• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. BAB II LANDASAN TEORI A. TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "1. BAB II LANDASAN TEORI A. TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

9 1. BAB II LANDASAN TEORI

A. TINJAUAN PUSTAKA

1. Hakikat Konsep dan Pemahaman Konsep

Konsepxadalahxide abstrak yang dapat digunakan untuk mengadakan klasifikasi atau penggolonganxyang pada umumnya dinyatakan dengan suatu istilah atauxrangkaian kata (Soedjadi, 2000: 14). Sedangkan Van den Berg (1991: 8) mendefinisikan konsep sebagai golongan benda, simbol, atau peristiwa tertentu yang digolongkan berdasarkan sifat yang dimiliki masing- masing dan dapat diberikan nama khusus atau dengan kata lain konsep merupakan abstraksi dari ciri- ciri sesuatu untuk mempermudah komunikasi antara manusia dan yang memungkinkan manusia berfikir. Kemudian Singarimbun dan Effendi (1989) memberikan penjelasan bahwa konsep memiliki arti sebagi generalisasi yang didasarkan pada sejumlah karakteristik kejadian, keadaan, kelompok atau individu tertentu, dimana generalisasi ini digunakan untuk menggambarkan berbagai fenomena yang sama.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa konsep adalah hasil pemikiran sesorang atau sekelompok orang yang dinyatakan dalam bentuk definisi sehingga melahirkan produk pengetahuan meliputi prinsip, hukum, dan teori, dimana konsep itu diperoleh berdasarkan generalisasi atas fakta, karakteristik kejadian, keadaan, peristiwa, pengalaman melalui proses berfikir abstrak.

Sementara itu, Sudjana (2009) menjelaskan bahwa pemahaman berarti sebuah hasil belajar yang satu tingkat lebih tinggi dari pengetahuan, siswa dikatakan paham jika ia dapat menjelaskan sesuatu yang ia baca dengan menggunakan bahasanya sendiri dan dapat memberikan contoh lain dari yang telah dipaparkan. Kemudian pemahaman konsep didefinisikan sebagai kemampuan untuk mengkonstruksi makna atau pengertian suatu konsep berdasarkan pengetahuan awal yang telah dimiliki (Weerawardhana, 2003:

771). Sementara itu, Jonnasen mengartikan pemahaman konsep sebagai sebuah kemampuan untuk menggunakan pengetahuan secara fleksibel, untuk

(2)

menerapkan apa yang telah dipelajari secara tepat terhadap suatu sebjek yang lain (Jonassen, 2003).

Pemahaman konsep seorang siswa akan mempengaruhi pola pikirnya terhadap informasi baru yang diterimanya. Pemahaman konsep sangatlah diperlukan sebagai bagian usaha membantu siswa dalam mengatasi kelemahan dan hambatan serta menyelesaikan masalah- masalah yang relevan dengan konsep tersebut. Dimana pemahaman konsep dalam pembelajaran kimia melibatkan kemampuan untuk menghubungkan ketiga bentuk representasi- makroskopik, mikroskopik, dan simbolik (Tasker, 2000). Berdasarkan pendapat Tasker tersebut maka dapat disimpukan bahwa dalam mempelajari kimia pada umumnya dibutuhkan banyak pemahaman konsep. Hal ini disebabkan karena dengan pemahaman konsep yang baik maka siswa diharapkan dapat menyelesaikan masalah yang relevan dengan materi yang sedang dipelajarinya. Kesulitan dalam memahami konsep-konsep kimia berhubungan dengan pemahaman yang dimiliki oleh siswa. Dengan beragamnya tingkat pemahaman yang dimiliki siswa maka dalam proses pembelajaran seringkali kita temukan ada beberapa siswa yang benar-benar paham, sedikit paham, sama sekali tidak paham, bahkan ada sebagian siswa yang salah dalam memahami konsep yang disampaikan oleh guru. Hal ini dapat terjadi karena representasi atau penafsiran seseorang terhadap suatu konsep dapat berbeda- beda.

2. Prakonsepsi, Konsepsi, dan Miskonsepsi a. Prakonsepsi

Dalam pembelajaran di kelas pada umumnya siswa telah membawa sejumlah pengalaman- pengalaman atau ide- ide yang dibentuk ketika mereka berinteraksi dengan lingkungannya. Menurut Pinker, gagasan- gagasan atau ide- ide yang dimiliki oleh siswa sebelum menerima suatu pembelajaran ini disebut sebagai prakonsepsi (Maharta, 2010).

Sementara itu, Suparno (2005) mengartikan prakonsepsi atau konsep awal sebagai pengetahuan yang dibentuk oleh siswa itu sendiri dalam interaksinya dengan lingkungan, tantangan, dan bahan yang

(3)

dipelajari. Dengan demikian, siswa dapat mengonstruksi sendiri pengetahuan mereka sebelum guru mengajarkan konsep tersebut secara formal melalui pembelajaran di sekolah. Tak jarang banyak ditemukan siswa yang mendapati konflik dalam dirinya ketika berhadapan dengan informasi baru, dimana tidak semua informasi tersebut sejalan dengan prakonsepsi siswa (Maulida & Abdullah, 2013).

b. Konsepsi

Sangat dimungkinkan jika tafsiran setiap orang akan berbeda- beda terhadap sebuah konsep. Misalnya penafsiran konsep atom, atau konsep redoks, atau konsep kesetimbangan, konsep asam- basa, maupun konsep buffer, akan berbeda untuk setiap orang. Tafsiran konsep yang dilakukan oleh seseorang disebut dengan konsepsi.

Suparno (2005) mendefinisikan konsepsi sebagai kemampuan memahami konsep, baik yang diperoleh melalui interaksi dengan lingkungan maupun konsep yang diperoleh dari pendidikan formal.

Konsepsi adalah sebuah interpretasi dan tafsiran perorangan pada suatu konsep ilmu yang diperoleh melalui interaksi dengan lingkungan dan melalui pendidikan formal. Setiap siswa telah memiliki konsepsi sendiri- sendiri tentang sesuatu sebelum mereka memasuki ruang belajar.

Selain itu, konsepsi siswa sulit untuk diubah karena konsepsi tersebut merupakan hasil dari sekian tahun perkembangan dan pengalaman (Turgut, Gürbüz, & Turgut, 2011). Sehingga, dapat disimpulkan bahwa masing-masing siswa dapat menafsirkan konsep yang berbeda dari maksud konsep yang sebenarnya meskipun mempelajari satu konsep yang sama.

Tidak selamanya konsepsi siswa akan sama persis dengan konsepsi alhi Kimia, sebab pada umumnya ahli Kimia akan memilih definisi konsep yang lebih kompleks, rumit, dan lebih banyak melibatkan hubungan antar konsep. Konsepsi siswa yang merupakan penyederhanaan dari konsepsi ahli Kimia tidak akan menjadi masalah selama masih sejalan dan selaras. Namun akan menjadi masalah besar ketika konsepsi siswa sungguh- sungguh tidak sesuai atau tidak sejalan dengan konsepsi ahli kimia

(4)

c. Miskonsepsi

1) Pengertian Miskonsepsi

Kimia adalah sebuah pelajaran yang banyak memiliki konsep yang bersifat abstrak, dan tidak dapat dijelaskan tanpa menggunakan analogi atau model (Gabel, 1999: 548). Pada banyak kesempatan seringkali ditemukan siswa yang menafsirkan sendiri sebuah konsep yang dirasa sulit sesuai dengan prakonsep yang sudah dimilikinya sejak awal. Penafsiran siswa yang tidak sesuai dengan konsep yang disepakati oleh para ahli inilah yang disebut sebagai miskonsepsi (salah konsep) atau konsep alternatif (Suparno, 2005: 8).

Kemudian Kirbulut dan Geban (2014: 509) mengartikan miskonsepsi yaitu pemahaman konsep siswa yang bertentangan dengan konsep ilmiah yang dipengaruhi oleh pengalaman siswa. Miskonsepsi didefinisikan sebagai konsepsi yang tidak lengkap. Hal ini berarti bagian dari konsepsi yang tidak lengkap tersebut akan mengarahkan pada ketidakmampuan untuk memahami konsep ilmiah secara menyeluruh. Selain hal itu miskonsepsi juga dapat disebabkan oleh pemahaman atau interpretasi siswa yang tidak utuh dalam subjek yang kompleks seperti kimia (Garnett & Treagust, 1992; Peterson, Treagust

& Garnett, 1989; Schaffer, 2013).

Miskonsepsi dapat terjadi pada seseorang yang menghafalkan definisi, tetapi tidak dapat menghubungkan dengan konsep lainnya (Hamid, 2015). Banyak hasil penelitian yang menunjukkan bahwa miskonsepsi sulit untuk dihilangkan walaupun telah diusahakan penangkalnya dengan penalaran logis dan menunjukkan perbedaannya melalui pengamatan yang dirancang khusus untuk itu. Selain itu, miskonsepsi yang terjadi pada siswa dapat bertahan lama dan sulit diubah dengan cara yang mudah dengan informasi baru (Turgut et al., 2011). Faktor lain yang menyebabkan miskonsepsi sulit untuk dihilangkan adalah karena bersifat pribadi, memiliki sifat yang stabil,

(5)

dan anak tidak merasa tidak membutuhkan pandangan yang kohern (Dahar, 1989).

Dari beberapa pengertian miskonsepsi menurut para ahli diatas maka dapat disimpulkan bahwa miskonsepsi adalah pemahaman konsep (konsepsi) siswa yang tidak sesuai dengan pemahaman konsep yang diterima oleh para pakar dalam bidangnya.

Hasil persentase miskonsepsi dapat dikelompokkan berdasarkan kategori tinggi, sedang dan rendah. Persentase kategori miskonsepsi tersebut terdapat dalam Tabel 2.2.

Tabel 1.1. Persentase Kategori Miskonsepsi

Persentase Miskonsepsi Kategori

0 - 30% Rendah

31 - 60% Sedang

61 - 100% Tinggi

(Zulfiani, Juanengsih, Suwarna, & Milama, 2014) 2) Penyebab Miskonsepsi

Chit Kay (2010) dalam penelitiannya yang berjudul

“Misconception in the Teaching of Chemistry in Secondary School in Singapore & Malay” menyimpulkan bahwa miskonsepsi dalam pembelajaran kimia dapat terjadi karena beberapa hal diantaranya:

a) Pemahaman terhadap ilmu kimia tidak cukup hanya dengan menjelaskan konsep

Perkembangan ilmu kimia modern yang dinamis dan dengan minimnya contoh serta pemodelan seringkali membuat siswa gagal paham yang berujung pada miskonsepsi. Misalnya untuk teori ikatan, dalam ilmu kimia modern dijelaskan banyak teori tentang ikatan seperti teori ikatan valensi, teori medan kristal, teori medan ligan, teori orbital melokul. Dengan minimnya contoh penerapan dari teori- teori baru itu akan membuat siswa menjadi kesulitan untuk memahaminya.

(6)

b) Penyederhanaan konsep yang berlebih untuk mempermudah pemahaman siswa

Seringkali memang sulit untuk menjelaskan suatu konsep yang tidak terlihat, terlebih jika konsep itu hanya memiliki sedikit sekali analogi dengan kehidupan nyata. Saat menggambarkan sebuah ikatan, seringkali dijumpai bahwa guru mengilustrasikannya sebagai dua buah bola yang dihubungkan oleh sebuah garis, dimana garis ini menggambarkan ikatan, penyederhanaan konsep secara berlebihan ini seringkali menimbulkan kesulitan pada siswa untuk menerima konsep tersebut dan tak jarang akan berakhir dengan miskonsepsi.

c) Pemahaman kimia yang buruk

Tidak jarang banyak ditemukan guru yang tidak memiliki pemahaman yang cukup terhadap suatu konsep kimia, atau guru yang tidak menyadari akan miskonsepsi yang tengah dialaminya (Assanand, S., Pinel, J. P. J., & Lehman, D. R., 1998).

Guru yang memiliki pemahaman konsep kimia yang salah seringkali tidak menyadarinya. Ketika pembelajaran yang berlangsung dengan metode konvensional maka guru akan mentransfer ilmu yang ia miliki, jika guru memiliki pemahaman yang salah terhadap suatu konsep dan konsep itu ia ajarkan kepada siswa maka siswa juga akan memiliki pemahaman yang salah, dimana hal ini akan berujung pada miskonsepsi siswa. Untuk itulah dikembangkan pembelajaran konstruktivis yang didalamnya menampung ide-ide baru dan adanya diskusi terbuka yang akan membantu untuk meminimalisir miskonsepsi yang mungkin terjadi pada siswa.

d) Kesalahan interpretasi konsep ilmiah menjadi bahasa lisan (vernacular)

Keberagaman budaya dan bahasa dapat membuat interpretasi yang berbeda- beda antar siswa yang satu dengan siswa lainnya.

(7)

Konsep-konsep kimia yang sebagian besar berasal dari dunia barat akan menimbulkan penafsiran yang berbeda bagi kita yang hidup di negara-negara Asia dimana bahasa Inggris bukanlah bahasa ibu kita. Seringkali ditemukan penerjemahan kata yang sulit sebab perbedaan latar belakang budaya yang tak urung akan menimbulkan miskonsepsi pada siswa.

Sementara itu Suparno (2005) dalam bukunya mengungkapkan beberapa faktor yang menjadi penyebab miskonsepsi fisika, yaitu:

a) Peserta didik

Ada beberapa penyebab miskonsepsi yang berasal dari peserta didik itu sendiri diantaranya karena prakonsepsi atau konsep awal peserta didik, pemikiran humanistik, pemikiran asosiatif, pemahaman yang tidak utuh atau salah, intuisi yang salah, kemampuan kognitif peserta didik yang berbeda-beda, dan minat belajar peserta didik.

b) Pengajar/ Guru

Miskonsepsi juga dapat terjadi karena guru sendiri memiliki miskonsepsi/ pemahaman yang salah terhadap pelajaran yang diampunya, atau dapat pula disebabkan karena guru kurang menguasai materi pelajaran, selain itu dapat pula disebabkan karena guru tidak memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengungkapkan ide/ gagasan yang dimilikinya.

c) Buku teks

Seringkali ditemukan bahasa dalam buku teks yang sulit dipahami oleh peserta didik (penggunaan bahasa ilmiah yang seringkali membingungkan peserta didik), atau dapat pula disebabkan karena adanya penjelasan dan analogi konsep dalam buku teks yang tidak sesuai dengan konsep yang disepakati oleh para ahli, selain itu dapat pula disebabkan karena adanya kesalahan dalam penulisan rumus di dalam buku teks.

(8)

d) Konteks

Alih bahasa dari bahasa ilmiah menjadi bahasa sehari- hari agar mudah diterima oleh peserta didik tak jarang menimbulkan miskonsepsi. Hal ini disebabkan perbedaan latar belakang budaya dan agama atau keyakinan. Penyebab lainnya yaitu pengalaman peserta didik, teman diskusi yang kurang tepat, penjelasan orang tua/ orang lain yang keliru, konteks hidup peserta didik (tv, radio, film yang keliru, perasaan senang dan tidak senang, bebas atau tertekan)

e) Metode mengajar

Metode mengajar yang tidak sesuai dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya miskonsepsi pada peserta didik seperti pembelajaran yang hanya didominasi dengan ceramah dan menulis, pembahasan materi pembelajaran yang diarahkan langsung pada perhitungan matematis, tidak mengungkapkan miskonsepsi, tidak adanya cross-check terhadap hasil pekerjaan siswa, analogi yang dipakai kurang tepat, model demonstrasi yang sempit, dan lain lain.

Dari beberapa penjelasan para ahli maka dapat disimpulkan bahwa penyebab miskonsepsi dapat terjadi dari dua faktor yaitu internal siswa dan eksternal siswa yang dapat dilihat seperti dalam Tabel 2.3.

(9)

Tabel 1.2. Penyebab Miskonsepsi

Faktor Internal Siswa Faktor Eksternal Siswa

Tingkat kognitif siswa yang berbeda-beda, hal ini berpengaruh pada penerimaan siswa terhadap suatu konsep yang membutuhkan daya nalar yang tinggi (Suparno, 2005)

Prakonsepsi siswa terhadap suatu materi pelajaran, seringkali siswa sudah memiliki konsepsi awal terhadap suatu materi sebelum materi itu diajarkan (Mondal &

Cakhraborty., 2013:2; Chit Kay, 2010)

Guru/ pengajar yang kurang memahami konsep dari materi yang akan diajarkan, serta metode mengajar guru yang lebih memfokuskan pada penyelesaian perhitungan dibandingkan pemahaman konsep (Orgil &

Shuterland., 2008; Mondal &

Cakhraborty., 2013:2; Chit Kay, 2010)

Materi kimia yang sulit dipahami, dimana banyak sub materi pada pelajaran kimia yang konsepnya bersifat abstrak dimana untuk memahami materi secara utuh

siswa harus dapat

menghubungkan tiga tingkat representasi: makro, mikro, dan simbolik (Johnstone, 1999)

Sumber belajar dan metode pembelajaran yang kurang tepat.

Pemilihan sumber belajar dan metode pembelajaran yang kurang tepat dikenal dengan istilah school-made misconceptions (Barke, Hazari, & Yitbarek, 2009;

Mondal & Cakhraborty., 2013:2)

Penggunaan bahasa ilmiah yang banyak menimbulkan ambiguitas, misalnya dalam penggunaan istilah zat, partikel, dan simbol- simbol dalam kimia seringkali tidak dapat dibedakan dengan jelas mengenai perbedaan dalam penggunaan ketiga istilah tersebut (Barke et al., 2009; Chit Kay, 2010)

(10)

3. Pentingnya Mengidentifikasi Miskonsepsi

Miskonsepsi adalah salah satu permasalahan dalam pembelajaran, khususnya dalam pembelajaran kimia. Miskonsepsi ini harus dihilangkan karena dapat mengganggu siswa dalam menerima pengtahuan baru. Hal ini sejalan dengan pendapat Klammer (1998: 7) yaitu proses penerimaan dan asimilasi pengetahuan baru dalam diri siswa akan sangat terhambat dengan adanya miskonsepsi, sehingga akan mempengaruhi keberhasilan siswa dalam proses belajar lanjut. Demikian halnya yang Mubarak et al. (2016) menyatakan bahwa miskonsepsi yang dialami siswa dapat mengganggu dalam proses penerimaan konsep-konsep baru dan dikhawatirkan akan menghambat pembentukan pengetahuan pada struktur kognitif siswa.

Berdasarkan pemaparan tersebut maka sangatlah penting bagi seorang guru/pengajar untuk melakukan identifikasi miskonsepsi agar dapat menentukan cara untuk mengatasi miskonsepsi tersebut, maka dengan begitu guru dapat merancang disain pembelajaran yang sesuai, referensi sumber belajar yang cocok serta evaluasi pembelajaran yang tepat untuk meningkatkan pemahaman siswa.

4. Instrumen Diagnostik untuk Mengidentifikasi Miskonsepsi

Pengembangan tes yang efektif membutuhkan suatu pendekatan yang sistematis dan terorganisir untuk mendukung kesimpulan dari hasil suatu tes agar memiliki nilai validitas dan reabilitas yang cukup (Downing, 2006).

Hammer (1996) membuat analogi antara peneliti yang mengeksplorasi strukur pengetahuan siswa dengan dokter yang mendiagnosis penyakit. Dalam analoginya Hammer menegaskan pentingnya melakukan penelitian dalam bidang pendidikan untuk mengeksplorasi konsepsi siswa. Hammer berpendapat ketika seorang dokter hanya mengetahui satu atau dua penyakit maka dokter tersebut hanya memiliki satu atau dua pilihan untuk mendiagnosis penyakit tersebut. Ketika diagnosis benar maka besar kemungkinan jenis pengobatan yang diberikan akan sangat efektif. Namun, ketika diagnosis yang dilakukan salah maka pengobatan bukan sekedar menjadi tidak efektif, tetapi bahkan dapat membuat penyakit menjadi semakin parah. Dengan alanogi

(11)

Hammer tersebut jelaslah kiranya bahwa penelitian yang berfokus pada pemahaman konseptual dan metode diagnosis miskonsepsi dengan cara yang valid dan terpercaya sangatlah penting dalam penelitian science education.

Tes diagnostik adalah sebuah instrumen penilaian yang berkaitan dengan kesulitan belajar yang terjadi secara terus-menerus atau secara berulang yang tidak terpecahkan dan merupakan penyebab dari kesulitan belajar (Gronlund, 1981). Sedangkan menurut Arikunto (2015), test diagnostik diartikan sebagai tes yang digunakan untuk mengetahui kelemahan- kelemahan siswa sehingga berdasarkan kelemahan- kelemahan tersebut dapat dilakukan pemberian perlakuan yang tepat. Tes diagnostik dapat dilakukan oleh seorang guru untuk mengetahui kesulitan belajar yang dihadapi siswa dalam pembelajaran agar bisa memberikan bentuk bantuan yang tepat kepada siswa.

Tes diagnostik berguna untuk mengetahui kesulitan belajar yang dihadapi siswa, termasuk salah satunya adalah miskonsepsi pada siswa. Hasil dari tes diagnostik ini memberikan informasi tentang konsep yang belum dipahami dan yang sudah dipahami (Suwarto, 2013). Berdasarkan pendapat ini, dapat didefinisikan ciri- ciri tes diagnostik, antara lain:

1. Mendiagnosis kelemahan penguasaan konsep siswa berdasarkan analisis jawaban siswa (Saidah & Rianingsih, 2012).

2. Memberikan umpan balik secara cepat dan individual sesuai penguasaan konsep tiap butir soal (Demirci, 2006).

3. Membentuk siswa meningkatkan pemahaman konsep tertentu (Wardhani

& Rianingsih, 2012).

Ada beberapa cara untuk mendiagnosis miskonsepsi yang terjadi pada siswa dalam bidang sains. Gurel et al (2015) menganalisis dari beberapa literatur sains terkait metode diagnosis yang tepat untuk mengidentifikasi miskonsepsi, yang mana dalam penggunaannya masing- masing metode memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri tergantung dari tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti. Metode diagnosis yang digunakan untuk mendeteksi miskonsepsi menurut Gurel et al (2015) diantaranya yaitu:

(12)

a. Wawancara (Interview)

Wawancara dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh pemahaman peserta didik terhadap suatu konsep. Terdapat 53% peneliti memilih menggunakan metode wawancara untuk diagnosis miskonsepsi.

Hal ini disebabkan wawancara memberikan informasi yang lebih lengkap dan rinci serta memberikan keleluasaan pada peneliti dalam bertanya sehingga dapat menyelidiki konsep yang menjadi penyebab miskonsepsi secara mendalam (Hestenes, Wells, & Swackhamer, 1992).

Namun metode ini memiliki beberapa kekurangan diantaranya menghabiskan waktu yang cukup banyak, selain itu teknik ini tidak dapat diterapkan pada sampel yang berjumlah besar, serta kekurangan lainnya adalah akan sulit bagi peneliti untuk merumuskan kesimpulan yang objektif jika data yang diperoleh berasal dari sampel yang besar. Tidak hanya itu, pewawancara juga perlu melakukan pelatihan agar paham bagaimana wawancara yang baik sehingga data yang dihasilkan tidak kacau dan subjektif dimana hal itu dapat mengganggu pengolahan dan analisis data.

b. Tes pertanyaan terbuka (Open-ended Test)

Untuk metode pertanyaan terbuka atau open-ended test digunakan dalam pendidikan sains untuk mengidentifikasi miskonsepsi, dan metode ini hampir dipilih dalam 34% penelitian dari 273 penelitian yang dilakukan (Gurel et al., 2015). Kelebihan dari metode ini yaitu membutuhkan waktu yang lebih sedikit dibandingkan dengan wawancara dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menuliskan jawaban soal atas pemikirannya sendiri, namun kekurangan dari metode ini yaitu akan sulit dalam analisis data miskonsepsi dari hasil jawaban siswa karena kendala bahasa yang digunakan siswa mungkin saja beragam sesuai dengan tingkat pemahamannya sehingga menyulitkan pada proses penskoran (Kutluay, 2005).

(13)

c. Peta konsep

Peta konsep menggambarkan hubungan- hubungan yang berarti antara konsep- konsep. Konsep esensial akan berada pada bagian atas peta karena peta konsep harus disusun secara hierarkis. Konsep sederhana yang berada di bawah harus dipahami terlebih dahulu sebelum menuju ke bagian lebih atas. Peta konsep juga dapat membantu guru untuk mengidentifikasi sejauh mana pemahaman peserta didik dari konsep paling sederhana menuju konsep yang lebih rumit, serta mengetahui hubungan antar konsep. Peta konsep dapat digunakan untuk mengidentifikasi miskonsepsi yang terjadi dengan melihat pemahaman masing- masing komponen peta konsep dan hubungan antar komponen konsep yang dibuat oleh peserta didik (Suwarto, 2013).

d. Tes pilihan ganda biasa (Ordinary Multiple Choice Test)

Untuk menjawab kekurangan dari metode wawancara dan pertanyaan terbuka maka digunakanlah metode tes pilihan ganda biasa dimana metode ini lebih disukai oleh peneliti karena mudah dalam penerapannya dan proses pengolahan datanya, hal ini terbukti dengan persentase peneliti yang menggunakan metode tes pilihan ganda biasa sebebar 32% (Gurel, et al., 2015).

Pengembangan tes pilihan ganda sebagai alat diagnosis miskonsepsi siswa memberikan kontribusi yang sangat besar bagi perkembangan penelitian mengenai miskonsepsi serta dapat membantu guru- guru matapelajaran sains sebab kemudahan dalam penggunaannya dalam ruang kelas.

Berikut ini beberapa kelebihan dan kekurangan dari tes pilihan ganda biasa untuk mendiagnosis miskonsepsi yang telah dirangkumkan dari pendapat beberapa penulis (Caleon & Subramaniam, 2010).

Kelebihan dari tes pilihan ganda, yaitu:

1) Mencakup berbagai topik dalam waktu yang relatif singkat.

2) Serbaguna, dan bisa digunakan untuk mengukur beda tingkat kemampuan belajar dan kognitif.

(14)

3) Objektif dalam hal penilaian dan lebih bisa diandalkan.

4) Mudah dan cepat penilaiannya.

5) Cocok bagi siswa yang mengetahui materi pelajarannya tapi kemampuan menulisnya rendah.

6) Cocok untuk analisis item dimana berbagai atribut dapat ditentukan.

7) Memberikan informasi diagnostik yang berharga dan merupakan alternatif yang layak setelah wawancara dan alat kualitatif lainnya dalam mengukur pemahaman siswa dan dalam menentukan distribusi miskonsepsi di seluruh populasi.

Terlepas dari banyaknya kelebihan tes pilihan ganda biasa yang telah dipaparkan diatas, terdapat beberapa kritik yang menyatakan keterbatasan dan kekurangan dari tes pilihan ganda biasa, diantaranya yaitu:

1) Siswa yang menebak dalam menjawab soal sangat berkontribusi terhadap kesalahan varians dan mengurangi reliabilitas tes.

2) Pilihan yang dipilih tidak memberikan wawasan mendalam tentang gagasan atau konsep yang mendasar.

3) Siswa dipaksa untuk memilih setiap jawaban dari pilihan yang sangat terbatas, sehingga mencegah mereka membangun, mengatur, dan mengeluarkan jawaban mereka sendiri

4) Sangat sulit untuk menulis pernyataan pilihan ganda yang bagus (Chang, Yeh & Barufaldi, 2010).

Kritik lain yang sangat umum digambarkan oleh Rollnick dan Mahooana (1999) yang menyatakan bahwa tes pilihan ganda tidak memeberikan wawasan mendalam tentang gagasan siswa mengenai suatu materi dan siswa dapat memberikan jawaban besar untuk alasan yang salah. Dengan kata lain, tes pilihan ganda biasa tidak dapat membedakan jawaban benar karena alasan benar dari penalaran yang salah, dimana siswa dapat saja menebak jawaban padahal tidak paham materinya (Caleon & Subramaniam, 2010; Gurel, et al., 2015)

(15)

e. Tes pilihan ganda two-tier (Two-tier Multiple Choice Test)

Tes pilihan ganda two-tier dikembangkan oleh Treagust (1986), ada banyak peneliti yang ikut mengembangkan instrumen tes two-tier untuk mendiagnosis miskonsepsi pada materi biologi, fisika, dan kimia.

Untuk mengatasi kekurangan dari tes pilihan ganda biasa maka dikembangkanlah tes pilihan ganda two-tier atau tes pilihan ganda dua tingkat. Dimana tingkat pertama merupakan tes pilihan ganda biasa dan tingkat kedua berisi opsi alasan atas jawaban pada tingkat pertama (Chandrasegaran, Treagust, & Mocerino, 2007; Griffard & Wandersee, 2001; Lin, 2004; Tan, Goh, Chia, & Treagust, 2002). Jawaban siswa terhadap item soal dianggap benar jika siswa memberikan kedua pilihan jawaban yang benar, baik itu pilihan jawaban pada tingkat pertama maupun pilihan alasan pada tingkat kedua. Dengan adanya dua tingkat pertanyaan ini memungkinkan guru atau peneliti untuk mendeteksi miskonsepsi berdasarkan jawaban yang diberikan oleh siswa apakah siswa benar- benar memahami konsep yang ditanyakan dalam soal atau tidak, sebab pada tingkat kedua ditanyakan alasan pemilihan opsi jawaban pada tingkat sebelumnya (Tan, et al.,2002).

Tes pilihan ganda two-tier dianggap sebagai perbaikan besar dari pendekatan sebelumnya karena tes ini mempertimbangkan penalaran atau interpretasi siswa di balik respons yang mereka pilih dan menghubungkan pilihan mereka dengan miskonsepsi pada konsep yang dituju (Wang, J., 2004). Selain itu, instrumen diagnostik two-tier relatif nyaman bagi siswa untuk menanggapi dan lebih praktis dan bermanfaat bagi para guru untuk digunakan dalam hal mengarungi perkiraan, memungkinkan untuk administrasi berskala besar dan penilaian yang mudah, serta memberikan sedikit informasi tentang penalaran siswa (Adadan & Savasci, 2012).

Sementara itu, Griffard dan Wandersee (2001) melakukan studi yang hasilnya mengkritik tes diagnostik menggunakan instrumen two- tier dalam bidang biologi. Hasil penelitian menjelaskan kekhawatiran

(16)

tentang validitas penggunaan tes two-tier untuk mendiagnosis miskonsepsi, sebab tidak dapat dipastikannya apakah kesalahan siswa dalam menjawab soal dikarenakan miskonsepsi atau karena kurangnya pengetahuan (lack of knowledge).

Caleon dan Subramaniam (2010) menyerukan perhatian mengenai tes two-tier, tes tersebut tidak dapat membedakan antara kesalahan yang disebabkan kurangnya pengetahuan dengan kesalahan yang disebabkan karena miskonsepsi. Kekurangan lainnya dari tes two-tier juga tidak dapat membedakan antara tanggapan yang benar karena pengetahuan ilmiah atau karena asal menebak (guessing).

Oleh sebab adanya kekurangan tersebut, maka tes diagnostik miskonsepsi menggunakan tes three-tier menjadi penting untuk dapat menentukan apakah jawaban yang diberikan siswa pada dua tingkat pertama disebabkan oleh miskonsepsi atau karena kurangnya pengetahuan (lack of knowledge).

f. Tes pilihan ganda three-tier (Three-tier Multiple Choice Test) Dengan masing- masing kekurangan dan kelebihan dari teknik diagnosis miskonsepsi yang telah dipaparkan sebelumnya maka dikembangkanlah tes pilihan ganda three-tier dengan cara menambahkan tingkat keyakinan pada tier ketiga. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar dapat dapat mengetahui tingkat keyakinan siswa dalam menjawab soal sehingga pemahaman siswa terhadap konsep yang ditanyakan dalam soal dapat diidentifikasi dengan baik.

Berdasarkan hasil penelitian Gurel, et al., (2015) dapat disimpulkan secara garis besar beberapa kelebihan dan kekurangan dari masing- masing instrumen diagnostik tes yang disajikan dalam Tabel 2.4.

(17)

Tabel 1.3. Kelebihan dan Kekurangan dari Beberapa Instrumen Diagnostik Strengths

(Kelebihan)

Weaknesses (Kekurangan)

Method’s to Diagnose Miskonceptions

Interview  Memberikan informasi mendalam

 Memiliki keleluasaan dalam bertanya

 Membutuhkan banyak waktu untuk

mendapatkan data dan menganalisisnya

 Membutuhkan sampel dalam jumlah yang besar untuk

mendapatkan

kesimpulan yang lebih baik

 Membutuhkan pelatihan dalam wawancara

 Analisis data sulit dan cenderung bersifat subjektif

 Responden memiliki kebebasan untuk tidak menjawab pertanyaan Open-

ended Test

 Memberikan kesempatan kepada responden untuk menuliskan jawaban menggunakan bahasanya sendiri

 Responden mungkin saja memberikan opsi jawaban yang berharga dan tidak pernah terfikirkan

sebelumnya oleh peneliti

 Membutuhkan waktu yang lama untuk menganalisisnya

 Permasalahan dalam penskoran (Harus ada pedoman penskoran yang jelas)

 Tingkat tanggapan relatif kecil (siswa cenderung menolak untuk menuliskan jawaban dan alasan secara jelas dan lengkap) Ordinary

Multiple Choices Test

 Lebih hemat waktu dalam hal administratif

 Penskoran atau penilaian dapat dilakukan secara langsung

 Penilaian lebih objektif

 Jarang digunakan untuk penilaian aspek

psikomotorik

 Tidak dapat

memberikan investigasi

(18)

 Tingkat validitas lebih tinggi

 Dapat digunakan untuk sampel yang berjumlah banyak

mendalam terhadap gagasan siswa

 Siswa bisa saja memberikan jawaban yang benar dengan alasan yang salah (false positive) atau jawaban yang salah dengan alasan yang benar (false negative)

 Tidak dapat

memberikan gambaran respon siswa dengan tepat, jika instrumen tidak disusun secara cermat

 Siswa dapat saja menjawab soal dengan menebak

 Sulit untuk mengembangkan istrumen yang disusun secara baik

Two-tier Multiple Choices Test

 Memiliki semua kelebihan yang sama seperti Ordinary MCT

 Dapat memberikan informasi perbandingan antara false positive dan false negative

 Tidak dapat

memberikan informasi tentang siswa yang kurang paham konsep (lack of knowledge)

Three-tier Multiple Choices Test

 Memiliki semua kelebihan yang sama seperti Two-tier MCT

 Berdasarkan tier pertama dan kedua dapat

mengkategorikan jawaban siswa ke dalam miskonsepsi atau kesalahan karena kurang paham konsep

 Tidak dapat

memberikan penjelasan terkait siswa yang tidak paham konsep, apakah siswa benar- benar tidak memiliki keyakinan untuk tier pertama, tier kedua, atau bahkan untuk kedua tier

 Overestimates untuk nilai siswa

(19)

5. Three Tier Diagnostik Test (TTDT)

Tes diagnostik dalam bentuk Three- Tier merupakan instrumen yang valid dan efisien yang dapat membantu peneliti untuk mengidentifikasi miskonsepsi siswa dalam jumlah sampel yang besar, selain itu Three-Tier Diagnostik Test (selanjutnya disingkat TTDT) ini dapat membantu peneliti dalam membedakan siswa yang mengalami miskonsepsi dengan siswa yang tidak paham konsep, juga dapat memberikan persentase dari siswa yang mengalami false positive dan false negative (Kutluay, 2005; Pesman &

Eryilmaz, 2010).

Three-Tier Diagnostik Test adalah salah satu instrumen test untuk mengidentifikasi miskonsepsi yang terdiri dari tiga tingkatan atau tiga lapis.

Dimana lapis pertama berisi soal pilihan pilihan ganda biasa, kemudian lapis kedua berisi tentang opsi alsan pemilihan jawaban pada tingkat pertama, dan lapis ketiga berisi pernyataan tingkat kepercayaan atas jawaban pada lapis pertama dan lapis kedua. Siswa dinyatakan miskonsepsi jika ia menjawab dengan benar lapis pertama namun alasan yang ia pilih pada lapis kedua salah dan dengan tingkat kepercayaan yang tinggi, atau dapat pula siswa dinyatakan miskonsepsi jika ia memberikan jawaban yang salah baik pada lapis pertama maupun pada lapis kedua yang disertai dengan tingkat kepercayaan yang tinggi.

Penelitian yang menerapkan instrumen TTDT untuk mengidentifikasi miskonsepsi pada materi kimia khususnya pada materi Larutan Penyangga masih tergolong cukup rendah. Sejalan dengan hal ini, Gurel, et al., (2015: 899) menyatakan dari 277 penelitian tentang instrumen diagnostik hanya sekitar 3%

peneliti yang menggunakan instrumen Three-Tier Diagnostik Test dalam penelitiannya, selebihnya sebagian besar peneliti masih mempertahankan menggunakan teknik wawancara, open-ended test, dan pilihan ganda biasa untuk mendiagnosis miskonsepsi pada siswa. Demikian halnya pendapat Kirbulut (2014: 510) yang menyatakan bahwa tidak adanya penelitian dan penerapan mengenai Three-Tier Diagnostik Test dalam materi kimia yang di laporkan dalam litelatur. Oleh karena itu peneliti ingin mengaplikasikan TTDT

(20)

khususnya untuk mengidentifikasi miskonsepsi kimia dalam materi Larutan Penyangga. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Gurel, et al., (2015: 992) diketahui beberapa persentase penggunaan instrumen diagnostik test yang digunakan untuk mengidentifikasi miskonsepsi yang secara terperinci disajikan dalam Tabel 2.5.

Tabel 1.4. Persentase Instrumen Diagnostik untuk Mengidentifikasi Miskonsepsi (N= 273)

Metode Diagnosis Persentase (%)

Interview (Wawancara) 53

Open-Ended Test (Tes Pertanyaan Terbuka) 34 Multiple-Choice Test (Tes Pilihan Ganda Biasa) 32 Multiple-Tier Test (Tes Pilihan Ganda Berlapis):

--Two-Tier 9

--Three-Tier 3

--Four-Tier 1

Lainnya 9

Selain masih rendahnya penggunaan instrumen Three-Tier Diagnostik Test untuk mengidentifikasi miskonsepsi, hal lain yang juga mendasari pemilihan instrumen ini dikarenakan beberapa kelebihannya, diantaranya yaitu:

1. Efisiensi waktu dalam hal administrasi 2. Pengolahan nilai yang lebih cepat dan mudah

3. Penilaian yang dilakukan tidak subjektif dari peneliti, atau dengan kata lain penilaian lebih bersifat objektif

4. Memiliki tingkat keakuratan tes yang lebih tinggi dibandingkan dengan instrumen tes lainnya

5. Dapat digunakan pada sampel yang berjumlah besar

6. Dapat memberikan data persentase siswa yang mengalami false positive dan false negative

7. Dapat membedakan siswa yang mengalami miskonsepsi dengan siswa yang menjawab salah karena tidak paham konsep.

(21)

Namun demikian instrumen Three-Tier Diagnostik Test juga memiliki beberapa kekurangan diantaranya yaitu:

1. Tidak dapat memberikan perhitungan persentase siswa yang tidak paham konsep itu apakah karena siswa tidak yakin atas jawaban pada lapis pertama, atau pada lapis kedua, atau bahkan pada kedua lapis tersebut.

2. Overestimates students’ score hal ini disebabkan karena analisis TTDT mengabaikan proporsi dari siswa yang kurang paham (lack of knowledge) sehingga skor peserta didik menjadi lebih tinggi dari seharusnya.

6. Reduksi Miskonsepsi

Jika setiap orang membangun pengetahuan persis dengan pengalamannya, maka miskonsepsi akan sulit untuk diubah (Bodner, 1986).

Saat seseorang sudah mengkonstruksi pengetahuan dalam dirinya, maka sulit untuk mengubah hasil konstruksi tersebut hanya dengan memberi tahu untuk mengubah konsep tersebut, sehingga mengkronstruksi konsep baru yang lebih cocok diperlukan untuk menjelaskan pengalaman tersebut.

Berdasarkan penelitian Chandrasegaran, et al., (2007) ada beberapa aktivitas yang dapat digunakan guru untuk mengurangi miskonsepsi yaitu: a) menggali pengetahuan peserta didik dengan cara bertanya, bermain game, atau demonstrasi; b) berbagi ide atau gagasan dengan cara berdiskusi baik dalam kelompok kecil atau secara bersamaan di dalam kelas; c) mengukur konsep yang dimiliki peserta didik dengan menggunakan berbagai cara misalnya praktikum, demonstrasi, diskusi, permainan dan sebagainya; d) membantu membangun konsep dalam diri peserta didik dengan menggunakan permainan, peta konsep, diskusi dan bertanya; dan e) menerapkan atau menghubungkan ide atau konsep dengan kehidupan sehari- hari.

7. Materi Larutan Penyangga

Kompetensi Dasar untuk materi Larutan Penyangga dalam Kurikulum 2013 yaitu mendeskripsikan sifat Larutan Penyangga dan menganalisis peran Larutan Penyangga dalam tubuh makhluk hidup (KD 3.12 Permendikbud no

(22)

21 tahun 2016), dimana materi ini diajarkan pada siswa kelas XI smester II Program studi Matematika dan Ilmu PengetahuanAlam (MIPA)

a. Ruang Lingkup

Ruang lingkup dari materi Larutan Penyangga meliputi : Pengertian Larutan Penyangga, Komponen dan Prinsip Kerja Larutan Penyangga, Menghitung pH Larutan Penyangga, dan Peran Larutan Penyangga.

b. Deskripsi

Tujuan umum dari pembelajaran materi Larutan Penyangga yaitu agar siswa memahami reaksi pembentukan Larutan Penyangga, menyimpulkan manfaat Larutan Penyangga, mengetahui sifat- sifat Larutan Penyangga, dan dapat menghitung pH Larutan Penyangga.

c. Materi

1) Pengertian Larutan Penyangga

Dalam buku Brady (2003) Larutan Penyangga atau buffer didefinisikan sebagai campuran asam/basa lemah dan basa/asam konjugasinya yang dapat menyerap sebagian penambahan asam kuat maupun basa kuat dengan sedikit perubahan pH. Larutan Penyangga juga dapat didefinisikan sebagai larutan yang dapat mempertahankan nilai pH tertentu (Purba, 2006). Sementara itu Chang(2004) mengartikan Larutan Penyangga sebagai larutan yang mampu melawan perubahan pH ketika terjadi penambahan sedikit asam atau basa.

2) Komponen dan Prinsip Kerja Larutan Penyangga

Berdasarkan komponen penyusunnya Larutan Penyangga dibedakan menjadi dua yaitu penyangga asam dan penyangga basa.

Penyangga asam dapat mempertahankan pH pada daerah asam (pH<7), sedangkan penyangga basa dapat mempertahankan pH pada daerah basa (pH>7)

a) Larutan Penyangga Asam

(23)

Tersusun dari suatu asam lemah (HA) dan basa konjugasinya (ion A-). Larutan Penyangga asam dapat dibuat dengan beberapa cara diantaranya, yaitu:

(1) mencampurkan asam lemah (HA) dengan garamnya,

(2) mencampur suatu asam lemah dengan suatu basa kuat, dimana asam lemah dicampurkan dalam jumlah berlebih (Goldberg, 2007)

b) Larutan Penyangga Basa

Tersusun dari suatu basa lemah (B) dengan asam konjugasinya (BH+). Larutan Penyangga basa dapat dibuat dengan beberapa cara diantaranya, yaitu:

(1) Mencampurkan suatu basa lemah dengan garamnya

(2) Mecampurkan suatu basa lemah dengan suatu asam kuat, dimana basa lemahnya yang dicampurkan berlebih (Goldberg, 2007)

Berdasarkan dua jenis Larutan Penyangga diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Larutan Penyangga tidak dapat dibentuk dari asam kuat dan basa kuat, sebab kedua spesi kuat akan saling menetralkan. Salah satu dari dua komponen penyusun Larutan Penyangga harus berasal dari spesi yang bersifat lemah. Hal ini sejalan dengan pendapat Petrucci, Harwood, Herring, & Madura (2008) yaitu Larutan Penyangga tersusun dari dua komponen, dimana salah satu komponennya mampu menetralkan asam, dan komponen lainnya mampu menetralkan basa. Namun, kedua komponen itu tidak saling menetralkan.

3) Menghitung pH Larutan Penyangga a) Larutan Penyangga Asam

Dalam sistem penyangga asam yang tersusun dari asam lemah (misalnya HA) dengan dengan basa konjugasinya (misalnya A- yang berasal dari NaA), maka dalam sistem larutan itu terdapat kesetimbangan:

(24)

HA(aq)

H+(aq) + A-(aq) ... (1) NaA(aq) → Na+(aq) + A-(aq) ... (2)

dari reaksi kesetimbangan (1) diperoleh:

... (3)

sehingga konsentrasi ion H+ dalam sistem dapat dinyatakan:

... (4)

Karena konsentrasi ion [A-] yang berasal dari asam lemah jumlahnya sangat sedikit, sehingga [A-] dari asam lemah tersebut dapat diabaikan, dan [A-] yang dipakai dalam perhitungan adalah konsentrasi ion [A-] yang berasal dari NaA yang selanjutnya disebut sebagai [basa konjugasinya].

maka persamaan (4) dapat dirumuskan sebagai berikut:

Jika konsentrasi dinyatakan sebagai banyaknya mol tiap liter larutan atau 𝑀 = 𝑚𝑜𝑙 𝑉⁄ , maka:

Karena sistem merupakan campuran dalam satu wadah, maka volumenya akan selalu sama (tetap), sehingga rumus diatas dapat dituliskan sebagai:

𝐾𝑎 = [𝐻+][𝐴] [𝐻𝐴]

[𝐻+] = 𝐾𝑎 [𝐻𝐴]

[𝐴]

[𝑯+] = 𝑲𝒂 𝒙 𝒎𝒐𝒍 𝒃𝒂𝒔𝒂 𝒌𝒐𝒏𝒋𝒖𝒈𝒂𝒔𝒊𝒎𝒐𝒍 𝒂𝒔𝒂𝒎 [𝐻+] = 𝐾𝑎 𝑚𝑜𝑙 𝐻𝐴𝑚𝑜𝑙 𝐴𝑉

𝑉 [𝐻+] = 𝐾𝑎 𝑥 [𝑎𝑠𝑎𝑚]

[𝐵𝑎𝑠𝑎 𝐾𝑜𝑛𝑗𝑢𝑔𝑎𝑠𝑖]

𝒑𝑯 = − 𝐥𝐨𝐠[𝑯+]

(25)

b) Larutan Penyangga Basa

Dalam sistem penyangga basa yang tersusun dari basa lemah dan asam konjugasinya yang berperan dalam sistem penyangga ini adalah reaksi kesetimbangan pada basa lemah.

Dengan cara yang sama seperti pada sistem penyangga asam diatas, maka untuk sistem penyangga basa konsentrasi ion OH- diperoleh dengan rumus:

4) Peran Larutan Penyangga

Larutan Penyangga banyak berperan dalam proses- proses biokimia dan fisiologis, khususnya berperan dalam mengontrol kelarutan ion- ion dalam larutan sekaligus mempertahankan pH.

Banyak proses kehidupan yang sensitif terhadap pH sehingga diperlukan sedikit pengaturan terhadap interval konsentrasi H3O+ dan OH- (Oxtoby, Gillis, & Nachtrieb, 2001). Contoh lainnya yaitu, cairan tubuh intrasel yang bekerja berdasarkan prinsisp sistem peyangga H2PO4- dan HPO42- (Keenan, Kleinfelter, & Wood, 1984:629). Selain itu, cairan luar sel seperti sel darah juga bekerja berdasarkan sistem penyangga H2CO3 dan HCO3- yang berfungsi menjaga pH darah pada daerah sekitar 7,4 (Keenan, et al. 1984:629).

Tidak hanya berperan dalam proses fisiologis dan biokimia saja, namun Larutan Penyangga juga berperan dalam bidang industri, seperti contohnya dalam industri pangan dimana prinsip sistem penyangga diterapkan dalam menjaga pH makanan kaleng dengan cara mengatur komposisi dari asam sitrat dan natrium sitrat (Kalsum

& Devi, 2009).

[𝑶𝑯] = 𝑲𝒃 𝒙 𝒎𝒐𝒍 𝒃𝒂𝒔𝒂 𝒎𝒐𝒍 𝒂𝒔𝒂𝒎 𝒌𝒐𝒏𝒋𝒖𝒈𝒂𝒔𝒊 𝒑𝑶𝑯 = − 𝐥𝐨𝐠[𝑶𝑯]

𝒑𝑯 = 𝟏𝟒 − 𝒑𝑶𝑯

(26)

8. Miskonsepsi pada Materi Larutan Penyangga

Berikut ini dalam Tabel 2.6. disajikan beberapa materi dalam larutan penyangga yang sering menyebabkan miskonsepsi pada siswa, dimana data ini merupakan hasil penjelasan secara ringkas dari beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya.

Tabel 1.5 Miskonsepsi pada materi larutan penyangga menurut para ahli

Sumber Miskonsepsi

Orgill & Sutherland, 2008

 Larutan Penyangga terdiri dari asam dan basa apa saja, dalam jumlah berapapun, namun tidak berasal dari asam lemah atau basa lemah dan konjugasinya

 Larutan Penyangga terbentuk dari dua zat kimia yang dicampur

 Besarnya kapasitas Larutan Penyangga (buffer) ditentukan dari kekuatan asam dan basanya, dalam hal ini siswa mengartikan Larutan

Penyangga yang berasal dari asam kuat dan basa kuat akan memiliki kapasitas buffer yang lebih tinggi daripada Larutan Penyangga yang berasal dari asam lemah dan basa lemah

 pH asam lemah dalam larutan sama dengan pKa

 Buffer selalu memiliki pH netral karena spesi penyusunnya saling menetralkan (pH= 7) Sesen & Tarhan,

2011

 HCl dan NaCl dapat membentuk Larutan Penyangga

 Larutan Penyangga hanya dibentuk dari asam lemah dan garamnya, bukan basa konjugasinya

 Larutan Penyangga merupakan larutan yang netral

 Larutan Penyangga dapat dibentuk dengan menggunakan beberapa larutan asam atau basa dan garamnya

Cyril, 2015  Larutan Penyangga terdiri atas asam dan basa namun tidak disebutkan asam/ basa kuat atau lemah

(27)

 Konsep Larutan Penyangga, perubahan sedikit keasaman Larutan Penyangga dapat menurunkan pH Larutan Penyangga

 Basa konjugasi adalah ion hidrogen Mutlu & Şenşen,

2016

 Jika asam/ basa ditambahkan ke dalam Larutan Penyangga maka pH larutan akan menjadi 7

 Jika asam/ basa ditambahkan ke dalam Larutan Penyangga maka pH tidak akan berubah karena buffer dapat mempertahankan pH

 Jika sejumlah kecil dari basa kuat ditambahkan ke dalam Larutan Penyangga, komponen basa dari buffer akan menerima proton

 Jika sejumlah kecil dari basa kuat ditambahkan ke dalam Larutan Penyangga, maka basa kuat dan komponen basa dari buffer akan berkombinasi dan membentuk buffer dengan pH = 14

 Jika asam/ basa ditambahkan ke dalam Larutan Penyangga pH akan menjadi 7 karena

komponennya saling menetralkan

 Asam dan basa konjugasi seharusnya saling menetralkan dalam Larutan Penyangga Kusumaningrum,

2017

 Larutan Penyangga dapat mempertahankan harga pH meskipun ditambah asam/ basa dalam jumlah berapapun

 Sifat Larutan Penyangga yang dapat

mempertahankan pH ini dikarenakan Larutan Penyangga terbuat dari asam dan basa kuat sehingga membentuk larutan yang bersifat netral

 Komponen Larutan Penyangga terdiri dari asam/basa lemah dan garam konjugasinya

 H2PO4- dan HPO42- bukan merupakan Larutan Penyangga karena keduanya ion

 NaOH dan HCl akan membentuk Larutan Penyangga

 Penambahan basa kuat berlebih pada Larutan Penyangga akan menjadikan pH menjadi netral

 Penambahan sedikit basa dalam Larutan

Penyangga tidak akan menggeser kesetimbangan

 pH= pOH

 Penambahan sedikit asam/ basa dalam Larutan Penyangga akan mengakibatkan nilai pHnya sama dengan pH awal

(28)

B. PENELITIAN RELEVAN

Terdapat beberapa penelitian yang dilakukan untuk mengidentifikasi miskonsepsi pada materi Larutan Penyangga, diantaranya adalah penelitian oleh Orgill & Sutherland (2008) dalam jurnalnya yang berjudul “Undergraduate chemistry students’ perceptions of and misconceptions about buffers and buffer problems”. Sementara itu, Mutlu, A. and Şeşen, B. A., (2016) melakukan instrumen two-tier untuk mengidentifikasi miskonsepsi pada guru MIPA terkait pemahannya terhadap materi kimia sevara umum.

Kemudian, tugas thesis Kusumaningrum, I., A. (2017) dengan judul

“Pengembangan Modul Kimia SMA/MA Berbasis Inkuiri Terbimbing Dilengkapi Kartun Konsep untuk Meminimalkan Miskonsepsi pada Materi Larutan Penyangga” dimana instrumen yang digunakan untuk mendiagnosis miskonsepsi menggunakan metode two-tier diagnostic test. Sejalan dengan hal itu, Sihaloho, M.

(2012) juga melakukan penelitian terkait miskonsepsi pada materi Larutan Penyangga dengan judul jurnal “Analisis Kesalahan Siswa Dalam Memahami Konsep Larutan Penyangga Pada Tingkat Makroskopik dan Mikroskopis”.

Demikian juga penelitian yang dilakukan oleh Kurniawan, et al., (2013) dengan judul “Menggali Pemahaman Siswa SMA pada Konsep Larutan Penyangga menggunakan Instrumen Diagnostik Two-Tier”. Serta penelitian yang dilakukan oleh Ulva, Y.I., (2016) dengan jurnalnya yang berjdul “Identifikasi Tingkat Pemahaman Konsep Larutan Penyangga Aspek Makroskopik, Submikroskopik, dan Simbolik pada Siswa Kelas XI IPA SMAN 3 Malang Tahun Ajaran 2013/ 2014”

Penelitian tersebut dapat menjadi rujukan dalam penelitian ini sebagai data pembanding dalam diagnosis miskonsepsi materi larutan penyangga menggunakan three-tier diagnostic test (TTDT) pada siswa kelas XI SMA Negeri di Kota Surakarta.

(29)

C. KERANGKA BERFIKIR

Untuk mencapai tujuan pendidikan, kimia harus diajarkan dengan memberikan pengalaman belajar secara langsung, sehingga siswa dapat memperoleh pengetahuannya sendiri. Dalam proses menmbentuk pemahamannya tentang suatu konsep terkadang siswa mengalami miskonsepsi. Kesulitan siswa dalam memahami konsep yang abstrak membuat siswa mengalami kesalahan dalam memahami konsep tersebut (miskonsepsi). Salah satu konsep yang dianggap siswa sulit adalah larutan penyangga. Jika miskonsepsi tidak segera dibenahi maka konsep yang salah tersebut akan dibawa pada materi selanjutnya, karena kimia merupakan mata pelajaran yang kontinyu.

Oleh karena itu, guru perlu mengetahui letak miskonsepsi yang dialami siswa sehingga guru dapat membantu menangani miskonsepsi yang dialami siswa.

Salah satu cara yang dapat digunakan oleh guru untuk mengetahui miskonsepsi siswa yaitu dengan menggunakan instrumen tes diagnostik three-tier. Dimana dari prakonsepsi siswa terdapat beberapa pemahaman siswa mengenai suatu materi yang digolongkan dalam kategori siswa paham konsep, siswa tidak paham konsep, dan siswa miskonsepsi. Masing- masing kategori tersebut perlu diketahui oleh guru sebagai acuan dalam memilih strategi belajar dan memilih media pembelajaran yang sesuai agar kegiatan belajar mengajar menjadi efektif dan efisien, serta agar didapatkan hasil belajar yang maksimal, oleh karena itu penting kiranya untuk melakukan identifikasi menggunakan instrumen diagnostik seperti Three-Tier Diagnostic Test ini. Setelah dilakukan identifikasi menggunakan instrumen TTDT kemudian hasil jawaban siswa dianalisis dan untuk memperkuat keabsahan data yang diperoleh maka dilakukan dengan cara meng-crosscheck hasil analisis TTDT ini dengan nilai Ulangan Harian (UH) dan juga diperkuat dengan data hasil wawancara, maka kerangka berpikir dari penelitian ini dapat dilihat dengan jelas pada Gambar 2.1.

(30)

Gambar 1.1 Kerangka Berfikir Identifikasi Miskonsepsi menggunakan Instrumen Three-Tier Diagnostic Test (TTDT)

Konsep awal siswa pada materi Larutan Penyangga

(Prakonsepsi)

Siswa paham konsep

Siswa tidak paham konsep

Siswa miskonsepsi

Diidentifikasi dengan Three- Tier Diagnostic Test

(TTDT)

Data yang diperoleh dianalisis

Penarikan Kesimpulan

Melakukan wancara untuk memperdalam hasil analisis Melakukan

crosscheck antara data hasil analisis dengan hasil

nilai UH

Gambar

Tabel 1.1. Persentase Kategori Miskonsepsi
Tabel 1.2. Penyebab Miskonsepsi
Tabel 1.3. Kelebihan dan Kekurangan dari Beberapa Instrumen Diagnostik  Strengths
Tabel  1.4.  Persentase  Instrumen  Diagnostik  untuk  Mengidentifikasi  Miskonsepsi (N= 273)
+3

Referensi

Dokumen terkait

Latar Belakang www.themegallery.com PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Batasan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian TINJAUAN PUSTAKA METODE PENELITIAN PENUTUP

From the data analysis, the reseacher found the students’ problem and the cause of the problem in the process of learning listening of SMAN 15 Bandar Lampung

08 02 01 02 003, Mahasiswa Program Studi Muamalah Jurusan Syari’ah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Sultan Qaimuddin Kendari, telah diuji dan dipertahankan dalam ujian

Membayar uang pendaftaran khusus bagi calon siswa yang berdomisili di luar kota Blitar, sedangkan siswa yang berdomisili di kota Blitar bebas uang pendaftaran

a) Pasukan Penyiasat bertanggungjawab menyediakan Laporan Hasil Siasatan atau Laporan Akhir dan kemukakan kepada Urusetia Kehilangan dan Hapuskira dalam tempoh dua

Secara singkat, faktor yang dapat menjadi daya tarik pusat kota bagi masyarakat untuk memilih tinggal di pusat kota tersebut yang dapat menyebabkan permukiman tumbuh

Mengenai kriteria-kriteria tertentu yang melekat pada keris seperti di atas, perlu ditegaskan bahawa bukan semua senjata tikam atau tusuk dapat disebut sebagai keris, atau benda

Produktivitas kelapa sawit rakyat ditentukan oleh kualitas input produksi yang digunakan dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit rakyat mulai dari pemilihan bibit