BAB 2
LANDASAN TEORI 2.1 Landasan Teori
2.1.1 Teori Keagenan
Menurut teori keagenan Jensen dan Meckling (1976) bahwa perusahaan yang membedakan fungsi kepemilikan dengan fungsi manajerial akan rentan dengan konflik kepentingan, karena itu adalah konsekuensi dari pemisahan fungsi tersebut. Hal yang paling penting dalam teori ini adalah hubungan kerja pemberi wewenang dengan pihak penerima wewenang dalam bentuk kerjasama. Teori keagenan mengasumsikan bahwa semua individu bertindak atas kepentingan mereka sendiri. Karena perbedaan kepentingan ini masing-masing pihak berusaha memperbesar keuntungan bagi diri sendiri dengan membuat beberapa peraturan dan kebijakan.
Teori agensi yang dikemukakan oleh Jensen dan Meckling (1976) lebih lanjut menjelaskan bahwa apabila kedua pihak, baik pihak agen maupun pihak prinsipal merupakan utility maximizers, maka pihak agen belum tentu bertindak sesuai dengan kepentingan prinsipal. Pihak agen sering kali termotivasi untuk memaksimalkan bonus yang diterimanya. Hal ini berlawanan dengan kepentingan pihak prinsipal yang berusaha untuk memaksimalkan pengembalian atas sumber dayanya, sehingga dapat menimbulkan konflik kepentingan antara pihak agen dan principal.
Menurut Eisenhardt (1989), terdapat dua masalah dalam hubungan pihak principal dan agen ini, yaitu adanya konflik perbedaan keinginan atau tujuan antara pihak agen dan principal, dan adanya kesulitan atau terlalu mahalnya biaya bagi principal untuk memverifikasi apa yang telah dilakukan pihak manajemen dalam mengelola perusahaan. Sulitnya pihak pemegang saham untuk memverifikasi kegiatan operasional pihak manajemen membuat pihak manajemen memiliki lebih banyak informasi mengenai kegiatan operasi dan posisi keuangan perusahaan.
Scott (2003) menyatakan bahwa apabila ada beberapa pihak yang terkait dalam transaksi bisnis memiliki lebih banyak informasi dari pihak lainnya, maka ada kondisi kesenjangan informasi yang disebut sebagai information asymmetry
atau asimetri informasi. Scott (2003) lebih lanjut menjelaskan terdapat dua tipe asimetri informasi, yaitu:
1. Adverse selection, yaitu tipe asimetri informasi dimana salah satu pihak yang melakukan transaksi bisnis, atau transaksi potensial, memiliki lebih banyak informasi dibandingkan pihak-pihak lain.
2. Moral hazard, yaitu tipe asimetri informasi dimana salah satu pihak yang melakukan transaksi bisnis, dapat mengamati tindakan yang dilakukan dalam transaksi bisnis tersebut, sedangkan pihak-pihak lain tidak bisa. Tindakan manajer yang tidak sepenuhnya diketahui oleh pemegang saham termasuk dalam tipe ini.
Asumsi bahwa antara pihak pemegang saham dan manajer bertindak untuk memaksimalkan kepentingan masing-masing, mengakibatkan pihak manajemen dapat memanfaatkan asimetri informasi tersebut untuk menyembunyikan beberapa informasi yang tidak diketahui oleh pihak pemegang saham. Hal ini dapat mendorong pihak manajemen untuk cenderung melakukan perilaku yang tidak semestinya, seperti melakukan praktik manajemen laba.
Watts dan Zimmerman (1990) berpendapat bahwa hubungan antara pihak pemegang saham dan manajemen sering kali ditentukan oleh angka-angka akuntansi dalam laporan keuangan. Kinerja pihak manajemen diukur, dinilai, serta diawasi oleh pihak pemegang saham agar pihak pemegang saham dapat melihat sejauh mana pihak manajemen meningkatkan kesejahteraan pemegang saham.
Laporan keuangan juga dijadikan dasar oleh beberapa perusahaan untuk memberikan kompensasi kepada pihak manajemen. Tak hanya itu, laporan keuangan juga dijadikan bahan pertimbangan untuk pihak-pihak lainnya , seperti kreditor dan pemerintah. Kreditor dapat memberikan pinjaman dengan mempertimbangkan laporan keuangan tersebut. Begitu pula dengan pemerintah yang menetapkan regulasi dengan mempertimbangkan laporan keuangan perusahaan (Sulistyanto, 2008).
Sulistyanto (2008) berpendapat bahwa ketergantungan pihak eksternal pada angka akuntansi, kecenderungan pihak manajemen untuk mementingkan keuntungan sendiri, dan adanya asimetri informasi dan konflik kepentingan yang tinggi, mendorong pihak manajemen untuk memainkan angka akuntansi agar laporan keuangan menampilkan laba tertentu sesuai dengan kepentingan pihak
manajemen, sehingga laporan keuangan yang awalnya ditujukan untuk memberikan informasi pada pihak pemegang saham dan eksternal justru dapat menyesatkan penggunanya. Hal ini juga dapat terjadi dikarenakan ukuran perusaahaan yang besar. Semakin besar perusahaan, semakin kompleks pula struktur perusahaan tersebut dan memungkinkan adanya kepemilikan yang semakin tersebar. Kepemilikan yang semakin tersebar menyebabkan proporsi hak kepemilikan menjadi semakin kecil sehingga mengurangi insentif mereka dalam mengawasi manajer secara efektif. Akibatnya pihak agen mengambil alih kendali dan menjalankan perusahaan sesuai dengan kepentingan sendiri dengan mengorbankan kepentingan pemilik. Sedangkan apabila kepemilikan terkonsentrasi seperti perusahaan keluarga, merupakan salah satu alat yang dapat digunakan untuk mengatasi konflik agensi (Chen et al, 2010). Dengan terkonsentrasinya suatu kepemilikan seperti perusahaan keluarga, menimbulkan princip yang kuat dari pihak keluarga dalam mengawasi kinerja agen. Perusahaan keluarga sangat peduli terhadap reputasi perusahaan serta keberlangsungan hidup perusahaan karena perusahaan tersebut merupakan warisan turun-temurun yang akan diwariskan ke generasi selanjutnya (Chen et al, 2010). Jadi, pihak agen dapat diawasi dengan optimal dan dapat menurunkan biaya agensi.
Menurut Jensen dan Meckling (1976) agency cost merupakan total penjumlahan dari monitoring cost, bonding cost dan residual loss. Monitoring cost adalah biaya yang timbul dan ditanggung oleh pihak principal untuk memonitor perilaku agen, yaitu untuk mengukur, mengamati, dan mengontrol perilaku pihak agen. Bonding cost merupakan biaya yang ditanggung oleh pihak agen untuk menetapkan dan mematuhi mekanisme yang menjamin bahwa pihak agen akan bertindak untuk kepentingan pihak principal. Residual loss merupakan pengorbanan yang berupa berkurangnya kemakmuran principal sebagai akibat dari perbedaan keputusan pihak agen dan keputusan pihak principal.
Pada perusahaan keluarga memiliki suatu kelebihan, dalam penelitian Fama dan Jensen (1983) menyatakan bahwa perusahaan dengan kepemilikan keluarga lebih efisien daripada perusahaan yang dimiliki publik karena biaya pengawasan yang dikeluarkan atau monitoring cost nya lebih kecil dari perusahaan non- keluarga, karena perusahaan non-keluarga memiliki tingkat keagresifan pajak yang
lebih tinggi daripada perusahaan keluarga, diduga terjadi karena masalah keagenan lebih besar terjadi pada perusahaan non-keluarga.
2.1.2 Kepemilikan Keluarga (Family Ownership)
Menurut data Indonesian Institute for Corporate and Directorship (IICD) lebih dari 95 persen bisnis di indonesia merupakan perusahaan yang dimiliki maupun yang dikendalikan oleh keluarga. Itu berarti bahwa kegiatan bisnis keluarga telah lama memberi konstrubusi yang besar terhadap pembangunan ekonomi nasional. Bahkan di saat krisis ekonomi 1997/1998 dan 2008, bisnis keluarga terus menunjukkan eksistensinya sebagai penopang sekaligus sebagai modal kekuatan dalam pemulihan ekonomi nasional (Simanjuntak, 2010). Lebih lanjut Leino (2009) menyatakan perusahaan keluarga mempunyai peran yang penting untuk ekonomi baik lokal maupun regional karena memberikan kestabilan ekonomi yang permanen.
Sebuah bisnis keluarga dikelompokkan sebagai bisnis keluarga jika orang- orang yang terlibat dalam bisnis sebagian besar masih terikat dalam garis keluarga.
Dalam sebuah usaha keluarga, anggota keluarga secara ekonomis tergantung pada yang lain, dan bisnisnya secara strategis dihubungkan pada kualitas hubungan keluarga. Itu juga menggabungkan sebuah rentang situasi mulai dari perusahaan keluarga generasi tunggal suami dan istri, anak, dan keponakan (Susanto et al, 2007). Sedangkan menurut (Hoover, 2000) dalam sebuah usaha keluarga, maka kekuatan utama dalam bisnis keluarga adalah kekuatan hubungan kekerabatan dan didukung komunikasi yang baik untuk menjalankan bisnis keluarga. Suatu organisasi dinamakan perusahaan keluarga apabila paling sedikit ada keterlibatan dua generasi dalam keluarga itu dan mereka mempengaruhi kebijakan perusahaan (Susanto et al, 2007).
Banyak keluarga di Indonesia yang memilih PT sebagai badan usaha dalam menjalankan bisnis, karena PT merupakan asosiasi modal dan badan hukum yang mandiri dengan tanggung jawab terbatas pada harta kekayaan perusahaan itu sendiri. Sehingga, apabila suatu waktu terdapat hutang yang tidak mampu dibayar oleh perusahaan maka pemilik perusahaan dan direksi tidak ikut bertanggungjawab sampai harta kekayaan pribadinya. Kemandirian PT ini tentu membawa
konsekuensi terhadap pola manajemen, yakni pengelolaan perusahaan wajib tunduk pada hukum tersendiri sebagaimana diatur dalam undang-undang nomor 40 tahun 2007 tentang perseroan terbatas.
Kepemilikan saham dalam jumlah besar berarti bahwa tingkat pengendalian yang dimiliki terhadap perusahaan pun semakin besar (Lease et al 1983). Chu (2011) menyatakan adanya pengaruh positif kehadiran keluarga pendiri terhadap performa dan keputusan-keputusan manajemen perusahaan. Kepemilikan yang terkonsentrasi seperti kepemilikan keluarga akan memfasilitasi kegiatan operasi perusahaan dan menambah nilai perusahaan karena pemegang saham minoritas akan terdorong untuk mengurangi pengambilalihan manajerial (Anderson dan Reeb, 2003). Kehadiran keluarga pendiri dalam perusahaan keluarga akan mempengaruhi pengambilan keputusan yang diambil oleh manajemen dan menempatkan keluarga dalam posisi tertinggi untuk mengintervensi dan mengawasi kinerja perusahaan. Dalam hal ini akan mengurangi agency cost dikarenakan banyak pihak yang ikut andil dalam pengawasan pihak agen demi keberlangsungan perusahaan dan reputasi keluarga dan perusahaan. Pernyataan ini didukung oleh penelitian Villalonga dan Amit (2006) yang menemukan bahwa kehadiran pendiri pada perusahaan keluarga dapat menciptakan nilai tambah bagi perusahaan. Hal ini diduga karena perusahaan keluarga tidak hanya memiliki tujuan ekonomis saja tetapi juga memiliki tujuan non-ekonomis seperti warisan untuk generasi berikutnya dan nama baik keluarga (Steijvers dan Niskanen, 2014).
2.1.3 Penghindaran Pajak (Tax Avoidance)
Lim (2011) mendefinisikan penghindaran pajak (tax avoidance) sebagai penghematan pajak yang timbul dengan memanfaatkan ketentuan perpajakan yang dilakukan secara legal untuk meminimalkan kewajiban pajak. Penghindaran pajak merupakan bagian dari tax planning yang dilakukan dengan tujuan meminimalkan pembayaran pajak. Penghindaran pajak secara hukum pajak tidak dilarang meskipun seringkali mendapat sorotan yang kurang baik dari kantor pajak karena dianggap memiliki konotasi yang negatif. Berbeda dengan tax evasion (penggelapan pajak), yang merupakan usaha-usaha memperkecil jumlah pajak
dengan melanggar ketentuan-ketentuan pajak yang berlaku.Pelaku tax evasion dapat dikenakan sanksi administratif maupun sanksi pidana.
Selain tax avoidance juga terdapat istilah tax aggressive dan tax sheltering.
Pengertian tax aggressive seperti yang diungkapkan oleh Frank et al. (2009) merupakan tindakan yang bertujuan mengurangi pendapatan kena pajak melalui perencanaan pajak. Tax aggressive menggunakan metode yang diklasifikasikan atau tidak diklasifikasikan sebagai penggelapan pajak (tax evasion), meskipun tidak semua tindakan yang dilakukan melanggar aturan akan tetapi metode yang digunakan oleh perusahaan membuat perusahaan diasumsikan lebih agresif.
Sedangkan tax sheltering dalam penelitian Graham dan Tucker (2006) mendefinisikan tax shelters berdasarkan US kongres (Dewan Komite Perpajakan, 1999) sebagai upaya untuk menghindari pajak tanpa terkena risiko ekonomi atau kerugian.Berdasarkan definisi ini tax aggressiveness dan tax sheltering dapat diartikan juga sebagai tax avoidance. Tax avoidance dapat diukur dengan beberapa pengukuran. Pada penggukuran pertama menggunakan effective tax rate (ETR) yang digunakan untuk merefleksikan perbedaan antara perhitungan laba buku dengan laba fiskal (Frank et al. 2009).
2.1.4 Kualitas Audit (Audit Quality)
Audit merupakan suatu proses untuk mengurangi ketidakselarasan informasi yang terdapat antara manajer dan para pemegang saham dengan menggunakan pihak luar untuk memberikan pengesahan terhadap laporan keuangan. Para penggguna laporan keuangan terutama para pemegang saham akan mengambil keputusan berdasarkan pada laporan yang telah dibuat oleh auditor mengenai pengesahan laporan keuangan suatu perusahaan. Hal ini berarti auditor mempunyai peranan penting dalam pengesahan laporan keuangan suatu perusahaan. Oleh karena itu, kualitas audit merupakan hal penting harus dipertahankan oleh para auditor dalam proses pengauditan.
Istilah "kualitas audit" mempunyai arti yang berbeda-beda bagi setiap orang.
Para pengguna laporan keuangan berpendapat bahwa kualitas audit yang dimaksud terjadi jika auditor dapat memberikan jaminan bahwa tidak ada salah saji yang material (no material misstatements) atau kecurangan (fraud) dalam laporan
keuangan audite. Auditor sendiri memandang kualitas audit terjadi apabila mereka bekerja sesuai standar profesional yang ada, dapat menilai resiko bisnis audite dengan tujuan untuk meminimalisasi resiko litigasi, dapat meminimalisasi ketidakpuasan audite dan menjaga kerusakan reputasi auditor.
Menurut De Angelo (1981) mendefinisikan kualitas audit sebagai kemungkinan bahwa auditor akan menemukan dan melaporkan pelanggaran dalam sistem akuntansi dengan pengetahuan dan keahlian auditor. Dan menurut Dewi dan Jati (2014) kualitas audit adalah segala kemungkinan yang dapat terjadi saat auditor mengaudit laporan keuangan klien dan menemukan pelanggaran atau kesalahan yang terjadi dan melaporkannya dalam laporan keuangan auditan. Sedangkan pelaporan pelanggaran tergantung kepada dorongan auditor untuk mengungkapkan pelanggaran tersebut. Dorongan ini akan tergantung pada independensi yang dimiliki oleh auditor tersebut. Kualitas audit dengan transparansi menjadi salah satu elemen yang berhubungan. Transparansi terhadap pemegang saham dapat dicapai dengan melaporkan hal-hal terkait perpajakan pada pasar modal dan pertemuan para pemegang saham. Peningkatan transparansi terhadap pemegang saham dalam hal pajak semakin dituntut oleh publik (Sartori , 2010). Karena asumsi adanya implikasi dari perilaku pajak yang agresif, perusahaan yang investor inginkan akan mengambil posisi agresif dalam hal pajak dan perusahaan akan mencegah tindakan tersebut jika investor mengetahui tindakan hal tersebut. Hal tersebut mendorong pemegang saham atau perusahaan mempekerjakan atau menggunakan jasa auditor yang lebih terpercaya atau berkualitas. Perusahaan menggunakan jasa auditor yang berkualitas dapat menjamin informasi laporan keuangan yang dilaporkan, sehingga pengguna laporan keuangan atau investor akan lebih percaya atas informasi tersebut (Pranata & Puspa, 2014).
Purwanti & Rahardjo (2012) mengungkapkan bahwa salah satu cara pemilik atau investor untuk meminimalisir asimetris informasi dan ketidakseimbangan yang terjadi di perusahaan yaitu dengan menggunakan auditor yang berkualitas, harapan terhadap auditor yang berkualitas adalah dapat menemukan indikasi keganjilan atau kecurangan seperti manajemen laba yang dilakukan di perusahaan.
Berdasarkan penelitian Teoh dan Wong (1993) ditunjukkan pasar merespon secara berbeda terhadap kualitas auditor, yang diproksikan dengan auditor big 5 dan
non big 5. Artinya semakin berkualitas auditor maka semakin tinggi kredibilitas angka akuntansi yang dilaporkan, dengan demikian semakin besar tingkat pengungkapan laporan keuangan. Pengaruh tingginya kredibilitas angka akuntansi yang dilaporkan oleh KAP yang dikategorikan KAP `besar` mempunyai pengaruh yang lebih untuk mempengaruhi perusahaan untuk lebih transparan dalam mengungkapkan informasi. Pengukuran kualitas audit dapat dilakukan dengan menggunakan proksi spesialisasi industri dan ukuran KAP.
2.2 Pengembangan Hipotesis
2.2.1. Pengaruh kepemilikan keluarga terhadap penghindaran pajak
Menurut Chen et al. (2010) dan Sari (2010) meneliti struktur kepemilikan keluarga dapat mempengaruhi perilaku pajak agresif. Kedua penelitan ini menunjukkan hasil yang bertolak belakang. Pada penelitian Chen et al. (2010) yang menunjukkan bahwa pada perusahaan-perusahaan yang termasuk dalam S&P 1500 Index (periode 1996-2000), perusahaan keluarga memiliki tingkat keagresifan pajak yang lebih kecil daripada perusahaan non-keluarga. Hal ini diduga terjadi karena dibandingkan perusahaan non-keluarga, family ownership lebih rela membayar pajak lebih tinggi, daripada harus membayar denda pajak dan menghadapi kemungkinan rusaknya reputasi perusahaan akibat audit dari fiskus pajak. Fiskus pajak yaitu petugas pemeriksa pajak. Dengan adanya denda dan kemungkinan rusaknya reputasi perusahaan akibat tindakan pajak agresif tersebut, family ownership akan mempertimbangkan apakah akan melakukan tindakan pajak agresif atau tidak.
Sebaliknya dalam penelitian yang dilakukan di Indonesia oleh Sari (2010) menunjukkan kepemilikan keluarga di Indonesia cenderung memiliki perilaku pajak agresif lebih tinggi daripada kepemilikan non keluarga. Pemeriksaan pajak yang belum efektif yang menyebabkkan kepemilikan keluarga memiliki diskresi lebih besar untuk melakukan pajak agresif. Dan penelitian ini didukung juga oleh Gaaya (2017) dengan menunjukkan hasil bahwa keluarga lebih memilih melakukan penghindaran pajak dikarenakan pajak yang tinggi dan peraturan pajak Tunisia tidak efektif sehingga perusahaan keluarga lebih aggresif dalam melakukan penghindaran pajak daripada perusahaan non keluarga. Namun karena konteks
yang digunakan adalah Indonesia maka penelitian ini mendasarkan hipotesis pada penelitian Sari (2010).
H1: kepemilikan keluarga berpengaruh terhadap penghindaran pajak.
2.2.2. Moderasi Kualitas Audit terhadap Hubungan Kepemilikan Keluarga dengan Penghindaran Pajak.
Menurut penelitian yang dilakukan Healy dan Palepu (2001), permintaan terhadap kualitas audit didorong oleh asimetri informasi dan konflik kepentingan antara manajer dan investor. Perusahaan keluarga cenderung memiliki masalah agensi yang lebih rendah daripada perusahaan non-keluarga. Masalah agensi yang ditandai dengan adanya konflik kepentingan antara pemilik dan manajer.
Rendahnya konflik yang ada dalam perusahaan keluarga mengakibatkan kemungkinan terjadinya manajemen laba kecil, sehingga semakin singkat waktu yang dibutuhkan auditor untuk melaksanakan pekerjaan auditnya. Oleh karena itu, sebuah perusahaan keluarga membutuhkan auditor yang berkualitas tinggi dan berpengalaman.
Anderson dan Reeb (2003) menyatakan bahwa keluarga pendiri biasanya memegang posisi yang berpengaruh terhadap perusahaan dan memegang penguasaan terhadap pimpinan dan direksi dalam perusahaan mereka. Hal tersebut bertujuan untuk mempengaruhi dan mengawasi perusahaan mereka, yang mengakibatkan semakin rendahnya asimetri informasi dan semakin sedikitnya masalah kepentingan antara pemegang saham dan manajer. Niskanen et al (2010) berpendapat bahwa perusahaan keluarga dengan struktur kepemilikan yang sangat terkonsentrasi cenderung lebih merekrut auditor Big 5 daripada perusahaan non keluarga. Karena perusahaan yang diaudit oleh KAP yang besar atau memiliki nama seperti Big 5, akan memiliki kualitas informasi keuangan yang dapat dipercaya dan lebih baik.
Penelitian yang dilakukan oleh Kanagaretnam (2014) meneliti tentang hubungan kualitas auditor dengan penghindaran pajak. Dengan menghubungkan kualitas audit dengan penghindaran pajak perusahaan yang terjadi dalam skala global oleh beberapa negara. Menemukan bahwa kualitas audit yang diproksikan dengan besarnya KAP berpengaruh negatif dengan penghindaran pajak perusahaan.
Annisa & Kurniasih (2012) meyakinkan bahwa terdapat pengaruh signifikan dari kualitas audit terhadap penghindaran pajak. Keyakinan itu didapatkan apabila sebuah perusahaan yang diaudit oleh KAP yang besar atau memiliki nama seperti Big 4, akan memiliki kualitas informasi keuangan yang dapat dipercaya dan baik.
Oleh karena KAP Big 4 yang menjaga kualitas dari auditnya, maka membuat perusahaan yang diaudit terjaga kualitas laporan keuangannya dan dapat terdeteksi bila terdapat kejanggalan sehingga terhindar dari kemungkinan terjadinya Earning Management atau bahkan Tax Avoidance. Namun hasil berbeda didapatkan oleh Jaya et al. (2014) dan Pranata & Puspa (2014). Kedua penelitian menemukan bahwa kualitas audit tidak berpengaruh terhadap penghindaran pajak.
Pada penelitian Gaaya (2017) menemukan bahwa kualitas audit yang tinggi mempengaruhi hubungan antara kepemilikan keluarga dan penghindaran pajak.
Perusahaan keluarga tidak memilih melakukan penghindaran pajak jika diaudit oleh auditor yang berkualitas tinggi. Hal ini terjadi karena auditor yang berkualits tinggi lebih transparan dan mampu menjaga integritasnya dalam pelaksanaan audit sehingga usaha perusahaan untuk menurunkan beban pajak telah diungkapkan kepada publik. Oleh karena itu, perusahaan akan menghindari praktik agresivitas pajaknya agar tidak kehilangan kepercayaan publik. Dan Gaaya (2017) juga menemukan bahwa perusahaan keluarga lebih memilih KAP Big 4 karena KAP Big 4 lebih dipercaya oleh public dan juga dapat meningkatkan kepercayaan public kepada perusahaan keluarga tersebut.
Perbedaan ini membuat peneliti ingin menguji hubungan kualitas audit dengan penghindaran pajak. Berdasarkan penelitian sebelumnya pun mengatakan terdapat hubungan negatif antara keduanya. Maka dari penelitian sebelumnya, peneliti mengajukan hipotesis dalam penelitian ini sebagai berikut:
H2: Kualitas Audit berpengaruh terhadap hubungan antara kepemilikan keluarga dan penghindaran pajak.
2.3. Penelitian Terdahulu
No Pengarang (tahun) Judul Sampel Variable Hasil Penelitian 1 Gaaya, S., Lakhal, N., &
Lakhal, F. (2017)
Does family ownership reduce corporate tax avoidance? The moderating effect of audit quality.
Semua perusahaan terdaftar dalam Tunisian Stock Exchange (BVMT) pada tahun 2008-2013
Variabel independen = family ownership
Variabel dependen = tax avoidance
Variabel moderasi = audit quality
1. Perusahaan keluarga positif mempengaruhi penghindaran pajak.
2. Kualitas audit negative mempengaruhi hubungan antara perusahaan keluarga dengan penghindaran pajak.
2 Sari, D. K., & Martani, D.
(2010)
Ownership Characteristics, Corporate Governance and Tax Aggressiveness.
Semua perusahaan public yang tergolong dalam perusahaan manufaktur yang terdaftar dalam ICMD dari tahun 2005- 2008.
Variabel independen=
Ownership Characteristic,
Corporate Governance.
Variabel dependen=
Tax Aggressiveness
1. Family ownership lebih agresif dalam melakukan Tax Aggressiveness.
2. Corporate governance berpengaruh signifikan terhadap Tax Aggressiveness
3 Hidayanti, A. N., & Laksito, H. (2013).
Pengaruh Antara Kepemilikan Keluarga dan Corporate Governance Terhadap Tindakan Pajak Agresif
Perusahaan manufaktur yang terdaftar dalam BEI dari tahun 2008-2011
Variabel independen=
family ownership dan corporate governance.
Variabel dependen=
Tax avoidance.
1. family ownership berpengaruh positif terhadap Tax avoidance.
2. Corporate governance berpengaruh positif terhadap Tax avoidance.
4 Sari, Gusti Maya. (2014) Pengaruh Corporate Governance, Ukuran Perusahaan, Kompensasi Rugi Fiskal Dan Struktur Kepemilikan Terhadap Tax Avoidance.
Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di BEI tahun (2008-2012)
Variabel independen : Corporate
Governance, Ukuran Perusahaan,
Kompensasi Rugi Fiskal Dan Struktur Kepemilikan
Variabel dependen : Tax Avoidance.
1. Komisaris independen berpengaruh signifikan positif terhadap tax avoida-nce pada perusahaan manufaktur yang terdaftar pada BEI selama tahun 2008- 2012.
2. Komite audit tidak berpengaruh signifi-kan terhadap tax avoidance pada perusahaan manufaktur yang terdaftar pada BEI selama tahun 2008-2012.
3. Ukuran perusahaan berpengaruh signifikan positif terhadap tax avoida-nce pada perusahaan manufaktur yang terdaftar pada BEI selama tahun 2008- 2012.
4. Kompensasi rugi fiskal tidak berpengaruh signifikan terhadap tax avoidance pada perusahaan manufaktur yang terdaftar pada BEI selama tahun 2008-2012.
5. Struktur kepemilikan institusional tidak berpengaruh signifikan terhadap tax avoidance pada perusahaan manufaktur yang terdaftar pada BEI selama tahun 2008-2012.
5 Chen, S., Chen, X., Cheng, Q.,
& Shevlin, T. (2010).
Perusahaan yang terdaftar dalam S&P (S&P 500, S&P Mid Cap 400, and
Variabel dependen : family ownership Variable Independent : Tax Aggressiveness
Tingkat keagresifan pajak perusahaan keluarga lebih kecil daripada perusahaan non-keluarga.
Are family firms more tax aggressive than non-family firms?
S&P Small Cap 600) dari tahun 1996-2000
6 Subagiastra, K., Arizona, I. P.
E., & Mahaputra, I. N. K. A.
(2017).
PENGARUH
PROFITABILITAS, KEPEMILIKAN
KELUARGA, DAN GOOD CORPORATE
GOVERNANCE TERHADAP
PENGHINDARAN PAJAK
perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2011- 2014.
Variabel independen = profitabilitas,
kepemilikan Keluarga, tata kelola perusahaan
Variabel dependen = tax avoidance
1. Profitibalitas berpengaruh
positif terhadap
penghindaran pajak
2. Kepemilikan keluarga berpengaruh positif terhadap penghindaran pajak
3. tata kelola perusahaan berpengaruh postif terhadap penghindaran pajak.
7 Kanagaretnam, Kiridaran, et al. (2016)
Relation between Auditor
Quality and Tax
Aggressiveness: Implications
Sampel perusahaan dari 31 negara dari tahun 1995- 2007
Variabel independen=
Auditor Quality
Variabel dependen=
Tax Aggressiveness
1. auditor quality mempengaruhi negative terhadap tax aggressiveness.
of Cross-Country Institutional Differences
8 Damayanti, F., & Susanto, T.
(2015)
Pengaruh komite audit, kualitas audit, kepemilikan institusional, risiko perusahaan dan return on assets terhadap tax avoidance.
sampel sektor industri property dan real estate yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) selama periode 2010-2013.
Variabel independen=
Komite audit, kualitas audit, kepemilikan institusional, risiko perusahaan, return on assets
Variabel dependen=
Tax avoidance.
1. risiko perusahaan dan return on assets berpengaruh terhadap tax avoidance.
2. komite audit, kualitas audit dan kepemilikan institusional tidak berpengaruh terhadap tax avoidance..
9 Cahyono, D. D., Andini, R., &
Raharjo, K. (2016).
Pengaruh komite audit, kepemilikan institusional, dewan komisaris, ukuran perusahaan (Size), leverage (DER) dan profitabilitas (ROA) terhadap tindakan
perusahaan perbankan yang go public yang terdaftar di tahun 2011 - 2013.
Variabel independen : komite audit, kepemilikan
institusional, dewan komisaris, ukuran perusahaan, leverage dan profitabilitas.
1. Jumlah Komite Audit berpengaruh terhadap Tax Avoidance
2. Kepemilikan Institusional berpengaruh terhadap Tax Avoidance
3. Proporsi Dewan Komisaris Independen (PDKI) tidak
penghindaran pajak (tax avoidance) pada perusahaan perbankan yang listing BEI periode tahun 2011–2013.
Variabel dependen : Tax Avoidance.
berpengaruh terhadap Tax Avoidance
4. Ukuran Perusahaan tidak berpengaruh terhadap Tax Avoidance
5. Leverage (DER) tidak berpengaruh terhadap Tax Avoidance.
6. Profitabilitas yang diukur dengan (ROA) tidak berpengaruh terhadap Tax Avoidance
10 Eksandy, A. (2017)
PENGARUH KOMISARIS INDEPENDEN, KOMITE AUDIT, DAN KUALITAS
AUDIT TERHADAP
PENGHINDARAN PAJAK (TAX AVOIDANCE)(Studi Empiris Pada Sektor Industri
Sampel perusahaan pada Sektor Industri Barang Konsumsi yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia Periode 2010-2014
Variabel independen : Komisaris
Independen, Komite Audit, Kualitas Audit Variabel dependen : Tax Avoidance.
1) Komisaris independen dan kualitas audit berpengaruh positif terhadap tax avoidance 2) komite audit tidak berpengaruh
signifikan terhadap tax avoidance.
Barang Konsumsi yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia Periode 2010- 2014).