALAM berita di tabloid JROH edisi

8, hal 6 disebutkan tentang bantuan ru-mah BRR di Desa Lancang, Simpang Mamplam, Bireuen. Berita ini didasarkan atas hasil laporan investigasi Paska Bi-reuen dan konfirmasi langsung dengan Ir. Armansyah, Direktur CV. Infra Madya Consulindo. Namun terdapat beberapa kekeliruan dalam kerterangan tentang permasalahan rumah tersebut.

Kesalahan terjadi pada beberapa hal sebagai berikut:

● Didesa tersebut bantuan rumah dari BRR diberikan kepada sekitar 100 KK (alinea ke-3), yang benar se-harusnya 24 KK.

● Pelaksana pembangunan rumah tersebut dikerjakan oleh 20 kontraktor ( alinea ke- 3 ) Yang benar 2 kontraktor ( CV. Krung Surieng 19 unit, 11 unit yang bermasalah dan CV. Real Trading sebanyak 5 unit )

● Rusli menolak menanda tangani surat serah terima bantuan (pernyataan akhir di alinea ke- 2 )

Yang benar belum serah terima bantuan ● Penyerahan bantuan Rumah tahab I antara

BRR dan 20 Kontraktor di desa tersebut (alinea ke 7 ), yang benar 2 kontraktor Demikian yang perlu diralat, atas kerja sama yang

baik kami ucapkan terima kasih.

Paska Bireuen

RALAT BERITA

Referensi

Dokumen terkait

Maka, penelitian bertujuan untuk mengetahui jenis kertas saring manakah yang baik digunakan sebagai bahan pembuatan kertas indikator pH dari ekstrak daun bayam

Dalam rangka mendukung pencapaian prioritas nasional sebagaimana telah ditetapkan dalam visi dan misi Presiden dan Wakil Presiden terpilih yang dijabarkan dalam RPJMN periode

Karena itu, menurut saya, mekanisme ‘impeachment’ dalam sistem pemerintahan presidential murni seperti Indonesia dan Amerika Serikat, bukan lah ancaman bagi Presiden/Wakil

Kebijakan yang perlu dilakukan dalam melakukan proteksi sektor pertanian adalah: (a) tetap memperjuangkan agar negara maju menghapus berbagai bentuk subsidi sehingga petani

Hasil pengujian tersebut menunjukkan bahwa lumpur Lapindo tidak bersifat pozolan (tidak aktif), maka lumpur Lapindo tidak bisa digunakan sebagai pengganti semen

Dalam studi ini akan dikaji mengenai besar daya listrik yang dapat dibangkitkan dari pemanfaatan debit outflow waduk dan penambahan nilai manfaat apabila Bendungan Tugu

Penelitian ini bertujuan untuk menguji dan menganalisis pengaruh perceived ease to use dan subjective norm terhadap intention to use dengan perceived usefulness

Judul pada tugas akhir ini adalah Analisis Gelombang Otak Low alpha High alpha Low beta High beta Dan Theta Menggunakan Alat Neurosky Mindwave Mobile Headset